Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

DILALAH HAQIQAH DAN MAJAZ

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih II Kelas EI-3A

Dosen Pengampu:

Ashabul Fadhli, S.H.I, M.H.I

Disusun Oleh Kelompok 10:


Tasya Taqia Salsabila 3221005

Della Tri Juwita Sari 3221035

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SJECH M.DJAMIL DJAMBEK


BUKITTINGGI

2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Dilalah Haqiqat dan Majaz” ini
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu yang telah ditentukan.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada Mata
Kuliah Ushul Fiqh II Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih Bapak dosen Ashabul Fadhli, S.H.I, M.H.I Mata
Kuliah Ushul Fiqh II yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari,
makalah yang ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diperlukan demi kesempurnaan makalah ini.

Bukittinggi, 17 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I .....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ................................................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................1

BAB II ...................................................................................................................................2
PEMBAHASAN ...................................................................................................................2
A. Pengertian Haqiqah dan Majaz ..................................................................................2
B. Macam-Macam Haqiqah dan Majaz ..........................................................................5
C. Cara mengetahui Haqiqah dan Majaz ........................................................................13
D. Ketentuan Haqiqah dan Majaz ...................................................................................14
E. Penyebab Tidak Berlakunya Haqiqah ........................................................................15

BAB III..................................................................................................................................20
PENUTUP .............................................................................................................................20
A. Kesimpulan ................................................................................................................20
B. Saran ..........................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kajian ushul fiqh pemahaman bahasa arab secara mendalam adalah suatu
keharusan bagi seorang yang ingin mendalaminya, maka untuk menginterpretasikan Al-
Qur´an dan sunnah dalam upaya mendedukasi ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-
petunjuk yang diberikannya. Bahasa Al-Qur´an dan As-sunnah harus dipahami secara benar
agar dapat menggunkana sumber-sumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan
implikasi-implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini para ualama ushul fiqh memasukan
klasifikasi kata-kata dan pemakaiannya dalam ushul fiqh.

Bagi kita yang mendalami ilmu ushul pertama-tama yang harus dilakukan adalah
bahasa yang dipakai oleh objek kajian tersebut, agar apa yang kita kaji leboh objektiv dan
tidak terkesan subjektiv, karena dengan bahasalah segala gagasan dan fikiran tertuang dan
dengan memahami bahasa tersebut kita bisa memahami gagasan dan fikiran yang dituangkan.

Dalam makalah singkat ini penulis mencoba memberikan sedikit pengetahuan tentang
bagaimana kita menggunakan dan meeperlakukan suatu lafadz ,menurut maknanya yaitu
Haqiqat dan Majaz

B. Rumusan Masalah
A. Apa Pengertian Haqiqah dan Majaz?
B. Apa Saja Macam-Macam Haqiqah dan Majaz?
C. Bagaimana Cara mengetahui Haqiqah dan Majaz?
D. Apa Ketentuan Haqiqah dan Majaz?
E. Apa Penyebab Tidak Berlakunya Haqiqah?

C. Tujuan Penulisan
A. Untuk Mengetahui Pengertian Haqiqah dan Majaz.
B. Untuk Mengetahui Macam-macam Haqiqah dan Majaz.
C. Untuk Mengetahui Cara Haqiqah dan Majaz.
D. Untuk Mengetahui Ketentuan Haqiqah dan Majaz.
E. Untuk Mengetahui Penyebab Tidak Berlakunya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Haqiqah dan Majaz


1. Pengertian Haqiqah
Secara etimologi, haqiqah merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa
bermakna subjek sehingga memiliki arti yang tetap atau objek yang ditetapkan. Secara
terminologi Suatu lafadz yang digunakan menururt asalnya memang untuk maksud
tertentu.

Ada beberapa rumusan yang istilah “haqiqah”1:


1) Menurut Ibnu Subki:

‫ظغ ٌٗ اترذاء‬ٚ ‫ّا‬١‫ اٌٍفع اٌّغرؼًّ ف‬ٛ٘


Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
2) Ibnu Kudamah memberikan definisi:

ٍٟ‫ػٗ اال ص‬ٛ‫ظ‬ِٛ ٟ‫ اٌٍفع اٌّغرؼًّ ف‬ٛ٘


Lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula.
3) Menurut Al-Sarkhisi

ٍَٛ‫ء ِؼ‬ٟ‫ االصً ٌش‬ٟ‫ع ف‬ٛ‫ظ‬ِٛ ٛ٘ ‫وً ٌفع‬


Setiap lafaz yang ia ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang
tertentu.
Seluruh definisi tersebut mengandung pengertian tentang haqiqah, yaitu: “suatu
lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu”. Contohnya Umpanya kata
(kursi) menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang dimiliki sandaran
dan kaki, tapi saat ini kursi dapat diartikan kekuasaan, namu tujuan semula kata kursi
bukan itu, tempat duduk.

1
Amir Syraifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana), Cet.Vii,Jilid 2, hlm. 27

2
2. Pengertian Majaz
Majaz adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menjealaskan suatu lafaz pada
selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau
keterkaitan baik antara makna yang tersurat dalam teks maupun maksud yang terkandung
didalam teks tersebut.
Para ulama ushul fiqh memberikan definisi yang beragam tentang majaz2. Tetapi
semuanya berdekatan artinya dan saling melengkapi, yaitu:
1) Al-Sarkhisi memberikan defenisi:

ٌٗ ‫ظغ‬ٚ ‫شِا‬١‫ء غ‬ٟ‫ ِغرؼاس ٌش‬ٛ٘ ‫اعُ ٌىً ٌفع‬


Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud
diluar apa yang ditentukan.
2) Menurut Ibnu Qudamah:

‫صخ‬٠ ٗ‫ج‬ٚ ٍٝ‫ػٗ ػ‬ٛ‫ظ‬ِٛ ‫ش‬١‫ غ‬ٟ‫ اٌٍع اٌّغرؼًّ ف‬ٛ٘


Lafaz yang digukan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan.
3) Ibnu Subki:

‫ظغ ثاْ ٌؼاللح‬ٛ‫ اٌٍع اٌّغرؼًّ ت‬ٛ٘


Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya
keterkaitan.

Dari beberapa defenisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut,
yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki
oleh suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam
memberikan arti kepada apa yang dimaksud.

2
Amir Syraifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana), Cet.Vii,Jilid 2, hlm. 29

3
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti
lafaz itu memang ada kaitannya.

Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut
hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak mengunakan
haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Diantara hal yang mendorong ke arah itu adalah
sebagai berikut3:
a. Kerena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqah-nya. Oleh karenanya ia

beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz ‫ك‬١‫دٕفم‬, dalam bahasa Arab yang berarti

bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk diucapkan seseorang.

Karenanya ia lebih senang menggunakan kata-kata maut ‫خ‬ِٛ.

b. Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan; seperti kata ‫دشاءج‬ dalam bahasa

Arab yang menurut haqiqah-nya berarti “tempat berak”. Karena buruk dan joroknya

kata itu maka digunakan kata lain, yaitu ‫اٌغا ٔط‬ yang artinya: “tempat yang tenang

dibelakang rumah”. Dalam bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan pergi untuk “buang
berak”, diganti dengan pergi “ke belakang” karena keduanya ada kaitan, yaitu sama-
sama tempatnya dibelakang. Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz
tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan ditengah
orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain yang lebih enak
didengar yaitu, “bergaul”.
c. Karena kata mafaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah.
Umpamanya kata jima‟ dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang
banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bersetubuh”.
d. Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghah-nya) seperti
menggunakan kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra
ketimbang kata “pemberani”.

3
Amir Syraifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana), Cet.Vii,Jilid 2, hlm. 30

4
B. Macam-macam Haqiqah dan Majaz
a. Macam-macam haqiqah
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu kepada
beberapa bentuk:
a. Haqiqah lughawiyyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu:

ٞٛ‫ ِؼٕاٖ اٌٍغ‬ٝ‫ اٌٍفع اٌّغرؼًّ ف‬ٛ٘

Lafaz yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa.


Contohnya, kata “manusia” untuk semua hewan yang berakal.
b. Haqiqah Syar´iyyah yang ditetapkanoleh syari´ (Pembuat hukum) sendiri,
yaitu:

‫ع ٌٗ ششػا‬ٛ‫ظ‬ٌّٛ‫ ا‬ٕٝ‫ اٌّؼ‬ٟ‫ اٌٍفع اٌّغرؼًّ ف‬ٛ٘

Lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan itu oleh syari´
Umpanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan
dan ucapan yang dimulai dengan “takbir”.
c. Haqiqah ´Urfiyah Ammah yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara
umum,yaitu:

َ‫ ػا‬ٟ‫ ػشف‬ٕٝ‫ ِؼ‬ٟ‫ اٌٍفع اٌّغرؼًّ ف‬ٛ٘

Lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan
umum.

Umpamanya penggunakaan kata dabbah (‫اٌذاتح‬ ),dalam bahasa arab untuk


hewan ternak yang berkaki empat.

Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqah-nya
dan tidak boleh beralih kedapa yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa
hal tidak digunakan haqiqah-nya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
a. Adanya petunjuk penggunaan secara „urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz

5
Dalam hal haqiqah lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan (dipegang) adalah
apa yang mudah dipahami dari lafaz tersebut. Alasannya ialah karena suatu kalimat
(ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah terbiasa orang menggunakan suatu
lafaz untuk maksud tertentu, maka penggunaan lafaz itu sudah menempati kedudukan
“haqiqah”. Umpamanya lafaz “shalat” menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk
“doa”. Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah
suatu bentuk tertentu dari perbuatan ibadah, maka pengertian shalat yang arti
hakikatnya adalah doa itu tidak lagi dipergunakan. Firman Allah yang menyuruh
shalat dalam surat Thaha (20): 14:

ٞ‫أَلِ ُِ اٌصَّالجَ ٌِ ِز ْو ِش‬َٚ

“ Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”


Dalam firman Allah diatas, yang pengertian shalat bukan lagi berdo‟a, tetapi
bentuk ibadat tertentu yang kita namakan shalat.
b. Adanya petunjuk lafaz
Dalam hal ini suatu lafaz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah,
namun yang dimaksud bukan untuk itu. Contohnya, bila seseorang berkata, “Demi
Allah saya tidak makan daging”. Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia
dinyatakan tidak melanggar sumpah karena pengertian “daging” berlaku untuk segala
macam daging secara hakikatnya. Namun pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi
digunakan karena petunjuk lafaz menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan
belalang yang keduanya tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang
digunakan, maka orang yang bersumpah itu melanggar sumpahnya.
c. Adanya petunjuk berupa aturan dalan pengungkapan suatu ucapan
Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga, meskipun diucapkan
dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan
yang ada walaupun berada di luar haqiqah. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-
Kahfi (18) : 29 :

‫َٓ َٔاسًا‬١ِّ ٌِ‫َ ْىفُشْ إَِّٔا أَ ْػرَ ْذَٔا ٌٍِظَّا‬١ٍْ َ‫ َِ ْٓ َشا َء ف‬َٚ ْٓ ِِ ‫ ُْؤ‬١ٍْ َ‫فَ َّ ْٓ َشا َء ف‬

6
Barangsiapa yang mau, berimanlah dan barangsiapa yang mau kafirlah.
Sesungguhnya Kami menyediakan neraka bagi orang yang zalim.
Secara haqiqah ungkapan ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk beriman
atau untuk kafir. Namun karena di ujung ayat ada ancaman bagi orang zalim yang
kafir, maka ayat ini tidak dipahami menurut haqiqah-nya, tetapi dengan arti lain, yaitu
keharusan beriman dan dalam hal ini tidak ada pilihan.
d. Adanya petunjuk dari sifat pembicara
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqah-nya berarti
menurut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa
ia tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah
yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan. Umpamanya firman Allah dalam surat
Al-Isra‟ (17): 64:
َ ‫ا ْعرَ ْف ِض ْص َِ ِٓ ا ْعرَطَؼ‬َٚ
َ ِ‫ُ ُْ ت‬ْٕٙ ِِ ‫ْد‬
َ‫ْ ِذه‬ٛ‫ص‬

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu.
Meskipun pada ayat diatas, haqiqah-nya mengandung “perintah”, namun setiap
orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang meyangkal
bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir. Jelaslah yang dimaksud di sini adalah
memberi kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.
e. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafaz itu harus dipahami menurut apa adanya;
namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu menurut
haqiqah-nya. Umpamanya firman Allah dalam Q.S Al-Fathir: 19

ِ َ‫ ْاٌث‬َٚ َّٝ ‫ األ ْػ‬ِٞٛ َ‫َ ْغر‬٠ ‫ َِا‬َٚ


‫ ُش‬١‫ص‬

Tidak sama dengan orang buta dengan orang yang melihat.


Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut haqiqah-nya secara umum berlaku untuk
segala hal. Namun kalau kita memerhatikan arah pembicaraan ayat di atas, tentu hanya
berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti tidak
untuk menurut tuntutan haqiqah lafaz.

7
b. Macam-macam Majaz
Semua pengggunaan kata yang ditujukan bukan untuk maksud sebenarnya disebut
majaz. Adapun bentuk-bentuk majaz adalah sebagai berikut:
a. Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebernya. Seandainya
dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.

Umpanya tambahan dari kata ‫ن‬ yang berarti “seperti” yang terdapat dalam

firman allah, Q.S As-Syura: 11

ٟ‫ظ وّثٍٗ ش‬١ٌ

Tidak ada seperti semisal sesuatu pun.

Seandainya kata ‫ن‬ (seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan

mengurangi artinya. Asanya tambahan ini menemparkannya sebagai majaz,


karena berlebihan dari hakikatnya.

b. Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran
maksud dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu. Umpanya dalam firman allah
Q.S Yusuf: 82

ٗ٠‫ عىً ا ٌمش‬ٚ


Tanyalah kampong itu.

Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah "tanyalah penduduk kampung


itu". Adanya kekurangan kata " penduduk" dalam kata "kampung" di atas,
menjadikannya sebagai majaz.

c. Mendahulukan dan membelakangkn atau dalam pengertian "menukar kedudukan


suatu kata". Umpamanya firma Allah dalam Q.S An-Nisa':11

ْٓ٠‫ْ َد‬َٚ‫ا أ‬َٙ ‫ ِت‬ٝ‫ص‬ ِ َٚ ‫ِِٓ تَ ْؼ ِذ‬


ِ ُٛ٠ ‫َّح‬١‫ص‬

Sesudah mengeluarkn wasiatnya dan membayarkan utangnya.

