Anda di halaman 1dari 7

MATERI III

PRINSIP-PRINSIP DASAR LOGIKA DAN SYARAT BERPIKIR LOGIS

Sasaran Pembelajarean:

1. Mahahsiswa mampu menjelaskan pengertian berfikir

2. Mamahsisiwa mampu menjelsakan prinsip-prinsip berfikir logis, teori kausalitas dan


syarat atau kelengkapan berfikir benar (logis)

A. Pengertian berpikir dan Konsep Berfikir


1. Pengertian berpikir
Devinisi berfikir yang paling umum adalah berkembngnya ide dan konsep
(Bochenski) dari Suriasumantri ( ed), 1983 ;52 didalam diri seseorang. Penkembangan
ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-
bagian infarmasi yang tersimpan dalam diri seseorang yang berupa pengertian-
pengertian. “ berfikir” menvcakup banyak aktivitas mental. Kita berfikir saat
memutuskan barang apa yang akan kita beli di tiko. Kita berfikir saat melamunsambil
menunggu kuliah psikologi umum dimulai. Kita berfikirsat mencoba memecahkan
ujian yang diberikan di local. Kita berfikir saat menulis artikel, makalah, surat,
membaca buku, membaca Koran, merencanakan liburan, atau menghawatirkan suatu
persahabatan yang terganggu.
Berfikir adalah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan sesuatu
yang menjadi ia tahu atau ssuatu kegiatan yang melibatkan otak kita bekerja. Symbol-
simbol yang digunakan dalam berfikir pada umumnya adalah mengguanakan kata-
kata, bayangan atau gambaran dan bahasa. Namun, sebaguian besar dalam berfikir
orang kebanyakan lebih sering menggunakan bahasa atau verbal kenapa, karena
bahasa meruopakan alat penting dalam berfikir.
Seperti yang diaparkan diatas yaitu dalam proses berfikir ada konsep yang harus
kita ketahui.

