Anda di halaman 1dari 17

Kaidah Ushuliyyah (Manthuq dan Mafhum, Dzahir dan Mu’awwal,

Nasakh, Muradif dan Musytarak)


Dosen Pengampu: Afidatul Asmar, S.Sos. M.

OLEH:
KELOMPOK 7
ELMA TEANA ARIFIN (19.62202.036)
SITI RAHMAYANI RAHMAN (19.62202.044)
FATIMAH AZ-ZAHRA.N (19.62202.065)

AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PARE PARE
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas limpah
dan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Kaidah Ushuliyah (Manthuq dan Mafhum, Dzahir dan Mu’awwal,
Nasakh, Muradif dan Musytarak)”. makalah ini disusun guna menambah wawasan
pengetahuan mengenai Kaidah-kaidah ushuliyah. Tugas ini disajikan sebagai
bahan materi mata kuliah Pengantar ilmu fiqhi IAIN Pare pare.

Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari
kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari
beberapa referensi mengenai Kaidah-kaidah Ushuliyah yang saling berkaitan.
Apabila dalam penulisan akalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam
penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat sangat menyadari bahwa
semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Pare-pare, 15 November 2019

penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar belakang..............................................................................................4
B. Rumusan masalah........................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
A. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan mafhum....................6
B. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu’awwal....................7
C. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh............................................8
D. Kaidah-kaidah yangberkaitan dengan Mudarif dan Musytarak................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................16
KESIMPULAN.....................................................................................................16
SARAN..................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung didalam Al-
Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang didalam Al-Qur’an tersebut tidak
semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita
mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an
hanya dengan mengandalakan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga
pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan
menemukan sebuah pembahsan tentang Manthuq dan mafhun, Dzahir dan
Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak. mengingat teks Al-Qur’an tidak serta
merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir
membuat pembahsan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, kan kita temukan beberapa ayat
yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, juga ada ayat yang
maknanya tersirat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua
memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-
Qur’an, penulis akan memaparkan pengertian, pembagian dari Manthuq dan
mafhun, Dzahir dan Mu’awwal, Nasakh, Muradi, Musytarak.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Manthuq dan Mafhum?
2. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Mu’awwal?
3. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Nasakh?
4. Apa saja kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan Musytarak?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kaidah-kaidah apa saja yang berkaitan dengan Manthuq
dan Mafhum.
2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan
Mu,awwal.
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dangan Nasakh.
4. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muradif dan
Musytarak.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Mantuq Dan Mafhun

1. Pengertian Mantuq Dan Mafhum


Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.
Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu
sendiri. Jadi mantuq, adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat
pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak di
tempat pembicaraan, tetapi dari pemahamanterdapat ucapan tersebut.
Seperti firman Allah:
"Maka jangan kamu katakan kepada dua orang ibu bapakmu perkataan yang
keji" (QS. Al Isra ': 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq yaitu ucapan lafal itu
sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada
dua orang ibu bapakmu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu
memukul dan menyiksanya(juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung
kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan
tidak nyata disebut dengan mafhum.
2. Pembagian Mantuq
a. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta'wilkan lagi.
Seperti firman Allah SWT.: Artinya: "Barang siapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari"
(QS. Al-Maidah: 89).
b. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan
yang dimaksud dan menghendaki kepada penta'wilan Seperti firman Allah
SWT.: Artinya: "Dan kekal wajah Tuhan engkau" (QS. Ar Rahman: 27).
Wajah dalam ayat diartikan dengan zat, karena mustahil bagi Tuhan
mempunyai wajah.

