IDENTITAS BUKU
Dalam jurnalisme, etika teramat pentingnya karena pekerjaan ini penuh dengan
pengambilan keputusan. Seperti ditunjukkan oleh Tony Harcup (2007)[1] seorang
veteran wartawan yang kini profesor jurnalisme di Universitas Sheffield, Inggris,
berikut ini :
Kita sadari atau tidak, etika terkait pada setiap berita yang kita follow-up ataupun
abaikan; tiap kutipan yang kita gunakan atau tinggalkan atau rapikan; setiap butir
konteks yang kita olah, sedehanakan atau buang; tiap putusan untuk menciptakan
(maaf, laporkan) a ‘row’; setiap foto yang kita pilih atau’perbaiki’; setiap sound bite
yang kita pilih untuk dipakai; setiap pendekatan dari pengiklan yang mencoba
memengaruhi naskah editorial; tiap headline yang kita tulis, setiap pertanyaan yang
kita tanyakan atau tidak tanyakan.
Karena bagi seorang ethical journalist, tidak cukup hanya Punya segundukan buku
kontak atau daya cium berita yang bagus, menjadi seorang jurnalis yang beretika
juga berartimempertanyakan praktik-praktik kita sendiri.
Dalam membuat berbagai keputusan tersebut, pedoman yang dijadikan patokan
adalah prinsip-prinsip etika jurnalisme yang memang memberi panduan bagi para
jurnalis dalam melakukan kerja mereka. Tanpa mengikuti pedoman tersebut bisa
saja suatu media beserta wartawannya menulis berita dan memuat tulisan yang
seenal selera sendiri.
Selama ini, banyak contoh yang telah terjadi pada banyak media di berbagai
tempat, karena tidak mematuhi pedoman etika, maka media yang bersangkutan
harus menanggung akibatnya.
Sebagian dari pelanggaran etika itu disebabkan oleh tidak dipahami dan
dikuasainya kode etik oleh para jurnalis. Namun cukup banyak yang dikarenakan
para wartawan dimaksud memang mengabaikan berbagai ketentuan yang diatur
dalam kode etik jurnalistik.
Sebagai panduan, sebenarnya etika jurnalisme sama sekali tidak dimaksudkan
untuk mempersulit jurnalis dalam bekerja. Apalagi kalau sampai dianggap
menghambat kebebasan berekspresi dan menghalangi kreativitas wartawan. Justru
hadir untuk menolong dan memudahkan para jurnalis agar tidak melanggar prinsip-
prinsip dan nilai-nilai etis dalam melaksanakan tugas mereka.
Namun demikian secara umum disepakati bahwa jurnalisme yang baik adalah
yang beretika. Seperti dikemukakan oleh Merril (1980:8) [2]:
“Suatu kepedulian akan etik amatlah penting. Jurnalis
yang concern dengan hal ini jelas peduli akan tindakan yang baik dan benar.
Kepedulian itu menunjukkan suatu attitude yang menjunjung kebebasan dan
tanggung jawab pribadi. Juga menunjukkan bahwa si jurnalis berhasrat untuk
menemukan norma-norma sebagai prinsip-prinsip panduan atau petunjuk spesifik
dalam mencapai kehidupan yang dirasakan paling berarti dan menuaskan (most
meaningfull and satisfying).
Concern akan etik (ethical concern) juga penting karena mendorong sang jurnalis
kepada komitmen, keputusan yang telah dipikirkan di antara sejumlah alternatif. Hal
itu akan mengarahkannya untuk mendapatkan summon bonum, kebaikan tertinggi
dalam jurnalisme, yang karenanya menambah bobot keautentikan dirinya sebagai
pribadi dan sebagai jurnalis.”
Masyarakat pada dasarnya percaya bahwa jurnalisme:
a) Merupakan (idealnya) institusi pencari kebenaran
b) Dilakukan secara professional (oleh orang dan masyarakat telah diberi kepercayaan
untuk itu).
c) Tidak disertai kepentingan apa pun.
d) Menghasilkan berita/tulisan yang berfaedah untuk berbagai kegunaan berikutnya.
Masyarakat member kepercayaan kepada jurnalisme, karena profesi ini
dipandang sebagai suatu institusi sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan
kemasyarakatan yang dinamis, terbuka, dan demokratis.
Untuk dapat memenuhi ekspektasi dan kepercayaan masyarakat itu, para pelaku
jurnalisme merumuskan sendiri sejumlah prinsip yang dijadikan sebagai panduan
mereka dalam berkativitas. Gunanya agar dalam melaksanakan fungsi media,
kepercayaan yang didapatkan dari masyarakat tetap dapat dijaga dengan baik dan
tidak diselewengkan. Meskipun dalam rinciannya prinsip-prinsip yang dipedomani
dalam etika jurnalisme cukup banyak, tapi yang utama adalah :
1) Akurasi.
2) Independensi.
3) Objektivitas (sering disebut juga balance).
4) Fairness.
5) Imparsialitas.
6) Menghormati privasi.
7) Akuntabilitas kepada publik.
Prinsip akurasi berarti substansinya, fakta-faktanya, dan penulisannya benar,
berasal dari sumber yang otoritatif dan kompeten, serta tidak bias. Prinsip
objektivitas, berarti harus bebas dari obligasi atau kepentingan apapun selain hak
public untuk mengetahui informasi, serta menghindari conflict of interest baik yang
nyata maupun yang dipersepsikan (perceived). Prinsip fairness adalah peliputan
yang transparan, terbuka, jujur dan adil yang didasarkan pada dealing yang
langsung (transparent, open, honest and fair coverage based on straight dealing).
