Anda di halaman 1dari 5

Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya

dalam kehidupan.

Problema keragaman serta solusinya dalam kehidupan


Keragaman masyarakat adalah suatu kenyataan sekaligus kekayaan dari bangsa.
Keragaman masyarakat Indonesia mempunyai cirri khas yang membanggakan kita.
Namun demikian, keragaman tidak serta merta menciptakan keunikan, keindahan,
kebanggaan, dan hal-hal yang baik lainya. Keragaman masyarakat memiliki cirri
khas yang suatu saat bisa berpotensi negative bagi kehidupan bangsa itu.

Van de Berghe sebagaimana dikutip oleh Elly M. Setiadi (2006) menjelaskan bahwa
masyarakat mejemuk atau masyarakat yang beragam selalu memiliki sifat-sifat
dasar sebagai berikut.

1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali


memiliki budaya yang berbeda.
2. Memiliki struktur sosial yang berbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat nonkomplementer.
3. Kurang mengembangkan consensus diantara para anggota masyarakat
tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4. secara relative, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi
5. adanya dominasi politij oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainya

Menyimak cirri-ciri diatas, maka keragaman masyarakat berpotensi menimbulkan


segmentasi kelompok, struktur yang terbagi-bagi, konsensus yang lemah, sering
terjadi konflik, integrasi yang dipaksakan, dan adanya dominasi kelompok. Tentu
saja potensi-potensi demikian adalah potensi yang melemahkan gerak kehidupan
masyarakat itu sendiri sehingga dapat memecah belah dan menjadi lahan subur
bagi konflik dan kecemburuan sosial.

Efek-efek negatif demikian di tingkat permukaan muncul dalam bentuk gesekan-


gesekan, pertentangan, dan konflik terbuka antarkelompok masyarakat. Pertikaian
antarkelompok masyarakat Indonesia sering sekali terjadi, bahkan di era reformasi
sekarang ini. Konflik itu bisa terjadi antarkelompok agama, suku, daerah, bahkan
antargolongan politik. Beberapa contoh, missal konflik di ambon tahun 1999,
pertikaian di sambas tahun 2000, dan konflik poso tahun 2002.

Konflik atau pertentangan sebenarnya terdiri atas dua fase, yaitu fase disharmoni
dan fase disintegrasi. Disharmoni menunjuk pada adanya perbedaan pandangan
tentang tujuan, nilai, norma, dan tindakan antarkelompok. Disintegrasi merupakan
fase dimana sudah tidak dapat lagi disatukan pandangan, nilai, norma, dan tindakan
kelompok yang menyebabkan pertentangan antarkelompok.
Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat Indonesia sesungguhnya bukan
disebabkan oleh adanya perbedaan atau keragaman itu sendiri. Adanya perbedaan
ras, etnik, dan agama tidaklah harus menjadikan kita bertikai dengan pihak lain.
Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antarbudaya daerah. Tidak adanya
komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok masyarakat dan budaya lain
inilah justru yang dapat menjadi pemicu konflik. Yang dibutuhkan adalah adanya
kesadaran untuk menghargai, menghormati, serta menegakkan prinsip kesetaraan
atau kesederajatan antarmasyarakat tersebut. Masing-masing warga daerah bisa
saling mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi.

Salah satu hal penting dalam meningkatkan pemahaman antarbudaya dan


masyarakat ini adalah sedapat mungkin dihilangkanya penyakit-penyakit budaya.
Penyakit-penyakit budaya inilah yang ditengarai bisa memicu konflik antarkelompok
masyarakat Indonesia. Penyakit budaya tersebut adalah etnosentrisme, stereotip,
prasangka, rasisme, diskriminasi, dan scape goating.

Etnosentrisme diartikan sebagai suatu kecenderungan yang melihat nilai atau norma
kebudayaanya sendiri sebagai suatu yang mutlak serta menggunakanya sebagai
tolak ukur kebudayaan lain. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk
menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya
sendiri.

Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori


yang bersifat subjektif, hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat
itu bisa sifat positif maupun negatif. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa
stereotip adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu
yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan
dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung
negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk
memberi “label” atau cap tertentu pada suatu kelompok. Dan yang termasuk
problema yang perlu diatasi adalah stereotip yang negative atau memandang
rendah kelompok lain. Konsep stereotip ini dalam bentuk lain disebut stigma atau
cacat. Stigmatisasi oleh kelompok lain cenderung negatif.

