Anda di halaman 1dari 12

Vol. 03, No.

02, November 2014, hlm 179-190

PERAN BUDAYA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA


Kajian Atas Kehidupan Beragama Umat Katolik Sunda Di Cigugur

Cornelius Iman Sukmana

ABSTRACT:
Religious life is directly related to cultural life. This is observable among Sundanese
Catholics in Cigugur. In religious life, the respective Sundanese culture strongly marked
its influence. The way one lives his or her religiosity also reflects their culture. It is
common that religious people live together with other people of different religious belief
and practices. In this context culture helps them to be able to live harmoniously with
people from different religions. This article focuses on the history of the Catholic
community in Cigugur, Kuningan while inquiring the role of the Sundanese culture in their
daily life within their Catholic community

Kata-Kata Kunci :
Agama, Kehidupan beragama, kebudayaan, hidup besama, Gereja Katolik Sunda

1. PENDAHULUAN kehidupan beragama.2 Fenomena antropologis


yang cukup konkret pula adalah adanya faktor
1.1. Latar Belakang kekerabatan yang masih cukup kuat di masya-
rakat, tidak hanya dalam satu komunitas agama
Kehidupan beragama di suatu masyarakat Katolik, melainkan juga mencakup antar agama
tentu terkait dengan bagian kehidupan lainnya. yang berbeda, yakni Islam dan kelompok aliran
Budaya adalah salah satu aspek dominan dalam penghayat kepercayaan. Kekerabatan yang meng-
kehidupan yang mempengaruhi kehidupan beraga- ikat itu disebabkan karena mereka adalah masya-
ma. Fenomena demikian dapat diamati secara rakat Sunda, yang berbudaya dan berbahasa
kasat mata di banyak tempat, terlebih di pedesaan, Sunda. Kesundaan inilah salah satu pengikat
di mana hubungan tersebut terlihat sangat intim. konkret warga masyarakat tersebut.
Bahasa yang digunakan dalam peribadatan pun
sebenarnya adalah sarat dengan muatan budaya, 1.2. Permasalahan
karena bahasa sendiri adalah salah satu aspek
budaya juga. Pengaruh modernitas di tengah Ada pengaruh budaya dalam kehidupan
masyarakat perkotaan cukup jelas dalam kehidup- beragama di tengah umat Katolik. Dalam
an beragama (secara sederhana, misalnya peng- kehidupan beragama, khususnya bagi umat
aturan jadual kegiatan keagamaan rupanya dipeng- Katolik Sunda, budaya Sunda turut memainkan
aruhi oleh situasi sosio-kultural masyarakat perannya yang signifikan. Maka dipertanyakan,
tersebut) (Heitink & Hartono, 2006: 18).1 peran budaya seperti apakah yang memberi
pengaruh penting dalam kehidupan beragama
Tulisan ini akan memfokuskan perhatian pada umat Katolik Sunda di sana?
situasi yang dialami oleh komunitas umat Katolik
Sunda (eks-ADS) di Stasi St. Carolus Borromeus
1.3. Tujuan
Sukamulya, Paroki Kristus Raja Cigugur-
Kuningan. Hal menarik yang melatarbelakangi Penelitian ini bermaksud menggambarkan
penelitian ini adalah sejarah komunitas tersebut situasi umat Katolik Sunda di Stasi St. Carolus
yang sarat dengan pergulatan kulturalnya dalam Borromeus, Sukamulya. Dengan menggambarkan

179
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana)

situasi tersebut maka akan terlihat bahwa ternyata definisi budaya yang telah mereka inventarisasi
pengaruh budaya dalam kehidupan beragama itu sebelumnya, berdasarkan ilmu-ilmu yang mende-
begitu konkret. Pengaruh budaya itu tidak hanya katinya.
ke dalam kehidupan beragama sendiri, melainkan
Menurut ilmu sosiologi, kebudayaan merupa-
juga ke luar, yakni sosial.
kan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, keseni-
an, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki oleh manusia
1.4. Metode Penelitian sebagai subjek dalam masyarakatnya. Dalam
Untuk menjawab persoalan tersebut, sorotan ilmu sejarah, kebudayaan merupakan
penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi
kualitatif yang memperhatikan aspek kemen- berikutnya. Ada keberlanjutan pada kebudayaan.
dalaman informasi atau data yang diperoleh. Data Filsafat memahami budaya secara normatif.
tersebut dianalisis dan dituliskan kembali berupa Sedangkan antropologi budaya memandang aspek
kisah-kisah dari hasil amatan yang dicatat selama tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial.
observasi dan wawancara terhadap sejumlah Psikologi memperhatikan budaya pada proses
narasumber. penyesuaian, belajar serta pembentukan kebiasaan
manusia sebagai subjek yang hidup di tengah
Hasil penelitian ini akan dipaparkan di sini
lingkungannya. Sedangkan ilmu bangsa-bangsa
sebagai berikut. Setelah pendahuluan, akan diba-
mengatakan bahwa kebudayaan merupakan ba-
has tentang pemahaman budaya terlebih dahulu
ngunan ideologi yang mencerminkan pertentangan
untuk memahami perannya dalam kehidup-an
antar kelas. Menyaksikan beragamnya definisi
beragama yang menjadi fokus perhatian penelitian
“budaya” yang mustahil diseragamkan, Mudji
ini. Selanjutnya, hasil penelitian akan dipaparkan
Sutrisno menuliskan “Apapun isi dari definisi
secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan
kebudayaan, para ahli sepakat bahwa kebudayaan
konteks penelitian lebih dekat, dari sana analisis
merupakan gejala khas manusiawi”, yakni adanya
dan pembahasan dilakukan untuk mengulas pokok
hubungan timbal balik antara manusia sebagai
persoalan penelitian ini. Dan, akhirnya tulisan ini
pribadi-individual, manusia sebagai komunitas-
akan ditutup dengan sejumlah simpulan sebagai
kolektif, alam (ruang lingkup kehidupan) dan
catatan akhir.
sejarah (kemewaktuan proses kehidupan). Dengan
adanya hubungan itulah, maka gejala kebudayaan
2. BUDAYA: SEBUAH PEMAHAMAN dihasilkan (Mudji Sutrisno, 2008: 4-5).
2.1. Definisi Budaya Sebagai gejala khas manusiawi, Mudji
Sutrisno membedakan antara manusia dan hewan.
Definisi “budaya” pada umumnya dipahami Dikatakannya bahwa hewan tidak memiliki ke-
sebagai definisi yang kompleks. Budaya atau mampuan melakukan transendensi terhadap alam
kebudayaan dapat dianggap sebagai suatu istilah sekitarnya. Hewan merupakan bagian langsung
yang definisinya mengikuti si penggunanya dari dan terikat pada alamnya. Hewan langsung
meskipun merujuk pada realitas yang objektif mengambil dari alam apa yang dibutuhkannya.
juga. Artinya, dapat saja seseorang berpendapat Artinya, hewan hidup di alam pertama. Hewan
tentang “budaya” atau “kebudayaan”, tetapi yang tidak dapat mengolah bahan mentah dari alam.
lain boleh keberatan dengan rumusan yang Sedangkan manusia, dengan kemampuannya
digunakannya; karena menyangkut penghayatan untuk berjarak dari alam (bahkan dari dirinya
atas budaya tersebut oleh yang bersangkutan. sendiri), ia memiliki kesadaran diri untuk membe-
Keragaman definisi budaya atau kebudayaan ini dakan dirinya dari alam sekitarnya, sekaligus
dapat dibandingkan dengan upaya yang pernah dapat mengambil keputusan secara bebas terhadap
dilakukan oleh A. L. Kroeber dan Clyde Kluchohn kehidupannya, membuatnya hidup di alam kedua,
dengan menyelidiki 160 buah definisi. Mudji yakni kebudayaan. Dari sini Mudji Sutrisno
Sutrisno secara ringkas mencoba mengurai memaknai “kebudayaan” sebagai “hasil kehendak
peristilahan budaya dan kebudayaan. Di sana ia bebas manusia dan karenanya merupakan gejala
menunjukkan kesulitan tersendiri dalam khas manusiawi” (Mudji Sutrisno, 2008: 5).
memahami definisi kata tersebut jika memahami-
nya sekedar secara etimologis, juga semantis, Dengan membedakan manusia dan hewan
karena ada penekanan dan referensi tersendiri dalam hal “kebudayaan”, Mudji Sutrisno meng-
untuk istilah tersebut sesuai dengan konteks ingatkan bahwa dulu yang dimaksud dengan
pemakainya (Sutrisno, 2008:1-3). Kroeber dan kebudayaan adalah suatu perwujudan hidup
Klockhohn membedakan enam kategori atas manusia yang berbudi luhur dan bersifat rohani,
seperti: agama, seni, filsafat, ilmu tata negara.

180
Vol. 03, No. 02, November 2014, hlm 179-190

Sedangkan akhir-akhir ini, kebudayaan menunjuk Budaya yang merupakan pola makna-makna
pada segala aktivitas manusia secara personal tersebut terkait dengan pelaku budaya sendiri,
maupun komunal, yang tidak hanya mencakup sehingga budaya bersifat simbolis. Atau “budaya”
hasil material, seperti karya seni, bangunan, ilmu yang dimaksud Geertz sebagai sistem simbol,
pengetahuan, alat-alat, dll tetapi juga meliputi cara dengan adanya pola makna-makna atau sistem
manusia menghayati kehidupannya sendiri, seperti konsep-konsep yang teraktualisasi dalam bentuk
menghayati kematian, perkawinan, dll (Mudji simbol yang dapat dikomunikasikan, merupakan
Sutrisno, 2008:6). Maka, jelaslah di sini dipahami sisi halus atau rohani dari realitas budaya yang
bahwa budaya atau kebudayaan itu mencakup padat-pejal-material. Sebagai sisi yang halus dan
seluruh hajat hidup manusia, baik secara jasmani mendalam, budaya demikian terkait dengan
maupun rohani. Dengan kata lain, kebudayaan mentalitas atau kerangka berpikir masyarakatnya.
tidak semata merujuk pada benda-benda hasil
Karena terkait dengan mentalitas, atau dapat
kreasi manusia, melainkan juga menunjuk pada
disebut juga kerangka berpikir masyarakatnya,
suatu dinamika, sehingga budaya itu bersifat
maka, mengikuti Koentjara-ningrat, definisi
dinamis. Dinamis karena kebudayaan terus
“kebudayaan” menurut ilmu antropologi berarti
berlangsung selama manusia masih terus mencipta
“keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
dirinya dan dunianya.
karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan
2.2. Budaya Sebagai Pola Makna dan Kese- belajar” (Koentjaraningrat, 1983:182). Pada
luruhan Sistem masyarakat tertentu, masyarakat pribumi
Budaya yang dinamis menunjuk pada aktivitas misalnya, kebudayaan semacam ini dapat ditemu-
manusia. Dalam hal ini, budaya terkait dengan kan karena pada umumnya masyarakat (dan
sikap hidup atau mentalitas pelaku budaya sendiri. terbentuknya suatu masyarakat) tentu memiliki
Sebab, dengan sikap yang tertentu, atau mentalitas budaya dan pola kebudayaannya sendiri, yang
tertentu, seseorang atau suatu komunitas dapat membentuk ciri khas masyarakat tersebut. Dalam
menghadirkan karya-karya cipta, yakni kebuda- perspektif ini, budaya setempat bagi kalangan
yaan. Adanya referensi terhadap apa yang disebut tertentu identik dengan “agama setempat”, “agama
“budaya” menun-jukkan di sana ada pola-pola suku” atau “agama asli”.
tertentu yang membuat sesuatu sebagai “budaya”.
Pola-pola inilah yang dimaksud oleh Clifford 3. TENTANG AGAMA
Geertz sebagai “pola makna”. Yakni dengan Sama halnya dengan definisi “budaya” atau
adanya struktur makna simbolis dari suatu praksis “kebudayaan” di atas, “agama” juga memiliki
budaya, sehingga apa yang dilakukan oleh beragam arti sesuai dengan pandangan penganut-
manusia itu memiliki arti. Atau dengan kebuda- nya, juga menurut perspektif ilmu-ilmu yang
yaan, manusia memberi makna pada tindakannya. mempelajarinya. Misalnya Agama Islam menggu-
Untuk memahami budaya sebagai “pola nakan kata “din” untuk memaknai kata “agama”,
makna”, bentuk-bentuk konkret material yang yang juga menunjuk kepada kelompok lain selain
dapat ditangkap panca indra dapat menjadi pintu kelompok sendiri, seperti menunjuk kepada
masuk memahami budaya demikian. Hal seperti kalangan kafir Quraisy: “Bagimu din (agama-)mu
ini menonjol dalam penelitian Geertz (“Religion dan bagiku din (agama-)ku” (Al Kafirun, 6). Din
as a Cultural Sistem”, dalam Antrhopological sendiri sering dimaknai sebagai “lembaga ilahi
Approaches to the Study of Religion, 1966: 1-46) yang memimpin manusia untuk mencapai kesela-
yang meneliti budaya Jawa. Oleh sebab itu, matan dunia dan akhirat” (Sena Adiningrat, 2010).
mengikuti Geertz (2000: 3) “budaya” tersebut Jika dilihat menurut sumbernya, din terbagi
dapat dirumuskan sebagai: dua, yakni din samawi (agama wahyu) dan din
suatu pola makna-makna yang diteruskan wad’i (agama duniawi/natural religion). Dalam
secara historis yang terwujud dalam simbol- pembedaan ini, kiranya “agama asli” di atas
simbol, suatu sistem konsep-konsep yang merupakan suatu natural religion, yang bagi
diwariskan yang terungkap dalam bentuk- kalangan tertentu sukar disebut sebagai agama,
bentuk simbolis yang dengannya manusia sehingga tetap dikategorikan sebagai budaya
berkomunikasi, melestarikan, dan memper- setempat; atau seperti di Indonesia kelompok
kembangkan pengetahuan mereka tentang tertentu penganut aliran kepercayaan itu disebut
kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehi- kelompok “aliran kepercayaan” begitu saja atau
dupan. kelompok “penghayat kepercayaan”.

181
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana)

Selalu ada ketegangan dalam memandang sesama manusia dan alam semesta” (Sena
“agama” dan “budaya” seperti di atas. Perspektif Adiningrat, 2010).
dualisme tersebut memang dapat menjadi cara kita
Sebagai suatu fenomena sosial, umumnya
memahami diri sendiri dan “yang lain”. Namun
“agama” dapat diartikan: “Certainly religion is
ada resiko bahwa yang lain masuk dalam kategori
individual matter in any number of ways: in that
yang kita buat sendiri, sehingga “yang lain”
involves personal emotions and thoughts, -…
sesungguhnya tidak memiliki tempat sebagaimana
personal beliefs, … individual are free to commit
adanya. Dengan kata lain, kita dapat saja jatuh
themselves to whatever religious system they
pada logika biner, bahwa agamaku yang paling
prefer” (Johnstone, 1983:9). Pernyataan ini
benar dan agama yang lain salah atau sesat. Ada
mengungkapkan bahwa agama itu memiliki
suatu ungkapan yang pernah dikenal dalam
dimensi individual selain yang sosial. Agama di
perjalanan sejarah Gereja Katolik yakni “extra
sini lalu menjadi entitas yang berada dalam tataran
ecclesiam nula salus”, yang berarti “di luar Gereja
aktivitas personal, intelektual, kesadaran, sekali-
tidak ada keselamatan”. Ungkapan demikian sama
gus dalam hal tertentu merupakan substansi yang
artinya dengan mengeksklusi yang lain dan
menjadi pertimbangan-petimbangan tindakan so-
mengklaim diri sendiri sebagai yang unggul.
sial. Sebab sejumlah tindakan personal-religius
Kaum fundamentalis dari berbagai agama juga
ternyata memiliki referensinya dalam kebera-
kerap kali melakukan klaim-klaim keunggulan
gamaan masyarakatnya.
agamanya melulu dan menutup mata pada
eksistensi yang lain. Tentu saja pernyataan- Sebagai suatu fenomena, agama yang dibica-
pernyataan rasa diri unggul demikian dapat saja rakan ini dapat menunjuk pada “budaya” yang
memiliki rujukan teologisnya sendiri, tetapi sering dibicarakan di atas, yakni agama menunjuk pada
sekali refleksi teologis yang berkembang juga aktivitas manusiawi secara personal maupun
tidak seragam. Akibatnya memutlakkan satu komunal-kolektif, karena beragama ternyata dapat
rumusan teologis tertentu dapat saja menyim- merupakan suatu “gejala khas manusiawi” (bdk.
pangkan makna keseluruhan ke dalam satu tentang “kebudayaan” dalam Mudji Sutrisno,
dimensi tunggal saja. Oleh sebab itu, “agama” 2008: 4), sebab hanya manusia sajalah yang
supaya dapat merangkum “yang lain”, dapat beragama, seperti halnya hanya manusia saja yang
dipahami dari berbagai perspektif yang membuka berbudaya. Karena pada kenyataannya agama itu
kesempatan “yang lain” untuk berdialog. Dengan membutuhkan ekspresi atau ungkapan, seperti
demikian, “agama” dapat hadir ke hadapan kita dalam bentuk kata-kata, perilaku atau simbol-
sebagai suatu entitas kehidupan manusiawi simbol yang khas (Bagus, 1996: 14).
tersendiri. Dengan membandingkan agama seperti
Istilah lain yang menunjuk pada “agama” budaya, maka definisi “agama” dapat dilihat
adalah “religi” dan “religion” (bahasa Inggris), secara antropologis juga. Secara antropologis,
yang berasal dari kata “religio” (bahasa Latin) Geertz (2000: 5) menuliskan bahwa yang disebut
yang akar katanya adalah “religare”, kata kerja dengan “agama” adalah
berarti “mengikat dengan kencang”, atau
“religere” yang berarti “membaca kembali” atau sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku
untuk menetapkan suasana hati dan moti-
“membaca berulang-ulang dengan penuh perha-
vasi-motivasi yang kuat, yang mere-sapi,
tian” (Bagus, 1996:12). Secara ringkas, agama dan yang tahan lama dalam diri manusia
berkaitan dengan hidup manusia serta dunianya dengan merumuskan konsep-konsep meng-
dan Tuhan, yang dipahaminya sebagai asal dan enai suatu tatanan umum eksistensi dan
tujuan hidup (sangkan paraning dumadi). Sikap membungkus konsep-konsep ini dengan
manusia dalam beragama terungkap dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga
penyerahan diri, seperti doa-doa. Penyembahan ini suasana hati dan motivasi-motivasi itu tam-
menemukan bentuknya yang paling konkret dalam pak khas realistis.
bentuk kurban, karena melalui kurban inilah
Dalam perspektif Geertz ini, baik “agama”
manusia menyerahkan kepada Tuhan apa yang
maupun “budaya” merupakan suatu pola makna-
berharga sebagai tanda lahiriah dari penyerahan
makna atau sistem simbol-simbol yang berlaku
dirinya sendiri. Dari sini agama dapat berarti
bagi masyarakat manusia. Karena segala ekspresi
sebagai “way of life” lengkap dengan peraturan-
manusia yang konkret material merupakan
peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya,
cerminan suasana hatinya. Dengan kata lain eks-
sebagai alat untuk mengikat seseorang atau
presi lahiriah simbolis memiliki referensinya pada
sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan,
realitas yang lain yang lebih mendasar, yakni

182
Vol. 03, No. 02, November 2014, hlm 179-190

suasana hati dan motivasi-motivasi atau dorongan- dengan pandangan akan akhir kehidupan itulah,
dorongan internal. Dengan munculnya ke dalam umat beragama mewujudkan penghayatannya
bentuk yang lebih konkret material, seperti dalam bentuk praktek keagamaan. Dan praktek
pemujaan, doa-doa, tata cara keagamaan, dll, itu, yang lebih bersifat lahiriah-material, seperti
suasana hati dan motivasi itu menjadi wajar dan laku tapa, puasa, ibadat, semadi adalah praktek
realistis bagi manusia yang menjalaninya. yang dapat bersifat kultural juga. Dengan
demikian, dalam rangka memahami peran budaya
4. PERAN BUDAYA DALAM dalam kehidupan beragama di sini, pertama-tama
KEHIDUPAN BERAGAMA kita perlu melihat fenomena kehidupan beragama
dalam beragam ekspresinya, yang nyatanya
Kiranya cukup jelas bagi kita bahwa ada bersifat kultural juga, dan dari sana dapat
hubungan yang konkret antara budaya dan agama ditelusuri jejak simbolisnya atau struktur makna di
bagi pelaku yang sama. Sebab baik budaya balik praksis religius tersebut hingga ditemukan
maupun agama merupakan ekspresi suasana makna “sejati”, yakni keyakinan akan Tuhan yang
hatinya yang lebih mendalam. Meskipun tampak mendasari hidup manusia dan berada di “luar” diri
serupa antara “agama” dan “budaya” dalam pers- manusia (beyond the world).
pektif antropologi, kita dapat tetap membedakan
keduanya. Amaladoss melihat hubungan antara Jelas sekali dalam pembahasan tentang
agama dan budaya dengan mengatakan bahwa “agama” di atas ternyata bahwa agama membu-
agama merupakan unsur terdalam dari budaya, tuhkan bagi dirinya ekspresi berupa kata-kata,
sementara budaya merupakan bentuk ekspresif perilaku dan simbol-simbol yang manusiawi, yang
dari agama tersebut. Amaladoss (1990:11-19) dapat dimengerti atau dikomunikasikan oleh
menuliskan: manusia dalam komunitasnya. Bagus menulis,
bahwa “agama yang murni internal, spiritual
Religion and culture are linked closely berlawanan dengan kodrat manusia dan tidak
together. Religion is the deepest element in dapat berlangsung lama. Begitu juga hal yang
culture, giving it its meaning system in the paling lahiriah belaka tanpa perasaan-perasaan
context of ultimate perspectives. In its turn,
batin yang terkait memperlihatkan tanda-tanda
culture gives a sosio-historical presence to
religious belief and commitment. In simple
kematian agama sejati” (1996: 14). Jadi, memang
human communities with cosmic religions agama membutuhkan budaya. Di sinilah peran
there is no separation between religion and budaya bagi agama.
culture. (Amaladoss, 1990: 12)3 Kehidupan beragama sendiri sebenarnya
Tulisan Amaladoss tersebut merujuk pada menunjukkan dua hal. Pertama manusia berelasi
fenomena agama-agama yang hidup di India, di dengan Tuhannya, Yang Mutlak, sebagai asal dan
tengah masyarakat yang demokratis. Di sini tujuan hidupnya. Namun, sebagai makhluk sosial,
Amaladoss menunjuk pada agama kosmik, yaitu manusia berelasi dengan sesamanya juga. Artinya,
agama yang masih dipengaruhi oleh alam: tanah, dalam berelasi secara vertikal dengan Tuhan,
air, angin, api, dll yang dalam konteks ini dapat manusia tidak dapat mengabaikan relasi
disejajarkan dengan “agama asli”. Sementara itu, horizontalnya dengan sesama manusia dan alam
agama-agama besar yang telah bersifat misioner ciptaan lainnya. Bahkan dengan beragama
dan mengalami penyebaran melewati batas benua manusia dapat membentuk komunitas-sosialnya
memiliki pandangan yang melampaui visi kosmis yang sama, karena merasa menemukan “jalan”
dari agama kosmik tersebut. Agama misioner ini yang sama. Dengan kata lain, agama tidak bisa
dikategorikan dalam istilah agama metakosmik, sekedar sebagai persoalan pribadi (privat),
yakni agama yang memiliki bangunan refleksi melainkan juga manusia beragama karena adanya
teologis yang telah mapan dan menjadi ajaran dorongan komunitasnya. Dari sini cukup jelas
yang dibakukan. bahwa peran budaya dalam kehidupan beragama,
selain menciptakan bagi agama sarana ekspresinya
Kiranya cukup jelas meskipun agak samar yang lebih konkret dan manusiawi, budaya
juga, bahwa akhirnya “budaya”, dalam perspektif berperan menciptakan kehidupan beragama yang
Amaladoss, merupakan suatu bentuk kehadiran lebih berbadab (baca: berbudaya), karena
“agama” yang lebih mendasar. Umumnya beragama rupanya adalah hidup bersama
“agama” dikaitkan dengan pengharapan akan masyarakat-budaya.
kehidupan akhir, kehidupan sesudah kematian
atau keselamatan (soteriologi-eskatologi). Dalam
rangka menghayati kehidupan yang diwarnai

