Anda di halaman 1dari 17

DUSUN KASURAN, BUDAYA DI ATAS MITOS

KEPERCAYAAN

DOSEN PENGAMPU: DEWI NOVIANTI, M.SI

Disususn Oleh :
1. Fatika Febrianti (153180055)
2. Pramudita Yuni Kartika (153180056)
3. Wahyu Lestari (153180057)
4. Alifah Irene Mernissi (153180058)
5. Riska Fahlia Sari (153180059)

KELAS C

PROGAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UPN “VETERAN” YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul “Dusun
Kasuran, Budaya di Atas Kepercayaan” dapat penulis selesaikan. Penyusunan
makalah ini diharapkan dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan tentang kepercayaan dan budaya di Dusun Kasuran.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Dewi Novianti, M.Si selaku dosen mata kuliah Pengantar Sosiologi UPN
“Veteran” Yogyakarta yang telah memberikan tugas makalah ini. Selain itu, ucapan
terima kasih juga penulis tujukan kepada kedua orang tua dan teman-teman yang
telah memberikan doa, dorongan, serta bantuan sehingga makalah ini dapat penulis
selesaikan.
Demikian makalah ini penulis hadirkan dengan segala kelebihan dan
kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
makalah ini sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.

Yogyakarta, 21 November 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi banyak orang di daerah perkotaan, meninggalkan adat kebudayaan
yang telah diwariskan oleh para leluhur merupakan hal yang lumrah. Namun
hal itu menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat yang masih memegang
teguh adat kebiasaan di era serba canggih ini.
Berbicara tentang mitos, terdapat hal unik yang dapat dijadikan contoh,
yaitu di Dusun Kasuran (Dusun Kasuran Kulon, Desa Margodadi dan Dusun
Kasuran Wetan, Desa Margomulyo, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta). Dusun tersebut terkenal setelah beberapa kali
masuk program televisi, seperti "Mister Tukul Jalan-Jalan Edisi Tempat Mistis
di Yogyakarta" dan program "Dua Dunia". Di samping itu, Dusum Kasuran
pernah menjadi sorotan media asing karena adat kebudayaan masyarakat yang
tidak boleh tidur di kasur.
Tidak boleh tidur di kasur mungkin bagi sebagian orang merupakan hal
yang tidak wajar. Namun masyarakat Dusun Kasuran masih tetap mematuhi
adat kebudayaan yang disampaikan oleh para leluhur mereka. Hal itu
merupakan suatu fenomena luar biasa bagi masyarakat di era modern.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah mengenai mitos dan kepercayaan Desa Kasuran?
2. Bagaimana proses berkembangnya mitos dan kepercayaan tersebut di era
modern?
3. Apakah terjadi pergeseran kebudayaan di Dusun Kasuran berkaitan
dengan mitos dan kepercayaan di desa tersebut?
4. Apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan berkembangnya
mitos dan kepercayaan di Desa Kasuran?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, penelitian ini
memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
1. Untuk menjelaskan sejarah pasti mengeani mitos yang berada di Desa
Kasuran
2. Untuk menjelaskan proses berkembangnya mitos tersebut di era modern
3. Untuk menjelaskan apakah terjadi pergeseran kebudayaan di Dusun
Kasuran berkaitan dengan mitos dan kepercayaan di desa tersebut
4. Untuk menjelaskan dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan
berkembangnya mitos dan kepercayaan di Desa Kasuran

D. Manfaat
1. Untuk mengetahui sejarah pasti mengeani mitos yang berada di Desa
Kasuran
2. Untuk mengetahui proses berkembangnya mitos tersebut di era modern
3. Untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran kebudayaan di Dusun
Kasuran berkaitan dengan mitos dan kepercayaan di desa tersebut
4. Untuk mengetahui dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan
berkembangnya mitos dan kepercayaan di Desa Kasuran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kebudayaan
Sosiologi mempelajari kebudayaan dari sudut pandang dinamika
hubungan antara manusia dan kelompok, serta interaksi kelompok dengan
kelompok lain melalui budayanya. Sosiologi juga memberikan banyak kajian
tentang bagaimana interaksi sosial dalam masyarakat melahirkan suatu pola
kebudayaan, bagaimana lembaga-lembaga masyarakat memiliki kebudayaan
tertentu, dan bagaimana ketika antar kelompok yang berbeda secara budaya itu
berinteraksi.
Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata
kerja dalam bahasa latin colere yang berarti bercocok tanam (cultivation); dan
bahkan di kalangan penulis pemeluk agama Kristen, istilah cultura juga
diartikan sebagai ibadah atau sembahyang (worship). Dalam bahasa Indonesia,
kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak
dari kata buddhi (budi atau akal); dan ada kalanya juga ditafsirkan bahwa kata
budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk ‘budi-daya’ yang berarti
daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa, seperti yang dikemukakan
oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi bahwa kebudayaan sebagai
semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Semua karya, rasa, dan cipta
dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya agar
sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat.
Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1984:80-81) sendiri mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Sedangkan E.B Taylor mendefinisikan kata kebudayaan sebagai
keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
B. Sifat Dan Hakikat Kebudayaan
1. Kebudayaan diperoleh dari belajar
Kebudayaan manusia tidak dapat diturunkan secara biologis atau
genetis, tetapi melalui sosialisasi dan internalisasi yang diperoleh akibat
bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain dalam suatu kelompok.
Artinya, perilaku manusia lebih banyak digerakkan oleh kebudayaan
dibandingkan perilaku makhluk lain yang tingkah lakunya digerakkan oleh
naluri atau insting.
2. Kebudayaan milik bersama
Dikatakan milik bersama karena hal itu adalah milik bersama para
anggotanya. Semua anggota harus mematuhinya dan mengikutinya karena
diikat oleh konvensi, nilai-nilai dan norma atau bahkan aturan. Suatu
kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara
bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang
didapat melalui proses belajar.
3. Kebudayaan sebagai pola
Pola-pola seperti tingkah laku dan lain sebagainya terjadi karena
dalam kebudayaan ada nilai-nilai atau batasan-batasan yang mengatur cara
hidup dan tingkah laku masyarakat. Pola yang ideal adalah apa yang secara
nilai diakui bersama oleh para anggotanya. Pola-pola inilah yang sering
disebut sebagai norma-norma.
4. Kebudayaan bersifat dinamis dan adaptif
Kebudayaan bersifat dinamis artinya kebudayaan dapat berubah,
baik secara pelan maupun cepat, tergantung pada perubahan material yang
dihadapi dan menjadi penyangga hubungan diantara sesama manusia.
Kemudian bersifat adaptif berarti bahwa kebudayaan akan menyesuaikan
diri dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan pada wilayah
material (IPTEK).

C. Faktor Yang Memengaruhi Perubahan Kebudayaan


1. Discovery dan Invention
Discovery yakni setiap penambahan pada pengetahuan, sedangkan
invention ialah penerapan yang baru dari sebuah pengetahuan.
2. Difusi kebudayaan
Difusi kebudayaan adalah proses penyebaran unsur kebudayaan dari
satu individu ke individu lain atau dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
3. Akulturasi
Akulturasi ialah proses ketika masyarakat yang berbeda-beda
kebudayaannya mengalami perubahan oleh kontak yang lama dan
langsung, tetapi tidak sampai kepada pencampuran yang komplet dan bulat
dari dua budaya itu.
4. Asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang telah lanjut dan yang
ditandai oleh makin berkurangnya perbedaan antara individu-individu dan
antar kelompok-kelompok dan makin eratnya persatuan aksi, sikap dan
proses mental yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang
sama.

D. Unsur-Unsur Kebudayaan
1. Menurut Melville J. Herskovits
─ Alat-alat teknologi
─ Sistem ekonomi
─ Keluarga
─ Kekuasaan politik
2. Menurut Bronislaw Malinowski
─ Sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama diantara para
anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya
─ Organisasi ekonomi
─ Alat-alat dan lembaga atau petugas-patugas untuk pendidikan, salah
satunya keluarga sebagai lembaga pendidikan yang utama
─ Organisasi kekuatan
3. Menurut C. Kluckhohn (Universal Categories of Culture)
─ Peralatan dan perlengkapan
─ Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi
─ Sistem kemasyarakatan
─ Bahasa
─ Kesenian
─ Sistem pengetahuan
─ Religi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2007).
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data yang
bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi (Sugiyono, 2009).

B. Lokasi Penelitian
Lokasi ini bertempat di Dusun Kasuran Kulon, Desa Margodadi dan
Dusun Kasuran Wetan, Desa Margomulyo, Kecamatan Seyegan, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Data dan Jenis Data


Data adalah kumpulan informasi yang diperoleh dari suatu pengamatan,
dapat berupa angka, lambang atau sifat, meliputi data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara
observasi langsung dengan kepala dusun Kasuran Kulon dan beberapa
warga Kasuran Wetan.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literatur-
literatur dan penelitian terdahulu, serta informasi lain yang mendukung
penelitian ini. data ini digunakan untuk mendukung data primer.
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data menggunakan metode
observasi, wawancara dan dokumentasi.
1. Observasi
Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk
mengamati budaya organisasi secara langsung maupun tidak langsung
pada masyarakat Dusun Kasuran Kulon dan Kasuran Wetan.
2. Wawancara
Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan teknik
wawancara dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada narasumber,
yakni beberapa warga dusun Kasuran Wetan serta Kepala Dusun Kasuran
Kulon.
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang
perilaku, norma, dan kebudayaan yang terjadi di Dusun Kasuran Kulon
dan Wetan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Letak Geografis
Dusun Kasuran sebenarnya ada dua; yang pertama terletak di Desa
Margodadi yang dikenal dengan Kasuran Kulon, kemudian yang kedua terletak
di Desa Margomulyo yang kemudian dikenal dengan Kasuran Wetan. Kedua
desa ini besebelahan, di bawah Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Dua desa ini berada di pinggiran dekat Selokan Mataram, selokan
yang menghubungkan antara Sungai Opak dan Progo, yang dibangun oleh
rakyat Yogyakarta saat sedang diberlakukan Romusha di zaman penjajahan
Jepang.

B. Profil Narasumber
Wartilah, Kadus Kasuran ini adalah sosok perempuan yang tangguh, ulet,
dan telah menjadi kepala dusun semenjak tahun 1991. Aktivis penggerak
pertanian organik ini telah banyak makan garam dalam mengurusi dusun
Kasuran. Bahkan aktivitasnya di bidang organik seringkali membawanya ke
daerah-daerah lain, bahkan di kampus-kampus untuk mempresentasikan hasil
kerja kerasnya dalam menumbuhkan semangat organik seperti beras, beras
hitam, jamur, dan lain sebagainya. Diapun juga memiliki resep dan catatan
mengenai tips dan rahasia dia berorganik dalam cocok tanam.
Sebenarnya sosok Wartilah ini bukanlah penduduk asli Kasuran. Dia
adalah pendatang. Dia dipesani oleh mertuanya yang bernama Guna Tiyasa,
“Kalau kamu besok sudah menjadi anak saya di sini dan bertempat tinggal di
Kasuran ini, di sini ada pantangan yang harus ditaati. Di sini walaupun
orangnya kaya tapi tidak ada yang punya kasur, pantang tidur di kasur.”
Sebagai seorang anak yang taat dia tidak pernah mempertanyakan alasan
dibalik pelarangan tersebut. Hanya saja ketika dia diangkat menjadi kepala
dusun, mau tidak mau segala permasalahan yang ada di dusun selalu
ditanyakan kepadanya, salah satunya adalah masalah tidur tanpa kasur. Entah
sudah berapa puluh kali dia didatangi oleh orang, baik dari akademisi, peneliti,
media cetak, elektronik, maupun orang biasa, untuk sekedar bertanya mengenai
pantangan tersebut. Dia kerap ditanya mengenai pantangan tidur di atas kasur
ini membuatnya didatangi oleh seorang tamu pada hari Sabtu Wage, 09 Juni
2012. Tamu tersebut mengaku dari Surabaya dan diutus oleh Sunan Kalijaga
untuk menjelaskan cerita sebenarnya tentang dusun Kasuran. Tamu tersebut
datang kepadanya karena didatangi Sunan Kalijaga dalam mimpinya hingga
sepuluh kali dikarenakan cerita mengenai hal ini sudah terekspos di berbagai
media, baik cetak, maupun elektronik.