2. Konsep Berpikir
Tentu tidak semua berfikir menghasillkan kebangkitan. hanya proses berfikir
yang hakiki saja yang menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak
memperhatikan apakah yang dilakukannya dalam berfikir merupakan hal yang esensi,
prinsip, atau praktis. Ketiganya tentu berbeda
a. Esensi
Pada hakikatnya seseorang berpikir secara esensi (inti) terlebih dahulu. tanpa
berpikit hal yang esensi maka tidak akan berujung pada kebenaran apalagi
kebangkitan. pemikiran yang esensi dalam kehidupan ini adalah untuk menjawab
sebuah pertanyaan dasar, "untuk apa kita berada di dunia ini?", Juga pertanyaan
aasasi "Dari mana asal kita dan mau kemana kita setelah mati?", pertanyaan-
pertanyaan itulah yang harus dijawab. dari awal pertanyaan tadi akan berkembang
pemikiran esensial tersebut bahwa sesungguhnya keberadaan kita di bumi ini
adalah untuk mengabdi kepada Tuhan ala semesta ini. keberadaan kita di muka
bumi sebagai Khalifatullah. Oleh karena itu, manusia sebelum berkiprah di dunia
harus melakukan perenungan, tafakur, dan berpikir mengenai hal yang esensi ini.
dalam ajaran islam, hal yang esensi adalah aqidah. keimanan terhadap Tuhan.
keyakinan inilah yang menjadi pendorong seseorang dalam berpikir dan bertindak
selanjutnya. keimanan juga menjadi dasar bagi setiap muslim dalam beraktivitas.
b. Prinsip
Setelah berpikir tentang hal yang esensi maka selanjutnya barulah kita
melangkah menuju suatu prinsip. sebuah prinsip berbeda dengan esensi. prinsip
adalah hal yang membatasi esensi. sesuatu yang esensi adalah sebuah inti. tanpa
suatu pembatas maka ia bukan lagi sebuah esensi (inti). pembatas dari inti adalah
suatu prinsip, jika esensi itu satu (karena ia adalah inti) makaprinsip bisa beberapa
(namun tidaklah banyak). Berpikir tentang hal-hal prinsip juga penting. sebab hal
itu menjadi penjabaran dari hal yang esensi. seseorang yang berpikir dalam
kerangka Islam, ia akan melihat masalah aqidah adalah hal yang esensi. sedangkan
rukun iman dan rukun Islam adalah prinsip yang harus dijalankan. juga ilmu ushul
fiqih (ilmu mengenai dasar agama Islam) adalah hal-hal prinsip yang merupakan
pokok dari ajaran Islam. kaidah tersebut merupakan rumus dari penjaabaran
aqidah maupun ajaran Islam. Seseorang kadang sudah memahami hal yang esensi
tapi gagal dalam menerjamahkan suatu prinsip. kadang prinsip yang dijabarkan itu
melenceng dari esensinya. sebuah contoh konkret yang sekarang ini berkembang
adanya asas pluralitas dalam beragama. seorang yang berpikir sistematik akan
menyadari bahwa puncak segitiga adalah satu, yaitu hal yang esensi. oleh karena
itu, hal yang esensi tersebut sebagaimana dijelaskan bahwa hal itu adlah inti,
adalah satu pula. sebuah kebenaran tentang hal esensi adalah tunggal yaitu
keesaan Allah SWT. di atas sudah dijelaskan bahwa hal yang esensial adalah aqidah
Islam. aqidah Islam adalah keimanan bahwa Tuhan adalah satu, yaitu tauhiid.
namun demikian, ada pula kalangan yang menganut ajaran Islam yang berarti
tauhiid, menganut pula prinsip pluralisme yang menyatakan semua agama adalah
benar. di atas engakui hanya satu, kemudian dibawah mengakui yang lainnya juga.
pluralisme memang baik tapi bukan untuk masalah aqidah atau hal yang esensial,
seperti keyakinan terhadap suatu agama. orang yang berprinsip pluralisme dalam
beragama gagal membuat prinsip yang menjabarkan esensi dala sistem berpikirnya.
c. Praktis
Setelah berpikir maslah prinsip,seesorang bisa memikirkan masalah-masalah
praktis, berdasarkan hal yang esensi dan prinsip tersebut. hal yang praktis banyak
sekali dan merupakan penjabaran dari esensi maupun prinsip. jumlahnya bisa tidak
terbatas tapi tidak lepas dari koridor segitiga di atas. dalam ajaran islam, hal-hal
praktis merupakan kajian fiqih mengenai perbuatan seseorang. disana akan dibahas
perbuatan-perbuatan yang wajib, sunnah, mubah, haram dan juga makruh. tak
ketinggalan masalah akhlal atau perbuatan moral yang sesuai dengan kaidah islami.
Dengan menjalankan sistematika berpikir ini maka seseorang akan mudah dalam
menjalankan kehidupannya. tidak terombang ambing oleh suasana kehidupan.
Pemikirannya fokus tidak kesana kesini tanpa arah. juga akan mudah
menyelesaikan problematika hidup. yaitu dari hal-hal yang praktis ditarik kepada
masalah prinsip dan kemlbali kepada sesuatu yang esensi. seorang muslim yang
tahu akan potensi ini sudah seyogianya mengacu kepada sistem berpikir seperti ini.
demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat serta generasi
pertama dulu sehingga mereka menjadi bangsa yang memimpin dunia.

B. Prinsip-prinsip berfikir logis


Prinsip-prinsip logika memiliki tiga prinsip yang kemudian ditambah satu sebagai
pelengkap. Prinsip logika dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang
mengandung kebenaran universal yang kebenerannya itu sudah terbukti dengan
sendirinya. Prinsip berpikir ini berfungsi sebagai dasar bagi semua pembuktian.
Tokoh Aristoteles mengemukakan tiga buah prinsip atau asas berpikir. Prinsip logika
yang dimaksudkan adalah prinsip indentitas, prinsip nonkontradiksi , dan prinsip
ekskulasi tertii, dan sebagai tambahan pelengkap prinsip indentitas adalah prinsip
cukup alasan (asas yang mencukupkan) oleh tokoh filsuf Wilhelm Libitz yang
beraliran rasionalis.

