Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengkajian Budaya
Dosen pengampu:
Disusun oleh :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
Buku yang berjudul Cultural Studies Teori dan Praktik yang ditulis oleh Chris Barker.
Diterbitkan oleh Kreasi Wacana di Bantul pada tahun 2009, dengan jumlah halaman 470.
Dalam laporan baca ini, kami mendapatkan tugas untuk membaca Bab kedua pada buku
ini. Isi dari bab kedua tersebut yaitu mengenai :
Konsep kebudayaan sangat penting dalam cultural studies, akan tetapi tidak ada makna
‘yang persis’ atau definitif yang melekat padanya. Williams (1983) menunjukan karakter yang
berbantahan dari cultural studies. Kebudayaan tidak ‘di luar sana’ dan sedang menunggu di
deskripsikan secara tepat oleh teoretisi yang selalu salah memahaminya. Namun, konsep
kebudayaan adalah suatu alat yang kurang lebih dapat kita gunakan sebagai sebuah bentuk
kehidupan. Konsekuensinya pemakaian dan maknanya terus berubah sebagaimana pemikir
yang berharap dapat ‘melakukan’ hal yang berbeda-beda dengannya. Kita seharusnya tidak
bertanya ‘apa itu’ kebudayaan, namun bagaimana bahasa kebudayaan digunakan dan apa
tujuannya.
Menurut William (1981, 1983), kata ‘kebudayaan’ dimulai dengan kata benda tentang
proses yang terkait dengan per tumbuhan tanaman pertanian, yaitu bercocok tanam.
Selanjutnya gagasan ini diperluas untuk menjelaskan pikiran atau ‘spirit’ manusia, yang
memunculkan gagasan tentang orang yang ‘terpelihara’, atau ‘berbudaya’. Namun, abad ke-19
definisi yang bersifat antropologis muncul dang menggambarkan kebudayaan sebagai ‘cara
hidup secara keseluruhan dan bersifat khas’ dengan penekanan pada ‘pengalaman hidup’.
Penulis inggris abad ke-19, Matthew Arnold, mengatakan adanya status ikonis didalam
narasi cultural studies. Dia mendeskripsikan kebudayaan sebagai ‘hal terbaik yang telah
dipikirkan dan dikatakan di dunia ini’ (Arnold, 1960:6), dengan ‘membaca, mengamatidan
berpikir’ tetang sarana menuju ke arah kesempurnaan moral dan kebajikan sosial.
LEAVISISME
Leavisisme memiliki kesamaan dengan Arnold dari segi pandangan yang mengatakan
bahwa kebudayaan adalah titik puncak peradaban dan menjadi minat utama minoritas
berpendidikan. F.R. Leavis berpendapat bahwa, sebelum revolusi industri, inggris memiliki
kebudayaan umum masyarakat yang bersifat autentik dan kebudayaan minoritas elit terdidik.
Baginya inilah zaman keemasan ‘komunitas organik’ dengan ‘kebudayaan yang hidup’ berupa
‘lagu rakyat dan tari rakyat’ (Leavis dan Thompson, 1933: 1) yang kini telah tenggelam
menjadi ‘standardisasi dan kemerosotan’ kebudayaan masa industrial. Cultural studies
berjuang dan mencoba mendefinisikan dirinya sendiri dengan bertolak dari dan melawan
definisi-definisi kebudayaan seperti di atas.
Berlawanan dengan konsep estetis dan elitis tentang kebudayaan, Raymond Williams
mengembangkan suatu pemahaman yang menekankan karakter keseharian kebudayaan sebagai
‘keseluruhan cara hidup’. Williams secara khusus menaruh perhatian pada kelas pekerja dan
bagaimana mereka secara aktif mengonstruksi kebudayaan mereka. Jadi, pandangan mereka
tentang kebudayaan tidak terlalu politis jika dibandingkan dengan pandangan Arnold. Tapi
yang penting adalah ini merupakan jenis politik yang berbeda yang menekankan demokrasi,
pendidikan dan ‘revolusi jangka panjang’ (Williams, 1965), yaitu gerak maju kelas pekerja
melalui institusi-institusi kehidupan kini dan sekarang serta demokratisasi kebudayaan dan
politik.
Meski ada perbedaan yang signifikan antara ketiganya, kesamaan diantara mereka
terletak pada penekanan atas ‘kelaziman’ kebudayaan dan kemampuan masyarakat yang aktif
dan kreatif untuk mengkontribusi praktik-praktik bermakna. Lebih jauh lagi, ketiganya
terutama tertarik pada pertanyaan tentang kebudayaan kelas, demokrasi dan sosialisme dalam
konteks sejarah kelas pekerja inggris.
RICHARD HOGGART:
Buku Hoggart (1957) The Uses of Literacy mengeksplorasi karakter kebudayaan kelas
pekerja inggris ketika dia berkembang dan berubah dari tahun 1930-an sampai era 1950-an.
Terbagi dalam dua bagian ‘Orde Lama’ dan ‘Meretas Jalan Baru’ menunjukan pendekatan
komparatif dan historis yang digunakan Hoggart. Pada bagian pertama, didasarkan pada
kenangan-kenangan selama masa pertumbuhannya, mengemukakan penjelasan simpatik,
humanis dan terperinci atas kebudayaan kelas pekerja. Bagian kedua, dia mengemukakan
penjelasan yang agak tajam tentang perkembangan ‘kebudayaan komersial’ yang ditengarai
melalui ‘jukebox boy’. Warisan terpenting Hoggart adalah legitmasi yang didasarkan pada
studi terperinci tentang kebudayaan kelas pekerja. Makna dan praktik orang biasa ketika
mereka berusaha menjalani kehidupan mereka dan menciptakan sejarah mereka sendiri.
EDWARD THOMPSON:
‘Sejarah dari bawah’ adalah tema utama dari buku Thompson (1963) The Making of
the English Working Class, yang berbicara tentang kehidupan, pengalaman, kepercayaan, sikap
dan praktik kelas pekerja. Bagi Thompson, kelas adalah fenomena historis yang dibentuk dan
diciptakan oleh orang-orang; ia bukan ‘benda’, melainkan serangkaian relasi sosial dan
pengalaman.
Bagi Williams, kebudayaan sebagai makna dan nilai sehari-hari adalah bagian dari
keseluruhan ekspresi relasi sosial. Jadi, ‘teori kebudayaan’ didefinisikan sebagai ‘studi tentang
hubungan antarelemen keseluruhan cara hidup’ (Williams, 1965:63). Bagi Williams, analisis
kultural bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis kebudayaan yang terekam pada
ruang dan waktu tertentu dalam rangka memadukan lagi, ‘struktur peasaan’ atau nilai dan
pandangan hidup yang dimiliki bersama oleh orang-orang yang hidup saat itu, sambil terus
menyadari bahwa rekaman-rekaman tersebut merupakan bagian dari ‘tradisi’ yang di jaga dan
di tafsirkan secara selektif. Williams juga berpendirian bahwa kebudayaan dapat dipahami
melalui representasi dan praktik kehidupan sehari-hari. Ini disebut dengan materialisme
kultural, yang meliputi ‘analisis atas semua bentuk signifikasi.... di dalam tujuan dan syarat
produksi mereka’ (Williams, 1981: 64-5).
Kebudayaan sebagai Pengalaman yang dihidupi
Kebudayaan menurut williams dibentuk oleh makna dan praktik lakilaki dan perempuan biasa.
Kebidayaan adalah pengalaman yang dihidupi: teks, praktik dan makna bagi semua orang
ketika mereka menjalani hidupnya. Jadi, makna kebudayaan yang dihidupi harus diekplorasi
di dalam konteks syarat produksinya, sehingga menjadikan kebudayaan sebagai keseluruhan
cara hidup.
Pada dasarnya garis demarkasi yang dibuat Leavis dan Arnold antara baik dengan buruk, tinggi
dan rendah, terpusat pada pertanyaan tentang kualitas estetis; yaitu penilaian atas keindahan,
kebaikan dan nilai. Secara historis penetappan batas standar karya yang baik telah
menyebabkan disingkirkannya kebudayaan pop karena penilaian atas kualitas berasal dari
suatu hierarki selera kultural yang terinstitusionalisasi dan berbasis kelas. Namun, penilaian
tentang kualitas estetis selalu terbuka untuk diperdebatkan. Evaluasi bukanlah tugas para
kritikus saja tigas mereka hanyalah menganalisis dan mendeskripsikan produksi makna.
Persoalan Kualitas
Sampai kini, kata Allen, diskursus estetis tentang opera sabun ditandai dengan pelecehan yang
nyaris mutlak (Allen, 1985:11). Dari dalam paradogma ini, opera sabun sebagai ekspresi
kebudayaan massa, dilihat sebagai suatu yang remeh dan tidak memuaskan. Konsep keindahan,
bentuk dan kualitas secara kultural bersifat relatif. Seni dapat dimengerti sebagai suatu kategori
yang diciptakan secara sosial yang telah melekatkan dirinya pada tandatanda eksternal dan
internal dimana seni tersebut dikenali. Seni sebagai kualitas estetis adalah sessuatu yang telah
diberi label oleh kebudayaan barat dan kelas elite. Seni adalah industri dengan pemilik,
manager, dan pekerjanya sendiri yang beroperasi menurut hukum keuntungan sebagaimana
yang terjadi pada kebudayaan pop dan televisi pop. Jadi, tidak ada landasan yang kuat untuk
mengesampingkan opera sabun dari ranah artistik dengan alasan bahwa seni, yaitu kualitas
estetis, adalah jenis aktivitas yang berbeda.
Banyak kritikus yang berpendapat bahwa karya yang berkualitas adalah yang secara formal
rumit dan kompleks dan paling selaras dalam hal ekpresi formal isinya. Jadi, seni yang baik
mengungguli seni yang buruk dapam soal memancarkkan dunia ini. Namun, banyak penulis
yang akan kesulitan mendukung epistemologi realisme yang melandasi argumen ini.
Analisis Ideologi
Upaya untuk memghasilkan kriteria penilaian estetis yang berlaku disemua ruang dan waktu
niscaya akan melanggar hukum relativisme, yaitu argumen bahwa kriteria alternatif berlaku
bagi ruang dan waktu yang berbeda. Cultural studies telah mengembangkan kriteria evaluatif
yang didasarkan pada nilai nilai politik dan analisis ideologis sehingga peran kritik menjadi
pengembangan pemahaman yang lebih menyeluruh atas proses kultural dan proses simbolis
dan cara mereka terhubung dengan kekuasaan sosial, politik dan ekonomi (eagleton, 1984).
Masalah Penilaian
Relativitas nilai dalam cultural studies mengubah diskusi menjadi dilema. Di satu sisi ada
hasrat untuk melegitimasi kebudayaan pop dan non-barat sebagai kebudayaan yang bernilai
dihadapan diskursus estetika budaya tinggi barat tradisional. Di sisi lain ada keengganan untuk
memberi sanksi kepada posisi dimana kita diabaikan dari penilaian karena ini akan berarti
bahwa apapun yang dihasilkan oleh perusahaan industri budaya akan dapat diterima karena dia
populer. Argumen bahwa perbedaan universal antara budaya tinggi dengan budaya rendah
tidak dapat dipertahankan lagi, seiring dengan makin terlihat dan menonjolnya status
kebudayaan pop, telah mengarahkan kritikus untuk menyatakan bahwa, budaya tinggi tak lebih
dari sekadar satu subkultur, satu opini, diantara sekian banyak yang lain.
Argumennya adalah bahwa kebudayaan massa kapitalis yang terkomodifikasi tidak autentik
karena tidak dihasilkan oleh masyarakat, manipulasif karena tujuan utamanya adalah agar
dibeli dan tidak memuaskan karena selain mudah dikonsumsi ia pun tidak mensyarakatkan
Terlalu banyak kerja dan gaagal memperkaya batin konsumennya. Dalam konteks ini, kedua
penulis berusaha mengekplorasi makna makna kebudayaan yang di produksi massal dan ragam
orang serta tatanan sosial yang kata mereka ditimbulkan oleh kebudayaan tersebut.
Sikap Ardono dan Horkheimer terhadap kebudayaan massa dinyatakan secara terang terangan
dan tegad dalam judul esai mereka. Mereka berpendaoat bahwa produk kultural adalah
komoditas yang dihasilkan oleh industri kebudayaan yang meski demokratis, individualistis,
dan beragam namun pada kenyataannya otoriter, konformis, dan sangat terstandardisasi.
Keragaman produk industri kebudayaan adalah suatu ilusi untuk sesuatu yang disediakan bagi
semua orang sehingga tak seorang pun bisa lari darinya.
