Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DAN AKSES


PERMODALAN
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Lembaga Keuangan Mikro Syariah

Kelas EI-4A

Dosen Pengampu: Feby Irfayunita, S.Sy., M.E

Disusun oleh kelompok 1:

Riva Almaheni 3221007

Irna Wati 3221021

Della Tri Juwita Sari 3221035

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SJECH M.DJAMIL


DJAMBEK BUKITTINGGI

T.A 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia yang status negaranya masih dalam posisi Negara
berkembang, walaupun berbagai kekayaan yang dimiliki Indoensia, tentu
perekonomianmenjadi salah satu hal yang menjadi tujuan perbaikan demi
menciptakan kondisi masyarakat yang sebagaimana mestinya. Tercermin
dalam suatu kondisi masyarakat Indonesia yang terbagi-bagi kelas masyarakat
yang mampu, masyrakat menengah, dan masyarakat bawah/ kurang mampu,
hal ini menunjukkan belum terrealisasinya suatu prinsip keadilan dalam Negara
Indonesia. Terlihat pula dalam kondisi bahwasannya perlunya perbaikan-
perbaikan ataupun upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya, yang
tidak terlepas dari peranan pemerintah Negara dan juga masyarakat yang
tergabung. Dalam upaya-upaya perbaikan perekonomian masyarakat Indonesia
maka sepeerti yang telah diketahui bahwa Negara Indoensia memiliki Lembaga
Keuangan Mikro Syariah yang dapat menjadi salah satu reverensi solusi
perbaikan dibidang ekonomi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan
Lembaga Keuangan Mikro Syariah?
2. Bagaimana Akses Permodalan pada Usaha Mikro dan Kecil?
3. Bagaimana Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Lembaga
Keuangan Mikro Syariah
2. Menjelaskan Akses Permodalan pada Usaha Mikro dan Kecil
3. Menjelaskan Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Lembaga Keuangan


Mikro Syariah
UMKM adalah basis ekonomi kerakyatan, oleh karena itu sangat penting
peranannya dalam pembangunan ekonomi nasional karena mampu
memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas
kepada masyarakat, berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan
dalam mewujudkan stabilitas nasional. Dengan demikian UMKM adalah salah
satu pilar utama ekobomi nasional yang harus memeperoleh kesempatan
utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai
wujudkeberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa
mengabaikan peranan uasaha besar dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).1
Menurut UU 1945 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi
Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberdayakan sebagai
bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan
potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang
makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Selanjutnya dibuatklah
pengertian UMKM melalui UU No.9 Tahun 1999 dan karena keadaan
perkembangan yang semakin dinamis dirubah ke Undang-Undang No.20 Pasal
1 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah maka pengertian
UMKM adalah sebagai berikut2:
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

1
Dr. Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah. (Bekasi: Gramata publishing 2016).
2
Abdul Halim, Pengaruh Perumbuhan Usaha Mikro,Kecil dan Menengah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kab.Mamuju, Jurnal Ilmiah Ekonomi Pembangunan, vol 1 No.2 2020

2
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi
kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
4. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh
badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional
milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang
melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
5. Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan
Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan
berdomisili di Indonesia.3

Lembaga Keuangan Mikro Syariah merupakan sebuah lembaga


perekonomian mikro syari’ah yang bergerak menghimpun dan menyalurkan
pembiayaan kepada masyarakat kecil, baik yang bersifat sosial (nirlaba)
seperti Zakat, infak dan sedekah ataupun penyaluran dan pembiayaan modal
usaha yang bersifat laba dengan sistem bagi hasil. Kehadiran LKMS
sebenarnya bisa menjadi suatu solusi alternatif bagi perekonomian Bangsa