8
Maksud sebenarnya adalah “sesudah mengluarkan wasiatnya dan
membayarkan utangnya”.

a. Meminjam kata lain atau isti'arah, yaitu menamakan sesuatu dengan


menggunakan (meminjam) kata lain, seperti memberi nama si A yang
"pemberani" dengan "singa". Isti'arah (peminjaman kata lain) itu merupakan
bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafaz majaz

Klasifikasi majaz dalam Al-Quran dapat diklasifikasikan dari aspek hubungan antara
makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali, majaz bisa dibagi menjadi
dua bagian4, yaitu :

a. Majaz Isti`arah: Isti`arah secara bahasa artinya adalah meminjam. Majaz dalam
konteks ini disusun dengan meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru
karena ada persamaan antara keduanya. Majaz isti`arah diklasifikasikan sebagai
berikut :
1) Isti`arah Tashrihiyyah Yaitu kata yang dipinjam digunakan untuk
menjelaskan persamaan musyabbah bih dengan musyabbah. Dalam
isti`arah ini biasanya musyabbah bih nya disebutkan. Contoh dalam al-
Qur‟an, QS:Ibrahim : 1

ِْ ‫ْ ِس ۗ تِا ِ ْر‬ٌُّٕٛ‫ ا‬ٌَِٝ‫د ا‬ ُّ َِِٓ ‫ط‬


ِ ٍُّ‫اٌظ‬ َ ‫ه ٌِـرُ ْخ ِش َج إٌَّا‬ َ ١ْ ٌَِ‫اٌش ۗ ِورة اَ ْٔ َض ٌُْٕٗ ا‬
‫ ِذ‬١ْ ِّ ‫ ِْض ْاٌ َذ‬٠‫ص َشا ِط ْاٌ َؼ ِض‬ ِ ٌِٝ‫ ُْ ا‬ِٙ ِّ‫َست‬
"Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu
(Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada
cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan
Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji."
2) Isti`arah Makaniyyah ini musyabbah bihnya dibuang, lalu digantikan
dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan. Contoh :QS:al-
Isra`: 24

4
Hafidz Abdurrahman,2004,Ulumul Quran,Bogor,hlm.125

9
ْٟ ِٕ١َّ‫ُ َّا َو َّا َست‬ّْٙ ‫لًُْ سَّبِّ اسْ َد‬َٚ ‫ُ َّا َجَٕا َح اٌ ُّز ِّي َِِٓ اٌشَّدْ َّ ِح‬ٌَٙ ْ‫ا ْخفِط‬َٚ
‫ ًشا‬١ْ ‫ص ِغ‬
َ
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."
3) Isti`arah Takhyliyyah: Isti`arah ini menetapkan keberadaan musyabbah
bih bagi musyabbah sehingga pihak yang diseru akan membayangkan,
bahwa musyabbah tersebut sejenis dengan musyabbah bih. Contoh QS: al-
Mulk: 8

‫ْش‬٠‫َأْذِ ُى ُْ َٔ ِز‬٠ ُْ ٌََ‫َ ۤا ا‬ُٙ‫ُ ُْ َخ َضَٔـر‬ٌَٙ َ ‫ْ ج َعا‬َٛ‫َا ف‬ٙ١ْ ِ‫ ف‬َٟ ِ‫ ِْع ۗ ُوٍَّ َّ ۤا ا ُ ٌْم‬١‫َّ ُض َِِٓ ْاٌ َغ‬١َّ َ‫ذَ َىا ُد ذ‬

"hampir meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang


kafir) dilemparkan kedalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya
kepada mereka, "Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi
peringatan kepadamu (di dunia)?"

4) Isti`arah Tamtsiliyyah: Isti`arah ini berupa susunan kata yang tidak


digunakan pada tempatnya. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan
persamaan, yaitu dengan dihilangkannya persamaan itu dari beberapa hal.
Contoh QS: al-Mulk: 22

ۤ
ِ ٍَٝ‫ًّا ػ‬٠ِٛ ‫ َع‬ْٟ ‫َّ ّْ ِش‬٠ ْٓ َِّ َ‫ ا‬ٜ‫ ۤٗ اَ ْ٘ذ‬ِٙ ْ‫ج‬َٚ ٍَٝ‫ ُِ ِىثًّا ػ‬ْٟ ‫َّ ّْ ِش‬٠ ْٓ َّ َ‫اَف‬
ُْ١ِ‫ص َشا ط ُِّ ْغرَم‬

"Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih


terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas
jalan yang lurus?"

b. Majaz Mursal: Majaz mursal ini, jika hubungan antara makna yang digunakan dengan
makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Ada beberapa
klasifikasi dari mursal, yaitu :

10
1) Juz`iyyah disebut juz`iyyah karena sesuatu disebut dengan menyebut
bagiannya. Contoh QS: al-Muzzam: 2

‫ ًْال‬١ٍَِ‫ ًَ اِ َّال ل‬١ْ ٌَّ‫لُ ُِ ا‬

"Bangunlah (untuk sholat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil,"

2) Kulliyyah disebut demikian karena yang dinyatakan adalah


keseluruhannya, sedangkan yang dimaksud hanya sebagian saja. Contoh
QS: al-Baqarah: 19

