Anda di halaman 1dari 36

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/350262395

RAMBU SOLO' SEBAGAI UPACARA PEMAKAMAN JENAZAH DI TANA TORAJA


(Tinjauan Wujud dan Unsur Kebudayaan)

Article · March 2021

CITATIONS READS

2 4,859

6 authors, including:

Muh. Saiful Mukminin


Universitas Sebelas Maret
4 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Muh. Saiful Mukminin on 22 March 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


RAMBU SOLO’ SEBAGAI UPACARA PEMAKAMAN JENAZAH DI
TANA TORAJA
(Tinjauan Wujud dan Unsur Kebudayaan)

Aufa Salsabila Yan Alfarah (B0519008), Firman Bagus Saputra (B0519018),


Muh. Saiful Mukminin (B0519037), Putri Widya Pangesti (B0519047), Shabrina Farah
Azizah (B0519057), Dr. Suryo Ediyono, M.Hum

Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak
Kebudayaan muncul sebagai ciptaan manusia dan menjadi sebuah instrumen yang
mengatur tingkah laku manusia itu sendiri. Manusia dalam berbudaya menggunakan
kemampuan akal dan budinya, sehingga dapat berkembang berbagai macam sistem tindakan
yang diperlukan dalam hidupnya sehingga menjadi makhluk yang paling berkuasa di muka
bumi ini. Sistem tindakan yang berasal dari manusia tersebut dapat menghasilkan pola
kegiatan berupa upacara adat. Upacara adat merupakan aspek yang melengkapi sebuah
kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara adat sangat penting dalam pembinaan
sosial-budaya suatu masyarakat. Hal tersebut disebabkan salah satu fungsi dari upacara adat
adalah sebagai penguat norma-norma serta nilai-nilai budaya yang berkembang dalam suatu
masyarakat. Salah satu bentuk upacara adat yang terkenal adalah upacara Rambu Solo’ yang
berkembang di daerah Tana Toraja. Upacara ini merupakan tradisi pemakaman jenazah yang
mewajibkan keluarga jenazah membuat pesta sebagai simbol penghormatan terakhir kepada
mendiang yang telah meninggal.

Kata Kunci: Kebudayaan, Upacara Adat, Wujud Kebudayaan, Unsur Kebudayaan, Tana
Toraja, Rambu Solo’

Abstract
Culture appears as a human creation and becomes an instrument that regulates human
behavior itself. Humans in culture use the ability of reason and mind, so that various kinds
of action systems that are needed in their lives can develop so that they become the most
powerful creatures on this earth. This human-derived action system can produce a pattern
of activities in the form of traditional ceremonies. Traditional ceremonies are aspects that
complement a community culture. Organizing traditional ceremonies is very important in
the socio-cultural development of a society. This is because one of the functions of traditional
ceremonies is to strengthen cultural norms and values that develop in a society. One of the
well-known forms of traditional ceremonies is the ceremony Rambu Solo ' which has
developed in the Tana Toraja area. This ceremony is a funeral tradition for the corpse, which
requires the family to hold a party as a symbol of final tribute to the deceased.

Keywords: Culture, Traditional Ceremony, Form of Culture, Cultural Elements, Tana


Toraja, Rambu Solo '

1
PENDAHULUAN

Kini, banyak orang membicarakan tentang “budaya” dan “kebudayaan.” Betapa sering
orang menyebutkan konsep-konsep seperti budaya ekonomi, budaya bisnis, budaya politik atau
politik budaya, seni budaya, kesenian dan kebudayaan, kebudayaan masyarakat dari suku
bangsa tertentu, dan lain-lain. Di satu sisi kita merasa bangga karena banyak orang berbicara
dan mengkaji tentang hakikat kebudayaan namun di saat yang sama banyak orang yang tidak
memahami makna kebudayaan sesungguhnya.
Kebudayaan pada hakikatnya sangat kompleks, sehingga para ahli selalu memberikan
pengertian, pemahaman, dan batasan yang bervariasi terhadapnya. Dalam literatur antropologi
atau kebudayaan, ada berbagai definisi mengenai kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan
tersebut terjadi karena mereka melihat kebudayaan dari aspek yang berbeda.
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-
hal yang bersangkutan dengan akal.” Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata budaya diartikan
sebagai pikiran dan akal budi. Sedangkan kata kebudayaan berasal dari kata budaya yang diberi
imbuhan ke-an yang dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia (seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat).
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari
kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani.
Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan mengubah alam.”
Sejak awal memang para ahli telah mengalami bahwa kebudayaan merupakan sebuah
fenomena multi dimensi yang kompleks yang sulit didefinisikan, kesulitan ini ditunjukkan oleh
tampilan ratusan definisi kebudayaan yang dapat dibaca dalam berbagai pustaka seperti dicatat
oleh Kroeber dan Kluckhohn (1952) bahwa ada lebih dari 160 definisi kebudayaan. Karena
ruang lingkup kebudayaan itu sangat luas maka perteori kita seolah sulit mendapatkan satu
definisi utama dari kebudayaan, juga karena ada begitu banyak perbedaan pandangan tentang
apa yang merupakan makna dari kebudayaan. Tambahan lagi berbagai bidang keilmuan seperti
komunikasi, sosiologi, psikologi, antropologi, dan antarbudaya sendiri memiliki definisi
tersendiri terhadap kebudayaan.
Kroeber dan Kluckhohn (1952) telah mengumpulkan banyak definisi mengenai
kebudayaan, dan mengelompokkannya menjadi enam golongan menurut sifat definisi itu, yakni
(1) definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan; (2)

2
definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara
kemasyarakatan; (3) definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan
sebagai aturan hidup dan tingkah laku; (4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang
menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan,
pemecahan persoalan, dan belajar hidup; (5) definisi yang struktural, yakni definisi yang
menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; (6) definisi yang
genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.
Menurut Edward Burnett Tylor (1871:1), seorang profesor antropolog asal Inggris,
memberikan satu definisi yang jelas tentang “kebudayaan” bagi kalangan ilmuwan barat.
“Culture or Civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole which
includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society.”
(Kebudayaan atau peradaban, dalam pengertian etnografi yang luas, adalah keseluruhan
kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan
dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat).
Hal yang hampir sama dijelaskan oleh Kluckhohn dan Kelly (1945:82) dalam A.L.
Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1952:44).
“Culture is that complex whole which includes artifacts, beliefs, art, all the other habits
acquired by man as a member of society, and all products of human activity as determined by
these habits.”
(Kebudayaan adalah seluruh kompleks yang meliputi artefak, keyakinan, seni, semua kebiasaan
lainnya yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat, dan semua produk dari
aktivitas manusia yang ditentukan oleh kebiasaan ini).
Koentjaraningrat mendefisinikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah
“kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak
perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks,
beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakukan membabi buta. Bahkan berbagai
tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama
kelahirannya (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kdeua kakinya), juga dirombak
olehnya menjadi tindakan berkebudayaan.

3
Nababan mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem komunikasi yang
mengikat dan memungkinkan bekerjanya suatu himpunan manusia vang disebut masyarakat.
Dengan demikian kebudayaan didefinisikan sebagai “sistem aturan-aturan komunikasi dan
interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan.”
Kebudayaan itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia; dan adalah
makna-makna kebudayaan ini yang manusia sampaikan satu sama lain dalam hidup
bermasyarakat.
Nababan membuat suatu pembagian yang lebih sederhana, yakni dengan memandang
kebudayaan sebagai: (1) pengatur dan pengikat masyarakat; (2) hal-hal yang diperoleh manusia
melalui belajar/pendidikan (nurture); (3) pola kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) sistem
komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama, kesatuan, dan
kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Kebudayaan yang berkembang di masyarakat sangat berkaitan dengan upacara adat.
Secara umum, upacara adat dapat diartikan sebagai salah satu tradisi di dalam masyarakat
tradisional yang masih dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan
masyarakat tersebut. Bagi banyak kelompok atau suku, upacara adat merupakan usaha manusia
untuk dapat berhubungan dengan arwah para leluhur. Selain itu, bagi mereka upacara adat juga
merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap
alam atau lingkungannya secara luas.
Ada banyak bentuk upacara adat dalam masyarakat, antara lain: upacara kelahiran,
upacara perkawinan, upacara pemakaman dan upacara pengukuhan kepala suku. Masyarakat
umum menganggap bahwa upacara adat selalu memiliki nilai sakral. Menurut mereka, upacara
adat telah diwariskan secara turun-temurun dilakukan oleh pendukungnya di suatu daerah.
Sehingga setiap daerah memiliki ragam upacara adat yang berbeda-beda dan bermacam-macam
seperti upacara adat perkawinan, kelahiran dan kematian.
Mengenai pengertian upacara adat, para ahli memiliki pengertian tersendiri dalam
mendeskripsikannya. Berikut merupakan pandangan beberapa ahli terhadap upacara adat:
1. Upacara adalah aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap
yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1980 :
140).
2. Ritual dapat diartikan sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam
waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis,

