Anda di halaman 1dari 42

Produk Jurnalistik

Produk jurnalistik adalah surat kabar, tabloid, majalah, buletin, atau bekal lainnya
seperti radio, televisi dan media online internet. Namun tidak setiap surat kabar disebut
jurnalistik. Surat kabar, tabloid, majalah dan buletin dapat digolongkan kedalam tiga
kelompok besar: 1. berita (News), 2. Opini (views) 3. Iklan atau advertising. Dari tiga
kelompok besar itu, hanya berita (news) dan opini yang bisa disebut produk jurnalistik. Iklan
bukanlah produk jurnalistik, walaupun teknik yang digunakannya merujuk pada teknik
jurnalistik. Kelompok berita (news) meliputi antara lain, berita langsung (straight news) berita
menyeluruh (comprehensif news), berita mendalam (depth news), pelaporan mendalam
(depth reporting), berita penyelidikan (investigatif news), berita khas bercerita (feature news),
berita gambar (photo news). Kelompok opini meliputi tajuk rencana, karikatur, pojok, artikel,
kolom, esai, dan surat pembaca. Sedangkan kelompok iklan, mencakup berbagai jenis dan
sifat iklan mulai dari iklan produk barang dan jasa, iklan keluarga seperti iklan duka cita,
sampai kepada iklan layanan masyarakat. Untuk memisahkan secara tegas antara berita
(news) dan opini (views) maka tajuk rencana (editorial), karikatur, pojok, artikel, kolom dan
surat pembaca ditetapkan dalam satu halaman khusus. Inilah yang disebut halaman opini
(opinion page).1

Pemisahan secara tegas berita dan opini tersebut merupakan konsekuensi dari
norma dan etika luhur jurnalistik yang tidak menghendaki berita sebagai fakta objektif,
diwarnai atau dibaurkan dengan opini sebagai pandangan yang sifatnya subjektif. Berikut
rincian penjelasan kelompok opini tersebut:

1. Tajuk Rencana

Tajuk rencana atau editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media
sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial
yang berkembang dalam suatu masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan
mewakili sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media pers bersangkutan
secara keseluruhan sebagai suatu lembaga penerbitan media berkala. Karakter dan
kepribadian pers terdapat sekaligus tercermin dalam tajuk rencana. Tajuk rencana pers
papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara lain senantiasa hati-hati,
normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang
atau tampak langsung dalam ulasan-ulasannya. Dalam pemuatan tajuk rencana pers, pers
papan atas, pertimbangan aspek politis, lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan
sosiologis. Tajuk rencana dari pers papan tengah atau pers populer berlaku sebaliknya. Pers

1
Haris Sumadiri, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008. Hlm. 6
populer lebih berani atraktif, progresif, dan tidak canggung untuk memilih pendekatan kritik
yang bersifat telanjang atau tembak langsung. Apabila pers papan atas lebih mengutamakan
pertimbangan aspek politis, maka pers papan tengah atau bahkan pers papan bawah justru
lebih memilih aspek sosiologis dalam pemuatan tajuk rencana.2

2. Karikatural

Secara etimimologi,karikatur berasal dari Italia caricare, artinya melebih-lebihkan kata


caricare itu sendirti di pengaruhi kata carattere, juga bahasa Italia yang berarti carakter dan
kata cara bahasa Spanyol yang berarti wajah. Menurut lukman (1989: 31), perkataan
karikatur mulai di gunakan untuk pertamakalinya oleh Mossini, orang perancis, dalam
sebuah karyanya berjudul diverse figure pada 1646. Sedangkan orang yang pertama
memperkenalkan kata karikatur adalah Lorenzo Bermini untuk karya-karyanya di perancis
pada 1665,Lorenzo Bermini adalah seorang pemahat patung pada zaman renaisan. Dengan
demikian secara etimologis karikatur adalah gambar wajah dan karakteristik seseorang yang
di ekspresikan secara berlebih-lebihan. Dalam perkembangan kemudian, sesuai dengan
dinamika persoalan yang di hadapi dan di liputi oleh pers, karikatur tidak hanya menunjuk
pada gambar wajah seseorang yang di lebih-lebihkan. Karikatur juga mencakup peristiwa
yang terjadi, di liput, dan menjadi sorotan pers. Ia bahkan termasuk karya seni grafis. Seperti
di tegaskan karikaturis terkemuka GM Sudarta dalam salah satu makalahnya , karikatur
adalah termasuk seni grafis yaitu suatu cabang dari bentuk seni lukis. Dalam penyajiannyadi
tuntut pula akan selera inda sebagaimana hasil seni.ini penting, karena ide yang
bagaimanapun kuatnya akan berkurang nilainya apabila tidak di dukung oleh kualitas
gambar yang baik. Sebuah karikatur dikatakan efektif apabila karikatur itutelah menjalankan
fungsinya, yakni karikatur harus membuat senyum untuk semua. Senyum untuk yang di kritik
agar tidak marah, senyum untuk masyarakat yang merasa terwakili aspirasinya, dan senyum
untuk sang karikaturis karena tidak terjadi apa-apa 3

3. Pojok

Pojok adalah kutipan pernyataan singkat narasumber atau peristiwa tertentu yang dianggap
menarik atau kontroversial, untuk kemudian dikomentari oleh pihak redaksi dengan kata-kata
atau kalimat yang mengusik, menggelitik, dan adakalanya reflektif. Tujuannya untuk
mencubit, mengingatkan, atau menggugat sesuai fungsi kontrol sosial yang dimiliki pers.
Kritik tetap etis. Sesuai dengan namanya, pojok ditempatkan disebelah pojok dalam setiap

2
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008,hlm 7
3
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008,hlm 9.
edisi penerbitan, pojok memuat tiga – lima butir kutipan pernyataan atau peristiwa menarik
untuk dikomentari.4

Rubrik pojok memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada setiap surat kabar di Indonesia:5

a. pojok berisi dua alinea. Alinea pertama menyajikan suntingan berita atau peristiwa. Alinea
kedua menyajikan opini atau pandangan-pandangan dari lembaga surat kabar sebagai
response terhadap isi yang tersaji dalam alinea pertama.

b. isi yang disajikan baik dalam alinea pertama maupun alinea kedua, biasanya terangkai
dalam kalimat-kalimat pendek.

c. opini atau pandangan-pandangan dari lembaga surat kabar disajikan dalam kalimat-
kalimat yang bersifat sinis dan humoris. Selain ketiga ciri itu, ada ciri lain yang melekat
dalam pojok, yakni judul rubrik pojok dan nama penjaga pojok itu sendiri.

Topik-topik ulasan yang disajikan dalam rubrik pojok sangat luas: sosial, ekonomi, politik,
militer, olahraga, budaya, agama, kesenian, kebudayaan, kriminalitas, kemanusiaan, tragedi,
flora dan fauna. Singkat kata, apapun bisa dijadikan sasaran tembak sejauh semuanya
terikat dalam bingkai berita (newspage).6

4. Kolom

Kolom adalah opini singkat seseorang yang lebih banyak menekankan aspek pengamatan
dan pemaknaan terhadap suatu persoalan atau keadaan yang terdapat dalam masyarakat.
Kolom lebih banyak mencerminkan cap pribadi penulis. Sifatnya memadat memakna,
bandingkan dengan sifat artikel yang lebih banyak memapar melebar. Kolom ditulis secara
inferensial. Artikel ditulis secara referensial. Biasanya dalam tulisan kolom terdapat foto
penulis. Sangat dianjurkan, tulisan kolom disertai foto penulis. Anjuran yang sama, justru
tidak berlaku pada artikel (Sumadiria, 2004: 3).7

Kolom, berasal dari bahasa Inggris, column. Orangnya disebut columnist. Dalam
bahasa Inggris, istilah komunis diartikan sebagai penulis karangan khusus berupa komentar,
saran, informasi, atau hiburan. Istilah kolom sendiri, diartikan Webster (1957:64) sebagai
artikel pada surat kabar atau berkala lainnya. Disamping itu colomn juga diartikan sebagai
pilar yang dibuat untuk menyangga sesuatu yang berat, seperti atap atau bagian atas suatu
bangunan (Fieldman, 1965:1250). Pada 1960-an ratusan colomn berisi hampir setiap segi

4
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008, hlm 10.
5
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008, hlm. 10.
6
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2008, hlm. 11.
7
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Rektama Media, Bandung, 2008), hlm. 14.
kemanusiaan, dari soal cinta dan kesehatan sampai pada ilmu pengetahuan dan keuangan,
muncul pada harian-harian berkala lainnya di Amerika dan Eropa. Bahkan di Indonesia lebih
luas lagi isinya. Selain masalah kemanusiaan, juga masalah kebijakan para penguasa selalu
menjadi sorotan para kolumnis yang kritis (Suhandang, 2004:163-164)8

6. Surat Pembaca

Surat pembaca adalah opini singkat yang ditulis oleh pembaca dan dimuat oleh rubrik
khusus surat pembaca. Surat pembaca biasanya berisi keluhan atau komentar pembaca
tentang apa saja yang menyangkut kepentingan dirinya atau masyarakat. Panjang surat
pembaca biasanya sepanjang 2-4 paragraf. Rubrik surat pembaca lebih merupakan layanan
publik dari pihak redaksi terhadap masyarakat. Dalam rubrik ini pembaca boleh menuliskan
apa saja dan ditujukan pada siapa saja. Syaratnya antara lain pembaca harus menyertakan
foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas lain seperti foto kopi surat SIM atau kartu
mahasiswa. Topik yang dibahas sangat bervariasi misalnya telepon umum yang tidak
berfungsi, jalan berlubang, layanan petugas kantor-kantor yang buruk, kinerja dan layanan
pihak perusahaan atau badan organisasi yang mengecewakan, atau makin banyaknya
tayangan televisi yang banyak menonjolkan pornografi, sadisme dan kekerasan.9

FUNGSI UTAMA PERS

Dalam berbagai literatur komunikasi dan jurnalistik disebutkan, terdapat lima fungsi
utama pers yang berlaku universal. Disebut universal karena kelima fungsi tersebut dapat
ditemukan di seluruh penjuru dunia, yang memakai paham demokrasi yaitu:10

1. informasi

fungsi utama pers ialah menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat yang
seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar: aktual,
akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimbang,
relevan, bermanfaat dan etis.

2. Edukasi

Apapun informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Inilah
antara lain yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga
kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi

8
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Rektama Media, Bandung, 2008), hlm. 14.
9
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Rektama Media, Bandung, 2008), hlm. 16.
10
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Rektama Media, Bandung, 2008), hlm.
32-34.
komersial untuk memperoleh keuntungan finansial. Namun orientasi dan misi komersial itu,
sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial
pers. Dalam istilah sekarang, pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru
bangsa.

Seperti ditegaskan Wilbur Schramm dalam men, Messages, and Media (1973), bagi
masyarakat, pers adalah watcher teacher, and Forum (pengamat, guru dan forum). Pers
setiap hari melaporkan berita, memberikan tinjauan atau analisis atas berbagai peristiwa dan
kecenderungan yang terjadi, serta ikut berperan dalam mewariskan nilai-nilai luhur universal,
nilai-nilai dasar nasional, dan kandungan budaya-budaya lokal dari satu generasi ke
generasi berikutnya secara estafet.

3. Koreksi

Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam
kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Seperti ditegaskan Lord Acton, pujangga inggris abad 18, kekuasaan
cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat absolut cenderung disalahgunakan
secara absolut pula, untuk itulah dalam negara-negara yang menganut paham demokrasi,
pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan
senantiasa menyalak ketika berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu
masyarakat atau negara dengan fungsi kontrol sosial yang dimiliki itu, pers bisa disebut
sebagai institusi sosial yang tidak pernah tidur. Ia juga senantiasa bersikap independen atau
menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.

4. Rekreasi

Fungsi keempat pers adalah penghibur, pers harus mampu memperankan dirinya sebagai
wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus yang menyehatkan bagi lapisan
masyarakat. Artinya apapun pesan rekreatif yang disajikan, dimulai dari cerita pendek, teka
teki silang, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif. Pers harus menjadi sahabat setia
pembaca yang menyenangkan, karena itulah berbagai sajian hiburan yang bersifat
menyesatkan harus dibuang jauh-jauh dari pola pikir dan pola perilaku.