Sedangkan prinsip akuntabilitas mengharuskan para jurnalis untuk senantiasa
akuntabel dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan aktivitas
jurnalisme.
Gejala pelanggaran ataupun kurangnya kepatuhan dan apresiasi terhadap etika
media dan jurnalisme dapat dilihat pada berbagai kasus pemberitaan di media
massa baik dewasa ini maupun di masa lalu. Perbincangan mengenai hal ini juga
telah mengemuka dalam berbagai kesempatan. Diskusi kerja mengenai kinerja
jurnlais Indonesia misalnya, menyimpulkan sedikitnya dua bidang kelemahan yang
krusial dalam kinerja jurnalis Indonesia, yakni dalam hal kemampuan etika dan
berbahasa. Kesimpulan ini diperkuat oleh data terkahir yang menunjukkan bahwa
selama tahun 2013, Dewan Pers menerima 780 pengaduan dan masyarakat.[3]
Selama ini, berbagai pelanggaranetika yang terjadi di Indonesia antara lain : (a)
pencemaran nama baik; (b) pemberitaan sepihak (tanpa verifikasi/konfirmasi); (c)
penyebaran informasi yang sifatnya private conversations; (d) pencampuran fakta
dan opini; (e) judul yang menghakimi; (f) narasi media elektronik yang menghakimi;
(g) foto tidak berkaitan dengan berita; (h) penerbitan/penyiaran foto/footage korban
atau pelaku kejahatan yang masih di bawah umur; (i) pemerasan; dan (j) character
assassination (Alamudi, 2008)[4]. Dalam buku ini dikemukakan sejumlah contoh
pelanggaran kode etik jurnalistik yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri[5].
D. Definisi
Ward (2009) mendefinisikan etika sebagai:
The analysis, evaluation, and promotion of correct conduct and/or good character,
according to the best available standards.
(analisis, evaluasi dan promosi perilaku yang benar dan/atau karakter yang bagus
menutur standar terbaik atau karakter yang bagus menurut standar terbaik yang
ada).
Dalam American Heritage Dictionary: Description of ethic (2006), disebutkan
bahwa etik adalah:
1. A set of principles of right conduct (Seperangkat prinsip perilaku yang benar).
A theory or a system of moral values (Suatu teori atau sistem nilai-nilai moral).
2. Ethics (used with a sing. Verb): Studi tentang sifat umum dari moral dan pilihan-
pilhan moral yang spesifik yang dibuat oleh seseorang; filosofi moral. (The study of
the general nature of morals nad of the specific moral choices to be made by a
person;moral philosophy).
Ethics (used with a sing. or pl. verb) : Aturan atau standaryang mengatur perilaku
seseorang atau suatu profesi; etika kedokteran.
A. Hubungan Sosial
Secara sosiologis kehidupan kebersamaan, para jurnalis adalah warga
masyarakat di mana dia berada. Mereka hidup dan melakukan kegiatan jurnalisme
di tengah masyarakat luas, sekaligus menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri.
Karena itu kedua pihak ini berada pada posisi yang saling membutuhkan.
Pendeknya, di antara kedua pihak terjalin hubungan kebersamaan yang idealnya
harus berwujud saling respek dan pengertian.
Kesadaran tentang hubungan inilah yang melahirkan konsep pers yang
bertanggung jawab (responsible press) sejak mula-mula tumbuh pada tahun 1940-
an dan terus berkembang hingga saat ini. Belakangan peikiran tentang
kebertanggungjwaban pers ini telah menelurkan konsep tentang prinsip pers yang
merdeka dan bertanggung jawab (free and resnponsible press).
Kredibilitas Media
Bagi media rasa dipercaya oleh khalayak itu amatlah penting, bahkan bisa
dibilang merupakan syarat mutlak. Sebab, tidak ada gunanya melakukan segala
kerja keras apapun bila nyatanya toh publik tidak percaya kepada suatu media. Di
pihak publik, rasa percaya kepada suatu media mencerminkan keyakinan mereka
bahwa media yang dimaksud telah berkata jujur, tidak memihak, independen,
singkatnya sebuah media yang etis.
Dampak langsung dari pelanggaran kepercayaan tersebut adalah turunnya atau
bahkan bisa pupusnya kredibilitas media di mata publik. Selama ini krisis kredibilitas
media di hadapan khalayak telah terjadi dimana-mana. Dalam sebuah konferensi
tentang “Journalism and Public Trust”[10] pada Desember 2004, Dr. Karin Wahl-
Jorgensen dari Cardiff University mengungkapkan hasil studi Masss Observation
(MO) tahun 2001[11] tentang attitude publik terhadap media di Inggris yang antara
lain menyebut bahwa jurnalisme tidak bisa dipercaya karena media terlalu komersial,
bias, dan berpihak ke pemerintah dan kepentingan khusus (special interest). Lebih
jauh bahkan responden studi itu melihat adanya konspirasi pendiaman (conspiracy
of silence) oleh pemerintah dan media, tapi justru merahasiakan informasi yang
penting.