4
melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap
kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis. (Victor Turner)
Pada hakikatnya, upacara adat merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan pada kondisi
atau peristiwa tertentu yang ada pada masyarakat dan didasari oleh keyakinan religius dan
dianggap memiliki nilai yang relevan bagi masyarakat.
Kabupaten Tana Toraja terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, sekitar 328 KM dari ibu
kota Sulawesi Selatan, Makassar, atau sekitar 8 jam waktu tempuh jalan darat dari Makassar.
Mengutip pernyataan Demmallino dan Bambang (2004:17), Kabupaten Tana Toraja berbatasan
dengan kabupaten Luwu di wilayah sebelah timur, kabupaten Enrekang di sebelah selatan,
kabupaten Polewali Mamasa di sebelah barat, dan Provinsi Sulawesi Tengah di sebalh utara.
Posisi yang dihimpit oleh Gunung Latimojong dan Gunung Reute Kambola menjadikan
bentangan alam Toraja Indah. Pedesaan didominasi oleh hijaunya sawah dan ladang milik
warga. Pada tahun 2008, bagian utara Kabupaten Tana Toraja mengalami pemekaran ilayah
menjadi Kabupaten Toraja Utara, berpisah dengan kabupaten Tana Toraja. Kabupaten Tana
Toraja beribu kota di Makale dan Kabupaten Toraja Utara beribu kota di Rantepao.
Secara umum, jika dikaitkan dengan alam suku Toraja dibagi menjadi dua kelompok
lingkungan, yaitu masyarakat Toraja yang tinggal di desa (gunung) dan masyarakat Toraja
yang bermukim di kota. Masyarakat yang tinggal di gunung hidup berkelompok di sebuah
tondok. Tondok adalah kampung yang terdiri atas satu tongkonan dan beberapa rumah anggota
suku yang masih bersaudara atau berhubungan dekat. Kelompok masyarakat yang tinggal di
tiap tondok dinamakan saroan. Biasanya, orangtua tetap tinggal di rumah mereka yang ada di
gunung dan tetap beternak dan bertani, sedangkan anak mereka yang sudah berkeluarga tinggal
di kota, Rantepao atau Makale, untuk mengefiensikan waktu mereka dalam bekerja dan
membuka usaha.
Rambu Solo adalah upacara adat kematian yang berasal dari masyarakat Tana Toraja
yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia
menuju alam roh. Orang meninggal dipercaya pindah dari “dunia sekarang” ke “dunia roh”
untuk kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan.
Betapa pentingnya upacara ini sampai-sampai dipercaya masyakat Toraja sebagai
upacara penyempurnaan kematian. Oleh karena itu, orang yang meninggal dianggap benar-
benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Sehingga, apabila upacara
kematian belum dilaksanakan, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai
orang “sakit” atau “lemah”, dan jasadnya pun tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup
seperti dibaringkan di tempat tidur, diberi hidangan makanan dan minuman, dan bahkan selalu

5
diajak berbicara oleh anggota keluarga. Hal itu karena roh orang yang mati dipercayai
masyarakat Toraja masih berada di dalam jasad orang tersebut atau masih di “dunia ini”, belum
dipindahkan melalui upacara kematian ke “dunia roh” keabadaian melalui pemakaman.
Namun demikian, upacara pemakaman bisa tertunda dan baru dilaksanakan setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan.
Penundaan ini bertujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang
untuk membiaya pemakaman. Masyarakat Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang datang dengan tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya
(dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa
helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati tersebut pun dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, dan setelah itu arwah akan melakukan
perjalanan ke Puya.
Upacara kematian, Rambu Solok, tidak diragukan lagi merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal bagi masyarakat Toraja. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam kepercayaan Aluk, hanya
keluarga bangsawan biasanya yang menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman
seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang
rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi,
dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja dalam upacara kematian ini. Akan tetapi semua itu tidak berlaku
untuk pemakaman anak-anak

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau library research.


Menurut Mestika Zed (2004), penelitian kepustakaan tidak hanya membaca dan mencatat
literatur (buku, jurnal ilmiah, surat kabar, dan sebagainya) sebagaimana yang diketahui banyak
orang selama ini. Penelitian kepustakaan adalah rangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.
Lebih jauh Mestika Zed (2004) menjelaskan bahwa alasan menggunakan penelitian
kepustakaan adalah pertama karena penelitian tersebut hanya bisa dijawab dengan penelitian
kepustakaan. Kedua penelitian kepustakaan merupakan salah satu tahap dalam studi

6
pendahuluan, untuk memahami persoalan secara utuh. Ketiga adalah metode mengungkap
persoalan yang paling unggul untuk mengungkap persoalan penelitian.
Mestika Zed (2004) juga menyampaikan bahwa ciri utama library research adalah
pertama peneliti berhadapan langsung dengan teks/naskah (dalam hal ini buku, jurnal ilmiah,
surat kabar dan sebagainya) atau data angka, bukan dari pengetahuan lapangan dan saksi mata.
Kedua studi pustaka bersifat siap pakai, penelitian dengan model ini tidak pergi kemana-mana,
hanya berhadapan dengan sumber di perpustakaan atau media daring seperti google scholar.
Ketiga data kepustakaan menjadi sumber sekunder dalam penelitian dan keempat data
kepustakaan tidak dibatasi ruang dan waktu.
Dalam melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen, penulis menganalisis fakta yang
dinyatakan dalam kalimat-kalimat. Analisis ini mengutamakan penafsiran objektif berupa
telaah mendalam atas suatu persoalan yang diteliti. Data-data yang tersedia diuraikan dengan
menganalisis isi, lalu dituangkan secara naratif ke dalam hasil penelitian.
Dari penjelasan tersebut, peneliti mengkaji upacara Rambu Solo’ sebagai upacara
pemakan jenazah di daerah Tana Toraja dengan menganalisis dan meneliti sumber-sumber
pustaka yang berkaitan dengan upacara adat Rambu Solo’. Kemudian, hasil analisis tersebut
dipaparkan dan diuraikan dalam bentuk penjelasan secara naratif ke dalam bentuk hasil
penelitian.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis, penelitian, dan pembacaan penulis terhadap sumber-sumber


pustaka yang berkaitan dengan upacara adat Rambu Solo’, maka hasil penelitian tersebut
diuraikan dalam pembahasan berikut.
A. Wujud-wujud Kebudayaan menurut Koentjaraningrat
Koentjaraningrat (1996:150-152) menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga
wujud, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan
dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat
diraba atau di foto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan kata lain, dalam alam pikiran

7
warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat
menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering
berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat
bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, arsip,
koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer.
Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat,
memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan
menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya
atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat
untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat-istiadat untuk bentuk
jaraknya.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem social atau social system, mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari
hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan
adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat,
sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto, dan didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik
dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling
konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada
benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja; ada benda-benda yang amat kompleks
dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi atau benda-benda yang besar dan
bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil seni arsitek seperti suatu candi yang
indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu
kancing baju.

B. Unsur-unsur Kebudayaan menurut Koentjaraningrat


Koentjaraningrat (1974:2) ber-pendapat bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang
dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut sebagai isi
pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan yang meliputi:
a. Sistem kepercayaan

8
b. Sistem nilai dan pandangan hidup
c. Komunikasi keagamaan
d. Upacara keagamaan
2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial yang meliputi:
a. Kekerabatan
b. Asosiasi dan perkumpulan
c. Sistem kenegaraan
d. Sistem kesatuan hidup
e. Perkumpulan
3. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang:
a. Flora dan fauna
b. Waktu, ruang, dan bilangan
c. Tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia
4. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk:
a. Lisan
b. Tulisan
5. Kesenian yang meliputi:
a. Seni patung/pahat
b. Relief
c. Lukis dan gambar
d. Rias
e. Vokal
f. Musik
g. Bangunan
h. Kesusastraan
i. Drama
6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi:
a. Berburu dan mengumpulkan makanan
b. Bercocok tanam
c. Peternakan
d. Perikanan
e. Perdagangan
7. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi:
a. Produksi, distribusi, dan transportasi

9
b. Peralatan komunikasi
c. Peralatan konsumsi dalam bentuk wadah
d. Pakaian dan perhiasan
e. Tempat berlindung dan perumahan
f. Senjata

C. Pengertian Upacara Rambu Solo’


Rambu Solo’ adalah salah satu budaya berupa upacara pemakaman yang sangat
terkenal dari suku Toraja di Sulawesi Selatan bahkan dikenal sampai ke mancanegara.
Secara etimologi, isitilah Rambu Solo’ berasal dari kata rambu yang artinya asap atau sinar
dan solo’ yang artinya turun. Dengan demikian, Rambu Solo’ dapat diartikan sebagai
upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun (terbenam).
Kebudayaan Rambu Solo’ juga dikenal sebagai “Aluk Rampe Matampu’”. Hal itu
disebutkan oleh A.T. Marampu dalam bukunya, Guide to Tana Toraja, bahwa “Rambu Solo’
is performed in the afternoon. It is also called Aluk Rampe Matampu’.” Di sana dijelaskan
bahwa Aluk Rampe Matampu itu dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam (sore
hari), bukan pada waktu pagi hari.
Tangdilitin (2009) mengartikan istilah Aluk Rampe Matampu’ dengan aluk yang
artinya keyakinan atau aturan, rampe artinya sebelah atau bagian, dan matampu’ yang
artinya barat. Jadi, makna Aluk Rampe Matampu adalah upacara yang dilaksanakan di
sebelah barat dari rumah atau tongkonan.
Menurut Kamus Toraja-Indonesia yang disusun oleh J. Tammu dan H. Van der Veen,
aluk mengandung arti: (a) Agama, hal berbakti kepada Tuhan dan Dewa; (b) Upacara adat
atau agama, adat istiadat; (c) Perilaku, tingkah. Dari makna tersebut dapat dikatakan bahwa
aluk mencakup kepercayaan, upacara-upacara peribadatan menurut cara-cara yang telah
ditetapkan berdasarkan ajaran agama yang bersangkutan, adat istiadat, dan tingkah laku
sebagai ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga, dapat disimpulkan upacara adat Rambu Solo’ atau istilah lainnya dikenal
dengan Aluk Rampe Matampu’ adalah upacara pemakaman suku Toraja yang dilaksanakan
pada sore hari, dan dilakukan disebelah barat dari rumah atau tongkonan.

D. Wujud-wujud Kebudayaan Upacara Rambu Solo’


Kebudayaan masyarakat suku Toraja melalui upacara Rambu Solo’ dapat
diintegrasikan dalam wujud-wujud kebudayaan sebagai berikut.

10
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan dan sebagainya dalam upacara Rambu Solo’
Sistem nilai merupakan sistem yang merepresentasikan suatu kenyataan yang
masih harus dibentuk atau diwujudkan. Sistem nilai merujuk pada kebudayaan yang
dianggap sebagai pedoman tindakan yang masih perlu dibentuk. Perilaku masyarakat
tersebut membutuhkan interpretasi dari orang lain untuk mengetahui niai apa yang
dijadikan pedoman dalam bertindak. Makna tradisi Rambu Solo’ tidak hanya sekadar
upacara adat, akan tetapi mengandung nilai-nilai yang dijadikan pedoman berperilaku
bagi masyarakat Toraja. Nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi tersebut meliputi
nilai religi, nilai kekeluargaan, nilai prestise, dan nilai kebersamaan.
Bagi masyarakat Toraja, upacara Rambu Solo’ merupakan tradisi yang paling
tinggi nilainya dibanding dengan unsur budaya lainnya. Upacara Rambu Solo’ diatur
dalam Aluk Rampe Matampu dan mempunyai sistem serta tahapan sendiri yaitu dalam
upacara kematian. Upacara Rambu Solo’ merupakan salah satu aspek kehidupan yang
dianut masyarakat toraja yang pada awalnya sebagai kepercayaan Aluk Todolo.
Upacara Rambu Solo’ merupakan sebuah upacara yang sarat dengan nilai-nilai
adat istiadat (aluk) yang mengikat masyarakat Toraja. Bahkan, kepercayaan lama
percaya bahwa “Aluk diciptakan di langit. Oleh karena itu, aluk itu ilahi pula dan
seluruh makhluk tunduk kepada Aluk.
Pada dasarnya orang Toraja telah menanamkan arti kehidupan, arti kematian
dan, cara menanggulanginya kepada setiap keturunannya. Berdasarkan Paranoan
(1990) upacara rambu solo’ dalam budaya Toraja berimplikasi pada empat aspek yaitu:
a. Cinta, artinya pelaksanaan ritual Rambu Solo’ adalah tanda cinta terhadap orang
yang telah meninggal. Orang Toraja merasa ma busung (terkutuk) jika tidak
mengupacarakan orang tuanya yang meninggal dengan layak sesuai dengan
ketentuan tana-nya (takaran budaya).
b. Prestise, artinya bahwa ritual Rambu Solo’ dilaksanakan berdasarkan martabat
suatu rumpun keluarga. Jadi banyaknya hewan kurban yang disembelih dalam
upacara Rambu Solo’ menjadi tolak ukur tingginya martabat sebuah keluarga
atau si mati.
c. Religius, artinya aspek religius juga menjadi salah satu alasan pelaksanaan ritual
Rambu Solo’. Menurut mitos aluk to dolo, semakin banyak hewan kurban maka
arwah “si mati” semakin terjamin pula masuk puya (surga).

11
d. Ekonomi, artinya dalam uapacara Rambu Solo’ juga diadakan pembagian
warisan yang ditinggalkan si mati. Pembagian warisan itu didasarkan atas
jumlah hewan kurban yang dipersembahkan tiap ahli waris. Sehingga tiap ahli
waris berusaha mengurbankan hewan sebanyak-banyaknya untuk menguasai
harta warisan.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan dalam


upacara Rambu Solo’
Hubungan manusia dengan sesamanya dalam hal kebaikan memiliki fungsi
umum dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa memenuhi
kebutuannya sendiri sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini juga terdapat
dalam tradisi Rambu Solo’ di Tana Toraja. Kebersamaan yang terdapat dalam tradisi
Rambu Solo’ berupa tolong-menolong yang dilakukan dapat berupa bantuan tenaga,
barang dan lainnya. Saat Rambu Solo’ bagi Rante Ralla digelar, kerabat maupun
tetangga di sekitar tongkonannya membantu pelaksanaan upacara pemakaman tersebut
dari awal hingga akhir.
Dalam upacara Rambu Solo’, salah satu hal yang sangat penting adalah upacara
pemakaman. Tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Rambu Solo’ merupakan suatu
peristiwa yang mengandung dimensi sosial. Maksudnya, upacara Rambu Solo’ itu
tidak dapat dipisahkan dari masalah sosial sehingga di dalam pelaksanaannya harus
memerhatikan strata sosial dari orang yang meninggal. Bentuk upacara Rambu Solo’
dibagi ke dalam empat tingkatan, dan setiap tingkatannya memiliki beberapa bentuk.
Hal itu dijelaskan oleh L.T. Tangdilintin sebagai berikut.
a. Upacara Disilli’
Upacara Disilli’ adalah upacara pemakaman yang paling rendah di dalam
Aluk Tulodo, yang diperuntukkan bagi strata yang paling rendah atau anak-anak
yang belum memunyai gigi.
1. Dipasilamun Toninna, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan bagi
anak-anak yang meninggal pada waktu lahir. Anak itu akan dikuburkan
dengan plasentanya, sebagai pemakaman bersejarah.
2. Didedekan Palungan, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang
meninggal, tanpa ada binatang yang dikorbankan. Hal itu diganti dengan
mengetuk/memukul tempat makan babi saja.

12
3. Dipasilamun Tallok Manuk, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang
meninggal, yang dikuburkan bersama dengan telur ayam, pada malam
hari. Pemakaman itu tanpa pemotongan binatang korban.
4. Dibai Tungga’, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan dengan cara
mengantar jenazah ke kuburan pada malam hari dan disertai dengan
pemotongan seekor babi.
b. Upacara Dipasangbongi
Upacara Dipasangbongi adalah upacara pemakaman yang hanya
berlangsung selama satu malam. Upacara itu dilaksanakan bagi kelompok tana’
karurung (rakyat merdeka/biasa). Namun, upacara itu bisa saja dilakukan oleh
orang dari tana’ bulaan dan bassi jika secara ekonomi mereka tidak mampu.
1. Dibai A’pa, yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan hanya
mengorbankan babi empat ekor.
2. Ditedong Tungga’, yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan
kerbau satu ekor, tetapi babi tidak ditentukan banyaknya.
3. Diisi, yaitu upacara pemakaman bagi anak yang belum memiliki gigi.
Anak itu dapat diberi gigi emas atau besi, lalu dipotongkan kerbau seekor.
Upacaranya berlangsung selama satu malam, lalu besoknya dikuburkan.
Upacara itu biasanya dilakukan oleh orang yang berasal dari kelompok
bangsawan tinggi dan menengah.
4. Ma’tangke Patomali, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama
satu malam dan diberi kerbau dua ekor sebagai korban. Upacara itu juga
disebut “To Ditanduk Bulaan”.
c. Upacara Dipasangbongi
Dalam upacara Dibatang atau Didoya Tedong, setiap hari kerbau satu ekor
ditambatkan pada sebuah patok dan dijaga oleh orang sepanjang malam tanpa
tidur. Selama upacara itu berlangsung, setiap hari ada pemotongan kerbau satu
ekor. Upacara itu diperuntukkan bagi bangsawan menengah (tana’bassi), tetapi
juga bisa dipakai untuk kaum bangsawan tinggi (tana’ bulaan) yang tidak
mampu membuat upacara Tana’ Bulaan. Upacara itu dibagi lagi menjadi tiga
jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Dipatallung Bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 3
hari 3 malam dengan korban kerbau sekurang- kurangnya tiga ekor dan
babi secukupnya. Pada upacara itu dibuat pondok- pondok di halaman

13
tongkonan yang ditempati oleh seluruh keluarga selama upacara
berlangsung.
2. Dipalimang Bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 5
hari 5 malam dengan korban kerbau sekurang-kurangnya lima ekor dan
babi secukupnya. Pada upacara itu, selain membangun pondok di halaman
tongkonan, dibuatkan juga pondok upacaa di tempat yang dinamakan
“rante”.
3. Dipapitung Bongi adalah upacara pemakaman yang berlangsung selama 7
hari 7 malam dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tujuh ekor dan
babi secukupnya. Walaupun upacara itu berlangsung 7 hari, ada satu hari
yang digunakan untuk beristirahat meskipun acara korban terus
berlangsung. Hari itu dikenal dengan istilah “Allo Torro” (hari istirahat).
Tambahan dalam upacara itu adalah pembuatan “duba-duba”, yaitu tempat
pengusung mayat yang dibentuk seperti rumah adat Toraja. Pada upacara
Dipatallung Bongi dan Dipalimang Bongi, hal itu tidak dibuat, kecuali
“saringan”, yaitu tempat pengusung mayat tanpa tutup, yang menyerupai
rumah adat Toraja.
d. Upacara Rapasan
Upacara Rapasan adalah upacara pemakaman yang dikhususkan bagi
kaum bangsawan tinggi (tana’ bulaan). Dalam upacara jenis Rapasan, upacara
dilaksanakan sebanyak dua kali.
Upacara itu dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Upacara Rapasan Diongan atau Didandan Tana’ (artinya di bawah atau
menurut syarat minimal). Dalam upacara itu korban kerbau sekurang-
kurangnya sembilan ekor, dan babi sebanyak yang dibutuhkan/ sebanyak-
banyaknya. Karena upacara Rapasan dilaksanakan sebanyak dua kali,
upacara pertama dilaksanakan selama tiga hari di halaman tongkonan, dan
upacara kedua dilaksanakan di rante. Upacara pertama disebut sebagai
Aluk Pia atau Aluk Banua, yang berlangsung sekurang-kurangnya 3 hari
di halaman tongkonan, sedangkan upacara kedua disebut Aluk Palao atau
Aluk Rante karena pelaksanaanya berlangsung di rante dan dapat
dilangsungkan selama yang diinginkan oleh keluarga. Jumlah kerbau yang
dikorbankan dalam upacara pertama sama dengan jumlah yang

14
dikorbankan dalam upacara kedua meskipun kadang- kadang dilebihkan
satu atau dua ekor pada upacara kedua.
2. Upacara Rapasan Sundun atau Doan (upacara sempurna/ atas). Upacara
itu diperuntukkan bagi bangsawan tinggi yang kaya atau para pemangku
adat. Dalam upacara itu dibutuhkan korban kerbau sekurang- kurangnya
24 ekor, dengan jumlah babi yang tidak terbatas untuk dua kali pesta.
Upacaranya berlangsung seperti upacara Rapasan Diongan.
3. Upacara Rapasan Sapurandanan (secara literal diartikan serata dengan
tepi sungai ) berlangsung dengan korban kerbau yang melimpah (ada yang
mengatakan di atas 24,30, bahkan di atas 100 ekor). Pada upacara itu,
selain menyiapkan duba- duba (tempat pengusung mayat yang mirip
dengan rumah tongkonan), disiapkan juga tau-tau, yaitu patung orang
yang meninggal, yang diarak bersama dengan mayat ketika akan
dilaksanakan Aluk Palao atau Aluk Rante.
Rambu Solo’ terdiri atas beberapa ritual adat yang dilakukan secara runtut
oleh masyarakat Toraja. Ritual tersebut mengandung makna yang dipercaya oleh
masyarakat Toraja hingga saat ini. Ritual dalam Rambu Solo’ terdiri atas
Mappassulu’, Mangriu’ Batu, Ma’popengkaloa, Ma’pasonglo, Mantanu
Tedong, dan Mappasilaga Tedong.
Setelah keluarga Allu sepakat dengan Rambu Solo yang akan digelar,
maka keluarga mengadakan mappassulu’. Mappassulu’ merupakan simbol ritual
yang diadakan untuk memberi tahu warga sekitar bahwa akan diadakan Rambu
Solo secara meriah dalam waktu dekat. Dalam hal ini, keluarga harus
menyembelih kerbau sebagai sesajian.
Sebelum Rambu Solo digelar, maka ritual sebelumnya yang dilakukan
adalah Mangriu’ batu. Hal ini juga dilakukan oleh keluarga Rante Ralla.
Mangriu’ batu bertujuan untuk megusung batu dan di bawa ke tempat yang
digunakan untuk Rambu Solo. Tempat yang digunakan untuk untuk upacara
pemakaman seperti lapangan yang luas. Di tempat itulah batu itu kemudian
ditanam dan digunakan untuk menempatkan tali kerbau saat upacara
pemakaman berlangsung. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada batu
itu. Setelah disembelih, daging kerbau akan dipotong-potong dan akan dibagikan
kepada tamu yang hadir.

15
Ritual selanjutnya adalah ma’popengkaloa. Ritual ini juga dilakukan
kepada Rante Ralla yang akan diupacarakan Rambu Solo’ oleh keluarganya.
Ritual ma’popengkaloa dimaksudkan untuk menurunkan mayat ke lumbung
untuk disemayamkan. Lumbung ini digunakan sebagai tempat menyimpan
mayat yang ada di bagian depan tongkongan induk. Ma’popengkaloa atau biasa
disebut Ma’mopengkalo Alang adalah proses pengarakan mayat yang telah
dibungkus menuju ke sebuah lumbung untuk disemayamkan.
Ritual selanjutnya yang dilakukan adalah ma’pasonglo yang dilakukan
untuk mengusung mayat Rante Ralla ke kerandanya. Ritual ma’pasonglo
bertujuan untuk menaikkan mayat ke keranda yang telah dihiasi. Keranda dihias
dengan benang emas dan perak atau biasa dikenal dengan ritual ma’roto.
Keranda tersebut dikenal dengan saringan. Saringan adalah keranda jenazah
yang dihiasi oleh bermacam-macam ukiran dan berbentuk seperti tongkonan.
Ma’pasongolo atau a’Palao yaitu proses perarakan jasad dari area tongkonan ke
kompleks pemakaman yang disebut Lakkian.
Saat Rambu Solo dimulai, terdapat ritual mappasilaga tedong yang
bersifat hiburan. Ritual mappasilaga tedong berisi rangkaian acara hiburan pada
sore hari setelah proses penerimaan tamu selesai dengan memepertontonkan
maapasilaga tedong yang artinya adu kerbau. Selama upacara Rambu Solo’,
maka kegiatan ini yang paling ditunggu-tunggu. Oleh sebab iu penonton sangat
antusias dengan hal ini. Adu kerbau ini merupakan dijadikan sebagai sarana
hiburan. Kemudian, kerbau tersebut ditebas oleh seorang yang ahli di bidangnya.
Ritual dalam maapasilaga tedong dilakukan oleh ahlinya yang disebut
dengan Pa’tingoro. Seseorang itu mempunyai keahlian khusus dalam menebas
kerbau. Kerbau itu ditumbangkan dengan sekali tebas. Setelah itu, darah yang
mengalir dari tubuh kerbau itu akan dikumpulkan dalam wadah untuk dimasak.
Kemudian ada orang-orang yang sudah bersiap membawa wadah untuk
mengumpukan darah kerbau tersebut. Selanjutnya, darah kerbau itu akan
dimasak dan dimakan bersama.
Setelah itu maka rangkaian acara selanjutnya yang dilakukan adalah
Mantunu Tedong. mantunu tedong merupakan menebas kerbau dan babi saat
upacara pemakaman yang dilakukan. Cara penyembelihan khas orang Toraja
adalah dengan melakukan satu kali tebasan saja yang dilakukan menggunakan
parang yang dilakukan oleh ahlinya.

16
Pelaksanaan ritual Rambu Solo’ di Tana Toraja sarat dengan nilai-nilai
sosial. Nilai-nilai sosial yang terbentuk dalam upacara kematian ini, lama-
kelamaan akhirnya menjelma menjadi tradisi dalam tata pergaulan masyarakat
adat Toraja. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab ritual Rambu Solo’
tetap bertahan di tengah zaman yang berubah. Menurut Paranoan (1990),
motivasi sosio-kultural memainkan peranan penting dalam pada perlakuan orang
mati di suku Toraja antara lain:
a. Sebagai wadah pemersatu keluarga, artinya melalui ritus Rambu Solo’,
relasi kekeluargaan disegarkan kembali. Ritual ini menjadi ajang reuni
para kaum kerabat, bahkan dengan semua handai tolan atau kenalan biasa.
Orang bertamu, duduk bercerita massalu nene’ (menelusuri garis
keturunan) sambil ma’ panggan (siri-pinang) sehingga hubungan
kekerabatan antara keluarga besar kembali erat.
b. Sebagai tempat membagi warisan, artinya suatu kebiasaan yang dilakukan
keluarga si mati dalam ritual Rambu Solo’ adalah ma’ tallang atau
mangrinding (membagi warisan). Ma’tallang artinya mendapatkan harta
warisan “si mati” lewat mantunu (mengorbankan kerbau dan babi pada
saat upacara kematian si mati). Yang berhak ikut ma’tallang ialah anak
kandung si mati, kalau si mati tidak mempunyai anak, maka saudaranya
berkewajiban menyelenggarakan upacara kematian dan berhak atas harta
benda si mati dengan jalan ma’tallang.
c. Sebagai tempat menyatakan martabat, artinya dalam setiap ritual Rambu
Solo’ martabat dan harga diri orang Toraja dinyatakan lewat ma’tallang.
Anak dan keluarga “si mati” akan berlomba mencari kerbau yang nilainya
tinggi dalam konteks budaya Toraja. Sehingga banyaknya kerbau dan babi
serta keberhasilan dan kemeriahan penyelenggaraan ritual Rambu Solo’
akan meningkatkan martabat keluarga dan menciptakan nilai budaya
tinggi. Di sinilah letak keunikan orang Toraja dalam menghadapi upacara
kematian karena tidak berhitung ekonomis, tetapi yang ditonjolkan ialah
karapasan (kedamaian).
d. Sebagai tempat bergotong royong, artinya salah satu ciri khas orang Toraja
adalah gotong-royong, hal ini terlihat dalam tradisi sembangan ongan
(bantuan keluarga atau kenalan sebagai ungkapan belasungkawa) yang
ditujukan untuk membantu pelaksanan ritual Rambu Solo’. Semua

17
sembangan ongan berupa kerbau dan babi tidak boleh ditolak oleh
keluarga “si mati”. Pada waktu si pemberi sembangan ongan mengalami
kedukaan, barulah bantuan sembangan ongannya dikembalikan yang
disebut umbaya’ indan (membayar utang). Utang sembangan ongan tidak
boleh ditagih, walaupun begitu setiap kelurga yang berhutang akan
menggantinya dan membayarnya kembali sesuai dengan prinsip saling
mempercayai dengan penuh tanggung jawab.
e. Sebagai wadah pengembangan seni, artinya dalam ritual Rambu Solo’,
kesenian orang Toraja dipertunjukkan. Hal ini terlihat pada balun (kain
kafan) berwarna merah dan kuning diukir dengan corak matahari yang
bahannya bergantung pada status sosial “si mati”. Selama upacara
berlangsung secara berganti-ganti ditampilkan berbagai kesenian hingga
lagu duka yang mengungkapkan keberanian, kebaikan hati atau riwayat
hidup “si mati”.
f. Sebagai wadah berdonasi; Sebelum hewan kurban disembelih sebagian
disisihkan untuk sumbangan pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan,
jalanan, rumah ibadah, pengairan, dan fasilitas umum lainnya.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia dalam Upacara


