Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

LAFAZ’AM DAN KAIDAH-KAIDAH YANG TERKAIT

Kelompok 14 :

Riski Saputra

NIM : 22.02100

Dosen Pengampu :H. Rusmin, M.Pd.I

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

YAYASAN PERGURUAN TINGGI ISLAM (YPAI)

AL-KALAM SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STI-TAR)

MUARA ENIM TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-
Nya lah sehingga kami pemakalah ini dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Lafazh ‘Am”, penyusunan makalah ini hanya sebatas
pengetahuan yang kami miliki dan beberapa referensi maupun buku atau
website. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas yang diberikan oleh bapak Rusmin, M.Pd.I selaku dosen pembimbing
pada mata kuliah ushul fiqh di program pendidikan islam. Terima kasih kami
ucapkan kepada segenap pihak yang telah memberikan saran dan arahan selama
penulisan materi sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.

Muara Enim, 15 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang.........................................................................................iii
B. Rumusan Masalah....................................................................................iii
C. Tujuan makalah........................................................................................iv
BAB II : Pembahasan
A. Pengertian Lafazh’am...............................................................................1
B. Lafaz-lafaz ‘Am.........................................................................................2
C. Dilậlah (Penunjukan) Lafadz Umum........................................................5
BAB III : Penutup
A. Kesimpulan..................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pembahasan Uhsul Fiqh, bahasa Arab adalah salah
satu ilmu pendukung sangat penting dalam hal yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Mengingat Nash- nash hukum islam hal ini
sangatlah logis untuk menggunakan bahasa Arab. Karena itu, seseorang
dapat memahami dan mempelajari lebih dalam tentang hukum yang
terkandung dan harus mendalami bahasa Arab. Pembahasan ini
difokuskan pada aspek cakupan Lafaz ‘am. Dari segi sifat yang
ditentukan muthlaq dan muqayyad.

Al-quran sebagai sumber primer agama islam , telah


mengandung hukum-hukum yang menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat
manusia. Namun, semua hukum itu tidak dijelaskan secara spesifik. Oleh
karena itu ulama membuat metode tertentu untuk menangkap maksud tuuhan
dalam al-quran, baik berbentuk perintah, larangan, ataupun pilihan. Ilmu ushul
fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami
syari’at islam dari sumber aslinya; al-quran. Melalui ushul fiqh dapat megetahui
kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at islam ,serta cara memahami suatu
dalil dan implementasinya dalam kehidupan manusia.1

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Lalafz ‘Am?
2. Apa saja Lafadz-lafadz yang menunjukkan arti ‘Am?
3. Apa sajakah yamg termasuk Dilậlah (Penunjukan) dari Lafazh ‘Am?

1
Untuk memahami ketentuan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis, ulama ushul
fiqh telah menetakan beberapa kaidah yang dinamakan “al-Qawaid al-Lughawiyah”meliputi: (1)
Dilalatul Lafdziyah (2) Mafhum Mukhalafah (3) Dilalatul Nash yang jelas (4) Dilalatul Nash yang
kurang jelas (5) Lafal Musytarak (6) lafaz ‘Amm, dan (7) lafaz Khas. Lihat H.M. Asywadie
Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1990), hal. 188

iii
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Lalafaz ‘am
2. Untuk mengetahui apa saja Lafadz-lafadz yang menunjukan arti
Am
3. Untuk mengetahui apa saja Dilậlah (Penunjukan) dari Lafadz ‘am

iv
v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafazh ‘Am

Secara bahasa ‘am berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Seperti
disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafal umum adalah lafal yang diciptakan
untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi
dengan jumlah tertentu.2
Adapun menurut istilah‘am sebagaimana dikemukakan oleh Abdul
Hamid Hakim ialah :

Artinya : “Am adalah lafaz yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup
satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafaz itu tanpa pembatasan jumlah
tertentu.”3
Dalam upaya untuk memahami alam para ulama Ushul telah
memberikan sejumlah definisi atau pengertian dasar mengandung maksud
yang sama, walaupun redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh Al-
khudari Beik, mendefinisikannya sebagai berikut ;

“al-‘am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana


didalamnya tercakup sejumlah objek atau satuan yang banyak”..
Sementara itu, Zaki al-Din Sya’ban mendefinisikan al-‘Am sebagai
berikut;

“al-‘Am ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi
berbagai objek di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa hakekat keumuman
lafal adalah karena lafal itu sendiri terlihat dari segi karakteristik dan nilai
yang terkandung arti yang banyak dan tidak menunjukkan kepada objek yang

2
PROF. DR. H. SATRIA EFFENDI M. ZEIN, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta : KENCANA Januari
2017), hal.79
3
DR.H.Sapiudin Shidiq,M.AG.,Ushul Fiqh, (jakarta : januari 2017), hal.160

1
tertentu. Dengan kata lain dapat disebut Suatu lafal yang dikategorikan kepada
yang umum, jika suatu kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah
objek yang tercakup di dalamnya.4
“lafal ‘am (umum) ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian
umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah
tertentu.” 5
Dari beberapa pendapat para tokoh, dapat dirumuskan bahwasanya lafadz ‘am ;
1. Hanya terdiri dari satu pengertian tunggal yang memiliki beberapa
afrậd (satuan pengertian)

2. Tunggal di sini dapat digunakan dalam satuan pengertian yang sama


dalam penggunaannya.

3. Apabila hukum yang berlaku itu untuk satu lafadz, maka hukum itu
berlaku pula terhadap setiap afrậd yang tercakup dalam lafadz tersebut.

B. Lafadz-Lafadz yang Menunjukkan Arti ‘Am

Adapun beberapa ketentuan atau syarat dalam penentuan lafadz


‘am, sehingga tidak semua lafadzbisa dikatakan sebagai ‘am, diantaranya :

1. Lafadz ‫كل‬/setiap dan ‫جميع‬/semua6, misalnya:


QS. At-Thur ayat 21
      
            
 

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal
mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
(QS, At-Thur:21)
QS. Al-Baqarah ayat 29
4
Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011), cet. I, hal. 197
5
Op,. Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 56
6
Ibid,. Satria Effendi & M. Zein, hlm. 196.

2
          

         


Artinya : “Dialah (Allah) yang menjadikan untukmu segala yang ada di
bumi secara keseluruhan (jami’an).” (QS. Al-Baqarah:29).

1. Lafadz mufrad ‫ الم ف فرد‬yang dima’rifahkan dengan ditambah ‫الجنسف فيةا‬


‫“( ل‬al” yang menunjukkan jenis) 7

misalnya dalam QS. Al-Ashr ayat 2;

     

Artinya : “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-


Ashr:2)

3.Lafadz jama’ ( ‫ )الجمع‬yang dima’rifahkan dengan ‫الجنسيةال‬dan jama’yang


dimakrifahkan dengan idhafah8
:Contoh (jama’ yang dima’rifahkan)

     

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahandiri (menunggu) tiga kali


quru'.” (QS. Al-Baqarah:228).
Contoh (jama’ yang dima’rifahkan dengan idhafah):
       
..............  
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka.” (QS. At- Taubah:103).
4. Isim Maushul (‫)الموصولة الس^ماء‬, yakni jika dalam suatu ayat tersebut

didahului atau terdapat isim maushulnya,9 seperti: ّ‫ التي– الذي‬-‫ّلتي ال –الذين‬/‫لئى ال‬
7
Abdul Wahid, KAIDAH-KAIDAH PEMAHAMAN DAN PENGAMBILAN HUKUM AL-QUR’AN
DAN
AS-SUNNAH (Studi Tentang Lafazh ‘Am, Khash, Lafazh Muthlak dan Muqayyad), Jurnal
Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna Edisi 10 Nomor 2, 2015, hlm. 62

8
Loc,. Cit, Abdul Wahid, hlm. 62
9
Muhammad Amin Sahib, LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM - KHÂS -
MUTHLAQ -MUQAYYAD), Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, 2016, hlm. 140.

3
Contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 10 :
       
      
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(QS.An-
Nisa’:10).

5. Isim Syarat: ‫( الشرطأسماء‬kata benda untuk mensyaratkan),10 Seperti: ْ ‫ ن َم‬dan ‫َم‬


‫( ا‬apa-apa).
Contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 92 :
       
.........       
Artinya: “...dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (QS.
An-Nisa’:92)

6. Isim Nakirah (‫) النكرةاسم‬yang diawali oleh la nafii atau dinafikan, seperti
lafadz la junaaha ( (‫ جناح ل‬dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10).

..............      

Artinya: “... dan tidak ada dosa (la junaaha) atas kamu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya...” (QS. Al-
Mumtahanah:10).

C. Dilậlah (Penunjukan) Lafadz Umum

10
Op,. Cit, Satria Effendi & M. Zein, hlm. 197.

4
Penunjukan lafadz ‘am para ulama ushul tidak ada perbedaan dalam
pendapatnya, karena di dalam lafadz ‘am secara lughowi telah mencakup seluruh
afrad (satuan) makna dalam pengertiannya. Sehingga ketika ada nash syara’ yang
turun dalam bentuk lafadz ‘am, maka tidak akan ada perdebatan di dalamnya,
kecuali akan ada dalil lain yang kemudian membatasi (men-takhsis) nash tersebut.
Dan hal yang demikian itu membuat adanya beberapa pandangan atau pendapat
yang cukup beragam dari para ulama’ mengenai penunjukkan lafadz‘am yang
kemudian diikuti oleh dalil takhsis, dengan perbedaan apakah lafadz tersebut
bersifat qath’i (pasti/meyakinkan) atau dzanni (diduga kuat/tidak meyakinkan).11
1. Menurut ulama’ Syafiiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am yang belum
dikhususkan, dilalah-nya kepada seluruh afrad-nya, maka bersifat
dzanny12 karena masih ada kemungkinan untuk ditakhsis, meskipun
belum ada dalil yang pasti untuk mentakhsis dalil (lafadz‘am).
Secara bahasa, lafadz ‘am selalu berada dalam kemungkinan untuk
terkena takhsis. Sehingga, ulama Syafi’iyah tidak bisa mengatakan
bahwa semua lafadz ‘am bisa bersifat qath’i, melainkan dzanny.

Mereka, memiliki dua argumen yang mendasari hal tersebut.

a. Sebagian afrad dari lafadz‘am memiliki maksud yang banyak.


Sehingga memungkinkan adanya dalil yang men-takhsisnya.
b. Hasil penelitian terhadap nash yang mengandung lafadz‘am
menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak terkena takhsis.
2. Menurut ulama’ Hanafiah, lafadz‘am yang belum dikhususkan bersifat
qath’iy (pasti) mencakup seluruh satuannya. Maksud qath’i yang
ditetapkan dari lafazh yang ‘am disini adalah, apabila dalam lafazh
tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan lain yang timbul
karena adanya dalil lain yang kemudian men-takhsiskannya. Sehingga
kemungkinan adanya takhsis tidak hilang secara muthlak. Jadi, apabila
ada pen- takhsisan maka dilalahnya terhadap yang tersisa daripada

11
Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 86.

5
afradnya sesudah pengkhususan itu bersifat dhanny. Adapun argumen
yang mendasri pendapat mereka antara lain12.
a. Banyaknya maksud dari sebagian afrad lafadz‘am yang sulit untuk
diterima apabila tidak ada qorinah yang menunjukannya, baik
dalam bentuk lafadz maupun bukan lafadz. Adapun jika setelahnya
terdapat nash yang mengeluarkan sebagian afrad- nya, maka hal
ini bukanlah sebagai penjelas atau menunjukkan sebagian afrad
dari ‘am, melainkan adalah nasikh, Kemudian dipertegas oleh
Hanafiyah bahwasanya pengkhususan pertama terhadap lafadz‘am
harus dengan dalil qath’iy, karena yang qath’iy hanya dapat
dikhususkan dengan dalil qath’iy. Adapun pengkhususan kedua,
ketiga, dan seterusnya boleh dengan dalil dhanny, karena dilalah
‘am yang sudah dikhususkan bersifat dhanny13
b. Selama tidak ada petunjuk untuk memalingkan makna lafadz‘am
maka tetap bersifat qath’i. Karena lafadz‘am dibentuk dan
digunakan secara hakiki untuk mencakup semua makna yang
terkandung di dalamnya.
3. Selanjutnya adalah Imam Malik yang mana beliau lebih berada
ditengah-tengah dari kedua pendapat ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Beliau berpendapat bahwa dalalah keumuman Al-Qur’an itu bersifat
zhanny, jika dilihat dari lahiriyahnya, namun baginya keumuman Al-
Qur’an tidak selalu bisa ditakhsis apalagi dengan khabar ahad.
Misalnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 24.
...............      

Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”

Ada beberapa lafazh yang bukan termasuk lafazh umum,


12
Membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang kemudian. (Safiun
Shidik, Ushul Fiqh, PT. Intimedia Ciptanusantara:Tangerang, 2009, hlm. 128.)

13
Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ushul fiqh,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA Mei 2017)
hal.233

6
sebagaimana yang dikemukakan oleh Hanafi sebagai berikut.

1. Lafazh nakirah, seperti kata rajulun, hanya menunjuk pada seseorang,


bukan umum;

2. Lafazh tatsniyah dan jama’, seperti kata rajulani dan rajulun. Kata itu
menunjuk kepada dua orang atau dua saja,tiga dan tidak lebih;

3. Lafazh ‘adad, yang menunjukkan bilangan;

4. Lafazh musytarak, hanya memiliki beberapa arti, tetapi tidak


menunjukkan kepada umum, musytarak tidak meliputi sesuatu yang
umum, ,melainkan banyak, belum tentu yang jumlahnya banyak itu
bermakna umum;

5. Lafazh yang artinya majazi;


6. Lafazh mutlak, lafazh yang tidak dibatasi oleh suatu sifat tertentu.14

14
Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ushul fiqh,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA Mei 2017)
hal.233