Prasangka pada mulanya merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada


pengalaman dan keputusan yang tidak teruji kebenaranya. Prasangka mengarah
pada pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap orang atau
sekelompok orang. Jadi, prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan
dalam berkomunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan
menentang pihak lain. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik
kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita
terhadap fakta dan nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi
seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan objektif, dan segala apa yang
dilihatnya akan dinilai secara negatif.

Rasisme bermakna anti terhadap ras lain atau ras tertentu diluar ras sendiri.
Rasisme dapat muncul dalam bentuk mencemooh perilaku orang lain hanya karena
orang itu berbeda ras dengan kita. Rasisme sebenarnya merupakan bentuk
diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan ras.
Diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat
dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya. Antara prasangka dan
diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan. Selama ada prasangka, disana
ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan, maka diskriminasi
mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang
memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat
istiadat, kebiasaan atau hokum.

Scape goating artinya pengkambinghitaman. Teori kambing hitam mengemukakan


kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggung jawabkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi
ekonomi di jerman, hitler mengkambinghitamkan yahudi sebagai penyebab rusaknya
sistem politik dan ekonomi di Negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, polandia
yang digunakan untuk membantai hamper 1,5 juta orang yahudi. Tua muda, besar
kecil, laki-laki perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang
dikumpulkan mencapai 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu dikirimkan ke jerman
untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa arya adalah bangsa
yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat
manusia. Bangsa arya (jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di
jerman ini disebabkan oleh bangsa yahudi.

Selain menghilangkan penyakit-penyakit budaya diatas, terdapat bentuk solusi lain


yang dapat dilakukan. Elly M. Setiadi dkk (2006) mengemukakan ada hal-hal yang
dapat dilakukan untuk memperkecil msalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif
dari keragaman, yaitu ;

1. semangat religious
2. semangat nasionalisme
3. semangat humanism
4. dialog antar umat beragama
5. membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi
hubungan antaragama, media massa, dan harmonisasi dunia.

Keterbukaan, kedewasaan sikap, pemikiran global yang bersifat inklusif, serta


kesadaran kebersamaan dalam mengarungi sejarah, merupakan modal yang sangat
menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa Indonesia yang menyatu dalam
keragaman, dan beragam dalam kesatuan. Segala bentuk kesenjangan didekatkan,
segala keanekaragaman dipandang sebagai kekayaan bangsa, milik bersama. Sikap
inilah yang perlu dikembangkan dalam pola fikir masyarakat kita.

2. Problem Kesetaraan serta Solusinya dalam Kehidupan


Kesetaraan atau kesederajatan bermakna adanya persamaan kedudukan manusia.
Kesederajatan adalah suatu sikap untuk mengakui adanya persamaan derajat, hak,
dan kewajiban sebagai sesame manusia. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan atau
kesederajatan mensyaratkan jaminan akan persamaan derajat, hak, dan kewajiban.
Indicator kesederajatan adalah sebagai berikut.
1. Adanya persamaan derajat dilihat dari segia agama, suku bangsa, ras,
gender, dan golongan.
2. Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang
layak.
3. Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba tuhan, individu, dan anggota
masyarakat.

Problema yang terjadi dalam kehidupan, umumya adalah munculnya sikap dan
perilaku untuk tidak mengakui adanya persamaan derajat, hak, dan kewajiban
antarmanusia atau antarwarga. Perilaku yang membeda-bedakan orang disebut
diskriminasi. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa
diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan,
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu kolektif dalam politik, ekonomi,
hokum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainya.

Diskriminasi bertolak belakang dengan prinsip kesetaraan, bahkan menjadi


problema utama terwujudnya kesetaraan dan kesederajatan manusia. Perilaku yang
tidak adil dan diskriminatif merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang
bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat Negara terhadap warga Negara, atau
sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga Negara sendiri). Oleh karena itu harus
ada upaya-upaya untuk menekan dan menghapus praktik-praktik diskriminasi
melalui perlindungan dan penegakkan HAM disetiap ranah kehidupan manusia.

Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009


memasukkan program penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai
program pembangunan bangsa. Berkaitan dengan ini, arah kebijakan yang diambil
adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk


ketidakadilan gender bahwa bahwa setiap warga Negara memiliki kedudukan
yang sama dimata hokum tanpa terkecuali.
2. Menerapkan hokum dengan adil melalui perbaikan system hokum yang
professional, bersih, dan berwibawa.

Penghapusan diskriminasi dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-


undangan yang anti diskriminatif serta pengimplementasian di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai