Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH METODE ISTINBATH HUKUM

MANTHUQ DAN MAFHUM


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metode Istinbath Hukum
dari Al-Qur’an dan Hadis
Dosen Pengampu: Drs. H. Ahmad Rifqi Muhtar, MA.

Di susun oleh :

Abdul Mufti Hikam 11200340000080


Luqman Hakim 11200340000057
Ach Kusyairi 11200340000081

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN dan TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Alhamdulillah, puji serta syukur atas rahmat dan rezeki yang telah diberikan oleh Allah
swt. kepada kita. Semoga kita selalu dan senantiasa beriman kepada-Nya dan mendapatkan ridha-
Nya dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan.
Tidak lupa shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw. beserta
kepada keluarga dan sahabat beliau yang senantiasa membantu Rasulullah dalam melaksanakan
perintah Allah, yaitu berdakwah kepada seluruh umat manusia. Yang telah membawa agama islam
sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin. Semoga kita bisa mendapatkan syafa’atnya di yaumil
qiyamah nanti. Aamiin ya robbal aalamiin.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas dan presentasi mata kuliah
Metode Istinbath Hukum Al-Qur’an dan Hadis pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terima kasih kepada Drs. Ahmad Rifki Muchtar, MA selaku dosen pengampu yang telah
memberikan arahan dan bimbingannya. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Makalah ini berisi tentang MANTHUQ DAN MAFHUM yang akan
dibahas dalam makalah ini.
Tentunya dalam penulisan makalah ini, dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari
kekurangan, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir kekurangan
kekurangan tersebut. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini dan tulisan-tulisan kami berikutnya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 10 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................................

BAB I .........................................................................................................................................

A. Latar Belakang ...............................................................................................................


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................................
C. Tujuan ............................................................................................................................

BAB II .......................................................................................................................................

A. Pengertian Manthuq dan Mafhum..................................................................................


B. Macam-macam Manthuq................................................................................................
C. Macam-macam Mafhum................................................................................................
D. Syarat-Syarat dan Macam-Macam Mafhum Mukhalafah..............................................
E. Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah........................................................................

BAB III .....................................................................................................................................

A. KESIMPULAN ............................................................................................................
B. SARAN DAN KRITIK ................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk dan pedoman hidup. Al-
Qur’an sebagai firman Allah swt mengandung hukum- hukum pokok sebagai aturan hidup
manusia sekaligus solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi. Namun, seiring perkembangan
zaman persoalan umat manusia semakin banyak dan kompleks yang tentu saja semua itu tidak
terakomodasi dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, selain adanya Sunnah, diperlukan adanya ijtihad
untuk menghadapi persoalan- persoalan yang dihadapi umat manusia saat ini dan yang akan
datang.

Syariat bagi umat manusia diatur dalam ilmu yang disebut fiqh dan ushul fiqh. Ushul Fiqh
merupakan salah satu ilmu alat yang sangat penting dan dibutuhkan dalam menetapkan hukum
Islam. Kajiannya sangat erat kaitannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, karena pada dasarnya setiap
pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak atas keduanya. Seorang ahli
fiqh dan Ushul Fiqh harus mengetahui prosedur penggalian hukum dari nash Al-Qur’an maupun
Sunah. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai salah satu cara penggalian hukum
Islam dari Al-Qur’an dan Sunnah yaitu metode Manthuq dan Mafhum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Manthuq dan Mafhum?
2. Apa saja macam-macam Manthuq?
3. Apa saja macam-macam Mafhum?
4. Apa saja syarat dan Macam Mafhum Mukhalafah?
5. Bagaimana hukum Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Manthuq dan Mafhum
2. Untuk mengetahui macam-macam Manthuq
3. Untuk mengetahui macam-macam Mafhum
4. Untuk mengetahui apa saja macam dan syarat Mafhum Mukhalafah
5. Untuk memahami bagaimana hukum berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manthuq dan Mafhum

Menurut Quraish Shihab, sebuah kata atau kalimat dapat didengar dan dipahami sesuai
seperti apa adanya tanpa berlebihan dan dikurangi. Tetapi bisa jadi juga seorang pembaca bisa
masuk ke dalam kata atau kalimat tersebut sehingga lahir makna-manka baru dari apa yang
dipahaminya meskipun tidak berhubungan langsung dengan apa yang terucap dari makna
tersebut.1
1. Manthuq
Secara bahasa, Manthuq berasal dari kata nathaqa yang memiliki arti berucap. Manthuq
adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucap.
Secara istilah, imam Suyuthi mendefinisikan Manthuq :

‫ما دل عليه اللفظ في محل النطق‬: ‫المنطوق‬


“Manthuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz sesuai dengan ucapannya”
Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz pada tempat pembicaraan, atau
menunjukkan suatu makna yang tidak mungkin mengandung makna yang lain. Dalam Al-Qur’an
ini disebut dengan nash.2
Contohnya Q.S Al-Baqarah ayat 196 :

‫س ُك ْم َحتى يَ ْبلُ َغ‬ َ ‫ْى ۖ َو َل تَحْ ِلقُوا ُر ُءو‬ ِ ‫س َر ِمنَ ٱ ْل َهد‬َ ‫ص ْرت ُ ْم فَ َما ٱ ْستَ ْي‬ِ ْ‫لِل ۚ فَإِ ْن أُح‬
ِ ِ َ‫َوأَتِ ُّموا ٱ ْل َحج َوٱ ْلعُ ْم َرة‬
‫سك ۚ فَإِذَا أَ ِمنت ُ ْم فَ َمن‬ ُ ُ‫ص َدقَة أَ ْو ن‬َ ‫ص َيام أَ ْو‬ِ ‫ضا أَ ْو ِب ِۦه أَذًى ِمن رأْ ِس ِهۦ فَ ِف ْد َية ِمن‬ ً ‫ى َم ِحلهۥُ ۚ فَ َمن َكانَ ِمن ُكم م ِري‬ ُ ‫ٱ ْل َه ْد‬
َ‫س ْبعَة إِذَا َر َج ْعت ُ ْم ۗ تِ ْلك‬ َ ‫ج َو‬ ِ ‫صيَا ُم ثَلَثَ ِة أَيام فِى ٱ ْل َح‬
ِ َ‫ْى ۚ فَ َمن ل ْم يَ ِج ْد ف‬ِ ‫س َر ِمنَ ٱ ْل َهد‬ َ ‫ج فَ َما ٱ ْستَ ْي‬ِ ‫تَ َمت َع بِٱ ْلعُ ْم َرةِ إِلَى ٱ ْل َح‬
‫ب‬ِ ‫شدِيدُ ٱ ْل ِعقَا‬ َ َ‫اض ِرى ٱ ْل َمس ِْج ِد ٱ ْل َح َر ِام ۚ َوٱتقُوا ٱلِلَ َوٱ ْعلَ ُموا أَن ٱلِل‬ ِ ‫َاملَة ۗ ذَلِكَ ِل َمن ل ْم يَ ُك ْن أَ ْهلُهۥُ َح‬ ِ ‫عش ََرة ك‬ َ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah,
yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-

1
Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. (Jakarta; Lentera Hati, 2013) h.168
2
Imam Suyuthi. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an. (Editor Indiva, Terjemahan). (Solo; Indiva Media Kreasi, 2008) h.231
orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah sangat keras siksaan-Nya.
2. Mafhum
Mafhum secara bahasa bermakna faham atau dapat dipahami. Sedangkan secara istilah,
mafhum berarti :

‫ما دل عليه اللفظ ل في محل النطق‬: ‫المفهوم‬


“Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz, namun artinya tidak langsung sama dengan
yang ditunjukkan oleh lafadz tersebut”
Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh lafadz yang tidak pada tempatnya.
Contohnya ayat tentang keharaman memukul kedua orangtua Q.S al-Isra Ayat 23 :

‫سنًا ۚ إِما يَ ْبلُغَن ِعندَكَ ٱ ْل ِكبَ َر أَ َحدُ ُه َما أَ ْو ِك ََل ُه َما فَ ََل تَقُل ل ُه َما أُف‬
َ ْ‫ضى َربُّكَ أَل تَ ْعبُدُوا إِل إِياهُ َوبِٱ ْل َو ِلدَي ِْن إِح‬ َ َ‫َوق‬
‫َو َل تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُل ل ُه َما قَ ْو ًل ك َِري ًما‬
“Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat
baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik.”
Manthuq dari ayat tersebut adalah larangan mengatakan “hus” atau “ah” kepada kedua
orangtua, sebagaimana tertulis dalam lafadz ayat tersebut. Sedangkan Mafhum nya dapat dipahami
sebagai bentuk menyakiti hati, mencaci maki, apalagi memukulnya. Dari ayat tersebut tidak
dikatakan secara jelas mengenai persoalan menyakiti hati orangtua, mencaci maki, dan sebagainya.
Namun, dengan perumpamaan mengatakan “ah” saja diharamkan, apalagi melakukan perbuatan
yang lebih berat daripada hal tersebut. Oleh karena itu Mafhum dalam suatu ayat dapat dipahami
tidak sesuai dengan lafadz dalam ayat tersebut.

B. Macam-Macam Manthuq
Manthuq itu ada yang berupa nash, zhahir, dan muawwal.
a. Nash
Nash ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud
secara tegas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah SWT :

‫َاملَة‬ َ َ‫س ْب َعة اِذَا َر َج ْعت ُ ْم ۗ تِ ْلك‬


ِ ‫عش ََرة ك‬ ِ ‫ص َيا ُم ثَلثَ ِة اَيام فِى ْال َح‬
َ ‫ج َو‬ ِ َ‫ف‬
“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari ketika kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna...” (Q.S. Al-Baqarah: 196).
Penyebutan kata “sepuluh” dengan kata “sempurna” telah mematahkan kemungkinan
“sepuluh” ini diartikan lain secara majaz. Inilah yang dimaksud dengan nash. Telah dinukil dari
sebagian ulama yang mengatakan, bahwa jarang sekali terdapat manthuq nash dalam Al- Qur'an
dan As-Sunnah. Akan tetapi Imam Al-Haramain (Al-Juwaini-Edt) secara berlebihan menyanggah
pendapat mereka tersebut. Ia berkata: “Tujuan utama dari manthuq nash ialah kemandirian dalam
menunjukkan makna secara pasti dengan mematahkan segala ta'wil dan kemungkinan makna lain.
Yang demikian ini sekalipun jarang terjadi bila dilihat dari bentuk lafazh yang mengacu kepada
bahasa, akan tetapi betapa banyak lafazh tersebut karena ia disertai garinah (indikasi) haliyah
dan magaliyah.”
Contoh lain juga terdapat firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 43:

ْ ‫َوأَقِي ُموا الص ََلةَ َوآتُوا الزكَاةَ َو‬


َ‫ار َكعُوا َم َع الرا ِكعِين‬
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (Q.S.
Al-Bagarah: 43.)
Ayat tersebut adalah ayat tentang kewajiban mendirikan shalat dan zakat. Dalil tersebut
tidak bisa dita’wil karena ayat tersebut sudah jelas dan tidak ada kesulitan untuk memahami
kandungan hukum dan mengartikannya. Akan tetapi, dalil tersebut bisa dimengerti dengan mudah
bagi orang yang sudah memahami bahasa Arab.3
b. Zhahir
Zhahir ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera difahami ketika ia
diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Jadi, zhahir itu sama dengan nash
dalam hal penunjukkannya kepada makna yang berdasarkan pada lafazh saat diucapkan. Namun
dari segi lain ia berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan
tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zhahir di samping menunjukkan
satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah.
Misalnya firman Allah :

َ ‫عاد فَ ََل اِثْ َم‬


‫علَ ْي ِه‬ َ ‫غي َْر َباغ و َل‬ ُ ‫ض‬
َ ‫طر‬ ْ ‫فَ َم ِن ا‬
“Maka barangsiapa yang berada dalam kondisi darurat, maka (tidak mengapa) selama tidak
berlebihan dan melampaui batas..” (Al-Baqarah: 173).
Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “azh-
zhalim” (melampaui batas). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan popular
sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh). Juga ada
firman-Nya,

ۚۚ َ‫َو َل ت َۡق َرب ُۡوهُن َحتّٰى يَ ۡط ُه ۡرن‬

3
Amrullah Hayatudin, “Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam”, 2019, h.190
“Dan janganlah kamu mendekati (menggauli) mereka sebelum mereka bersuci.”(Al-Baqarah:
222).4
Berhentinya haid dinamakan “suci” (thuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “thuhr.”
Namun penunjukkan kata “thuhr” kepada makna kedua lebih jelas, sehingga itulah makna yang
rajih, sedang penunjukkan kepada makna pertama adalah marjuh.
c. Mu'awwal
Mu'awwal adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi pemaknaannya dari makna yang rajih. Muawwal berbeda dengan zhahir: zhahir
diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang
marjuh, sedang muawwal diartikan dengan makna marjuh sebab ada dalil yang memalingkannya
dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna tersebut ditunjukkan oleh lafazh
menurut bunyi ucapannya. Misalnya bunyi ayat :

‫ض لَ ُه َما َجنَا َح الذُّ ِل ِمنَ الرحْ َم ِة‬ ْ ‫َو‬


ْ ‫اخ ِف‬
“Dan tundukkanlah pada keduanya sayap kerendahanmu (sebagaiwujud) kasih sayang.” (Al-Isra
:24).
Lafazh Yanah “adz-dzulli” diartikan dengan “tunduk, tawadhu dan bergaul secara baik” dengan
kedua orangtua, tidak diartikan “sayap,” karena mustahil manusia mempunyai sayap.5

C. Macam-Macam Mafhum
Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Mafhum muwafaqah
Mafhum muwafaqah adalah mafhum yang apabila hukum-hukum yang tidak disebutkan
dalam lafal itu cocok atau sesuai dengan yang disebutkan dalam lafal tersebut tidak berlawanan.
Maksud dari definisi tersebut yaitu mafhum muwafaqah adalah menetapkan hukum dari
makna yang sejalan atau sesuai dengan makna manthuq-nya (yang diucapkan), contohnya
haramnya memukul dan melakukan hal-hal yang menyakiti orang tua, hal ini sebagaimana terdapat
pada Q.S. Al-Isra: 23.

‫فَ ََل تَقُ ْل ل ُه َما اُف‬


Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”..”
(QS. Al-Isra’: 23).

