Anda di halaman 1dari 3

Nama : Itania Indrawati

NIM : 200710101265

Mata Kuliah : Hukum Islam

Kaidah-kaidah cabang yang disepakati ulama 5

(Pengikut itu adalah pihak yang mengikuti)

Kaidah dapat diartikan sebagai patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam
bertindak. Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur perilaku manusia dan
perilaku sebagai kehidupan bermasyarakat. Kaidah fiqhiyyah merupakan hasil kreasi berpikir
ulama dengan bimbingan nash dalam melihat dan mencermati sejumlah persoalan-persoalan
fikih dan sekaligus menjadi salah satu solusi permasalahan hukum yang terus berkembang dari
waktu ke waktu.

Para ulama fikih telah menyepakati adanya kaidah yang dikategorikan kaidah pokok atau kaidah
dasar yang hakikatnya dapat menjadi induk dari sejumlah kaidah yang dikategorikan kaidah
cabang (furu’iyah). Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyah merupakan kaidah-kaidah yang
dikategorikan sebagai kaidah yang berada di luar kaidah pokok. Sementara kaidah ini juga
sering disebut sebagai kaidah cabang (terjemahan kata far’un) dari kaidah pokok tersebut.

Pada pembahasan ini akan dijelaskan salah satu dari kaidah-kaidah fiqih cabang yang disepakati
ulama yaitu “Pengikut itu adalah pihak yang mengikuti”

“Pengikut itu adalah pihak yang mengikut” (as-Suyuthi. t.t: 81)

Maksud dari kaidah tersebut yaitu hukum yang ada pada yang diikuti (Matbu’) diberlakukan
juga pada yang mengikuti (Tabi’). Dari kaidah di atas, maka dapat dicontohkan sebagai
berikut:

Seseorang yang membeli kambing yang sedang hamil, janinnya termasuk dalam yang
diperjualbelikan tersebut. Membeli sebidang tanah berarti juga pepohonan yang ada
diatasnya telah terbeli. Sumber air minum dan jalan termasuk dalam tanah yang diperjual
belikan sebagai item ikutan jika memang dijelaskan pada saat transaksi sebab keduanya
termasuk diantara hak bersama (common right) yang telah dikenal luas.

Berkaitan dengan kaidah yang sudah dijelaskan di atas, adapun ditemukan kaidah:

“Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti.” (as-Suyuthi. t.t: 81)
Maksudnya yaitu hukum yang mengikuti (Tabi’) menjadi gugur atau tidak ada lagi, manakala
hukum yang diikuti (Matbu’) telah gugur. Dari kaidah di atas, dapat dicontohkan sebagai
berikut:

1. Orang gila tidak wajib menunaikan shalat fardhu, karena tidak memenuhi syarat taklif. Oleh
karena itu, ia juga tidak disunnatkan shalat sunnat rawatib. Gugurnya shalat sunnat (Tabi’)
dikarenakan telah gugurnya shalat wajib (Matbu’).

2. Orang yang terlambat wuquf di ‘Arafah, ia harus tahallul dengan mengerjakan amalan
‘umrah (thawaf, sa’i, dan mencukur rambut; bukan tahallul dengan melempar jumrah dan
bermalam (mabit) di Mina. Alasanya, karena melempar jumrah dan mabit adalah perkerjaan
yang mengikuti wukuf (tabi’), sedangkan wukufnya (matbu’) telah gugur. sehingga membasuh
bagian-bagian yang berkaitan dengan muka itu (tabi’) juga gugur. Kendatipun demikian,
dikecualikan pada kasus lengan yang putus sampai sebatas siku. Dalam hal ini, membasuh
bagian atas siku masih tersisa tetap disunnatkan demikian juga orang yang sedang ihram,
yang kepalanya botak tidak berambut sama sekali, masih disunatkan mencukur rambut secara
simboliis dengan menggerakkan pisau cukur di atas.

“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti” (as-Suyuthi. t.t: 82)

Dari kaidah di atas dapat di contohkan:

1. Bahwa seorang makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat berdirinya,
takbiratul ihram, atau salamnya, termasuk semua gerakan gerakan shalat lainya.

2. Ketika shalat berjamaah yang shaf-nya banyak sekali, biasanya memerlukan seorang
makmum sebagai penyambung (muballigh) antara imam dengan makmum di shaf-shaf bagian
belakang. Maka makmum-makmum lain tidak boleh mendahului takbiratul ihramnya makmum
yang bertugas sebagai penyambung atau muballigh tersebut.

Berkaitan dengan kaidah diatas, adapun kaidah sebagai beriukut:

“Dapat dimaafkan dalam hal-hal yang mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainya”. (as-
Suyuthi. t.t: 83)

Kaidah tersebut sejalan dengan kaidah:

“Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak dimaafkan bagi yang memulai” (as-Suyuthi. t.t: 83)

Dari kaidah di atas dapat dicontohkan:

1. Serambi masjid adalah bagian yang tak terpisahkan dari masjid, namun dalam hal I’tikaf
tidak termasuk sebagai masjid, sehingga tidak sah i’tikaf di sana.
2. 1 syawal yang berdasar ru’yat harus ditetapkan dengan kesaksian dua orang saksi. Tetapi
bila berpuasa Ramadhan dengan dasar ru’yat setelah tiga puluh hari berpuasa, maka
keesokan harinya harus berhari raya walaupun tanpa ru’yat.

Anda mungkin juga menyukai