7
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Secara bahasa ‘am berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. “lafal
‘am (umum) ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan
pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.”Dari beberapa
pendapat para tokoh, dapat dirumuskan bahwasanya lafadz ‘am ;1. Hanya
terdiri dari satu pengertian tunggal yang memiliki beberapa afrậd (satuan
pengertian), 2. Tunggal di sini dapat digunakan dalam satuan pengertian yang
sama dalam penggunaannya, 3.Apabila hukum yang berlaku itu untuk satu
lafadz, maka hukum itu berlaku pula terhadap setiap afrậd yang tercakup dalam
lafadz tersebut.
Adapun beberapa ketentuan atau syarat dalam penentuan lafadz ‘am,
sehingga tidak semua lafadzbisa dikatakan sebagai ‘am, diantaranya :
1.Lafadz ‫كل‬/setiap dan ‫جميع‬/semua,
2. Lafadz mufrad ‫ المف فرد‬yangdima’rifahkan dengan ditambah ‫الجنس فيةال‬
(“al” yang menunjukkan jenis),
3.Lafadz jama’ (‫ )الجمع‬yang dima’rifahkan dengan ‫الجنسيةال‬dan jama’yang
dimakrifahkan dengan idhafah,
4.Isim Maushul (‫)الموصولة السماء‬, yakni jika dalam suatu ayat tersebut didahului
atau terdapat isim maushulnya
5.Contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 10, 6.Isim Syarat: ‫( الشرطأسماء‬kata benda
untuk mensyaratkan), dan 7. Isim Nakirah (‫)النكرةاسم‬yang diawali oleh la nafii
atau dinafikan.
Para ulama’ mengenai penunjukkan lafadz‘am yang kemudian diikuti
oleh dalil takhsis, dengan perbedaan apakah lafadz tersebut bersifat qath’i
(pasti/meyakinkan) atau dzanni (diduga kuat/tidak meyakinkan).

1. Menurut ulama’ Syafiiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am

8
yang belum dikhususkan, dilalah-nya kepada seluruh afrad-
nya, maka bersifat dzanny karena masih ada kemungkinan
untuk di¬takhsis, meskipun belum ada dalil yang pasti untuk
mentakhsis dalil (lafadz‘am).
2. Menurut ulama’ Hanafiah, lafadz‘am yang belum dikhususkan
bersifat qath’iy (pasti) mencakup seluruh satuannya.
3. Selanjutnya adalah Imam Malik yang mana beliau lebih
berada ditengah-tengah dari kedua pendapat ulama’ Syafi’iyah
dan Hanafiyah.

Diantara dalil-dalil pen-takhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-Qur’an, takhsis


Sunnah, dan takhsis dengan qiyas. Lafadz umum setelah di takhsis,
kemungkinannya menjadi khusus (makna sebagian). Tinggal itulah
sesungguhnya yang dimaksud oleh ayat umum sejak diturunkan atau oleh hadis
yang diucapkan. Para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an,
dan hadis mutawatir (Hadits yang diriwayatkan sekelompok orang yang tidak
mungkin berbohong), dapat men-takhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur’an.

PROF. DR. H. SATRIA EFFENDI M. ZEIN, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta : KENCANA Januari
2017), hal.79

DAFTAR PUSTAKA

Untuk memahami ketentuan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan


hadis, ulama ushul fiqh telah menetakan beberapa kaidah yang dinamakan “al-
Qawaid al-Lughawiyah”meliputi: (1) Dilalatul Lafdziyah (2) Mafhum

9
Mukhalafah (3) Dilalatul Nash yang jelas (4) Dilalatul Nash yang kurang jelas
(5) Lafal Musytarak (6) lafaz ‘Amm, dan (7) lafaz Khas. Lihat H.M. Asywadie
Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Pt Bina Ilmu,
1990).DR.H.Sapiudin Shidiq,M.AG.,Ushul Fiqh, (jakarta : januari 2017).
DR.H.Sapiudin Shidiq,M.AG.,Ushul Fiqh, (jakarta : januari 2017).
Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011), cet. I,

Op,. Cit, Amir Syarifuddin,

Ibid,. Satria Effendi & M. Zein,

Abdul Wahid, KAIDAH-KAIDAH PEMAHAMAN DAN PENGAMBILAN


HUKUM AL-QUR’AN DANAS-SUNNAH (Studi Tentang Lafazh ‘Am, Khash,
Lafazh Muthlak dan Muqayyad), Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna
Edisi 10 Nomor 2, 2015,

Loc,. Cit, Abdul Wahid,


Muhammad Amin Sahib, LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM -
KHÂS - MUTHLAQ -MUQAYYAD), Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2,
2016.
Op,. Cit, Satria Effendi & M. Zein,
Op,.Cit, Amir Syarifuddin, Membatalkan pelaksanaan hukum dengan
hukum yang datang kemudian. (Safiun Shidik, Ushul Fiqh, PT. Intimedia
Ciptanusantara:Tangerang, 2009.
Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ushul fiqh,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA
Mei 2017).
Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ushul fiqh,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA
Mei 2017).

10

Anda mungkin juga menyukai