183
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana)

5. BUDAYA SUNDA (EKS-ADS) DI katanya sambil menunjuk tanah di hadapannya,


CIGUGUR DAN SEKITARNYA karena kebetulan wawancara tersebut berlangsung
di pekarangan pastoran Paroki Kristus Raja,
Setiap masyarakat budaya tertentu biasanya Cigugur. Bagi si Abah, kesundaan atau budaya
memiliki pahamnya sendiri tentang agama Sunda dikaitkan dengan asal budaya tersebut,
maupun budaya. Demikian halnya dengan umat yakni tanah Sunda atau Tatar Sunda. Sebab jika
Katolik (eks-ADS, Agama Djawa Sunda). Paham seseorang mengaku sebagai orang Sunda maka ia
yang mereka miliki sebelum menjadi Katolik mesti menyadari dirinya yang berasal dari tanah
adalah paham yang sesuai dengan ajaran ADS. tempat ia hidup, yakni tanah Sunda. Tanah itulah
Meskipun mayoritas umat eks-ADS kini menjadi yang memberi kehidupannya, maka menjadi
Katolik, bahkan generasi berikutnya yang hadir Sunda dan melestarikan kesundaan sama artinya
kemudian karena kelahiran anak sudah hidup dengan memelihara tanah tempat kehidupannya.
dalam atmosfer Katolik, kita masih dapat mene- Pandangan demikian masih dapat dikaitkan
mukan jejak kesinambungannya dengan tradisi dengan pandangan ADS yang pernah si Abah
sebelumnya meskipun agak samar-samar. Seperti hayati, karena dengan usianya yang sangat lanjut,
masih adanya kaum muda yang terlibat dalam 83 tahun, ia telah menjalani kehidupan sebagai
kegiatan seni Sunda, untuk mengiringi Misa. anggota ADS, maka ia juga mengenal cara pikir
Paham atau pandangan tentang agama ADS tersebut.
maupun budaya yang samar-samar tersebut Pak Cahya, seorang Muslim, juga memiliki
diindikasikan dari cara mereka menjawab pertan- pendapatnya sendiri tentang budaya, khususnya
yaan yang agak ragu-ragu. Keraguan tersebut budaya Sunda yang dihayatinya. Ketika menutur-
mengindikasikan bahwa terdapat pemahaman kan tentang pandangannya tentang budaya Sunda,
yang belum sertamerta jelas dalam pikiran ia mengatakan
mereka, alias dalam kehidupan sehari-hari ada
penghayatan keagamaan yang bernuansa Sunda, … ngeunaan budaya Sunda, ceuk kuring,
tetapi secara formal ada ajaran Katolik yang sudah meureun pedah kuring salaku urang Sunda,
ditanamkan di sana. Namun demikian, kita dapat lamun dibandingkeun jeung budaya-budaya
mengatakan bahwa keraguan tersebut juga dapat anu sejen, ceuk kuring mah pangonjoyna teh
berarti bahwa mereka rupanya tidak memiliki budaya Sunda. Onjoyna, hiji handap asor;
pemahaman yang jelas tentang “agama” maupun kadua, leah ka sasama; katilu, silih ajenan;
kaopatna, resep sisiwo, tah urang Sunda
“budaya”. Beberapa contoh ungkapan keraguan mah.4
atau kesamaran akan definisi yang dimengerti
terungkap ketika wawancara berlangsung. Sikap (… mengenai budaya Sunda, menurut saya,
tersebut tergambar dari cara informan menanggapi mungkin karena saya adalah seorang Sunda,
pertanyaan yang peneliti ajukan, di antaranya ada jika dibandingkan dengan budaya-budaya
yang lama merenung, ada juga yang senyum- yang lain, menurut saya budaya Sunda itu
senyum bahkan tertawa, berusaha mengalihkan paling menarik (pangonjoyna = paling baik).
perhatian. Namun ketika dibantu dengan contoh- Baiknya, yang pertama, rendah hati; kedua,
menghormati sesama; ketiga, saling
contoh konkret dan penjelasan seperlunya, maka
menghargai; keempat, orang Sunda itu suka
barulah informan yang ragu-ragu tersebut dapat bergurau.)
menjawab. Artinya, secara teoritis (pemahaman)
mungkin saja beberapa informan tidak mengerti, Selain itu, unggulnya budaya Sunda terlihat
tetapi secara praktis yang samar-samar itu dari peribahasa “dina nete taraje, nincak
dilakukan juga, yakni kebudayaan. hambalan, lamun dina tatangkalan malapah
gedang dina omongan mah.” Sebabnya karena
Berikut ini beberapa tanggapan tentang
“… urang sunda mah boga kecap tina basa
budaya yang dipahami oleh informan. Menurut si
rengkak paripolah henteu saukur jeung papada
Abah, “Kasundaan teh hartosna anu ngaraos
manusa,” (“Dalam menginjak tangga ada tahap-
jeung rumaos hirup urang anu aya di Tatar
tahapnya, jika dibandingkan dengan pepohonan
Sunda. Jadi nyepeng kana ageman-ageman teh
ada pepepah papaya (gedang) yang dalam ucapan
anu ngarasa sareng rumasa, dahar leueut, ceunah
akan menunjukkan keteraturan tutur.” Sebabnya
paribasana, tina tanah taneuh ieu,” (“Kesundaan
karena “…orang Sunda itu punya istilah dalam hal
itu artinya yang merasa dan mengaku merasa
tingkah laku tidak saja pada sesama manusia.”),
bahwa hidup kita ada di Tatar Sunda. Jadi
lanjut Pak Cahya. Maksudnya bahwa orang Sunda
memegang pegangan-pegangan itu yang merasa
itu dapat menghormati sesama, entah itu yang
dan mengakui makan minum … dari tanah ini.”),
lebih tinggi tingkatan kedudukannya maupun yang

184
Vol. 03, No. 02, November 2014, hlm 179-190

lebih rendah. Oleh sebab itu ada bahasa-bahasa yang juga dipahami oleh beberapa informan yang
yang digunakan untuk tingkat-tingkat bahasa: lain. Artinya kita harus hidup saling menghargai,
kasar, sedeng dan lemes.5 Selanjutnya ciri orang menghormati, karena perbedaan yang ada itu
Sunda demikian, adalah kehendak Tuhan. Adanya kiri dan kanan
mencerminkan adanya perbedaan. Tetapi
…handap asor, leah ka sasama, … tuluy perbedaan keduanya tidak dimaksudkan untuk
dipadukeun ejeung seni musik anu dipertentangkan secara dangkal. Perbedaan itu
dipikaresep ku kuring, seni musik Sunda,
hadir supaya dapat diseimbangkan, “dirajah”,
nikmat, ngeunah didengekeun, … euweuh
bibit-bibit kana kakerasan. Ieu seni Sunda sehingga terjalin keharmonisan kehidupan.
nu asli, ceuk kuring. Conto anu dikenalkeun
urang Sume-dang ka Kuningan seni 6. PERAN BUDAYA DALAM KEHIDU-
Tarawangsa, ngan dua waditra, ukur PAN BERAGAMA
petikan nu kitu, euweuh keur pacegcogan
pacog-cegan piributeun. Ih ngibing bae Dalam membahas pengaruh kebudayaan da-
ngeunah dua waditra teh. Tuluy kaduana, lam kehidupan beragama di sini, saya akan
tina game-lan degung, sok perhatikeun membagi dua pembahasan. Pertama pengaruh
gamelan degung, naha aya degung anu budaya dalam kehidupan gerejani yang bersifat ke
ngajak kana piributeun? Euweuh. Gamelan dalam. Kedua pengaruh kebudayaan yang bersifat
degung mah nu aya kana piributeun teh. Aya kemasyarakatan atau ke luar.
na teh nikmatna teh tumpang kaki diuk
kolobot … 6.1. Pengaruh Budaya dalam Gereja
(… rendah hati, hormat ke sesama, … lalu Katolik
disatukan dengan seni musik yang disukai, Mayoritas umat Katolik di Cigugur dan
seni musik Sunda, nikmat, enak dide-
sekitarnya adalah umat Sunda (eks-ADS).
ngarkan. … tidak ada sumber kekerasan. Ini
seni Sunda yang asli, menurut saya. Contoh Kesundaan yang dimiliki oleh umat Katolik
yang diperkenalkan orang Sumedang ke tersebut terlihat jelas dan kental dalam kehidupan
Kuningan, seni Tarawangsa, hanya dua alat beragama Katolik mereka—tentu saja untuk
petik (kecapi), tidak ada perkelahian keri- kalangan tertentu ada yang kurang menghayati
butan. Menari saja enak dua alat musik itu. kesundaannya, misalnya yang lahir di luar kota
Lalu, kedua, dari gamelan degung, perhati- maupun yang merupakan warga pendatang. Na-
kanlah gamelan degung itu, apakah menga- mun demikian, jika pendatang tersebut dapat
jak ke arah keributan? Tidak. Gamelan tinggal cukup lama atau menetap di Cigugur, atau
degung itu tidak mengajak keributan. Yang di Tatar Sunda dengan suasana Sundanya yang
ada adalah nikmatnya duduk tumpang kaki,
kuat dapat dimungkinkan bahwa warga pendatang
sambil merokok kolobot)
pun akan hidup dengan cita rasa Sunda. Hal ini
Ungkapan Pak Cahya, yang seorang kepala ditunjukkan oleh beberapa pendatang di Cigugur
sekolah dasar, bagi saya menarik. Sebab itu tidak dan sekitarnya yang mencoba beradaptasi dengan
saja berupa ungkapan kosong, melainkan disertai situasi masyarakat Sunda.
dengan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai warga Katolik, kesundaan yang dapat
Salah satu kisah yang menarik adalah ia pernah ditunjukkan oleh mereka ada beragam bentuk.
ikut mengiringi perayaan Natal di Stasi St. Dalam tradisi Sunda ada upacara-upacara adat
Carolus Borromeus, Sukamulya, dengan memain- yang masih dilestarikan di tengah kehidupan umat
kan kecapi. Tentu saja ia tidak sendirian, sebab Katolik sekarang ini. Bahkan di antaranya ada
beberapa pemusik yang Katolik juga ikut serta. yang digali kembali supaya hidup dan berkem-
Namun peristiwa itu sungguh menarik hati umat bang. Beberapa upacara adat yang khas adalah,
Katolik, dan memandangnya sebagai suatu upacara maras, yakni memotong rambut bayi yang
kehormatan. Maka jelas, bahwa melalui musik berusia 40 hari. Upacara ini dimaksudkan untuk
Sunda, meskipun berbeda agama di sana dapat menyatakan bahwa bayi tersebut dibebaskan dari
terjalin kerukunan dan persaudaraan. Sebab, kotoran (simbolnya rambut).
musik Sunda tidak mendorong orang untuk
terlibat kekerasan dan keributan. Upacara lainnya adalah doa persiapan
menjelang perkawinan (di daerah Jawa Tengah
Cara hidup yang diperlihatkan Pak Cahya di dikenal dengan istilah “midodhareni”, seperti
atas mencerminkan cara hidup orang Sunda yang pernah saya saksikan dan ikuti dari dekat ketika
ia mengerti. Dan sebenarnya dalam perspektif masih tinggal di Yogyakarta). Doa ini biasanya
yang lebih luas, itu merupakan cara hidup Sunda diselenggarakan di salah satu calon pengantin,

185
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana)

sementara pengantin yang lainnya ikut hadir tanda kehadiran Allah untuk saling
bersama-sama. Doa ini dimaksudkan untuk menyelamatkan; secara sederhana keselamatan itu
persiapan batin menjelang calon pengantin berupa kebahagiaan berdua. Simbol sakramen
melangsungkan perkawinannya. Selanjutnya, da- adalah keduanya, demi kebahagiaan bersama,
lam kehidupan keluarga, seorang istri pada berjanji untuk setia dalam suka maupun duka,
saatnya akan mengandung calon bayi. Pada untung maupun malang, seumur hidup.
periode tertentu, misalnya mengandung tujuh
Perkawinan sebagai sakramen bagi Gereja
bulan, di sana diadakan upacara nebus weteng.
Katolik sudah cukup. Tetapi pada kenyataannya
Pada akhir hidupnya, seorang manusia akan
warga masyarakat setempat merasa tidak cukup
“mulih ka jati mulang ka asal”, kembali ke asal
jika perkawinan hanya diselenggarakan di gereja
kehidupannya, yakni kembali ke Penciptanya.
dan tidak ada upacara yang khas budaya Sunda.
Dalam budaya Sunda ada juga tradisi yang diikuti
Dalam suatu kesempatan, ketika salah seorang
oleh warganya. Pada saat ini ada doa-doa
calon akan menikah, kebetulan kakaknya belum
peringatan bagi arwah yang meninggal serta
menikah, sehingga dalam budaya Sunda ada
mendoakan sanak keluarga yang ditinggal-kannya.
istilah “ngaragangan ka lanceukna’, maka
Doa arwah macam ini dapat dibandingkan dengan
perkawinan yang akan diselenggarakan dibuat
tradisi dalam Islam yang disebut “tahlilan”.
sederhana saja. Alasannya, perkawinan adalah
Semua praksis kultural-religius di atas masih jalan menuju kebahagiaan pasangan suami istri,
dipertahankan oleh masyarakat Sunda (eks-ADS) untuk bahagia apakah harus membiarkan yang lain
di Cigugur dan sekitarnya. Mereka terus menjalani menderita, misalnya di sini adalah kakaknya?
cara-cara yang semula mereka hayati ketika masih Oleh sebab itu, dalam rangka meng-hargai sang
menganut ADS. Namun demikian, di sana ada kakak, beberapa sesepuh berpen-dapat supaya
perubahan atau penyesuaian yang dilakukan yakni tidak perlu dibuat meriah, kecuali sang kakak
disesuaikan dengan tata cara Katolik. Di sana doa- tidak merasa keberatan bahkan mendukungnya.
doa yang khas dalam kehidupan umat Katolik Sikap hormat kepada yang lain tersebut
diadopsi oleh masyarakat setempat. Sambil merupakan cerminan budaya Sunda dalam
melanjutkan budaya yang baik, umat Katolik kehidupan sehari-hari, seperti dituturkan oleh Pak
Sunda (eks-ADS) menggunakan doa-doa yang Cahya ketika akan menyelenggarakan suatu pesta
diajarkan dalam Gereja Katolik. perkawinan saudaranya yang rumahnya berde-
katan.
Perkawinan sendiri merupakan suatu upacara
yang penting dan meriah dalam kehidupan Bagi orang Sunda, perkawinan di gereja saja
masyarakat di sana. Dalam penelitian saya sempat tampaknya tidak cukup. Oleh sebab itu, meskipun
mengikuti dua upacara perkawinan, 11 Juni 2010 tidak ada alasan teologis yang jelas, mereka tetap
dan 10 Oktober 2010. Kedua upacara tersebut melanjutkan perkawinan di rumah mempelai
menggunakan tata cara adat Sunda. Di sana, dengan berbagai cara, termasuk menampilkan
pasangan pengantin berdampingan mendengarkan pertunjukan-pertunjukan, seperti nanggap waya-
nasihat-nasihat yang disampaikan oleh tetua dalam ng, jaipongan, atau sekedar dengan musik-musik
bentuk tembang atau kawih. Nasihat-nasihat itu khas Sunda. Dengan memperhatikan hal tersebut,
merupakan pesan dari orang tua kepada anak- meskipun pihak gereja, khususnya para imam
anaknya yang akan menjalani hidup baru sebagai yang bertugas di sana tidak keberatan dan tidak
pasangan suami istri. memandang perkawinan dengan upacara adat itu
sebagai sesuatu yang perlu dipersoalkan, maka
Upacara perkawinan yang menggunakan tata
jelaslah bahwa di sana ada geliat budaya dalam
cara adat itu terus dipelihara meskipun mereka
beragam bentuknya dalam kehidupan masyarakat
sudah menjadi Katolik. Bagi Gereja Katolik
setempat.
sendiri, upacara perkawinan adat seperti itu bisa
dianggap tidak harus dilakukan jika kedua Mungkin saja kita beranggapan bahwa tidak
mempelai sudah melangsungkan perkawinan di ada hubungan yang jelas antara upacara adat,
gereja. Jadi, secara teologis, perkawinan Katolik seperti perkawinan adat, dengan kegiatan
yang sudah disahkan oleh dan disaksikan imam keberagamaan umat tersebut, karena hirarki
sudah cukup. Dalam Gereja Katolik, perkawinan setempat tidak mempersoalkannya. Namun, kare-
itu sakramen, yakni tanda kasih keselamatan dari na pelaku adalah orang Sunda dan sekaligus bera-
Allah bagi umat-Nya. Sakramen itu dilangsungkan gama Katolik tentu saja ada hubungannya.
oleh kedua mempelai. Jadi, sakramen perkawinan Hubungannya ada di dalam diri si pelaku budaya
adalah sakramen yang saling diterimakan oleh tersebut. Dan tidak harus terlihat kasat mata,
pasangan suami istri, sehingga keduanya menjadi karena dapat saja merupakan pergolakan batin.

186
Vol. 03, No. 02, November 2014, hlm 179-190

Memperhatikan hal tersebut, saya menilai Masuknya bahasa Sunda dalam liturgi khas
bahwa di sana secara nyata terlihat bahwa budaya Katolik sendiri, seperti Misa, merupakan satu
sungguh memberi peranan dalam kehidupan terobosan yang nyata yang dirasakan oleh umat
beragama seorang. Sekurang-kurangnya budaya Katolik Sunda (eks-ADS) di Cigugur. Peran
itu mewarnai kehidupannya sebagai seorang bahasa Sunda demikian sudah dilakukan sejak
beragama. Kita dapat membandingkannya dengan awal umat eks-ADS menganut agama Katolik,
umat Katolik di tempat lain. Di tempat lain bisa yakni dilakukan oleh para misionaris salib suci
saja orang tidak perlu menyelenggarakan upacara (OSC) yang bertugas di Cigugur, atas ijin Uskup
adat, dan cukuplah dengan upacara di gereja Bandung, Mgr. P. M. Arntz, OSC. seperti
secara Katolik. Namun dengan menghadirkan diungkapkan dalam buku kenangan Catur Dasa
upacara adat dalam kehidupan seorang Katolik, Warsa:
maka menjadi jelas bahwa ada perbedaan antar
orang Katolik sendiri. Dan, budaya sungguh Memimpin ekaristi di tengah orang Sunda,
berperan dalam membentuk watak Gereja yang baru menjadi Katolik, rupanya tidak
mudah. Terlebih pada masa sebelum Konsili
setempat di sana.
Vatikan II (1962-1965), misa harus
Kegiatan lain yang dapat dianggap sebagai disampaikan dalam bahasa Latin. Maka
“intervensi” budaya dalam kehidupan beragama meskipun belum ada keputusan dari Vatikan
adalah penggunaan budaya Sunda dalam misa atau mengenai penggunaan bahasa setempat
perayaan ekaristi. Misa adalah salah satu upacara dalam sakramen ekaristi, namun atas
kebijakan Mgr. Arntz, OSC (Uskup Ban-
yang khas dalam Gereja Katolik. Dalam upacara dung) saat itu, para pastor diberi kewenang-
misa ini, jika sungguh diperhatikan, di sana sarat an untuk menyusun misa suci dalam bahasa
dengan makna simbolis yang dihadirkan oleh Sunda.7
Gereja sendiri. Sehingga bagi Gereja Katolik,
sebagai puncak kehidupannya. Misa atau ekaristi Demikianlah sekilas kehidupan beragama
dapat dianggap cukup dari dirinya sendiri, karena umat Sunda (eks-ADS) dalam kehidupannya
hanya Allah saja yang sungguh berperan dalam sebagai orang Katolik.
peristiwa itu. Segala simbol yang dihadirkan
adalah tanda-tanda lahiriah dari kehadiran yang 6.2. Peran Budaya dalam Kehidupan
misteri, dengan puncaknya berupa hosti atau Bermasyarakat sebagai Umat
komuni suci, sebagai lambang Tubuh Kristus. Beragama
Namun demikian, bagi orang Sunda (eks-ADS)
Peran budaya yang lain adalah peran budaya
rupanya, lagi-lagi apa yang sudah dianggap cukup
dalam kehidupan bermasyarakat secara umum.
bagi dirinya, seperti ekaristi, rupanya belum dirasa
Dengan kata lain, di sini akan ditunjukkan hasil
memuaskan jika tidak menyertakan kehidupan
pengamatan saya terhadap peran budaya bagi
mereka sendiri. Maka di sana dibuatlah satu
kehidupan beragama umat Katolik Sunda (eks-
perayaan ekaristi yang khas Sunda, yakni Misa
ADS) dalam kehidupannya di tengah masyarkat
Rayagungan6.
sekitarnya.
Jelaslah bagi kita sekarang bahwa di Cigugur
Seperti diungkapkan oleh Pak Cahya tentang
dan sekitarnya memang terlihat peran budaya
budaya Sunda yang pangonjoyna, misalnya
dalam kehidupan beragama masya-rakatnya. Peran
dengan adanya sikap soméah ka sasama, hadé tata
yang paling sederhana namun tidak begitu
hadé basa,… maka pergaulan hidup bersama
dirasakan dampaknya adalah penggunaan bahasa
dapat terjalin dengan harmonis. Keharmonisan
Sunda dalam upacara-upacara keagamaan.
hidup bersama yang terjalin karena umat Katolik
Misalnya jika ada ibadat lingkungan, baik upacara
memelihara tata cara adat budi bahasa setempat
maras, doa persiapan perkawinan, nebus weteng,
membuatnya tidak terasing di tengah kehidup-
doa arwah, dan doa-doa lingkungan lainnya.
annya bersama warga sekitarnya.
Penggunaan bahasa ini sebenarnya penting untuk
membantu komunikasi iman di tengah umat Kerukunan hidup bermasyarakat ditunjang
beragama Katolik, namun justru persoalan ini oleh adanya sikap saling mengerti di antara warga
tidak begitu dilihat sebagai perkara yang penting masyarakat yang ada. Meskipun ada berbagai
bagi kehidupan beragama. Namun demikian, aliran kepercayaan dan ideologi, jika masing-
meskipun dengan bahasa yang seadanya, yakni masing pihak dapat saling mengerti, maka
kurang memanfaatkan kekayaan bahasa budaya kerukunan hidup bersama dapat diusahakan. Inilah
setempat dengan paribasa, dongeng, dll, pengaruh peran konkret dan penting dari budaya dalam
budaya itu tetap jelas. kehidupan beragama di Cigugur.

187
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana)

Ada beberapa kisah yang menarik perhatian Menyadari hal itu, beberapa tokoh Katolik
bagi saya untuk dilaporkan di sini. Di tengah yang ada di Cigugur dan sekitarnya, seperti di
masyarakat Sunda, perbedaan agama tidak mesti Sukamulya, sering mengadakan kumpulan ber-
menjadi alasan utama untuk memelihara permu- sama, atau riungan, sekedar untuk ngobrol ngalér
suhan dan pertentangan. Sebab cara hidup yang ngidul. Kebersamaan hidup bersama “yang lain”
bertentangan, mencipta keributan atau kerusuhan, ini dapat dilihat tidak saja di kalangan tertentu
itu bukanlah cara hidup yang khas orang Sunda, yang menyadari pentingnya hidup bersama, di
seperti diungkapkan oleh Pak Cahya, dengan kalangan remaja dan kaum muda juga mereka
mengatakan bahwa budaya Sunda itu lakukan. Artinya budaya Sunda memang meman-
pangonjoyna. dang keharmonisan, kerukunan, kebersamaan itu
sesuatu yang perlu dipelihara. Istilah yang
Pandangan dan sikap Pak Cahya, seorang
digunakan oleh Ibu Maria, ketika ia masih aktif
Muslim, ini menarik perhatian saya karena seperti
mengajar, sementara di dekat sekolahnya ada
pernah saya dengar kisah dari sejumlah orang
pesantren yang cukup besar, adalah “nitipkeun
Katolik yang lain, mereka sungguh merasa
awak” atau “miha-pékeun diri”. Artinya, di mana
terhormat ketika menyaksikan bahwa ada seorang
kita berada kita harus bisa menyesuaikan diri,
Muslim, yang mencintai seni Sunda, ikut
karena kita hidup tidak untuk diri sendiri. Oleh
mengiringi umat Katolik dalam merayakan misa
sebab itu, menghormati yang lain perlu dilakukan
Natal, di gereja St. Carolus Borromeus, Suka-
supaya hidup rukun terpelihara. Dan kisah Bu
mulya. Orang itu adalah Pak Cahya ini. Dan
Maria ini sungguh mengesankan. Meskipun ia
ketika saya wawancarai, dia menunjukkan
seorang Katolik, yang ketika masih muda sangat
pandangannya seperti sudah dikutip di atas. Jadi,
aktif dalam kegiatan keagamaannya, ternyata
bagi Pak Cahya, menjadi Sunda itu berarti mau
ketika ia akan meninggalkan sekolah karena
hidup rukun, répéh, rapih, akur, rukun dengan
dimutasi sebagaimana PNS lainnya (dan bahkan
sesama. Perbedaan tidak menjadi hahalang yang
ketika pensiun), banyak sekali warga sekitar
merintangi hubungan baik.
sekolah, yang Muslim, mengantarnya. Kisah lain
Yang dilakukan oleh Pak Cahya adalah contoh adalah, ada juga beberapa orang Muslim yang
bagaimana budaya Sunda berpengaruh dalam akan naik haji, berkunjung dulu ke rumah Bu
kehidupan beragama di tengah masyarakat pluri- Maria, untuk pamitan dan mohon didoakan.
religius, seperti di Cigugur. Dan di tengah Karena bagi pandangan orang tua, siapa pun yang
masyarakat tersebut pula Gereja Katolik, yang akan berangkat jauh, karena tidak akan diketahui
notabene adalah orang Sunda, dapat bergaul bagaimana nasibnya nanti, maka perlulah saling
secara Sunda. Di sini kehidupan beragama yang memaafkan dan memohon doa. Dan kisah ini
terkesan eksklusif karena sering dianggap terbatas memberi inspirasi, karena ternyata hidup bersama
di ruang ibadat, dalam acara-acara liturgis dan sebagai orang Sunda itu memiliki warna tersendiri
terkurung dalam kekakuan protokoler tata cara di tengah umat beragama (tanpa kehilangan
ibadat yang dibakukan, terbuka untuk bernafas identitas keagamaan itu sendiri).
lega dalam kehidupan konkret bersama “yang
lain”. 7. PENUTUP
Kehidupan beragama yang terbuka di tengah Pengaruh budaya dalam kehidupan beragama
masyarakat yang lain adalah kehidupan beragama sungguh nyata. Tidak hanya berlaku dalam kehi-
yang dapat dianggap sudah dewasa, karena dupan umat Katolik eks-ADS di Cigugur, tetapi
kenyataannya adalah hidup bersama dengan “yang dapat disaksikan dibanyak tempat di mana
lain”, yang berbeda pandangan, agama, politik, masyarakat budaya tertentu menganut suatu
ras, dll tidak mungkin dihin-darkan, maka cara agama. Dari penelitian yang sudah dilakukan, ada
yang efektif untuk hidup bersama dengan yang beberapa hal yang dapat menjadi simpulan.
lain adalah hidup dengan cara yang dapat diterima
bersama. Dan, budaya Sunda adalah salah satu Berdasarkan sejarah terbentuknya, Gereja
budaya yang diterima oleh masyarakat Sunda Katolik di Cigugur dan sekitarnya adalah suatu
meskipun berbeda-beda agama. Jadi peran budaya komunitas yang berawal dari sekelompok umat
dalam kehidupan beragama di sini adalah yang menganut suatu agama, yang di sini
membantu kehidupan umat beragama supaya dikategorikan sebagai “agama asli” atau “agama
dapat hidup bersama dengan umat beragama yang pribumi”. Agama tersebut adalah Agama Djawa
lain. Sunda (ADS). Namun dalam perspektif “agama
resmi” di Indonesia, ADS tidak dikategorikan
sebagai agama; oleh sebab itu organisasi tersebut

188
Vol. 03, No. 02, November 2014, hlm 179-190

dibubarkan oleh P. Tedja Buana, pada tanggal 21 pada sejarah pembubaran ADS. Selain menjadi
September 1964. Pasca pembubaran ADS, ribuan anggota Gereja Katolik, sejumlah umat eks-ADS
umat mendaftarkan diri menjadi anggota Gereja rupanya ada yang masuk ke agama-agama resmi
Katolik, mengikuti P. Tedja Buana. Berdasarkan lainnya, seperti Islam dan Protestan. Dengan
hasil penelitian, masuknya umat eks-ADS ke demikian, berbeda-beda agama tidak menjadi
dalam Gereja Katolik ternyata diikuti oleh budaya alasan terjadinya perpecahan. Melainkan karena
(religius) yang mereka anut sebelumnya. memiliki sejarah kekerabatan yang sama, maka
peran budaya konkret sebagai pemersatu umat
Pengaruh budaya dalam kehidupan beragama
beragama di sana.
yang tampak dalam kehidupan umat eks-ADS di
Cigugur dapat ditunjukkan dalam beragam bentuk Cornelius Iman Sukmana
yang hadir dalam berbagai peristiwa. Dalam Pengajar di Prodi Ilmu Pendidikan Teologi,
kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa Sunda Unika Atma Jaya, Jakarta,
membuat budaya tetap hidup dalam kehidupan Email:cornelius.iman@atmajaya.ac.id
umat Katolik di sana. Hal ini terlihat dalam
CATATAN AKHIR
peristiwa-peristiwa keagamaan, seperti ibadat
1
yang diselenggarakan di tengah umat, di rumah- Dalam tulisannya, Heitink & Hartono menuliskan
rumah penduduk. Umumnya ibadat ini meng- bahwa: “gagasan mengenai modernitas sebagai
gunakan bahasa setempat, kadang di antaranya konteks pastoral di Indonesia didasarkan atas hukum
sosiologis yang mengatakan bahwa gejala modernitas
cara pikir dan merasa yang khas budaya setempat
muncul ketika terjadi transisi dari budaya agraris ke
digunakan di sini. budaya industri.” Gambaran demikian konkret terjadi
Perkembangan umat Katolik di Cigugur lebih di tengah masyarakat perkotaan, atau sekurang-
dominan dalam bentuk kelahiran anak. Dalam kurangnya daerah yang tengah menuju kea rah
peristiwa ini, budaya Sunda eks-ADS kadang tersebut.
2
Tentang sejarah singkat umat Katolik Sunda di
masih dapat ditemukan juga. Istilah “maras” atau
Cigugur dapat dibaca dalam tulisan C. Iman
mencukur rambut bayi setelah berumur 40 hari Sukmana, Menuju Gereja yang Semakin Pribumi:
merupakan upacara adat Sunda di sana. Namun Analisis Konflik Internal dalam Gereja Eks-ADS.
bagi orang Katolik upacara adat tersebut diangkat Jakarta: Penerbit Atma Jaya, 2011.
dalam kehidupan beragama sehingga diseleng- 3
“Agama dan budaya bersama-sama terhubung secara
garakan ibadat khusus. Dengan kata lain, penga- tertutup. Agama merupakan elemen terdalam dari
ruh budaya setempat di sini terlihat yakni mem- budaya, yang memberikan sistem makna padanya
bentuk tradisi keagamaan dalam bentuk ibadat dalam konteks berbagai perspektif yang ultim.
maras bayi. Sebaliknya, budaya memberikan suatu kehadiran
yang bersifat sosio-historis terhadap kepercayaan dan
Selain peristiwa kelahiran, perkawinan dan komitmen religius. Dalam komunitas manusiawi
kematian juga merupakan peristiwa yang hidup di yang sederhana dalam agama-agama kosmik di sana
tengah umat yang kental dengan nuansa budaya. tidak ada pemisahan antara agama dan budaya.”
Keterlibatan berbagai pihak dalam peristiwa ini (1990: 12)
4
tidak dibatasi oleh agama tertentu saja. Artinya Wawancara, hari Sabtu, 17 Juli 2010, 15.00-16.30
peristiwa penting dalam kehidupan manusia WIB, di rumahnya di Sukamulya.
5
Undak-unduk basa atau tingkat-tingkat bahasa ini
tersebut mengundang umat berbagai agama untuk
dikenal dalam budaya Sunda. Dalam sejumlah tulisan
hadir dan menyaksikannya. Kehadiran berbagai ada yang mengatakan bahwa undak-usuk bahasa ini
umat beragama tersebut dipersatukan oleh rasa rupanya dipengaruhi oleh undak usuk bahasa yang
kemanusiaan yang teraktualisasi dalam wujud diproduksi oleh kerajaan Mataram (Ajip Rosidi,
budaya. Jadi, budaya dalam kehidupan bersama 2007: 21). Di sini Ajip mengacu pada G. Moedjanto,
dapat menjadi praksis keberagamaan seseorang. “Konsolidasi Kedudukan Dinasti Mataram lewat
Dengan kata lain, “budaya” berperan mengha- Pengembangan Bahasa Jawa”, Yogyakarta, Basis,
dirkan berbagai kalangan dari berbagai keper- Juli-September, hh. 267-278 dan hh. 295-311.
6
cayaan atau agama yang berbeda-beda. Maka Misa Rayagunan adalah satu Misa yang
budaya merupakan pemersatu berbagai umat, diselenggarakan di Cigugur dengan sangat meriah.
Misa ini terinspirasi oleh upacara adat Sunda, yakni
sehingga toleransi dan pluralisme menjadi
Upacara Seren Taun atau Pesta Nutu.
terwujud. 7
Buku kenangan 40 tahun imamat Rm. A. Rutten,
Bersatunya umat dari berbagai agama dalam OSC, Cigugur, 2004, h. 39`
peristiwa-peristiwa kemanusiaan di atas dapat
dikaitkan juga dengan faktor kekerabatan yang
hidup di tengah umat tersebut. Hal ini dapat dilihat
DAFTAR RUJUKAN

189
Peran Budaya dalam Kehidupan Beragama (Cornelius Iman Sukmana)

______. 2000. Kebudayaan dan Agama, (A. Budi Iman Sukmana, C. 2011. Menuju Gereja yang
Susanto, Penerjemah). Kanisius, Semakin Pribumi: Analisis Konflik
Yogyakarta Internal dalam Gereja eks-ADS. Penerbit
Atma Jaya, Jakarta.
Amaladoss. Michael. 1990. “The Encounter of
Religions”, Making All Thing New: Johnstone, Ronald L. 1983. Religion in Society, a
Dialog, Pluralism & Evangelization in Sociology of Religion. Prantice-Hall,
Asia. Maryknoll, Orbis Books, New York. London.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Antropologi.
Gramedia.
Mudji Sutrisno, F.X. 2008. Filsafat Kebudayaan:
Bakker. Y.W.M. 1976. Agama Asli Indonesia. Ikhtiar Sebuah Teks. Ttt: Hujan Kabisat.
Seri Puskat No. 95. S.,T.Kat
Sena Adiningrat, K.P. 2010. “Eksistensi ‘Agama
Pradnyawidya, Yogyakarta.
Asli Indonesia’ dan Perkembangannya
Geertz, Clifford. 1966. “Religion As a Cultural dari Masa ke Masa”, makalah
System”, dalam Benton, Michael. disampaikan dalam Sidang Mahkamah
Anthropological Approaches to the Study Konstitusi dalam rangka Permohonan Uji
of Religion. Routledge, Great Britain. Materi Undang-undang No. 1/PNPS/1965,
di Jakarta, 23 Maret 2010.
Heitink, Gerben & Ferd. Heselaars Hartono, SJ.
2006. Teologi Praktis: Pastoral dalam
Era Modernitas-Postmodernitas.
Kanisius, Yogyakarta.

190

Anda mungkin juga menyukai