Anda di halaman 1dari 2

Kehidupan sehari-hari bila digambarkan dengan perumpamaan merupakan suatu meja

perundingan yang besar, dan suka atau tidak, kita adalah salah satu pesertanya. Kita, sebagai
salah seorang individu, akan selalu menghadapi berbagai konflik dan atau perbedaan
kepentingan dengan pihak lainnya, seperti : para anggota keluarga, pesaing atau rekanan
bisnis, kerabat atau kelompok lainnya. Cara yang dipakai untuk menangani segala konflik,
tidak hanya menentukan kesejahteraan hidup, tetapi juga apakah mampu menikmati
kehidupan yang nyaman dengan sepenuhnya.

Cara yang dipakai tersebut dikenal dengan negosiasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), negosiasi didefinisikan (1) proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak
(kelompok atau organisasi) yang lain; (2) penyelesaian sengketa secara damai melalui
perundingan antara pihak yang bersengketa.

Di dalam negosiasi diperlukan informasi dan kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku ke
dalam suatu “jaringan yang penuh dengan tekanan”.

Jika kita mencari definisinya yang lebih luas, kita akan menyadari bahwa dalam
kenyataannya, selalu akan bernegosiasi setiap waktu, baik pada pekerjaan atau di dalam
kehidupan pribadi. Kepada siapa kita akan menggunakan informasi dan mempengaruhi
tingkah laku di luar pekerjaan? Suami bernegosiasi dengan istri dan anak-anaknya, demikian
sebaliknya. Kebanyakan dari negosiasi yang ‘gagal’ sering terjadi dalam suatu keluarga,
karena para orangtua dan anak-anak sering tidak mengetahui bahwa mereka sebenarnya
saling ‘terlibat’.

Sebagai contoh, anak bungsu saya, berusia hampir 3 tahun. Kesukaanya makan es krim.
Suatu ketika, ia mengajak saya ke mini market untuk membeli es krim. Saya bersedia, dengan
kesepakatan bahwa hanya akan membeli 1 buah es krim. Sampai di mini market, si bungsu
langsung berlari ke tempat penyimpanan es krim dan memilih es krim kesukaannya. Ternyata
yang diambil bukan 1 tapi 2.

“Yah, boleh yang ini?’’ tanya si bungsu.

“Boleh, tapi kok ngambilnya 2? Kan tadi bilangnya cuma 1?” sahut saya sambil tersenyum.

“Iya, yang 1 dimakan sekarang, yang satunya lagi buat besok, boleh ya Bun?” kata si bungsu
sambil merajuk ke Bundanya, meminta bantuan. Saya tersenyum lebih lebar dan dalam hati
berkata luar biasa, bahkan anak kecil pun sudah memiliki kemampuan alamiah untuk
bernegosiasi.

Apa yang dilakukan anak bungsu saya pada saat itu adalah menggunakan informasi dan
kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku kami. Dia adalah negosiator, setidaknya terhadap
orangtuanya.

Dalam negosiasi harus mengandung : informasi, waktu dan kekuatan. Informasi, pihak lain
sepertinya lebih tahu tentang kebutuhan daripada pengetahuan kita, tentang mereka dan
kebutuhannya. Waktu, pihak-pihak merasa di bawah tekanan dari jenis organisasi yang sama,
ketidakleluasaan waktu, dan tenggang waktu yang terbatas seperti yang kita rasakan.
Kekuatan, pihak lain selalu terlihat mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang lebih dari apa
yang kita bayangkan.

Kekuatan merupakan satu kesatuan dari letupan-letupan pikiran, yaitu suatu kapasitas atau
kemampuan untuk membuat apa yang kita inginkan dapat terlaksana, dan untuk berlatih
mengendalikan orang, peristiwa, segala situasi dan diri sendiri. Bagaimanapun, semua
kekuatan berdasarkan pada persepsi. Jika berpikir kita akan mendapatkannya, maka kita akan
mendapatkannya. Pendek kata, kita mempunyai kekuatan lebih jika percaya bahwa kita
memiliki kekuatan dan melihat semua usaha keras sebagai suatu bentuk negosiasi.

Referensi :

Herb Cohen, 2003. Negosiasi untuk Segala Situasi. Semarang : Dahara Prize

Anda mungkin juga menyukai