Anda di halaman 1dari 9

Kajian Budaya dan Keilmuan Islam

Oleh:
Abdul Muin
22380011033
Program Pascasarjana
Prodi Pendidikan Agama Islam
Institut Agama Islam Madura (IAIN Madura)
Jl. Raya Panglegur No. KM 4. Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Jawa
Timur
Muin2351@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini akan mencoba untuk menguraikan kerangka konseptual Keilmuan
Islam dan Budaya. Bagi masyarakat, khususnya Islam tersendiri punya menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Studi ini juga akan mengeksplorasi kelayakan
Islam dianggap sebagai agama dari sekian banyak agama, yang telah atau akan
lahir dan tumbuh yang hingga saat ini masih bertahan di beberapa bagian
masyarakat dunia. Sejak pengalaman sejarah paling awal, masyarakat selalu
menempatkan nilai-nilai Islam pada posisi yang sangat sentral secara keseluruhan
aspek kehidupan. Fenomena yang terkandung dalam falsafah hidup masyarakat
tercermin dari ungkapan Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh yang sebenarnya salah
satu prinsip hidup diwarnai oleh semangat ajaran Islam.
Kata Kunci: Keilmuan, Islam, Budaya.
A. Pendahuluan
Tradisi yang ada di Indonesia sarat akan makna-makna simbolik. Tak
terkecuali, tradisi yang berbasis keagamaan. Tradisi berbasis keagamaan, dalam
hal ini Islam, ada yang dilaksanakan di komunitas khusus seperti pesantren. 1 jauh
sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia masih menganut agama samawi
seperti Hindu, Budha dan agama-agama primitif animistis lainnya, serta tradisi
sosial kemasyarakatan. Manusia yang hidup dalam masyarakat tersebut sudah
jelas di pengaruhi oleh berbagai paham dan tradisi yang ada di masyarakatnya.2

