Kelompok 3
Lutfhiatul Zahro
Wati Rezawati
Winda Lestari
CIPANAS-CIANJUR
2023
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ...................................................................................... 37
B. Saran ................................................................................................ 39
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1) Al-Qur’an,
2) As-Sunnah,
1
3) Ijma’, dan
4) Qiyas.
B. Rumusan Masalah
1
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang) 1994, hal 19
2
C. Tujuan Pembahasan
D. Manfaat
3
BAB 2
PEMBAHASAN
Kedua, pendapat Al- Farra’ (w. 207 H). Menurut Al-Farra’, penulis
kitab Ma’ani Al-Qur’an, kata Al-Qur’an, adalah dituliskan dengan tidak
2
Masjfuk Zuhdi, PENGANTAR ULUMUL QUR’AN (Surabaya: Bina Ilmu, 1982),
hlm.2-3
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 Pukul 19.45
3
Lendy Zelvien Adhari dkk, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH (Widina
Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book hlm. 9
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.45
4
berhamzah (Al-Quran), ia diambil dari kata qara’in, sebagai bentuk jamak
(plural) dari kata qarinah, mempunyai makna dasar sebagai ”indikator” atau
”petunjuk”. Relevansi pemaknaan ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa
sebagian ayat Al-Qur’an memiliki keserupaan antara ayat yang satu dengan
ayat yang lain, sehingga sebagian ayat-ayatnya seolah-olah menjadi
indikator (petunjuk) dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa.
Ketiga, pandangan Al-Asy’ari (w. 324 H). Bagi Al-Asy’ari, kata Al-
Qur’an itu memang tidak berhamzah (Al-Quran) dan secara etimologis
terambil dari kata qarana, artinya ”menggabungkan” atau ”menghimpun”.
Pemaknaan seperti ini didasarkan atas alasan bahwa tampak begitu nyata
keberadaan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an itu telah dihimpun dan
digabung-gabungkan dalam sebuah mushaf sehingga merupakan satu
kesatuan yang utuh dan lengkap.
4
Ibid, hlm.10 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.47)
5
isim maf’ul, sehingga kata Al-Qur’an mestilah dimaknai sebagai maqru’,
artinya ”yang dibaca”.5
5
Az-Zarqani, MANAHIL AL’IRFAN FI ’ULUM AL-QUR’AN, Jilid 1 (Mesir: ’Isa
Al-Babi Al-Halabi, t.th.), hlm.14
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan
+kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_s
earch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6
BAgHEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=fals
e ) Diakses pada 09 Oktober 2023 Pukul 19.48
6
Shubhi As-Shalih, MABAHITS FI ‘ULUM AL-QUR’AN (Beirut: Dar Al-‘Ilm,
1988), hlm. 19
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.49
7
Az-Zamakhsyari, AL-KASYAF ‘AN AL-HAQIQAT AT-TANZIL WA AL-;UYUN
AL-AQAWIL FI WUJUH AT-TA’WIL, Jilid II (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t.th.), hlm. 462
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Daikses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.49
6
8
ُ ِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُ ْرآنَهُ فَإِذَا قَ َرأْتُهُ فَاتَّ ِب ْع قُ ْرآنَه
”Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (Q.S Al-Qiyamah :17-18)
8
Lendy Zelvien Adhari dkk, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH
(Widina Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book hlm. 11 (
https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+da
n+kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobil
e_search&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6
wF6BAgHEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&
f=false ) Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.49
9
Ibid, hlm. 12 (Diakses pada 09 Oktober pukul 19.50)
7
Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi terakhir melalui Al-
Amin Jibril yang tertulis dalam mashahif yang diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir, merupakan ibadah dalam membacanya diawali
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. 10
10
As-Shabuni, ‘ULUM QUR’AN, terjemah. Saiful Islam Jamaludin (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1983), hlm.17
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.51
11
Lendy Zelvien Adhari dkk, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH
(Widina Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book hlm. 13 (
https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+da
n+kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobil
e_search&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6
wF6BAgHEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&
f=false ) Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.51
8
3. Metode pewahyuan Al-Qur’an mestilah melalui atau dengan
perantaraan Jibril. Karakteristik metodologis pewahyuan Al- Qur’an ini
penting ditonjolkan mengingat tidak ada satu ayat pun dari Al-Qur’an
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, dengan tanpa melalui
Jibril, meskipun harus secepatnya diberikan catatan bahwa tidak semua
yang diwahyukan oleh Allah Azza Wa Jalla, melalui malaikat Jibril
mesti berwujud Al-Qur’an.
4. Al-Qur'an adalah berhasa Arab, yang lafadz dan tentu juga maknanya
berasal langsung dari Allah. Tentu saja nilai penting unsur ini adalah
sebagai distingsi bersifat fundamental yang membedakan Al-Qur’an
dengan As-Sunnah, yang meskipun As-Sunnah itu juga merupakan
wahyu Allah, tetapi hanyalah segi maknanya saja yang berasal dari
Allah Azza Wa Jalla.
5. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang eksistensinya
sudah tertuliskan dalam mushaf. Unsur ini menjadi penting
dikemukakan untuk membedakan keberadaan Al-Qur’an sebagai kalam
lafdhi dengan kalam Allah yang masih menyatu atau inheren pada diri
Allah yang biasanya diistilahkan sebagai kalam nafsi.
12
Ibid, hlm. 14 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.53)
9
7. Al-Qur’an adalah merupakan kalamullah (kalam Allah) yang kualitas
periwayatannya mesti sampai pada derajat mutawatir. Karakteristik
kitab suci Al-Qur’an semacam ini tentu menjadi sangat urgen untuk
disampaikan, khususnya dalam konteks untuk kepentingan
membedakan keberadaan Al-Qur’an dengan As-Sunnah yang bila
ditinjau dari segi periwayatannya ternyata tidak seluruh As-Sunnah
mesti bersifat mutawatir, terkecuali hanya sebagian saja darinya.
13
Ibid, hlm. 15 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 20.57)
10
yang menafsirkan Al-Quran (dengan daya nalar murni), maka akan
kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf
(sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit
mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap
Allah SWT. Maka tidak heran kaiau kitabnya, Ai-Muwathlha dan Ai-
Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi'in. Dan Malik pun
mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafadzh dan nash. Imam
Malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafadzh nash itu
adalah lafadzh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qath’i)
yang secara pasti tidak memiliki makna lain, sedangkan lafadzh zhahir14
adalah lafadzh yang menunjukkan makna jelas, namun masih
mempunyai kemungkinan makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya
dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafadzh nash didahulukan daripada
lafadzh zhahir.
14
Ibid, hlm. 16 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.58)
11
3. Pandangan Menurut Imam As-Syafi’i
15
Ibid, hlm. 17 (Daikses pada 09 Oktober 2023 pukul 20.59)
12
pendapatnya adalah firman Allah Azza Wa Jall, pada surah Yusuf ayat
ke 2 :
16
Ibid, hlm. 18 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 21.01)
13
Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an. Imam Ahmad betul-betul
mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunnah (Nabi
Muhammad SAW), dan sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga :
17
Ibid, hlm. 19 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 21.02)
18
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIHh, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1994), hal 43
14
menghafalkan dan membacanya di dalam shalat mereka. Dalam semua
waktu mereka senantiasa beribadah dengart membacanya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, seluruh ayat Al-Qur’an telah dicatat
menurut kebiasaan bangsa Arab yaitu mencatat dan menghafalkan Al-
Qur’an. Selanjutnya Abu Bakar Ash-Shidiq dengan perantaraan Zaid bin
Tsabit dan sebagian sahabat yang terkenal hafalan dan catatannya,
mengumpulkan Al-Qur’an yang telah dicatat tersebut, dan menggabungkan
sebagian dengan sebagian lainnya, dengan disusun menurut urutan yang
telah dibacakan oleh Rasulullah SAW. dan dibaca oleh para sahabatnya pada
masa beliau hidup. Kumpulan Al-Qur’an dan apa yang telah dihafal oleh
para penghafal Al-Qur'an menjadi referensi kaum muslimin dalam
mempelajari Al-Qur’an dan meriwayatkannya. Kumpulan Al-Qur’an
tersebut dipelihara oleh Abu Bakar RA. pada masa hidupnya dan digantikan
pemeliharaannya oleh Umar RA. Selanjutnya Umar menyerahkannya pada
putrinya Hafshah yang bergelar Ummul Mukminin. Lalu Utsman RA.
mengambilnya dari Hafshah pada masa ia menjadi khalifah dan menulisnya
kembali beberapa naskah dengan perantaraan Zaid bin Tsabit dan sejumlah
pembesar kaum Muhajirin serta kaum Anshar. Naskah-naskah itu
dikirimkan ke berbagai negeri kaum muslimin. Dengan demikian, Abu
Bakar RA, memelihara seluruh ayat Al-Qur’an yang telah ditajwidkan,
sehingga tidak ada sedikit pun yang hilang. Selanjutnya Utsman RA
mengumpulkan kaumnya dan membagikan Al-Qur’an yang telah dibukukan
tersebut, sehingga tidak terjadi lagi perbedaan dalam segi lafalnya. 19
Selanjutnya kaum muslimin saling meriwayatkan Al-Qur’an dalam
bentuk penulisan mushaf yang telah ditajwidkan tersebut, atau dengan cara
belajar langsung dari para penghafal Al-Qur’an dari satu generasi ke
generasi berikutnya selama berabad-abad. Al-Qur'an yang tertulis tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an yang dihafalkan. Tidak pula ada
19
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1944), hal 44
15
pertentangan mengenai pelafalan Al-Qur’an antara orang China, Marakasyi,
Polonia maupun Sudan. Demikianlah berjuta-juta kaum muslimin di
berbagai benua semenjak abad ke-13 dan 80 sekian tahun, mereka membaca
Al-Qur’an semuanya, namun tidak ditemukan pertentangan antara satu
sama lain, satu umat dengan umat lainnya, baik dari segi penambahan,
pengurangan, perubahan, penggantian, ataupun urutannya. Hal tersebut
merupakan pembuktian terhadap janji Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya.
Adapun nash yang gathi dalalah ialah nash yang menunjukkan pada
pemahaman makna yang jelas (nyata) dan tidak me ngandung takwil serta
tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari nash itu.
Misalnya firman Allah SWT.:
ٌف َما ت ََر َك أَ ْز َوا ُج ُك ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّ ُه َّن َولَد ْ َِولَ ُك ْم ن
ُ ص
”Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak....” (QS.
An-Nisa'/4: 12)20
20
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1994), hal 45
16
Juga seperti firman Allah SWT. mengenai orang yang berzina:
Ayat ini juga secara pasti menunjukkan bahwa haid zina adalah
seratus kali deraan, tidak lebih dan tidak kurang. Demikian pula setiap nash
yang menunjukkan bagian harta warisan yang telah ditentukan jumlahnya,
atau pada had dan nishab tertentu.
17
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah....” (QS. Al-
Ma'idah/5: 3)21
21
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1994), hal 46
22
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1944), hal 47
18
Adapun Abu Hanifah dan beberapa ualama lain berpendapat bahwa lafadzh
umum yang ada dalam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan
terhadap keumumannya. Jika ada Sunnah yang mutawatir atau yang
masyhur, sunah tersebut yang bisa men-takhshish-nya. Namun jika
Sunnahnya tidak mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan
keumumannya karena Al-Qur’an itu qath’i ke mutawatir-annya.
Menurutnya, Hadist ahad tidak bisa dipakai men-takhsis Al-Qur’an karena
tidak sahih untuk dinisbatkan kepada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama
mengenai takhshish Sunnah terhadap Al-Qur’an terbagi dua:
1. As-Sunnah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunnah
sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-
Qur’an. As-Sunnah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an
yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an sebagai hakim bagi Sunnah, yakni sunah tidak dianggap
sahih jika bertetangan dengan Al-Qur’an, termasuk didalamnya khabar
ahad.
(https://an-nur.ac.id/sikap-para-ulama-ketika-zahir-al-quran-berhadapan-
23
19
D. Pengertian dan Kehujjahan Sunnah Menurut Imam Madzhab
َم ْن.سنَةا فَلَهُ اَجْ َرهَا َواَجْ ُر َم ْن َع ِم َل ِب َها اِلَى َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة
َ سنَّةا َح َ َم ْن
ُ س َّن
.س ِي َٔىةا فَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل ِب َها اِلَى يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة
َ سنَّةا
ُ س َّن
َ
“Barang siapa membuat jalan (mengawali) perbuatan yang
baik,maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya
(mengikuti perbuatan baiknya itu) sampai hari kiamat. Dan barang siapa
membuat jalan (mengawali) perbuatan yang buruk, maka ia menanggung
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya (mengikuti perbuatan
buruknya itu) sampai hari kiamat.”24
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
24
20
ار ِ ض َر َر َو َل
َ ض َر َ َل
“Tidak diperkenankan berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri
ataupun orang lain.”
ٌ الس ىِ َم ِة زَ َكا ة
َّ فِى
“Pada bintang ternak yang digembalakan wajib zakat.”25
25
Ibid, hlm 48
21
seorang diantara mereka mengulangi shalatnya, dan seorang lelaki tidak
mengulangi. Lalu ketika mereka menceritakan perihal tersebut kepada
Rasulullah SAW, maka beliau menetapkan hukum dua-duanya Dengan
mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi salatnya: "kamu telah
melakukan sunnah dan salatmu telah mencukupimu". Dan kepada orang
yang mengulangi shalatnya beliau bersabda: "kamu mendapat pahala dua
kali lipat."
َ س
.ِول ّٰٰلل ُ ض ْي َر
ِ ّللاِ ِل َما يُ ْر
ٰ س ْو ِل
ُ سو َل َر
ُ َر
“sesungguhnya beliau SAW, ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman,
beliau bersabda kepadanya, “dengan apakah kamu mengadili?” Mu’adz
menjawab, “saya akan mengadili berdasarkan kitab Allah, jika tidak
menemukan, maka berdasarkan sunnah Rasulullah, kemudian jika saya
tidak menemukan, maka saya beri ijtihad dengan pendapatku.” Pantas
Rasulullah SAW. Mengakuinya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang
telah memberikan Taufik kepada utusan Rasulullah pada sesuatu yang
diridhoi oleh Rasulullah.”27
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
26
22
Kehujjahan Sunnah Menurut Imam Madzhab
23
keduanya menyetujui Hadist mutawatir sebagai Hadist yang dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
28
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 94
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39
24
bertentangan dengan Al-Qur’an, serta menggunakan Hadist mutawatir
sebagai hujjah. Sedangakan terhadap ke-hujjah-an Hadist masyhur,
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah.
Imam Malik adalah imam dalam bidang fikih dan Hadist. Hal ini
terlihat padal kitabnya, Al-Muwaththa. Al-Qadhi 'Iyadh
menyebutkan dalam kitab Al-Madari, bahwa dasar pegangan dalam
menetapkan hukum Islam ada empat, yaitu Al-Kitab, Al-sunnah,
’Amal ahli Madinah dan qiyas.
25
Imam Malik menegaskan pula, dirinya berpegang kepada amal
penduduk Madinah dan menggunakan qiyas dalam membina dan
menetapkan masalah hukum yang dihadapinya.
29
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 95
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39
26
d. Qaul-Qaul sahabat yang bertentangan dengan qaul-qaul sahabat
juga; dalam hal ini, mengambil qaul yang paling kuat.
e. Qiyas, yaitu menetapkan hukum suatu masalah dengan
menyamakan (mengkias) hukum yang sudah dietapkan oleh dalil
27
juga hadis ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar dengan al-Qur'an
dan hadis mutawatir
30
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 96
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39
28
4. Pendapat Menurut Imam Ahmad bin Hambal
Hukum yang di-ijma-i oleh para muslimin banyak yang diambil dari
Al-Sunnah, karena itu meng- hilangkan Al-Sunnah, berarti
menghilangkan 9/10 hukum Islam.
Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadis mursal jika berasal dari
seorang sahabi atau seorang tabi’in atau tabi’- tabi’in. Hadist yang datang
dari dari luar kelompok tersebut, tidak diterimanya. Imam Ahmad bin
Hanbal adalah salah seorang pembina hukum Islam dan banyak yang
mengikutinya. la menerima hadist dha’if bila keadaan darurat.
Imam Ahmad bin Hanbal memegangi hadis yang berkualitas dha’if,
dengan syarat, periwayatnya bukan orang yang sengaja berdusta dan
tidak menemukan penjelasan masalah- nya dalam hadis, baik dalam
hadist shahih maupun dalam hadist hasan.
29
Kererangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin
Hanbal mengakui ke-hujjah-an Al-Sunnah dengan tegas dan jelas,
dengan menggolongkan orang-orang yang menolak Al-Sunnah sebagai
orang-orang sesat. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan hadist
mutawatir, hadist ahad, hadist mursal dan hadist dha’if. Bahkan ia
mendahulukan hadist dha’if dari pada qiyas.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut,
dapat dikatakan, bahwa para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan
menetapkan hukum terhadap seluruh masalah yang dihadapi pada masa
hidupnya sebagai ulama mujtahid, menggunakan hadist sebagai sumber
yang kedua. Namun demikian, di antara mereka menekankan
persyaratan-persyaratan bagi sebuah hadis yang dapat diterimanya
sebagai hujjah.31
31
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 97
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39
30
karena Sunnah ini dipastikan datangnya dari sahabat. Sedangkan sahabat
adalah hujjah dan dapat dipercayai periyawatannya. Oleh karena itu, maka
dalam madzhab mereka, tingkatan Sunnah masyhur termasuk dalam hadist
muatawatir dan khabar wahi. Sunnah ahad bersifat zhanniyah (dugaan kuat)
datangnya dari Rasulullah SAW karena sanadnya tidak menujukkan
kepastian.
32
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 61
31
dihukumi sah dengan kecermatan dalam menghadap kiblat, padahal ini
hanya menunjukkan zhanni (dugaan) yang kuat. Jika sekiranya haruskan
kepastian dan keyakinan didalam segala persoalan amal perbuatan, niscaya
manusia akan mendapat kesulitan. 33
33
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 62
34
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 54
32
Di antara hukum-hukum dalam kategori ini adalah pe rintah untuk
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, melaksanakan haji
ke Baitullah, larangan me nyekutukan Allah, persaksian palsu, durhaka
terhadap orang tua, membunuh jiwa seseorang tanpa hak, dan ber bagai hal
yang diperintahkan maupun yang dilarang, yang telah ditetapkan oleh Al-
Qur'an dan dikukuhkan oleh Sun nah Rasulullah SAW., sedangkan dalil atas
hukum tersebut dikemukakan dari keduanya.
35
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 55
33
Allah mengharamkan bangkai, dan sunnahlah yang men jelaskan
maksud dari bangkai itu, yaitu selain bangkai lautan, dan lain sebagainya
yang termasuk sunnah yang menjelaskan kemujmalan Al-Qur'an,
kemutlakannya dan keumumannya. As-Sunnah yang demikian
dikategorikan sebagai As-Sunnah yang melengkapi dan menambahkan
hukum Al-Qur'an.
Pertama:
36
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 56
34
Sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah berupa nash kitab
mengenainya, kemudian Rasulullah saw menetapkan sun nah seperti
sesuatu yang telah terdapat dalam nash kitab Al-Qur’an tersebut.
Kedua:
Sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Yang Maha perkasa lagi
Mahaagung di dalam Al-Qur’an secara global, kemudian beliau
menerangkan pengertian yang dimaksud.
Ketiga:
Sesuatu hal yang patut diingat bahwasanya ijtihad Rasul Allah SAW.
Mengenai pembentukan hukum Islam, adalah bersumber dari37 Al-Qur’an.
Sedangkan hukum yang bersumber dari dirinya mengenai dalam
pembentukan hukum Islam, maka beliau bersandar pada qiyas yang terdapat
di dalam Al-Quran atau pada penerapan prinsip-prinsip umum pembentukan
hukum Islam. Dengan demikian rujukan dari hukum-hukum sunnah adalah
hukum-hukum Al-Qur'an.
37
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 57
35
mungkin terjadi pertentangan atau kontradiksi antara hukum-hukum Al-
Qur'an dengan As-Sunnah.38
38
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 58
36
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah yang kami bahas saat ini diantaranya:
b. Adapun nash yang qath’i dalalah adalah nash yang menunjukkan pada
pemahaman makna yang jelas (nyata) dan tidak mengandung takwil serta
tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari nash itu.
Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya, ialah nash yang menunjukkan
satu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwil atau
dipalingkan makna.
37
atau As-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
39
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 54
38
menemukan hukum mengenai suatu perkara di dalam Al-Qur'an. Hal
tersebut di karenakan Al-Qur'an merupakan sumber pokok dalam
pembentukan hukum Islam dan merupakan sumber pertamanya. Apabila
Al-Qur'an menyebutkan nash terhadap suatu hukum, maka ia wajib
diikuti, dan apabila tidak menyebutkan nash mengenai suatu hukum,
maka dikembalikan pada As-Sunnah Jika ditemukan hukumnya dalam
As-Sunnah, maka itu yang dijadi kan sebagai hukum.
B. Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
https://an-nur.ac.id/sikap-para-ulama-ketika-zahir-al-quran-berhadapan-dengan-sunah/
https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+k
ehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_searc
h&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAgH
EAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false
https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat
Khallaf Wahhab Abdul, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994
40