6
3. Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian:
a. Mafhum Muwafaqah; yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut
ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibedakan
kepada:
1.) Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
hukumnya.
2.) Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan, seperti fiman Allah SWT.: .
b. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada
ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh
sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikan- nya daripada bunyi lafal yang
diucapkan.
B. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Dzahir Dan Muawwal
1. Pengertian Dzahir dan Mu’awwal
Dzahir adalah lafal yang menunjukkan makna secara langsung tanpa
memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan
memungkinkan adanya takhsis maupun takwil serta nasakh di masa Rasulullah
SAW. (Ahmad Muhammad asy-Syafi, 1983 374).
Sedangkan muawwal adalah lafal yang dikeluarkan dari makna
dhohirnya pada makna lain yang menghendakinya berdasarkan bukti yang
menunjukkan demikian, serta memungkin- kan adanya rajih. (Ahmad
Muhammad asy-Syafi'i, 1983 395)
Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Dzahir dan Muawwal adalah
sebagian berikut:
2. Masalah Faru'iah dan Takwil
Jumhur ulama sepakat bahwa masalah-masalah furu'iah dapat
ditakwilkan. Kaidahnya: "Masalah furu'dapat dimasuki takwil secara ittifaq"
(Abdul Hamid Hakim, 1983:88)

7
3. Masalah Aqoid, Ushuluddin, atau Ketuhanan dan Takwil
Dalam kaitan masalah yang esensi ini, para ulama berbeda pendapat
dalam penakwilan.
a. Golongan Musyabbahah tidak menghendaki adanya takwil pada masalah
aqoid
b. Golongan Salaf (Hanbaliah maupun Ibnu Taimiah) memper- bolehkan
adanya takwil pada masalah esensi namun pada akhirnya penakwilan itu
diserahkan pada Allah SWT.
c. Golongan Mutakallimin, seperti Asy'ariyah memperbolehkan adanya
takwil pada masalah esensi.

C. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Nasakh


1. Definisi Nasakh
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqhi adalah: Pembatalan
pemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum
ang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-
terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau
untuk pembatalan sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang
menghendakinya, atau nasakh ialah : menyatakan dalil susulan yang
mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.
2. Hikmah Penasakhan Hukum
Nasakh ini terjadi pada hukum ilahi dan terjadi pula pada semua hukun
asitif. Sebab maksud dari setiap hukum baik hukum Ilahi maupun hukur sitif
ialah mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusi kadang
mengalami perubahan dengan perubahan yang terjadi pada situasi dan kondisi
mereka.Terkadang suatu hukum diisvaratkan untuk mewujudkan kemaslahatan
yang dituntut oleh berbagni sebab, maka tidak ada lagi kemaslahatan bagi
tetapnya hukum itu, sebagaimana disebutkan bahwa sejumlah delegasi dari
kaum muslimin datang ke Madinah pada hari Raya Idul Adha, kemudian
Rasulullah SAW hendak meniamu di antara teman-teman mereka dalam
kelapangan, maka beliau melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban,

8
sehingga para delegasi itu menemukan kelapangan pada mereka. Lantas setelah
mereka berangkat, maka beliau memperboleh- kan kaum muslimin menyimpan
daging kurban lagi. Rasulullah SAW bersabda: "Aku melarang kamu
menyimpan daging kurban hanyalah karena ada penumpukan, ingatlah maka
simpanlah !"
Di samping itu, karena keadilan pembentukan hukum menuntut keber-
tahapan dan tidak ada keterburu-buruan orang yang mensyariatkan kepada
mereka dengan sesuatu yang memberatkan mereka untuk melaksanakannya,
atau sesuatu yang berat bagi mereka untuk meninggalkannya. Jadi, keber-
tahapan ini menuntut keadilan dan penukaran sebagaimana yang terjadi pada
hukum khamar. Allah SWT. tidaklah mensyariatkannya pada permulaan
pentasyrikan. Akan tetapi Allah menjelaskan bahwa khamar mengandung dosa
vang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, namun dosanya lebih besar
daripada manfaatnya. Hal ini merupakan persiapan dan pengantaran kepada
pengharamannya. Karena sesuatu yang bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya, maka berdasarkan akal sepantasnyalah dijauhi. Kemudian Allah
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk tidak mendekati shalat padahal
mereka sedang mabuk. Maka ini adalah persiapan yang kedua untuk
mengharamkanya dan menjauhkannya, karena waktu shalat berkali-kali dan
terpisah-pisah, sehingga kaum muslimin tidak merasa aman apabila mereka
meminumnya pada waktu shalat sedangkan mereka dalam keadaan mabuk.
Selanjutnya sesudah itu, datang nash yang sharih bahwa meminum khamar
adalah sebagian dari pekerjaan syaitan dan datanglah perintah untuls
menjauhinya. Demikian pula peraturan warisan. Ada waktu senggang pad
permulaan Islam dimana peraturan tersebut tetap pada kebiasaan dari bangs
Arab pada masa Jahiliyyah mereka, kemudian agama Islam berusaha
mengubahnya dengan bertahap. Pertama kali Islam menghapuskan pewarisan
ber. dasarkan anak angkat. kemudian pewarisan berdasarkan saling bersumpah
dan pengikatan persaudaraan dihapuskan. selanjutnya disyariatkan huku yang
terperinci mengenai pewarisan, yang merobohkan dasar-dasar yang tidak adil