Rambu Solo’
Dalam pelaksanaan dan merupakan rangkaian dalam pelaksanaan upacara
Rambu Solo’ di Toraja adalah benda-benda kebudayaan hasil karya masyarakat suku
Toraja. Benda-benda dalam upacara mempunyai arti dan makna tersendiri.
Tangdilintin mengemukakan macam-macam benda yang biasa digunakan dalam
upacara Rambu Solo’ di Toraja, antara lain sebagai berikut:
a. Tombi/bendera

Tombi yaitu fandel/bendera yang dibawa oleh keluarga yang panjangnya


disesuaikan dengan kebutuhan. Tombi berupa kain panjang yang seragam

18
menggambarkan keagungan dan ketinggian upacara pemakaman dan hanya
digunakaan oleh bangsawan tinggi Toraja.
b. Gandang/gendang

Gendang yang dipukul sebagai pengatur dan tanda peralihan acara-acara


pemakaman. Maknanya agar upacara yang berlangsung semakin meriah.
c. Bombongan/gong

Gong yang ditabuh menandakan tangis kepiluan bagi keluarga-keluarga


bangsawan orang Toraja sebagai tanda yang terus menerus dibunyikan pada
waktu acara berlangsung.
d. Maa

Kain berukir sebagai tanda kemuliaan dan keagungan dari orang Toraja.
Digunakan untuk membungkus kerbau untuk mengarak mayat, membungkus
peti mati, dan menghias lantang.

19
e. Sesaji

Makanan yang disajikan oleh keluarga untuk orang yang sudah meninggal,
karena dipercaya arwah orang yang sudah meninggal masih berkeliaran di
sekitar rumah.
f. Kuang-kuang

Tanda upacara yang diletakkan didepan sebagai upacara Aluk Todolo yang
menganut ajaran yang turun temurun dalam membinah arwah leluhur dalam
empat penjuru alam juga diajukan untuk para bangsawan. Simbol kuang-kuang
ini berupa bambu yang disusun dan dihiasi dengan hiasan-hiasan Toraja juga
menggunakan bulu ayam melambangkan strata atas dan dipasang sebelum
memotong hewan kurban.
g. Hewan kurban

20
Dahulu masyarakat Toraja kerbau hanya sebagai hewan yang biasa-biasa
saja yang dipakai untuk menggarap atau membajak sawah dan digunakan
sebagai alat transportasi rakyat yang sangat kuat. Namun seiring bergesernya
waktu kerbau semakin dihargai karena memiliki nilai yang tinggi di kalangan
masyarakat Toraja, dan menjadi alat tukar dengan benda lain sehingga satu ekor
kerbau pun memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh kaum
starata bawah, semakin banyak hewan kurban maka akan terlihat bahwa
keluarga tersebut dari kalangan bangsawan. Masyarakat Toraja percaya bahwa
roh yang orang yang sudah meninggal menunggangi salah satu kerbau yang telah
dikurbankan. Begitu pun dengan babi digunakan sebagai korban syukur kepada
Tuhan.

E. Unsur-unsur Kebudayaan Upacara Rambu Solo’


Kebudayaan masyarakat suku Toraja melalui upacara Rambu Solo’ dapat
diintegrasikan dalam unsur-unsur kebudayaan sebagai berikut.

1. Sistem religi dan upacara keagamaan dalam upacara Rambu Solo’


Aluk To Dolo merupakan agama asli Suku Toraja. Sejak tahun 1969, agama lokal
Toraja ini mendapatkan status resmi sebagai cabang dari agama Hindu Dharma, dan
sejak itulah ia dinamakan Alukta yang berarti agama kita. Aluk To Dolo adalah agama
asli nenek moyang suku Toraja. Berdasarkan statistik yang dikeluarkan BPS di
Makassar, pada akhir tahun 2010 pemeluk Alukta di Tana Toraja, yang mencakup
Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa berjumlah
30.023 jiwa (4%) dari total jumlah penduduk 618.578 jiwa. Akan tetapi, mayoritas
penduduk suku Toraja, walaupun dengan jumlah hanya 4%, sekitar 60% penduduk
Toraja dipercaya masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya. Oleh karena
itu, sekalipun mereka tidak memeluk agama Aluk To Dolo atau Alukta, adat istiadat
yang ada dan dijalankan hingga hari ini adalah kepercayaan nenek moyang mereka.
Di antara praktik agama Aluk To Dolo yang masih bertahan sampai sekarang
adalah upacara kematian yang disebut Rambu Solo’. Upacara Kematian memang
merupakan bagian dari sistem religi atau kepercayaan, karenanya dalam masyarakat
tertentu kematian memiliki tempat yang khusus dalam sistem kepercayaan suku Toraja
ini. Kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian di mana roh yang berpisah

21
dari jasad manusia, dipercaya akan hidup di sekitar mereka, dan bahkan
mempengaruhi kehidupan mereka. Agama Alukta atau Aluk To Dolo dipercaya
memberi dasar teologis yang kuat tentang upacara kematian di tana Toraja yang
disebut Rambu Solo’ ini.
Tuhan dalam sistem kepercayaan agama asli Toraja, Aluk To Dolo, disebut
dengan nama Puang Matua yang berarti Tuhan Sang Pencipta. Dalam agama Aluk To
Dolo, Puang Matua menciptakan seisi alam ini bersama dengan Aluk yang berarti
agama. Segala sesuatu diciptalan oleh Puang Matua dengan menggunakan semacam
embusan pandai besi yang terbuat dari emas, yang disebut sauna sibarrung berarti dua
embusan. Mula-mula yang diciptakan oleh Puang Matua adalah matahari, bulan,
bintang-bintang dengan memasukkan gumpalan batu besar ke dalam embusan dua itu.
Kemudian dicitakan hewan-hewan, tumbuhan, air, besi, padi, dan manusia dengan
memasukkan butir-butir emas ke dalam embusan dua tersebut. Semua diciptakan,
dalam sistem kepercayaan Aluk To Dolo, dalam keadaan bersaudara.
Disebutkan dalam agama Aluk To Dolo bahwa semua yang diciptakan Puang
Matua di atas memiliki tugas dan kewajiban untuk memuliakan dan menyembah Sang
Pencipta Puang Matua dan para dewa yang menjadi pesuruh-Nya. Cara-cara untuk
memuliakan dan menyembah Puang Matua ini telah diatur oleh Dia sendiri dalam
bentuk Aluk (agama) dengan upacara-upacaranya (lentenan Aluk) dan larangan-
larangan (pemali). Begitulah maka manusia telah ditetapkan akan mengadakan
upacara-upacara dalam bentuk persembahan-persembahan untuk memuliakan Puang
Matua dengan menggunakan makhluk-makhluk lain menurut hukum dan larangan
yang telah ditetapkan oleh Puang Matua sendiri. Manusia menggunakan makhluk-
makhluk itu dengan syarat memelihara mereka dengan layak, dan meminta izin
padanya dengan serentetan pujaan-pujaan, himne-himne, dan lagu-lagu yang
diucapkan dan dilagukan dalam setiap persembahan. Karenanya dikenal dalam agama
Aluk To Dolo aneka himne pujian, seperti passoma tebong sebagai himne pujaan untuk
kerbau, passuru’ bai sebagai himne pujian untuk babi, dan passuru’ manuk sebagai
himne pujaan untuk ayam.
Ritual kematian Rambu Solo’ didasari motif keagamaan yang sangat kuat.
Keagamaan yang dimaksud adalah Aluk To Dolo, agama asli Toraja. Motif keagamaan
yang dimaksud adalah bahwa setelah kehidupan dunia ini, jiwa atau arwah masuk ke
alam baru dan hidup di alam baru tersebut seperti kehidupan alam dunia ini. Kaitannya
dengan ritual kematian rambu solo’ adalah bahwa segala sesuatu yang dikorbankan

22
dalam upacara kematian rambu solo’, baik berupa pakaian yang dipakai untuk
membungkus sang mayat maupun hewan-hewan yang dikorbankan, ikut serta dibawa
dalam alam atau dunia baru yang disebut Puya. Puya juga berarti dunia jiwa atau
arwah dengan sang penguasanya yang disebut Puang La Londong.