4
Manna Khalil Al-Qattan. “Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir”. 2005. h.
312
5
Ibid h.313
Mafhum Muwafaqah dari perkataan “ah” pada ayat tersebut adalah haramnya menyakiti
hati, mencaci maki, apalagi memukulnya.
Contoh lain dari mafhum muwafaqah adalah firman Allah dalam Q.S. Al-Isra’: 32

ِ ‫َو َل تَ ْق َربُوا‬
‫ٱلزنَى‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina… (Q.S. Al-Isra’: 32)
Mafhum Muwafaqah dari ayat tersebut adalah haram mendekati zina, berdua-duaan,
berpacaraan apalagi melakukan zina itu sendiri. Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua bagian,
yaitu :
➢ Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya
daripada yang diucapkan.6 Seperti memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya.
➢ Lahnul khitab, yaitu apabila yang dipahami sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Misalnya dalam firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 10 tentang larangan membakar
harta anak yatim yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya” (QS. Al-
Nisa’: 10). Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau
menyia-nyiakan dengan cara berbuat kerusakan dengan cara apapun.

b. Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah pemahaman yang apabila hukum yang tidak disebutkan di dalam lafal
itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafal tersebut. Maksudnya, mafhum mukhalafah
adalah menetapkan hukum kebalikan dari mantuq-nya (yang diucapkannya). Mafhum mukhalafah
terbagi menjadi lima, yaitu :

➢ Mafhum al-wasfi/sifat
Mafhum al-wasfi/sifat yaitu menetapkan hukum dalam bunyi manthuq suatu nash yang
dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafadh, dan jika sifat tersebut telah hilang,
maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, semisal dalam firman Allah swt :

‫ياَيُّ َها ال ِذيْنَ ا َمنُ ْوا ا ِْن َج ۤا َء ُك ْم فَا ِسق بِنَبَا فَتَبَينُ ْوا‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti/ cros check (bertabayun-lah.. (QS. Al-Hujurat: 6).
Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang yang tidak fasiq tidak wajib di cros check
(diadakan tabayun) beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seorang yang adil
wajib diterima.7 Misal lain, tentang hal (keterangan keadaan) dalam firman Allah :

6
Amrullah Hayatudin, “Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam”, 2019, h. 191
7
Ahmad Atabik, “Peranan Manthuq dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Alqur’an dan Sunnah”, dalam
jurnal: YUDISIA, Vol. 6, No. 1, 2015, h. 111
‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا َل تَ ْقتُلُوا الص ْيدَ َوأَ ْنت ُ ْم ُح ُرم ۚ َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَعَ ِمدًا فَ َجزَ اء ِمثْ ُل َما قَتَ َل ِمنَ النعَ ِم‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika
kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya.. (QS. Al-
Maidah: 95).
Ayat ini memberi pengertian tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tidak
sengaja. Sebab penentuan, “sengaja” dengan kewajiban membayar denda menunjukkan tiadanya
kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
➢ Mafhum dengan ghayah
Mafhum dengan ghayah, contohnya adalah “makanlah hingga jelas bagimu benang
putihdan benang hitam”. Mafhum mukhalafah-nya, apabila telah terang benang putih dan benang
hitam (fajar) maka hentikan makan dan minum artinya berpuasalah, sebagaimana firman Allah
SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 187

‫ض ِمنَ ْال َخي ِْط ْالَس َْو ِد ِمنَ ْالفَجْ ۖ ِر‬ ُ ‫َو ُكلُ ْوا َوا ْش َرب ُْوا َحتّٰى يَتَبَينَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬
ُ َ‫ط ْالَ ْبي‬
Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.. (Q.S.
Al-Baqarah: 187).8
➢ Mafhum dengan syarat
Mafhum dengan syarat, yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada
syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud. Sebagai contoh firman
Allah :

‫ض ْعنَ َح ْملَ ُهن‬


َ ‫علَ ْي ِهن َحتى َي‬ ِ َ‫َو ِإن ُكن أُول‬
َ ‫ت َح ْمل فَأَن ِفقُوا‬
Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka mereka melahirkan.” (QS. Al-Thalaq: 6).
Ayat di atas memberi penjelasan bahwa kewajiban membari nafkah kepada istri yang telah
diceraikan dan tengah menjalani masa ‘iddah itu dibatasi (diberi qayd) jika istri yang diceraikan
tersebut sedang mengandung. Oleh karena itu, dapat diambil mafhum mukhalafahnya, bahwa jika
istri yang diceraikan tersebut tidak sedang hamil, maka mantan suami tidak wajib memberikan
nafkah kepadanya. Maka apabila mafhum syarat diberlakukan, maka nash tersebut dapat dipahami,
bahwa mantan suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang telah diceraikan dengan
talaq raj’i atau sedang hamil. Namun, karena madzhab Hanafi tidak mau menetapkan hukum
berdasarkan mafhum mukhalafah, maka mereka mewajibkan suami untuk memberikan nafkah
kepada istri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah, kecuali jika istri yang dicerai tersebut
telah membebaskannya, sesuai dengan firman Allah :

8
Amrullah Hayatudin, “Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam”, 2019, h.193
ّٰ ُ‫علَ ْي ِه ِر ْزقُه فَ ْليُ ْن ِف ْق ِمما اتىه‬
ُ‫ّللا‬ َ ‫سعَتِ ۗه َو َم ْن قُد َِر‬ َ ‫ِليُ ْن ِف ْق ذُ ْو‬
َ ‫سعَة ِم ْن‬
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya.. (QS. Al- Thalaq: 7).9
➢ Mafhum dengan bilangan
Mafhum dengan bilangan, yaitu penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi
dengan bilangan ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Contohnya adalah firman Allah SWT
“Maka deralah yang menuduh itu dengan delapan puluh kali dera”. Mafhum mukhalafah-nya yaitu
tidak boleh menderanya kurang dari delapan puluh, sebagaimana dijelaskan oleh Allah, dalam Q.S.
An-Nur: 4
ً ‫ش َهدَة‬ ُ ‫ت ثُم لَ ْم يَأْتُوا بِأ َ ْربَعَ ِة‬
َ ‫ش َهدَا َء فَٱجْ ِلدُو ُه ْم ثَ َمنِينَ َج ْلدَة ً َو َل تَ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ َ ْ‫َوٱلذِينَ يَ ْر ُمونَ ٱ ْل ُمح‬
ِ َ‫صن‬
َ‫أَبَدًا ۚ َوأُولَئِكَ ُه ُم ٱ ْلفَ ِسقُون‬
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik. (Q.S. An-Nur: 4)
➢ Mafhum dengan gelar (laqab)
Mafhum dengan gelar (laqab). Contohnya adalah perkataan “Muhammad adalah utusan
Allah”. Mafhum Mukhalafahnya adalah selain Muhammad.

D. Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah


Menurut jumhur ulama (ulama Syafi’iyah) ada beberapa syarat dalam menggunakan
mafhum mukhalafah sebagai dalil atau hujjah, diantaranya :
➢ Bahwa mafhum mukhalafah tidak boleh bertentangan dengan dalil mantuq karena dalil
mantuq lebih kuat darinya. Misalnya, firman Allah dalam Surah al-Baqarah, 2: 178
‫اص فِى ْالقَتْل ۗى اَ ْل ُح ُّر بِ ْال ُح ِر َو ْالعَ ْبدُ بِ ْالعَ ْب ِد َو ْالُ ْنثى بِ ْالُ ْنث ۗى فَ َم ْن‬
ُ ‫ص‬ َ ‫علَ ْي ُك ُم ْال ِق‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫ياَيُّ َها ال ِذيْنَ ا َمنُ ْوا ُكت‬
‫سان ۗ ذلِكَ ت َْخ ِفيْف ِم ْن ر ِب ُك ْم َو َرحْ َمة ۗفَ َم ِن‬ َ ْ‫ف َواَدَ ۤاء اِلَ ْي ِه ِباِح‬ ِ ‫ش ْيء فَاتِبَاع ِب ْال َم ْع ُر ْو‬ َ ‫ي لَه ِم ْن اَ ِخ ْي ِه‬ َ ‫ع ِف‬ ُ
َ ‫ا ْعتَدى َب ْع َد ذلِكَ فَلَه‬
‫عذَاب اَ ِليْم‬
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang
memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan
hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah

9
Ahmad Atabik, Peranan Manthuq dan Mafhum Dalam Menetapkan Hukum Dari Alqur’an dan Sunnah, dalam jurnal:
YUDISIA, Vol. 6, No. 1, 2015, h. 112.
keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia
akan mendapat azab yang sangat pedih.
Ayat ini bisa dipahami dengan mafhum mukhalafah, yaitu tidak dijatuhi hukuman Qishas
laki-laki yang membunuh perempuan. Namun, penggunaan mafhum mukhalafah pada ayat
ini tidak boleh karena bertentangan dengan mantuq firman-Nya surah al-Maidah, 5: 45
‫ف َو ْالُذُنَ ِب ْالُذُ ِن َوالسِن ِبالس ِِن‬ ِ ‫ف ِب ْالَ ْن‬ َ ‫س ِبالن ْف ِس َو ْال َعيْنَ ِب ْال َعي ِْن َو ْالَ ْن‬َ ‫علَ ْي ِه ْم ِف ْي َها اَن الن ْف‬
َ ‫َو َكتَ ْبنَا‬
ۤ ُ ۗ ‫ص‬
ّٰ ‫ولىِٕكَ ُه ُم ال‬
َ‫ظ ِل ُم ْون‬ ّٰ ‫ارة له ۗ َو َم ْن ل ْم َيحْ ُك ْم ِب َما اَ ْنزَ َل‬
‫ّللاُ َفا‬ َ ‫صدقَ ِبه فَ ُه َو كَف‬ َ َ‫اص فَ َم ْن ت‬ َ ‫َو ْال ُج ُر ْو َح ِق‬
Kami telah menetapkan bagi mereka (Bani Israil) di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa
(dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Siapa
yang melepaskan (hak kisasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Siapa yang
tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka
itulah orang-orang zalim.
Berdasarkan ayat ini hukum Qishas berlaku umum bagi siapa saja yang membunuh laki-
laki atau perempuan secara sengaja. Dengan demikian, dalam kasus ini tidak berlaku
mafhum mukhalafah.
➢ Bahwa kaitan yang disebutkan dalam nash atau mantuq bukan menjelaskan sesuatu yang
biasa berlaku apabila mantuq menjelaskan hukum yang biasa berlaku, apabila mantuq
menjelaskan hukum yang biasa berlaku, maka mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan
pada nash tersebut. Misalnya, firman Allah surah An-Nisa, 4: 23
‫ت َوأُم َهت ُ ُك ُم ٱلتِى‬ ِ ‫خ َو َبنَاتُ ٱ ْْل ُ ْخ‬
ِ َ ‫عمت ُ ُك ْم َو َخلَت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ ٱ ْْل‬َ ‫علَ ْي ُك ْم أُم َهت ُ ُك ْم َو َبنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوت ُ ُك ْم َو‬ ْ ‫ُح ِر َم‬
َ ‫ت‬
‫سائِ ُك ُم ٱلتِى‬ َ ِ‫ور ُكم ِمن ن‬ ِ ‫سائِ ُك ْم َو َربَئِبُ ُك ُم ٱلتِى فِى ُح ُج‬ َ ِ‫ضعَ ِة َوأُم َهتُ ن‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأَخ ََوت ُ ُكم ِمنَ ٱلر‬ َ ‫أَ ْر‬
‫صلَبِ ُك ْم َوأَن تَجْ َمعُوا‬ َ ‫دَخ َْلتُم بِ ِهن فَإِن ل ْم تَ ُكونُوا دَخ َْلتُم بِ ِهن فَ ََل ُجنَا َح‬
ْ َ‫علَ ْي ُك ْم َو َحلَئِ ُل أَ ْبنَائِ ُك ُم ٱلذِينَ ِم ْن أ‬
‫ورا ر ِحي ًما‬ ً ُ ‫غف‬ َ َ‫ف ۗ ِإن ٱلِلَ َكان‬ َ َ‫سل‬ َ ‫َبيْنَ ٱ ْْل ُ ْختَي ِْن ِإل َما قَ ْد‬
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara
perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan
ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari
saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan,
ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur
dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian
pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dalam ayat ini dijelaskan haram bagi seorang laki-laki menikahi anak tiri yang berada
dibawah asuhannya dari isteri yang telah digaulinya. Secara mafhum mukhalafah, anak tiri
yang tidak berada dibawah asuhan dari isteri yang telah digauli laki-laki tersebut boleh
dinikahinya. Namun, penggunaan mafhum mukhalafah tidak boleh karena umumnya
berdasarkan kebiasaan anak tiri pasti berada dibawah asuhan ayah tirinya.
➢ Bahwa mafhum mukhalafah baru berfungsi apabila menyebutkan kaitan syarat, sifat,
batasan waktu atau jumlah bilangan itu bertujuan untuk tasyri’. Sebab, kenyataannya
banyak penyebutan kaitan-kaitan tersebut bukan untuk tasyri’, tetapi ada diantaranya untuk
al-Targhib (agar orang menyenanginya), bahwa al-Waqi’ (menjelaskan yang banyak
terjadi) dan al-Tanfir (membuat orang tidak suka mendekatinya). Misalnya, kaitan yang
dimaksudkan untuk al-Tanfir yang terdapat pada firman Allah Surah al-Imran 130 yang
dijadikan alasan oleh kalangan Hanafiyyah menolak mafhum mukhalafah. Menurut
mayoritas ulama mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan pada ayat ini karena
penyebutannya berlipat ganda bukan dimaksudkan untuk tasyri’, tetapi untuk membuat
orang membenci dan menjauhinya karena riba seperti ini yang banyak terjadi pada masa
jahiliyyah.
Adanya beberapa syarat ini merupakan pembatasan yang dibuat jumhur ulama dalam
menggunakan mafhum mukhalafah. Dengan demikian dapat menghindarkan terjadi kesalahan
dalam memahami nash. Mafhum mukhalafah terdapat dua versi baik itu yang menerima jumhur
ushuliyyin (termasuk ulama Syafi’iyah) maupun yang menolak (ulama Hanafiyyah) dengan
alasannya masing- masing akan tetapi berdasarkan alasan-alasan yang sudah dipaparkan oleh
kedua versi tersebut, dapat ditarik benang merah disini bahwa mafhum mukhalafah dapat dijadikan
hujjah. Tetapi harus dengan syarat-syarat tertentu (menurut jumhur ulama), yang mana syarat-
syarat tersebut lah yang dijadikan sebab sebagai penolakan terhadap mafhum mukhalafah itu.
Sehingga jika kita gabungkan kedua pendapat tersebut akan menuju ke titik temu satu-satu, yaitu
boleh berhujjah dengan mafhum mukhalafah tetapi dengan syarat-syarat tersebut diatas.
E. Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan mafhum mukhalafah sebagai hujjah.
Kalangan ulama hanafiyah tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan
hukum. Diantara alasannya adalah bahwa bila mafhum mukhalafah difungsikan pada banyak ayat
al- Qur’an dan hadis Nabi Saw akan merusak pengertian yang terdapat pada ayat dan hadis dan
meniadakan hukum yang ditetapkan secara syara’ melalui ayat dan hadis tersebut.10
Misalnya firman Allah Swt surah at-Taubah, 9: 36

َ‫ض ِم ْن َها أَ ْربَ َعة ُح ُرم ۚ ذَلِك‬َ ‫ت َوٱ ْْل َ ْر‬ ِ ‫ب ٱلِلِ يَ ْو َم َخ َلقَ ٱلس َم َو‬ِ َ‫ش ْه ًرا فِى ِكت‬ َ ‫عش ََر‬ َ ‫ور ِعندَ ٱلِلِ ٱثْنَا‬ ِ ‫ش ُه‬ ُّ ‫ِإن ِعدةَ ٱل‬
َ‫س ُك ْم ۚ َوقَ ِتلُوا ٱ ْل ُم ْش ِركِينَ كَافةً َك َما يُقَ ِتلُونَ ُك ْم كَافةً ۚ َوٱ ْعلَ ُموا أَن ٱلِلَ َم َع ٱ ْل ُمتقِين‬ ْ ‫ٱ ِلدينُ ٱ ْلقَ ِي ُم ۚ فَ ََل ت‬
َ ُ‫َظ ِل ُموا ِفي ِهن أَنف‬
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) ketetapan Allah
(di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya
(empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertakwa.

10
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 1999), Hal. 181.
Secara mantuq, ayat ini menegaskan bahwa ada empat bulan haram, dimana pada bulan
tersebut tidak boleh melakukan tindakan kedzaliman. Keempat pula bulan itu adalah rajab, dzul
qa’dah, dzul hijjah, dan muharram. Mafhum mukhalafahnya, selain dari bulan yang empat
dibolehkan melakukan tindakan dzalim terhadap sesama manusia. Namun, pemahaman semacam
ini keliru karena tidak ada petunjuk yang mengkhususkan larangan berbuat dzalim hanya pada
bulan yang 4 tersebut. Perbuatan dzalim dilarang setiap saat, bulan dan tahun.11
Mafhum mukhalafah bila digunakan juga akan merusak pemahaman hukum yang terdapat
pada firman Allah Swt, surat Imran, 3: 130

َ‫ضعَفَةً ۖ َوٱتقُوا ٱلِلَ لَعَل ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬ ْ َ‫يَأَيُّ َها ٱلذِينَ َءا َمنُوا َل تَأ ْ ُكلُوا ٱ ِلربَوا أ‬
َ ‫ضعَفًا ُّم‬
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Apabila digunakan mafhum mukhalafah terhadap ayat ini, maka riba yang tidak termasuk
kategori berlipat ganda dihalalkan dan dibolehkan ayat ini. Pemahaman seperti ini jelas keliru
karena riba yang tidak berlipat ganda pun dilarang dan haram hukumnya. Ini menunjukan bahwa
mafhum mukhalafah tidak bisa digunakan terhadap al-Qur’an.
Berbeda dengan kalangam Hanafiyah, jumhur ulama ushul fiqh termasuk ulama Syafiiyah
menerima mafhum mukhalafah.12 Dengan pengecualian mafhum al-Laqab sebagai hujjah. Untuk
memperkuat pendapat mereka, jumhur mengemukakan beberapa alasan, diantaranya:
1. Sahabat-sahabat besar, para tabi’in dan imam-imam mujtahid dan para ahli Bahasa
menggunakan mafhum mukhalafah. Misalnya, Ibn ‘Abbas menggunakan mafhum
mukhalafah dalam memahami firman Allah Surat, an- Nisa, 4: 176

‫ف َما ت ََركَ ۚ َوه َُو‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ْس لَهۥُ َولَد َولَهۥُ أ ُ ْخت فَلَ َها ن‬َ ‫يَ ْستَ ْفتُونَكَ قُ ِل ٱلِلُ يُ ْفتِي ُك ْم فِى ٱ ْل َكلَلَ ِة ۚ إِ ِن ٱ ْم ُرؤا َهلَكَ لَي‬
َ ِ‫ان ِمما ت ََركَ ۚ َوإِن كَانُوا إِ ْخ َوة ً ِر َج ًال َون‬
‫سا ًء‬ ِ َ‫يَ ِرث ُ َها إِن ل ْم يَ ُكن ل َها َولَد ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َما ٱلثُّلُث‬
‫ع ِليم‬
َ ‫ش ْىء‬ َ ‫َضلُّوا ۗ َوٱلِلُ ِب ُك ِل‬ ِ ‫فَ ِللذك َِر ِمثْ ُل َح ِظ ٱ ْْلُنثَ َيي ِْن ۗ يُ َب ِينُ ٱلِلُ لَ ُك ْم أَن ت‬
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalālah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalālah, (yaitu) jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai
anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan, bagiannya (saudara perempuannya
itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Adapun saudara laki-lakinya mewarisi
(seluruh harta saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Akan tetapi, jika
saudara perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) beberapa saudara laki-laki dan
perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak tersesat. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”

11
Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), Cet. 2, Hal.368.
12
Prof. Dr. Muchsin Nyak Umar, MA, Ushul Fiqh, (Aceh: Ar-Raniry Press, 2008), Hal.45.
Dengan mafhum mukhalafah terhadap ayat ini, maka saudara perempuan tidak dapat
menjadi ahli waris ketika anak perempuan ada karena saudara perempuan mendapat
setengah dari harta warisan apabila yang mewarisi tidak meninggalkan anak, baik laki-laki
maupun anak perempuan. Berdasarkan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa saudara
perempuan terhijab atau tidak dapat menjadi ahli waris selama masih ada anak laki-laki
atau perempuan.
2. Secara logika adanya kaitan yang terdapat pada nash-nash syara’ dalam bentuk sifat, syarat
atau ghayah, bukan suatu kesia-siaan, tetapi mempunyai manfaat tertentu. Diantara
faedahnya, mengkhususkan hukum yang dimaksud oleh nash dan meniadakan selainya
sehingga ada keharusan mengamalkan yang dikhususkan tersebut. Apabila tidak demikian
tentu menyebutkan kaitan dalam suatu nash, tentu suatu kesia-siaan. Dalam hal ini tidak
mungkin terjadi suatu yang sia-sia terhadap nash yang berasal dan syari’.13 Hal ini dapat
diamati dalam firman Allah Swt, Surah al-Ma’idah, 5: 95

‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا َل تَ ْقتُلُوا الص ْيدَ َوأَ ْنت ُ ْم ُح ُرم ۚ َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَعَ ِمدًا فَ َجزَ اء ِمثْ ُل َما قَتَ َل ِمنَ النعَ ِم‬
‫صيَا ًما ِليَذُوقَ َوبَا َل‬
ِ َ‫ع ْد ُل ذَلِك‬َ ‫ساكِينَ أَ ْو‬ َ ‫طعَا ُم َم‬ َ ‫ارة‬ َ ‫عدْل ِم ْن ُك ْم َه ْديًا بَا ِل َغ ْال َك ْعبَ ِة أَ ْو كَف‬
َ ‫يَحْ ُك ُم بِ ِه ذَ َوا‬
‫ع ِزيز ذُو ا ْنتِقَام‬ َ ُ‫عادَ فَ َي ْنتَ ِق ُم ّللاُ ِم ْنهُ ۗ َوّللا‬
َ ‫ف ۚ َو َم ْن‬ َ َ‫سل‬ َ ‫عما‬ َ ۗ ‫أَ ْم ِر ِه‬
َ ُ‫عفَا ّللا‬
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan, ketika
kamu sedang berihram (haji atau umrah). Siapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, dendanya (ialah menggantinya) dengan hewan ternak yang sepadan dengan
(hewan buruan) yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu
sebagai hadyu (hewan kurban) yang (dibawa) sampai ke Ka’bah atau (membayar) kafarat
dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa, seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah
memaafkan perbuatan yang telah lalu. Siapa kembali mengerjakannya, pasti Allah akan
menyiksanya. Allah Mahaperkasa lagi Maha Memiliki (kekuasaan) untuk membalas.
Melalui mantuq ayat ini diketahui bahwa wajib hukumnya membayar denda bagi orang
yang membunuh binatang buruan secara sengaja. Sementara secara mafhum mukhalafah tidak ada
kewajiban membayar denda bagi orang yang membunuh binatang buruan secara bersalah (tidak
sengaja), sedangkan orang itu dalam keadaan ihram apabila ayat ini tidak menunjukan untuk
hukum yang terakhir ini (mafhum mukhalafah), tentu penjelasan ayat tentang denda bagi orang
yang membunuh binatang buruan secara sengaja menjadi tidak berarti.

13
Tumin, Pendapat Ulama tentang Hukum Berhujjah dengan Mafhum Mukhtalafah, (Jurnal Syarah, 2018), Vol.
7, No. 1.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz pada tempat pembicaraan, atau
menunjukkan suatu makna yang tidak mungkin mengandung makna yang lain. Mafhum adalah
sesuatu yang ditunjukkan oleh lafadz yang tidak pada tempatnya. Manthuq itu ada yang berupa
nash, zhahir, dan muawwal. Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu: muwafaqah, dan mukhalafah.
Mafhum Muwafaqah dapat diterima dan dijadikan metode untuk pengambilan hukum, sedangkan
untuk Mafhum Mukhalafah harus memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu untuk menjadikannya
suatu metode istinbanth hukum

B. Saran dan Kritik

Kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini. Harapannya, semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi pembaca sekaligus menambah ilmu bagi kita semua. Dengan kerendahan
hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan banyak terdapat kesalahan.
Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembeca demi kesempurnaan
makalah makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish. (2013). Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati.

Suyuthi. (2008). Al-Itqan fi Ulumil Qur’an. (Editor Indiva, Terj). Solo: Indiva Media Kreasi.

Al-Khattan, Manna. (2005). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Hayatudin, Amrullah. (2019). Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam.

Atabik, Ahmad. (2015). Peranan Manthuq dan Mafhum dalam


Menetapkan Hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Jurnal Yudisia. Vol. 6, No.1

Waluyo, Kasja. Kajian Dalalah Dalam Ushul Fiqh. JPI_Rabbani

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 1999)

Zuhaili, Wahbah. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1995)

Nyak Umar, Muchsin. Ushul Fiqh, (Aceh: Ar-Raniry Press, 2008)

Tumin. Pendapat Ulama tentang Hukum Berhujjah dengan Mafhum Mukhtalafah, (Jurnal
Syarah, 2018), Vol. 7, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai