Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQIH KEUANGAN

Ta’arudh Dan Tajrih Dalam Aplikasi Ekonomi Syariah

DOSEN PENGAMPU :

Sarwedi Hasibuan, Lc, Phd

Disusun Oleh Kelompok 6:

Eri (0506183002)

Nanda Pratama Muzri Nst (0506183056)

Lily Nur Indahsari (05061830)

Silfira Ayu Ningsi P (0506183004)

Yuliana Saputri (0506183019)

MANAJEMEN VI B

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ta’arudh Dan Tajrih
Dalam Aplikasi Ekonomi Syariah” tepat pada waktunya. Kami mengucapkan terima kasih
kepada dosen mata kuliah ini yang telah membimbing dan memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pemahaman tentang Ijtihad. Terima kasih pula kami ucapkan kepada teman-teman
yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, kami
menyadari, bahwa masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini.Hal ini
karena keterbatasan kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis senantiasa menanti kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna penyempurnaan makalah ini. Sekali
lagi, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Medan, 18 Juli 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..1
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………...1
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………....3
A. Defenisi Ta’arudh Al-Adillah………………………………………………………………....3
B. Defenisi Tajrih……………………………………………………………………………….5
C. Pemecahan Masalah Ta’arudh Al-Adillah……………………………………………………..6
D. Aplikasi Ta’arudh Al-Adillah dalam Ekonomi Syariah………………………………………...10
BAB III PENITUP………………………………………………………………………………….13
A. Kesimpulan………………………………………………………………………………….13
B. Saran………………………………………………………………………………………...13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………….14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam
kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan
manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya
juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang
menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Ta’arudh al-adillah adalah suatu istilah yang dijumpai dalam Ilmu Ushul Fiqh. Secara
etimologi ta’arudh yaitu saling bertentangan atau pertentangan antara dua perkara.
Adapun Ta’arudh al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah Berhadap-
hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan. Sebenarnya, tidak ada dalil nash
yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin
terjadi pada dalil -dalil yang qath’I maupun zanni. Dalam keberangsuran turunnya wahyu
ditemukan adanya dalil-dalil yang terkesan bertentangan antara yang satu dengan yang
lainnya (ta’arudh al-adillah).
Hal ini sering dijadikan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang ingin menyesatkan
umat Islam. Misalnya dengan menganggap perbedaan pendapat (penyimpangan
pendapat) sebagai hal yang juga ditemukan dalam tasyri’ hukum Islam. Untuk itu, kita
harus mengetahui bagaimana melihat konteks yang bertentangan tersebut. Hal inilah yang
mendorong penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul“Ta’arudh al -adillah”.
Selain itu, makalah ini ditulis juga di latar belakangi untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh II
di mana penulis ditunjuk untuk menyajikan makalah dengan judul tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Apa Yang Di Maksud Ta’arudh ?
2. Jelaskan Apa Yang Di Maksud Dengan Tarjih?
3. Bagaimana Pemecahan Masalah Ta’arudh Al-Adillah
4. Bagaimana Aplikasi Ta’arud Al-Adillah dalam Ekonomi Syariah

1
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Apa Yang Di Maksud Ta’arudh ?
2. Mengetahui Apa Yang Di Maksud Dengan Tarjih?
3. Mengetahui Pemecahan Masalah Ta’arudh Al-Adillah
4. Mengetahui Aplikasi Ta’arud Al-Adillah dalam Ekonomi Syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ta’arudh Al-Adillah


Term ta’arud secara etimologi berarti pertentangan, sementara al-adillah adalah
bentuk plural dari dalil yang berarti alasan, argument dan bukti. Secara sederhana ta’arud
al-adillah dapat dipahami sebagai pertentangan di antara dalil-dalil yang ditemukan para
mujtahid. Menurut Khallaf, yang perlu diperhatikan dalam memahami ta’arud al-adillah,
bahwa tidak terdapat kontradiktif yang sebanarnya antar dua ayat atau antar dua Hadist
yang masing-masing derajat kevalidannya sama kuat. Jika kelihatannya ada kontradiksi
antara dua dalil sejatinya yang kontradiktif itu hanya lahirnya saja yang dipikirkan oleh
akal mujtahid. Hal ini karena tidak mungkin Allah mengeluarkan dua hukum yang saling
bertentangan dalam waktu dan peristiwa yang sama.
Sementara ta’arud secara terminologi menurut para pakar ushul fiqh memiliki
beragam definisi yang secara substantive dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Menurut Imam al-Syaukani. Ta’arud adalah suatu dalil yang menentukan hukum
tertentu terhadap persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda
dengan dalil tersebut.
2. Menurut Sa’d al -Din al-Taftazi. Ta’arud al-adillah adalah pertentangan antara dua
dili yang tidak mungkin dikompromikan antara keduanya.
3. Menurut Ali-Hasballah. Ta’arud al-Adillah adalah terjadinya pertentangan hukum
yang terkandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ta’arud merupakan pertentangan
kandungan dua dalil dalam suatu masalah yang sama, dengan derajat kekuatan dalilnya
sama, serta kontradiksinya tersebut hanya bersifat semu, karena keterbatasan dalam
memahami kedua dalil tersebut. Oleh karena itu, menurut Abu Zahrah dalam bukunya,
jika secara lahiriah terdapat dua teks yang bertentangan, maka wajib mengadakan
penelitian mendalam dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengimpromikan kedua dalil
tersebut secara teliti. Imam Asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil
adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qathi’

3
(dianggap kebenarannya secara pasti) maupun pada dalil yang zahanni (kebenarannya
dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat.
Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitas-nya berbeda, maka
diambil yang lebih kuat kualitasnya. Misalnya Al-Quran dengan Hadis ahad, maka yang
diambil adalah Al-Quran. Kontradiksi antar dalil ini, bisa terjadi antara ayat dan ayat,
hadist dan hadist, qiyas dan qiyas dan lain sebagainya. Agar lebih jelas berikut gambaran
bentuk kontradiktif secara dhahir antara dua dalil yang sederajat kualitasnya. Allah
berfirman dalam QS. al-Baqarah / 2:234 yang artinya : “Suami yang meninggal dunia dan
meninggalkan istri, maka hendaklah istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) empat
bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah 2;234) Ayat yang lain, Allah berfirman dalam QS.
at-Tqlaaq (65:4) yang artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah
mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS at-Talaq (65:4) Sekilas dua
ayat di atas saling kontradiktif. Ayat pertama menunjukkan massa iddah wanita yang
ditinggal suaminya wafat adalah empat bulan sepuluh hari. Sementara ayat kedua, iddah
wanita tersebut adalah sampai melahirkan. Akan tetapi, jika diamati lebih teliti sejatinya,
kedua ayat tersebut dapat dikompromikan. Misalnya, jika istri yang ditinggal suaminya
sedang hamil, maka hendaknya ber-iddah dengan salah satu tempo yang lebih lama dari
ketentuan di atas (antara sampai melahirkan atau empat bulan sepuluh hari). Seandainya
istri itu melahirkan kandungannya sebelum empat bulan sepuluh hari dari tanggal wafat
suaminya, maka ia harus menanti (beriddah) sampai sempurna empat bulan sepuluh hari.
Sementara apabila empat bulan sepuluh hari ia belum juga melahirkan, maka iddah-nya
sampai wanita tersebut melahirkan. Contoh lain, bentuk kontradiksi dalil dari dua Hadis
yang derajatnya sama-sama kuat dari segi kualitasnya. Hadis tentang riba yang Nabi
pernah bersabda : “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang
piutang)” (HR Bukhari).
Hadis ini secara eksplisit menyatakan bahwa tidak ada riba selain riba nasi’ah,
padahal realitanya ada riba selain itu. Sementara ada Hadis lain : Nabi juga bersabda :
“Jangan kalian jual gandum dengan gandum kecuali dalam takaran yang sama” (HR
Bukhari). Hadis ini menunjukkan larangan transaksi jual beli dengan jenis komoditas
yang sama tetapi volumenya berbeda, karena itu termasuk riba fadhl.

4
B. Definisi Tarjih
Secara etimologi tarjih berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminology ada
dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
a. Menurut ulama Hanafiah
Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (
sederajat ), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
b. Menurut jumhur ulama
Menguatkan salah satu dalil yang dhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (
diterapkan ) berdasarkan dalil tersebut.”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya tarjih adalah menguatkan salah
satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih mana dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang
berlawanan. Tarjih digunakan sesudah tidak dapat lagi ditetapkan hukum dengan jalan
jama’. Contohnya, sebagaimana kita dapati hadis yang menurut lahirnya berlawanan
sebagai berikut:
1. Dari ibnu abbas bahwa ia pernah berkata:”Rasulullah saw. Telah menikahi
maimunah,saat nabi saw.dalam keadaan ihrom haji” .(H.R. muslim)
2. Dari yazid ibn al-Asham,ia berkata:”maimunah binti al-harits telah menceritakan
padaku bahwa Rasulullah saw.menikahinya saat beliau dalam keadaan halal(tdak
dalam ibadah haji)” .(H.R.Muslim)
Kedua riwayat tersebut kelihatannya bertentangan, pada riwayat pertama,nabi
nikah dalam keadaan ihrom haji, sedang pada riwayat kedua,beliau menikah pada saat
tidak menjalankan ibadah haji. Untuk menentukan mana yang lebih kuat dari dua riwayat
ini perlu mengunakan jalan tarjih.sebelum melakukan tarjih perlu diketahui syarat-
syaratnya:
1. Yang menjadi soal itu satu masalah, tidak boleh berlainan.
2. Dalil-dalil yang berlawanan harus sama kekuatannya.
3. Harus ada persesuaian hukum antara keduanya, baik waktunya, tempatnya
dan keadaannya.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajib ( dikuatkan ) harus diamalkan,
sebaliknya dalil yang marjuh ( dilemahkan ) tidak perlu diamalkan. Diantara alasanya,
para sahabat dalam banyak kasus telah melakukan pentarjihan dan tarjih tersebut

5
diamalkan seperti para sahabat lebih menguatkan hadits di keluarkan oleh Siti Aisyah
tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu antara alat vital laki – laki dan alat vital
perempuan. ( H.R. Muslim dan Turmudi ),dari pada hadits yang diterima dari Abu
Hurairah “ air itu berasal dari air “ ( H.R. Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban )

C. Pemecahan Masalah Ta’arudh Al-Adillah


a. Metode al-Jam’u wa al_taufiq (Kompromi)
Al-Jam’u wa al-taufiq adalah upaya mengompromikan dalil-dalil yang
terlihat kontradiktif. Hasil dari kompromi tersebut akan melahirkan suatu
kesimpulan hukum yang berlaku berdasarkan dalil-dalil yang semula dianggap
saling kontradiktif. Perbedaan term al-Jamu’ dan al-Taufiq, menurut ulama adalah
jika yang pertama merupakan upaya mengumpulkan atau menggabungkan antara
dalil-dalil yang kontradiktif untuk menemukan titik-titik persamaan dan
perbedaannya. Sementara term yang kedua, usaha mengompromikan hal-hal yang
ditemukan melalui proses sebelumnya, al- jam’u.
b. Metode Tarjih
Tarjih secara etimologi adalah menguatkan. Sementara dalam terminologi
ilmu ushul fiqh, tarjih adalah upaya menguatkan salah satu dari dalil yang zhanni
untuk dapat diamalkan. Dikalangan fukaha Syafi’iyah, bahwa dalil yang
kontradiktif (ta’arud) yang dapat ditarjih adalah hanya yang bersifat zanni.
Berbeda halnya dengan kalangan fukaha Hanafiyah, yang juga mentarjih salah
satu dalil yang sama-sama qath’I ketika terjadi kontradiktif.
Secara umum, kaidah pentarjihan ini dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
• Tarjih antarteks, yaitu dengan menguatkan salah satu teks tertentu
berdasarkan pertimbangan tertentu
• Tarjih antar qiyas, yaitu menguatkan suatu analogi tertentu atas analogi
lainnya. Adapaun kaidah-kaidah tarjih adalah sebagai berikut:

Tarjih berdasarkan sanad:


• milih sanad Hadis yang kualitasnya lebih tunggal

6
• Memilih Hadis mutawatir dari yang masyhur
• Memilih Hadis yang diriwayatkan melalui hafalan

Tarjih berdasarkan matan:


• Mengutamakan dalil yang mengandung larangan daripada perintah
• Mengutamakan dalil yang mengandung perintah daripada sekedar
kebolehan
• Mengutamakan makna hakikat dari majaz
• Dalil khusus diutamakan dari yang umum
• Dalil perkataan diutamakan daripada perbuatan
• Dalil yang jelas diutamakan daripada yang samar

Tarjih berdasarkan hukum:


• Hukum haram yang terkandung dalam teks didahulukan daripada
kebolehan
• Hukum yang menetapkan diutamakan dari yang meniadakan (Jumhur)
• Hukum menghindarkan terpidana dari jerat hukuman diutamakan dari
sebaliknya Hukum ringan didahulukan daripada sebaliknya

Tarjih berdasarkan pertimbangan lain :


• Mendahulukan dalil yang dikuatkan dalil lain
• Mengutamakan dalil yang didukung dengan amalan ahli Madinah
• Mengutamakan dalil yang menyebutkan illat hukumnya dalam teks
• Mendahulukan dalil yang didalamnya menuntut kehati-hatian
• Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengalaman dari
perawinya.

Tarjih Antarqiyas Tarjih berdasarkan pertimbangan hukum ashl : 1.


• Mengutamakan qiyas yang huku ashl-nya qath’I dari yang dzanni

7
• Mengutamakan qiyas yang landasannya dalilnya ijma qiyas yang dalilnya
nash
• Mengutamakan qiyas yang didukung dalil secara khusus
• Mengutamakan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang
tidak
• Mengutamakan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan di
nasakh
• Mengutamakan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.

Tarjih berdasarkan pertimbangan hukum furu


• Mengutamakan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding
hukum asalny
• Mengutamakan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qath’I dari
yang hanya diketahui secara zhanni
• Mengutamakan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah
logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan logika nash secara
terperinci.

Tarjih berdasarkan pertimbangan illat :


• Mengutamakan illat yang disebutkan dalam nash secara langsung
• Mengutamakan illat yang dilakukan melalui as-sabru wa taqsim
(pengujian, analisis dan pemilihan illat) dari yang munasabah (keserasian)
antara illat dengan hukum
• Mengutamakan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash daripada illat
yang ditetapkan
• Mengutamakan illat yang bias diukur daripada yang relative
• Menguatkan illat yang bersifat bias dikembangkan pada hukum lain
daripada yang terbatas pada satu hukum saja
• Mengutamakan illat yang berkaitan dengan masalah yang dharuri, darpada
hajiyat

8
• Mengutamakan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum daripada
illat yang bersifat indicator saja terhadap latar belakang hukum
Tarjih berdasarkan pertimbangan lain :
• Mengutamakan qiyas yang didukung lebih dari satu illat
• Mengutamakan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat
• Mengutamakan illat yang biasa berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang
hanya berlaku untuk sebagian furu’ saja
• Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil c.

c. Metode Nasakh
Nasakh dalam ilmu ushul fiqh secara bahasa adalah menghapus.
Sementara secara terminology nasakh adalah membatalkan pelaksanaan hukum
dengan hukum yang datang kemudian karena adanya dalil. Dengan demikian,
para mujtahid dapat meneliti dua dalil itu dari aspek waktu turunnya. Disinilah
sangat dibutuhkan bantuan sejarah asbabun nuzul atau historitas turunnya ayat-
ayat. Oleh karena itu, jika diketahui sejarah turunnya ayat yang bertentangan,
maka dalil yang datang lebih dahulu dapat di nasakh oleh dalil yang datang
kemudian. Tentu, kesimpulan ayat-ayat itu di nasakh atau tidak, juga
mempertimbangkan penjelasan langsung dari Nabi, redaksi, dalil ayat atau hadis
yang bertentangan dan keterangan para sahabat. Dengan demikian, metode nasakh
ini dapat digunakan ketika sejarah dua dalil dapat diketahui secara jelas, mana
yang turun terlebih dahulu, mana yang datang belakangan. Oleh karena
itu, pengetahuan terdapat ashbabun nuzul mutlak dibutuhkan dalam menentukan
metode nasakh ini. Lebih dari itu, bahwa pengakuan nasakh juga dikuatkan
dengan bukti-bukti, misalnya, penjelasan langsung dari Nabi, keterangan sahabat
atau indikasi dari dalil-dalil itu sendiri.

d. Metode Tasaqut
Tasaqut berarti menggugurkan dalil dan beralih ke dalil yang lalu yang
lebih rendah. Secara praktis, fukaha sepakat bahwa metode ini digunakan setalah
dipastikan metode-metode sebelumnya tidak dapat memecahkan masalah

9
kontradiksi antardalil. Oleh sebab itu apabila dijumpai ada pertentangan anatara
dua ayat, sementara ketiga metode tersebut belum bisa menyelesaikan, maka
langkah yang harus ditempuhb adalah mengambil keterangan yang lebih rendah
dari Al-Quran yaitu Hadist. Jika masih bertentangan maka mengambil metode
qiyas (analogi).

D. Aplikasi Ta’arud Al-Adillah dalam Ekonomi Syariah


1. Jual Beli Murabahah
a) Akad Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata rubhu (keuntungan), sehingga
murabhah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara
terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan
oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual
beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-
mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli
murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual
kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian
transparan. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty
contarcts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan yang
ingin diperoleh. Dalam dunia perbankan syariah, praktik jual beli
muarbahah ini terjadi tarnsaksi anatar pembeli (nasabah) dan penjual
(bank), Bank dalam hal ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah
(nasabah yang menentukan spesifikasinya) dan menjualnya kepada
nasabah dengan harga plus keuntungan. Murabahah merupakan salah satu
bentuk penghimpunan dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik
untuk kegiatan usaha. Secara umum, nasabah pada perbankan syariah
mengajukan permohonan pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut
akan dilunasi oleh pihak bank syariah kepada penjual, sementara nasabah
bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada pihak bank
sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang

10
telah disepakati sebelumnya antara nasabah dengan bank syariah. Setelah
itu pihak nasabah dapat diunasi pembiayaan tersebut, baik dengan cara
tunai maupaun dengan cara kredit.
b) Hukum jual beli murabahah
Di antara dalil yang memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah
praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut: "Hai orang yang
beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
sukarela diantaramu." (QS.an-Nisa [4]:29). Ayat ini melarang segala
bentuk transaksi yang batil. Diantara transaksi yang dikategorikan batil
adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem
kredit konvensional, Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak
Ditemukan unsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini jika
mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi mubarahah harus
berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam
suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipihak segala hal yang
menyangkut hak dan kewajiban masing-masing.
c) Hukum riba (tidak berlipat ganda)
Mayoritas fukaha klasik dan kontemporer berpendapat bahwa
hukum riba sedikit maupun banyak hukumnya haram, ini karena
berdasarkan keumuman ayat QS. A Baqarah[2]:276 yang artinya: "...allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Meskipun demikian, ada segelintir ulama kontemporer yang
berpendapat bahwa riba yang tidak berlipat ganda dibolehkan. Dengan
kata lain, ia membedakan bahwa riba yang sedikit, tidak sampai berlipat
ganda hukumnya boleh. Ini berdasarkan QS.Ali Imran[3]:130 yang
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu riba dengan
berlipat ganda.”
Sejatinya pemaknaan ayat diatas, yang oleh jaumhur fukaha yang
mengharamkan riba menyatakan bahwa ayat tersebut tidak bisa dijadikan
dasar melalui penalaran mafhum mukhalafah, artinya ayat diatas melarang

11
memakan riba yang berlipat ganda, berarti memakan riba yang tidak
berlipat ganda dibolehkan. Tentu terlepas dari sanggahan ulama jumhur,
atau andaikan saja ulama kontemporer yang membolehkan riba yang
tidak berlipat ganda ini berdalil dengan ayat QS.Ali imran[3]:130 ,maka
ayat tersebut akan kontradiksi dengan keumuman ayat QS.Al-Baqarah
[2]:276 dan juga Hadits Nabi dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu'anhu,
Rasulullah shallalahu'alahi wa sallam bersabdah: "Janganlah kalian
menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya,dan janganlah kalian
menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan berat,dan jangan
menjual menjual yang tidak ada(di tempat transaksi) dengan yang
ada."(HR Al-bukhari).
Oleh karena itu, dari sini perlu ditarjir, dipilih salah satu pendapat
yang dianggap paling kuat, dan itulah yang diamalkan. Menurut Ilyas
syuqqur dalam bukunya, Al-Qawaid al-ushuliyah al-mutaaliqah bi Dalalat
al-alfaz wa al-ta'arud wa al-tarjih al-muatssirah fi masail al-
buyu'menjelaskan bahwa kontradiksi antara dua dalil tersebut harus tarjih
dengan berdasarkan kaidah yang dikontruknya "al-dalil al-nahi al-mani
aqwa warjah min al-dalil al-ibadah" (dalik yang melarang lebih kuat fan
rajah dari dalil yang membolehkan). Dengan demikian,syuqqur dalam
bukunya menegaskan bahwa praktik riba itu diharamkan secara
mutlak,baik riba itu berlipat ganda maupun tidak apalagi jika berpegang
pada pendapat jumhur,yang sejak awal menolak dalil QS.ali
imran[3}:130,sebagai dalil kebolehan praktik riba yang tidak berlipat
ganda.karena ayat tersebut merupakan penjelasan terkait kondisi realitas
masyarakat yang terjadi zaman Rasulullah sehingga tidak dapat dipahami
secara mafhum mukhalafan(maksud kebalikan dari makna
tekstualnya"jangan memakan riba berlipat ganda").Artinya,ayat
tersebut,bukan menjustifikasi kebolehan praktik riba yang tidak berlipat
ganda tersebut,tetapi menjelaskan bahwa ada praktik tiba zaman jahiliyah
yang bertentangan dengan prinsip islam

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Term ta’arud secara etimologi berarti pertentangan, sementara al-adillah adalah
bentuk plural dari dalil yang berarti alasan, argument dan bukti. Secara sederhana ta’arud
al-adillah dapat dipahami sebagai pertentangan di antara dalil-dalil yang ditemukan para
mujtahid. Menurut Khallaf, yang perlu diperhatikan dalam memahami ta’arud al-adillah,
bahwa tidak terdapat kontradiktif yang sebanarnya antar dua ayat atau antar dua Hadist
yang masing-masing derajat kevalidannya sama kuat. Jika kelihatannya ada kontradiksi
antara dua dalil sejatinya yang kontradiktif itu hanya lahirnya saja yang dipikirkan oleh
akal mujtahid. Hal ini karena tidak mungkin Allah mengeluarkan dua hukum yang saling
bertentangan dalam waktu dan peristiwa yang sama.
Secara etimologi tarjih berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminology ada
dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
c. Menurut ulama Hanafiah
Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (
sederajat ), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
d. Menurut jumhur ulama
Menguatkan salah satu dalil yang dhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (
diterapkan ) berdasarkan dalil tersebut.”
B. Saran
Alhamdulillah, saya panjatkan puji syukur kepada Allah SWT dikarekan kami
telah menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik meskipun tidak sesuai dengan apa
yang diharak sebelumnya. Dalam penulisan makalah ini, kami sadar bahwa makalah yang
sudah diselesaikan ini kurang sempurna. Oleh karena itu kami meminta dan saran dan
kritiknya. Saran dan kritik dari anda menjadi sebuah motivasi saya untuk membuat
makalah yang lebih baik nanti kedepanny

13
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Mufid. 2016. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer.Jakarta: Pranamedia Group.

Satria Effendi.2015.Ushul Fiqh. Jakarta:Pranamedia Group

Drs. H.A. Syafi’I Krim.2006.Fiqih Ushul Fiqih. Bandung :Pustaka Setia.

Tengku Muhammad Hasbyi ash Shidqieqy2001. Pengantar Hokum Islam. Semarang : PT. Pusya
Riski Putra
https://www.academia.edu/41759739/Fiqh_taarud_al_adillah

http://stitattaqwa.blogspot.com/2014/02/taarudh-dan-tarjih.html

14

Anda mungkin juga menyukai