C. Pemberian Nama Dusun Kasuran


Dahulu Desa Kasuran bernama Njaron. Sedangkan untuk nama Dusun
Kasuran sendiri terjadi pada masa perang Diponegoro melawan Belanda di
mana Pangeran Diponegoro terdesak, kemudian dari Tegalrejo lari ke arah
utara di Kasuran. Beliau sempat mengungsi di desa ini, membuat goa dan
sendang untuk mandi beserta anak cucunya. Tidak hanya di Kasuran Kulon,
beliau juga membangun Sendang Dhenok di Kausran Wetan untuk mandi
prajurit-prajuritnya. Ki Suro Yudho adalah cucu dari Pangeran Diponegoro
yang menjadi cikal bakal sebagian besar penduduk Kasuran.
Nama Kasuran diambil dari kata “Ashor” yang artinya kalah, dan
menjadi “Kashoran” yang artinya kekalahan, karena pada waktu itu Pangeran
Diponegoro kalah perang. Sehingga Kashoran menjadi Kasuran karena
pengucapan orang jawa.
Padahal banyak yang mengira jika nama Desa Kasuran berasal dari
kebiasaan atau tradisi penduduk tersebut yang tidak memakai kasur. Namun
pada kenyataannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan sebuah kasur.

D. Mitos Tidak Tidur Di Kasur Kapuk


Pada waktu itu Sunan Kalijaga melakukan syiar agama Islam di Dusun
Kasuran dan beristirahat di rumah Dejali. Sunan Kalijaga minta disediakan
sebuah kasur kapuk. Peristiwa ini terjadi kurang lebih 600 tahun yang lalu.
Pada waktu itu, di dusun Njaron ada penganut agama lain yang bernama
Soncodalu. Saat itu Soncodalu mengirimkan santet di kasur yang dipakai oleh
Sunan Kalijaga. Karena pada dasarnya Soncodalu tidak suka atas kehadiran
Sunan Kalijaga yang akan syiar agama Islam di desa ini. Atas
ketidaksukaannya, kemudian Soncodalu mengirimkan santet di kasur yang
dipakai tidur Sunan Kalijaga. Ketika Sunan Kalijaga bangun, badannya terasa
sakit, panas, dan gemetar. Kanjeng Sunan tahu jika dirinya telah dikirimi teluh
atau santet oleh Soncodalu, tetapi Kanjeng Sunan tidak membalas atas tindakan
yang diperbuat oleh Soncodalu tersebut. Singkat cerita, Soncodalu merasa
kagum atas sikap dari Kanjeng Sunan Kalijaga sehingga pada akhirnya
Soncodalu masuk Islam.
Sebelum pergi Kanjeng Sunan berpesan kepada Dejali yang memiliki
rumah untuk singgah Kanjeng Sunan untuk tidak tidur di kasur yang bekas
ditiduri Kanjeng Sunan Kalijaga karena kasur tersebut masih mengandung
santet yang tidak dihilangkan oleh Kanjeng Sunan. Setelah Kanjeng Sunan
selesai syiar agama Islam di desa ini, kemudian beliau berpesan kepada Dejali,
“Hei, Dejali. Tolong kasur ini dirawat jangan sampai siapapun tidur di kasur
ini.” Akan tetapi Kanjeng Sunan tidak menjelaskan bahwa kasur tersebut
mengandung santet dan Dejali pun tidak bertanya tentang alasan tersebut.
Cerita tersebut menjadi berbeda arti, karena sepeninggal Sunan Kalijaga Dejali
mengumpulkan seluruh warga Njaron dengan berkata, “Hei, semua warga
Njaron, saya beri tahu, janganlah kamu berani-berani tidur di atas kasur sampai
anak cucu kita besok selamanya sebelum ilmunya sama dengan Kanjeng
Sunan.” Padahal Kanjeng Sunan tidak berpesan seperti itu, melainkan
maksudnya hanya kasur yang digunakan kanjeng Sunan pada saat itu saja.
Masyarakat memercayai bahwa ucapan tersebut sudah disaksikan oleh
makhluk lain karena Sunan diyakini setara dengan seorang Raja yang jika
berbicara sesuatu dimaksud untuk seterusnya. Sehingga sampai sekarang cerita
tersebut menjadi turun temurun oleh warga Kasuran hingga sekarang dan