3
Ibid. hal 161-163

3
Indonesia yang kebanyakan masyarakatnya bergerak di bidang Usaha Mikro
Kecil dan Menengah. 4
Hal ini dikarenakan LKMS lebih fleksibel dan bisa menjangkau
masyarakat kecil dibandingkan dengan Bank yang hanya bisa menjangkau
kalangan menengah ke atas. LKMS juga diharapakan bisa sebagai suatu solusi
alternatif yang ampuh sebagai pilihan bagi masyarakat agar dapat terhindar dari
praktek – praktek ribawi yang banyak di terapkan oleh para rentenir di sekitar
lingkungan tempat tinggal dan diharapkan bisa menggantikannya dengan
prinsip muamalah sesuai dengan ajaran Islam dikarenakan LKMS memang
menjunjung tinggi asas-asas tersebut.
Adanya Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) ini, dapat dijadikan
salah satu sarana peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia terlebih
masyarakat kecil ataupun menengah. Terdapat lembaga keuangan yang
termasuk dalam Lembaga KeuanganMikro Syariah (LKMS) diantaranya:
Baitul Maal Wattamil (BMT), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),
Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Pengelola Zakat (LAZ), Lembaga
Pengelola Wakaf.5

B. Akses Permodalan pada Usaha Mikro dan Kecil


Permodalan merupakan salah satu masalah yang hampir dialami oleh
setiap pelaku usaha, mulai dari usaha mikro sampai usaha besar. Tidak ada
pelaku usaha yang tidak memerlukan modal, karena keberadaan modal
merupakan hal yang melekat dalam setiap usaha.6 Dalam mengembangkan
usaha, UMK harus meningkatkan kapasitas produksinya yang tentunya
memerlukan modal yang tidak sedikit. Minimnya permodalan dan rendahnya
kemampuan serta pengetahuan sumber daya manusia (SDM) dalam mengelola
usaha, membuat UMK belum mampu mengimbangi perubahan selera

4
Muhammad Kamal Zubair, Analisis Faktor-Faktor Sustainabilitas Lembaga Keuangan
Mikro Syariah, Jurnal Al Biru, vol. 9, No.2 2016 hal 203
5
Mahmudatus sadiyah, Pengembangan Produk-Produk Lembaga Keuangan Mikro
Syariah, vol. 2, No 1 2014. Hal 163
6
Dr. Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah. (Bekasi: Gramata publishing 2016). hal.10

4
konsumen dan belum berdaya saing global.7 Permasalahannya terletak pada
kemampuan pelaku usaha itu sendiri dalam memperoleh permodalan.
Permodalan pada usaha mikro dan kecil cenderung lemah dan akses ke
bank untuk mendapatkan kredit sangat terbatas terutama terbentur pada
persyaratan prosedur dan agunan kredit. Pengelolaan keuangan pada usaha
mikro dan kecil masih kurang baik. Uang pribadi sering kali masih tercampur
dengan uang perusahaan. Demikian juga dalam penggunaan uang tersebut.
Pada usaha menengah pengelolaan keuangannya sudah dilakukan dengan
cukup baik. Keuangan perusahaan dikelola tersendiri terpisah dari keuangan
pemilik perusahaan.
Bagi pelaku usaha besar, upaya untuk mengakses perbankan bagi
penguatan modal adalah sesuatu yang biasa. Bahkan dalam kondisi seperti
sekarang ini, bank dan pelaku usaha besar seperti satu paket yang tidak bisa
dipisahkan, baik untuk mengatur lalu-lintas keuangan usaha besar maupun
untuk memenuhi kebutuhan permodalan. Dapat dikatakan, tidak ada usaha
besar yang tidak bermitra dengan bank. Seluruh usaha besar sekarang ini dapat
dipastikan bermitra dengan bank. Karenanya, akses usaha besar kepada
perbankan sudah tidak menjadi persoalan. Akan tetapi tidak demikian halnya
terhadap pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Masih banyak dari mereka
yang belum menjalin mitra kerja dengan bank, terutama bagi pelaku UMK
yang ada di desa-desa. Hal itu tidak semata-mata masalah jarak tempat usaha
dengan kantor perbankan. Mereka umumnya kesulitan untuk memenuhi
jaminan yang dipersyaratkan dan kondisi usaha yang kurang teradministrasi
dengan baik sehingga pihak perbankan kesulitan dalam mempelajari dan me-
record perjalanan usaha mereka. Oleh karena itulah, sebagian besar pelaku
UMK mengalami kesulitan untuk mengakses permodalan dari bank. Bahkan
ingin menabung pun, pelaku UMK kurang percaya diri, krena jumlah tabungan
yang bisa disetorkan dianggap kurang signifikan.8

7
Rita Diana, Analisis Aksesibilitas Permodalan Usaha Mikro Kecil Pada Lembaga
Keuangan Formal Di Provinsi Sumatera Barat, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No.1,
2019, hlm.68
8
Dr. Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah. (Bekasi: Gramata publishing 2016), hlm.10

5
Perkembangan dunia digital saat ini memberikan stimulus bagi lembaga
keuangan nonbank untuk memberikan layanan pinjaman secara online dengan
proses yang lebih cepat dibandingkan perbankan dan tanpa agunan. Namun,
kendala yang dihadapi pelaku UMK untuk mengakses kredit tersebut adalah
bunga yang sangat tinggi.9 Alasan lain mengapa pelaku UMK kesulitan dalam
mengakses pinjaman atau pembiayaan perbankan adalah sebagai berikut:
1. Scale Gap
Pada umumnya dunia perbankan sudah menetapkan batas
minimum kredit yang bisa dilayani. Di bawah batas minimum tersebut,
bank tidak bisa melayani. Tentu bank punya dasar dan pertimbangan
dalam menentukan jumlah minimum kredit tersebut. Scale gap yakni
permasalahan kesenjangan antara besarnya pinjaman kredit UMKM
yang diharapkan bank dengan maksimal kebutuhan kredit mikro yang
relatif kecil, contoh: sulit cari nasabah potensial, kemampuan analisis
bank kurang.
2. Formalization Gap
Yakni permasalahan kesenjangan antara persyaratan formal bank
seperti izin-izin usaha, jaminan/agunan dalam bentuk sertifikat tanah,
NPWP dengan kondisi umumnya yang ada pada UMKM, contoh:
UMKM banyak yang belum memiliki izin usaha.
3. Informatioan Gap
Yakni kesalahan kesenjangan informasi antara apa yang jadi
persyaratan dan prosedur bank dengan apa yang UMKM ketahui pada
umumnya, contoh: persyaratan/prosedur bank dan jaminan/agunan.10
4. Orientasi lembaga keuangan pendukung yang kurang berpihak kepada
UMK

9
Rita Diana, Analisis Aksesibilitas Permodalan Usaha Mikro Kecil Pada Lembaga
Keuangan Formal Di Provinsi Sumatera Barat, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No.1,
2019
10
Dilla Marzani dkk, Analisis Pengaruh Pembiayaan Murabahah Terhadap Perkembangan
Usaha Mikro Kecil Menengah (Studi Pada Koperasi Syariah Mitra Niaga Lambaro), Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Syariah, Vol.3 No.1, 2019, hlm.17

6
Faktor ini terkait dengan kebijakan perbankan itu sendiri dalam
membuka layanan jasanya. Sebagian perbankan sudah membuka layanan
dan menyediakan produknya bagi pelaku UMK, namun masih ada bank
yang memang tidak membuka layanan kepada UMK. Mereka hanya
melayani kredit korporasi maupun sindikasi yang nilainya cukup besar.
Hal demikian tidak ada ruang bagi UMK untuk mengakses permodalan.

Dampak dari kesulitan mengakses permodalan tersebut adalah banyak


pelaku UMK yang masih menggunakan jasa pelepas uang “rentenir” (money
lender) bagi pengembangan usahanya, karena pelepas uang memberikan
kemudahan dalam persyaratan pengajuan kredit. Hubungan yang terbangun
adalah debitur-kreditur di mana pemberi pinjaman memiliki kekuasaan yang
dominan atas pinjaman yang diberikan. Fenomena yang demikian dapat dengan
mudah ditemukan di hampir setiap pasar tradisional yang tersebar di berbagai
daerah. Bisa dipastikan, para pelaku UMK di pasar-pasar tradisional tersebut
sebagian besar memiliki tanggungan dengan jasa pelepas uang, baik yang
beroperasi secara langsung di pasar maupun di rumah-rumah.11
Secara garis besar, aksesibilitas permodalan dipengaruhi oleh
karakteristik usaha dan juga cakupan jaringan usaha serta informasi.
Karakteristik usaha secara detil dapat didekati dari beberapa variabel yaitu
pendidikan pengusaha, gender pengusaha, usia usaha, skala usaha, pengalaman
akses kredit, serta sertifikasi usaha. Sedangkan, cakupan jaringan usaha dan
informasi menggunakan pendekatan variabel antara lain keanggotaan asosiasi,
keanggotaan koperasi, pengalaman kemitraan, cakupan penjualan, dan
penggunaan internet.12

11
Dr. Euis Amalia, Keuangan Mikro Syariah. (Bekasi: Gramata publishing 2016). hal.12
12
Rita Diana, Analisis Aksesibilitas Permodalan Usaha Mikro Kecil Pada Lembaga
Keuangan Formal Di Provinsi Sumatera Barat, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No.1,
2019, hal.70

7
C. Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Sistem lembaga keuangan atau lebih khusus disebut dengan peraturan
mengenai aspek keuangan dari sistem keuangan suatu negara, telah menjadi
instrument penting dalam memfasilitasi pembangunan suatu bangsa. Indonesia
yang penduduknya mayoritas beragama Islam tentu saja menuntut adanya
sistem baku mengatur aktivitas kehidupan. Termasuk kegiatan keuangan yang
dilakukan oleh umat muslim. Namun dalam perjalan hidup, manusia kini telah
terbelenggu dalam sistem ekonomi yang sifatnya sekuler, Khususnya di bidang
perbankan,
Deregulasi perbankan dimulai seajak tahun 1983. Pada tahun tersebut
Bank Indonesia memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan
suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan
maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat
menopang perekonomian. Pada tahun 1983 tersebut pemerintah Indonesia
pernah berencana menerapkan “sistem bagi hasil” dalam perkreditan yang
merupakan konsep dari perbankan syariah13. Dalam sistem keuangan, yaitu
dengan menghilangkan instrument utama; bunga.Upaya tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk mencapai kesesuaian dengan menerapkan prinsip-prinsip
ajaran Islam yang mengandung dasar-dasar keadilan, kejujuran, dan kebijakan.
Pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan pakto 1988 yang
memperkenankan berdirinya bank baru termasuk bank syariah 1991 berdirinya
bank muamalat sebagai pelopor bank syariah di Indonesia. Bank ini dibenuk
dengan prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah Indoneisa.
Pada Musyawarah Nasional, MUI mengusulkan untuk mendirikan bank tanpa
bunga. Pergerakannya kala itu didukung oleh pengusaha muslim dan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indoneisa (ICMI) yang pada saat itu diketuai oleh
Bachruddin Jusuf Habibie, serta masyarakat di tanah air.14

13
Dr. Asnaini, Herliani Yustati. Lembaga keuangan syariah,, (Yogyakarta: 2017).
14
Khusnul Fikriyah, Perkembangan Keuangan Syariah dalam Realitas Politik di Indonesia,
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol.7 No.03 2021

8
Banyak sekali regulasi tentang ekonomi syraiah yang diterbitkan setelah
datang permasalahan. Pada bank syariah pertama, Bank muamalat hadir di
Indonesia pada 1992, belum ada dukungan regulasi perundangan yang cukup.
Pada beberapa tahun pertama Bank Muamalat belum menunjukkan
perkembangan signifikan pada sector perbankan syariah ini. Disinyalir karena
belum adanya jaminan pasti dan legalitas kelembagaan yang kuat.
Perkembanganbaru terjadi setelah terbitnya UU No 10 tahun 1998 tentang
“perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan”. Dalam kurun waktu
enam tahun tersebut, dukungan politik negara terhadapa perbankan syariah di
Indonesia dianggap kurang serius. Sampai pada saat penerbitan UU No 21
tahun 2008 tentang “Perbankan Syariah”, operasional perbankan syariah sudah
mendapatkan dukungan politik hukum ekonomi negara, karena sistem
perbankan syariah di Indonesia sudah diatur oleh negara dalam UU (Saefuddin,
2019).
Regulasi terkait perkembangan ekonomi dan keuangan syariah
merupakan unsur uatama dalam pengembangan industry keuangan syariah di
Indonesia. Pihak yang secara khusus ditunjuk untuk peradilan sengketa ekonmi
syariah adalah peradilan agama. Peradilan Agama dapat memebrikan jaminan
dan kepastian hukum bagi semua pihak yang termasuk dalam pelaku,
khususnya yang berkaitandengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah
semua hal emmerlukan regulasi sebagai dasar untuk bertindak. Regulasi ini
merupakan suatu bentuk kejelasan aspek-aspek, mulai aspek produk, aspek
praktik, sampai dengan dalam penyelesaian sengketa. Hal ini senada denagn
studi yang dilakukan oleh Al Hasan yang menyatakan bahwa pengadilan
agama sebagai representasi dari perkembangan industry keuangan syariah di
Indonesia. (Al Hasan, 2019).15
Eksistensi perbankan syariah di tanah air memperoleh pijakan yang
kokoh setelah dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 yang direvisi melalui UU

15
Ibid

9
No.10 tahun 1998, yang secara tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya
bank bagi hasil yaitu bank syariah.16
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian
hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: UU No.21
tahun 2008 tentang perbankan syariah, UU No.19 tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara, UU No. 42 tahun 2009 tentang amandemen ke-tiga
UU No. 8 tahun 1993 tentang PPN Barang dan Jasa. Dengan telah
diberlakukannya UU No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah yang terbit
tanggal 16 juli 2008, maka perkembangan industry perbankan syariah nasional
semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan mendorong
pertumbuhannya yang lebih cepat lagi17.
Menurut Mudrajaddan Suharjo, deregulasi keuangan yang terjadi di
Indonesia saat ini tampaknya sejalan dengan deregulasi keuangan yang juga
terjadi di negara-negara Asia. Kesamaan tersebut dapat dilihat pada tiga
deregulasi yang terpisah namun terkait erat, yaitu: deregulasi harga (terutama
deregulasi suku bunga), deregulasi produk (berbagai layanan yang ditawarkan)
dan deregulasi spasial (kurangnya pembukaan cabang atau hambatan masuk).
Lebih lanjut ia menejelaskan bahwa deregulasi selama sepuluh tahunterakhir
menunjukkan bahwa deregulasi telah sedikit mengubah “wajah” sektor
keuangan Indonesia, tidak berlebihan jika dikatakan, Indonesia kini sudah
keluar dari represi finansial setidaknya levelnya sudah jauh berkurang dari
periode sebelumnya.
Deregulasi keuangan justru dalam fenomena baru itu, dalam iklim
persainnya yang lebih hangat, termasuk perbankan syariah Indonesia (Rusbi,
2017). Jika dilihat dari perspektif makro ekonomi, perkembangan bank syariah
di Indonesia memiliki peluang yang besar karena peluang pasar yang luas,
Sejalan dengan mayoritas penduduk Indonesia. UU No. 10 tidak menutup
kemungkinan bagi pemilik bank umum-swasta nasional bahkan pihak asing

16
M. Masruron, Analisis Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia Di masa Pandemi
Covid-19, Jurnal Al Biru.Vol. 1 No.1 Hal: 4
17
Dr. Asnaini, Herliani Yustati. Lembaga keuangan syariah, (Yogyakarta: 2017).

10
untuk membuka cabang syariah di Indonesia, Inisiasi peluang ini akan
membuka kerjasama antar bank syariah. Adanya UU No.10 tahun 1998 dapat
membawa angin segar bagi dunia perbankan kita. Apalagi bagi dunia
perbankan syariah di tanah air, sejak berdirinya bank-bank baru yang bekerja
berdasarkan prinsip syariah akan menambah semaraknya lembaga keuangan
syariah yang sudah ada.18
Perkembangan keuangan syariah di Indonesia tidak berhenti disini. Pada
tahun 2021, pada 25 Januari 2021 pemerintah melaunching Gerakan Nasional
Wakaf Uang dan Bran Ekonomi Syariah, yang bertujuan mengurangi
kesenjangan dan mengupayakan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kemudian pada 1 Februari 2021, Bank Syariah Indonesia (BSI) resmi
beroperasi. BSI ini adalah merger antara Bank Syariaah Mandiri (BSM), Bank
Rakyat Indoensia Syariah (BRIS), dan juga Bank Nasional Indonesia Syariah
(BNIS).19

18
Khusnul Fikriyah,Wira Yudha Alam. Perkembangan Keuangan Syariah Dalam Realitas
Politik di Indonesia, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam. Vol 7, No.03 2021
19
Ibid

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
UMKM merupakan suatu usaha potensial bagi perkembangan
perekonomian di Indonesia sehingga dalam pelaksanaannya perlu
dioptimalkan dan digali kembali potensi-potensi yang ada untuk peningkatan
pembangunan ekonomi masyarakat. Pengembangan ini tentu saja akan lebih
berkembang lebih baik dengan adanya dukungan dari pemerintah dalam
memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan sebagai penunjang pelaksanaan
dan kemajuan usaha.
Keberadaan modal menjadi salah satu hal yang melekat untuk
mengembangkan usaha dan butuh modal yang besar tidak sedikit. Minimnya
permodalan dan rendahnya kemampuan serta pengetahuan sumber daya
manusia (SDM) dalam mengelola usaha, membuat UMK belum mampu
mengimbangi perubahan selera konsumen dan belum berdaya saing global. dan
sebagian besar pelaku UMK mengalami kesulitan untuk mengakses
permodalan dari bank. Perkembangan digital memeberikan stimulasi bagi
keuangan nonbank untuk memberikan layanan pinjaman online namun
kendalanya pelaku UMK untuk mengakses kredit tersebut adalah bunga yang
sangat tinggi.
Eksistensi perbankan syariah di tanah air memperoleh pijakan yang
kokoh setelah dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 yang direvisi melalui UU
No.10 tahun 1998, yang secara tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya
bank bagi hasil yaitu bank syariah

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Dan kami juga sangat mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, E. (2016). Keuangan Mikro Syariah. Bekasi: Gramata Publishing.

Asnaini, H. Y. (2017). Lembaga Keungan Syariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

dkk, F. D. (n.d.). Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Jurnal


Administrasi Publik, 1.

Halim, A. (2020). pengaruh Pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil Menengah Terhadap


Pertumbuhan Ekonomi Kbaupaten Mamuju. Jurnal Ilmiah Ekonomi
Pembangunan, 1, 161-163.

Khusnul Fikriyah, W. Y. (2021). Peekwmbangan Keuangan Sayriah Dalam


Realitas Politik Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7.

Masruron, M. (2021). Analisis Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia Di


Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Al Biru, 1, 5.

13

Anda mungkin juga menyukai