Anda di halaman 1dari 12

96

SISTEM RELIGI MASYARAKAT BALI


DALAM NOVEL SUKRENI GADIS BALI KARYA A.A. PANDJI TISNA

Riza Fahmi
Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Negara Bali
riezaa87@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan realitas budaya masyarakat Bali dalam novel Sukreni Gadis Bali karya
A.A. Pandji Tisna yang dihubungkan dengan sistem religi. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi
sastra, jenis penelitian ini adalah kualitatif. Metode penelitian ini adalah deskriptif analisis. Sumber data dalam
penelitian in berupa novel Sukreni Gadis Bali karya A.A. Pandji Tisna. Data dalam penelitian ini berupa kata,
frase, atau kalimat yang berupa satuan cerita yang menggambarkan realitas budaya masyarakat Bali khususnya
dalam konteks sistem religi. Hasil penelitian ini berupa; Pertama, sistem religi/kepercayaan terhadap penjelmaan
Tuhan. Kedua, sistem kepercayaan masayarakat Bali terhadap Penjelmaan Ida Sanghyang Widhi Wasa sesuai
dengan fungsi dan tempat-Nya Berstana. Ketiga, sistem religi/kepercayaan terhadap hukum timbal-balik/
sebab-akibat (karmaphala). Keempat, kepercayaan masyarakat Bali tentang sekte-sekte Siwa yang berpengaruh
di pulau Bali.

Kata kunci: sistem religi, kepercayaan pada Tuhan, hukum timbal balik

Abstract: This study describes the reality of Balinese culture in the novel Sukreni Gadis Bali by AA Pandji
Tisna associated with the religion system. This descriptive, qualitative study uses anthropological approach
to literature. The source of data was the novel Sukreni Gadis Bali by AA Pandji Tisna. The data were the
units of story in the form of words, phrases, or sentences representing the reality of Balinese culture in the
context of the religion system. The results are: (1) the system of religion/belief in the incarnation of God; (2)
the Balinese belief system of the Incarnation Ida Trance Widhi Wasa in accordance with its function and place
of Berstana; (3) the system of religion/belief in the law of causality (karmaphala); and (4) Balinese belief in
the influential Siwa sects in Bali.

Key words: religion system, belief in God, causal law

PENDAHULUAN dilahirkan. Salah satu bagian karya sastra yang banyak


mengangkat realitas di dalam masyarakat adalah novel.
Karya sastra pada hakikatnya merupakan Dalam realitas masyarakat tersebut, terdapat
ungkapan dari apa yang telah disaksikan, didengarkan, relasi tertentu yang dapat menggambarkan realitas
dipelajari, dirasakan, dan direnungkan dalam kehidupan. sosial budaya masyarakat ketika karya sastra tersebut
Apa yang direnungkan dan dirasakan orang mengenai dilahirkan. Ahimsa-Putra (2003: 79) mengatakan
segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara bahwa karya sastra juga dapat diperlakukan sebagai
langsung dan merupakan suatu ungkapan kehidupan objek material, baik sebagai pintu masuk untuk
lewat bahasa (Hardjana, 1981: 10). memahami kebudayaan tertentu, atau sebagai salah
Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan, satu unsur dari kebudayaan yang sedang dipelajari.
sebagaimana dalam perkembangan sastra selalu Oleh karena itu, sastra merupakan bentuk tiruan
menghadirkan kehidupan di dalam masyarakat. Peristiwa kehidupan yang menggambarkan dan membahas
yang digambarkan dalam karya sastra bisa terjadi kehidupan dan segala macam pikiran manusia, lingkup
dalam kehidupan nyata maupun di luar alam nyata. sastra adalah masalah manusia, kehidupan dengan
Sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi yang segala perasaan, pikiran, dan pandangan
disampaikan melalui bahasa (Sugiarti, 2002: 1). Karya kehidupannya, salah satunya adalah kebudayaan.
sastra berfungsi menampilkan kembali realitas kehidupan Rusyana (2000: 7) mengatakan bahwa sastra
manusia agar manusia dapat mengidentifikasikan dirinya merupakan bagian dari kebudayaan yang sekaligus
dalam menciptakan kehidupan yang lebih bermakna menjadi pencerminanya yang sangat wajar dari
dan menggambarkan atau membahas kehidupan dengan keseluruhan kebudayaan itu. Karya sastra memuat
segala macam pikiran manusia, lingkup sastra adalah dan menyandang kenyataan kisah dan berita yang
masalah manusia, kehidupan dengan segala perasaan, merupakan representasi realitas yang pada dasarnya
pikiran dan pandangan kehidupan ketika sastra tersebut merupakan konstruksi sosial budaya sebagai hasil
96
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 1, Nomor 1, April 2015, hlm 96-107
97
kegiatan mental dan intelektual sastrawan yang hidup (6) sistem mata pencaharian hidup atau sistem
dan menjalani proses kehidupan yang tidak pernah ekonomi (berburu dan mengumpulkan makanan,
berakhir. bercocok tanam, peternakan, perikanan dan
Menurut Budianta (dalam Wellek dan Warren, perdagangan), dan (7) sistem peralatan hidup atau
1989: 282) bahwa realitas dalam novel merupakan teknologi (produksi, distribusi, transportasi, peralatan
suatu gambaran dari kehidupan dan perilaku yang komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah,
nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis. Karya pakaian, perhiasan, tempat berlindung/perumahan
sastra memuat dan menyandang kenyataan kisah dan senjata).
dan berita yang merupakan representasi realitas Dalam novel Sukreni Gadis Bali karya A.A.
yang pada dasarnya merupakan konstruksi sosial Pandji Tisna membahas realitas, khususnya
budaya sebagai hasil kegiatan mental dan intelektual kebudayaan suatu masyarakat, yakni masyarakat
sastrawan yang hidup dan menjalani proses kehidupan Bali. Realitas tersebut terwujud dalam bentuk sistem
yang tidak pernah berakhir. Novel sebagai salah satu religi dalam kebudayaan Bali. Masyarakat Bali
karya sastra tidak dapat dilepaskan dari realitas merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia.
sosial budaya di masyarakat. Dalam realitas Mayoritas tempat tinggal masyarakat Bali yang
masyarakat tersebut, terdapat relasi tertentu yang berjumlah 3.000.000 orang, kebanyakan tinggal di
dapat menggambarkan realitas sosial budaya komunitas desa yang padat dengan keluarga besar
masyarakat ketika karya sastra tersebut dila-hirkan. mereka. Kota terbesarnya adalah Denpasar dan
Realitas budaya di masyarakat merupakan sebagai Singaraja. Masyarakat Bali memiliki akar
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk kepercayaan yang kuat dan walaupun arus
sosial yang digunakannya untuk memahami dan kedatangan wisatawan dalam jumlah besar setiap
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta tahunnya, kebudayaan mereka masih sangat kental
menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu dan hidup. Agama mayoritasnya adalah Hindu
kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu Dharma, dan walaupun sebenarnya berasal dari
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang India, agama masyarakat Bali adalah perpaduan
penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan yang unik dari Hindu, Budha Jawa dan kepercayaan
pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan kuno yang hampir punah dan berbeda dari ajaran
melalui proses belajar dan dengan menggunakan Hindu yang dilakukan di India sekarang ini.
simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang (www.pambali.com). Adapun kebudayaan di Bali
terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai merujuk pada ajaran Tri Hita Karana yang berarti
peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, tiga penyebab kesejahteraan (manusia dengan tuhan,
setiap anggota masyarakat mempunyai suatu manusia dengan manusia dan manusia dengan alam).
pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang Sistem religi masyarakat Bali sangat kental sekali,
dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, dalam kehidupan sehari-hari adakalanya pengetahuan,
disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam
berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam
mereka hadapi tidak selamanya sama. sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan
Realitas kebudayaan di masyarakat mempunyai akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad
unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai
kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan
ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa itu, baik secara individual maupun hidup
di dunia. Menurut Koentjaraningrat (1980: 203-204), bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari
ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu (1) religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa
sistem religi (sistem kepercayaan, sistem nilai, alam semesta. Masyarakat Bali mempercayai bahwa
pandangan hidup, komunikasi keagamaan, dan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang
upacara keagamaan), (2) sistem kemasyarakatan menguasai semua alam semesta dengan segala
atau organisasi sosial (kekerabatan, asosiasi, sistem manifestasinya. Adapun ajaran ketuhanan masyarakat
kenegaraan, sistem kesatuan hidup, dan perkumpulan), Bali sesuai dengan kitab suci Veda/Weda.
(3) sistem pengetahuan (flora dan fauna, waktu, Masyarakat Bali sangat memegang teguh
ruang, bilangan, tubuh manusia dan perilaku antar kepercayan pada sistem religi. Kepercayaan pada
sesama manusia), (4) bahasa yaitu alat untuk Tuhan dalam masya-rakat Bali disebut dengan
berkomunikasi berbentuk lisan dan tulisan, (5) kesenian Brahman, yang mempunyai arti nama bagi Tuhan
(seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, yang wujud dengan sendirinya, Maha Esa dan Maha
vokal, musik, bangunan, kesusastraan dan drama), Kuasa yang bersifat azali. Masyarakat Bali menyebut

Fahmi, Sistem Religi Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A. Pandji Tisna
97
98
Tuhan dengan naman Shang Hyang Widi Wasa, Manggrua, yang bermakna meskipun berbeda
masyarakat Bali percaya bahwa Tuhan mereka namun tetap satu jua, tiada duanya. Pandangan ini
menjelma menjadi Dewa Matahari. Selain merupakan bantahan terhadap penilaian sementara
kepercayaan terhadap Tuhan, masyarakat Bali juga orang bahwa agama Hindu memuja banyak Tuhan.
masih memegang teguh kepercayaan terhadap hukum Sinar matahari telah mulai memanaskan isi
timbal balik (karmaphala) (karma: perbuatan, phala: alam. Burung bersiul dengan girang,
buah/hasil) yang memeng menjadi suatu keyakinan Sanghiang Surya (matahari) telah
dasar bagi setiap anggota masyarakat. Dalam ajaran menampakkan dirinya(C1, Sc32)
karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti
membuahkan hasil, baik atau buruk. Selain kedua hal Pada kutipan novel Sukreni Gadis Bali tersebut,
tersebut, sistem religi masyarakat Bali juga masih masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan
percaya tentang sekte-sekte Siwa yang berpengaruh berbagai nama namun yang dituju tetaplah satu,
di Bali. Hal ini didasari oleh keadaan masyarakat Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi
Bali yang memilih paham Siwaisme, karena menurut Wasa. Orang Bali menyebut Tuhan dengan nama
sastra agama Hindu di Bali sangat banyak Sanghyang Widhi melalui penyembahan kepada
diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Dalam bahasa Surya (Surya Sewana) sebanyak tiga kali dalam
yang sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah linggih sehari, dengan menggunakan alat-alat Bebali yaitu
dari Ida Bhatara Dalem sebagai dewa paling utama sesajen yang terdiri atas tiga unsur kehidupan berupa
(Dewa Siwa). air, api dan bunga harum. Hal tersebut, dipertegas
oleh Jero Mangku Dalem/Dalang I Wayan Suderen,
pada kutipan berikut ini.
METODE
Sanghyang Surya adalah Dewa Matahari
Penelitian ini menggunakan pendekatan dari manifestasi Sanghyang Widhi Wasa.
antropologi sastra, jenis penelitian ini adalah kualitatif. Sanghyang Surya sering disembah
Metode yang digunakan adalah deksriptif analisis. masyarakat Bali sebanyak tiga kali dalam
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel sehari, dengan menggunakan alat-alat bebali.
Sukreni Gadis Bali karya A.A. Pandji Tisna. Selain (N1, D2, Tg15, Bln6, Th2010)
itu, sumber data dalam penelitian ini adalah informan
yang masih tetap relevan terhadap kebudayaan Bali, Adapun, sifat tuhan dimanifestasikan dalam Tri
yaitu pemangku dan kelian desa adat (kepala Murti. Tri Murti itu terdiri dari Brahma, Wisnu dan
desa). Data dalam penelitian in berupa kata, frase, Siwa. Di dalam kitab Weda, kitab suci agama Hindu,
atau kalimat yang berupa satuan cerita yang Brahma adalah sifat Maha Kuasa Pencipta segalanya
menggambarkan realitas budaya masyarakat Bali yang ada di alam semesta ini, Wisnu adalah sifat
khususnya dalam konteks sistem religi. Teknik Maha Kuasa Penjaga/Pemelihara dari apa yang ada
pengumpulan data adalah dokumentasi dan di semesta ini, dan Siwa sifat Maha Kuasa Perusak/
wawancara. Analisis data dilakukan dengan Pemusnah.
mengklasifikasikan masing-masing kategori data, Sanghyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang
mendeskripsikan atau menafsirkan data, dan Maha Esa, sama seperti Islam. Sedangkan
menyimpulkan hasil penafsiran data. dewa-dewa yang sering disembah Masyarakat
Hindu di Bali adalah penjelmaannya: seperti
HASIL DAN PEMBAHASAN Dewa Matahari, Dewa Brahma, Dewa Wisnu
dan Dewa Siwa dan banyak lagi. (N1, D3,
Kepercayaan Terhadap Penjelmaan Tuhan
Tg15, Bln6, Th 2010).
Kepercayaan kepada Tuhan dalam agama Hindu
disebut Brahman. Kalimat Brahman dalam bahasa Di berbagai pura penganut agama Hindu
Hindu lama (Sanskerta) yaitu nama bagi Tuhan yang terdapat patung yang menggambarkan Tri Murti,
wujud dengan sendirinya, Maha Esa dan Maha yaitu: patung Brahma yang mempunyai empat muka
Kuasa yang bersifat azali. Masyarakat Bali menyebut dan empat tangan, tangan pertama memegang Weda,
Tuhan dengan nama Ida Sanghyang Widhi Wasa tangan yang kedua memegang sendok, tangan yang
dengan berbagai penjelamaannya. Salah satu ketiga memegang tasbih dan tangan yang keempat
penjelmaan Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah memegang bejana berisi air, sedangkan di sampingnya
sebagai Dewa Matahari (Surya Sewana). Di Bali terdapat patung Wisnu dan Siwa.
dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan Ibadat dan pemujaan tidaklah hanya dihadapkan
sebagai slogan lambang negara Indonesia, yaitu kepada Mahadewa Brahma, Wisnu dan Siwa, tetapi
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma lebih dahulu langsung kepada tenaga dan daya alam
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 1, Nomor 1, April 2015, hlm 96-107
99
yang dianggap sebagai dewa, yang langsung Pelaksanaan berbagai bentuk upacara
mempengaruhi kehidupan manusia. Tenaga dan persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang
kekuatan alam inilah yang sebenarnya dipuja. Nama Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau
dari masing-masing dewa itu adalah daya alam itu pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk atas
sendiri. dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan yadnya ini
1) Surya (Dewa Matahari) pada hakekatnya tidak terlepas dari Tri Hita Karana
2) Agni (Dewa Api Suci) dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan
manusia. Didukung dengan berbagai filosofi agama
3) Wayu (Dewa Angin)
sebagai titik tolak ajaran tentang ke-Mahakuasaan
4) Candra (Dewa Bulan) Tuhan, ajaran agama Hindu menggariskan
5) Waruna (Dewa Alam/Angkasa/Laut) pelaksanaan yadnya dalam lima bagian yang disebut
6) Marut (Dewa Badai/Topan) Panca Yadnya, antara lain.
7) Paryania (Dewa Hujan) 1) Dewa Yadnya
8) Acwin (Dewa Kembar atau Dewa Kesehatan)
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang
9) Usa (Dewa Fajar) Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini
10) Indra (Dewa Perang) umumnya dilaksanakan di berbagai pura, sanggah,
11) Wertra (Dewa Jahat) dan pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan
Keyakinan umat Hindu terhadap keberadaan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut
Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau sebagai Piodalan, Aci, atau Pujawali.
ada di mana-mana. Selain itu juga, di dalam diri 2) Pitra Yadnya
sendiri merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan
keterkaitan antara karma atau perbuatan dan phala
keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan,
atau akibat, yang menuntun prilaku manusia ke arah
memelihara, dan memberi warna dalam satu
Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika,
lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu
wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran,
di Bali meyakini bahwa ruh leluhur, orang tua dan
perkataan, dan perbuatan yang baik.
keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma
Umat Hindu percaya bahwa alam semesta beserta
yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan
segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi
karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang
dimanfaatkan guna kelangsungan hidup mereka. Oleh masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai
karena itu, tuntunan sastra agama Hindu mengajarkan upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut
agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan berlangsung dengan baik.
keharmonisannya yang dalam pemahamannya 3) Rsi Yadnya
diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai
tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu sebagai Persembahan dan penghormatan kepada para
berikut. (1) Hubungan manusia dengan Tuhan, sebagai bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah
atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu
yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam 4) Manusia/Manusa Yadnya
satu komunitas masyarakat Bali yang disebut desa
adat dapat dipastikan terdapat sarana parhyangan Suatu proses untuk memelihara, menghormati,
atau pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti
media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang
Ida Sang Hyang Widhi. (2) Hubungan manusia dengan manusia Bali, dilakukan berbagai prosesi sejak berada
alam lingkungannya, sebagai angga atau badan dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah,
tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara
wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu magedong-gedongan, otonan, pawiwahan, hingga
wilayah desa adat disebut sebagai Desa Pakraman. ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang
(3) Hubungan manusia dengan sesama manusia, termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah 5) Bhuta Yadnya
desa adat disebut sebagai krama desa atau warga
masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual
memadukan atma dan angga. terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta.

Fahmi, Sistem Religi Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A. Pandji Tisna
99
100
Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan Masyarakat Bali mempercayai bahwa Tri
alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, Murti mempunyai pasangan dengan berbagai
yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari akasa kekuasaannya. Dewa Brahma sebagai Dewa
(ruang hampa), bayu (udara), teja (panas), apah (zat Pencipta berpasangan dengan Dewi
cair), dan pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki Saraswati yang menurunkan ilmu. Dewa
kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang Wisnu sebagai Dewa Pemelihara berpasangan
wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk dengan Dewi Sri atau Dewi Padi yang
hidup lainnya (binatang dan tumbuhan). Panca Maha melambangkan kesuburan, putrinya adalah
Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak Dewi Melanting yang melambangkan rezeki.
dikendalikan dan tidak dipelihara akan menimbulkan Dewa Siwa sebagai Dewa Penghancur
bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta. berpasangan dengan Dewi Durgha penguasa
Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang kuburan. (N1, D34, Tg15, Bln6, Th2010)
membuat upacara Bhuta Yadnya sering dilakukan Pada kutipan tersebut, Jero Mangku Dalem/
oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara Dalang I Wayan Suderen menegaskan masing-masing
berkala. Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari Tri Murti memiliki sakti (pasangan) sebagai lambang
upacara Masegeh berupa upacara kecil dilakukan penyatuan Purusha Pardana (bertemunya asas
setiap hari hingga upacara Caru dan Tawur ruh dan asas bendani) yang melambanagkan filsafat
Agung yang dilakukan secara berkala pada hitungan penciptaan. Dewa Brahma ber-sakti dengan Dewi
wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada Saraswati. Dewi Saraswati menurunkan ilmu
hitungan ratusan tahun. pengetahuan yang kemudian dilambangkan ke dalam
hari Saraswati (hari turunnya ilmu pengetahuan).
Kepercayaan Masyarakat Bali Tentang Penjelmaan Ida
Sanghyang Widhi Wasa Sesuai Dengan Fungsi dan Dewa Wisnu ber-sakti dengan Dewi Sri yang
Tempat-Nya Berstana. melambangkan kesuburan, putrinya adalah Dewi
Melanting yang melambangkan rezeki. Maka dari itu
Mengapa tidak Tuan Chatterjee? Batara Wisnu masyarakat Bali yang bekerja sebagai petani
yang terlebih dipujikan sesudah Siwa. Istri cenderung memuja Dewi Sri sebagai lambang
Batara itu, Batara Sri amat dijunjung orang, kesuburan dengan aktifitasnya, dan masyarakat petani
karena ia Dewi Padi. Ananknya, Dewi sering menyebut Dewi Sri sebagai Dewi Padi,
Melanting dijadikan sembah-sembahan di sedangkan para pedagang cenderung memuja Dewi
kebun, di pasar, di mana orang mengerjakan Melanting yang mendatangkan rezeki juga sesuai
pekerjaan yang bersangkutpaut dengan dengan aktivitasnya. Dewa Siwa ber-sakti dengan
tanam-tanaman. Dan sengguhu ialah pangkat Dewi Durgha penguasa kuburan, Dewa Siwa
upacara agama Wisnu (C8, Sc15) dilambangkan dengan udara atau angin. Akan tetapi,
Masyarakat Bali mempercayai bahwa Ida kekuatan akan kekuasaan Pralina-Nya adalah Sang
Sanghyang Widhi Wasa mempunyai banyak Kala: (waktu). Sang Kala melambangkan bagaimana
penjelmaan. Hal tersebut terbukti, banyaknya mengerikannya sang waktu itu jika tidak dimanfaatkan
lambang yang digunakan di dalam ritual-ritual sebaik-baiknya, karena waktu tidak akan pernah
keagamaan maupun aktifitas keseharian masyarakat menunggu manusia.
Bali, menjadikan masyarakat Bali dan lambang- Dalam hubungannya dengan sembah bhakti
lambang tertentu sebagai saling terintegrasi. Pada (pemujaan) kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
prinsipnya, lambang dalam setiap aktifitas ritual sebaiknya diketahui nama atau julukan-Nya selain
keagamaan merupakan pengejawantahan konsep Tri Murti serta saktinya yang tersebut di atas.
Kekuatan Ilahi sebagai mencipta, memelihara, Karena kemahakuasaan Beliau sebagai Pencipta,
meleburkan (Upatti,Shitti,Pralaya). Upatti Pemelihara dan Pelebur,beliau disebut dengan banyak
merupakan kekuatan ilahi Dewa Brahma, karena nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau
itu dia adalah sebagai Dewa Pencipta, Shitti berstana.
merupakan kekuatan ilahi Dewa Wisnu yang sering Ida Sanghyang Widhi Wasa ketika berstana di
disebut sebagai Dewa Pemelihara, dan Pralina/ Pura Puseh, maka namanya Sanghyang Triyodasa
Pralaya adalah kekuatan ilahi Dewa Siwa yang Sakti. Ketika ber-stana di Pura Desa, maka namanya
sering disebut sebagai Dewa Pelebur/Pengakhir Sanghyang Tri Upasedhana. Di Pura Bale Agung,
segala sesuatu. Semua ini dilambangkan dalam dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati. Di perempatan
konsep Tri Murti (Dewa Brahma, Dewa Wisnu, jalan raya dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana.
dan Dewa Siwa). Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya disebut

KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 1, Nomor 1, April 2015, hlm 96-107
101
dengan Sanghyang Sapu Jagat. Ida Sanghyang dapat melebihi Beliau, Sehingga disebut dengan
Widhi Wasa ketika berstana di kuburan atau setra Sanghyang Pamutering Jagat.
agung beliau dipuja dengan nama Bathara Dhurga.
Kepercayaan Umat Bali terhadap Hukum Timbal-Balik/
Ketika berstana di tunon atau pemuwunan (tempat
Sebab-Akibat (Karmaphala)
pembakaran mayat), maka beliau dipuja sebagai
Sanghyang Bherawi. Ketika beliau dipuja di Pura Agama Hindu di Bali mengenal hukum sebab-
Pengulun Setra, maka beliau dinamakan Sanghyang akibat yang disebut karmaphala (karma: perbuatan,
Mrajapati. Di laut, Ida Sanghyang Widhi Wasa dipuja phala: buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan
dengan sebutan Sangyang Mutering Bhuwana. Pergi dasar. Dalam ajaran karmaphala, setiap perbuatan
dari laut kemudian menuju langit, Ida Sanghyang manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk.
Widhi Wasa dapat dipuja dengan sebutan Bhuwana Ajaran karmaphala sangat erat kaitannya dengan
Taskarapati. Taskara adalah surya atau matahari, keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran
sedangkan Pati adalah wulan atau bulan. karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun
Kemudian ketika beliau berstana di Gunung Agung duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu
dinamakan beliau Sanghyang Giri Putri. Giri adalah sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani
gunung, putri adalah putra atau anak, yakni putra hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia
dari Bhatara Guru yang ber-stana di Sanggar menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran
Penataran, Panti Parahyangan semuanya, dan tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib
berkuasa pada seluruh parahyangan. Pergi dari yang akan ia jalani sementara Tuhan yang
Gunung Agung kemudian berstana beliau di Gunung menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa
Lebah, maka sebutan beliau adalah Dewi Danu. hidup maupun setelah reinkarnasi). Hukum karma
Ketika beliau berstana di panca tirtha atau pancuran sebagai bagian dari Hindu Dharma, berlaku bagi
air, maka beliau bernama Sanghyang Gayatri. Dari siapa dan apa saja. Tidak ada perkecualian dalam
pancuran, kemudian menuju ke jurang atau aliran karma, siapa yang menabur akan menuai (sapa
sungai, maka beliau kemudian dipuja dengan sebutan nandur bakal ngunduh, ngunduh wohing
Betari Gangga. Ida Sanghyang Widhi Wasa ketika pakarti). Hukum karma ini menimbulkan samsara,
berstana di sawah sebagai pengayom para petani yaitu lingkaran yang merangkaikan, hidup, mati, lahir
dan semua yang ada disawah, maka beliau dipuja kembali, hidup lagi, mati lagi dan seterusnya, di
dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau dalam hidup yang baru itu keadaan manusia
lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari bergantung kepada sifat dan perbuatannya dalam
Sri. Kemudian di dalam bejana atau tempat beras hidupnya yang telah lalu. Jika orang berbuat baik,
(pulu), Ida Sanghyang Widhi Wasa dipuja dengan orang itu akan dibalasi kebaikan dalam hidupnya
Sanghyang Pawitra Saraswati. Di dalam periuk yang akan datang, dan jika orang berbuat jahat dia
tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut akan celaka dalam hidupnya yang kemudian. Hal
Sanghyang Tri Merta. tersebut, dipertegas oleh Jero Mangku Dalem/Dalang
Kemudian di Sanggar Kemimitan (Kemulan) I Wayan Suderen, pada kutipan berikut ini.
yaitu tempat suci keluarga, Ida Sanghyang Widhi Oh itu takut kena karma, di Bali disebut
Wasa dipuja sebagai Sanghyang Aku Catur Bhoga. karamaphala hukum sebab akibat, siapa
Aku berwujud laki, dan perempuan, menjadilah aku yang melakukan dia yang menerima hasilnya.
manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh (N1, D16, Tg15, Bln6, Th2010)
atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar parhyangan
Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan,
stana-Nya, disebut pula beliau dengan Sanghyang disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau
Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah yakni salah, disadari atau tidak disadari, semuanya itu
Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah disebut karma. Ditinjau dari segi ethimologinya, kata
Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan Tengah adalah karma berasal dari kata Kr (Bahasa Sansekerta),
dirinya atau raganya yakni ruh suci yang menjadi ibu yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut hukum
dan ayah, nantinya kembali pulang ke Pura Dalem sebab akibat, maka segala sebab pasti akan membuat
menjadi Sanghyang Tunggal. akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau
Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah Sanghyang perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau
Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, phala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut
rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah Beliau dengan hukum karmaphala, Karma phala ika
sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, palaing gawe hala ayu, artinya karmaphala
memelihara alam semesta ini, dan penguasa kematian, adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan
dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang atau karma.

Fahmi, Sistem Religi Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A. Pandji Tisna
101
102
Karmaphala adalah konsep dasar dalam ajaran- atau dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan tidak
ajaran agama Hindu Dharma. Berakar dari dua kata berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya
yaitu karma dan phala. Karma berarti perbuatan/ dapat ditaklukkan dengan cara mengikuti alur
aksi, dan phala berarti buah/hasil. Karma phala kerjanya, diiringi dengan keihklasan yang dalam.
berarti buah dari perbuatan yang telah dilakukan Benar sekali terkamu. Ya, karena itulah. Jika ia
atau yang akan dilakukan. Karmaphala memberi kemari, terharulah hatinya melihat kedai ini.
optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua Engkau tahu, beberapa hari yang lalu aku
makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan menerima surat daripadanya, ia melarang aku
akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Apapun dan engkau makan di kedai ini. Tetapi,
yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita supaya jangan tampak perubahan, aku
terima, yang menerima adalah yang berbuat, bukan hendak berbuat perlahan-lahan. Siapa tahu
orang lain. Karmaphala adalah sebuah hukum jika kita pindah makan dengan tergesa-gesa
universal bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan dari sini, tak baik jadinya pada diri kita
hasil. Dalam konsep Hindu, berbuat itu terdiri atas kelak, bisik I Mujana.( C7, Sc14)
perbuatan melalui pikiran, perbuatan melalui
perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku. Pada kutipan novel Sukreni Gadis Bali tersebut,
Ketiganya yang akan mendatangkan hasil bagi yang masyarakat Bali mempercayai karmaphala. Adapun,
berbuat. Kalau perbuatannya baik, hasilnya pasti karmaphala dapat digolongkan menjadi tiga macam
baik, demikian pula sebaliknya. sesuai dengan saat dan kesempatan (berdasarkan
Hukum karma ini sesungguhnya sangat waktunya) dalam menerima hasilnya, yaitu sancita
berpengaruh terhadap baik buruknya segala makhluk, karmaphala, prarabdha karmaphala, dan
sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya kriyamana karmaphala.
yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat 1) Sancita karmaphala (phala/hasil yang diterima
menentukan seseorang itu hidup bahagia atau pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di
menderita lahir batin. Jadi setiap orang berbuat baik kehidupan sebelumnya).
(subha karma), pasti akan menerima hasil dari 2) Prarabdha karmaphala/karmaphala ci cih
perbuatan baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, (karma/perbuatan yang dilakukan pada kehidupan
setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri saat ini dan phalanya akan diterima pada
tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima. kehidupan saat ini juga).
Phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu
3) Kriyamana karmaphala (karma/per-buatan
langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Tangan
yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun
yang menyentuh es akan seketika dingin, namun
phalanya akan dinikmati pada kehidupan yang
menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk
akan datang).
bisa memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan
meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada Adanya penderitaan dalam kehidupan ini
bekas dalam angan dan ada yang abstrak. Oleh walaupun seseorang selalu berbuat baik, hal itu
karena itu, hasil perbuatan yang tidak sempat disebabkan oleh karmanya yang lalu (sancita
dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan karmaphala), terutama yang buruk yang harus
sekarang maka akan ia terima setelah di akhirat dinikmati hasilnya sekarang, karena pada kelahirannya
kelak dan ada kalanya pula akan dinikmati pada terdahulu belum habis diterimanya. Sebaliknya
kehidupan yang akan datang. seseorang yang berbuat buruk pada kehidupannya
Sifat hukum karmaphala, antara lain: sekarang dan nampaknya hidup bahagia, hal itu
(1) abadi, keberadaan hukum ini dimulai pada saat disebabkan karena sancita karmanya yang dahulu
alam semesta ini ada dan akan berakhir pada saat baik, namun nantinya juga harus menerima hasil
Pralaya (kiamat), (2) universal, hukum ini berlaku perbuatannya yang buruk yang dilakukan pada masa
pada setiap ciptaan Tuhan di mana pun berada, kehidupannya sekarang ini. Hal tersebut, dipertegas
bagaimanapun wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku oleh Jero Mangku Dalem/Dalang I Wayan Suderen,
baginya, mempercayai atau tidak mempercayai pada kutipan berikut ini.
keberadaan hukum ini, jika masih berada di alam
Di Bali tuh karmaphala ada tiga: sancita
semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya,
karmaphala, hasil yang diterima pada
(3) berlaku sepanjang zaman, pada zaman apa
kehidupan sekarang atas perbuatannya di
pun hukum ini tetap berlaku dan tidak mengalami
kehidupan yang dulu, prarabdha karmaphala
perubahan, (4) sempurna, karena kesempurnaannya,
perbuatan yang dilakukan pada kehidupan
kerja hukum ini tak dapat diganggu-gugat, diubah

KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 1, Nomor 1, April 2015, hlm 96-107
103
saat ini, diterima saat ini juga dan kriyamana Berdasarkan kebenaran: dengan faktor ini,
karmaphala perbuatan yang dilakukan pada karma dibagi menjadi sat karma, dush karma, dan
kehidupan saat ini, namun hasilnya diterima mirsa karma. Pertama, sat karma adalah karma
pada saat reinkarnasi kehidupan yang akan yang dilaksanakan dengan dasar dharma
datang. ( N1, D16, Tg15, Bln6, Th2010) (kebenaran). Semua perbuatan yang berlandaskan
dharma dianggap sebagai sat karma. Kedua, dush
Berdasarkan unsur Triguna, terdiri atas
karma adalah kebalikan dari sat karma disebut
unsur satwah, rajah, dan tamah. Ketiganya masing-
dush karma. Dasar perbuatan dush karma adalah
masing membentuk wikarma, sahaja karma, dan
yang bertentangan dengan dharma. Ketiga, misra
akarma.
karma adalah campuran antara sat karma dan dush
1) Wikarma adalah karma yang dihasilkan dari karma disebut mirsa karma. Manusia pada saat ini,
guna satwah, yang sifatnya satwik. Satwah umumnya melakukan atau menerima hasil karma
adalah sifat-sifat dalam diri manusia yang ini. Umumnya manusia kini melakukan keduanya.
dipengaruhi secara kuat oleh Dharma. Yang Tidak ada yang 100 % jahat, atau 100 % baik.
dapat digolongkan dalam karma yang wikarma Sejahat-jahatnya perampok, selama hidupnya ia pasti
antara lain: berkata yang benar dan lemah lembut, pernah berbuat baik. Semua hasil perbuatan ini akan
bekerja dengan teliti, tenang; berpikir yang benar kembali kepadanya. Hasil perbuatan baik atau hasil
dan jernih, dan sebagainya. perbuatan buruknya, hanya dialah yang akan
2) Sahaja karma, karma ini dihasilkan dengan menerimanya, bukan orang lain. Kalau yang lebih
guna rajah, sifatnya disebut rajasik. Sifat ini banyak adalah perbuatan buruknya, maka setelah
mengarahkan dan mempengaruhi manusia meninggal ia akan menerima hasil perbuatan baiknya
sehingga penuh gairah keinginan, terburu-buru, terlebih dahulu, kemudian baru menerima hasil
kurang sabar, dan sebagainya. Bila manusia perbuatan buruknya. Kalau sebaliknya, lebih banyak
melakukan berbagai kegiatan dengan sifat-sifat perbuatan baiknya, justru ia akan menerima hasil
rajasik ini, itulah yang dinamakan sahaja perbuatan buruknya terlebih dahulu, baru kemudian
karma. hasil perbuatan baiknya yang dinikmatinya. Jadi tidak
3) Akarma, sifat tamasik yang mempengaruhi ada perbuatan yang sia-sia atau yang tidak dipetik
manusia untuk menghasilkan akarma. Tamasik hasilnya menurut hukum karma ini. Tidak ada neraka
bisa disejajarkan dengan kemalasan. Kadang- abadi bagi manusia, bagi manusia jahat sekalipun.
kadang akarma dikatakan sebagai tidak berbuat. Sebaliknya, tidak ada juga surga abadi. Karena
Arti ini tidak sepenuhnya benar. Tidak ada surga dan neraka hanya persinggahan sang atman,
manusia yang benar-benar tidak berbuat sama untuk menentukan Baju atau badan lain yang
sekali. Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum cocok dengan hasil karmanya.
karma ini untuk berbuat dan berbuat, walau Berdasarkan Tri Sarira, adalah tiga jenis
dalam bentuk yang sangat pasif. Dalam diam badan manusia, yakni stula sarira/badan kasar atau
pun manusia berbuat, paling tidak manah atau fisik (tangan, kaki, kepala, dan sebagainya), suksma
pikirannya yang berkelana. sarira atau badan mental, dan badan penyebab
(karana sarira).
Berdasarkan kesucian, atas dasar kesucian 1) Karma fisik, jenis karma ini berakibat pada
perbuatan, karma dibagi menjadi subha karma dan badan fisik manusia, misalnya saja makan yang
asubha karma. Pertama, subha karma, subha kurang teratur akan menyebabkan tubuh sakit.
artinya suci, jadi subha karma adalah perbuatan 2) Karma mental, badan mental manusia akan kena
yang suci, perbuatan baik. Pikiran yang penuh pengaruh karma ini. Senantiasa berpikir baik
kedamaian, hati yang penuh rasa kasih sayang, akan dan positif akan berakibat pada ketenangan diri,
menghasilkan ucapan, perkataan, dan tindakan yang kebahagiaan, kedamaian, kegembiraan, rasa
similar, sejajar, dan searah dengan itu. Konsep karma optimis dan seterusnya.
memang menyangkut ketiganya (pikir, ucapan, dan
3) Karma astral/karana sarira, adalah karma
tindakan). Kedua, asubha karma: huruf a di depan
yang berasal atau berakibat pada perasaan,
kata subha membuat makna penyangkalan. Dengan
misalnya saja ucapan yang lemah lembut akan
penyangkalan, muncul makna sebaliknya dari yang di
berakibat pada perasaan yang akan menjadi
atas. Perbuatan-perbuatan yang didasari kegelisahan,
senang. Atau berbicara tentang makanan enak
kebencian, kekerasan, amarah, dan sebagainya,
pada siang hari akan berakibat pada timbulnya
dikategorikan sebagai asubha karma.
rasa lapar, dan sebagainya.

Fahmi, Sistem Religi Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A. Pandji Tisna
103
104
Berdasarkan hasilnya, phala atau buah atau kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah
hasil suatu karma dibedakan atas dua jenis, yaitu lampau. Namun kita harus sadar pula bahwa suatu
vishaya (wishaya) karma, dan sreyo karma. saat penderitaan itu akan berakhir asal kita selalu
Pertama, wishaya karma, disebut juga karma yang berusaha untuk berbuat baik. Perbuatan baik yang
mengikat. Keterikatan akan hasil perbuatan adalah dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan
wishaya karma. Melakukan suatu perbuatan karena baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
ingin memperoleh imbalan, atau ada pamrih di balik Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih
perbuatannya. Jika diperkirakan tidak ada hasil atau menyesali orang lain karena mengalami
baginya, maka tidaklah ia melakukannya. penderitaan dan tidak perlu sombong karena
Ketergantungan kepada hasil perbuatan inilah yang mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil
dikatakan wishaya. Kedua, sreyo karma adalah karma. Satu hal yang perlu diingat, bahwa hukum
membebaskan diri dari ikatan terhadap hasil karmaphala itu tidak terlepas dari kekuasaan Hyang
perbuatan. Kegiatan yang dilakukan dengan tanpa Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah
berharap akan hasilnya bukan berarti kerja dengan yang menentukan phala dari karma seseorang.
asal-asalan. Prosesnya tetap diletakkan pada Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan
pelaksanaan penuh kompetensi. Bila dilaksanakan hukum karma. Asing sagawenya dadi manusa,
dengan kompetensi penuh, lalu ditambah lagi dengan ya ta mingetaken de Bhetara Widhi, apan sira
keikhlasan dan tanpa berharap hasil bagi diri sendiri, pinaka paracaya Bhatara ring cubhacubha
niscayalah pada pelaksanaannya saja sudah karmaning janma, Artinya: segala (apa) yang
mendatangkan kebahagiaan. Bila mendatangkan diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia,
kebahagiaan, apalagi saat pelak-sanaannya sudah (semua) itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan
dirasakan, maka karma itu dikatakan atmananda. Yang Maha Esa), karena Dia sebagai saksi (dari)
Seperti pada awal tulisan ini dikatakan bahwa antara baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia.
perbuatan dan hasilnya tidak dapat dipisahkan, bagai Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan
dua sisi mata uang. Tanpa diharapkan pun hasil itu membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang
akan datang. Cepat atau lambat, hal itu pasti adanya. ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak, yakni setelah
Oleh karena itu, bahwa cepat atau lambat, dalam atman dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah
kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula
itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan dalam penjelmaan yang akan datang, yaitu setelah
hukum perbuatan. Di dalam Weda menyatakan atman dengan suksma sarira memasuki badan atau
Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang wadah yang baru. Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
telah dilakukan di dunia ini. Orang akan mengecap Esa) akan menghukum atman (ruh) yang berbuat
akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran dosa dan merah mati atman (ruh) seseorang yang
nanti, apakah akibat yang baik atau yang buruk. Apa berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang
saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya dijatuhkan oleh Hyang Widhi ini bersendikan pada
semuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah keadilan.
seperti periuk yang diisi kemenyan, walaupun Pengaruh hukum karma, yang menentukan corak
kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini
bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak
kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada
disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma atman (ruh) yang selalu melakukan dosa semasa
wasana. ia ada pada atman. Ia melekat pada-Nya penelmaannya, maka derajatnya akan semakin
dan mewarnai atman. bertambah merosot, Dewanam narakam
Ada penyakit tentu ada penyebabnya, demikian janturjantunam narakam pacuh, Pucunam
pula penderitaan itu, pasti ada sebab musababnya. narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau penderita Paksinam narakam vyalo vyanam narakam
tersebut pasti dapat di atasi. Seseorang tidak bisa damstri, Dam strinam narakam visi visinam narama
menghindari hasil perbuatannya, apakah baik ataupun rane. Artinya: dewa neraka (menjelma) menjadi
buruk, sehingga seseorang tidak boleh iri jika melihat manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak.
orang lain hidupnya bahagia atau lebih baik. Demikian Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka
pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular
nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat
tanggung jawabnya. Ini harus disadari, bahwa menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan
penderitaan di saat ini adalah akibat dari perbuatan manusia. Demikianlah kenerakaan yang dialami oleh

KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 1, Nomor 1, April 2015, hlm 96-107
105
atman (ruh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa di Bali untuk dan umat Hindu secara umum maupun
penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah di kalangan orang suci (pandita atau sulinggih).
sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu
ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah di Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran
neraka. Hindu yang eksis sampai kini di Pulau Bali.
Sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah
Kepercayaan Masyarakat Bali tentang Sekte- abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi,
sekte Siwa yang Berpengaruh di Pulau Bali Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa,
dan Sogatha. Di antara sekte-sekte tersebut, yang
Masyarakat Bali memilih paham Siwaisme, paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa
karena menurut sastra agama Hindu di Bali sangat Sidhanta. Hal tersebut, dapat dilihat pada kutipan
banyak diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Dalam novel Sukreni Gadis Bali, berikut ini.
bahasa yang sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah Jadi kaum Pasupata tidak ada tampak lagi
linggih dari Ida Bhatara Dalem sebagai dewa paling di Bali? Tanya orang asing itu kepada anak
utama (Dewa Siwa). Salah satu sastra agama yang muda itu. (C8, Sc4)
menyebutkan hal demikian adalah Lontar Tutur Gong Tidak terang, tuan. Cuma Siwa Sidanta yang
Besi. Lontar adalah daun pohon lontar, tutur adalah dipujikan orang jawab anak muda itu. Segala
petunjuk, sedangkan Gong Besi adalah nama dari pedanda kaum Siwa belaka (C8, Sc5)
sebuah kitab suci Agama Hindu .
Gong Besi termasuk kelompok naskah yang Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar
memuat ajaran Siwaisme. Di dalam naskah ini, Bhuanakosa. Sekte Siwa memiliki cabang yang
disebutkan bahwa Bhatara Dalem (Dewa Siwa) banyak, antara lain Pasupata, Sora, Bhairawa,
patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus Waisnawa, dan Siwa Sidhanta yang paling besar
ikhlas. Dalam setiap pemujaannya, Ida Bhatara Dalem pengikutnya di Bali. Kata Sidhanta berarti inti atau
dapat dihadirkan Utpeti Puja), distanakan Stiti kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan
Puja dan dikembalikan Pralina Puja. atau inti dari ajaran Siwa. Siwa Sidhanta ini
Persembahan bakti yang utama kehadapan Ida megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha,
Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma,
Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai
kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan
dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-
mencapai Surgaloka atau Siwaloka. Surgaloka
dewa itu tidak lain dari manifestasi Sanghyang Widhi
artinya kebahagiaan lahir batin pada tempat yang
Wasa. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di
abadi. Siwaloka artinya istana atau stana Dewa
India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian
Siwa sebagai manifestasi dari Tuhan. Surgaloka/
disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi
Siwaloka artinya mendapat kebahagiaan lahir batin
Agastya kemudian menyebar ke Pulau Bali. Adapun
pada tempat yang abadi di sisi Tuhan.
inti sari dari paham Siwa Sidhanta adalah Dewa
Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau
Siwa sebagai realitas tertinggi, jiwa atau ruh pribadi
Dewa Siwa itu sendiri sebagai sebutan Ida Sanghayng
adalah intisari yang sama dengan Siwa, walaupun
Widhi Wasa dengan segala penjelmaan/manifestasi-
tidak identik. Siwaisme dalam sekte Siwa Sidhanta
Nya. Dengan segala kemahakuasaan yang mencakup sangat taat dengan inti ajaran Wedanta. Hal tersebut,
masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. dipertegas oleh Jero Mangku Dalem/Dalang I Wayan
Sebagai pemuja atau penyembah yang taat akan Suderen, pada kutipan berikut ini.
menyebut-Nya dengan banyak nama sesuai dengan
Itu namanya sekte, tapi saya lupa sekkte-
fungsi dan juga dimana beliau dipuja. Demikian
sektenya. Soalnya kebanyakan di sini sekte
disebutkan dalam Tutur Gong Besi.
Siwa Shidanta. Kami menganut siwaisme dan
Siwaisme yang eksis di Bali adalah bersumber
sektenya Siwa Shidanta, karena Siwa Shidanta
dari salah satu sastra Hindu bernama Buana Kosa.
itu kesimpulan dari ajaran Siwa. (N1, D26,
Buana Kosa merupakan naskah tradisional Bali
Tg15, Bln6, Th2010)
khususnya salah satu sumber pembangkit spiritual
umat Hindu di Bali khususnya dan Indonesia Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja
umumnya. Karena Buana Kosa merupakan intisari Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas
ajaran Weda yang isinya kaya dengan Siwaisme, dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte
terutama Siwa Siddhanta yang berkembang pesat Pasupata dengan menggunakan lingga sebagai
di Bali dan India Selatan. Buana Kosa dikatakan simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa.
sebagai sumber suci pembangkit spiritual umat Hindu Jadi penyembahan lingga sebagai lambang Siwa

