BAB I
PENDAHULUAN
Koentjraningrat (1990a: 89) melihat bahwa sejak lahirnya, Ilmu Sosiologi telah banyak
memperhatikan masalah perubahan kebudayaan. Pada abad ke-19 telah ada perhatian
terhadap kemajuan kebudayaan manusia, sehingga dengan demikian telah lahir pula teori-
teori tentang evolusi kebudayaan, yaitu perubahan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, mulai
dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai dengan ke bentuk-bentuk yang semakin lama
semakin kompleks. Pada masa menjelang Perang Dunia II, yaitu masa sekitar tahun 1930 dan
terutama pada waktu-waktu setelah itu, diantara para ahli sosiologi telah timbul perhatian
baru terhadap masalah perubahan kebudayaan diantara berbagai bangsa di Afrika, Asia,
Osenia, dan Amerika.
Hal ini disebabkan karena pengaruh sistem ekonomi, pendidikan, dan organisasi sosial
yang dibawa dari orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai penjajah bangsa-
bangsa tersebut. Namun, perhatian dan hasrat yang besar untuk melakukan penelitian
mengenai gejala perubahan kebudayaan oleh para ahli sosiologi Ero-Amerika tersebut lebih
didasarkan kepada timbulnya gejala peningkatan kepandaian, kemampuan melawan sistem
kolonialisme, dan kesadarna nasional diantara bangsa-bangsa tersebut, yang menjadi
ancaman bagi kelangsungan hidup bagi kolonialisme itu sendiri.
Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan
peranan-peranan dari para warganya, di mana peranan-peran tersebut dijalankan sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini
mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-
pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan
sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya.
Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat
sebagai : (1) pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku, tetapi
penggunaannya sebagai acuan adalah berbeda-beda menurut konteks lingkungan
kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang merupakan hasil
interpretasi atau pedoman bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di
Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa,
dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari
warga kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional.
Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota adalah
kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum
muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu
secara spontan untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan ekonomi,
kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial.
Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya,
baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai
konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di
tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.
Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi
diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur
seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada perbedaan
pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia tidak
dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu.
Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang
sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi "kata
benda" tetapi "kata kerja”.
Berbicara tentang perlindungan atau cagar kebudayaan, kita tidak boleh terjebak pada
pengertian kebudayaan sebagai sebuah subsistem hasil. apalagi yang semata-mata bersifat
fisik. Tetapi harus meliputi seluruh sistem kebudayaan. Upaya pencagaran atau per!indungan
atas sebuah .kebudayaan pun tidak boleh dilakukan tanpa perhitungan. Diperlukan kriteria-
kriteria tertentu yang dapat dipakai sebagai suatu ukuran sejauh mana kebudayaan perlu atau
tidak dicagari. Setidaknya ada 3(tiga) kriteria yang dapat dijadikan ukuran yakni 1)
keadiluhungan, 2) kemapanan dan 3) kesejarahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk
menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai
dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan
enkulturasi;
2. Evolusi kebudayaan dan difusi;
Selanjutnya keempat konsep tersebut akan dibahas satu persatu di bawah ini.
1. Proses Internalisasi
2. Proses Sosialisasi
3. Proses Enkulturasi
Pada awalnya seorang anak kecil mulai belajar dengan cara menirukan tingkah
laku orang-orang yang berada di sekitarnya, yang lama kelamaan menjadi pola yang
mantap, dan norma yang mengatur tingkah lakunya “dibudayakan”. Selain dalam
lingkungan keluarga, norma-norma tersebut dapat dipelajari dari pengalamannya
bergaul dengan sesam warga maysarakat dan secara formal di lingkungan sekolah.
1. Evolusi Kebudayaan
Difusi menurut Haviland (1993a: 257) difusi adalah penyebaran adapt atau
kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain.
1. Akulturasi
a. Proses Akulturasi
b. Kontra Akulturasi
Sebaliknya jika golongan ini tidak kuat menghadapi proses akulturasi yang
sudah sedemikian jauh, maka seringkali mereka berusaha untuk menghindarinya.
Mereka akan mencari kepuasan batin seakan-akan menarik diri dari kehidupan
masyarakat nyata, dan bersembunyi dalam dunia kebatinan mereka, di mana
mereka dapat memimpikan zaman kebahagiaan masa lampau.
Sebaliknya individu yang progresif adalah individu yang belum atau tidak
memiliki kedudukan yang baik. Pendapat ini pernah diuji oleh penelitian E.
Vogt. Vogt meneliti 12 orang bekas pejuang tentara Amerika Serikat yang
berasal dari suku-suku Indian Navaho. Ke 12 orang tersebut mempunyai latar
belakang yang sama, mengalami pendidikan yang sama, mempunyai pengalaman
pertempuran yang sama pula. Akan tetapi sewaktu mereka keluar dari tentara ada
yang hidupnya kembali seperti dulu, menjadi penggembala domba. Adapula
yang hidupnya tidak teratur dan adapula beberapa yang telah meninggalkan
masyarakat Navaho dan mempunyai kedudukan di tengah-tengah masyarakat
orang bule.
2. Asimilasi
Hal yang menjadi daya tarik bagi para ahli sosiologi adalah faktor yang
mendorong individu dalam suatu masyarakat untuk memahami suatu upaya yang akan
menuju ke suatu penemuan baru. Barnett (dalam Koentjaraningrat, 1990: 109)
mengajukan pendapat bahwa para individu yang “tidak terpandang dalam masyarakat
atau yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya” malah cenderung yang
sering termotimavasi untuk mengadakan pembaruan dalam kebudayaan, dan menjadi
pendorong terjadinya suatu penemuan baru yang kemudian terjadinya suatu inovasi.
Haviland (1993a: 253) membagi penemuan baru (discovery) menjadi dua, yaitu
penemuan primer dan penemuan sekunder. Penemuan primer adalah penemuan secara
tidak sengaja (kebetulan) suatu prinsip baru, sedangkan penemuan sekunder perbaikan-
perbaikan yang diadakan dengan menetapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui.
Kira-kira 25.000 tahun yang lalu orang melihat cara penerapannya, sebab patung-
patung kecil dibuat dengan tanah yang dibakar. Akan tetapi, orang tidak membuat
bejana tembikar, dan rupa-rupanya penemuan tersebut tidak sampai ke Timur Tengah.
Kalau terjadi, hal tersebut tidak sampai berakar. Baru pada suatu waktu di antara 7.000
dan 6.500 tahun S.M. diketahui adanya penerapan pembakaran tanah liat di Timur
Tengah dengan dibuatnya wadah-wadah dan bejana untuk memasak, yang murah, awet,
dan mudah dibuat.
Pada zaman itu tanah liat juga digunakan dalam pembangunan rumah, untuk
membuat patung-patung kecil, dan untuk membuat dinding lubang-lubang
penyimpanan. Jadi, walaupun orang sudah biasa bekerja dengan menggunakan tanah
liat, tidak ada pembakaran untuk mebuat wadah kecuali sebagai dinding lubang
penyimpanan. Sebagai wadah, yang biasanya digunakan adalah wadah dari batu,
keranjang, atau kantong kulit.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.
Kebudayaaan merupakan kendapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak
lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi
luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Sehingga menyebabkan ada
perbedaan pengertian antara bangsa-bangsa berbudaya dan bangsa-bangsa primitif.
Dewasa ini, kebudayaan diartikan scbagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang-orang dalam arti luas. Berlainan dengar binatang, maka manusia
tidak dapat hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam
itu. Pengertian kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga
dipandang sebagai sesuatu yang lebih bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan
lagi "kata benda" tetapi "kata kerja”.
Menurut Koentjaraningrat (1996: 142) semua konsep yang kita perlukan untuk
menganalisa proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut sebagai
dinamika social. Beberapa konsep tersebut antara lain sebagai berikut.
5. Proses belajar kebudayaan sendiri, yang terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan
enkulturasi;
3.2 Saran
Pada proses pengenalan unsur-unsur kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi
dan asimilasi. Sebaiknya kita harus selektif dalam menerima setiap kebudayaan asing,
sehingga kita dapat mengambil kebudayaan asing yang bernilai positif bagi
perkembangan bangsa dan negara dan menolak setiap kebudayaan asing yang benilai
negatif (seperti pergaulan bebas, hedonisme, dll) yang dapat merusak moral bangsa dan
negara.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Widodo dan Achmad Muchji. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas
Gunadarma.