Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF FILOSOFI

Sutamat Arybowo

Pendahuluan

Dinamika kajian budaya (culture studies) membawa pengaruh penting dalam pemahaman
suatu kebudayaan. Mengkaji budaya aritnya harus berani mendefinisikan kembali budaya
sebagai sebuah proses pemaknaan. Budaya dipandang sebagai kebudayaan diferensial dalam
keseluruhan interaksi sosial dan bukan dipandang sebagai hal genetik yang diwariskan atau
diturunkan.

Kebudayaan seperti itu bukan lagi suatu warisan yang secara turun-temurun dibagi
bersama secara kolektif, melainkan lebih bersifat situasional yang keberadaannya bergantung
pada karakter kekuasaaan dan hubungan yang berubah dari masa ke masa secara kontekstual.
Asumsi itu sekaligus penegas bahwa betapa dekatanya kebudayaan menyatu dengan kehidupan
sehari-hari manusia (Kladen, 2006).

Adanya perubahan perspektif sebagai respon atas perkembangan studi lapangan


antropologi masa lalu, dimana kajian budaya memberikan ruang gerak yang luas untuk respon
dalam pergeseran konteks. Ini berarti ada kecerdasan melihat bidang kajian yang menyangkut
dengan keterbukaan penelitian kebudayaan. Khususnya saat melihat bagaimana makna
kebudayan mengalami kontruksi, reproduksi, dan dekonstruksi dalam berbagai sub-kultur
(Abdullah, 2006:9).

Jika terjadi kontruksi dan reproduksi budaya artinya proses penegasan identitas budaya
dilakukan oleh pertemuan-peretemuan kebudayaan yang menegaskan eksistensi asalnya. Ini
terlihat dan diperlihatkan pada berbagai bentuk ekspresi kebudayaan yang direpresentasikan pada
elite kekuasan yang ada di daerah wilayah Nusantara. Kebudayaan ini dihadirkan dalam
dekontruksi dan pertarungan makna yang menegaskan kehadiran identitas kelompok. Meski, tiap
kelompok memiliki cara yang berbeda, tapi dasar kontruksi dan reproduksi kebudayaan lebih
disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke masa kini. Dalam kajian budaya, kebudayaan
bukan suatu yang sudah jadi tapi sebuah proses perjuangan secara terus menerus dengan
pemaknaan.

Kajian budaya merupakan area pluralistik dari berbagai perspektif yang bersaing lewat
produksi teori dan berusaha intervensi politik budaya. Juga mengekplorasi kebudayaan sebagai
praktik pemaknaan dalam konteks kekuatan sosial. Banyak teori yang diambil, termasuk
Marxisme, Strukturalisme, Pascastrukturaslisme, dan Feminisme. Kajian budaya menyatakan
posisionalnya pada semua ilmu pengetahuan, termasuk ide-ide utama kebudayaan, praktik
pemaknaan, representasi, diskursus, kekuasaan, artikulasi, teks, pembaca dan konsumen.
Kajian budaya juga termasuk bidang penelitian multidisipliner yang mengeksplorasi
produksi dan pemakaian peta makna. Kajian budaya dalam hal ini dianggap suatu proyek cair
yang luar biasa yang mengisahkan citra tentang dunia yang tengah berubah dengan harapan agar
manusia dapat memperbaikinya (Barker, 2004:36).

Pada era post-modern, banyak ilmuwan yang menyerah dan mengakui adanya suatu yang
disebut the other dalam peradaban manusia. Hal itu merupakan paradigma baru dan mungkiin
merupakan salah satu bentuk pasca-antropologi dan sosiologi. Paradigma substansial studi
kebudayaan yang dulu didominasi antropologi sudah berakhir.

Munculnya Kajian Budaya

Kajian Budaya pertama kali muncul di Inggris, pada tahun 1960-an, di Universitas
Birmingham yang terlah melakukan penelitian di bawah Bringmingham Centre for
Comtemporary Cultural Studies. Membuat studi untuk mencari makna ideologis dari bentuk
kebudayaan yang ada. Awalnya tema penelitian masih terbatas, seperti gaya hidup remaja, mode
pakaian, musik, dan karya fiksi. Lalu berfokus pada penelitian sub-kultur dan kebudayaan
marjinal. Dari Birmingham Centre, kemudian menjadi sumber inspirasi dalam kajian budaya di
seluruh dunia (Barker, 2004:6).

Di Jerman, tahun 1960-an, terdapat kelompok ynag bernama Franskfurt School atau New
Left, padahal isinya adalah kajian budaya. Di Amerika Serikat, berkembang kajian budaya
bertema mengkaji mass culture dan budaya pop. Studi kebudayaan Indonesia masih menekankan
kepada tema besar dan teori etnologi atau etnografi yang mengacu pada studi antropologi.

Di Eropa ada usaha untuk membangun kajian budaya sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Bennett (1998) menawarkan landasan kajian budaya, seperti berikut:

1. Kajian budaya adalah suatu kawasan interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang
berlainan secara selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara
kebudayaan dan kekuasaan.
2. Kajian budaya terkait dengan semua praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang
tertanam dalam nilai-nilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan, dan bentuk-
bentuk kebiasaan perilaku suatu masyarakat.
3. Bentuk-bentuk kekuasaan yang diekplorasi oleh kajian budaya sangat beragam, termasuk
gender, ras, kelas, kolonialisme, dan lain-lain. Kajian budaya berusaha mengeksplorasi
hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara
berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen
dalam usahanya melakukan perubahan.
4. Kawasan institusional utama bagi kajian budaya adalah Perguruan Tinggi, dengan
demikian kajian budaya menjadi disiplin akademis seperti yang lain. Meskipun demikian
kajian budaya mencoba membangun hubungan di luar akademis dengan gerakan sosial
dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi-institusi budaya dan manajemen budaya.
Dalam perkembangannya, kajian budaya juga muncul di Indonesia, walau belum meluas
seperti di Eropa dan Amerika. Kajian budaya di Indonesia telah berkembang di Universitas
Udayana Denpasar, Universitas Indonesia Jakarta, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
selain itu beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Realitas Kebudayaan

Saat ini Indonesia sedang menghadapi salah satu tantangan terberat dalam krisis
multidimensional yaitu krisis di bidang kebudayaan yang belum tersentuh untuk ditangani secara
serius. Para “elite” sekarang memandang urusan ekonomi hanya dilihat sebagai suatu yang
menyangkut kesejahteraan hidup, khususnya dari sudut material.

Hadirnya industri budaya, seperti KFC, Mc Donald, cafe-cafe, vcd, dvd, bahkan internet
dari kota besar hingga ke kota kecil bahkan sampai ke pedesaan, telah membawa penduduk pada
suatu gaya hidup baru dan hanya menonjolkan sisi hiburannya. Munculnya industri budaya
hingga ke pedesaan perlu disikapi dan diwaspadai karena industri budaya ynag bermanfaat dapat
memperluas cakrawala ilmu pengetahuan tetapi tidak sedikit yang merugikan kebudayaan milik
bangsa sendiri.

Penayangan media massa dalam bentuk audio-visual dapat digolongkan sebagai industri
budaya. industri budaya adalah mencakup segala yang menghasilkan produk pesan budaya dan
berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan dan dapat mempengaruhi pandangan hidup, pikiran,
sikap, perilaku, dan selera masyarakat yang mengkonsumsinya.

Setidaknya ada tiga hal yang dijadikan titik persoalan sehingga kajian budaya memiliki
posisi penting untuk dikembangkan di Indonesia.

1. Fase Budaya Industri


Pada masa Orde Baru, bangsa Indonesia telah menjalankan pembangunan dan
modernisasi, melalui pentahapan lima tahunan yang dikenal dengan “Rencana
Pembangunan Lima Tahun” (Repelita).
Pada Pelita I (1968–1973) dan Pelita II (1973–1978) dilaksanakan melalui konsep
Trilogi Pembangunan:
1. Pertumbuhan ekonomi.
2. Pemerataan pembangunan.
3. Stabilitas sosial.

Pelita III (1978–1983) skala urutan Trilogi Pembangunan:

1. Pemerataan pembangunan.
2. Pertumbuhan ekonomi.
3. Stabilitas sosial.
Hingga Pelita IV (1983-1988) dapat dikatakan pembangunan fisik dan proses
modernisasi di Indonesia mencapai kemajuan hingga jumlah kemiskinan dan
pengangguran dapat ditekan. Pada periode tersebut telah terjadi mekanisasi pertanian dan
proyek pelistrikan masuk desa.

Sayang sekali keberhasilan tersebut tidak diimbangi dengan perubahan pikiran


dan belum dipersiapkan komponen mengenai masyarakat industri. Herbert Marcuse
(1964) dalam bukunya yang berjudul One Dimensional Man telah mengkritik bahwa
masyarakat industri maju adalah manusia yang berdimensi satu. Kelihatannya
keberhasilan yang dicapai atas modernisasi sangat rasional, tetapi jika dilihat terjadi
ketergantungan dan kesenjangan juga keterasingan berarti hal itu irrasional.

2. Fase Budaya Transisi

Bangsa Indonesia pernah mengalami masa transisi, yakni pada waktu terjadi
perubahan sosial bersamaan dengan saat keberhasilan Pelita V (1988–1993) dan Pelita VI
(1993–1998). Menurut Victor Turner, masyarakat yang mengalami proses perpindahan
status berada pada suatu fase yang disebut liminality. Dalam fase itu, masyarakat yang
mengalami perubahan sebenarnya belum meninggalkan status lamanya secara
keseluruhan dan belum pula menginjak status baru dengan seutuhnya (Sairin, 2002:196).

Dalam sejarah perkembangan Indonesia terdapat dua hal penting, yaitu ketika
bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari tangan Belanda dan ketika
pemerintahan Orde Baru mendapatkan keuntungan besar dalam melaksanakan
pembangunan ekonomi.

Pada Orde Baru terjadi pola kehidupan yangg koruptif akibat beban kultural.
Beban ini muncul akibat kondisi transisional dengan semakin maraknya budaya
konsumtif di tengah kehidupan masyarakat. Selain itu ada semacam ekspektasi pada diri
masyarakat dalam menduduki jabatan tertentu untuk memenuhi standar simbol-simbol
kehidupan tertentu sesuai dengan tuntutan zaman. Akibat mobilitas sosial vertikal seperti
itu maka beban kultural melekat padanya. Hal ini juga melekat pada kebudayaan negara-
negara berkembang pada umumnya.

Menurut Sairin, budaya konsumtiflah yang sangat riskan terhadap perilaku


korupsi.

Budaya transisi juga muncul dari fenomena perubahan sosial yang sifatnya
simultan, seperti tampak dalam masyarakat dewasa ini. Paling kurang terdapat tiga
kategori masa transisi tersebut (Wibisono 2004: 8), yaitu:

1. Masa transisinya masyarakat dengan budaya agraristradisional menuju


masyarakat dengan budaya industri-modern. Dalam hal ini peran mitos mulai
diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan lagi kekuatan-kekuatan kosmis
yang secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan
akal pikir dengan daya penalarannya yang handal dan kini dijadikan kerangka
acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan.
2. Masa transisinya budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional-
kebangsaan. “Puncak-puncak kebudayaan di daerah” sebagaimana tercantum
di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 mencair secara konvergen
menuju satu kesatuan pranata demi tegaknya suatu negara-kebangsaan.
3. Masa transisinya budaya nasional-kebangsaan menuju budaya global-mondial.
Dalam hal ini visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal
seperti hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, kebebasan, juga mengenai
masalah lingkungan hidup, dilepaskan dari ikatan fanatisme primordial
kesukuan, ataupun keagamaan menuju ke kesadaran mondial dalam satu
kesatuan sintesis yang lebih konkrit.

3. Fase Budaya Global

Menurut sejarah, istilah global atau globalisasi sebenarnya bukan barang baru.
Dipandang dari segi historis, gejala globalisasi pada masa lalu dikenal sebagai gejala
mondialisasi, yang sejak zaman kuno dialami oleh umat manusia. Hanya bedanya
globalisasi masa kini mempunyai tempo amat cepat dan kontinyu serta intensif, karena
media memakai teknologi yang semakin canggih (Kartodirdjo, 2003:11).

Penulisan sejarah umat manusia serta peradabannya yang disusun oleh UNESCO
pada tahun 1950-an sudah dianggap tidak relevan lagi menjelang tahun 1980-an. Hal ini
dikarenakan selang tiga dasawarsa itu wajah permukaan politik dunia sudah berubah
dengan banyaknya negara baru yang muncul. Selain itu, di sisi lain timbulnya
kecenderungan kuat ke arah integrasi yang semakin meluas serta dibentuknya unit
komunitas supra-nasional seperti Uni Eropa, ASEAN, APEC dan sebagainya.

Secara gradual permasalahan integrasi dan politik bisa diatasi. Yang sulit adalah
pembangunan ekonomi yang berantakan dengan industri budaya yang diakibatkan oleh
merambahnya globalisasi yang tidak terasa. Perkembangan teknologi transportasi,
informasi, komunikasi, dan gaya hidup masyarakat industri, membawa bangsa Indonesia
berada di dalam alam liminalitas.

Dampak globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi


kehidupan di berbagai bidang, dan hal itu semakin kompleks karena masyarakat hidup
dengan standar ganda. Di satu pihak, orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya
lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru yang melahirkan sub-
culture. Di pihak lain, muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan terhadap
perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab nestapa dari mereka yang
dipinggirkan, dan melahirkan counter culture (Wibisono, 2004:9).

Untuk menghadapi keterasingan, liminalitas, akibat globalisasi di atas, maka


kajian budaya memiliki arti penting. Lebih-lebih dalam rangka ikut mengatasi krisis
multidimensional di era reformasi sekarang ini akibat kekurangsiapan menerima budaya
industri, budaya transisi, dan budaya global, kajian budaya diharapkan partisipasinya
secara emansipatoris ikut menyelesaikan krisis itu.

Fondasi Utama Kajian Budaya

Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai pandangan hidup yang sudah lama
diyakini mengandung nilai-nilai yang dikembangkan dari bumi Nusantara. Secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan metode berpikir dalam memandang dunia tanpa
batas diskriminasi (Joesoef, 1986:14).

Sejak lama Pancasila sudah mengenal pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Oleh karena itu apa yang dikehendaki oleh gerakan globalisasi sesungguhnya sudah
terakomodasi di dalamnya.

Globalisasi adalah gerakan yang sangat halus, dan bisa masuk dari segala penjuru
kehidupan. Orang tidak bisa menangkal begitu saja melalui ideologi negara atau dengan gerakan
politik praktis. Dampak globalisasi yang paling dahsyat dan sulit ditangkal pada saat ini adalah
penyebaran hasil “industri budaya”, yang merambah secara halus bisa mengubah jiwa manusia,
pikiran, dan pandangan hidup masyarakat.

Realitas di lapangan, posisi bangsa Indonesia sekarang ini terdesak dan dilanda oleh hasil
industri budaya milik negara maju, khususnya berupa produk audio-visual, seperti sinetron,
rekaman audio-visual yang dapat dibeli di mana-mana sampai ke pelosok pedesaan.

Hubungan Kajian Budaya dengan Filosofi

Kajian budaya memiliki empati atau keberpihakan pada industri budaya dalam negeri,
maka diperlukan pendekatan yang mengandung perspektif filosofi, dimana realita dan kebenaran
itu perlu dilandasi beberapa komponen ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Filosofis sebagai perenungan dengan sifat kritis terhadap hakikat ilmu integral dan
integratif tidak dapat menghinadrkan diri dari adanya pertanyaan soal letak pemikiran ilmiah
dalam keseluruhan kehidupan manusia di dunia. Filosofis kini semkain didasari oleh masyarakat
untuk dipahami mahasiswa, dosen, dan para pekerja ilmiah agar mereka dapat meletakkan
jaringan interaksi menuju hakikat ilmu yang integratif. Kehadiran etika dan moral semakin
dirasakan.
Ontologi mencakup hakikat ilmu, kebenaran dan kenyataan inheren dengan pengetahuan
ilmiah, dan tidak terlepas dari persepsi tentang apa yang ‘ada’ itu. Epistemologi mencakup
sumber, sarana, tata cara untuk menggunakan saran dalam mencapai pengetahuan ilmiah.
Aksiologi mencakup nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran
dan kenyataan.

Mengikuti pandangan Bahm (1980), ontologi dari ilmu pengetahuan adalah “masalah”,
epistemologinya adalah “metode”, dan aksiologinya adalah “sikap”. Karena itu ontologi yang
berkaitan dengan pertanyaan “apa” berarti menggambarkan “realitas” yang diteliti. Epistemologi
yang berkaitan dengan pertanyaan “bagaimana” artinya menggambarkan “metode” yang
digunakan. Sedangkan aksiologi yang berkaitan dengan pertanyaan “mengapa/untuk apa” artinya
menggambarkan nilai-nilai yang dianut atau “tujuan” penelitian.