Studi Mass Observation Archive di University of Sussex, Inggris, itu berusaha
menangkap opini orang biasa (‘ordinary people’), melalui respons tertulis yang
mendetail dari responden di wilayah Inggris mengenai topik tertentu empat kali
dalam setahun. Memang ini merupakan suatu penyederhanaan yang kelewatan
(over simplification) yang masif, tapi dari bukti MO tersebut terindentifikasi suatu
krisis kepercayaan publik (public confidence) terhadap jurnalisme “yang berdampak
financial” terhadap media berita, seperti terbukti dengan menurunnya sirkulasi dan
kepembacaan (readership). Juga jelas menunjukkan ketidakmampuan (apparent
inability) media massa mengemban peran ideal (ideal role) mereka dalam suatu
masyarakat yang demoktaris; yakni menciptakan suatu publik yang informed
(aninformed public).
Burrage, Jarausch dan Siegrist (1990), membuat daftar kriteria yang sering dikutip
yaitu:
1. 1. Suatu pekerjaan yang full-time, liberal (non-manual).
2. Menegakkan suatu monopoli dalam pasar tenaga kerja untuk pelayanan ahli
(expert services).
3. Mencapai suatu self-governance atau otonomi, yakni merdeka dari control oleh
pihak luar mana pun (any outsiders), apakah itu pemerintah, klien, orang biasa atau
yang lainnya.
4. Pelatihannya bersifat khusus (specialized) dan juga sistematik dan ilmiah
(scholarly).
5. Ujian, diploma, dan gelar menjadi kontrol untuk memasuki pekerjaan dan juga
menegakkan monopoli.
6. Imbalan bagi anggota baik yang bersifat materi maupun simbolik terkait bukan
Cuma dengan kompetensi pekerjaan dan etika tempat kerja, tapi juga pada
keyakinan kontemporer bahwa ahli-ahli mereka penting secara khusus bagi
masyarakat dan kesejahteraan bersama (Burrage, Jarasuch, & Siegrist, 1990 : 205).
E. Etika Profesi
Semua professional by the very nature of their skills dan ekspertis mereka wajib
untuk stand for (profess) nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai ini tidak dipaksakan (imposed)
dari luar profesi, tapi ditentukan oleh sifat (nature) profesi tersebut. They are
privileged to exercise.
Jadi sebuah profesi berkewajiban untuk mengartikulasikan inti nilai-nilai etika dan
komitmennya. Etika jangan dipaksakan secara arbitrer dari luar, haruslah lahir dari
refleksi dan pengalaman para praktisi yang mempunyai pemikiran (“thoughtful
practitioners”).[19]
F. Model-model Profesionalisasi
Dalam literature sosiologi terdapat tiga kategori model-model profesionalisasi,
yaitu: attribute models, process models, dan power models. Attribute models
menggambarkan traits (unsure khas, esensi), atribut dan karakteristik yang
mendefinisikan suatu profesi sebagai sesuatuyang berbeda dari pekerjaan yang lain.
Process models menggambarkan sekuensi peristiwa yang ditempuh untuk mencapai
profesionalisasi. Power models berfokus pada motivasi untuk profesionalisasi dan
bagaimana motivasi ini tumbuh atau muncul.
A. Peran Profesional
Sebenarnya kalau Cuma untuk keperluan praktis, apakah jurnalisme memenuhi
criteria tersebut tidaklah relevan-banyak jurnalis yang menganggap diri mereka
professional, dan mereka saling berbagi konsepsi tentang bagaimana seorang
jurnalis professional itu seharusnya.[21] Lalu bagaimana perasaan jurnalis tentang
apakah profesionalisme mereka berpengaruh pada berita yang mereka tulis dan
edit? Tentang hal ini Weaver dan Wilhoit menyimpulkan bahwa organisasi
(perusahaan) media mengenakan banyak kontrol birokratis atas produksi content
media, dan kontrol ini membatasi pengaruh orientasi professional individu jurnalis.
Jadi, seorang jurnalis “of a profession but not in one” (1991:145). Memang mereka
boleh jadi tidak mampu mencapai profesionalisme seperti yang dipunyai oleh para
dokter.
E. Jurnalis Profesional
Bangkitnya jurnalisme professional diabad ke-20 telah membantu menciptakan
suatu citra tertentu bagi para reporter. Imej ini –yang ditegakkan oleh industry media
sendiri –menyatakan bahwa hanya jurnalis “professional” ikut serta dalam
jurnalisme.[22] Namun dilapangan nyatanya tak selalu demikian. Munculnya
teknologi digital dan kekuatan demokratisasi internet telah menantang citra tersebut
secara fundamental. Saat ini lebih banyak orang yang berpartisipasi dalam
jurnalisme. Mereka membuat breaking news di twitter, meliput komunitas mereka di
facebook, livestreaming, mendistribusikan berita via email dan menulis in-depth di
blogs mengenai isu-isu yang signifikan bagi warga dan komunitas. Sebagian mereka
memang dapat disebut sebagai jurnalis “tradisional” yang bekerja di platforms baru,
tapi banyak yang bukan.
Kebenaran Faktual
Prinsip dasar yang melandasi pekerjaan jurnalisme adalah tugasnya untuk
mencari dan menyampaikan kebenaran (seeking and delivering the truth).
Prinsip Kedua: Independen dan Fair –berita yang komplit, tanpa menyembunyikan
fakta-fakta yang signifikan; berupaya untuk menghindari bias; menolak sebutan yang
bersifat merendahkan (pejorative);[29] member ruang untuk ketidaksepakatan yang
valid dan beralasan; member kesempatan kepada yang ‘diserang’ untuk
menjelaskan; tidak menyerah kepada rayuan kepentingan komersial dan politik.
Prinsip Ketiga: Humanitas dan Solidaritas –tidak berbuat sesuatu yang langsung,
disengaja merusak (damage) orang lain; meminimalisasi cedera; menghormati hak-
hak publik (right of the public) dan kualitas moral dari jurnalisme itu sendiri.
A. AKurasi
Dalam Random House Websters’s College Dictionary, akurasi didefinisikan
sebagai suatu kondisi atau kualitas sebagaimana yang benar (the condition or a
quality of being true); tepat (correct); atau pasti (exact), persis (precision); dan
kepastian (exactness). Dengan kata lain, informasi yang akurat itu bebas dari
kesalahan, suatu kualitas yang tumbuh dari kehati-hatian (carefulness); dan tunduk
sepenuhnya pada kebenaran (exact conformity to truth).
Prinsip akurasi berarti berita ataupun karya jurnalistik lain yang ditulis oleh
wartawan dan disiarkan oleh media, benar substansinya, fakta-faktanya, dan
penulisannya, dan berasal dari sumber informasi yang otoritatifnya dan kompeten,
serta tidak bias. Ada juga yang mendefinisikan akurasi sebagai informasi yang
mempunyai sumber yang baik berdasar pada bukti yang solid )well-sourced
information based on solid evidence).
Menurut Lambeth (1992), akurasi merupakan tuntutan mendasar dari truth telling
atau penyampaian kebenaran, yang mensyaratkan para jurnalis untuk mencek dan
mericek informasi. Agar selalu bisa akurat, setiap jurnalis hendaklah menanamkan
kebiasaan akurasi (the habit of accuracy) dan mendisiplinkan pada diri masing-
masing.
Para jurnalis selalu diingatkan bahwa misi jurnalisme adalah mencari dan
menyampaikan kebenaran. Untuk itulah prinsip akurassi dan sejumlah prinsip yang
lainnya ditegakkan. Menurut Couldry, accuracy adalah disposition untuk menuju
kebenaran dan untuk melakukan investigasi yang diperlukan untuk mencapai
kebenaran.
Akurasi beriat dan tulisan yang dihassilkan oleh para jurnalis menjadi faktor
penentu reputasi sebuah media. Dari situ pula diperoleh tingkat kredibilitas media
tersebut di mata khalayak. Mencapai posisi yang disebut sebagai authoritative
journalism[30] atau jurnalis yang otoritatif.
B. Independensi
Independensi menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh seorang wartawan baik
selaku pribadi maupun institusi media tempat kerjanya. Mengenai prinsip
independensi, Canadian Association of Journalist menyatakan:
Kita melayani demokrasi dan kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran.
Terkadang hal ini konflik dengan berbagai kepentingan publik dan pribadi, termasuk
pemerintah, pengiklan, dan di waktu tertentu dengan tugas dan kewajiban majikan
kita.
Mempertahankan kepentingan publik termasuk mempromosikan arus bebas
informasi, mengekspos kejahatan atau penyelewengan, melindungi kesehatan dan
keamanan publik dan mencegah publik dari kesesatan.
Kita tidak mengistimewakan perlakuan kepada pengiklan dan kepentingan khusus.
Kita menahan usaha mereka untuk memengaruhi berita.
Kami membayar sendiri segala biaya manakala mungkin. Bagaimanapun tidak
semua jurnalis atau organisasi mampu untuk itu. jadi bila pihak lain membiayai
kamu ke suatu event, hal itu kami sebutkan, termasuk ketika meliput industry seperti
travel, automotif, militer dan perdagangan luar negeri (foreign trade). (secara umum
dimengerti ada pengecualian, untuk preview film, konser, ceramah dan pertunjukan
teater).
Kami tidak menerima hadian atau kebaikan untuk kegunaan pribadi, dan harus
segera mengembalikan hadian yang melebihi nominal. Bila pengembaliannya tidak
praktis, maka hadian tersebut akan disumbangkan ke badan amal yang tepat.
Secara umum kami tidak menerima pembayaran bila menjadi pembicara di
kelompok yang kami liput atau komentari.
Kami tidak memberitakan subjek yang kami punya kepentingan financial atau
lainnya, dan tidak menggunakan posisi kami untuk mendapatkan keuntungan bisnis
atau lainnya yang tidak tersedia bagi publik umum.
Kami tidak memperlihatkan laporan lengkap kami kepada sumber –khususnya
sumber pejabat –sebelum diterbitkan atau disiarkan, kecuali hal itu dimaksudkan
untuk memverifikasi fakta. Melakukan hal itu dapat mengundang pembatasan dini
dan tantangan independensi kami sebagai reporter.
Kami mengumpulkan informasi dengan maskud memproduksi berita dan gambit
untuk konsumsi publik. Secara umum kami tidak membagi (share) informasi yang
disiarkan (unpublished information) –seperti catatan dan audio tape dari interview,
dokumen, email, file, digital, foto dan video –dengan pihak luar organisasi media
tempat bekerja.
Kolumnis dan komentator harus bebas mengekspresikan pandangan mereka, meski
pandangan tersebut konflik dengan organisasi, sepanjang content-nya memenuhi
standar jurnalistik yang umum diterima untuk fairness dan akurasi.
C. Objetivitas
Prinsip objektivitas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk mencegah
kemungkinan ataupun kecenderungan wartawan terpengaruh oleh subjektivitas
pribadi maupun pihak lain dalam memandang dan menggambarkan suatu peristiwa
atau kejadian. Prinsip ini bertujuan agar wartawan meninjau setiap masalah dari
berbagai sudut pandang supaya lebih mencerminkan kebenaran.
Banyak contoh isi media yang tidak memenuhi prinsip objektivitas ini, seperti
bias, berat sebelah dan melakukan framing.[31] Dalam konteks jurnalisme,
objectivity bisa dilihat sebagai sinonim dengan kenetralan (neutrality).
Dalam Society of Professional Journalist Code of Ethics dijelaskan bahwa untuk
mendapat objektivitas:
Harus bebas dari obligasi atas kepentingan apa pun selain hak publik untuk
mengetahui.
Menghindari conflict of interest baik yang nyata maupun precieved.
Menolak hadiah, kebaikan, bayaran, free travel atau treatment khusus dan nuansa
secondary employment, political involvement, dan layanan di organisasi komunitas
jika hal itu mengkompromikan integritas jurnalistik.
Menghindari streotipe berdasar ras, gender, usia, agama, etnisistas, goegrafi,
orientasi seksual, disabilitas, tampilan fisik atau status sosial.
Nilai objektivitas dikedepankan terutama melawan jurnalisme partisan di mana
surat kabar mendeklarasikan diri sebagai sekutu atau agen dari partai-partai politik,
dan liputan mereka merupakan elemen dari perjuangan partisan. Jurnalis partisan,
seperti jurnalis yang objektif, juga menolak inakurasi, bohon dan misinformasi, akan
tetapi jurnalis partisan tidak risih untuk menyajikan informasi dari perspektif partai
atau faksi tertentu.[32]
Lebih dari sekadar perangkat aturan (set of craft rules) untuk menangkis gugatan
hukum (libel suits) atau hambatan lain, untuk membantu para editor mengawasi
bawahannya, akhirnya objektivitas merupakan suatu kode moral (a moral code). Hal
itu tercantum dalam buk teks di sekolah jurnalisme dan dalam kode etik sejumlah
perkumpulan profesional.
1. Konsep Objektivitas
Norma objektivitas merupakan cara yang diterapkan oleh para jurnalis untuk
menyakinkan khalayak bahwa mereka membuat deskripsi tentang realitas yang
reliable dan valid. Fungsi yang melegitimasikan ini telah menjadikan objektivitas
sebagai mercusuar yang menuntun apa yang dikerjakan oleh para jurnalis –ketika
mereka memilih, menghimpun dan menyajikan berita.
Sanggahan terhadap norma objektivitas mengandung tiga hal. Yang pertama
tidak terlalu banyak ditujukan kepada norma objektivitas itu sendiri, tapi pada
gagalnya para jurnalis memenuhi tuntutan norma tersebut. Hal ini menghasilkan
suatu debat besar mengenai bias dalam media. Sebagian mengklaim bahwa content
media telah bersifat bias politik akibat keyakinan politik dari individu jurnalis
(Patterson dan Donsbach, 1996), sedang yang lain menyatakan para jurnalis
mengalami pembatasan dari organisasi berita temapt mereka bekerja dan content
media jadi bias politik justru karena keberpihakan dan keyakinan politis (political
standpoints and beliefs) dari perusahaan media (Altschull, 1995).
Serangan yang kedua lebih fundamental. Para ahli menunjukkan bahwa
pemilihan berita (the mews selection) telah menghasilkan suatu bias structural, yang
menegakkan tatanan masyarakat yang ada dengan memihak pada sumber berita
institusional yang sah dan mengesampingkan pandangan radikal dan orang luar
(Gans, 1980; Tuchman, 1978). Pihak ini mencela kemungkinan objektivitas, tapi
hingga tingkat tertentu juga mengandung kritik normatif bahwa norma objektivitas
saja tidak mencukupi.
Sanggahan ketiga berpendapat norma objektivitas tidak diinginkan apabila hal itu
mengarah para jurnalis yang menjauhkan diri dan tidak berminat pada masyarakat
(detached and disinterested) yang tidak punya sikap moral atau moral stand untuk
meningkatkan masyarakat yang semestinya mereka layani (Glasser, 1984; Stoker,
1995).
2. Empat Dimensi Objektivitas
Ada empat dimensi dari objektivitas, yaitu:
a.
No subjectivity: salah satu aspek dari objektivitas yang sering disebut adalah
bahwa jurnalis yang meliput berita harus menjadi pengamat yang terlepas (detached
observers) dari objek yang mereka liput. Ini berarti bahwa jurnalis tidak boleh
membiarkan opini mereka sendiri memengaruhi penyajian apa yang diliput (Chalaby,
1998: 130-133; McNair, 1998: 68; McQuail, 2005: 200; Westerstahl, 1983). Ide ini
juga tercerin dalam pembagian klasik antara liputan berita (news reporting) dan
karya opini (opinion pieces) dalam surat kabar, yang mengindikasikan bahwa liputan
berita tidak terpengaruh oleh keyakinan subjektif atau opini.
Balace: aspek penting yang lain juga sering ditekankan khususnya dalam
hubungan dengan klaim mengenai bias media, ialah keseimbangan liputan (the
balancing of accounts). Menurut konsep ini, jurnalis tidak boleh menjadi wasit
sekaligus dari suatu tuturan tentang realitas (account of reality) agar lebih baik dari
yang lain. Salah satu cara untuk menghindari hal itu adalah dengan
menyeimbangkan pandangan yang berseberangan dalam laporan dan menyerahkan
keputusan pada khalayak (Chalaby, 1998). Balance juga menuntut jurnalis untuk
secara kritis menantang (challenge) dan mempertanyakan berbagai tuturan realitas
yang berasal dari sumber pada posisi yang setara (Ryan, 2001)
c.
d. Value judgments: objektivitas telah dikritik karena mengarah pada pemisahan diri
(detachment) dari objek yang diliput. Hal ini telah ditantang oleh gerakan jurnalisme
publik dan para pakar yang menekankan bahwa penilaian berdasar nilai (value
judgments) tak terhindarkan ketika jurnalis investigative terlibat dalam peran sebagai
watchdog (McQuail, 1992: 186-191). Yang lain juga mengemukakan kritik yang mirip
dan justru menganjurkan jurnalisme harus mengadvokasi stance dari kelompok
masyarakat yang termarjinalkan (Waisbord, 2009). Kritik-kritik tersebut tidak dengan
sendirinya mencela objektivitas tapi menuntut untuk melaksanakannya dengan cara
berbeda dengan jurnalis mainstream (Charity, 1995). Ini berarti tidak membatasi diri
hanya pada deskripsi dari realitas semata, tapi ditujukan pada value judgments
menurut standar politik, sosial, dan moral (Donsbach and Klett, 1993: 64)
D. Balance
Dalam memberitakan suatu peristiwa atau kejadian, seorang wartawan harus
memerhatikan prinsip keberimbangan (balance), yakni member tempat dan
kesempatan yang sejajar secara proporsional bagi dua atau lebih pihak ataupun
pandangan yang berkenaan dengan yang diberitakan. Jadi andainya
disederhanakan bahwa dalam suatu peristiwa atau kejadian ataupun sesuatu isu,
tentulah ada pihak ataupun pandangan yang pro dan kontra, setuju dan yang
menentang, yang menerima dan yang menolak atau bahkan ada yang tidak kedua-
duanya. Sedapat mungkin, pandangan ataupun pihak yang dimaksud hendaklah
diberi porsi yang seimbang sehingga khalayak tidak menilai berita ataupun karya
jurnalistik yang anda buat itu berat sebelah.
E. Fairness
Prinsip fairness diwujudkan dalam peliputan yang transparan, terbuka, jujur dan
adil yang didasarkan pada dealing yang langsung (transparent, open, honest, dan
fair coverage based on straight dealing). Prinsip ini dimaksudkan agar berita dan
tulisan yang dibuat oleh jurnalis member tempat dan peluang bagi semua pihak
secara adil. Dengan begitu, tidak ada pihak yang dianakemaskan ataupun yang
dianaktirikan.
Dalam pengalaman selama ini, kelemahan dalam pelaksanaan asa fairness
umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Kurangnya kesadaran mengenai hal ini.
2. Ketergesaan ataupub desakan waktu yang dialami para jurnalis.
Menurut Haiman,[33] sebuah koran tidak fair jika:
Salah dalam mendapatkan fakta.
Menolak mengakui kesalahan.
Tidak menyebutkan nama padahal nama itu diketahui.
Bersifat ignorant atau reporter yang takkompeten.
Memangsa pihak yang lemah.
Berkonsentrasi pada berita buruk.
Tidak menjunjung diversity.
Membolehkan editorial bias dalam berita.
Tidak mau mengakui bahwa terkadang memang tidak ada berita.
F. Imparsialitas
Pada hakikatnya prinsip ini merupakan penekanan kembali 9re-emphasizing0
tentang ketidakberpihakan jurnalis dan media dalam mencari, menulis, dan
menyiarkan berita ataupun karya jurnalistik lainnya. Hal ini amat penting karena
media sebagai suatu institusi sosial menempati posisi tersendiri berikut sejumlah
privilege yang telah diberikan oleh masyarakat kepadanya agar dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Imparsialitas diartikan sebagai peliputan yang fair dan
pikiran terbuka untuk menggali semua pandangan yang signifikan (fair and open-
minded coverage exploring all significant views).
G. Menghormati Privasi
Sesungguhnya setiap pribadi mempunyai hal untuk tidak dijadikan perhatian
publik (the right to be out of the public eye) atau untuk tidak diterkenalkan
(anonymity). Hak untuk menjalani kehidupan tanpa orang yang asing mengetahui
detailnya.[34]
Isu privasi berkenaan dengan berbagai situasi yang memunculkan tantangan
pengambilan keputusan etis (ethical decision-making challenges) bagi para jurnalis
dan para eksekutif dan pimpinan surat kabar ataupun stasiun penyiaran. Misalnya
dalam hal meliput tragedy, penggunaan foto atau video yang bersifat graphic;
mengidentifikasikan remaja (dengan nama atau foto); kerahasiaan sumber
(confidentally of sources); menyebut identitas tertuduh kriminal, korban kejahatan
atau kecelakaan; melakukan probing kehidupan personal orang dalam berita dengan
berbagai alasan; dan mengungkapkan informasi yang dipertanyakan. Di semua
situasi ini, dilemanyan adalah memilih antara kepentingan publik (public interest)
atau hak publik untuk tahu, dan hal individu atas privasi atau anonimitas.
Berkenaan dengan hal ini, para jurnalis sering mengajukan argumentasi mereka
dengan mengaitkan soal hal publik untuk mengetahui (the public’s right to know).
Mereka berkeyakinan kuat bila para pejabat diperbolehkan untuk bertindak dalam
kerahasiaan (secrecy) maka akibatnya adalah keguguran keadilan (miscarriages of
justice) dan korupsi. Karena itu pula kebanyakan jurnalis akan mengedepankan
public’s right to know dalam menghadapi klaim soal privasi.
A. Pergeseran Paradigma
Seperti diketahui, bergesernya paradigma mulai tatkala sejumlah yang signifikan
pihak menyadari bahwa asumsi lama mengenai bagaimana institusi sosial bekerja
tak lagi sesuai (Thomas Kuhn,1962).[41] Berbagai ide baru sedang terbentuk namun
belum ada standar baru yang diterima ataupun diakui. Kini pentingnya institusi
dimaksud menuntut untuk terus beroperasi menurut sejumlah kerangka yang diakui.
Bermulanya pergeseran paradigm ditandai dengan ketiadaan consensus mengenai
bagaimana organisasi seyogianya beroperasi.
“Di Amerika, selama dua ratus tahun kita mengandalkan beberapa versi dari
media untuk meginterpretasikan peristiwa dan pada saat yang sama menjelaskan
dunia kepada kita, serta peran pemerintah di dalamnya. Kini orang tak lagi
menunggu media atau pemerintah untuk member informasi. Mereka
mendapatkannya online dan menyebarluaskannya. Dengan informasi itu mereka
mendapatkan kekuatan” (Trippi: 232).[42]
Pada akhirnya, apapun sumber informasinya, warga harus punya sejumlah basis
untuk mempercayai keakuratan dari informasi yang diberikan. Kredibilitas
merupakan nilai akhir dari komunikasi massa apakah mediumnya surat kabar
tradisional ataupun sebuah blog (Dionne, 2006).[43]
Internet telah mengubah cara kerja jurnalis secara dramatis. Tak heran bila 40%
of U.S. Jurnalis AS mengatakan bahwa sosial media mata penting bagi pekerjaan
mereka. Secara regular 53,8% menggunakan microblogs seperti twitter untuk
mengumpulkan informasi dan reporting berita mereka. Selain itu, mereka
menggunakan blog wartawan lain (23,6%), Wikipedia (22.2%), situs audio-visual
seperti Youtube (20,2%), situs professional seperti Linkedin (10,6%) dan blog warga
(7,1%)
[1] Tony Harcup, (2007:6), The Ethical Journalist, London: Sage Publicatoins.
[2] Merril, John C. (1980). ‘Ethics’ : A worldview for the Journalist, hlm. 108-118
dalam A.
Van Der Meiden (ed.) Ethic and Mass Communication, The Netherland: State University of
Utrecht.
[3] “Dewan Pers ajudikasi 90 persen pengaduan”, antaranews.com, Selasa, 30 September
2014 19:01 WIB.
[4] Abdullah Alamudi, 2008, “ Pelanggaran Etika Jurnalistik Oleh Pers Indonesia”, makalah,
disampaikan pada Diskusi Pembelajaran Etika dalam Pendidikan Jurnalistik, S1 Komunikasi
FISIP-UI, Depok, 19 Februari 2008.
[5] Laporan Diskusi Kerja “Kinerja Jurnalis Kita dan Upaya Mengatasinya melalui
Pendidikan Jurnalisme”, lampiran dalam Nasution, Z dan Gunawan, A, (eds), 2007,
Konferensi-Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnlaisme di Indonesia: Tantangan dan
Kompetensi, Jakarta: UNESCO Jakarta.
[6] Lebih jauh tentang hal ini, lihat “Media Massa sebagai Institusi Sosial” dalam Zulkarimein
Nasution, (1988), Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka
[7] Zulkarimein Nasution, (2009), “ Lembaga pemantau media massa (media watch) untuk
memberdayakan khalayak media massa di Indonesia”, hlm. 259-263 dalam Rachman Ida, et,
al., (eds), (2009), Transformasi Industri Media dan Komunikasi di Indonesia, Surabaya:
Departemen Komunikasi FISIP, Universitas Airlangga.
[8] Pranab Hazra, 2009, “Responsibility of Journalist”, online Journalism Review, February
13-see more at: http://www.ojr.org/p1674/#sthash.VccvJ20b.dpuf
[9] G. Bentele and H. Nothhaft, 2011, “A Theory of Trust and Cr edibility” hlm. 210 dalam
The Handbook of Communication and Corporate Social Responsibility, First Edition. Edited
by Oyvind Ihlen, Jennifer L. Bartlett, and Steve May, London: John Wiley & Sons, Inc.
[10] Mike Jempson (Director of The MediaWise Trust, 2006, “Social Responsibility and The
Media”, prepared for the All-Party Social Responsibility Gropu House of Commons, 12
Januari.
[11] Dr. Karin Wahl-Jorgensen, “Why Citizens Distrust Jounalism, Cardiff University School
of Journalism, Media and Cultural Studies dalam Mike Jempson, NUJ Ethics Council,
Journalism and Public Trust.
[12] Gordon, R.A & Howell, J.E (1959). Higher Education for Business, New York:
Columbia University Press.
[13] History of Actuarial Profession, Encyclopedia of Actuarial Science, Jhon Wiley & Sons,
Ltd, 2004.
[14] Evetts, Julia, (2003), “The Sociological Analysis of Professionalism: occupational
change in the modern world”, International Sociology, 18, hlm. 395-415.
[15] Gordon, R.A & Howell, J.E. (1959) Higher Education for Business, New York:
Columbia University Press.
[16] Siegirst, H. (2002). “Professionalization/Professions in history”, dalam International
Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, London: Elsevier Scienc Ltd.
[17] The Sociology and History of Professions: A Path That Mid-Century Medical Historians
Did Not Take”, Medical History Supplement. 1998; (18): 69-97.
[18] Deborah Anne Savage, 1994, “The Professions in Theory and History: The Case of
Pharmacy”, Business And Economic History, Volume 23, no. 2 Winter, hlm. 129-40.
[19] APEGGA. (2004), Concepts of Professionalism. v.1.0
http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/03.pdf.
APEGGA. (2005), Guideline for ethical practice. v.2.1
http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/02.pdf.
APEGGA. (2006), Guideline for professional practice. v.1.1.
http://www.apegga.com/pdf/Guidelines/16.pdf.
[20] Yavus Baydar, “Setting up a journalistic code of ethics. The core of media self-
regulation”, dalam Haraszti (2008).
[21] McLeod, Jack M. & Searle E. Hawley Jr. (1964), Professionalization among Nwesmwn.
Journalism Quarterly, 41, 4:529-538, 577.
[22] Fran Yeoman, 2013, “The value of professional journalism”, The Independent,
Wednesday 4 December. http://www.independent.co.uk/voices/comment/the-value-of-
professional-journalism-8982792.html
[23] Why Ethics Matters in Journalism
[24] Kovach, B., & Rosensteil, T., (2001), The elements of journalism: What newspeople
should know and what the public should expect. New York: Crown.
[25] Catherine Dean, 2006, “Truth and the Media”, paper presented at Strathmore University
4th Ethics Conference on “Media and the Common Good”, 3rd-4th November.
[26] Principles forEthical Journalism, TheCanadian Association of Journalists.
[27] Aidan White, 2008, To Tell You the Truth: The Ethical Journalism Initiative, Brussels,
Belgia: International Federation of Journalist. Deklarasi ini dicetuskan dalam 1954 World
Congress of the International Federation of Journalist dan direvisi pada 1986 World
Congress.
[28] Aidan White, 2008, To Tell You the Truth: The Ethical Journalism Initiative, Brussels,
Belgium: International Federation of Journalist.
[29] Artinya melebih-lebihkan suatu fakta hingga memperburuk realitas yang sebenarnya.
[30] Lewis Dvorkin, “Forbes’s new Content angine serves both digital and new concumers”,
12/29/2010. http://onforb.es/nSggpj
[31] Stephen J. A. Ward, “5 Principles for Teaching Journalism thics in the Digital Age”,
Februry 15, 2011 http://www.pbs.org/mediashift/2011/02/5-principles-for-teaching-
journalism-ethics-in-the-digital-age046
[32] Michael Schudson, “The Emergence of the Objectivity Norm in American Journalism”,
dalam Michael Hechter dan Karl-Dieter Opp, eds., (2001) Social Norms, NY: Russell Sage
Foundation.
[33] Robert J. Haiman, Best Practices for Newspaper Journalist
[34] Gail Hulnick, “Media Eyhics: Defining the Line on Privacy. Defining the Line Between
the Public’s Right to Knoe and the Individual’s Right to Privacy”, paper.
[35] PPR Dewan Pers Nomor 20/PPR-DP/VII/2014 tanggal 18 Juli 2014.
[36] PPR Dewan Pers Nomor 21/PPR-DP/VII/2014
[37] “Bekham sues publisher”, Saudi Gazette, 26 September 2010;
[38] “Irma Nici, David Beckham’s Mistress? Prostitute Tells All”, First Posted: 09/22/10
10”38 AM ET Updated: 05/25/11; http://huffingtonspot.com/2010/09/22/irma-nici-david-
beckham-_n_734603.html?view=print&comm_ref=false
[39] Stephen Ward, 2011, “5 Principles for Teaching Journalism Ethics in the Digital Age”,
Mediashitf, PBS.org, February 15.
[40] Jim Boumelha, “Keeping the ethical flame alive”, prakata dalam White (2008).
[41] Kuhn T. (1962) The Structure of Scientific Revolutions, University of Chicago Press,
Chicago.
[42] Trippi, J. (2008) The Revolutions Will Not Be Televised, Harper, New York.
[43] Dionne, E. (2006), The making of democracy: How the new media and the old media
could live together happily and enhance public life. Theodore H. White Lecture, Joan
Shorenstein Center of Press, Politics and Public Policy, Kennedy Scholl of Government,
Harvard University, Crambridge, MA, November 16.
[44] Deni Elliot and Amanda Decker, (2011), “New Media and an Old Problem Promoting
Democracy” dalam Robert S. Fortner dan P. Mark Fackler (eds), The Handbook of Global
Communicatiob and Media Ethic, New York: Blackwell Publishing Ltd.