2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial dalam upacara Rambu Solo’


Sistem kekerabatan pada masyarakat Toraja merupakan penerapan dari unsur
sistem organisasi yang ada dalam sebuah kebudayaan suatu masyarakat. Sistem
kekerabatan merupakan kerangka interaksi antara anggota masyarakat yang merasa
mempunyai hubungan kekerabatan. Pusat sistem kekerabatan adalah keluarga, baik
keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak mereka,
maupun keluarga luas (extended family) yang terdiri dari keluarga inti ditama kakek,
nenek paman, bibi, para sepupu, kemanakan dan lain-lain.
Dalam sistem kekerbatan terdapat prinsip-prinsip keturunan (descent) yang
membatasi keanggotaan kelompok kekerabatan itu. Kekerabatan adalah lembaga yang
bersifat umum dalam masyarakat dan memainkan peranan penting dalam aturan
tingkah laku dan susunan kelompok.
Sistem kekerabatan masyarakat Toraja memiliki sebuah karakteristik
kekerabatan yang menguatkan persatuan dalam keluarga, hal ini dapat dilihat dari
kekerabatan Toraja yang terbentuk dengan komposisi di setiap desa dimana terbentuk
dari suatu keluarga besar. Dalam setiap satu keluarga besar atau yang disebut dengan
Tongkonan, keluarga memiliki nama yang dijadikan nama desa. Sistem kekerabatan
dalam masyarakat Toraja teerbagi atas kelurga inti. Ayah sebagai pemegang peranan
utama dalam keluarga, sebagai penanggung jawab dalam keluarga, dan akan diganti
anak laki-laki bila meninggal. Sedangkan ibu hanya mendidik dan memelihara anak
serta nama baik keluarga. Dalam tatanan masyarakat Toraja, unsur terkecil dalam
sistem kekerabatan disebut Siulu (keluarga batih). Jika anak dalam keluarga
masyarakat Toraja lahir maka nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan
biasanya nama anak dipilih dari kerabat yang telah meninggal. Keunikan lain dari
sistem kekerabatan masyarakat Toraja adalah mereka mengadopsi anak meskipun
telah dikaruniai anak sebelumnya, hal itu dikarenakan masyarakat Toraja memiliki
keyakinan bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak pula tedong atau kerbau
yang akan dikurbankan saat orang tua angkatnya meninggal dunia.

23
3. Sistem pengetahuan dalam upacara Rambu Solo’
Upacara Rambu Solo’ termasuk sistem pengetahuan karena merujuk pada apa
yang telah dilakukan oleh masyarakat Toraja sebagai kebiasaan yang berkembang
dimasyarakatnya. Berbagai ritual yang terdapat dalam rambu solo’ di Toraja dalam
novel Puya ke Puya termasuk ke dalam sistem pengetahuan. Selain Rambu Solo’,
terdapat tradisi pemakaman bayi di Toraja yang yang sama-sama mempertimbangkan
status sosial keluarganya untuk meletakkan mayat bayi tersebut ke batang pohon tarra.
Adanya perbedaan tradisi pemakaman Rambu Solo’ dan pemakaman bayi di pohon
tarra dapat dapat diketahui melalui perbedaan cara memakamkan berdasarkan usia
orang yang meninggal tersebut. Oleh karena itu apa yang dilakukan masyarakat Toraja
dalam memakamkan bayi di pohon tarra juga termasuk sistem pengetahuan.
Dalam sistem pengetahuan, masyarakat Toraja juga memiliki pengetahuan
mengenai sistem tingkatan ekonomi. Oleh karenanya, masyarakat Toraja
mengkalkulasikan tingkatan ekonomi dengan pengetahuan yang mereka punya dengan
istilah yang kita kenal yaitu, strata sosial. Dalam kebudayaan masyarakat Toraja,
terdapat empat macam strata sosial : (1) tana' bulaan atau golongan bangsawan, (2)
tana' bassi atau golongan bangsawan menengah, (3) tana’ karurung atau rakyat
biasa/rakyat merdeka, (4) tana' kua-kua atau golongan hamba.
Mus. J. Huliselan dalam “ Keluarga dalam Tongkonan” (Scarduelli, 2005:390)
menyatakan bahwa ada tiga pelapisan sosial dalam suku Toraja, yaitu tomakaka,
ma’dika (menengah), dan kaunan (budak). Tomakaka adalah golongan bangsawan dan
di anggap sebagai golongan tertinggi. Golongan tomakaka diibaratkan sebagai rumah,
dan golongan-golongan yang lebih spesifik dalam golongan ini menjadi bagian rumah
tersebut. Pertama adalah golongan garopang (bagian sudut rumah). Mereka bertugas
memimpin musyawarah kerabat dalam pelaksanaan Rambu Solo’ dan Rambu Tuka
(Hamdan, 1987: 157). Ada lagi golongan Tomakaka Tulak Bala (tiang di tengah
bangunan dan menopang atap). Golongan ini adalah orang pemberani dan mengetahui
persoalan adat. Merekalah yang harus menjadi pelindung kelompoknya. Garopang
dan tulak bala sama-sama berfungsi sebagai pendamping dan penasihat pemimpin
kelompok. Golongan terakhir adalah golongan anak tomakaka, yaitu keturunan
tomakaka yang belum menjabat sebagai pimpinan dalam kelompok masyarakatnya.
Golongan ma’dika adalah golongan orang biasa. Golongan ini bukan hamba
tetapi juga bukan bangsawan (Huliselan, 1987 : 69). Golongan ini merdeka, dalam
artian tidak diperintah oleh golongan tomakaka, tetapi juga tidak memiliki budak.

24
Adanya pernikahan antar golongan ma’dika dan tomakaka membuat penunjukan
golongan antara mereka menjadi sulit. Golongan menengah bercampur dengan
golongan tomakaka. Masyarakat kampung pada saat ini hanya mengakui adanya dua
pelapisan sosial dalam suku Toraja, yaitu tomakaka dan kaunan.
Kaunan atau kaum budak adalah hamba golongan tomakaka dan merupakan
golongan yang paling rendah dalam stratifikasi sosial. Status kaunan diturunkan dari
orangtua kepada anaknya dan kemudian diturunkan lagi kepada keturunan generasi
selanjutnya. Status kaunan seseorang diperoleh dari beberapa hal, seperti
menghambakan diri karena kemiskinan, dibeli untuk dijadikan budak, dan juga status
yang diturunkan dari orang tua. Apabila seorang tomakaka jatuh miskin, mereka dapat
menghambakan diri kepada tomakaka yang kaya. Status tomakaka yang
menghambakan diri berubah menjadi kaunan (Huliselan, 1987 :70). Golongan
terendah dalam golongan kaunan adalah kaunan tai’ manuk (kotoran ayam). Golongan
kaunan tai’ manuk adalah golongan yang paling miskin dan bodoh (Hamdan, 1987
:160).
Cara menghapus status budak adalah dengan cara membayar sejumlah harga
pembelian orang tersebut atau harga orangtuanya, kepada tuannya. Biasanya
pembayaran berupa sejumlah kerbau dan babi. Cara lain yang dapat dilakukan orang
dari golongan kaunan adalah dengan menikahi pasangan dari golongan tomakaka.
Selain itu, seorang tuan dapat mengangkat status budaknya ke tingkat yang lebih tinggi
dari sebelumnya (Hamdan, 1987:160). Apabila seorang budak telah bekerja dengan
baik dan setia dalam jangka waktu yang panjang, tuannya dapat mengangkat budaknya
ke tingkat yang lebih tinggi. Para budak yang melepaskan diri dari perbudakan tetap
tidak dapat naik menjadi golongan ma’dika atau tomakaka, tetapi menjadi kaunan
bulawan.
Pada suku Toraja sekarang ini, status dalam pelapisan sosial masih terlihat tetapi
tidak ada lagi perbedaan pandangan dan perlakuan sebagai seorang hamba dan tuan.
Masuknya agama kristen ke Toraja pada permulaan abad ke-20 membawa perubahan
yang besar dalam banyak aspek, salah satunya dengan mengubah sistem stratifikasi
sosial dalam suku Toraja. Lapisan kaunan mulai hilang karena larangan dari
pemerintah kolonial dan desakan dari agama. Perbudakan dihapuskan sebab ajaran
agama mengajarkan bahwa sesama manusia sama di hadapan Tuhan. Status sosial
seseorang akhinya menjadi kabur, walau tidak sepenuhnya hilang.

25
Stratifikasi sosial dalam suku Toraja wujudnya samar. Artinya, masih ada tetapi
tidak begitu terlihat, dikatakan sudah tidak ada tetapi masih nyata. Inilah yang
termasuk dalam perkawinan. Dalam suku Toraja sendiri, masih banyak orang tua dan
keluarga besar yang keberatan untuk mengambil menantu dari golongan yang tidak
setara dengan mereka.

4. Bahasa dalam upacara Rambu Solo’


Bahasa Toraja sebagai alat komunikasi antar masyarakat dan sebagai penamaan
istilah-istilah dalam tradisi Rambu Solo'. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Toraja sendiri. Penggunaan Bahasa Toraja juga terdapat dalam prosesi doa. Dalam
ritual rambu solo’ doa-doa yang diucapkan seperti :
a. Doa sebagai permohonan perlindungan
Sola passulean allo
Angki rampo tumangke suru’
Angki petunda tomammaki
Matik tangngana langik
Angki paruyang tomatindomo
Matik inanna topalullungan
Umpennoloan mintu sarak tengka ke’deki
Doa tersebut berisi permohonan/berserah diri kepada Puang Matua supaya
memberi perlindungan serta kehidupan yang baik dan layak bagi manusia, juga
sebagai ucapan syukur karena hidup di dunia ini telah dinikmati oleh manusia
(termasuk yang telah meninggal) serta bagi keluarga yang telah ditinggalkan.
b. Doa Pengagungan Kepada Leluhur
1. To dolo kaubanan dao masuanggana topalullungan To dolo dao ba’ba
manikna, dao gaun ma’gulung-gulunganna
2. Tondok mariri litakna Kemasak pellaoanna Malangka ongan banuanna
Permohonan serta pujian kepada To Dolo agar tetap mengizinkan muka
bumi didiami manusia dan tetap memberikan kegemburan tanah untuk
kemakmuran manusia secara turuntemurun doa ini diciptakan pada zaman
kepercayaan animisme dan dinamisme yang dituju kepada para leluhur.
c. Doa Kepeda Orang Yang Wafat Agar Arwahnya Diterima
1. Ambekta urrinding lembong Umpayo-payo tondok Umbangunan biang
rakba Untuklak tille malulun

26
2. Mario-rio matarampak Songka kami barana’ki Tibambang kami
lamba’ki’ Todilolloan dao mai tongkonan layuk To dipamadatu muane
esungan pa’kalandoanna pa’tala baine Tongkonan peseoaluk tambakuku
3. Anna puang matua mora La sumpu mamase liu kaboro’ Tarru’ lamakari
tutu Lako batang ri kalena
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa orang tersebut adalah seorang
bangsawan yang lahir dari sebuah tongkonan yang termasyur dan mewarisi
tongkonan itu secara turun-temurun. Dari tongkonan itu lahir penguasa,
pemimpin atau pemangku adat yang mempunyai kuasa memerintah dan
mengayomi orang banyak yang disebut To Parengnge’ didoakan agar arwahnya
dapat diterima oleh yang mahakuasa.