‫ك‬ َّ ٌ‫ ُْ َِِّٓ ا‬ِٙ ِٔ ‫ ا َرا‬ْٟ ۤ ِ‫ُ ُْ ف‬ٙ‫صا تِ َؼ‬


ِ ‫ا ِػ‬َٛ ‫ص‬ َ َ‫ْ َْ ا‬ٍُٛ‫َجْ َؼ‬٠ ۗ ‫تَشْ ق‬َّٚ ‫ َس ْػذ‬َّٚ ‫ ِٗ ظٍُُّد‬١ْ ِ‫ِّة َِِّٓ اٌ َّغ َّا ِء ف‬١‫ص‬ َ ‫ْ َو‬َٚ‫ا‬
َٓ٠ْ ‫ْط تِا ٌْىفِ ِش‬١‫ا ّللُ ُِ ِذ‬َٚ ۗ ‫خ‬ ِ َّْٛ ٌ‫َد َز َس ْا‬

"Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai
kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-
jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi
orang-orang yang kafir."

3) Sababiyyah ini menyebutkan sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya.


Contoh QS: al-Baqarah: 194

ًِ ‫ ِٗ ِت ِّ ْث‬١ْ ٍَ‫ْ ا َػ‬ٚ‫ ُى ُْ فَا ْػرَ ُذ‬١ْ ٍَ‫ َػ‬ٜ‫صا ص ۗ فَ َّ ِٓ ا ْػرَذ‬ َ ِ‫د ل‬ ُ ُِ‫ا ٌْ ُذش‬َٚ َِ ‫ ِْش ْاٌ َذـ َشا‬ٙ‫ ُش ْاٌ َذـ َشا َُ تِا ٌ َّش‬ْٙ ‫اٌَ َّش‬
ّ َّْ َ‫ْ ا ا‬ٛۤ ُّ ٍَ‫ا ْػ‬َٚ ‫للا‬
َٓ١ْ ِ‫للاَ َِ َغ ْاٌ ُّرَّم‬ َ ّ ‫ا‬ُٛ‫ا ذَّم‬َٚ ۗ ُْ ‫ ُى‬١ْ ٍَ‫ َػ‬ٜ‫َِا ا ْػرَذ‬

"Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang


dihormati berlaku (hukum) qisas. Oleh sebab itu barang siapa menyerang
kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-
orang yang bertakwa."

11
4) Musabbabiyyah disebut musybbabiyyah karena yang menjadi dasar
penyebutan adalah akibatnya5. Contoh QS: al-Baqarah : 61

َْ ‫د‬
ْٓ ِِ ُ‫اال سْ ض‬ ُ ِ‫ ُْخ ِشجْ ٌََٕا ِِ َّّا ذُ ْٕث‬٠ ‫ه‬ ُ ‫ا ِدذ فَا ْد‬َّٚ َ ‫ طَ َؼا‬ٍَٝ‫ ٌَ ْٓ َّٔصْ ِث َش ػ‬ٝ‫ْ ع‬ُّٛ ٠ ُْ ُ‫اِ ْر لُ ٍْر‬َٚ
َ َّ‫ع ٌََٕا َست‬
َ َ‫ ت‬َٚ ‫َا‬ٙ‫ َػ َذ ِع‬َٚ ‫َا‬ِِٙ ُْٛ‫ف‬َٚ ‫َا‬ِٙ‫لِثَّـائ‬َٚ ‫َا‬ٍِٙ‫تَ ْم‬
‫َا‬ٍِٙ‫ص‬

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, "Wahai Musa! Kami tidak tahan
hanya (makan) dengan satu macam makanan saja maka mohonkanlah
kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang
ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang
adas, dan bawang merah.

Majaz memiliki berbagai macam ragam dalam Al-Quran, yakni sebagai berikut :

a. Majaz Al-Mufrad: Majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal
peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam
beberapa macam:
1) Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya
lafadz yang tersembunyi. Contohnya dalam Q.S Yusuf: 82,

‫َا‬ٙ١ِ‫ ُوَّٕا ف‬ِٟ‫َحَ اٌَّر‬٠ ْ‫اعْأ َ ِي ْاٌمَش‬َٚ

"Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".

Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz

‫ح‬٠‫( اٌمش‬negri), yaitu lafadz ً٘‫( أ‬penduduk).

2) Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz atau


huruf tambahan. Contohnya dalam Q.S Asy-Syura: 11,

‫ء‬ْٟ ‫ْظ َو ِّ ْثٍِ ِٗ َش‬


َ ١ٌَ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia".

5
Ibid.,Hafidz Abdurrahman,hlm.126

12
Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ‫ن‬ di depan lafadz ٍٗ‫ِث‬ secara

makna muradnya merupakan tambahan.

b. Majaz at-Takrib: Majaz at-tarkib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan
atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya
hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz
al-isnaad. Contohnya dalam Q.S Al-Anfaal: 2

‫ َّاْ ًا‬٠ِ‫إ‬ ُْ ُٙ‫َاذُُٗ َصا َد ْذ‬٠‫ ُْ آ‬ِٙ ١ْ ٍَ‫د َػ‬


ْ َ١ٍُِ‫إِ َرا ذ‬َٚ

"Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".

Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu ‫ادج‬٠‫اٌض‬ (penambahan),

yang di sandarkan kepada ‫اخ‬٠٢‫ا‬ (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya

ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.

C. Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz


Asal penggunaan kata (menurut prinsipnya) adalah menurut hakikatnya dan tidak
beralih kepada penggunaan majaz, kecuali dalam keadaab yang terpaksam Suatu kata baru
dapat diketahui keadaanya sebagai majaz bila ada qarinah (petunjuk) yang mengiringinya.
Karena itu perlu diketahui yang haqiqah dan majaz itu dan antara keduanya dapat di
bedakan.

Adapun untuk mengetahui lafaz haqiqah adalah secara sima'i , yaitu dari pendengaran
terhadap apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ad cara lain untuk
mengetahui selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui analogi. Sebagaimana keadan
hukum syara' yang tidak dapat diketahui kecuali melalui nash syara' itu sendiri.

Cara mengetahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang arab
dalam penggunaan isti'arah (peminjam kata). Adapun cara orang arab menggunakan kata
lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik
dalam bentuk manapun dalam arti. Contogdalam bentuk, umpamanya menggunkan kata

ghaib (‫ىط‬ ‫)اٌغا‬ yang berarti tempat yang tenang di belakang yang dijadikan majaz terhadap

kata "buang air besar", karena buang air besar itu memang biasanya dilakukan di tempat

13
tenang di belakang. Begitu pula menyamakan dan menggunakan kata ‫الِغرُ إٌغا‬ٚ‫ ا‬yang
berarti saling menyentuh dengan jima' (bersetubuh) karena memang di antara keduanya
terdapat sentuhan.

Contoh keterkaitan dalam makna umpamanya penggunaan kata "singa" oleh orang
Arab dalam bahasa Arab terhadap orang "pemberani" karena ada persamaan di antara kedua
kata itu dalam hal kekuatan dan keberanian. Beberapa hal yang dapat dijadikan petunjuk
dalam membedakan haqiqah dengan majaz, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Salah satu di antara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman dibanding
dengan yang lain. Itulah yang haqiqah. Sedangkan yang agak lambat menyentuh
pemahaman adalah majaz
b. Salah satu diantara kedua lafaz itu dapat dikembangkan atau di tasrif-kan ke dalam

beberapa lafaz, seperti kata "amar" (‫)اِش‬yang berarti "perintah", digunakan untuk

"ucapan" adalah menurut hakikatnya karena lafaz a-ma-ra itu dapat dikembangkan

kepada bentuk kata amara-ya'muru (‫ِش‬ ‫ا‬-‫ا ِش‬٠ ) Kalau tidak dapat dikembangkan

sedemikian rupa dinamai majaz seperti penggunaan "amaru" ( ‫اِش‬ )untuk arti "sesuatu

keadaan)" secara majaz karena tidak dapay dikembangkan seperti di atas.

D. Ketentuan Haqiqah dan Majaz


Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah dan
majaz adalah sebagai berikut:
a. Bila suatu lafaz digunakan anatara haqiqah atau majaz, maka lafaz itu
ditetapkansebagai haqiqah, karena menurut asalanya penggunaan suatu lafaz atau kata
untuk haqiqah-nya.
Lafaz itupun bukan mujmal kecuali bila ada dalil yang menunjukan bahwa yang
dimaksud adalah majaz. Dengan menjadikan setiap lafaz yang memungkinkan untuk
dijadikan majaz sebagai mujmal, maka akan tercapai yang diamksud, yaitu
pemahaman.
b. Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafaz yang digunakan, baik dalam
bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula majaz,
juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam bentuk

14
umum maupun khusus. Dan antara dua bentuk ;afaz itu tidak terdapat pertentangan
karena majaz itu adalah pengganti haqiqah. Dalam hal ini terdapat kaidah ”Asal
penggunaan lafaz adalah haqiqah dan tidak beralih kepada majaz kecuali ada hajat
atau darurat”.
c. Haqiah dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafaz dalam keadaan yang
sama. Artinya masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri karena haqiqah
adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata pinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul
dalam satu lafaz.
Bila yang dimaksud suatu lafaz adalah haqiqah, maka majaz tidak diperlukan.
Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafaz adalah majaz maka haqiqah-nya tidak
diperlukan lagi. Dalam Q.S An-Nisa: 23

ُْ ‫تَٕرُ ُى‬َٚ ُْ ‫رُ ُى‬َِّٙ ُ ‫ ُى ُْ ا‬١ْ ٍَ‫د َػ‬


ْ َِ ‫ُد ِّش‬

Diharamkan atasmu ibu-ibumu dan anak-anakmu.

Kata ”ibu-ibu” ُْ ‫رُ ُى‬َِّٙ ُ ‫ا‬ dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan

terhadap “nenek”, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majaz.

Begitu pula kata “anak-anak” ‫ا تٕا ء‬ dapat digunakan untuk “cucu”, namun

penggunaan untuk “cucu” adalah dalam bentuk majaz sedangkan haqiqah-nya adalah
untuk anak kandung.

E. Penyebab Tidak Berlakunya Haqiqah


Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqah-nya dan
tidak boleh beralih kedapa yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal
tidak digunakan haqiqah-nya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
a. Adanya petunjuk penggunaan secara „urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz
Dalam hal haqiqah lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan (dipegang)
adalah apa yang mudah dipahami dari lafaz tersebut. Alasannya ialah karena suatu
kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah terbiasa orang
menggunakan suatu lafaz untuk maksud tertentu, maka penggunaan lafaz itu sudah
menempati kedudukan “haqiqah”. Umpamanya lafaz “shalat”; manurut haqiqah
penggunaannya adalah untuk “doa”. Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa

15
yang dimaksud shalat itu adalah suatu bentuk tertentu dari perbuatan ibadat, maka
pengertian shalat yang arti hakikatnya adalah doa itu tidak lagi dipergunakan. Firman
Allah yang menyuruh shalat dalam Q.S Thaha: 14

ٞ‫أَلِ ُِ اٌصَّالجَ ٌِ ِز ْو ِش‬َٚ

Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.


Dalam firman Allah diatas, yang pengertian shalat bukan lagi berdoa, tetapi
bentuk ibadat tertentu yang kita namakan shalat.

b. Adanya petunjuk lafaz


Dalam hal ini suatu lafaz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah,
namun yang dimaksud bukan untuk itu.
Contohnya, bila seseorang berkata, “Demi Allah saya tidak makan daging”.
Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melanggar
sumpah ; karena pengertian “daging” berlaku untuk segala macam daging secara
hakikatnya. Namun pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi digunakan karena
petunjuk lafaz menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan belalang yang keduanya
tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang digunakan, maka orang yang
bersumpah itu melanggar sumpahnya.

c. Adanya petunjuk berupa aturan dalan pengungkapan suatu ucapan


Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga, meskipun
diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan
kepada aturan yang ada walaupun berada di luar haqiqah. Umpamanya firman Allah
dalam Q.S Al-Kahfi : 29

‫َٓ َٔاسًا‬١ِّ ٌِ‫َ ْىفُشْ إَِّٔا أَ ْػرَ ْذَٔا ٌٍِظَّا‬١ٍْ َ‫ َِ ْٓ َشا َء ف‬َٚ ْٓ ِِ ‫ ُْؤ‬١ٍْ َ‫فَ َّ ْٓ َشا َء ف‬

Barangsiapa yang mau, berimanlah dan barangsiapa yang mau kafirlah.


Sesungguhnya Kami menyediakan neraka bagi orang yang zalim.
Secara haqiqah ungkapan ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk
beriman atau untuk kafir. Namun karena di ujung ayat ada ancaman bagi orang zalim

16
yang kafir, maka ayat ini tidak dipahami menurut haqiqah-nya, tetapi dengan arti lain,
yaitu keharusan beriman dan dalam hal ini tidak ada pilihan.

d. Adanya petunjuk dari sifat pembicara


Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqah-nya berarti
menurut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa
ia tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah
yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan. Umpamanya firman Allah dalam surat
Al-Isra‟ (17): 64:
َ ‫ا ْعرَ ْف ِض ْص َِ ِٓ ا ْعرَطَؼ‬َٚ
َ ِ‫ُ ُْ ت‬ْٕٙ ِِ ‫ْد‬
َ‫ْ ذِه‬ٛ‫ص‬

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu.
Meskipun pada ayat diatas, haqiqah-nya mengandung “perintah”, namun setiap
orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang meyangkal
bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir. Jelaslah yang dimaksud di sini adalah
memberi kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.

e. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan


Berdasarkan haqiqah penggunaan lafaz itu harus dipahami menurut apa
adanya; namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu
menurut haqiqah-nya. Umpamanya firman Allah dalam Q.S Al-Fathir : 19

ِ َ‫ ْاٌث‬َٚ َّٝ ‫ األ ْػ‬ِٞٛ َ‫َ ْغر‬٠ ‫ َِا‬َٚ


‫ ُش‬١‫ص‬

Tidak sama dengan orang buta dengan orang yang melihat.


Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut haqiqah-nya secara umum berlaku
untuk segala hal. Namun kalau kita memerhatikan arah pembicaraan ayat di atas,
tentu hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini
berarti tidak untuk menurut tuntutan haqiqah lafaz.

17
Hukum haqiqah dan majaz
Apabila ada suatu lafaz mempunyai kemungkinan untuk diartikan secara hakiki
dan majazi, maka lafaz itu harus diartikan dengan makna yang hakiki, tidak dengan
makna majazi. Sebab makna yang hakiki merupakan makna yang asli dan makna yang
majazi timbul kemudian untuk menggantikan kedudukannya. Selama makna hakiki masih
dapat diamalkan, maka makna hakiki itulah yang mesti diambil. Atas dasar itu, misalnya
seseorang mengatakan akan memberi harta kepada anak-anaknya, maka cucunya tidak
termasuk ke dalamnya. Sebab cucu tidak termasuk makna yang hakiki dari kata “anak”,
meskipun secara majazi ia termasuk dalam kategori makna anak, karena la merupakan
keturunannya (Ali Hasbullah,1976:253-254). Demikian, qarinah (penguat) merupakan
faktor penentu bagi penggunaan arti majaz (Wahbah al-Zuhaili, 1986:297).

Dalam kaitannya dengan hukum, hakikat dan majaz adalah sama dalam hal
memberikan pengertian hukum. Kesimpulan hukum dapat diambil dari suatu lafaz
dengan berdasarkan makna yang hakiki yang diciptakan bagi lafaz itu, baik lafaz itu
umum atau khusus, perintah atau larangan. Demikian pula kesimpulan hukum tersebut
dapat diambil dari suatu lafaz dengan berdasarkan makna majazi yang dipinjamkan untuk
lafaz itu (Ali Hasbullah, 1976:254).

Kebanyakan lafaz dalam Alquran dan dipergunakan dengan arti yang hakiki, akan
tetapi ada pula lafaz dalam kedua sumber hukum itu mesti diartikan dengan arti majazi 6.
Contoh bentuk yang pertama, firman Allah Swt:

َْ ُْٛ‫ َْش ٌَ َؼٍَّ ُى ُْ ذُ ْفٍِذ‬١‫ا ْاٌ َخ‬ٍُٛ‫ا ْف َؼ‬َٚ ُْ ‫ْ ا َستَّ ُى‬ٚ‫ا ْػثُ ُذ‬َٚ ‫ْ ا‬ٚ‫ا ْع ُج ُذ‬َٚ ‫ْ ا‬ُٛ‫ا اسْ َوؼ‬َُِٕٛ ‫َٓ ا‬٠ْ ‫َا اٌَّ ِز‬ُّٙ٠َ‫ا‬٠
Artinya: “Hai orang orang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj:
77).

Ayat tersebut memerintahkan ruku´, sujud, menyembah Tuhan dan berbuat baik
dalam arti yang hakiki, bukan majazi seperti tunduk kepada hukum alam yang diciptakan
Allah. Adapun contoh bentuk kedua adalah firman Allah Swt:

6
Ahmad Badawi, Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat dan Majaz.hlm.55-56

18
‫ْ ا َِ ۤا ًء‬ٚ‫ْ ٌ َّ ْغرُ ُُ إٌِّ َغ ۤا َء فٍََ ُْ ذَ ِج ُذ‬َٚ‫ْ َج ۤا َء اَ َدذ ِِّ ْٕ ُى ُْ َِِّٓ ْاٌ َغ ۤا ِى ِط ا‬َٚ‫ َعفَش ا‬ٍَٝ‫ْ ػ‬َٚ‫ ا‬ٝ‫اِ ْْ ُو ْٕرُ ُْ َِّشْ ظ‬َٚ
َ ‫ذًا‬١ْ ‫ص ِؼ‬
‫ِّةً ا‬١‫ط‬ َ ‫ْ ا‬ُّٛ َّّ َ١َ‫فَر‬
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (QS. Al-Maidah: 6).

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Haqiqah dan majaz menurut ulama ushul fiqh ditemukan banyak definisi yang
beragam dimana definisi dikembangkan oleh al-amidi yaitu: haqiqah adalah lafaz yang
digunakan pada asal peletakannya, sedangkan majaz adalah lafaz yang penggunaannya
diletakkan dalam makna yang bukan sebenarnya dalam pembicaraan karena ada
keterkaitannya.

Dari beberapa definisi para ulama dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Sebuah lafaz itu tidak disifati dengan haqiqah dan majaz sebelum digunakan dengan
makna yang dikaitkan terhadap kehendak mutakalim
2. Ketika dikehendaki makna majaz harus adanya qarinah (penguat) dan aqalah
(penghubung). Jika tidak, maka itu musytarik.
3. Harus ada qarinah yang menunjukan terhadap dicegahnya lafaz dari mendatangkan
makna hakiki (yang sebenarnya)
4. Ketika lafaz disifati haqiqah atau majaz maka harus dihubungkan dengan wadhi (orang-
orang yang meletakkan). Jika wadhi lughah maka peletakannya lughah dan seterusnya.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan
dan sumber yang didapat, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kedepannya makalah ini jauh lebih sempurna.

20
DAFTAR PUSTAKA

Badawi, A. (2019). Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat dan Majaz. Jurnal Al-Fikru, 55-56.

Dr.Hamzah, S. M. (2021). MAJAZ (Konsep Dasar dan Klasifikasinya dalam ilmu Balagah). Lamongan:
Academia Publication.

Firdaus. (2018). Hakikat dan Majaz dalam Al-Quran dan Sunnah. Jurnal Kajian Pengembangan Umat,
44-50.

Syarifuddin, P. (2011). USHUL FIQH JILID II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

21

Anda mungkin juga menyukai