5. Mediasi

Mediasi artinya penghubung bisa juga disebut sebagai fasilitator atau mediator. Setiap hari
pers melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam dunia pada lembaran-lembaran
kertas yang tertata rapi dan menarik. Dengan kemampuan yang demikiannya, pers telah
menghubungkan peristiwa yang ada diberbagai belahan bumi itu dengan kita yang sedang
duduk diruang tamu atau sedang bersantai di sofa. Karena pers lah kita mengetahui aneka
lokal, nasional, regional, dan mondial dalam waktu singkat dan bersamaan. Singkat, karena
kita hanya memerlukan beberapa menit untuk mengetahuinya. Bersamaan karena pada
halaman yang sama, disajikan juga berita tentang peristiwa sejenis atau peristiwa lain di
tempat yang berbeda.11

Artikel

Artikel adalah tulisan lepas berisi opini seseorang yang mengupas tuntas suatu masalah
tertentu yang sifatnya aktual dan atau kontroversial dengan tujuan untuk memberitahu
(informatif), mempengaruhi dan meyakinkan (persuasif argumentatif), atau menghibur
khalayak pembaca (recreative). Disebut lepas, karena siapapun pembaca boleh menulis
artikel dengan topik bebas sesuai dengan minat dan keahliannya masing-masing. Selain itu
juga artikel yang ditulis tersebut tidak terikat dengan berita atau laporan tertentu. Ditulisnya
pun boleh kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja.

Berikut merupakan kelas-kelas artikel yang biasa digunakan khalayak umum untuk
keperluan penulisnya. 1. Artikel praktis, 2. Artikel ringan, 3. Artikel halaman opini, 4. Artikel
analisis ahli.

Pers Orde Lama

Majalah mingguan pesat terbit Yogyakarta, edisi 16 Agustus 1950, memuat


sambutan presiden RI, Soekarna, dengan tulisan dalam judul Bersatulah Kembali. Isinya
adalah sebagai berikut:

“Dua kali jiwa revolusi telah menyelamatkan bangsa kita. Pertama kalinya pada
waktu proklamasi, kedua kalinya pada waktu gerilya. Kedua dua kalinya terbentuklah
penyelematan ini satu persatu antara kita. Pada saat kita merayakan lima tahun usia
kemerdekaan kita, saya memperingatkan bangsaku supaya kembali pada jiwa persatuan itu,
diwaktu akhir-akhir ini persatuan itu kadang-kadang dilupakan, falsafah pertentangan dan
falsafah perbedaan memunculkan kepalanya. Padahal perjuangan nasional kita belum
selesai. Irian belum kembali ke haribaan ibu, soal-soal lain masih harus kita perjuangkan,
penyelesaiannya bangkitlah jiwa revolusi itu buat ketiga kalinya, bangkitlah bentuknya yang
asli persatuan, persatuan dan sekali lagi persatuan”12

11
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Rektama Media, Bandung, 2008), hlm.
34.

12
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 85.
Demikian Soekarna menyerukan kepada bangsanya pada halaman yang sama pemimpin
redaksi pesat sndiri, M.I. Sajoeti menulis bahwa proklamasi Kemerdekaan indonesia tidaklah
mengenal kompromi, tetapi apa yang terjadi kemudian tidak ditentukan oleh proklamasi yang
tidak mengenal kompromi itu melainkan oleh anasir-anasir yang terdapat didalamnya, yaitu
perimbangan kekuatan nasional maupun internasional. Akibatnya adalah serangkaian
kompromi. Sejarah, tulis Sajoeti Melik bergerak menurut imbang kekuatan, dan masyarakat
Indonesia bergolak karena perubahan imbang kekuatan itu. Sesudah negara kesatuan
berdiri, masyarakat masih akan bergola terus, karena tujuan kemerdekan belum seratus
persen tercapai.13

Sajoeti Melik menuliskan pikirannya tersebut setelah pembubaran negara-negara


federal tercapai. Bulan bulan sebelumnya, republikan terutama masyarakat di negara-negara
itu sendiri terus mendesak pemerintahan pusat supaya memulihkan RI diseluruh tanah air.
Berbagai gerakan unjuk rasa diadakan untuk menunjukan kesemua pihak bahwa rakyat
Indonesia mengendaki negara kesatuan yang sesuai dengan Proklamasi 17 agustus 1945
dan UUD 1945. Dikota medan pemimpin organisasi di setiap masyarakat serta tokoh-tokoh
republik mengadakan kongres Rakyat untuk menuntut pembubaran negara Sumatera Timur.
Tokoh tokoh pers republik seperti M. Sya’id, Jahja Jacoeb, Ani Idrus; tokoh tokoh partai dan
masyarakat bersama-sama menyelenggarakan kongres yang berlangsung di tahun 1950 itu.
Memang persetujuan KMB antara Indonesia-Belanda di kota Den-Hag melahirkan Negara
Indonesia yang lain yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, negara kesatuan Republik
Indonesia menjadi negara Federal Republik Indonesia Serikat yang berdasarkan pada
konstitusi RIS, bukan pada UUD 1945. UU 1945 yang ditetapkan pada 18 agustus 1945
hanya berlaku di wilayah RI yang sebagian dipulau Jawa dan Sumatra dengan ibukotanya
Yogyakarta. Jakarta adalah Ibukota RIS. Sebagian rakyat menilai RIS sebagai kehendak
belanda yang harus ditolak. Bebarapa pasal pokok lainnya yang juga mengundang
pertikaian adalah Irian Barat yang tetap dijajah Belanda, RIS menanggung hutang
Pemerintah Nederland Indie sebesar 4.300 Juta Gulden

– RIS dan kerajaan Belanda membentuk UNI Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh
ratu Belanda
– Bekas tentara KNIL belanda ditampung dalam kesatuan militer RIS
– RIS harus menjamin kelangsungan modal belanda di Indonesia karena itu setelah
melakukan pengakuan Kedaulaatan, rakyat melakukan pembubaran.

13
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 85.
RIS yang berjumlah 16 Bagian dan menginginkan pulihnya negara republik kesatuan
Indonesia, mula-mula negara Jawa Timur dan Madura menggabungkan dengan RI, disusul
oleh negara-negara bagian lainnya sehingga pada April 1950 diluar RI tinggal 3 negara
bagian, yaitu negara Sumatera Timur, Indonesia Timur, dan Negara Istimewa Borneo.
Kemudian daerah Minahasa memisahkan dari Negara Indonesia Timur untuk bersatu
dengan RI. Ini diikuti oleh daerah-daerah lain. Akhirnya tepat pada 17 Agustus 1950, RIS
resmi dikubur dan yang tetap tegak adalah Republik Indonesia.
Sejumlah kejadian dalam negara sesungguhnya telah mempercepat keruntuhan
bangunan RIS seperti dibuktikan disumatera Utara, pimpinan masyarakat bersama rakyat
umumnya dihampiri semua negara bagian, pada dasarnya tetap setia kepada Republik.
Mayoritas anggota parlemen dimasing-masing negara bagian tanpa ragu memilih penyatuan
dengan republik. Tatkala akhir januari 1950 satu persatu serdadu KNIL dibawa kapten
Belanda bernama Westerling melakukan teror dikota Bandung, keruntuhan negara pasundan
tidak dapat dihindari lagi. Indonesia Timur pemberontak yang dipimpin Kapten Aziz dikota
ujung pandang mendorong sejumlah daerah untuk keluar dari Negara Indonesia Timur,
pemberontakan Shou Mo Kil atas nama Republik Maluku selatan pada tanggal 25 April 1950
lebih melicinkan jalan bagi kehancuran NIT. Seperti diberitakan Pers waktu itu pada bulan
Juni 1950 Dewan Perwakilan RIS telah merapungkan suatu konstitusi sementara pengganti
UUD RIS. Tetapi UUDS RIS yang menjadikan landasan konstitusional bagi tegaknya
kesatuan negara Republik Indonesia pada 17 agustus 1950, juga lain dari UUD 1945.
Menurut UUDS 1950 itu sistem pemerintahan yang dianut itu adalah Sistme parlementer
yang berdasarkan pemikiran demokrasi liberal. Dalam RI yang berlandaskan UUDS 1950,
presiden dan wakil presiden adalah jabatan konstitusional, sedangkan pemerintahan
eksekutif berada pada para menteri yang bertanggung jawab pada parlemen. Akibatnya
terjadilah pertentangan bebas diantara partai-partai, golongan dalam masyarakat termasuk
pada pers.14
Salah satu akibat pertentangan bebas tersebut adalah jatuh bangunnya kabinet
selama periode tahun 1950-1957, tercatat sebanyak 6 kali perubahan kabinet:
1. Kabinet Perdana Mentri Muhammad Natsir (1950- Maret 1951)
2. Kabinet Soekiman (April 1951- Februari 1952)
3. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953)
4. Kabinet Burhanudin Harahap (April 1955 – Maret 1956)
5. Kabinet Ali sastro Mijojo (Juli 1953 – Juli 1955)
6. Kabinet Alisastro Mijojo kedua (April 1956 – Maret 1957)

14
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 90.
Usia rata-rata ke enam kabinet itu adalah 13 Bulan dengan rekor usia terpendek 6 bulan
dipegang oleh kabinet Natsir, masa ini juga mencatat banyak pergolakan yang bersenjata
dan berbagai tindakan kekerasan, atau seperti dikatakan anggota tokoh parlemen Dr.
Diapari, di Indonesia telah tumbuh keadaan anarki.15

Pers Sebagai Organ Partai

Kehidupan pers di Indonesia setelah pengakuan kedaulatan RI oleh belanda dan


negara-negara barat penyokong mencerminkan suasana dan keadaan politik yang
berkembang dimasa liberal, kedua antara tahun 1950-1959 praktik pers liberal telah dimulai
sejak bulan November 1945 tatkala pemerintahan mencanangkan berlakunya sistem banyak
partai sebagai surat kabar republik kala itu telah membawa surat partai atau organisasi
masing-masing penampilan mereka adalah sejalan dengan posisi partai yang meraka wakili
dalam masalah yang dihadapi. Penampilan seperti ini berlanjut dalam dasawarsa berikutnya.
Pada tahun pertama 1950, surat-surat kabar dalam sendirinya turut berikut andil dalam
seputar hasil-hasil KMB, diteruskan ditahun berikutnya dengan ketentuan partai-partai baik
dalam parlemen maupun kabinet.

Suasana dan keadaan politik yang liberalistis itu terpapar dalam berita-berita tajuk
rencana karikatur dan pojok pers. Setelah pengakuan kedaulatan, setruktur Pers di
Indonesia merupakan kelanjutan masa sebelumnya terdiri atas pers nasional, surat-surat
kabar Belanda dan cina, kebebasan mengisi surat kabar adalah seiring dengan kebebasan
bagi setiap pihak untuk menerbitkan koran. Tetapi usah penerbitan tanpa penggarapan,
aspek aspek organisasi dan ekonomi secara seksama sudah tentu cepat atau lambat akan
menghadapi kesulitan dan dalam kenyataannya waktu itu, kebanyakan pers nasional dalam
kedudukan lemah dalam pengusahaanya, dibanding dengan koran-koran belanda yang
dicetak di percetakan-percetakan mutakhir milik belanda, dan koran-koran Cina yang
didukung oleh Kapital Kuat. Diantara sejumlah pers nasional yang mampu membangun
peralatan grafika yang tercatat di harian merdeka dan Indonesia Raya, yang notabene
adalah koran tak berpartai. Lainnya adalah pedoman, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh partai
sosial Indonesia PSI, ketiganya terbit di jakarta. Di luar tiga harian itu terutama diluar jakarta
keadaan pers nasional sangat memprihatinkan16

Menurut catatan tahun 1950 jumlah surat kabar harian berbahasa Indonesia mncapai
67, bahasa Belanda 11 dan Bahasa Cina 15. Oplah masing-masing golongan surat kabar
tersebut 338.300, 87.200 dan 73.650 jumlah surat kabar mingguan majalah dan berkala
mencapai 226 dengan jumlah oplah sedikit melebih 1 juta lembar. Sembilan tahun kemudian

15
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 92.
16
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.93
jumlah surat kabar harian mencapai 94 dengan jumlah oplah 1.036.500 mingguan, majalah
dan berkala berjumlah 273 dengan oplah berjumlah 3.062.800 lembar. Puncak jumlah dan
oplah pers pada dasawarsa ini terjadi pada 1957 tahun itu jumlah surat kabar harian
mencapai 120 dengan oplah, 1.049.500 sehari sedangkan jumlah mingguan majalah dan
berkala mencapai pada puncaknya pada tahun 1951 dengan jumlah oplah 2.524.100
lembar.17

Tahun Jumlah Surat Oplah Jumlah Oplah


Kabar Harian Mingguan
Majalah Berkala
1950 92 499500 226 1096000
1951 85 516000 232 1387650
1952 102 556500 216 1212600
1953 104 630000 231 1401300
1954 105 697500 294 1840150
1955 106 934000 351 2524100
1956 106 934000 310 2634250
1957 120 1049500 281 2856250
1958 95 961500 274 2453950
1959 94 1036500 273 3062800
18

Menurut catatan tahun1954,di catat sebanyak 27 surat kabar dengah jumlah oplah
hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh indonesia . koran-koran yang mencatat jumlah
plah terbesar umumnya merupakan organ atau pendukung portai,seperti terlihat dalam tabel
di bawah.

Nama surat kabar aliran Oplah


Harian rakyat PKI 55000 / hari
Pedoman PSI 48000 / hari
Seluruh Indonesia PNI 40000 / hari
Abadi Masyumi 34000 / hari
19

17
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.94
18
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.94
Selain surat kabar di atas di jakarta terbit juga harin pemandangan,merdeka,bintang timur
(organ partindo),duta masyarakat ( organ nahdatul ulama) ,,sin po (china,komunis),keng po
(china,nonkomunis), dan majalah majalah seperti siasat,mimbar indonesia dan star weekly.
Di luar jakarta, koran-koran yang tergolong besar pada masa ini adalah waspadaa dan
mimbar umum (medan), pikiran rakyat (bandung ), kedaulatan rakyat ( yogyakata) dan
harian umum ( surabaya). Di semarang terbit daulat rakyat,utusan nasional,tempo,tanah air
dan suara merdeka. Di surabaya juga ada java post dan surabaya post. Menurut hatta, surat
kabar yang telah menjadi surat golongan politik tertentu tidak mengurangi kedudukannya
sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai satu kesatuan, sebagai satu kesatuan, adalah
suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan
tentang masalah-masalah negara dan masyarakat.20

Kebebasan pers cukup dijamin setelah kemerdekaan, ada usaha dari pemerintah Indonesia
untuk mencabut Pers breidel ordonantie, tepatnya pada 2 Agustus 1954 lewat UU no 23
tahun 1954 yang didasarkan pada pertimbangan bahwa pemberedelan pers bertentangan
dengan pasal 29 dan 33 UUDS RI. Pasal 19 UUDS menyebutkan, “setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.” Sedangkan bunyi pasal 33 UUDS
melakukan hak hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya
dapat dibatasi dengan peraturan UU semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan
oranglain, dan memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan
kesejahteraan dalam suatu masyarakat demokrasi.21

Penghapusan pers breidel ordonantie itu juga diperjuangkan lewat wadah persatuan
wartawan Indonesia (PWI) yang berkongres di Denpasar, Bali, pada agustus 1953. Dalam
keputusannya disebutkan:

Menuntut kepada pemerintah agar segera mengeluarkan UU pers, yang bersumber


pada hak-hak kemerdekaan berfikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan
pendapat sesuai dengan pasal 18 dan 19 UUS.22

Kongres juga memutuskan untuk membentuk panitia bersama dengan mengurus


pusat PWI guna memperjuangkan segera dikeluarkannya UU pers yang mencangkup hak
Ingkar larangan pers asing dan penghapusan pers breidel ordonantie. Omar Seno Adjie
wakil presiden Moh. Hatta pada 17 Mei 1954 atas usul menteri penerangan menyampaikan

19
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.95
20
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.98
21
P. Suwantoro dan Atmakusuma, Garis besar Kebijaksanaan, hlm. 150.
22
Soebagijo, Lintasan Sejarah PWI, jakarta: PWI pusat dan departement penerangan, 1977, hlm. 30.
kepada DPR sebuah rencana UU tentang pencabutan pers breidel ordonantie untuk
dibicarakan dalam DPR. Rancangan UU yang kemudian mengalami sedikit perubahan
akhirnya diterima secara bulat oleh DPR pada 23 Juni 1954. Namun, tiga tahun setelah PWI
mengemukakan tuntutan pencabutan peraturan yang mengekang pers, justru muncul
peraturan yang mendukung pers dalam posisi yang tidak menguntungkan. Peraturan dengan
NOMOR. PKM/001/0/1956, tertanggal 14 September 1956, dikeluarkan oleh kepala staf
angkatan darat selaku penguasa militer. Isinya antara lain melarang mencetak, menerbitkan,
menyebarkan serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise atau lukisan yang memuat
atau mengandung kecaman, prasangkaan, atau penghinaan terhadap presiden atau wakil
presiden, suatu kekuasaan atau majelis umum atau “seorang pegawai negeri pada waktu
atau sebab menjalankan pekerjaan dengan sah”.23

Dibagian lain peraturan tersebut juga diberlakukan larangan terhadap tulisan-tulisan


yang dinilai memuat atau mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan
diantaranya atau terhadap golongan-golongan penduduk “dan juga” tulisan tulisan yang
memuat berita-berita atau pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan
rakyat. Walaupun akhirnya peraturan tersebut dicabut pada 28 November 1956 karena
protes dari kalangan surat kabar, PWI serta, SPS, tekanan terhadap pers justru semakin
terasa diberlakukan masa darurat atau SOB (Stat panorlog n beleg, keadaan darurat militer
dan keadaan perang) pada 14 Maret 1957. Sebelum SOB diberlakukan pihak angkatan darat
pada 14 September 1956 mengeluarkan pengumuman keadaan darurat dan khusus
menyangkut pers dikeluarkan ketentuan dilarang mencetak, menerbitkan, menyajikan,
mengedarkan, menempelkan, membaca, atau memiliki tulisan-tulisan, gambar atau foto
yang berisi atau mengimplikasikan atau bermaksud mengancam, menuduh, atau menghina
presiden atau wakil presiden suatu sidang pengadilan, menjabat pemerintahan yang masih
berfungsi, atau sebagai akibat dari pembebasan tugasnya atau apasaja yang mengandung
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat permusuhan, kebencian ataupun penghinaan yang
ditunjukan pada pemerintah atau golongan-golongan tertentu, ataupun apasaja yang
mengandung berita atau pengumuman yang dapat menimbulkan dikalangan rakyat.24

Pemberangusan koran-koran

Dalam UUDS 1950 terdapat satu pasal yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat “ (pasal 19) tetapi pasal-pasal dalam
KUHP mengenai tindak pidana pers dan juga persbreidel ordonantie tahun 1931 bikinan
belanda masih tetap berlaku. Baru pada tahun 1954 persbreidel ordonantie di hapus

23
Ignatius Harianto, Indonesia Raya dibredel, Yogyakarta: LKIS, 2006, hlm. 23.
24
Ignatius Harianto, Indonesia Raya dibredel, Yogyakarta: LKIS, 2006, hlm. 23-24.
berdasarkan UU no.23 tahun 1954 karenan di anggap bertentangan dengan pasal 19 UUDS
1950. Begitupun pembreidelan maupun penangkapan terhadap wartawan terjadi atas dasar-
dasar pasal dalam reglement staat van oorlog en beleg ( SOB) peninggalan pemeritahan
kolonial belanda. Berbeda dengan masa 1945-1949 pers indonesia sejak pengakuan
kedaulatan meluai menghadapi penuntutan hukum karena kasus-kasus delik. Dalam tiga
tahun pertama periode ini tercatat tidak kurang dari 22 perkara delik yang terbagi kepada 5
jenis :

-delik terhadap kepala negara/ wakil kepala negara,

- delik terhadap pemerintah,

-delik terhadap alat negara

- delik terhadap pegawai negeri dalam melakukan tugas

-delik terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sahabat

Dasar hukum pemerosesan kasus-kasus delik ter sebut di pengadilan adalah UUD dan
peraturan-peraturan peninggalan kolonial. Memang, perkara delik tidak dapat di jadikan dalil
untuk memberangus penerbitan pers. Begitupun, pencabutan presbreidel ordonantie
merupakan langkah maju dalam proses dekolonisasi yang sedang berjalan.25

Adanya SOB dengan sendirinya memberi peluang bagi aparatur keamanan


pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap pers bila di pandang perlu.

Dalam kongres PWI ke 4 pada tanggal 12-15 mei 1050, beberapa kasus telah di
bahas, misalnya penahanan atas beberapa wartaman di surabaya,ternate dan menado.
Pada bulan oktober 1959 pemimpin redaksi kengpo injo beng goat di adili karena tajuknya
mengulas tentang reorganisasi dalam tentara yang di nilai melanggar KUHP ( pasal 171 ayat
11), yaitu dengan sengaja menimbulkan keresahan dalam masyarakat dengan menyebarkan
desas desus. Kemudian, pada bulan desember tahun itu, rekdaktur suara merdeka
semarang sempat di taha karena memberitakan kasus desersi sekelopok tentara di kudus.

Perstiwa besar dalam masa kabinet sukiman, ( april 1951-februari1952) adalah


penangkapan sekitar 15 ribu orang di seluruh indonesia pada pertengahan bulan agustus
1951 mereka terdiri dari orang-orang PKI, di antarany anggota parlemen, tokoh-tokoh
masyarakat cina,gembong-gembong partai dan juga sejumlah wartawan. Adajuga agota-
angota masyumi yang di tahan, termasuk isya anshari. Beberapa surat kabar, seperti abadi,
pedoman,indonesia raya,merdeka,waspada dan harian belanda java bode pada mulanya

25
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.101
menyambut baik oprasi itu tetapi kemudian tindakan pemerintah sukiman menimbulkan
perdebatan hangan. Demikianlah, tatkala kabinet sukiman jatuh, beberapa surat kabar,
antrara lain abdi dan pedoman menyabut dengan rasa lega.26

Kabinet yang menyusul, pemimpin Perdana Mentri Wilopo ( april 1952- juni 1953),
menghadapi persoalan dalam tentara, keluar nya Nahdatul Ulama dari Masyumi, dan
pemcabutan SOB. Perdebatan mengenai masalah angkatan bersenjata republik terutama
antara komisi pertahanan dalam parlemen dengan pimpinan depatemen pertahanan,
memuncak dengan peristiwa deminstrasi di depan istana merdeka pada tanggal 17 oktober
1952. Dalam peristiwa tersebut terjadi penahanan terhadap sukiman, muhammad yamin,
dan 4 anggota parlemen lainnya larangan keluar rumah antara pukul 8 malam dan 5 pagi,
larangan berkumpul dan pemberangusan dua surat kabar surat kabar harian jakarta-
merdeka dan berita indonesia-dan manjalah mimbar indonesia serta mingguan merdeka.
Gejolah tersebut di sulut oleh beberapa mosi dalam parlemen (antara lain mosi
manaisopiaan) untuk meneliti keadaan departemen pertahanan dan angkatan bersenjata
serangan terhadap parlem sebelumnya juga telah di lancarkan oleh sebagian pers antara
lain abadi, indonesia raya dan koran berbahasa inggri yang di pimpin mohtar lubis bernama
time fo indonesia. sekitar waktu itu parlemen sendiri sedang menyiapkan rancangan undang-
undang pers yang akan membatasi pers asing dan melarang pers indonesia menerima
bantuan atau modal asing setidaknya dua tokoh, Samsudin Sutan makmur dan Sunarjo,
telah menyatakan bahwa mereka setuju rancangan undang-undang tersebut dari pihak
pemeritah ruslan abdul gani, waktu itu sekjen kementrian penerangan, menulis dalam minbar
indonesia (17 agustus 1952) bahwa kegiatan kewartawanan orang –orang asing perlu
dikenakan pembatasan. Bukan kebetulan bahhwa pada oktober tahun itu redaksi neuw
soerabajasch handlesbland surabaya , Ny. Fuhri mierop, di adili atas tuduhan menghina dan
menyebarkan kebencian dan rasa permusuhan dalam ulasannya tentang pidato presiden.
Wartawan belanda tersebut kemudian di usir dari Indonesia.Ny. fuhri-mierop telah pernah di
adili dalam kasus delik yang di ajukan oleh insinyur haji laoh waktu itu menjabat Mentri
tenaga dan Pekerjaan umum dalam Kabinet Hata masa RIS.27

Juga pada tahun 1952, seorang mentri lain pernah menuntut surat kabar karna menghina.
DR Sumitro, waktu itu mentri keuangan,mengadukan merdeka ke pengadilan karena tulisan
dan karikatur mengenai kasus penjualan besi tua sisa perang dunia ke 2 di pulau morotai
dekat halmahera karena Sumitro menyebut merdeka sebagai koran kuning (yellow peper) ,
pemimpin redaksi B.M diah balik menuntut sumitro ke pengadilan menurut penulis subagio
I.N ., inilah pertama kali istilh koran kuning di gunakan dalam dunia pers di indonesia.

26
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.102
27
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.104
Masalah perundingan dengan kerajaan belanda tentang setatus irian barat merupakan
salahsatu topik hangat masa kabinet Wilopo ( april 1952-juni 1953). Berbagai aksi protes
terhadap belanda terjadi di beberapa tempat. Antara bulan maret dan april 1953 terjadi
penyerbuan terhadap surat kabar belanda, malang post dan de vrije pers surabaya,oleh
kelompok pemuda, tetapi tindak kekerasan juga pernah di alami oleh antra cabang
semarang dan harian waspada medan dalam persoalan lain. 28

Kasus yang menonjol pada tahun tersebut adlah gugatan pemerintah terhadap
pemimpin redaksi pemandangan , Asa bafagi, yang di tuduh membocorkan rahasi negara,
untuk menangkis tuduhan itu , mochtar lubis dan asa bafagih memimpin salahsatu
demonstrasi protes para wartawan di jakarta ke beberapa mentri,jaksa agung dan parlemen
pada tang 5 agustus 1953, setelah pawai protes tersebut jaksa agung Suprapto bahwa
tuntutan terhadap asa bafagih tidak di lanjutkan, asa bafagih awal tahun berikutnya pindah
ke surat kabar baru NU,duta masjarakatm , yang memuat kata sambutan dari presiden
sukarno.kasus pers selama tahun 1954 antara lain terdiri dari pengusiran redaktur koran
belanda di surabaya de vrije pers, pemerintahan atas redaktur keng po ( karena berjudul
“berapa lama masa kabinet Ali-Wongso akan bertahan?”), hukuman penjara terhadap
pemimpin redaksi harian rakyat ( karena tulisan yang menyerang presiden AS). Pada tahun
ini tercatat seluruhnya delapan kasus pes. .29

Dalam masa kabinet baharuddin Harahap ( agustus 1955-maret 1956) kasus-kasus


mengenai pers antaralain adalah penuntutan terhadap berita indonesia (perkara penodaan
nama baik pimpinan masyumi) terhadap bintang timur pengrusakan oleh sejumlah orang
terhadap kantor java post dan daily news surabaya , dan beberapa peristiwa lainnya.

Dalam masa kabinet ali sastromijojo yang kedua (20 maret 1956- 14 maret 1957) jumlah
kasus pers meningkat keras, pada awal tahun 1956 Mnetri Luar Negeri Subardrio
mengemukakan pendapat bahwa pers indonesia telah melakukan tindakan anarki dan
mengancam bahwa pemerintah akan mengadakan penerbitan. Pada awal 14 september
tahun itu pihak angkatan darat mengumumkan keadaan darurat dan khusus menyangkut
pers mengeluarkan ketentuan sebagai berikut :

“ dilarang mencetak,menerbitkan,menyajikan,mengedarkan,menempelkan ,membacakan


atau memiliki tulisan tulisan gambar-gambar atau foto-foto yang berisi mengimplikasi atau
bermaksud,mengecam,menuduh atau menghina preside, wakil prsiden,suatu persidangan
pengadilan,pejabat pemerintahan yang masih berfungsi atau sebagai akibat pembebasan
dari tugasnya, atau apasaja yang mengandung pernyataan-pernyataan yang bersifat

28
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.106
29
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.106
permusuha,kebencian atau penghinaan,yang di tunjukan kepada pemerintah atau golongan
orang – orang tertentu,atau apasaja yang mengandung berita atau penguman yang dapat
menimbulkan kekacauaan di kalangan rakyat.”

Selama tahahun 1956 tercatat sebanya 32 kasus pers meliputi penahanan,pemeriksaan,


gugatan dan sebagainya. Jumlah ini melonjak pada tahun berikutnya menjadi 125 kasus-
kasus pers dari jumlah 125 tersebut, 13 merupakan penahanan,7 hukuman penjar,22
pemeriksaan dan peringatan, 32 pembredelan, dan sebagainya. Wartawan yang tergolong
paling sering dan lama di tahan dalam periode ini adalah pimpinan redaksi indonesia raya
mohtar lubis.30

Sebelum keadaan darurat yang di umumkan bulan september 1956, sebenarnya


pihak pemerintah,khususnya jajaran keamanan, telah banya memberikan imbawan ataupun
himbawan kepada pihak pers. Himbawan atau peringatan pemerintah terbut tidak saja
menyangkut soal-soal pejabat tetapi juga berkenaan dengan oprasi keamanan yang
mengalami peningkatan akibat pemberontakan bersenjata atau pembangkangan di
beberapa provisinsi sejak tahun 1950 misalnya, pada bulan maret 1955, kepala staf
angkatan darat pada waktu itu mayor jendran Bambang Sugeng pernah menulis surat
kepada pengurus pusat PWI meminta perhatian para wartawan tentang cara-cara
pemberitaan peristiwa di aceh yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan di dalam
pasukan-pasukan indonesia. setelah kabinet alisastra amijoyo mundur pada 14 maret 1957
puncak kemelut politik dan keamanan dalam negeri ditandai dengan keluarnya keputsan
presiden soekarno untuk memberlakukan keadaan SOB.

Pemerintahan pusan yang di selenggarakan oleh kabinet Juanda sejak di bentuk bulan april
1957 menghadapi tugas-tugas berat di bidang politik,ekonomi,maupun keamanan. Pada
tanggal 3 desember 1957 sebagai akibat kegagalan PBB untuk menyelesaikan sengketa
irian barat, organisasi-organisasi buruh PNI ,PKI,dan lain lain melancarkan aksi pengambil
alihan perusahan-perusahaan belanda di indonesia. dua hari kemudian, pemerintah
mengeluarkan perintah kepada 46000 warga belanda untuk meningglakan indonesia. pada
pertengan bulan februari 1958, PRRI di sumatra dan permesta di sulawesi mengadakan
pemberontakan terbuka terhadp pemerintahan pusat, sedangkan pada bulan september
mentri pertahanan jendral A.H Nasution menetapkan pelarangan Masyumi,PSI dan partai-
partai kecil lainnyayang mendukung pemberontakan tersebut. dengan latar belakang kondisi
politik dan ke amanan di atas, dan berdasarkan ketentuan SOB, penindakan keras yang
meningkat terhadap pers dengan sendirinya tidak dpat di hindarkan. Pada bulan september
1957, kurang dari 13 penerbitan pers di jakarta terkena pemberedal sekaligus. Mereka

30
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.108
adalah harian rakyat,pedoman,indonesia raya, bintang timur,kengpo,jiwa baru,
merdeka,pemuda,java bode,abadi,dan kantor berita antara,INPS, serta aneta.
Pemberedelan ini berlaku selama 24 jam. Menyusul pada awal desember, semua surat
kabar berbahsa belanda terkena larang terbit. Pada bulan apriln1958 pemerintah melarang
semua koran-koran berbahasa cina di medan, koran-koran yang di tutup adalah, the sumatra
times,news cina times,sumatra bin poh,hwa choa jit poh dan democratic daily news. Di
ujung pandan, terdapat empat surat kabar: kuming tang,chiao sengpao,daily chroncle dan
dily telegraph. Larangan tersebut di cabut kembali sebulan kemudian. Selanjutnya
pemerintan mengeluarkan ketentuna hanya mengizinkan terbitnya sebelas surat kabar
berbahasa cina di indonesia, sedang beberapa koran milik cina, seperti kengpo, shin po, di
wajibkan mengganti nama ( Shin po menjadi panca warta, keng po menjadi pos indonesia).
31

Mengenai kasus-kasus menyangkut pers nasional sepanjang tahun 1958, catatan penulis
subagio IN. Dalam bukunya, mengutip laporan pengurus pusat PWI kepada kongres PWI IX
di bandung tahun1959, adalah sebagai berikut :

- 15 januari : pembredelan surat maluku ambon.


- 24 januari : penyerbuan kantor masyrakat baru samarinda.
- 28 januari ; penahanan wartawa satia graha dari brita minggu dan tom anwar dari
bintang minggu jakarta.
- 3 januari : pembredelan suara islam maluku dan penahanan rdaktur ali fauzi.
- 1 februari: penahanan enggak bahaudi dari indonesia raya.32
- 3 februari : penahanan suaharto dari indonesia raya.
- 6 februari : penahanan asfia mahyus dari cahaya islam pontianak.
- 20 februari : penahanan MA samsudin dari peneranga padang.
- 21 februari : pembredelan ken po.
- 22 februari : pembredelan pedoman.
- 23 februari : pembredelan bintang minggu
- 24 februari : pemukulan terhadap cut bani dari utusan banten serang.
- 25 februari : pembredelan tegas banda aceh.
- 13 maret : pembredelan bara ujung pandang.
- 21 maret : penahanan syarie musyofa dari indonesia berjuang dan sah dan salim
rahman dari trompet islam banjar masin juga penahanan noto sutarjo dari pemuda
jakarta.
- 1 april : pembredelan suara maluku ambon.

31
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.110
32
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.110
- 2 april : pembredelan sin po jakarta dan cahaya timur ujung pandang.
- 12 april : pembredelan pembangunan palembang.
- 14 april : pembredelan pemuda jakarta.
- 29 april ; pembredelan pembangunan dan suara rakyat sumatra palembang dan
penahanan idru nawawi dari suara rakyat sumatra.
- 6 mei : penahanan salman AS dari marhaen ujung pandang.
- 8 mei : penahanan yusuf sou’yb dari lembaga medan
- 9 mei : pemeriksaan abdul muis dari barat ujung pandang
- 10 mei : pembredelan lebaga medan
- 22 mei penahanan ismuil dari maspada jakarta, tom anwar dari bintang timur, suhardi
dari berita minggu, jakarta.
- 29 mei pembredelan aneta indonesia raya dan bintang minggu jakarta.
- 14 juni : pembredelan berita mingu jakarta
- Juni : pembredelan pikiran rakyat palembang
- 25 juni : pembredelan indonesia raya jakarta.
- 2 agustus : tewasnya darwi abas dan sofian manan dari haluan padang.
- 28 agustus : pembredelan obor rakyat palembang.
- 6 september : pembredelan berjuang lombok .
- 25 september : pembredelan bara ujung pandang .
- 4 desember pembredelan pasifik samarinda
- 9 desember : penggeranatan percetakan harian patriot medan .
- 13 desember : pembredelan times of indonesia jakarta.
- 27 desember larangan mengedarkan suluh indonesia jakarta,sumatra selatan dan
jambi.

Satu penilaian tentang isi pers nasional pada masa ini telah di berikan oleh hari masyumi
abadi yang di pimpin oleh suardi tasrif, dalam tajug nya 25 november 1958, sebagai berikut :
“adalah merupakan kejahatan yang sangat mencolok sekali, betapa di masa yang
akhir-akhir ini pers dan jurnalistik kita begitu mengalami kemerosatan sehingga kode
etik jurnalistik seolah-olah sama sekali tida di indakan lagi atau di anggap tidak ada
oleh beberapa wartawan atau golongan wartawan untuk mencari kepentingan dan
tujuan mencari uang atau politik yang di anunya.”
Kadang-kadang orang bukan saja harus menggelengkan kepalanya akan tetapi
merasa diri di liputi rasa muak dan jiji melihat tulisa yang tidak mengeal batas-batas
kesopanan dan kesusialaan. Cara pemberitaan atau tulisan yang sama sekali tidak patut di
sajikan kepada masyarakat yang mengenal dan menjujung tinggi norma-norma kesopanan
dan kesusilaan”.33

MANIPOLASASI PERS

Upaaya presiden untuk merumuskan program pembangunan di lakukan melalui


pembentukan dewan perancangan nasional yang di ketua muhammad yamin. Hasilnya
adalah pola pembangunan semesta berencana 8 tahun. Lampiran A ketetapan MPRS No
II/MPRS/1960 tentang penerangan massa menjadi landasan bagi pelaksaan manipolisasi
pers nasional dalam sistem demokrasi terpimpin. Ke tetapan tersebut menggaris bawah
media massa harus diarahkan untuk mendorong aksi massa revosioner di seluruh indonesia.
rakyat harus di dorong untuk memiliki keyakinan yang teguh tentang sosialisme agar
dukungan bagi kelangsungan revolusi dan perannya dalam pembangunan nasional dapat
terwujud. Menurut ketetapan tersebut lebih lanjut, semua media komunikasi masa seperti
radio,pers film harus di gerakan sebagai satu kesatuan secara terpadu secara terpimpin,
berencana dan terus menerus ke arah ke sadaran mengenai sosialisme indonesia dan
pancasila. Sarana komunikasi massa harus dapat pula menjangkau daerah terpencil.
Langkah-langkah lain yang perlu di laksanakan pers manipol menuju tercapainya pers
sosialis adalah :
- Mendirikan kantor berita nasional yang kuat dan lengkap
- Membantu organisasi penerbit pers dalam menyelenggarakan seminar pers
- Mengadakan pendidikan dan latihan bagi pelaksana pers
- Mengadakan pendidikan wartawan
- Mendirikan gedung pusat pers
- Membantu penyediaan kertas koran
- Menyelenggarakan kunjungan kerja oleh wartawan ke proyek-proyek pembangunan
- Menyiapkan undang-undang pers yang mencakup antara lain : penjabaran fungsi
pers dalam rangka melaksanakan manipol demi kelangsungan revolusi dan
pembangunan semesta berencana : penjabaran hak-hak dan kewajiban pers : serta
penjabaran kebebasan pers sesuai pasal 28 UUD 1945
- Mendorong penerbitan pers terutama peredarannya dikalang rakyat pekerja
- Membangun pabrik-pabrik kertas agar impor kertas koran tidak di perlukan lagi.
- Meningkatkan kesejahtraan pekerja-pekerja pers.
Pada tahun itu pemerintah telah mengeluarkan juga peraturan penguasa perang
tertinggi ( peperti) No.3/1960 mengenai larangan menerbitkan surat kabar dan

33
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.111
majalah yang tidak berhuruf latin, arab atau daerah hal ini berarti melarang
penerbitan pers yang menggunakan aksara acina, dalam rangaka menyediakan
bacaan bagi golongan masyarakat cina yang masih bahsa indonesia dan untuk
kepentikngan penerangan revolusi pemerintah mengizinkan beberapa pers cina yang
di sesuaikan seperti hua chi pao (api revolusi), che chi pao ( obor revolusi) dan
sebagainya koran koran seperti shin po dan keng po telah mengubah namanya
menjadi panjawarta dan pos indonesia.34

Selanjutnya, pada 12 oktober 1960, keluar lagi peraturan penguasa perang tertinggi
no 10/1960 mengenai keharusan bagi penerbit untuk memperoleh izin terbit : peraturan
penguasa perang tertinggi no.2/1961 mengenai pengawasan dan pembinaan terhadap
percetakan-percetakan swastakeputusan presiden republik indonesia no.307/1962 mengenai
pembentukan lembaga kantor berita antara (24 september 1962) penetapan presiden
republik indonesia no 6/1963 mengenai ketentuan-ketentuan pembinaan pers isi ketentuan-
ketentua tentang pembinaan pers isi ketentuan di uraikan di bawah ini :

(a) Peraturan Peperti No. 10/1960


Peraturan ini dilengkapi dengan Surat Presiden No. 3569/HK/1960 yang juga bertanggal
12 Oktober 1960. Menurut Presiden, pers harus dibersihkan dari “musuh-musuh
revolusi” dan sistem perizinan surat kabar dan majalah dirombak.
Berdasarkan Peraturan PepertiNo. 10/1960, sejumlah persyaratan harus dipenuhi
sebelum izin terbit dikeluarkan. Diantaranya:
(1) Mendukung dan membela Manipol dan Program pemerintah
(2) Menjadi alat penyebarluasan Manipol dengan tujuan menghapus imperialisme dan
kolonialisme, liberalisme, federalisme dan separatisme.
(3) Membela politik luar negeri bebas dan aktif serta mendukung pelaksanaanya; tidak
mendukung perang dingin antara kedua blok asing serta tidak menjadi alat perang
tersebut.
(4) Memperkuat keyakinan rakyat Indonesia terhadap prinsip-prinsip dasar, orientasi,
program dan kepemimpinan revolusi.
(5) Meyokong setiap langkah untuk menciptakan ketertiban umum, keamanan maupun
ketenangan situasi politik.
(6) Meningkatkan kesadaran terhadap kepribadian Indonesia, umpamanya mencegah
tulisan-tulisan, gambar-gambar dan lukisan-lukisan yang bersifat sensasi dan
bertentangan dengan perasaan susila.

34
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.122
(7) Memberikan kritik yng konstruktif terhadap keadaan dan pelaksanaan kebijakan
pemerintah dengan selalu berpedoman pada Manipol.

Disamping ketentuan-ketentuan dia tasa, para penerbit dan pimpinan redaksi surat kabar
dan majalah juga diwajibkan untuk menandatangani pernyataan berisi 19 pasal. Ke 19 pasal
tersebut adalah:35

1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah/dan/atau akan


dikeluarkan/diberikan oleh penguasa
2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela manifesto Politik RI secara
keseluruhan
3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah.
4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD 1945.
6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela pancasila
7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia
8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin
9. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Ekonomi Terpimpin
10. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Kepribadian Nasional
Indonesia
11. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat negara Republik
Indonesia
12. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memberantas Imprealisme, dan
kolonialisme, liberalisme, federalisme/separatisme.
13. Penerbitan kami wajib menjadi pembela/pendukung dan alat pelaksana dari politik
bebas dan aktif negara RI serta tidak menjadi pembela/pendukung dan alat dari
perang dingin antara blok negara asing.
14. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia
terhadap Pancasila.
15. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia
terhadap manifesto Politik RI.
16. Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan
umum serta ketenangan politik.
17. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-luksian, atau gambar-
gambar yang mengandung penhinaan terhadap kepala negara atau kepala
pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan RI

35
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.125-126.
18. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-
gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak.
19. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-
gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau
dilarang berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1960.

Berdasarkan ketentuan tersebut, penerbitan pers yang tidak memenuhi persyaratan


dapat dicabut izin terbitnya, ditindak berdasarkan hukum yang berlaku,36 dan surat kabar dan
majalah yang diterbitkan tanpa izin akan disita serta dimusnahkan. Ketentuan-ketentuan
diatas berlaku sejak 1 November 1960 dan ditandatangani oleh Menteri pertama Djuanda
dalam kedudukan sebagai Pejabat Presiden dan Penguasa Perang Tertinggi selagi Sukarno
berada di luar negeri.

(b) Peraturan Peperti No. 2/1961:

Ketentuan ini khusus mengenai pengawasan dan pembinaan atas perusahaan-


perusahaan tersebut adalah bahwa percetakan harus menjadi alat untuk menyebarluaskan
manipol dan untuk memberantas imprealisme, kolonialisme, liberalisme serta federalisme
dan separatisme. Seperti halnya terhadap penerbitan, percetakan yang tidak mmatuhi
ketentuan tersebut akan dicabut izinnya atau ditutup.

(c) Keputusan Presiden No. 307/1962:

Keputusan ini didahului oleh pertentangan di dalam Antara sendiri antara grup anti-
PKI yang diketahui Zein Effendi, S.H. melawan kelompok Djawoto, waktu itu pemimpin
redaksi, mengenai kebijakan pemberitaan. Konflik tersebut timbul sejak awal bulan
September 1961. Sebenarnya, arahan untuk menguasai kantor berita Antara dalam
kerangka Manipolisasi pers telah diletakkan oleh MPRS tahun sebelumnya melalui
ketetapan MPRS No. II/1960 yang menggariskan perlunya mendirikan satu kantor berita
nasional yang kuat.37

Sementara itu, pertentangan dikantor berita tersebut memuncak pada 25 Mei 1962
dengan pencopotan Djawoto oleh dewan direksi. Menyusul gelombang reaksi dari grup pers
PKI, tiga hari kemudian presiden memutuskan penguasaan Antara oleh Peperti (Keppres
No. 307) menjelang penyatuannya dengan Yayasan Persbiro Indonesia (PIA). Pada tanggal
12 Desember PIA dikuasai oleh Peperti hingga waktu penentuan penyatuannya pada
Lembaga Kantor Berita Nasional Antara “dalam rangka pelaksanaan ide pembangunan

36
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.126.
37
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.126-127.
Kantor Berita Nasional yang kuat dan Lengkap berasaskan Sosialisme Indonesia, yaitu
Sosialisme berdasarkan Pancasila”.38

Struktur LKBN antara terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan.
Berdasarkan Keputursan Presiden No.376/1962 Dewan Pengawas beranggotakan Wakil
Menteri Pertama/ Menteri Luar Negeri Subandrio (Ketua), Wakil Menteri Pertama Bidang
Khusus/Menteri pertama urusan pertahanan Keamanan Jendral A.H Nasution, Beberapa
menteri lainnya, Letkol Harsono, Letkol M Harjo, Sumantoro, Satya Graha, Pandu
Kartawiguna, Sumanang, Adam Malik, Sukrisno, Djawoto, Djamaludin Adinegoro, Moh.
Isnaeni, Kurwet Kartaadireja, Mualiff Nasution (sekretaris) dan wijarto (wakil Sekretaris).
Dewan Pimpinan yang diangkat adalah pandu Kartawiguna (ketua), Djawoto (wakil Ketua I),
Mohammad Nahar (wakil Ketua II), Subano Taif (sekretaris), Djamaluddin Adinegara,
Mashud Sosrojudho, Suhandar, Subakir, R. Moljono dan Zein Effendi, S.H. pada hari yang
sama, 13 Desember 1962, presiden selaku Peperti menutup dan membubarkan dua kantro
berita kecil lainnya, Asian Press Board (APB) dan Indonesian National Press and Publicity
Service (INPS).

Aneta, yang sejak itu tinggal sejarah baru didirikan kembali pada bulan Maret 1951
dengan nama Indonesia-Aneta. Pada tahun 1955, berdasarkan akte notaris, namanya
diubah lagi menjadi Persbiro Indonesia (PIA) dengan susunan direksi terdiri dari wakil-wakil
merdeka Press, Nieuwsgier, Keng Po, Sin Po dan De Unie (penerbit Java Bode).39

(d). Penetapan Presiden No. 6/1963

Pembentukan kantor berita tunggal di Indonesia dalam bentuk LKBN antara


merupakan satu hasil yang dicapai menyusul Ketetapan MPRS NO. II/1960. Lainnya adalah
berdirinya Lembaga Pers dan Pendapat Umum di Jakarta, seminar-seminar pers, pendidikan
dan latihan wartawan yang diselenggarakan oleh PWI dan pembangunan Wisma Warta
sebagai gedung pertemuan wartawan nasional dan Internasional di jalan M.H Tamrin. Satu
hal yang belum terlaksana adalah UU Pers. Karena itu, pada bulan Mei 1963, MPRS
mengeluarkan resolusi suapaya pemerintah segera menyelesaikan UU pers yang
menegaskan kedudukan, fungsi, tugas dan kewajiban serta hak pers sebagai alat
penerangan dan penggerak rakyat. Resolusi tersebut juga mendesak diambilnya langkah-
langkah untuk meningkatkan mutu pers dan menunjang peredaran surat kabar melalui
peningkatan penyediaan kertas koran, perbaikan percetakan, perbaikan telekomunikasi,
angkutan serta mutu pelayanan kantor berita. MPRS juga menekankan perlunya bantuan

38
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.127.
39
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 128
kepada organisasi-organisasi pers nasional dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai
alat revolusi melalui pembinaan kerja sama dengan rakyat di dalam negeri maupun dengan
organisasi-organisasi pers dan wartawan luar negeri.40

Berbarengan dengan itu Penetapan Presiden No. 6/1963 meletakkan prinsip-prinsip


yang bersangkutan dengan bentuk-bentuk, tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers guna
melaksanakan Pancasila dan Manipol dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.41

Pelaksana dan pengawas pembinaan pers adalah Menteri Penerangan dengan


dibantu Kepala Staf ketiga angkatan, Kepala Kepolisian Negara dan Jaksa Agung. Kecuali
unsur tersebut, ditambah beberapa petunjuk teknis, seperti prosedur permohonan izin terbit,
penetapan Presiden No. 6/1963 dalam semangat dan isinya hampir sama dengan peraturan
Peperti No. 10/1960. Tetapi, setelah pencabutan SOB dan berlakunya kembali Hukum Sipil
pada permulaan Mei 1963, dan sebelum adanya UU pers, pihak pemerintah beranggapan
bahwa Penetapan Presiden tersebut berikut petunjuk pelaksanaanya, sudah merupakan
pedoman pokok, pembinaan pers terlengkap yang mampu berfungsi sebagai pengganti
undang-undang pers.42

PERKEMBANGAN PERS TERPIMPIN

Antara tahun 1960 hingga 1965, peredaran penerbitan pers di Indonesia tidak
menunjukan perkembangan yang stabil sebagai pencerminan keadaan secara umum.
Jumlah surat kabar dan oplah pada tahun 1960 hampir tidak berbeda dengan tahun
sebelumnya. Pada thun 1959, oplah 94 surat kabar harian mencapai 1.036.500 lembar
sedang oplah 273 jenis penerbitan lainnya berjulah sedikit diatas tiga juga lembar. Pada
tahun 1960, jumlah surat kabar harian mencapai 97 dengan oplah sebanyak 1.090.500,
sedang jumlah berbagai jenis penerbitan lainnya adalah 230 penerbitan dengan oplah
sebanyak 3.350.000. pada tahun berikutnya terjadi penurunan cukup mencolok sebelum
tercatat kenaikan pada tingkat semula. Tabel di bawah menunjukan perkembangan surat
kabar harian selama limat tahun sejak 1960.43

Masalah percetakan merupakan salah satu hambatan terbesar dalam perkembangan


pers pada masa ini. Hal tersebut tidak terlepas pula dari kesulitan yang dihadapi pada masa
perang kemerdekaan sebelumnya. Tatkala para wartawan republik merampas percetakan-
percetakan pers dari tangan serdadu Jepang, kondisi mesin-mesin cetak yang ada tidak saja
terbelakang tetapi juga kurang terpelihara. Lalu semasa perjuanganan melawan belanda,
40
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.128-129.
41
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 129.
42
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm. 130.
43
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm..130.
pembangunan sektor grafika praktis tidak berjalan, setelah pengakuan kedaulatan sebagian
penerbitan pers nasional kembali mencetak di percetakan milik Belanda yang dikembalikan
dan sebagian lagi menumpang cetak di perusahaan pribumi atau percetakan milik Cina.
Pengadaan mesin cetak baru saat itu baru terjadi pada tahun 1953, sedang perusahaan
percetakan pers nasional yang dibangun sejak itu hingga 1959 hanya berjumlah 30 dan
jumlah tersebut tersebar di beberapa kota besar tertentu saja.44

JUMLAH SURAT KABAR HARIAN DAN OPLAH 1960-196545

TAHUN JUMLAH SURAT KABAR JUMLAH OPLAH


1960 97 1.090.500
1961 60 557.500
1962 70 834.000
1963 105 1.304.000
1964 116 1.501.350
1965 115 1.325.400

Diantara percetakan yang dibangun atas bantuan pemerintah sekitar tahun 1952-1954
tercatat pecetakan-percetakan Jakarta Press, Abadi dan Batanghari (Jakarta), percetakan
Bandung percetakan Semarang, Percetakan Pers Nasional (Surabaya), percetakan
Sulawesi (Ujung Pandang), percetakan Haluan (Padang), dan percetakan Mimbar Umum
(Medan), ketika perusahaan-perusahaan belanda dan cina memutuskan untuk mengimpor
mesin-mesin cetak baru, para penerbit pers nasional (sperti Waspada Medan) membeli
mesin cetak bekas dari pemilik percetakan yang menjualnya.46

Mengamati Orde Baru

Tahun 1965 adalah kala terburuk di sepanjang sejarah pers sepanjang Indonesia
merdeka. Pada pbulan Februari dan Maret tahun itu, 29 koran dilarang terbit karena
mendukung kubu anti Komunis yang ironisnya bernama Badan Pendukung Soekarno (BPS).
Sementara itu 46 dari 16 kabar ditutup tanpa alasan yang jelas dalam serangan balasan
pasca kekacauan politik tanggal 1 Oktober 1965. Penutupan itu dilakukan lantaran karena
sederetan surat kabar tersebut diduga terkait atau jadi simpatisan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan onderbouwnya. Ratusan staf redaksi ditahan. Para pendukung ‘kiri’ ditendang dari

44
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.130-131.
45
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.131.
46
Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung: Jakarta, 1988, hlm.131.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan kantor berita ini ditempatkan di bawah komando
daerah militer. Tiga puluh persen staf redaksinya masuk penjara. Sederetan perisitwa
penangkapan dan pembunuhan sejumlah jurnalis, baik yang komunis sejati maupun sekedar
simpastisan, menjadi kepingan-kepingan rangkaian teka-teki seputar pembantaian massal
yang terjadi di berbagai wilayah pedesaan pada tahun 1965-1966. Sampai puluhan tahun
kemudian, pembantaian massalp ini tetap menghantui pers Indonesia. Ariel Heryanto
mencatat, “Media Massa, termasuk pers khususnya media elektronik, jadi alat penting dalam
memelihara dan membantu beranakpinaknya legitimasi Orde Baru. Pergantian kekuasaan
politik usai peristiwa 1 Oktober 1965 kemudian diwarnai dengan keluarnya aneka rupa
landasan hukum, salah satunya Undang-Undang Pers tahun 1966. Undang-Undang ini
menandakan bahwa rezim penguasa boleh-boleh saja mengeluarkan pernyataan berbunga-
bunga apa pun, toh segala persyaratan, aneka kualifikasi dan tetek bengek lainnya
menggariskan dengan tegas bahwa, bilamana dipandang perlu, media bisa disetir oleh
pemerintah.47

Orde Baru : Penutupan Pers terus terjadi

Undang-Undang (No. 11) tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers menyatakan
bahwa “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” (bab 2 pasal 4) dan
“kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” (pasal 5. 1) serta
“Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun” (bab 4 pasal 8.2). pada kenyataannya,
semua itu guyonan belaka. Selama “masa peralihan” yang tak jelas ujung pangkalnya (bab 9
pasalp 20, 1. a) para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang terkait. Dua izin
tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan yang nyata-nyata
sebuah lembaga sipil dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer
KOPKAMTIB. Tanpa kedua izin tersebut, secar hukum sebuah media niscaya tak mungkin
terbit. Apabila salah satu atau kedua lembaga tersebut mencabut izin tersebut, secara
hukum sebuah media niscaya tak mungkin terbit. Apabila salah satu atau kedua lembaga
tersebut mencabut izin tersebut, secara efektif media itu diberedel.48

Aturan yang menindas pers terus dilakukan pada era Soeharto pada masa itu, refresi
sudah dijalankan, bahkan sejak awal era orde baru, sebuah orde yang konon menjanjikan
keterbukaan. Sejumlah pers telah menjadi korban salah satunya adalah majalah sendi yang
delik pers pada 1972 membuat tulisan yang dianggap menghina kepada negara dan
keluarganya. SIT sendik kemudian dicabut dan pemberdayaan dituntut dipengadilan.
Berjalan satu tahun sinar harapan dilarang terbit selama seminggu karena dianggap

47
David T. Hill. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.hlm. 34.
48
David T. Hill. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.hlm. 35.
memborcorkan rahasia negara akibat menyiarkan rencan anggaran dan pendapatan belanja
neara yang belum dibicarakan parlemen. Setelah meletusnya peristiwa malari pada 1974
sebanyak 12 penerbitan pers dibredel melalui pencabutan SIT. Pers dituduh telah menjurus
kearah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional dengan berbagai cara
berikut ini cara-cara yang dituduhkan tersebut :

 Mengobarkan isu-isu mengenai modal-modal asing, korupsi, dwifungsi TNI,


kebobrokan aparat pemerintahan dan pertarungan politik tingkat tinggi
 Merusak kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan Nasional.
 Menghasut rakyat untuk bergeak menggangu ketertiban dan keamanan
negara
 Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada
perbuatan

Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan SIT yang dikeluarkan oleh
laksuskom kamtib jaya. Pemberhangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978 berkaitan
dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai Presiden ada
tujuan surat kabar di Jakarta yang dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu
pembekuan hanya dilakukan melalui telepon. Ketujuh surat kabar tersebut adalah :

 Kompas
 Sinar harapan
 Merdeka
 Pelita
 The Indonesia Times
 Sinar Pagi
 Pos Sore49

Mereka baru diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemiliknya meminta maaf
kepada sang pemimpin nasional, yaitu Soeharto. Kisah pembredelan pada era Soeharto
terus berlanjut. Era 1980 meinta banyak korban, antara lain :

 Pada 1982 banyak majalah tempo ditutup untuk sementara waktu setelah menulis
peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di lapangan banteng
 Koran jurnal ekuin dilarang terbit pada Maret 1982 oleh Kopkamtib akibat memuat
berita penurunan patokan harga ekspor minya indonesia yang merupakan informasi
tidak untuk disiarkan.

49
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm.54
 Majalah expo edisi Januari 1984 No serial tulisan mengenai 100 milyarder Indonesia
tulisan tersebut dinilai telah melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengatur manajemen penerbitan pers
 Giliran majalah Topik yang diperingatkan 2 ulan setelah expo akibta enlis editorial
mencari golongan miskin pada 14 Februari 1984 dan menurunkan wawancara
imajiner denga Soeharto yang berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama
cenderung dinilai beraliran komunis dan ingin mengobarkan pertentangan antara
orang-orang kaya dan pemerintah. Sementara itu tulisan kedua dianggap bernada
sinis serta tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggung jawab.
 Pada Mei 1984 majalah fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah
menurunkan tulisan yang dianggap mempertajam prasangka sosial.
 Pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit.

Deretan pembredelan itu terus berlanjut dengan korban koran prioritas tabloid monitor
majalah senang hingga akhirnya perintah menutu Tempo, Editor, dan Detik pada 21 Juni
1994.50

Pers Pancasila:Produk Asli Indonesia


Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil memutuskan
sistem pers baru yang “original”, yakni pers Pancasila. Ini adalah salah satu pelabelan khas
Indonesia terhadap konsep jurnalisme dalam era pembangunan. Konsep pers pembangunan
atau pers Pancasila sering juga didefinisikan sebagai “bukan pers Liberal, juga bukan pers
komunis”. Konsep ini secara resmi dirumuskan untuk pertama kalinya dalam sidang Pleno
Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an. Rumusan tersebut berbunyi:
“Pers pembangunan adalah pers Pancasila, dalam arti pers yang oripentasi sikapp
dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan
adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.”51
Hakikat pers Pancasila adalah “Pers yang sehat”, yakni pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankanp fungsi-fungsi sebagai berikut:
 Penyebar berita yang benar dan sesuai dengan keadaan sesungguhnya
 Penyalur aspirasi rakyat
 Pelaku kontropl sosial yang membangun

50
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. 53
51
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. 57.
Melalui hakikat dan fungsi tersebut, pers Pancasilpa berupaya mengembangkan suasan
saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab. Istilpah
Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan keinginan perusahaan
pers pada saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintahan. Maka, fungsi pers
sebagai penyebar informasi (seperti tercantum dalam definisi pers Pancasila) malah tidak
bisa berwujud. Akibatnya, pers Indonesia pada akphir 1970-an hingga 1998 semata-mata
menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis.
Pada era inilah, muncul apa yang secara sinsi disebut sebagai “budaya telepon”. Peringatan
melalui telepon bisa dilakukan oleh siapapun aparat pemerintah yang ingin mencegah media
menulis laporan tertentu yang tidak mereka sukai. Pada pertengahan 1980-an, mulai lazim
juga kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media untuk
memberikan informasi penting dan ketentuan tak tertulis mengenai hal-hal yang boleh dan
tidak boleh tertulis.52

Berbagai bentuk sensor atau seleksi ini mendorong pengelola media menggunakan
gaya bahasa eufimistis untuk menghindari terguran dan pemberedelan. Pers Indonesia pun
semakin pintar untuk melakukan swasensor (self-censorship). Alhasil, sebagian besar media
cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apa pun yang dikatakan para
pejabat tinggi, baik pemerintahan dan militer, hampir pasti akan dicetak dan dijadikan
sebagai laporan utama (headline) oleh pers. Yang jelas, tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa pers Indonesia yang terpasung juga berperan serta dalam melanggengkan
kekuasaan rezim yang menindasnya. Sejumlah kiat pers agar tetap bertahan (survive)
ternyata secara tidak langsung malah ikut memperkuat cengkraman rezim Soeharto. Pers
dan wartawan Indonesia yang terbelenggu berperan besar dalam menginterlisasi slogan-
slogan penguasa, tanpa mencoba menelaahnya secara kritis. Slogan-slogan tersebut seperti
berikut ini:

 “Bahaya laten Komunis”


 “stabilitas demi pembangunan”
 “ABRI atau militer sebagai dinamisator”

Pers Pancasila sendiri adalah contoh slogan yang ikut disebarkan oleh pers. Pers dan
wartawan yang tidak bebas ikut mengajari masyarakat rasa takut terhadap kebebasan. Pada
era rezim Soeharto, tepatnya sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicii
buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri , bisnis informasi ternyata
menjanjikan keuntungan besar. Tingkat kesejahteraan wartawan pun semakin baik. Namun,

52
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. 58.
keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin
menumpul. Penyebabnya adalah peningkatan oplah dan perolehan iklan yang menjadi
tujuan tunggal. Akibatnya, prioritas pers Indonesia adalah perolehan keuntungan, bukan
kualitas berita. Hal ini didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Konsentrasi yang
tinggi untuk mendapatpkan keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers
menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Dalam situasi represif, sulit bagi wartawan
untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Lebih-lebih, mereka “terhantui”
dengan adanya ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Lisensi ini
benar-benar seperti nyawa bagi pers, sementara pemerintah adalah malaikat yang siap
mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP benar-benar seperpti nyawa bagi
pers, sementara pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu.
Pencabutan SIUPP benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi pers.53

Terlebih, saat itu sangat sulit untuk memperolpeh SIUPP. Kriteria untuk
mendapatkannya pun tidak jelas. Sudah menjadi rahasia umum pula, hanya kalangan yang
dekat denga kekuasaan sajalah yang bisa mendapat SIUPP baru. Oleh karena itu, muncul
dugaan bahwa SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Sebagai
tambahan, ketika pemerintah (dalam hal ini Deppen) pada akhir 1980-an memutuskan untuk
tidak lagi menerbitakn SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat
mahal. Menjadi sistem lisensi, negara bisa menguasai ruang publik. Bukan saja media
massa harus mendapat izin agar terbit, tapi rapat-rapat dan pertemuan publik yang
pesertanya lebih dari lima orang juga harus mendapat izin. Padahal, semestinya ruang
publik menjadi wilayah yang bebas dari kontrol negara dan modal. Di sana, setiap anggota
masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar, dan berdebat tentang masalah-masalah
publik, tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa secara politis maupun ekonomis.
Media massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif. Namun, pada masa itu,
media di Indonesia telah dikuasai negara. Sebagai akibatnya, dalam praktik jurnalisme di
Indonesia, para wartawan lebih mengutamakan ucapan pejabat, jenderalp, dan tokoh bisnis.
Selain demi kelanjutan penerbitan media tempat mereka bekerja, anggapan bahwa ucapan
pejabat memberikan landasan yang kuat terhadap berita juga berangsur-angsur muncul.54

Selain aman, praktik jurnalisme yang disebut talking news ini juga lebih mudah
dilakukan oleh para wartawan. Bukan hanya itu, praktik ini, menguntungkan perusahan pers
karena menimalkan biaya yang harus dikeluarkan dalam propses peliputan berita.
Sebaliknya, praktik talking news memberikan peluang besar bagi para politisi dan pengamat
politik untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktik jurnalisme ini adalah tren

53
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. 59.
54
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. P60
menonjolnya peran hubungan masyarakat (humas) kantor pemerinta atau perusahaan
swasta yang siap menyediakan segala informasi, baik yang faktual atau direkayasa, untuk
membantu kerja wartawan. Maraknya jurnalisme menyebabkan masyarakat semakin sulit
memperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Sebuah penelitian yang
diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap Kompas dan Suara Karya, dua
harian yang cukup berpengaruh di Indonesia, memperlihatkan besarnya ketergantungan
mereka terhadap nara sumber pejabat pemerintah atau birokrat.

 Sekitar 89,1% berita Suara Karya dan 69,1% berita Kompas bersumber dari
pernyataan birokrat dan pejabat.
 Menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan
78,9% berita Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.

Melawan Kekuasaan: Mencari Jalan Keluar

Pada era Soeharto, terdapapt tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan
arus informasi, yaitu:

 Adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPPP)


 Adanya wadah tunggalp organisasi pers dan wartawan
 Praktik intimidasi dan sensor terhadap pers

Faktor-faktor itulah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan
potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol. Sejak RI berdiri, wartawan Indonesia hanya
mengenal satu organisasi wartawan, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) .
sayangnya, organisasi ini sering kali terperangpka dalam korporatisme negara. Dengan
korporatisme itu, negara (dalam hal ini pemerintah Orde Baru) menggunakan PWI sebagai
alat untuk menekan dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki
organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan dan melindungi hak serta
meningkatkan profesi mereka. Sebaliknya, wartawan justru dikendalikan dan dilumpuhkan
secara sistematis oleh PWI. Pemerintah Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol
yang efektif terhadap pers melalui tekanan untuk melakukan swasensor, disamping adanya
peringatan, teguran, dan pemberedelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan
oleh orang pers sendiri, yaitu melalui Dewan Pers serta PWI. Dengan sadar, pengurus dua
organisasi ini memfungsikan diri sebagai kaki tangan pemerintah dalam menekan pers.
Namun apda akhirnya, tekanan memunculkan perlawanan. Pemicunya justru pemberedelan
tiga media terkemuka, yaitu majalah Tempo dan Editor, serta tabloid Detik, pada 21 Juni
1994. Berbeda dari berbagai pemberedelan pers yang sering terjadi di Indonesia, reaksi atas
penutupan tiga media itu berlangsung di luar dugaan, karena memunculkan perlawanan dari
masyarakat. Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis organisasi
nonpemerintah (ornop) melakukan demonstrasi pada hari-hari setelah pemberedelan.55

Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-
satunya organisasi yang ada, PWI tidak memprotes pemberedealpn itu. Sebaliknya,
pengurusnya malah mengatakan bahwa mereka bisa memahami sikap yang diambil rezim
Soeharto. Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi Departemen
Penerangan (Deppen). Jadi, bukanya membela kepentingan, hak-hak, dan aspirasi
wartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan muda. Maka kalangan wartawan
muda yang tidak puas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ini adalah wujud sikap wartawan yang menolak wadah
tunggal dan sebagai organisasi alternatif bagi wartawan. Berdirinya AJI segera
mengguncangkan dominasi PWI. Ini terbukti dari sikap Deppen dan PWI yang begitu sengit
mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta
meminta perusahaan pers tidak memperkerjakan wartawan anggota AJI. Belasan wartawan
AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri. Pemimpin redaksi
yang dianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabut
rekomendasinya dan hilang haknya sebagai premed. Yang jelas, orang yang aktif di AJI
tidak boleh jadi anggota atau pengurus PWI waktu itu. Kelahiran AJI memang dipicu oleh
kasus pemberedelpan 21 Juni 1994. Namun, embrionya telah dimulai ketika para wartawan
muda di sejumlah kota, seperti Bandung dan Yogyakarta, mendirikan forum-forum diskusi
untuk wartawan. Forum-forum wartawan yang berdiri pada awal 1990-an ini bersifat cair dan
informal. Saat itu, mendirikan organisasi formal wartawan di luar PWI hampir mustahil.
Forum-forum diskusi semacam itu menjadi oase atas kesumpekan wartawan yang
menyadari bahwa mereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka.56

Sejarah kebebasan jurnalistik pasca 1965

Menurut Jacob Oetama, sejak 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia
jurnalistik Indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
peristiwa-peristiwa tegang yang disebabkan setelah G30SPKI. Kedua, kebebasan pers yang
lebih leluasa dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ketiga, barangkali juga embrio
sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan,
serta pengelolaan keuangan. Dalam perkembangannya lebih lanjut, tulis maestro pers
Indonesia itu, terjadilah perubahan. Tidak saja dalam iklim sosial politik, tetapi juga dalam

55
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. 62
56
Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani, Yogyakarta,2008) hlm. 63.
iklim sosial ekonomi dan sosial budaya yang berlainan dari periode sebelumnya dan
mempunyai dampak besar terhadap perubahan pers.57

Dalam bidang sosial politik, berkembang iklim kebebasan yang lebih besar, bahkan
ketika kemudian terjadi pasang surut, fluktuasi kebebasan pers setelah 1966, masih tetap
lebih besar dari peristiwa sebelumnya. Pada mulanya berkembang situasi konflik yang
membawa ketegangan dimana-mana dan dalam berbagai sistem masyarakat sehingga
masyarakat terangsang untuk mencari informasi lewat pers. Kemudian terjadilah proses lahir
dan didebatkannya gagasan-gagasan politik, ekonomi, dan kebudayaan baru; proses yang
menyuburkan pertumbuhan pers yang sanggup menangkapnya. Menurut Jacob Oetama,
surutnya partai-partai dan berkembangnya embrio ide profesionalisme, yang diterjemahkan
antara lain orientasi independen dalam teks, menjadi tempat, sekaligus pemupuk, timbulnya
surat-surat kabar yang cenderung untuk mengambil distansi dari organisasi politik dan
menumbuhkan kebijakan editorial yang relatif independen.58

Sistem sosial ekonomi baru mempengaruhi pers Indonesia. Sistem ekonomi


berencana yang berlaku setelah 1969 memberikan tempat yang besar dan kuat kepada
sistem pasar internasional. Bagian substansial dari sistem ekonomi pasar adalah persaingan
produk, promosi, priklanan, bisnis iklan dan mimbar untuk menampung promosi lewat iklan,
berkembang, diantaranya surat kabar. Akibat perkembangan ekonomi pasar bebas yang
dijalankan oleh pemerintah, sejumlah kecil surat kabar baik di ibukota maupun di beberapa
kota besar di daerah berhasil meraih sejumlah besar iklan yang mempertaruhkan mutu
produk jasa.59

Selama dua dasawarsa pertama orde baru, 1965 sampai 1985 kebebasan jurnalistik
di Indonesia, memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur,
nilai, dan ruh ekonomi dari pada dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh politik. Sebagai
sarana ekonomi, teks dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan pernah
bicara politik. Tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, sekaligus sebagai
pengemban fungsi kontrol sosial, pers indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan
dan tekanan dari pihak penguasa pusat dan daerah. Orde baru sangat menyanjung ekonomi
sekaligus sangat alergi dan bahkan membenci politik bagi orde baru pers identik dengan
politik. Politik itu sendiri pasti bersentuhan dengan masalah politik. Pers yang menyentuh
wilayah kekuasaan sama sekali tak dibenarkan dan bisa berakhir dengan pembredelan.
Sejarah menunjukan dalam lima tahun pertama, kekuasaannya yang sangat represif dan
hegemonik orde baru bisa disebut bersahabat dengan pers. Pers itu sendiri seperti sedang

57
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 21.
58
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 22.
59
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 22.
menikmati masa bulan madu kedua. Namun dimanapun bulan madu hanyalah sesaat.
Seperti dicatat Atma Kusuma, akibat peristiwa 15 januari (MALARI) 1974,
MINGGUAN/mahasiswa Indonesia dibantu ikut dibredel oleh pemerintah bersama-sama
sebelas penerbitan pers umum.60

Sedangkan pada awal 1978, ketika tujuh surat harian ibu kota hampir serentak
ditutup setengah bulan, pada waktu hampir bersamaan juga sedikitnya tujuh penerbitan
mahasiswa diberbagai kampus dijawa dan sumatera mengalami nasib yang sama.
Pengamat pers Atmakusuma lebih jauh menulis sepanjang 1980, fungsi pers masih
mengalami penciutan, bersamaan dengan pengetatan pengendalian oleh pemerintah
terhadap kegiatan politik dalam masyarakat. Fungsi utama pers sebagai komunikator telah
mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagai
sarana hiburan. Dengan demikian fungsinya yang ketiga sebagai alat pendidikan formal
yang mengalami kepincangan terutama dalam bidang politik karena terbatasnya kesempatan
untuk membahas masalah-masalah kenegaraan serta gejala sosial dalam forum terbuka.61

Pers sebagai kekuatan moral tidak lagi memiliki ruang gerak yang leluasa dan lapang
untuk mampu mendesakan setiap gagasan dan sikapnya. Kebebasan pers tidak lagi
didasarkan pada keyakinan dan idealisme pers itu sendiri melainkan amat bergantung pada
batasan-batasan yang diberikan oleh pemerintah berdasarkan apa yang dianggapnya
sebagai kepentingan keamanan dan ketertiban. Perkembangan pers yang tidak
menguntungkan pertumbuhan kebebasan berfikir dan berpendapat ini, pada akhirnya
menimbulkan rasa takut dalam jiwa para pengelola media massa. Mereka telah mengalami
berbagai pemberangusan pers, baik secara individual maupun massal, yang hanya
berdasarkan pertimbangan politik baik dari pemerintah yang tengah berkuasa dan tidak
berlandaskan hukum karena alasan-alasannya tidak pernah diuji melalui pembahasan dan
keputusan pengadilan yang bebas.62

Kebebasan jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua dari tigadasawarsa kekuasaan


monolitik orde baru, hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses
yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam
pasal 28 UUD 1945. Dalam dasawarsa ketiga kekuasaan orde baru, kisah sedih itu masih
berlanjut, pembatasan dan bahkan pemberedelan terhadap pers terus berlangsung. Inilah
yang disebut sebagai era pers tiarap orde baru. Hanya dengan tiarap dengan mengendap-
ngendap layaknya dalam perang gerilya pers kita dihadapkan bisa tetap bertahan hidup.
Strategi inilah yang dipilih oleh sebagian pers nasional hingga akhirnya dapat meloloskan diri

60
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 23.
61
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 24.
62
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 24.
dari jebakan – jebakan kematian. Orde barupun akhirnya tumbang pada 21 Maret 1998.
Lahirlah kemudian apa yang disebut orde Reformasi.63

Peristiwa G30S yang telah mengalami kegagalan total dan telah memakan banyak
korban, benar-benar merupakan suatu strategi nasinal, karena untuk membangun kembali
apa yang telah dirusak selama periode demokrasi terpimpin/orla, di mana hanya
dipentingkan usaha-usaha dalam bidang politik saja dan diabaikannya sama sekali
pembangunan ekonomi kita, telah membawa Indonesia kepada suatu kondisi yang sangat
menyeramkan. Inflasi mata uang rupiah mencapai titik yang paling tinggi dalam sejarah
negara kita, dan membawa akibat yang sangat menyedihkan pada kehidupan
sosial/ekonomis rakyat banyak. Sebagai usaha memperbaiki keadaan, dalam bulan
Desember 1965 pemberinah memutuskan mengadakan saneering mata uang rupiah yang
sudah sangat parah keadaanya. Namun, usaha-usaha kabinet yang masih dipimpin oleh
Presiden Sukarno itu, nampak-nampaknya tidak mau melihat kenyataan yang ada dan masih
saja mau melanjutkan kebijaksanaan yang telah ditentang oleh rakyat banyak, serta tidak
menghiraukan apa yang merupakan tuntutan di waktu itu, antara lain agar Parta Komunis
Indonesia dibubarkan. Timbulan kemudian gerakan gerakan yang menentang kebijaksanaan
pemerintah, gerakan-gerakan mana dikenal dengan nama Kesatuan-kesatuan aksi dan
dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa KAMI. Konfrontasi antara pemerintah dengan para
mahasiswa/pemuda yang menggolongkan diri mereka sebagai Angkatan 66 dan dibantu
oleh golongan-golongan yang menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda ini, baik dari
kalangan sipil, maupun dari kalangan ABRI, membuat pemerintah sungguh kewalahan.64

Periode antara bulan Oktober 1965 sampai awal Maret 1966 ditandai dengan
serentetan peristiwa yang sungguh menegangkan masyarakat, malahan mengambil korban
beberapa tokoh mahasiswa. Namun dengan adanya tekanan-tekanan terhadap Presiden
Soekarno dan kegiatan para mahasiswa/pemuda, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966
keluarlah surat perintah Presiden Soekarno kepada Jend. Soeharto, dikenal dengan nama
“Supersemar” yang pada intinya menyerahkan kekuasaan kepada Jend. Soeharto. Jend.
Soeharto sebagai pemimpin ABRI yang berhasil meninggalkan Gestapu segera
mengumumkan dibubarkan partai Komunis Indonesia dan dilarangnya ajaran-ajaran
Komunis/Marxisme dan leninisme di Indonesia. sejak waktu inilah dapat dikatakan kita mulai
memasuki alam Orde Baru dimana UUD 1945 dan pancasila benar-benar ingin dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. 65

63
haris sumadiria ,jurnalistik indonesia,simbiosa rekatama media,bandung,2008,hlm. 25.
64
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, hlm.77.
65
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, hlm.77-78.
Undang-Undang (No. 11) tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers menyatakan
bahwa “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” (bab 2 pasal 4) dan
“kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” (pasal 5. 1) serta
“Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun” (bab 4 pasal 8.2). pada kenyataannya,
semua itu guyonan belaka. Selama “masa peralihan” yang tak jelas ujung pangkalnya (bab 9
pasalp 20, 1. a) para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang terkait. Dua izin
tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan yang nyata-nyata
sebuah lembaga sipil dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer
KOPKAMTIB. Tanpa kedua izin tersebut, secar hukum sebuah media niscaya tak mungkin
terbit. Apabila salah satu atau kedua lembaga tersebut mencabut izin tersebut, secara
hukum sebuah media niscaya tak mungkin terbit. Apabila salah satu atau kedua lembaga
tersebut mencabut izin tersebut, secara efektif media itu diberedel.

Sejak timbulnya peristiwa Gestapu sampai adanya Supersemar kepada Jend.


Soeharto koran yang masih terbit dapat dikatakan merupakan terompet masyarakat yang
diwaktu itu menantang kebijaksanaa rezim orla dan menyokong penuh aksi mahasiswa atau
pemuda, sehingga surat-surat kabar yang terbit merupakan parlemen masyarakat, sama
halnya dengan pers kita dizaman penjajahan Belanda. Namun setelah keadaan mulai
mereda peristiwa Gestapu kembali terlihat gejala-gejala yang biasanya melekat dalam pers
liberal. Apalagi ketika menjelang pemilu tahun 1971. Sinisme dan kritik yang sifatnya tidak
membangun kembali memenuhi surat-surat kabar kita. Prsaingan antara koran Nasional
(koran yang terbit di Indonesia) dan koran-koran daerah nampak memuncak dalam usaha
merebut pasaran pembaca. Dengan sendirinya koran-koran nasional lebih beruntung dalam
hal ini, karena fasilitas yang tersedia seperti modal, manusia, dan peralatan lebih banyak
terdapat dijakarta daripada di daerah. Disamping ini, juga persyaratan yang di minta oleh
pembaca ingin membaca surat kabar yang lebih bermutu baik dari segi isinya maupun dari
segi grafisnya. Persaingan antara koran-koran ibukota dengan koran daerah begitu hebatnya
sehingga pernah “diumumkan perang” oleh koran-koran daerah, terhadap koran-koran
ibukota. Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan pada awal periode orde baru ini,
antara disebabkan tidak adanya pembinaan yang tegas, baik dari instansi instansi resmi,
maupun oleh badan-badan atau organisasi-organisasi yang berkepentingan tentang adanya
pers nasional yang sehat; pers nasional yang dapat melakukan fungsi-fungsinya, baik yang
bersifat universal maupun alat perjuangan bangsa.66

Dalam uraian uraian terdahulu telah dikemukakan, bahwa pers itu mencerminkan
situasi dan kondisi dari masyarakat dimana pers tadi bergerak. Alam orde baru ini ditandai

66
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, hlm.79.
dengan kegiatan pembangunan disegala bidang dan dipelopori oleh pemerintah dengan
rencana-rencana pembangunan bertahap dan dikenal dengan nama repelita. Adalah wajar
sekali pers kita juga mencerminkan, bahwa pers merupakan salah satu unsur penggerak
pembangunan. Pada berbagai kesempatan sering kita dengar, bahwa pemerintahan
mengharapkan agar pers kita merupakan kawan pemerintah dalam menggalakan
pembangunan, yang jelas merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki dalam
kehidupan rakyat. Kita tentu semuanya menyadari, bahwa pembangunan pada hakikatnya
adalah suatu proses perubahan sosial ekonimis yang bertujuan meningkatkan taraf hidup
rakyat. Namun kitapun sadar, bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan itu tidak
akan terjadi, jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode dan hasil-
hasil yang akan dibawa oleh pembanguna itu. Untuk hal inilah diperlukan penerangan yang
luas kepada rakyat tentang maksud serta tujuan dan pembangunan itu, itulah sebabnya
mengapa penerangan atau komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses
pembangunan. Tidaklah perlu dijelaskan lagi dimana letaknya peranan pers kita dalam
usaha penerangan/komunikasi kita ini. Fungsi komunikasi dalam pembangunan adalah
untuk memotivasikan fungsi perlunya partisipasi rakyat dalam pembangunan, karena tanpa
partisipasi rakyat pembangunan disangsikan dapat berhasil. Harus kita sadari, bahwa
komunikasi melalui mass media secara langsung tidak akan menghasilkan partisipasi tadi
namun haruslah diakui bahwa komunikasi melalui mass media setidak-tidaknya dapat
menciptakan suasana yang nyaman proses pembangunan itu, karena dapat menanamkan
pengertian-pengertian pada rakyat tentang kemungkinan serta harapan-harapan yang dapat
dibawa oleh pembangunan.67

Jika kita kembali pada persoalan bagaimana pula fungsi serta sistem pers dalam
alam orde baru ini, agaknya sudah dapat diperkirakan yang sistem pers bagaimana yang
menjadi harapan kita. Pertama-tama pers kita harus merasa dirinya terikat pada usaha-
usaha pembangunan yang sudah jelas tujuannya. Kedua, pers kita harus merupakan pers
yang sehat, dalam hal maupun universal sebagai suatu badan usaha atau organisasi;
mempunyai cukup modal kerja dan dipimpin oleh orang yang memang mempunyai
pengetahuan, keahlian serta dedikasi terhadap tugas dan kewajiban mereka, disamping
merupakan suatu usaha yang dapat memberikan nafkah yang layak kepada para
karyawannya. Dan agaknya sistem yang paling mendekati dengan harapan tentang fungsi
pers kita, adalah apa yang dikenal dengan nama “the social responsiblity consept of the
press”. Dimana benar-benar pers itu merasa bertanggung jawab kepada kepentingan
masyarakat dimana ia bergerak, selain merupakan jaminan sebagai terompet suara rakyat
banyak. Sistem pers yang hendak kita bangun adalah sistem pers Pancasila, suatu sistem

67
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, hlm.80.
yang menonjolkan ciri-ciri khas yang melekat dalam diri bangsa kita, yang bersifat religius
sosialistis. 68

68
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, hlm.80.
I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. PT. Tryinco, 1997.

Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, (Rektama Media,
Bandung, 2008), hlm. 14

Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung:
Jakarta, 1988.

Ignatius Harianto, Indonesia Raya dibredel, Yogyakarta: LKIS, 2006,

P. Suwantoro dan Atmakusuma, Garis besar Kebijaksanaan.

Ryan Sugiarto, “Mengenal Pers INdonesia” (Pustaka Insan madani,


Yogyakarta,2008)
Sumber: Tribuna Said, Sejarah Pers Pembangunan dan Pers Pancasila, Haji Mas Agung:
Jakarta, 1988.
Sejarah Pers Pada Masa Pasca Revolusi
Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah Sejarah Pers dan Film
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sulasman M. Hum.

Disusun Oleh:
Arsi Kamilia Pratiwi 1155010022
Aditya Permana 1155010007
Ahmad Mubarok 1155010012

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2015-2016

Anda mungkin juga menyukai