PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang
mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata
sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta
budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu
menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindarkan
dan selalu akan terjadi. Lembaga sebagai bagian dari proses perkembangan manusia juga
tidak terlepas dari berbagai macam konflik.
Ada dua macam konflik yang terjadi, yaitu konflik substantif dan konflik emosional.
Konflik subtantif (subtantive conflicts) meliputi ketidak sesuaian paham tentang hal-hal
seperti: tujuan-tujuan, alokasi sumber daya, kebijakan-kebijakan, serta penugasan-
penugasan. Sedangkan konflik emosional (emotional conflicts) timbul karena perasaan
marah, ketidak percayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-
bentrokan kepribadian. Kedua macam konflik ini akan selalu muncul pada setiap
organisasi.Meskipun demikian, konflik tidak perlu dihindari apalagi ditakuti. Konflik hanya
butuh penyelesaian yang baik, karena konflik apabila dikelola dengan benar justru berubah
menjadi kekuatan baru yang sangat besar dalam berinovasi serta sangat potensial untuk
pengembangan sebuah organisasi. Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan
reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses
yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun
pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan intrepretasi.
Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah
informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif antara pelaku
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil
para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil tertentu
yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat,
atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerja sama dalam
memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan
oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik
menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka
mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Beberapa strategi mengatasi konflik antara lain adalah (1) Contending(bertanding); (2)
Yielding (mengalah); (3) Problem Solving (pemecahan masalah); (4)With Drawing (menarik
diri); dan (5) Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing pihak saling
menunggu langkah berikut dari pihak lain. Manajemen konflik sangat dibutuhkan oleh
organisasi atau sebuah lembaga untuk dapat mengembangkan dan mengarahkan organisasi ke
arah yang lebih baik, dengan timbulnya masalah akan dapat lebih mematangkan pemikiran
dalam organisasi atau lembaga.
Panti Asuhan Yatim Piatu Al Jihad merupakan lembaga otonum di bawah naungan
Yayasan Al Jihad Surabaya. Lembaga ini bergerak di bidang pelayanan sosial, pendidikan
dan keagamaan dengan mengambil segmen anak-anak yatim dan atau piatu sebagai peserta
didiknya. Anak-anak yang diasuh di lembaga ini ditempatkan dalam sebuah asrama dengan
beberapa kamar yang berukuran cukup besar dan berkapasitas 10 anak.
Anak anak yatim di Panti Asuhan Al Jihad mayoritas berasal dari dua pulau, yaitu Jawa
dan Sumatera, dengan jumlah 32 anak, 17 anak Yatim dan 15 anak tidak mampu. di mana
masing-masing membawa karakter yang berbeda, kebiasaan yang berbeda dan cara berbicara
yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan inilah yang ketika terjadi gesekan dalam pergaulan
sehari-hari sering kali menimbulkan kesalahfahaman dan melahirkan konflik. Pada
umumnya, anak-anak yatim di Panti Asuhan Al Jihad cenderung fanatik ras. Mereka yang
berasal dari Sumatera lebih memilih berteman dengan anak-anak yang berasal dari Sumatera
juga, begitu juga yang berasal dari Jawa. Kecenderungan yang salah ini kemudian
menciptakan kelompok-kelompok kecil di mana anggotanya hanya terdiri dari anak sesama
ras dengan pola yang sangat eksklusif. Kelompok ini akan memberikan perlawanan apabila
salah satu anggotanya berselisih dengan anak di luar kelompok mereka tidak perduli benar
atau salah.
Eksklusifisme kelompok ini jika dibiarkan begitu saja maka akan berdampak buruk
terhadap kemajuan organisasi atau lembaga dan kelangsungan program-perogram yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, perlu dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih positif, dengan tetap
‘melestarikan’ konflik tersebut sebagai stimulus.
Rumusan Masalah
Mempelajari tentang memanajeman konflik anak yang ada di Panti Asuhan Al Jihad
Surabaya.
Bagaimana penyelesaian konflik anak di Panti Asuhan Al Jihad Surabaya dengan pendekatan
manajemen konflik.
Mungkin ada benarnya kalau ada yang mengatakan bahwa konflik antar daerah yang
seringkali terjadi di lembaga pendidikan merupakan manifestasi kesalahpahaman akibat
lemahnya pemaknaan terhadap perbedaan. Perbedaan belum dipahami secara utuh sebagai
sebuah “rahmah”, tetapi justru dipersempit hingga menimbulkan pemaknaan eksklusif yang
memicu tumbuhnya sikap keangkuhan kelompok. Mereka yang tidak satu daerah dianggap
sebagai pihak lain yang mesti tidak dijadikan teman dan tidak jarang diikuti dengan aksi-aksi
agitasi dan provokasi. Imbas yang muncul dari situasi seperti itu adalah banyaknya anak yang
tidak tahu apa-apa, tetapi terlibat secara masif dalam kelompok yang justru merugikan
mereka sendiri.
Dalam konteks demikian, dibutuhkan pemaknaan secara utuh terhadap nilai-nilai
multikultural sejak dini, sehingga generasi masa depan negeri ini bisa memandang perbedaan
daerah sebagai satu kesatuan yang hanya dipisahkan oleh letak geografis dan tentunya
sebagai sebuah rahmah. Sampai kapan pun, akar konflik akan menjadi ancaman laten selama
nilai-nilai tidak ada pembinaan sejak dini terhadap urgensi multikulturalisme.
Salah satu upaya strategis yang bisa dilakukan untuk membangun pola fikir anak yang
“sadar budaya” semacam itu adalah penanaman nilai keberagaman melalui pendidikan
multikultural di lembaga pendidikan, dalam hal ini Panti Asuhan Al Jihad. Di tengah
kompleksnya persoalan-persoalan pendidikan seperti saat ini, memang bukan hal yang mudah
untuk merevitalisasi dan mengokohkan pendidikan multikultural dalam dunia persekolahan
kita. Banyak kalangan menilai, generasi Indonesia saat ini merupakan generasi yang tengah
mengalami gegar budaya.
Pendidikan multikultural, dengan demikian, tidak cukup menjadi tanggung jawab guru
mata pelajaran tertentu, tetapi perlu diimplementasikan secara integral ke dalam berbagai
materi pembelajaran yang relevan dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Tidak ada
salahnya, anak asuh diajak berdialog dan belajar menumbuhkan kepekaannya terhadap
masalah yang terjadi. Bagaimana respon dan sikap anak terhadap konflik yang terjadi bisa
dijadikan sebagai masukan berharga dalam proses pembelajaran berbasis pendidikan
multikultural.
Meskipun demikian, guru dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran
perlu memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa dikonstruksi
menjadi pengetahuan baru tentang nilai-nilai multikultural itu. Jika dikemas dalam proses
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi
generasi yang sadar budaya sehingga mampu menyandingkan keberagaman sebagai kekayaan
budaya bangsa yang perlu dihormati dengan sikap toleran, tulus, dan jujur.
Dalam hal ini berhasil tidaknya implementasi pendekatan manajemen konflik dalam
menyelesaikan konflik siswa yang ada di Panti Asuhan Al Jihad Surabaya dapat dilihat dari
perubahan sikap yang Nampak pada anak diamtaranya, perilaku, cara berinteraksi antara anak
yang satu dengan yang lainnya, dan tidak ada lagi kelompok-kelompok kecil diantara mereka.
Sehingga dapat dikatakan bahwa implementasi pendekatan manajemen konflik dalam
menyelesaikan konflik siswa di Panti Asuhan Al Jihad Surabaya dikatakan berhasil. Hal ini
dapat dilihat dari perubahan yang nampak dari, sikap, perilaku, interaksi antar teman dan
tidak adanya kelompok-kelompok kecil setelah mengetahui bagaimana mengelola konflik
dengan baik tanpa adanya perpecahan diantara mereka.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah di kemukakan pada bab
sebelumnya, maka gambaran dari “Manajemen Konflik dalam Menyelesaikan Konflik Siswa
di Panti Asuhan Al Jihad Surabaya” dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi di Panti Asuhan Al Jihad adalah:
a. Konflik antar individu, yaitu konflik yang terjadi antara siswa yang berada dalam satu
kelompok ataupun antara siswa yang berada pada kelompok yang berbeda.
b. Konflik individu dalam kelompok, yaitu ketidak sepakatan antara dua atau lebih
anggota kelompok.
2. Implementasi Pendekatan manajemen koflik dalam menyelesaikan koflik siswa di Panti
Asuhan Al Jihad adalah:
a. Konfrontasi: mempertukarkan pihak-pihak yang berkonflik sebagai pembelajaran.
b. Problem solving, digunakan untuk mengelola konflik antar individu dalam kelompok.