1
Abdul Kodir Jailani, Rio Febriannur Rachman, “Kajian Semiotik Budaya Masyarakat Nilai
Keislaman dalam Tradisi Ter-ater di Lumajang,” Mubarrik 3 no. 2 (Agustus 2020): 126,
https://doi.org/10.37680/muharrik.v3i02.460.
2
Limyah Al-Amri, Muhamma Haramain, “Akulturasi Islam dalam Budaya Lokal,” Jurnal
Kuriositas 11, no 2 (Desember 2017) 192, https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.
kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya perbedaan-
perbedaan dalam pemelukan agama sekaligus praktiknya, yang selanjutnya
membangun pengelompokan masyarakat berdasarkan pemelukan agama itu.
Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia juga ditandai oleh berbagai faktor
sosial dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan para pemeluk agama,
perbedaan tingkat sosial ekonomi para pemeluk agama, perbedaan latar belakang
budaya, serta perbedaan suku dan daerah asal. Kerukunan umat beragama akan
terbangun dan terpelihara dengan baik apabila gap atau jurang pemisah dalam
bidang sosial dan budaya semakin menyempit. Sebaliknya, kerukunan umat
beragama akan rentan dan terganggu apabila jurang pemisah antar kelompok
agama dalam aspek-aspek sosial dan budaya ini semakin lebar, termasuk jurang-
jurang pemisah sosial baru yang akan muncul akibat krisis moneter global saat ini.
Wacana penguatan kearifan lokal dalam mengatasi pergeseran nilai-nilai
budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam mengatasi problematika
keseharian masyarakat. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang
memiliki warisan kebudayaan memiliki peran yang cukup penting dalam
memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi guna memelihara
identitas dan melawan pengaruh westernisasi yang kian gencar menyelimuti
segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam
mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi
berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan
lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Di situlah
sebuah nilai akan dapat dirasakan.3 Maka dari itu penulis ingin sedikit mengkaji
hal-hal yang terkait dengan budaya dan keilmuan Islam
B. Pembahasan
1. Pengertian Budaya dan Ruang Lingkup
Konsep awal tentang kebudayaan berasal dari E.B. Tylor yang
mengemukakan bahwa culture atau civilization itu adalah complex whole
includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society. Batasan
tentang kebudayaan ini mengemukakan aspek kebendaan dan bukan
kebendaan itu sendiri atau materi dan nonmateri, sebagaimana Tylor
kemukakan bahwa kebudayaan ialah keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum dan
kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat (Garna, 2001: 157).
Kebudayaan adalah alat konseptual untuk melakukan penafsiran dan
analisis (Garna, 2001: 157). Jadi keberadaan kebudayaan sangatlah
penting, karena akan menunjang terhadap pembahasan mengenai
eksistensi suatu masyarakat. Kebudayaan sebagai suatu system budaya,
3
Agung Setiawwan, “Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf)
Dalam Islam,” Esensia XIII no 2 (Juli 2012), 205-206, https://doi.org/10.14421/esensia.v13i2.738.
aktivitas dan hasil karya fisik manusia yang berada dalam suatu
masyarakat dimana kemunculannya itu diperoleh melalui proses belajar,
baik itu formal maupun informal. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan
tidak akan hadir dengan sendirinya, melainkan ada karena adanya
manusia dalam komunitas sosial, sehingga antara manusia, masyarakat
dan kebudayaan akan saling mendukung. Manusia menciptakan
kebudayaan sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya di muka
bumi ini, karena dengan kebudayaan manusia akan mampu
melaksanakan tugasnya di muka bumi ini sebagai khalifah. Dengan
kebudayaan pula kehidupan keagamaan manusia akan nampak, dan ini
menjadikan pembeda terhadap jenis makhluk lainnya yang ada di muka
bumi ini.
Selanjutnya, Ralph Linton, mengajukan batasan kebudayaan yang
lebih spesifik, menurutnya bahwa kebudayaan adalah” a culture is the
configurationas of learned behavior and results of behavior whose
components elements are shared and trasmistted by the members of a
particular society. Pernyataannya ini mengandung makna bahwasannya
kebudayaan atau budaya dianggap sebagai milik khas dari manusia,
walaupun berbagai studi yang dilakukan kemudian tentang non human
primate.
Sedangkan Kroeber mengganggap bahwa kebudayaan itu memiliki
sifat yang superorganik yaitu keberadaannya telah mengatasi keberadaan
dari setiap individu atau organic yang artinya walaupun kebudayaan
itu dilakukan oleh semua orang, tetapi wujud atau keberadaannya bebas
dari individu tertentu.
2. Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas
unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian
dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Ada beberapa
unsur yang terdapat dalam kebudayaan, dimana kita sebut sebagai
cultural universals, yang meliputi:
a) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
b) Mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi
c) Sistem kemasyarakatan
d) Bahasa (lisan dan tulisan)
e) Kesenian
f) Sistem pengetahuan
g) Religi (system kepercayaan) (Soekanto, 1990: 193).
Selanjutnya, ketika memahami unsur-unsur kebudayaan tersebut,
maka kita bisa mengetahui tentang terdapatnya unsur-unsur kebudayaan
yang mudah berubah dan ada pula unsur-unsur kebudayaan yang susah
berubah. Adapun unsur-unsur budaya yang mudah berubah meliputi;
seni, bahasa, teknologi. Sedangkan unsur-unsur budaya yang sulit
berubah meliputi: agama (system kepercayaan), system social, dan
system pengetahuan (Kahmad, 2002).:
Budaya juga dibedakan menjadi dua, yaitu budaya kecil (little
culture), dan budaya besar (great culture). Budaya kecil adalah budaya
yang berada pada suatu masyarakat yang lingkupnya kecil (dianut oleh
beberapa orang saja) atau juga disebut local culture. Sedangkan budaya
besar adalah budaya yang dianut oleh banyak orang dengan skala
kepenganutannya luas. Ketika budaya kecil dan budaya besar saling
berhubungan melalui proses asimilasi, maka kemungkinannya budaya
kecil tersebut akan tersisihkan atau terkalahkan oleh budaya besar. Hal
ini menunjuikan bahwa eksistensi dari budaya besar tersebut begitu kuat
dan luas sehingga dengan mudah dan cepat bisa masuk kepada budaya
kecil yang dianut oleh hanya bebera orang saja, misalkan.
Budaya kecil (budaya local) yang ada pada suatu masyarakat
merupakan budaya yang sudah dibangun sejak adanya umat manusia di
muka bumi ini atau dengan kata lain, keberadaan budaya kecil sebagai
bentuk dari keberhasilan umat manusia didalam mempertahankan
hidupnya, karena bagaimanapun juga budaya kecil itu ada secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kehadiran budaya
besar, tentunya akan membawa suatu perubahan yang akan terjadi pada
suatu komunitas yang yang memiliki budaya kecil, sehingga keberadaan
budaya besar akan tetap eksis dan dan bisa jadi keberadaan budaya kecil
akan mengalami penyusuitan atau bahkan hilang dari eksistensinya pada
suatu masyarakat.4
3. Kajian Budaya
Dinamika kajian budaya (cultural studies) telah membawa pengaruh
penting dalam memahami sebuah kebudayaan. Mengkaji sebuah
kebudayaan berarti harus berani mendefinisikan kembali kebudayaan itu
sendiri sebagai sebuah proses pemaknaan. Kebudayaan bukan dipandang
sebagai hal generik yang merupakan pedoman yang diturunkan atau
diwariskan, melainkan dipandang sebagai kebudayaan diferensial yang
dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial. Kebudayaan semacam
itu bukan lagi suatu warisan yang secara turun- temurun dibagi bersama
secara kolektif, melainkan lebih bersifat situasional yang keberadaannya
bergantung kepada karakter kekuasaan dan hubungan yang berubah dari
masa ke masa secara kontekstual. Asumsi tersebut sekaligus menegaskan
bahwa betapa dekatnya kebudayaan menyatu dengan kehidupan sehari-
hari umat manusia.5

4
Deden Sumpena, “ Islam dan Budaya Lokal: Kajian terhadap Interprelasi Islam dan Budaya
Sunda,” Ilmu Dakwah: Academic Journal For Humiletic Studies 6 no 1 ( Juni 2012), 105-107,
Islam dan Budaya Lokal: Kajian terhadap Interelasi Islam dan Budaya Sunda | Sumpena | Ilmu
Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies (uinsgd.ac.id)
5
Sutamat Arybowo, “Kajian Budaya dalam Perspektif Filosofi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya
Vol, 12 No. 2 (2010), 209-210.
Salah satu contoh hasil dari kajian budaya ialah tulisan tentang kajian
budaya pada novel Kusut karya Ismet Fanany. Kajian budaya pada novel
ini menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu:
a) Unsur budaya yang terdapat dalam Novel Kusut karya Ismet Fanany
memperlihatkan adanya unsur sistem mata pencaharian hidup, yakmi
tergambar bahwa masyarakat koto bekerja sebagai petani dan pedagang.
Selain itu, adanya sekolah menggambarkan bahwa sebagian masyarakat di
sana berprofesi sebagai guru.
b) Unsur budaya yang terdapat dalam Novel Kusut karya Ismet Fanany
memperlihatkan adanya unsur sistem religi, yakni ditemukan bahwa
mayoritas masyarakat dalam novel tersebut adalah agama islam. Hal ini
terlihat adanya masjid dan tradisi penyambutan bulan puasa yang selalu
dilaksanakan setiap tahunnya.
c) Unsur budaya yang terdapat dalam Novel Kusut karya Ismet Fanany
memperlihatkan adanya unsur kesenian, yakni ditemukan adanya sistem
kesenian, yakni adanya lagu-lagu daerah yang dinyanyikan oleh para
tokoh ketika acara penyambutan datangnya bulan puasa.6

4. Integrasi Kajian Keilmuan Islam


Konsep keilmuan tidak lepas dari konsep Islamisasi ilmu. Kata “Islamisasi”
dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya
oleh Allah SWT. melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu
perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan
dalam pembentukan mental. Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan
ilmu pengetahuan yaitu hubungan antara “Kitab Wahyu” al-Quran dan al-Sunnah
dengan “Kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu
ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu
kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta
sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-
Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”.
Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan
pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang
pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi
umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak
bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, Islamisasi ilmu
juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang
memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan.
Sesungguhnya, secara substansial proses Islamisasi ilmu telah terjadi sejak
masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu.
Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau
6
Sri Mulyani, “Kajian Budaya dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany,” Jurnal Diksastrasia Vol.
3 No. 1 (Januari: 2019), 38-39.
merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya
dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah
pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia.
Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama
sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Pada “zaman
pertengahan, Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim
seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan
pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani Kuno
untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari
filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu,
Islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau
dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah Islamisasi ilmu baru
dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim
pada tahun 70-an.
Dalam konteks modern, istilah "Islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan
diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-
Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syed
Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam
Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar
bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern
telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah memahami makna
ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu.
Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat,
namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan
manusia. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu
adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah
mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu,
Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang
sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas
Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang
diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang
memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai etika dan moral yang diatur oleh rasio manusia terus-menerus berubah.
Naquib Al-Atas bercita-cita ingin menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan
memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia. Karena itu,
seluruh hidupnya ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam,
agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan
umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang
ini.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “the liberation of man first
from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from
secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan
manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan
kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh
sekularisme).
Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama
Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of
Knowledge", dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama
"Malaise of the ummah". Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat,
kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler,
seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial
negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan
akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri. Karena itu, dalam pandangannya,
pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam
membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional
tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam
dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar
melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan kembali dan
mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam.7
5. Implementasi Kajian Keilmuan Islam
Integrasi keilmuan berhubungan erat dengan kurikulum. Dari kurikulum itu
dapat dilihat apakah keilmuan yang dikembangkan di lembaga pendidikan tertentu
itu integratif atau tidak. Dalam implementasinya, konsep integrasi keilmuan
mengalami berbagai masalah. Di antaranya upaya dalam merekonstruksi
paradigma ilmu pengetahuan secara holistic. Sehingga wacana integrasi keilmuan
yang dikembangkan di Indonesia tampaknya masih berada pada tataran normatif-
filosofis dan belum menyentuh ke wilayah-wilayah empirik-implementatif.
Salah satu yang terabaikan dalam integrasi keilmuan ini adalah
menerjemahkannya ke dalam kurikulum dan pembelajaran, karena bagaimanapun
kurikulum dan pembelajaran merupakan bagian penting dalam konteks
mengimplementasikan wacana integrasi keilmuan, sehingga tidak hanya berdiri
pada posisi normatif-filosofis, tetapi juga harus masuk ke dalam kurikulum dan
pembelajaran secara sistematik.
Namun demikian, untuk melihat integrasi keilmuan dalam kurikulum dan
pembelajaran ini tentu saja sangat bergantung kepada pemaknaan masing-masing
UIN terhadap konsep integrasi tersebut. Apakah integrasi merupakan perpaduan
ilmu agama dan ilmu umum dan melebur menjadi satu ilmu yang tidak
terpisahkan atau integrasi dimaknai sebagai islamisasi ilmu pengetahuan atau
bahkan integrasi keilmuan dimaknai secara simbolik saja, yakni hanya dengan
membuka progam studi umum di bawah payung manajemen UIN tetapi antara
ilmu umum dan ilmu Islam keduanya berjalan dan diterapkan sendiri-sendiri.
Semisal di UIN Malang, ketika berbicara integrasi keilmuan mereka memiliki
apa yang disebut dengan pohon keilmuan. “Pohon ilmunya bagus, akarnya adalah
ilmu dasar salah satunya bahasa, batangnya adalah Al-Quran dan hadits,
kemudian dahannya ialah ilmu sosial, sains. Akhirnya munculah ranting, dan
hasilnya itu berupa applied science (sains terapan). Dalam usahanya menerapkan
konsep integrasi keilmuan pada pengembangan kurikulum dan pembelajaran, UIN
7
M. Fahoim Tharaba, “Kajian Pemikiran Integrasi Keilmuan Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim Malang melalui Ulul Albab,” 4 (November 2019), 127-129, 7973.pdf
(uin-malang.ac.id)
Malang Membuat Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab (PKPBA),
Membuat Program Khusus Pengembangan Bahasa Inggris (PKPBI),
Membudayakan penulisan buku ajar terintegrasi bagi para dosen, Rekruitmen
dosen ilmu umum yang hafal al-Qur'an dan juga workshop integrasi keilmuan dan
lain-lain.8
C. Kesimpulan
Islam dan budaya merupakan dua komponen yang saling mendukung terhadap
perkembangannya, dimana Islam berkembang karena menghargai budaya
terutama budaya lokal, begitu pula budaya tetap eksis karena mengalami
perbauran dengan ajaran Islam
Begitu juga dengan Keilmuan Islam Ide atau gagasan Islamisasi ilmu muncul
di “dunia Islam” dan menjadi wacana di kalangan intelektual Muslim sebagai
hasil dari kritik para sarjana Muslim terhadap sifat dan watak ilmu-ilmu alam dan
sosial yang bebas nilai masih bergulir hingga saat ini. Bahkan universitas-
universitas Islam maupun sekolah-sekolah yang kemunculannya diilhami oleh
gerakan tersebut serta menjadikannya sebagai target yang ingin ditempuh.

D. Bibliografi
Abdul Kodir Jailani, Rio Febriannur Rachman, “Kajian Semiotik Budaya
Masyarakat Nilai Keislaman dalam Tradisi Ter-ater di Lumajang,”
Mubarrik 3 no. 2 Agustus 2020.
Limyah Al-Amri, Muhamma Haramain, “Akulturasi Islam dalam Budaya Lokal,”
Jurnal Kuriositas 11, no 2 Desember 2017.
Agung Setiawwan, “Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum
Adat (‘Urf) Dalam Islam,” Esensia XIII no 2 Juli 2012.
Deden Sumpena, “Islam dan Budaya Lokal: Kajian terhadap Interprelasi Islam
dan Budaya Sunda,” Ilmu Dakwah: Academic Journal For Humiletic
Studies 6 no 1 Juni 2012.
Sutamat Arybowo, “Kajian Budaya dalam Perspektif Filosofi,” Jurnal
Masyarakat dan Budaya Vol, 12 No. 2 .2010.
Sri Mulyani, “Kajian Budaya dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany,” Jurnal
Diksastrasia Vol. 3 No. 1 Januari: 2019.
M. Fahoim Tharaba, “Kajian Pemikiran Integrasi Keilmuan Universitas Islam
Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang melalui Ulul Albab,” 4
November 2019.
Umi Hanifah, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer Konsep Integrasi
Keilmuan di Universitas-Universitas Islam Indonesia,” Tadris 13, no 2
2018.

8
Umi Hanifah, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer Konsep Integrasi Keilmuan di
Universitas-Universitas Islam Indonesia,” Tadris 13, no 2 (2018), 17-18,
https://doi.org/10.19105/tjpi.v13i2.1972.

Anda mungkin juga menyukai