5. Kesenian dalam upacara Rambu Solo’

(Keterangan gambar: pementasan Ma’ Badong)


Upacara kemakmuran di Tana Toraja dilakukan atas dasar kepercayaan yang
dianut sesuai dengan strata sosial dan tata aturan yang telah ditentukan. Salah satu
aturan dan kegiatan yang dilaksanakan pada upacara pemakaman adalah Ma’ badong.
Ma’ badong muncul sejak generasi utama di Toraja dan merupakan lirik tradisional
kematian karena cenderung kepada ratapan. Ma’ Badong dinyanyikan pada malam
hari ketika upacara adat kematian sedang berlangsung.
Ma’ badong sebagai salah satu bentuk sastra daerah masih terasa mempunyai
daya hidup di tengah masyarakat Toraja dan merupakan salah satu unsur kebudayaan
daerah diantara aneka ragam kebudayaan di Nusantara kita ini. Kebudayaan dan
fungsinya masih sangat penting dalam perbendaharaan kehidupan kebudayaan
masyarakat Toraja, bukan saja pada masa lampau bahkan dewasa ini menempati lubuk
jiwa masyarakat daerahnya.

27
Pementasan badong dilakukan oleh orang-orang yang tahu tentang sastra
tersebut. Mereka membentuk lingkaran dengan berdiri dan masing-masing
menghubungkan diri dengan orang disamping kiri dan kanan melalui jari kelingking.
Bagi orang yang gemar mementaskan seni tari badong, maka pementasan yang
umumnya digelar semalam suntuk tidak akan membuat mereka bosan dan mengantuk.
Demikian juga bagi orang yang mendengar maupun menyaksikan. Mengapa mereka
tidak bosan?, selain faktor utama adalah anggota kelompok badong itu menghayati apa
yang dilagukan dan dilakukan, juga karena kata-kata sastra yang dinyanyikan
mengungkapkan sejarah kehidupan, sifat dan watak mendiang. Disitulah nikmat dan
keunikan badong. Seseorang yang menyaksikan badong ia selain menonton suatu
tarian sekaligus ia menikmati nyanyian dan mendengar sejarah hidup, sifat, dan watak
almarhum. Justru dalam keasyikan mengulas sejarah hidup, sifat, dan watak mendiang
melalui lagu dan tari, maka seiring waktu tidak terasa menunjukkan fajar menyingsing
dan akan disusul oleh munculnya sang surya di ufuk timur. Dalam suasana seperti
itulah pagelaran badong diakhiri untuk mengerjakan pekerjaan lain, baik itu
menyangkut kelanjutan upacara pemakaman, maupun kegiatankegiatan lain. Pada
malam berikutnya badong dapat digelar lagi.
Bagi masyarakat Toraja, badong memiliki daya tarik tersendiri karena melalui
badonglah seseorang dapat mengenal sejarah kehidupan, sifat, dan watak mendiang.
Peranan dan penampilan dalam berbagai situasi akan ditemukan dalam badong.
Dengan cara demikianlah orang Toraja mengemukakan “riwayat hidup” seseorang
yang meninggal.
Seseorang yang meninggal yang patut diketahui riwayat hidupnya, tetapi tidak
ada badong dalam upacara pemakamannya, maka akan dirasakan sesuatu yang tidak
lengkap dalam upacara pemakaman tersebut. Oleh karena itu, dalam upacara
pemakaman menengah ke atas pada umumnya salah satu bagian dari pelaksanaannya
ialah menggelar upacara Ma’ badong.
Dilihat dari segi bentuk, badong tidak asing lagi bagi kita karena bentuknya
empat serangkaian, dan hal ini dapat kita temukan dalam puisi Indonesia. Dari segi
bentuk badong memiliki struktur yang hampir sama dengan pantun dan karmina
karena semuanya terdiri dari empat baris sebait. Selanjutnya apabila dilihat dari jumlah
suku kata tiap baris dalam badong, maka jumlah suku katanya berkisar antara lima
sampai delapan suku kata. Untuk lebih jelasnya perhatikan Ma’ Badong berikut ini:

28
Ilo’ tanete tumangi’
Lombok unmade-ade
Nani tamma’
Indo’ tangdieloran
Terjemahannya:
Di sana bukit meratap
Lembah yang berkabung
Di situ tempat lenyap
Ibu yang kekasih
Pemaknaan Ma’ Badong sendiri terletak pada proses mengaitkan hubungan
komunikasi, sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu
proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan
dalam pemrosesan tradisi (yang pada dasarnya terdiri dari makna-makna
tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Mengingat
tradisi ini biasa dilakukan upacara kematian tertentu dalam masyarakat maka tradisi
Ma’ Badong memiliki beberapa makna yang berkaitan dengan keberadaannya dalam
masyarakat. Ada beberapa makna dari tradisi Ma’ Badong yaitu (1) makna solidaritas,
dan (2) makna religius.
a. Makna Solidaritas
Makna solidaritas dalam upacara Ma' Badong dilihat dari pola sudut
pandang tingkah laku para peserta yang hadir pada upacara tersebut. Setiap
orang yang hadir pada upacara tersebut selalu berusaha untuk menjalin
komunikasi dengan yang hadir karena dianggap bahwa melalui upacara tersebut
mereka dapat saling mengenal dari dekat bahkan merupakan waktu yang khusus
dibuat untuk dipertemukan dan mengakrabkan setiap yang hadir. Contoh salah
satu lirik Ma’ Badong nasehat seperti:
Ke’de’ ko anta umbating!
Rapana ta rio-rio
Terjemahan:
Ayo! Berdirilah lalu kita menuangkan kesedihan kita
Saya terdiam dengan sangat sedih
b. Makna Religius
Makna religius mempunyai peranan penting dalam semua bidang
kehidupan orang toraja. Demikianlah dalam upacara kematian, setelah mayat

29
sampai ke kubur, keluarga ditinggalkan mengungkapkan kata-kata perpisahan
yang dinyanyikan dalam bentuk ungkapan Ma’ Badong. Manusia di hadapan
Tuhan sama nilainya bahkan yang masih hidup pun pasti akan mati. Jika ada di
antara keluarga mereka yang meninggal. Diberi nasehat agar sabar dan
menyerahkan semua masalah tersebut kepada Tuhan, diperingatkan bahwa
semua manusia itu akan meninggal, tidak terkecuali kepada siapapun. Manusia
di hadapan Tuhan sama nilainya bahkan yang masih hidup pun pasti akan yang
meninggal.
Dalam menghadapi segala masalah hidup yang demikian, mereka
sekėluarga tetap tabah dan menyampaikan semua penderitaan itu kepada Tuhan
kiranya Tuhan mereka, dan karena itulah makna religius hidup di dalam Ma’
Badong tersebut. Selain itu, para Pa’ Badong menyanyikan empat Badong
dengan makna pesan yang terkandung di dalamnya yaitu: tetap memelihara
keljarga secara berturut-turut sesuai dengan makna pesan yang terkandung
didalamnya yaitu:
1) Badong Nasehat (Badong Pa’Pakilala)
Contoh salah satu liriknya seperti:
E….! Umbamira sangtondokta?
To tau sangbanuanta?
Sangti’ doan tarampakta?
Terjemahan:
Hai….! di manakah orang sekampung kita?
Yaitu tetangga kita?
Rumpun keluarga kita?
2) Badong Ratapan (Badong Umbating)
Contoh salah satu liriknya seperti:
Kerangan umbongi-bongi
Samari tampak sarrona
Terjemahan:
Bertambah dari malam ke malam
Hanya sedih keluh penghabisannya
Makna religius dari Badong di atas adalah bahwa semua orang
atau manusia yang hidup di dunia itu akan mengalami yang namanya
mati, tidak ada satu pun manusia yang dapat menghindarkan kematian.

30
3) Badong Berarak (Badong Ma’ Palao)
Contoh salah satu liriknya seperti:
Tiromi tu tau tongan
Tu to natampa puangna
Terjemahan:
Lihat orang yang sebenarnya
Orang yang ditempa oleh ilahnya
Makna religius dari Badong di atas adalah perjalanan seorang
manusia yang telah meninggal dunia ke alam baka. Di mana
perjalanannya begitu baik sehingga setibanya di sana dia akan bertemu
dengan nenek moyangnya dan Tuhan yang telah menciptakannya serta
semua manusia yang ada di bumi.

4) Badong Selamat/berkat (Badong Passakke)


Contoh salah satu liriknya seperti:
Sampa’ batingkira tondo
Pango’ tononan marioki
Napokinallo ilalan
Terjemahan:
Begitulah uraian kesedihan kamu
Penjelasan kesedihan kami
Menjadi bekal perjalanannya
Makna religius yang terkandung dalam Badong di atas adalah
apabila orang yang telah meninggal selama hidupnya melakukan banyak
kebaikan yang nantinya akan menjadi bekalnya di akhirat maka
perjalanannya menuju kesana akan berjalan baik.

6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi dalam upacara Rambu Solo’
Mata pencaharian utama suku Toraja yang tinggal di Toraja adalah bercocok
tanam sebagai petani sawah dan kebun, peternak, pedagang, dan pengrajin. Selain
padi, tanaman yang ditanam adalah kopi, jagung, coklat, dan kacang-kacangan
(Demmallino dan Bambang, 2004:18). Musim mengerjakan sawah di Toraja jatuh
pada bulan November dan Desember sebab pada masa tersebut, musim penghujan tiba.

31
Sebelum masa Orde Baru tahun 1965, perekonomian masyarakat Toraja
bergantung pada pertanian dengan produk utama singkong dan jagung. Selain itu,
masyarakat Toraja juga beternak kerbau, babi, dan ayam untuk kebutuhan berkurban
saat upacara adat dan bahan pangan. Sejak Orde Baru, masyarakat Toraja khususnya
generasi muda banyak yang pindah untuk bekerja di perusahaan asing. Ekonomi
Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata sejak 1984. Masyarakat Toraja
memperolah pendapat dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata atau menjual
cinderamata. Hal itu bertahan sampai saat ini. Bahkan, pariwisata di Toraja terus
berkembang hingga sekarang. Sistem mata pencaharian berkaitan dengan strata yang
dipercayai oleh masyarakat Toraja. Golongan bangsawan memiliki kendali dalam
kepemilikan kebun atau hewan ternak. Sedangkan masyarakat golongan bawah,
dijadikan sebagai budak atau pekerja untuk mengurusi kebun dan hewan ternak
tersebut.

7. Sistem peralatan hidup atau teknologi dalam upacara Rambu Solo’

(Keterangan gambar: tongkonan sebagai peralatan


hidup atau teknologi dalam upacara Rambu Solo’)
Salah satu sistem peralatan hidup atau teknologi dalam upacara Rambu Solo’
adalah Tongkonan. Istilah Tongkonan, yang berasal dari kata tongkon, berarti duduk
atau didudukkan. Duduk mengambil kedudukan di masyarakat-merupakan konsep
penting bagi orang Indonesia dan Oseania. Tongkonan merupakan kursi dari nenek
moyang yang dihormati yang menemukan rumah tersebut. Salah satu keturunan dari
sang penemu (the founders), kepala kelompok keluarga, memimpin rumah dan segala
isinya. Dia bertanggungjawab untuk mengamati upacara, tak peduli apakah upacara
tersebut besar atau kecil, dimana rumah (tongkonan) adalah pusat sosial dan religius
bagi kelompok keluarga. Dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh istrinya.

32
Rumah tongkonan memiliki pusaka tertentu yang sakral dan harus dimunculkan pada
upacara (Kis-Jovak dkk. 1988:34).
Rumah Toraja dikategorikan sebagai ‘rumah masyarakat’ (house-society) yang
dapat memengaruhi kehidupan masyarakatnya (Levy Strauss 1983). Nenek
moyang mereka memerhatikan kehidupan turunannya dari kehidupan selanjutnya
(hereafter). Turunannya membentuk kelompok keluarga besar (pa’rapuan) atau
kelompok keluarga kecil (rapu’) yang bertemu dari waktu ke waktu dalam
upacara-upacara khusus. Tongkonan merupakan simbol yang terlihat (visible
symbol) dari pa’rapuan, pusat upacara upacara keluarga (Kis-Jovak dkk. 1988:36).
Jika tongkonan adalah pusat dari segala selebrasi, maka ‘Rumah’ adalah properti dari
seluruh pa’rapuan atau rapu (Kis-Jovak 1988:16).
Tongkonan dapat berupa rumah tradisional (banua) dan lumbung padi (alang
atau korang). 'Rumah' dan lumbung selalu berpasangan, dan sebuah rumah dapat
memiliki satu sampai tiga alang yang letaknya berjejer dan berhadapan dengan banua,
yang tipenya bisa berbeda-beda di dalam kecamatan itu sendiri (within district) atau
antar kecamatan (between districts). Ini mengindikasikan pentingnya beras/padi bagi
orang Toraja, bukan hanya karena ia dianggap sebagai ‘simbol kehidupan’, tetapi juga
dipandang sebagai ‘tanaman emas’ dari Dunia Atas dan sawah diciptakan di Surga,
sementara alang merupakan simbol status sosial (Kis-Jovac dkk. 1988:44). Dalam
kaitan dengan ini, ‘orang buat alang karena orang punya sawah’ yang secara spesifik
menunjukkan bahwa alang adalah simbol kesejahteraan sekaligus status sosial
pemiliknya. Tak mengherankan jika ditemukan ada tongkonan yang memiliki lebih
dari satu alang. Keberhasulan panen tidak saja terkait dengan kecukupan jumlah beras
untuk dimakan, tetapi juga berhubungan dengan kemampuan untuk mengelola
upacara-upacara yang utama, seperti Rambu Solo’ (upacara kematian), Mangrara
Banua (upacara kesyukuran atas renovasi/pembangunan tongkonan).

SIMPULAN

Upacara adat merupakan salah satu bentuk realisasi wujud kebudayaan yang berupa suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat atau sering disebut sistem
sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi dari
waktu ke waktu dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.

33
Salah satu suku bangsa yang memiliki upacara adat adalah suku Toraja. Suku Toraja
adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Suku Toraja juga
menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat. Suku Toraja yang mendiami daerah
pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup
Austronesia yang asli dan mirip dengan Budaya Nias. Setelah melalui proses akulturasi maupun
asimilasi budaya, di Tana Toraja dapat dijumpai agama Kristen Protestan, Katolik, Islam dan
Hindu Toraja, dan penduduk mayoritas adalah Kristen Protestan.Wilayah Toraja juga dikenal
Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo artinya adalah “negri yang bulat seperti
bulan dan matahari”.
Upacara adat paling terkenal yang dilakukan oleh masyarakat suku Toraja adalah Rambu
Solo’. Rambu Solo’ adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga
almarhum membuat sebuah pesta sebagi tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang
telah pergi. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini,
mewajibkan keluarga yang ditinggal untuk melakukan upacara terakhir bagi mendiang.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
_____________. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Panggarra, Robi. 2015. Upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja: Memahami Bentuk Kerukunan
di Tengah Situasi Konflik. Bandung: Kalam Hidup.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Jurnal Ilmiah
Embon, Debyani. "Sistem simbol dalam upacara adat Toraja Rambu Solo: Kajian semiotik."
Bahasa dan Sastra 4.2 (2018).
Hidayah, Mei Nurul. "Tradisi Pemakaman Rambu Solo Di Tana Toraja Dalam Novel Puya Ke
Puya Karya Faisal Oddang (Kajian Interpretatif Simbolik Clifford Geertz)." Bapala 5.1
(2018).

34
Idrus, Nurul Ilmi. "Mana’dan Éanan: Tongkonan, Harta Tongkonan, Harta Warisan, dan
Kontribusi Ritual di Masyarakat Toraja." Etnosia: Jurnal Etnografi Indonesia 1.2
(2017): 12-26.
Ismail, Roni. "Ritual kematian dalam agama asli Toraja “Aluk to dolo”(Studi atas upacara
kematian rambu solok)." Religi: Jurnal Studi Agama-agama 15.1 (2019): 87-106.
Limbong, Intan. 2020. “PENGARUH SALAH SATU BUDAYA (RAMBU SOLO’)
TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI TORAJA UTARA.” OSF
Preprints. November 13. doi:10.31219/osf.io/umn6e.
Pasasa, Andrianus. "MEMANFAATKAN UNSUR-UNSUR DALAM UPACARA RAMBU
SOLO’SEBAGAI SATU WUJUD BUDAYA UNTUK DIJADIKAN TITIK TEMU
BAGI REEVANGELISASI SUKU TORAJA." Jurnal Amanat Agung 10.1 (2014): 183-
200.
Patandean, Mutiara, Wa Kuasa Baka, and Sitti Hermina. "TRADISI TO MA’BADONG
DALAM UPACARA RAMBU SOLO’PADA SUKU TORAJA." LISANI: Jurnal
Kelisanan, Sastra, dan Budaya 1.2 (2018): 134-139.
Rima, Grace. "Persepsi mayarakat Toraja pada upacara adat Rambu Solo’dan implikasinya
terhadap kekerabatan masyarakat di Kecamatan Makale Kabupaten Tana Toraja."
Phinisi Integration Review 2.2 (2019): 227-23.
Tumirin, dan Ahim Abdurahim. "Makna Biaya Dalam Upacara Rambu Solo." Jurnal Akuntansi
Multiparadigma 6.2 (2015): 175-184.

Skripsi
Harliati. (2012). Toraja sebagaimana yang terlukis dalam Landorundun Karya Rampa’
Maega: sebuah Tinjauan Sosiologis. Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan
Budaya Universitas Indonesia.

Sumber Gambar
Embon, Debyani. "Sistem simbol dalam upacara adat Toraja Rambu Solo: Kajian semiotik."
Bahasa dan Sastra 4.2 (2018).
https://www.torajaku.com/2016/08/prosesi-adat-mapasonglo-pada-acara-pemakaman-almh-
yohana-randa-di-leatung-sangalla-utara.html diakses pada 5 Januari 2021 pukul 09:01
http://budayatoraya.blogspot.com/2013/10/maa-sarita.html diakses pada 5 Januari 2021 pukul
09:14
https://www.infobudaya.net/2020/01/rambu-solo-upacara-pemakaman-termahal-di-dunia/
diakses pada 5 Januari 2021 pukul 09:17
https://www.beritasatu.com/photo/4418/prosesi-rambu-solo-di-toraja diakses pada 5 Januari
2021 pukul 09:53

35

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai