Abstrak
Babad Panjalu merupakan salah satu karya sastra kuno yang mengandung unsur sajarah yang
ditulis oleh Prajadinata, koleksi C.M. Pleyte. Babad Panjalu menjadi sumber utama dalam
penelitian. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan mendeskripsikan
struktur babad, unsur semiotik, dan nilai etnopedagogik yang terkandung di dalamnya. Teknik
yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu studi bibliografi. Selanjutnya data yang
diperoleh diolah menggunakan kajian struktural, semiotik, dan etnopedagogik. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan, tema sejarah merupakan tema yang terdapat dalam babad ini.
Alur maju merupakan pola alur yang digunakan dalam mengembangkan cerita. Pelaku utama
yang terdapat dalam cerita yaitu silsilah para bupati Panjalu. Kompleksitas kehidupan,
pemikiran, dan persoalan lainnya dikemas dengan dukungan watak yang variatif yang
terdapat pada diri para bupati Panjalu. Hal ini didukung oleh digunakanya latar tempat seputar
keraton. Kehidupan menak paling mendominasi latar sosial dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari tiga unsur semiotik yang ditemukan, unsur indéks paling banyak digunakan dari pada
unsur ikon dan simbol. Nilai etnopedagogik yang terdapat dalam penelitian ini yaitu nilai
moral manusia yang mencakup: moral manusia terhadap Tuhan, moral manusia terhadap
pribadi, moral manusia terhadap manusia lain, moral manusia terhadap alam, moral manusia
terhadap waktu, dan moral manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Moral manusia
terhadap pribadi merupakan nilai moral manusia yang paling banyak terdapat dalam Babad
Panjalu.
Kata kunci: babad, struktural, semiotik, etnopedagogik
BABAD PANJALU
(The Study of Structure, Semiotics, and Ethnopedagogy)
Abstract
Babad Panjalu (lit. The Chonicle of Panjalu), which is written by Prajadinata, a collection
CM Pleyte, is one of ancient literary works. It contains elements of history. It is the main
source in this study. This research used descriptive method that aims to describe the
structure, semiotic elements, and the ethnopedagogical values contained in Babad Panjalu.
The data collection of this research employed the bibliography study. Afterward, the data was
processed by using structural, semiotics, and ethnopedagogy studies. Based on the results of
research conducted, the theme of history is contained in this chronicle. Forward plot is the
plot pattern that is used in developing the story. The main actors in the story are the Regents
of Panjalu, as well as their genealogy. The complexity of life, thoughts, and other problems
are packed with the support of varied characters of the Regents of Panjalu. It is sustained by
the background of the story that shows the palace and its surrounding. The aristocratic life
dominates the social background in various aspects of life. Three semiotic elements were
found in the study. The most widely used element is the indexes, above the icons and the
symbols. Ethnopedagogical values contained in the chronicle are the human moral values.
53
54 | LOKABASA Vol. 6, No. 1, April 2015
They include moral toward God, personal, other human being, nature, time, and in achieving
goals. The human moral values toward personal is the mostly foind in the Babad Panjalu.
Keywords: babad, structural, semiotics, etnopedagogy
Raden Arya Kancana pensiun dari Raden Arya Sacanata (bupati ke-10)
jabatannya dan digantikan oleh putranya pada saat menjabat bupati Panjalu terbilang
yang pertama, Sanghyang Teko (episode sudah agak tua „sepuh‟. Raden Arya
XIII). Sacanata memiliki anak yang masih kecil,
Alur selanjutnya, pemerintahan Raden Wiradipa. Karena sudah merasa tua,
Sanghyang Teko (bupati ke-4). Sanghyang pemerintahan diserahkan kepada anak
Teko memiliki dua orang putra, Raden kakanya, Raden Wirabaya (putra Dalem
Dulang Kancana dan Raden Kadaliru. Sumalah). Pada episode XX dijelaskan
Dikarenakan Sanghyang Teko wapat, bahwa Raden Wiradipa, putranya Raden
pemerintahan dilanjutkan oleh putranya Arya Sacanata dipelihara oleh Raden
yang pertama, R. Dulang Kancana (episode Wirabaya yang menjabat bupati saat itu.
XIV). Raden Wirabaya (bupati ke-11)
Raden Dulang Kancana (bupati ke-5) menjabat bupati Panjalu menggantikan
memerintah di Panjalu menggantikan orang Raden Arya Sacanata, pamannya. Raden
tuanya. Raden Dulang Kancana tidak lama Wirabaya mempunyai anak yang bernama
menjabat sebagai bupati Panjalu Raden Wirapraja. Raden Wirabaya wapat,
dikarenakan meninggal. Selama jabatan bupati dilanjutkan oleh anaknya,
memerintah R. Dulang Kancana tidak Raden Wirapraja (episode XXI).
diceritakan memiliki putra. Dengan Raden Wirapraja (bupati ke-12)
demikian pemerintahan dilanjutkan oleh menggantikan ayahnya menjadi bupati
adiknya, Raden Kadaliru (episode XV). Panjalu. Selama menjadi bupati Raden
Raden Kadaliru (bupati ke-6) memiliki Wirapraja tidak diceritakan mempunyai
putra Raden Martabaya. Dikisahkan Raden anak. Cerita diseling dengan mengisahkan
Kadaliru wapat, lalu jabatan bupati Panjalu putranya Raden Arya Sacanata, Raden
dilanjutkan oleh anaknya, Raden Martabaya Wiradipa. Raden Wiradipa memiliki anak
(episode XVI). yang bernama Raden Cakranagara. Sebelum
Raden Martabaya (bupati ke-7) Raden Wirapraja selesai menjabat bupati,
menjabat bupati Panjalu menggantikan dia meninggal dunia. Selanjutnya
orang tuanya, Raden Kadaliru. Raden pemerintahan diteruskan oleh saudaranya,
Martabaya memiliki putra yang bernama Raden Cakranagara (episode XXII).
Raden Arya Natibaya. Dikarenakan Raden Raden Cakranagara (bupati ke-13)
Martabaya wapat, pemerintahan dilanjutkan sebagai bupati Panjalu menggantikan Raden
oleh putranya, Raden Arya Natibaya Wirapraja. Raden Cakranagara memiliki
(episode XVII). putra yang bernama Raden Cakranagara
Raden Arya Natibaya (bupati ke-8) „kapindo‟ (Raden Cakranagara II). Raden
sebagai bupati Panjalu melanjutkan orang Cakranagara wapat, jabatan bupati
tuanya. Raden Arya Natibaya mempunyai dilanjutkan oleh putranya, Raden
dua orang putra, Dalem Sumalah dan Radén Cakranagara II (episode XXIII).
Arya Sacanata. Dikarenakan Raden Arya Raden Cakranagara II (bupati ke-14)
Natibaya wapat, pemerintahan dijabat oleh menjabat bupati Panjalu menggantikan
anaknya yang pertama, Dalem Sumalah orang tuanya, Raden Cakranagara. Raden
(episode XVIII). Dalem Sumalah (bupati Cakranagara II rajin mencari ilmu
ke-9) mempunyai putra yang masih kecil, khususnya ilmu agama sampai ke Cirebon.
Raden Wirabaya. Pemerintahan Dalem Raden Cakranagara II mempunyai istri
Sumalah tidak begitu lama dikarenakan kemenakanya Sultan Cirebon yang bernama
meninggal dunia. Selanjutnya pemerintahan Raden Salengga Anom. Dari
dijabat oleh adiknya Dalem Sumalah, pernikahannya, Raden Cakranagara II
Raden Arya Sacanata (episode XIX). memiliki anak yang bernama Raden
Barsalam. Raden Cakranagara II wapat,
58 | LOKABASA Vol. 6, No. 1, April 2015
jabatan bupati dilanjutkan oleh putranya, Latar yang terdapat dalam BP meliputi
Radén Barsalam. Selanjutnya Raden tempat, waktu dan sosial. Latar tempat
Baralam berganti nama menjadi Raden umumnya merupakan nama wilayah/ daerah
Cakranagara Anom (episode XXIV). yang sampai sekarang masih digunakan.