1. Prinsip indentitas
Menyatakan : “sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri”. Sesuatu yang
disebut p maka ssama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain.
2. Prinsip nonkontradiksi
Prinsip nonkontradiksi menyatakan: “sesuatu tidak mungkin merupakan hal
tertentu dan bukan hal tertentu dalam satu kesatuan”, prinsip ini menyatakan
juga bahwa dua sifat yang berlawanan penuh ( secara mutlak ) tidak mungkin ada
pada suata benda dalam waktu dan tempat yang sama. Dalam penalaran
himpunan prinsip nonkontradiksi sangat penting, yang dinyatakan bahwa sesuatu
hal hanyalah menjadi anggota himpunan tertentu dan bukan anggota himpuna
tersebut, tidak dapat menjadi anggota 2 himpunan yang berlawanan penuh.
Prinsip nonkontradiksi memperkuat prinsip identitas, yaitu dalam sifat nyang
konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya.
3. Prinsip exklusi tertii
Prinsip eksekusi tertii menyatakan bahwa “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal
tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang
merupakan jalan tengah”. Prinsip eksklusi tertii menyatakan bahwa dua sifat yang
berlawanaan penuh ( secara mutlak ) tidak mungkin kedua-dua nya dimiliki oleh
suatu benda, mesti hanya salah satu yang dapat dimilikinya sifat p atau non p.
Prinsip ketiga ini memperkuat prinsip indentitas dan prinsip nonkontradiksi, yaitu
dalam sifat yang konsisten tidak ada kontradiksi di dalamnya, dan jika ada
kontradiksi maka tidak ada sesuatu didalamnya sehinga hanyalah salah satu yang
diterima.

4. Prinsip cukup alasan (asas mencukupkan)

Prinsip cukup alasan menyatakan: “sesuatu perubahan yang terjadi pada sesuatu
hal tertentu pastilah berdasarkan alasan yang cukup tidak mungkin tiba-tiba
berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Prinsip cukup alasan ini
dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak langsung
menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, tetap sebagai
mana benda itu sendiri jika terjadi sesuatu perubahan maka perubahan itu
mestilah ada.

C. Syarat atau kelengkapan berfikir benar (logis)


1. Pengertian Berpikir Ilmiah
Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan
penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk
menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan
simpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki. Menurut
Suriasumantri manusia tergolong ke dalam homo sapiens, yaitu makhluk yang
berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek
kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.
Berpikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan
ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan
mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan generalisasi.
Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil
kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan
gejala alam. Adapun pengetahuan adalah keseluruhan hal yang diketahui, yang
membentuk persepsi tentang kebenaran atau fakta. Ilmu adalah bagian dari
pengetahuan, sebaliknya setiap pengetahuan belum tentu ilmu.
Untuk itu, terdapat syarat-syarat yang membedakan ilmu (science)
dengan pengetahuan (knowledge), yaitu ilmu harus ada obyeknya,
terminologinya, metodologinya, filosofinya, dan teorinya yang khas. Di samping
itu, ilmu juga harus memiliki objek, metode, sistematika, dan mesti bersifat
universal.
Dalam menghadapi bermacam masalah kehidupan di dunia ini, manusia
akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasi masalahnya. Alat dalam hal
ini adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasaannya secara
filosofis tentang masalah yang dihadapi. Pikiran atau akal yang digunakan
mengatasi masalah ini senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu harus
mempunyai kerangka berpikir ilmiah karena tidak semua berpikir itu bisa
diartikan berpikir secara ilmiah.

2. Sarana Berpikir Ilmiah

Manusia disebut sebagai homo faber yaitu makhluk yang membuat alat;
dan kemampuan membuat alat dimungkinkan oleh pengetahuan.
Berkembangnya pengetahuan juga memerlukan alat-alat. Sarana merupakan
alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan
sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan
fungsinya secara baik, dengan demikian fungsi sarana ilmiah adalah membantu
proses metode ilmiah, bukan merupakan ilmu itu sendiri.
Dalam proses penelitian harus memperhatikan dua hal, pertama sarana
berpikir ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, tetapi merupakan kumpulan
pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua tujuan
mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan menelaah
ilmu secara baik. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
sarana berpikir ilmiah adalah alat berpikir dalam membantu metode ilmiah
sehingga memungkinkan penelitian dapat dilakukan secara baik dan benar.
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai
dengan atura-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari
pada satu.
Dalam penelitian ilmiah terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui
cara kerja logika yaitu adalah induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara
penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan
yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif adalah cara penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang
bersifat khusus sesuai fakta di lapangan.

3. Logika Dalam Berpikir Ilmiah


Logika berasal dari kata Yunani Kuno (logos) yang berarti hasil
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (latin: logica
scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan
untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada
kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada
kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan.
Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Nama ‘logika’ untuk pertama kali muncul pada filsuf Cicero (abad ke-1
sebelum masehi), tetapi masih dalam arti ‘seni berdebat’. Alexander
Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah masehi) adalah orang yang
pertama kali menggunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus
tidaknya pemikiran kita.
Logika adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan
tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat
mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-
aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil
keputusan. Logika sama tuanya dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu
ada, manusia sudah berpikir, manusia berpikir sebenarnya logika itu telah ada.
Hanya saja logika itu dinamakan logika naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan
fitrah manusia saja.
Manusia walaupun belum mempelajari hukum-hukum akal dan kaidah-
kaidah ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur. Akan tetapi,
bila manusia memikirkan persoalan-persoalan yang lebih sulit maka seringlah
dia tersesat. Misalnya, ada dua berita yang bertentangan mutlak, sedang
kedua-duanya menganggap dirinya benar. Dapatlah kedua-duanya dibenarkan
semua? Untuk menolong manusia jangan tersesat dirumuskan pengetahuan
logikalah yang mengetengahinya.

D. Teori kausalitas
kausalitas merupakan salah satu kebenaran yang diakui dan disetujui manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap sesuatu
memiliki sebab. Kausalitas termasuk diantara prinsip-prinsip yang niscaya lagi
rasonal. Prinsif kausalitas dalam perspektif filsafat Islam, telah memberikan porsi
yang jelas terhadap prinsip tersebut.
Kausalitas adalah sebab akibat sebagai keadaan berhubungan. Sebagai contoh
kertas terbakar disebabkan oleh api yang membakarnya, akibat dari adanya api
membakar kertas jadi kertas jadi terbakar. Menurut fisika, sebuah benda yang
bergerak dalam garis lurus akan tetap dalam keadaan bergerak tersebut, kecuali
jika dipengaruhi oleh kekuatan dari luar. Dua hal perlu ditunjukkan: (1)
dimungkinkan adanya perubahan tempat tanpa adanya sebab dari perubahan itu.
Sebab itu diperlukan untuk menimbulkan suatu corak perubahan tempat yang
berlainan atau untuk membatalkan gerakan tersebut. (2) Dalam hal ini yang
merupakan sebab tersebut ialah kekuatan dari luar, ini merupakan gagasan yang
sama, yang benar hanya bagi corak-corak sebab tertentu tetapi tidak dari sebab-
sebab yang lain.
Sebab ialah suatu yang berhubungan dengan suatu macam perubahan. Ada
banyak macam sebab, misalnya gagasan-gagasan menyebabkan terjadinya
sesuatu, kuman-kuman menyebabkan penyakit, api menyebabkan terbakar,
Sesuatu yang dihasilkan oleh sebab dinamakan akibat, dan sebagainya.
Kausalitas menyatakan hubungan yang niscaya (necessary) antara satu kejadian
(cause) dengan kejadian lainnya (effect) yang adalah konsekuensi langsung dari
yang pertama. Ini adalah pengertian sehari-hari. Dalam filsafat, diskusi mengenai
kausalitas tidak menjadi jelas dengan sendirinya. Diskusi panjang tentang kausalit
ditarik kembali ke masa Aristoteles.

Bagi Aristoteles, dalam kejadian mengoperasikan 4 penyebab, yakni penyebab


efisien, penyebab final, penyebab material, dan penyebab formal.

Dalam penyebab efisien (causa efficiens), sumber kejadian menjadi faktor yang
menjalankan atau menggerakkan kejadian. Dalam penyebab final (causa finalis),
tujuanlah yang menjadi sasaran sebuah kejadian. Dalam penyebab material
(causa materialis), bahan dari mana benda tertentu dibuat menjadi penyebab
kejadian. Sementara dalam penyebab formal (causa formalis), bentuk tertentu
ditambahkan pada sesuatu sehingga sesuatu itu memiliki bentuk tertentu.

Misalnya, seorang tukang kayu mengubah kayu menjadi kursi. Sang tukang kayu
adalah penyebab efisien. Dia mengubah kayu menjadi kursi yang tujuan finalnya
adalah sebagai tempat duduk. Kayu adalah penyebab material. Sementara itu,
bentuk kursi yang semula ada dalam pikiran sang tukang kayu (penyebab formal),
kini telah ditranformasikan ke dalam materi tertentu yang disebut kursi (yang
nyata sebagai materi).

Aristoteles sangat yakin, bahwa kausalitas ada dalam setiap kejadian atau
perubahan. Bagi dia, setiap perubahan atau kejadian terjadi karena tiga faktor,
yakni ada sesuatu yang tetap (substratum), ada keadaan sebelumnya, dan ada
keadaan kini.

Anda mungkin juga menyukai