KEBUDAYAAN POP
Cara pandang karya Leavis dan Adorno dalam sebuah pembagian biner, melihat kebudayaan
pop lebih rendah dari pasangannya (budaya tinggi). Menurut Fiske ‘dalam masyarakat kapitalis
tidak ada kebudayaan rakyat autentik yang dipertentangkan dengan kebudayaan massa yang
“tidak autentik,, sehingga meratapi hilangnya kebudayaan autentik adalah usaha sia-sia
nostalgia zaman romantic’ (Fiske, 1989a: 27)
Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan tidak ada
alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah di masa yang akan datang.audien pop
menciptakan makna mereka sendiri melalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompotensi
kultur dan sumber daya diskursif mereka sendiri. Kebudayaan pop dipandang sebagai makna
dan praktikyang dihasilakan oleh audien pop pada saat konsusmsi dan studi tentang
kebudayaan pop terpusat pada bagaimana dia digunakan.
Cultural studies bekerja dengan konsepsi kebudayaan pop yang positif yang dinilai dan
dianalisis secara kritis. Cultural studies menolak pandangan elits mengenai budaya tinggi-
budaya rendah atau kritik atas kebudayaan mass. McGuigam mengemukakan bahwa cultural
studies memiliki bakat populis simana ‘populisme cultural merupakan asumsi intelektual, yang
di buat oleh pera pengkaji kebudayaan pop, bahwa pengalaman dan praktik simbolis orang-
orang biasa lebih penting secara analitis dan secara politiis dibandingkan dengan kebudayaan
denag ‘K’ Kapital (McGuigan, 1992: 4)
Kebudayaan pop terbentuk melalui produksi makna popular yang terbentuk pada saat
konsumsi/ makna tersebut merupakan arena perselisihan (contestation) nilai-nilai politis dan
nilai-nilai cultural.
Kebudayaan pop adalah arena consensus dan resistensi dalam memperjuangkan makna
cultural. Dia adalah tempat di mana hegemoni cultural diterima atau ditentang. (Hall, 1977,
1981, 1996c), Hall mengembalikan kita kepaada konsepsi politis kebudayaan pop sebagi srea
memperjuangkan makna. penilaian atas kebudayaan pop terpusat pada pertanyaan yang tidak
diarahkan kepada nilai estetis atau nilai-nilai kultura; (kebudayaan yang baik atau buruk)
namun diarahkan kepada kekuasaan dan tempat kebudayaan po[ di dalam formasi sosial yang
lebih luas.
Konsep tentang yang popular menentang bukan hanya pemisah antara budaya tinggi dengan
budaya rendah namun juga menentang aksi klasifikasi kebudayaan dengan dan melalui
kekuasaan (Hall, 1996e)
Marxisme, atau materialism historis, adalah suatu filsafat yang mencoba mengaitkan produksi
dan reproduksi kebudayaan dengan tatanan kondisi kehidupan material. Kebudayaan adalah
suatu kekuatan corporeal (jasmaniah) yang terikat kepada produksi sejumlah kondisi material
eksistensi yang ditata secara sosial dan mengacu pada nemtuk-bentuk yang dimiliki eksistensi
sosial yang ada dibawah sejumlah kondisi historis yang pasti.
LANDASAN KEBUDAYAAN
Cara produksi diyakini sebagai landasan sebenarnya dari suprastruktur legal dan suprastruktur
politis dan ia menentukan kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Jadi cara produksi ekonomi
membentuk suprastruktur kultur.
Kebudayaan bersifat politis karena ia menjadi ekspresi relasi kekuasan sehingga ‘ide dari kelas
berkuasa selalu merupakan ide yang berkuasa dan dominan, artinya, kelas yang menguasai
kekuatan metrial di dalam masyarakat pada saatyang sama menguasai kekuatan intelektual
dominan’ (marx, 1961:93)
Re;lasi sosial antarmanusia yang khas secara historis muncul sebagai relasi antarbenda yang
alamiah dan universal, artinya, relasi sosial yang bersifat historis terus menerus direfikasi
(dinaturalisai sebagai benda alamiah yang ajek).
Kebudayaan bersifat politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kekuasaan kelas dengan
cara menaturalisasi tatanan sosial sebagai suatu fakta niscaya, sehingga mengaburkan relasi
eksploitasi di dalmnya. Jadi, kebudayaan bersifat idiologis (idelogi adalah peta makna yang
meski mengklaim dirinya sebagai kebenara universal, merupakan pemahaman spesifik disuatu
ruang atau waktu dan mengaburkan dan melenggengkan kekuasaan. Atau di sebut ide-ide
yang berlaku adalah ide-ide kelas berkuasa). Hubungan anatara basis ekonomis dan supra
struktur cultural bersifat mekanis dan secara ekonomis bersifat deterministic .
SPESIFIKASI BUDAYA
Kebanykan pemikir dalam curtural studies menolak reduksinisme ekonomi karena terlalu
simplistasi sehingga gagal memberi cirri khas mereka sendiri ke dalam praktik-praktik cultural.
Pendekatan multidimensional dan multiperspektif untuk memahami kebudayaan dalam rangka
menemukan keterkaitan antara dimensi politik, ekonomi, sosial dan cultural tanpa mereduksi
fenomena sosial pada salah satu level. Karya Raymond Williams (1965, 1979,dst) sekali lagi
terbukti cukup berpengaruh dalam perkembangan pemahaman nonreduksionis atau hubungan
antara yang material/ekonomis dengan yang cultural.
Williams berbicara tentang ‘jarak variable praktik’, yang berarti bahwa hubungan sosial yang
melekat dalam proses pengupahan tenaga kerja dan kepemilikan sarana produksi dan praktik
adalah serangkaian ‘jarak variabel’ dari praktik utama yang membuka lebar beberapa derajat
determinasi, otonomi dan spesifisitas.singkatny, smakin dekat praktik cultural pada relasi
ekonomi sentral, semakin banyak pia ditentukan secara langsung olehnya. Semakin jauh
praktik cultural dari proses inti produksi kapitalis, semakin banyak ia dapat beroprasi dengan
logika otonom mereka sendiri. Jadi seni yang dihasilkan secara individu lebih otonom bila
dibandingkan dengan televise yang diproduksi secara massl.
Dalam skema Williams, model mentah basis-suprastruktur telah digeser dan digantikan dengan
konsep masyarakat sebagai suatu ‘totalitas ekspresif’ dimana semua praktik-politik, ekonomi,
ideology-saling berinteraksi, memediasi dan memengaruhi satu sama lain.
Otonomi Relatif dan Spesifisitas Praktik Kultural
Althusser (1969, 1971) mengartikan formasi sosial bukan sebagai suatu totalitas di
mana kebudayaan menjadi ekspresi, namun sebagai suatu struktur kompleks dari berbagai hal
(berbagi level atau praktik) yang ‘dominasinya terstruktur’. Jadi, aspek-aspek politik, ekonomi
dan ideologi yang berbeda–beda diartikulasikan bersama-sama untuk membentuk satu
kesatuan yang bukan merupakan hasil dari determinasi basis-suprastruktur yang tunggal dan
searah, melainkan hasil dari determinasi yang muncul dari level yang berbeda sehingga suatu
formasi sosial adalah hasil dari ‘over-determinasi’.
DUA EKONOMI
Fiske (1987, 1989a, 1989b) yang menjabarkan dua ekonomi yang terpisah : ekonomi
finansial dari produksi dan ekomoni kultural dari konsumsi. Yang pertama terutama terkait
dengan uang dan nilai tukar komoditas, sementara yang kedua adalah arena makna kultural,
kesenangan, dan identitas sosial.
Dua aspek dalam tulisan Marx yang dapat dijadikan landasan untuk menelusuri
pemikiran-pemikiran yang fous pada pembahasan ‘kesadaran palsu’. Pertama, Marx (1961,
Marx dan Engels, 1970) berpendapat bahwa ide-ide yang dominan dalam masyarakat adalah
ide kelas berkuasa. Kedua, dia menyatakan bahwa apa yang kita persepsi sebaga karakter sejati
relasi sosial di dalam kapitalisme sebenarnya adalah mistifikasi pasar.
Althusser dan Ideologi
Bagi Althusser, ada empat aspek dalam karya Althusser yang menjadi inti pandangan
tentang ideologi:
Ideologi bagi Althusser memiliki dua ujung. Di satu sisi dia adalah kondisi nyata
kehidupan manusia, dia meliputi pandangan-dunia yang menjadi landasan orang untuk
hidup dan menyelami dunia ini.
Bagi Althusser, pendidikan bukan hanya mewariskan ideologi kelas berkuasa yang
membenarkan dan meligitimasi kapitalisme, tetapi juga mereproduksi sikap dan prilaku yang
dijalankan oleh kebanyakan kelompok kelas dalam pembagian kerja.