Raden Cakranagara Anom (bupati ke- Latar tempat yang terdapat di seputar
15) merupakan bupati Panjalu yang Panjalu di antaranya: Maparah, Panjalu,
terakhir, dikarenakan beliau dipensiun Situ Léngkong, Cukang Padung, Nusa
lantaran anjeunna dipangsiun pada tahun Pakél, Ujung (Hujung) Winangun,
1819 M oleh Sultan Cirebon. Raden Sindangrame, Ciluncat, Pecat Obol,
Cakranagara Anom menjabat bupati Panjalu Cinarakal, Cinarakas, Sukatingal, Cibutut,
selama 33 tahun. Pada akhir pemerinahan Cieunteung, Hanjatan, Dukuh Munar,
Raden Cakranagara Anom, Kabupaten Ranca Beureum, Nusa Sireum, Cilanglung,
Panjalu berubah menjadi kawedanaan serta Gandakerta, Warganaya, Ciater, Winarni,
disatukan kepada Kabupaten Galuh dan Sumalah. Sedangkan latar tempat yang
(episode XXV). berada di luar daerah Panjalu yaitu:
Pelaku yang terdapat dalam BP Jampang, Sukapura, Malangbong,
terpusat kepada pelaku sentral para bupati Warudoyong, Galuh (Ciamis),
yang memiliki kedudukan penting dan Kandangwesi, Gunung Walahar, Citanduy,
strategis di daerah Panjalu. Pelaku yang Priangan, Gajipura, Cirebon, Kalipucang,
terbilang penting: Prabu Borosngora, R.A. Banjar, dan Kawali. Selain itu ada beberapa
Kuning, R.A. Kancana, Sanghyang Téko, tempat yang digunakan sebagai latar di
R. Dulang Kancana, R. Kadaliru, antaranya: padaleman, karaton/ kadaton,
R.Martabaya, R.A. Natibaya, Dalem astana/ makam, dapur, alun-alun, pasir,
Sumalah, R.A. Sacanata, R. Wirabaya, R. patapaan, imah, leuweung, tempat,
Wirapraja, R. Cakranagara, R. Cakranagara pancaniti, sawah, tanah, bumi mantri, bumi
II, dan R. Cakranagara Anom. Pelaku yang patih, paimahan, paséban, pinggir cai,
terbilang penting lainnya yaitu patih tambakan, di darat, di cai, saung,
Panjalu, R. Guru Haji (R. Kampuh Jaya). Di pasanggrahan, tebéh hilir, kapatihan, jalan,
samping itu terdapat beberapa orang pelaku dsb.
yang diketemukan pada BP seperti: Otek, Waktu yang dijadikan latar dalam BP
Ki Buni Sakti, Kojal, Kodal, Raden pada umumnya merupakan bilangan
Wiradipa (ramana R. Cakranagara), Ki titimangsa yang berkaitan erat dengan diri
Malim, Sultan Cirebon, Raden Salengga pengarang. Pengarang (R. Prajadinata)
Anom (istrinya R. Cakranagara Anom), termasuk salah seorang putra R.
masyarakat Panjalu, dan masyarakat Cakranagara Anom. Dengan demikian,
Jampang. Pelaku yang ada dalam BP waktu yang digunakan seputar keraton dan
mempunyai watak yang baik dan dijadikan mendapatkan cerita langsung dari orang
panutan karena jabatan pelaku utama tuanya (R. Cakranagara Anom). Mengenai
sebagai orang penting sebagai pelaku latar waktu yang diketemukan dalam BP,
bupati. Watak yang terbilang paling baik seperti: (1) wewerat geus tilu sasih, (2)
ada pada pelaku Prabu Borosngora sebagai tujuh poé tujuh peuting, (3) tahun séwu
bupati Panjalu yang pertama beragama tujuh ratus, genep puluh lima deui, (4) dina
Islam. Pelaku kedua adalah R. Cakranagara yuswa dua puluh opat tahun, (5) Kaleresan
Anom, sebagai bupati terakhir. Karakter R. tahun séwu dlapan ratus, salapan welas nu
Cakranagara Anom terlihat pada episode muni, (6) tilu puluh tahun yaktos, (7) dina
XXV ketika dia menasehati, mendidik, dan yuswa saratus tahun téh, séwu dlapan ratus
mengajar para putranya yang jumlahnya lima puluh hiji, (8) tilu tahun lamina téh,
banyak. (9) nembe umur dua welas warsih, (10)
nuju umur tilu puluh warsih, (11) tahun
Entoh Toharudin Satibi: Babad Panjalu | 59
séwu dlapan ratus leuwih, tahun anu rama, (4) bisluit, (5) raja, (6) kahadéan, (7)
yaktos, jeung sawidak dalapan nu nyandé, ujang, (8) kolot, (9) sembah sujud, (10)
dan (12) tilu puluh dalapan teu géséh. ngangluh, (11) ka kalanggengan, (12)
Selain itu, terdapat pula waktu yang putra, (13) nya ieu, (14) sim kuring, (15)
berhubungan dengan mengolah cerita, nyarioskeun, (16) ngabangun, (17)
seperti: (1) teu lami waktuna deui. (BP, ningalan, (18) pinggir cai, (19) unggal poé
1982:25/8), (2) Nyarioskeun nu baheula, unggal peuting, (20) ngajaga, (21) gilig
(BP, 1982:25/12), (3) Bukti dungkap ka jeung prakasa, (22) pameget, (23)
ayeuna, (BP, 1982:27/23), (4) Poé isuk ngaheurap, (24) ngubeng, (25) sampan
badé ngalih, (BP, 1982:38/65), (5) Mana parahu, (26) gagah, (27) salira, (28)
nelah ka kiwari, (BP, 1982:48:106), dan (6) pelesiran, (29) pepelakan, (30) ngadamel,
Siang wengi sami kumpul, (BP, (31) ameng-amengan, (32) saban siang,
1982:123/483). (33) di dinya, (34) diajar, (35) tempat ieu,
Latar sosial yang terdapat dalam BP (36) kapatihan, (37) paséban, (38)
merupakan latar yang erat hubungannya palataran, (39) pasrah, (40) ngalahir, (41)
dengan ststus sosial yang terdapat di daerah sepuh, (42) patih, (43) ti dinya, (44)
Panjalu. Adanya padaleman dan keraton kahartos, (45) unjukan, (46) ngistrénan,
menandakan kehidupan masa lampau. (47) gagancangan, (48) ka dieu, (49)
Berdasarkan keterangan tersebut, jelas hurung, (50) ngaguruh, (51) éar, (52)
nampak adanya status sosial yang sangat melas-melis, (53) ngadawuh, (54) nyeri
jauh (feodalisme). Adanya bupati lengkap hulu, (55) marunjungan, (56) ajrih, (57)
dengan pengikutnya „abdi dalem‟ dengan ngelas ati, (58) dipimanah, (59) maphum,
masyarakat Panjalu pada umumnya. (60) raresik, (61) binangkit berbudi, (62)
Manutnya abdi dalem dan rakyat kepada nangis, (63) ngawawaas, (64) akang, (65)
pemimpinnya menunjukan betapa heurin usik, (66) singkil, (67) lahir batin,
pentingnya kekuasaan pemimpin dalam (68) ariyatna, (69) adil, (70) senang ati,
rangka mensejahterakan rakyat. Maju (71) raos galih, (72) leumpang gancang,
mundurnya suatu pemerintahan dapat (73) ngarérét, (74) kagét, (75) sajero
dilihat dari gambaran kesejahteraan penggalih, (76) manéh, (77) ti heula, (78)
masyarakatnya. Terampil atau tidaknya gura-giru, (79) gadag-gidig, (80) pandeuri,
pengarang dalam mendeskripsikan (81) rai, (82) cékcok, (83) nyair, (84) resmi
kesejahteraan rakyat dengan bupatinya galih, (85) aing, (86) aki, (87) kacuwa, (88)
tergantung kepada keterampilan dan ngaleut, (89) raka, (90) teu éling, (91)
pengetahuan pengarang. Pada BP juga patubruk, (92) wiwirang, (93) tiris, (94)
tampak peran bupati sebagai status sosial hanjat, (95) sidéang, (96) badami, (97)
kelas „atas‟ dengan masyarakat ngejat, (98) kaduhung, (99) luncat, (100)
pendukungnya sebagai kelas „bawah‟. pundung, (101) kapikir, (102) mébérkeun
BP ditulis dalam bentuk wawacan, ramo, (103) waspada, (104) ngeduk taneuh,
namun untuk memaknai unsur semiotik (105) géhgér, (106) rusuh, (107) tonggoy,
yang dimilikinya terbilang lumayan. Unsur (108) ruménghap, (109) bendu, (110) jahil,
semiotik meliputi tiga bagian yakni ikon, (111) susumbar, (112) reup geuneuk, (113)
indeks, dan simbol. Unsur semiotik yang ngadangukeun, (114) miris, (115) ka
terdapat dalam BP komposisinya tidak tepiswiring, (116) ngangres, (117) nyengka,
seimbang tergantung data yang ditemukan. (118) méré tanggara, (119) amarah, (120)
Indeks merupakan unsur semiotik kanyeri, (121) geder, (122) tarampil, (123)
yang terbilang banyak diketemukan percaya, (124) nyapih, (125) kalangsu,
dibanding unsur semiotik lainya. Indeks (126) kapanasan, (127) nyuuh, (128) palid,
yang diketemukan ada 142 référént, (129) dingin, (130) sumeblak, (131) ngésod,
meliputi: (1) kasmaran, (2) ngarang, (3) (132) kamelang, (133) bingah, (134)
60 | LOKABASA Vol. 6, No. 1, April 2015
katumbiri, (135) ngalayad, (136) yuswa kalanggengan, (7) putra, (8) nya ieu, (9)
geus ahir, (137) kula, (138) burudul, (139) sim kuring, (10) pinggir cai, (11) pameget,
jedur mariemna, (140) murangkalih, (141) (12) saban siang, (13) di dinya, (14) tempat
ngaregepkeun, dan (142) jaman baheula. ieu, (15) kapatihan, (16) paséban, (17)
Indeks yang berhubungan dengan tipe palataran, (18) sepuh, (19) patih, (20) ti
rengkak paripolah menduduki urutan tipe dinya, (21) ka dieu, (22) akang, (23) manéh,
paling atas berdasarkan jumlah referent (24) ti heula, (25) pandeuri, (26) rai, (27)
yang diketemukan. Tipe réngkak paripolah aing, (28) aki, (29) raka, (30) ka
jumlahnya ada 48 référént: (1) ngarang, (2) tepiswiring, (31) yuswa geus ahir, (32)
kahadéan, (3) sembah sujud, (4) kula, (33) murangkalih, dan (34) jaman
nyarioskeun, (5) ngabangun, (6) ngajaga, baheula.
(7) ngaheurap, (8) ngubeng, (9) pelesiran, Indeks yang berhubungan dengan tipe
(10) pepelakan, (11) ngadamel, (12) sora ada 7 référént meliputi: (1) ngaguruh,
ameng-amengan, (13) diajar, (14) ngalahir, (2) éar, (3) melas-melis, (4) cékcok, (5)
(15) ngistrénan, (16) gagancangan, (17) géhgér, (6) geder, dan (7) jedur mariemna.
ngadawuh, (18) marunjungan, (19) nangis, Sedangkan indeks yang berhubungan
(20) heurin usik, (21) singkil, (22) dengan barang atau zat ada 4 référént yaitu:
leumpang gancang, (23) ngarérét, (24) (1) sampan parahu, (2) hurung, (3)
gura-giru, (25) gadag-gidig, (26) nyair, kapanasan, jeung (4) dingin. Di samping
(27) ngaleut, (28) patubruk, (29) hanjat, itu, indeks yang memiliki tipe gejala alam
(30) sidéang, (31) badami, (32) ngejat, (33) ada 3 référént: (1) unggal poé unggal
luncat, (34) mébérkeun ramo, (35) ngeduk peuting, (2) raresik, dan (3) katumbiri.
taneuh, (36) rusuh, (37) tonggoy, (38) Ikon merupakan unsur semiotik kedua
ruménghap, (39) susumbar, (40) berdasarkan jumlah data yang diketemukan.
ngadangukeun, (41) méré tanggara, (42) Ada 17 référént ikon yang terdapat dalam
tarampil, (43) nyapih, (44) nyuuh, (45) BP meliputi: (1) tanah pusaka, (2) parentul
ngésod, (46) ngalayad, (47) burudul, dan hurung, (3) dihin pinasti, (4) titis tulis, (5)
(48) ngaregepkeun. ieu poé ngabungsuan, (6) neukteuk curuk
Indeks yang berhubungan dengan tipe dina pingping, (7) ngaleut ngeungkeuy
gejala fisik ada 47 référént: (1) kasmaran, pababantay, (8) bancang pakéwuh, (9)
(2) ngangluh, (3) ningalan, (4) gilig jeung kaduhung tara ti heula, (10) ngalahir jeung
prakasa, (5) gagah, (6) salira, (7) pasrah, manis, (11) ka darat jadi salebak, (12) ka
(8) kahartos, (9) unjukan, (10) nyeri hulu, cai jadi saleuwi, (13) kotok meuting, (14)
(11) ajrih, (12) ngelas ati, (13) dipimanah, ati, (15) jajantung, (16) budi manis, dan
(14) maphum, (15) binangkit berbudi, (16) (17) wewerat. Dari sejumlah ikon yang
ngawawaas, (17) lahir batin, (18) ariyatna, diketemukan terbagi lagi menjadi 3 tipe.
(19) adil, (20) senang ati, (21) raos galih, Tipe imagis ada 3 référént yakni: (1) ati, (2)
(22) kagét, (23) sajero penggalih, (24) jajantung, dan (3) wewerat. Tipe metaforis
resmi galih, (25) kacuwa, (26) teu éling, ada 14 référént yaitu: (1) tanah pusaka, (2)
(27) wiwirang, (28) tiris, (29) kaduhung, parentul hurung, (3) dihin pinasti, (4) titis
(30) pundung, (31) kapikir, (32) waspada, tulis, (5) ieu poé ngabungsuan, (6) neukteuk
(33) bendu, (34) jahil, (35) reup geuneuk, curuk dina pingping, (7) ngaleut
(36) miris, (37) ngangres, (38) nyengka, ngeungkeuy pababantay, (8) bancang
(39) amarah, (40) kanyeri, (41) percaya, pakéwuh, (9) kaduhung tara ti heula, (10)
(42) kalangsu, (45) sumeblak, (46) ngalahir jeung manis, (11) ka darat jadi
kamelang, dan (47) bingah. salebak, (12) ka cai jadi saleuwi, (13) kotok
Indeks yang memiliki tipe aktualisasi meuting, dan (14) budi manis. Tipe
terdapat 34 référént: (1) rama, (2) bisluit, diagramatis tidak terdapat dalam BP.
(3) raja, (4) ujang, (5) kolot, (6) ka Simbol merupakan unsur semiotik
Entoh Toharudin Satibi: Babad Panjalu | 61
ketiga berdasarkan jumlah référén yang berpikir panjang lebar, baik buruk, boleh
diketemukan. Unsur simbol yang terdapat tidak, dll. Namun bagaimanapun tindakan
dalam BP jumlahnya ada 8 référént, tersebut semuanya menggambarkan
mencakup: (1) karaton, (2) bérok, (3) emas, bagaimana seorang pelaku dalam BP
(4) duit, (5) pedang, encit, locéng, jeung mendewasakan dirinya.
kuluk, (6) kuda, sapi, jeung munding, (7) Berdasarkan data yang ditemukan
umbul-umbul, dan (8) medali. Simbol yang dalam BP, nilai moral manusia terhadap
disebutkan di atas merupakan tanda yang dirinya ditandai dengan sipat yang baik
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat antara lain: (1) sopan, (2) sederhana
Panjalu. Melalui simbol tersebut dapat „basajan‟, (3) jujur, (4) berani, (5) dapat
dilihat bagaimana keadaan ekonomi, sosial, dipercaya, (6) menghargai orang lain, (7)
dan kedudukan seseorang di masyarakat. waspada „iatna‟, (8) bisa mengendalikan
Nilai etnopedagogik yang menjadi diri, (9) adil, (10) mencintai tanah air, (11)
bahasan mencakup nilai moral manusia. baik hati (12) teguh pendirian, dan (13)
Nilai moral manusia yang ada dalam BP memiliki pandangan yang luas.
erat kaitannya dengan pelaku para bupati Moral manusia terhadap Tuhan
yang terdapat di Panjalu. Nilai moral (MMT) yang terdapat dalam BP kurang
manusia meliputi: (1) moral manusia lebih ada 30%. MMT menggambarkan
terhadap Tuhan (MMT), (2) moral manusia sikap dan prilaku para bupati yang taat
terhadap dirinya (MMD), (3) moral manusia menjalankan perintah agama dalam
terhadap manusia lainnya (MML), (4) moral kehidupan sehari-hari. Nilai moral manusia
manusia terhadap alam (MMA), (5) moral terhadap Tuhan bersipat religius yang erat
manusia terhadap waktu (MMW), dan (6) kaitanya dengan ketakwaan. Hal tersebut
moral manusia dalam mencapai tujuan dapat dilihat bagaimana para bupati Panjalu
hidup (MMTH). dalam melakukan suatu pekerjaan baik dari
Secara kuantitas jumlah keenam nilai ucapan maupun tindakan. Yang paling
etnopedagogik yang diketemukan dalam BP tampak religius yaitu pelaku Prabu
tidaklah seimbang. Nilai etnopedagogik Borosngora sebagai penyebar agama Islam
yang dianggap paling dominan kuantitasnya pertama di daerah Panjalu. Selanjutnya
terdapat pada nilai moral manusia terhadap pelaku Raden Cakranagara II yang
dirinya (MMD) sekitar 40% (episode II menuntut ilmu agama ke daerah Cirebon
sampai XXV). Moral manusia terhadap yang pada akhirnya meminang keponakan
dirinya merupakan sikap manusia yang Sultan Cirebon yang bernana Raden
berhubungan dengan manusia sebagai Salengga Anom. Begitu juga pelaku yang
individu/pribadi yang ditandai dengan bernama Raden Cakranagara Anom (Raden
kualitas sumber daya manusia dalam Barsalam) yang mengikuti jejak leluhurnya,
bertindak. Hal tersebut tampak pada pelaku Prabu Borosngora yang agamis. Raden
para bupati Panjalu dalam melakukan Cakranagara Anom mendidik para putranya
perbuatan pada setiap tatanan kehidupan dengan ilmu agama yang berguna untuk
baik secara pribadi maupun secara komunal. keselamatan dunia dan akhirat. Di samping
Nilai moral manusia terhadap dirinya itu juga diketemukan adanya prilaku eling
yang terbilang kerap muncul dalam cerita ka pangeran, upamanya pelaku para bupati,
yaitu pada pelaku Prabu Borosngora, Radén diantaranya pelaku R.A. Kuning dalam
Arya Kuning, Radén Arya Kancana, dan ucapannya selalu menyebut Allah seperti
Radén Kampuh Jaya (patih Panjalu). Hal astagfirullah, bissmillah, dll.
tersebut bukan berarti nilai moral manusia Nilai moral manusia dalam mencapai
yang lainnya tidak penting. Nilai moral tujuan hidup (MMTH) yang terdapat dalam
manusia menunjukan betapa manusia BP kurang lebih 10%. MMTH memiliki
sebagai pelaku dalam kehidupan harus tujuan untuk mendapatkan ketentraman
62 | LOKABASA Vol. 6, No. 1, April 2015
hidup lahir batin. Dalam mencapai Nilai manusia terhadap waktu (MMW)
ketentraman hidup, para bupati selalu yang terdapat dalam BP frekuensinya
berprinsip sineger tengah antara kurang lebih 5%. MMW dapat diketahui
kepentingan dunia dan akhirat. Nilai melalui pelaku para bupati dalam
MMTH juga terdapat pada pemenuhan memanfaatkan waktu untuk kepentingan
kebutuhan hidup seperti ingin bersama. Di samping itu, percaya terhadap
membahagiakan masarakat Panjalu dengan ketentuan Yang Maha Kuasa „papasten‟
cara membedah Situ Lengkong. Pada dalam kehidupan. Adanya kehidupan yang
dasarnya nilai MMTH bukan saja untuk abadi/ langgeng di akhirat kelak merupakan
dirinya sendiri maelainkan juga dapat suatu kehidupan dipengaruhi oleh amalan
dilakukan terhadap kebahagian orang lain. kehidupan di dunia. Begitu juga adanya
Apabila tujuan hidup orang lain sudah proses kelahiran sampai kematian sebagai
terpenuhi maka dengan sendirinya nilai siklus atau daur hidup manusia.
MMTH orang yang bersangkutan merasa Kesemuanya merupakan ketentuan yang
sudah tercapai. harus disikapi dengan arif. Sehingga
Nilai moral manusia terhadap alam manusia dapat memanfaatkan waktu dengan
(MMA) yang terdapat dalam BP kurang hal-hal yang positif semata-mata untuk
leuwih 10%. MMA dapat diketahui melalui kepentingan orang banyak. Para bupati
prilaku para pelaku / bupati dalam Panjalu setidaknya melangkah dengan
menghadapi alam secara bijaksana dengan prinsip di atas. Adapula pelaku bupati yang
prinsip alam yang didiami merupakan memanfaatkan waktu dengan mendidik dan
pinjaman dari generasi yang akan datang. mengajar para putranya sebagaimana yang
Jadi, sudah selayaknya manusia menjaga dicontohkan oeh pelaku Raden Cakranagara
pinjaman ini agar tetap lestari tanpa Anom setelah pensiun dari bupati.
merusaknya. Para bupati dan masarakat Nilai moral manusia yang terdapat
Panjalu dalam mengelola alam untuk dalam BP merupakan salah satu kearifan
kesejahteraan bersama sangatlah terampil. lokal yang dimiliki oleh masyarakat
Nilai moral inilah yang menjadi landasan Panjalu/ Sunda yang harus dipelihara dan
dalam menjaga kelestarian ekologi. dilestarikan. Hal tersebut, karena nilai
Nilai moral manusia terhadap manusia etnopedagogik yang terdapat dalam BP
lainnya (MML) yang terdapat dalam masih relevan sampai sekarang. Sehingga,
frekuensinya kurang lebih BP 5%. MML perlu adanya upaya untuk mentransper nilai
dapat diketahui dalam kehidupan sehari- etnopedagogik Sunda kepada generasi yang
hari. Manusia di samping mahluk individu akan datang untuk membangun jati diri
juga makhluk sosial yang banyak bangsa yang berkarakter. Upaya tersebut
berhubungan dengan manusia lainnya. tentunya melalui dunia pendidikan baik
Bagaimana nilai MML tampak pada sekolah maupun perguruan tinggi.
komunikasi yang santun antara pelaku
bupati dengan bawahannya termasukdengan SIMPULAN
masyarakat Panjalu. Pelaku yang BP merupakan salah satu buku karya
mempunyai kepribadian baik dapat terlihat sastra yang diterbitkan oleh Departemen
dari tutr katanya, begitu juga sebaliknya. Pendidikan dan Kebudayaan. BP ditulis
Nilai MML dilandasi oleh sikap saling menggunakan bentuk puisi terikat
menghargai/ toleransi, saling percaya, „wawacan„, yang di dalamnya merupakan
saling menasihati, saling membutuhkan, dll. suatu cerita. Suatu karya sastra tentu
bahwa manusia (masyarakat Panjalu) adalah memiliki struktur cerita. Struktur cerita
satu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari yang terdapat dalam BP pada dasarnya
suatu bangsa. mencakup kesatuan unsur atau komponen
yang saling berkaitan.
Entoh Toharudin Satibi: Babad Panjalu | 63
Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1994.
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
Pustaka. Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra UCAPAN TERIMA KASIH
dari Strukturalisme hingga Ucapan terima kasih yang sebesar-
Poststrukturalisme. Yogyakarta: besarnya saya sampaikan kepada semua
Pustaka Pelajar. pihak yang membantu penelitian ini,
terimakasih pula kepada pembimbing tesis,
Salmoen, M.A. 1963. Kandaga
dan kepada penyunting Jurnal Lokabasa
Kasusastraan Sunda. Bandung:
yang berkenan memuat tulisan ini penulis
Ganaco.
mengucapkan terima kasih.
Stanton, R. 2012. Teori Fiksi Robert
Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.