masih banyak yang memercayai mitos tersebut.
E. Risiko-Risiko Atas Resistensi: Bentuk-Bentuk Peringatan dan Hukuman
Bagi Wartilah, tidur itu kuncinya adalah hati yang tenteram, bukan
tempat tidurnya. Menurutnya, orang kalau sudah mengantuk pasti bisa tidur di
mana saja. Untuk orang-orang yang percaya mengenai hal ini, khusunya warga
Dusun Kasuran, tidur tanpa kasur merupakan hal yang lumrah, yang sudah
menjadi budaya mereka. Bagi masyarakat Kasuran Kulon, tidur tanpa kasur
bukan masalah tingkat level ekonomi atau strata sosial. Malah, warga Dusun
Kasuran akan merasa tidak nyaman bila tidur memakai kasur kapuk,
dikarenakan sudah terbiasa tidur tanpa kasur.
Selama menjabat sebagai Kepala Dusun, Wartilah banyak mendapatkan
kejadian aneh yang menurutnya terkait dengan penggunaan kasur kapuk.
Biasanya orang yang masih bertahan dengan menggunakan kasur kapuk dan
tidak percaya dengan larangan tersebut akan mengalami hal-hal yang tidak
wajar. Misalnya saja jika ada bayi yang ditidurkan di atas kasur kapuk
badannya akan panas, menangis, dan menjerit-jerit seperti orang kesurupan.
Tetapi bila bayi tersebut sudah ditidurkan di atas lantai atau tidak ditidurkan
lagi di atas kasur kapuk, maka kondisi yang seperti orang kesurupan begitu saja
akan hilang.
Tidak hanya bayi, hal tersebut juga berlaku bagi orang dewasa. Pernah
ada kejadian ketika seorang Hindu, pindahan dari Bali, datang ke Dusun
Kasuran dengan membawa kasur kapuk. Tak lama setelah itu, pindahan dari
Bali tersebut rumahnya didatangi ular.
Kepercayaan akan tidak boleh memakai kasur kapuk tersebut berlaku
bagi siapa saja. Mulai dari warga asli Dusun Kasuran, pendatang, hingga tamu
yang sekedar berkunjung. Bila saja orang-orang tersebut sekedar percaya lewat
lisan, tetapi hatinya berkata sebaliknya, biasanya selang beberapa waktu,
mereka akan mengalami kesurupan atau kejadian yang tidak diinginkan.
Tidak boleh tidur dengan kasur kapuk seakan hukum yang mutlak
dipatuhi oleh semua warga, pendatang, hingga tamu. Meski tetap ada di antara
mereka yang berkata tidak apa-apa memakai kasur, namun nyatanya, itu hanya
omong kosong belaka. Bila dibuktikan kebenarannya, tidak akan ada kasur
kapuk di rumah-rumah di Dusun Kasuran. Sejatinya, mereka tetap takut akan
datangnya karma karena melanggar kepercayaan akan mitos tersebut. Namun
meski kasur kapuk dilarang, warga tetap boleh menggunakan busa atau spons
sebagai alternatif.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Desa Kasuran merupakan desa yang berada di Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini memiliki keunikan tersendri yaitu
penduduk tidak memakai kasur kapuk untuk alas tidurnya. Melainkan
menggunakan kasur spons, springbed, dan bahkan hanya sekedar
menggunakan dipan saja.

B. SARAN
Masih banyak kekurangan di dalam makalah ini. Terkhusus pada
kegiatan penelitian di Kasuran akibat minimnya narasumber yang kita
wawancarai. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang membagun demi kesempurnaan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Soyomukti, Nurani. 2016. Pengantar Sosiologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Poerwanto, Dr. Hari. 2010. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar
http://etheses.uin-malang.ac.id/843/7/11510078%20Bab%203.pdf

Anda mungkin juga menyukai