Berpikir filosofi dapat memberi gambar hubungan berbagai cabang ilmu sehingga dapat
mempermudah pendekatan antar disiplin, sehingga pengembangan kajian budaya sungguh perlu
didampingi filosofi karena mudah dipahami pendekatan multidisiplinernya.

Apabila dihubungkan dengan tujuan program penelitian di beberapa lembaga penelitian,


dalam hal ini termasuk di universitasuniversitas, jelas filosofi sangat diperlukan, supaya seorang
peneliti memiliki kualifikasi, sebagai berikut:

1. Mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi dan/atau kesenian baru


di dalam bidang keahliannya melalui penelitian.
2. Mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program
Penelitian.
3. Mempunyai kemampuan pendekatan multidisipliner dalam berkarya di bidang
keahliannya. Kualifikasi yang diwujudkan dalam ketiga syarat tersebut, berarti filosofi
patut diberikan atau dimasukkan di dalam etika penelitian atau sistem perkuliahan di
Perguruan Tinggi.

Dalam menentukan pilihan terhadap metodologi yang dilandasi filosofi juga akan
berhadapan dengan beberapa aliran atau paham dalam kefilsafatan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga implemetasinya ke modernisasi


begitu cepat, sebagaimana tampak pada bidang transportasi, informasi, komunikasi, dan industri
budaya, maka dalam hal ini komitmen bangsa Indonesia dalam menyusun strategi kebudayaan
hendaknya menggunakan nilai budaya sendiri, seyogyanya filosofi Pancasila dapat pula
dijadikan orientasi sebagai ilmu pengetahuan (Wibisono, 1987:38).

Untuk mengembangkan minat dalam usaha mengembangkan sistem filosofi Pancasila


makan diperlukan beberapa syarat yaitu tersedianya kondisi yang bebas dan mandiri,
kematangan rasa bertanggungjawab dalam arti luas.
Dalam konteks kajian budaya perlu memeperhatikan industri budaya yang merupakan
gerakan halus yang dapat mengubah pikiran, pandang hidup, cita rasa suatu bangsa.
Pengembangan kajian budaya di Indonesia hendaknya jangan terjebak oleh redefinisi konsep
kebudayaan, tetapi tetap kritis menghadapi fenomena budaya yang berkembang di tengah
masyarakat. Pada pasca kemerdekaan juga muncul tokoh-tokoh yang tergabung dalam
perkumpulan atau organisasi kebudayaan.

Dalam perkembangannya, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan


kebudayaan dan praktik kebudayaan, tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik abadi,
melainkan menunjuk seluruh peta relasi sosial. Kajian budaya diharapkan dapat membangun
sebuah kerangka kerja dan berusaha menempatkan atau menemukan kembali kebudayaan dari
komunitas yang sampai sekarang dilupakan atau terlupakan. Dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana kebudayaan sebagai produk sosial dapat dijelaskan dalam dirinya dan dalam
hubungannya dengan ekonomi, politik, atau relasi sosial.

Untuk mengantisipasi metode kajian budaya yang berlebihan, khususnya untuk


menjembatani pandangan yang kuat yaitu mazhab empiris (Inggris) dan mazhab pragmatis
(Amerika), maka kajian budaya di Indonesia hendaknya tidak berat sebelah, tapi masih
memperhatikan aspek obyektivitas juga menekankan perlunya aspek nilai (Bahm, 1980:14).

Dengan kata lain, landasan kajian budaya di Indonesia harusnya senantiasa


memperhatikan etika dan moral (Sastrapratedja, 2004:2).

Hal ini untuk menghidari penelitian-penelitian atau kajian-kajian yang sifatnya


sensasional dan kurang memperhitungkan tanggungjawabnya di masyarakat, dan justru
merugikan masyarakat yang diteliti. Di sinilah pentingnya peran filosofi dalam kajian budaya di
Indonesia yang senantiasa mengikuti perkembangan dan aplikasi ilmu pengetahuan sehingga
filosofi bisa menghadapi penyimpangan ilmu pengetahuan dan eksesnya.

Anda mungkin juga menyukai