Fahmi, Sistem Religi Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A. Pandji Tisna
105
106
merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan.
sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan
pemujaan lingga. Di beberapa tempat terutama pada pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti:
pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan
jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak
yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat patung Ganesha dipindahkan dari tempatnya yang
sederhana, sehingga merupakan lingga semu. terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan.
Akibatnya, patung Ganesha itu tak lagi mendapat
Sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan
pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama
petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang
dengan patung-patung dewa lain.
pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja
pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan
kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan
dipandang sebagai Dewi Padi yang merupakan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di
keperluan hidup yang utama. tiap Desa Pakraman di Bali merupakan pengaruh
Sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu
dengan adanya penemuan mantra Bhuda Tipeyete Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte
Mentra dalam tanah liat yang tersimpan dalam Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara
stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan
Pejeng, Gianyar. Mantra Budha aliran Mahayana (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi.
diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam
Masehi, terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup
di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah
Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari
Sekte Brahmana, seluruhnya telah luluh dengan Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri
Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma
Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan
Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, dari Jawa Timur. antara lain Mpu Kuturan. Mpu
Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi
Dharmasastra merupakan produk dari sekte penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga
Brahmana. dikenal sebagai Senapati Kuturan. Seperti telah
Sekte Rsi di Bali, bahwa di Bali, Rsi adalah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami
seorang Dwijati yang bukan berasal dari wangsa istri Dharma. Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak
(golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai
pada orang Hindu merupakan orang suci di antara sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup
raja-raja dari wangsa Ksatria. berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru
Sekte Sora, pemujaan terhadap Surya sebagai sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi
Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat
satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan
Dewa Matahari yang disebut Surya Sewana dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada
dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu.
terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang
lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang
terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan
lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri
pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang Sadaka dan Kahyangan Tiga.
memberikan persaksian bahwa seseorang telah Tri Sadhaka adalah tiga orang suci yang nampak
melakukan yadnya. di bumi ini untuk memimpin umat manusia. Kata
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Sadhaka artinya orang yang mampu melakukan
Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan
terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal
baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada yang dari kata sadhana yang artinya kegiatan
berbahan batu padas atau dari logam yang biasanya merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah
tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa berhasil barulah disebut sadhaka, dalam Lontar
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 1, Nomor 1, April 2015, hlm 96-107
107
Ekapratama berbunyi bahwa keberadaan tiga pandita KESIMPULAN
Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai
ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia Realitas budaya masyarakat Bali khususnya dalam
memelihara kelestarian tiga lapisan Bhuwana ini konteks sistem religi pada novel Sukreni Gadis Bali
yaitu bhur, bhuwah dan swahloka. Kepercayaan karya A.A. Pandji Tisna, secara keseluruhan dapat
masyarakat Bali akan bhuwana agung digambarkan antara lain kepercayaan masyarakat Bali
(makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos), terhadap penjelmaan Tuhan Ida Sanghyang Widhi
kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki Wasa sebagai Dewa Matahari, penjelmaan-Nya sesuai
atau berurutan seperti (1) swah, alam semesta, dengan fungsi dan tempat-Nya berstana, kepercayaan
tempat bersemayamnya para dewa atau disebut juga umat Bali terhadap hukum timbal-balik/sebab-akibat
alam Sanghyang Widhi Wasa, (2) bwah, alam manusia (karmaphala), salah satunya karmaphala cicih/cepat
dan kehidupan kese-harian yang penuh dengan godaan (perbuatan yang dilakukan saat ini dan hasilnya diterima
duniawi, yang berhubungan dengan materialisme, saat ini juga), sekte-sekte Siwa yang berpengaruh di
dan (3) bhur, alam nista yang menjadi simbolis pulau Bali dan sekte yang paling banyak dianut adalah
keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda sekte Siwa Sidhanta.
manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
DAFTAR PUSTAKA
Di Bali itu ada tiga pedanda, yaitu Siwa,
Boda dan Bujangga Waisnawa. Mereka Ahimsa, Putra & Heddy Shri. 2003. Dari
kerjanya sama mengajarkan agama Hindu, Antropologi Budaya ke Sastra, dan
cuma beda di ritualnya saja. Kalau Pedanda Sebaliknya dalam (penyunting) Sirojuddin
Bujangga untuk alam bawah seperti ruh Arif. Sastra Interdisipliner Menyanding Sastra
halus dan manusia, Boda untuk alam tengah dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.
seperti atmosfir dan alam dewa, dan Siwa Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra; Sebuah
untuk alam tuhan. (N1, D27, Tg1 5, Bln 6, Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Th2010)
Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Antropologi.
Pada kutipan tersebut, Jero Mangku Dalem/ Jakarta: Aksara Baru.
Dalang I Wayan Suderen menegaskan bahwa di Bali Rusyana, Yus. 2000. Memperlakukan Sastra
ada tiga pedanda yang mengurus Bhuwana. Tiga Berbahasa Indonesia dan Sastra Berbahasa
pandita/pedanda inilah yang disebut oleh masyarakat Daerah sebagai Assatra Milik Nasional dalam
umum Tri Shadaka, antara lain (1) Pandita Siwa (ed.) Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie.
memuja untuk memohon kepada tuhan agar umat Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan.
dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat Surakarta: Muhammdiyah Universty Pres.
mengotori akasa, (2) Pandita Budha memuja untuk
Sugiarti. 2002. Pengetahuan dan Kajian Prosa
memohon kepada tuhan demi kebersihan lapisan
Fiksi. Malang: UMM Press.
atmosfir, Sedangkan (3) Pandita Bujangga memuja
tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani. Wellek, Renne & Austin Warren. 1989. Terjemahan
Semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem Melani Budianta. Teori Kesusastraan. Jakarta:
pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan PT. Gramedia.
Tiga: Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa
Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa
Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja
Dewa Siwa. Kahyangan Tiga ini ada di setiap
Desa Pakraman, baik dalam bentuk pura atau
tempat suci, tiga dewa utama itu yang disembah
sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai
pencipta, pemelihara dan perehabilitasi, namun dalam
praktik ritual dan pemujaan berbagai figur Ista
Dewata (dewa yang dimuliakan) masing-masing
sekte semuanya dipuja. Misalnya, menyembah Dewa
Surya dalam acara Kramaning Sembah atau
Nyurya Sewana para sulinggih setiap pagi.
Demikian juga Ganesha dipuja dalam upacara
pecaruan sebagai dewa penghancur semua halangan.

Fahmi, Sistem Religi Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A. Pandji Tisna
107

Anda mungkin juga menyukai