9
yang diberlakukan oleh bangsa Arab pada masa jahiliyyah mengenai peraturan
warisan mereka.
3. Macam-macam Nasakh
Nasakh terkadang sharih (jelas) dan kadangkala bersifat dhi
(kandungannya) Naskh yang sharih ialah: Syari' menyebutkan dengan jelas
dalam pentasyri'an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan hukumnya
yang terdahulu.
Misalnya firman Allah SWT.:
Artinya: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di
antara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu orang dari orang-orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika di antaramu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika di antaramu ada seribu orang
(yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan
keizinan Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar". (Q. S. Al Anfal: 65-
66)
Juga sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: "Aku pernah melarang kamu berziarah kubur. Ingatlah, ziarahlah ke
kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan kamu akan kehidupan
akhirat"
Serta sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena
penumpukan. Ingatlah, simpanlah daging itu"
Nasakh yang sharih ini adalah yang banyak terdapat dalam hukum
positif, karena kebanyakan undang-undang yang dikeluarkan untuk meng-
gantikan undang-undang terdahulu selalu menyebutkan secara jelas terhadan
nash-nash yang dibatalkan dalam undang-undang yang terdahulu, atau me-
nyatakan pembatalan seluruh hukum pada undang-undang terdahulu yang

10
bertentangan terhadap ketentuan yang disebutkan dalam undang-undang ini.
sebagaimana perintah kerajaan dalam Undang-Undang tahun 1930 menyebut-
kan secara jelas pembatalan Undang-Undang tahun 1923, sebagaimana undang-
undang pencatatan menyebutkan secara jelas terhadap pembatalan sejumlah
ketentuan dalam undang-undang perdata. Adapun nasakh dhimni ialah: Syari'
tidak menyebutkan secara terang- terangan dalam pensyariatannya yang
menyusul terhadap pembatalan pen- syariatannya yang terdahulu, akan tetapi
Dia mensyariatkan hukum baru yang bertentangan dengan hukumNya yang
terdahulu, padahal tidak mungkin mensintesakan antara kedua hukum itu,
kecuali dengan membatalkan salah satu dari keduanya, sehingga nash yang
menyusul dianggap menasakhkan terhadap yang terdahulu secara kandungannya
( dhimni).
Nasakh dhimni ini adalah yang banyàk terdapat dalam penetapan hukum
Ilahi.
Misalnya, firman Allah SWT.
Artinya "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabamya secara makruf" (Q.S.2 Al-Baqarah: 180).
Firman tersebut menunjukkan, bahwa apabila seorang yang memiliki
harta vang banyak kedatangan tanda-tanda kematian, maka wajib berwasis untuk
kedua orang tuanya, dan para kerabatnya terhadap harta peninggalannya dengan
cara yang makruf.
Dan firman Allah SWT. dalam ayat pembagian warisan
Artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang ( pembagian pusaka untuk ) anak-
anakmu, yaitu bahagian dua orang anak perempuan...". (Q.S. 4 An Nisa': 11)
Firman tersebut menunjukkan bahwa Allah menentukan bahagian harta
peninggalan setiap pemilik harta kekayaan di antara para pewarisnya sesuai
dengan sesuatu yang dituntut oleh hikmahnya, dan pembahagian tersebut tidak
kembali sebagai hak orang yang mewariskannya sendiri. Hukum ini
bertentangan dengan hukum yang pertama. Oleh karena inilah, maka hukum

11
yang kedua ini menasakh hukum yang pertama, menurut pendapat Jumhur.
Karena ini pulalah, maka Rasulullah SAW. bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai
hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi pewaris"
Misal nasakh dhimni dalam hukum positif ialah Instruksi Kerajaan yang
keluar pada Undang-Undang tahun 1923, karena undang-undang tersebut
megandung sejumlah hukum yang bertentangan dengan hukum perundang-
undangan yang mendahuluinya, namun tidak menyebutkan secara terang-
terangan terhadap pembatalannya. Oleh karena itulah, maka ia dianggap sebagai
yang menasakhkan hukum sebelumnya secara dhimni. Undang-undang pidana
yang baru tidak menyebutkan dengan hukum-hukumnya dari Undang- Undang
Pidana yang terdahulu. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai yang me
nasakhkannya secara dhimni.
Sebagian ahli hukum memandang cukup dengan model nasakh dhimn
ini, tanpa harus ada suatu penegasan tentang pembatalannya. Sebab hal itu
merupakan pengukuhan dalam posisi yang tidak menghendaki pengukuhan.
Pentasyri'an oleh Syari' terhadap hukum yang bertentangan dengan hukum yang
disyariatkannya sebelumnya, dan tidak mungkin mensintesakan antara kedua-
duanya merupakan pemalingan pembuat hukum dari hukumnya yang terdahulu,
dan membatalkannya tanpa membutuhkan kepada penjelasan, hahwa ia
berpaling dari hukum itu atau membatalkannya.

D. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Muradif Dan Musytarak


1. Pengertian Muradif Dan Musytarak
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (synonim). Seperti
lafal asad dan allaits (artinya singa), hintah dan qarmhu (artinya gandum).
Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenamya
dan arti-arti tersebut berbeda-beda. Seperti lafal jaun yang artinya putih atau
hitam. Apabila arti yang sebenamya hanya satu dan yang lain arti majaz, maka
tidak dikatakan musytarak.

12
2. Hukum Lafal Muradif
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila
tidak ada halangan dari syara'.
Pendapat lain mengatakan: Meletakkan lafal muradif di tempat lainnya,
diperbolehkan asal masih satu bahasa.
Tentang lafal-lafal Quran tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa kita
disuruh membaca lafal-lafal itu sendiri. Lagi pula lafal- lafal Quran itu adalah
mukjizat yang tidak terdapat pada lafal-lafal lainnya.
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Quran yaitu
zikir-zikir dalam alat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak
boleh membaca takbir kecuali dengan lafal Allahu Akbar. Demikian pula
pendapat Imam Syafi'i. Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan lafal
yang sama artinya dengan Allahu Akbar, seperti Allah Al A'dzam atau Allah
Al A'la atau Allah Al Ajall. Sebab perbedaan pendapat ini ialah, apakah kita
beribadat dengan lafalnya ataukah dengan maknanya.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Lafal Musytarak
Sebagaimana terdapat lafal-lafal muradif, maka demikian pula terdapat
lafal musytarak. Bukan saja dalam bahasa Arab, tetapi bahasa- bahasa lainnya
penuh dengan kedua macam lafal tersebut. Tentang adanya lafal musytarak
tidak perlu kita perbincangkan lagi, tetapi yang perlu kita perhatikan ialah
timbulnya lafal musytarak. Sebab-sebab timbulnya:
a. Bermacam-macam suku bangsa Arab terdiri dari dua golongan Adnan dan
golongan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang
bermacam-macam dan dusun yang berpencar-pencar yang berbeda-beda
tempat dan lingkungannya. Kadang- kadang suatu suku membikin nama
untuk sesuatu pengertian. Kemudian suku lain menggunakan nama
tersebut untuk sesuatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku
pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada sangkut
pautnya. Tatkala bahasa Arab diambil orang lain dan dibukukan kedua
pengertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya
dengan suku yang membikinnya semula.

13
b. Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama karenanya, satu
lafal bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang disebut
isytirak ma'nawi (persekutuan batin). Kadang-kadang lantas orang
melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan
disangkanya hanya isytirak lafzi (persekutuan) lafal saja. Sebagaimana
lafal qur'un yang artinya semula ialah waktu tertentu. Karenanya malaria
disebut qur'un, karena mempunyai waktu yang tertentu. Orang perempuan
dikatakan mempunyai qur'un sebab ia mempunyai datang bulan yang
tertentu dan waktu suci yang tertentu. Arti dasar yang menghubungk an
berbagai-bagai pengertian qur'un ialah waktu yang tertentu (isytirak ma'
nawi). Tetapi arti yang menghubungkan arti ini kemudian dilupakan,
sehingga tidak dikenal hubungannya suci dan datang bulan dan
dinamakannya isytirak lafzi.
c. Mula-mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian
berpindah kepada arti yang lain dengan jalan majaz, karena adanya 'alaqah
(hubungannya). Alaqah ini dilupakan dan kemudian hilang maka disangka
kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenamya (haqiqi) tanpa
mengetahui adanya alaqah tersebut.
4. Hukum Lafal Musytarak
Maksud daripada syari'at ialah agar kita beramal menurut ketentuan arti
lafal-lafal yang datang daripadanya. Lafal musytarak tidak dapat menunjukkan
salah satu artinya yang tertentu (dari arti- ti lafal musytarak) selama tidak dapat
menunjukkan salah satu artinya yang tertentu (dari arti-arti lafal musytarak)
selama tidak ada hal- hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafal
musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya
maka dengan sendirinya lafal musyatarak tersebut ditinggalkan. Sebab tidak
mungkin kita bisa beramal sesuai dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama
kita tidak mengetahui maksud sebenamya. Berhubung dengan itu, tiap-tiap lafal
musytarak yang datang dari syari'at tentu disertai qarinah, baik qawliah
(perkataan) atau haliyah (keadaan/ suasana). Contoh: Artinya: "Isteri-isteri yang

14
diceraikan, hendaklah berdiam diri (beridah) tiga kali suci". (QS. Al-Baqarah:
228)
Lafal Qur'un mempunyai dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci.
Mana yang dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikehendaki ialah
datang bulan menurut satu pendapat. Sebagaimana yang telah diterangkan di
atas, bahwa arti qur'un semula ialah waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu
hanya terdapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada keadaan yang
asal (pokok). Maka yang bergiliran di sini tidak lain hanya datang bulan, sebab
suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula ditambahkan keterangannya:
a. Maksud 'iddah ialah untuk mengetahui tentang tidak adanya kandungan.
Tidak adanya kandungan hanya dapat diketahui dengan adanya datang
bulan.
b. Quran tidak bisa menyebutkan hal-hal yang kurang baik di dengar.
Dari contoh di atas kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafal
musytarak di sini hanya satu arti saja. Qarinah di sini ialah haliyvah (keadaan).

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mantuq adalah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.
Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu
sendiri. Jadi mantuq, adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat
pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak di
tempat pembicaraan.
Dzahir adalah lafal yang menunjukkan makna secara langsung tanpa
memerlukan penyerta lain untuk memahami maksud lafal itu dan memungkinkan
adanya takhsis maupun takwil. Sedangkan muawwal adalah lafal yang
dikeluarkan dari makna dhohirnya pada makna lain yang menghendakinya
berdasarkan bukti yang menunjukkan demikian, serta memungkinkan adanya
rajih.
Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqhi adalah: Pembatalan
pemberlakuan hukum syar'i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum an
sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau
secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum atau untuk pembatalan
sebagian saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya.
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (synonim). Seperti
lafal asad dan allaits (artinya singa), hintah dan qarmhu (artinya gandum).
Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenamya dan arti-
arti tersebut berbeda-beda.
B. Saran
Isi makalah ini belumlah lengkap dan jauh dari kata sempurna, untuk itu
sebagai penulis kami mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca sebagai
penyempurna dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini berguna bagi para
pembaca, khususnya bagi pembaca yang membutuhkan ilmu dari makalah kami.

16
DAFTAR PUSTAKA

Usman Muhlish, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta.


PT:RajaGrafindo persada.1996
Karim A. Syafi’I, Fiqih Ushul Fiqih,Bandung. Cv pustaka setia. 1997
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang. Dina utama semarang
(Toha putra group). 1994

17

Anda mungkin juga menyukai