Anda di halaman 1dari 43

SUMBER HUKUM BAGIAN 1

AL-QUR’AN DAN SUNNAH


(Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqih)

Dosen Pengampu: Sirojudin, S.Pd.I.,M.Pd.I

Disusun Oleh Beberapa:

Kelompok 3

Alfu Zahra Huzayemah

Lutfhiatul Zahro

Wati Rezawati

Winda Lestari

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ASSA’IDIYYAH

CIPANAS-CIANJUR

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kita mengharapkan syafaa’nya
di yaumul akhir kelak.

Dalam penyelesaian makalah ini kami banyak mengalami


kesulitan, terutama pada kurangnya ilmu pengetahuan yang
memanjang. Namun, berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul ”SUMBER
HUKUM BAGIAN 1 AL-QUR’AN DAN SUNNAH” dapat kami
selesaikan dengan baik.

Oleh karena itu, kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak


yang ikut andil dalam penyelesaian makalah ini. Kami sadar, sebagai
seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan
makalah ini masih banyak kekurangannya. Kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca demi tercapainya makalah yang lebih
baik, harapan kami semoga makalah sederhana ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca dan kita selaku generasi muda.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan .......................................................................... 3
D. Manfaat .............................................................................................. 3

BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................ 4

A. Pengertian dan Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Ulama Imam


Madzhab ............................................................................................ 4
B. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an (Nash yang Qath’i dan Nash yang
Zhanni) ............................................................................................ 14
C. Sikap Para Ulama Ketika Zahir Ayat Al-Qur’an Berhadapan
dengan Sunnah ................................................................................ 18
D. Pengertian dan Kehujjahan Sunnah Menurut Ulama Imam
Madzhab .......................................................................................... 20
E. Petunjuk (Dilalah) Sunnah ............................................................. 30
F. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an ...................................... 32

BAB 3 PENUTUP ........................................................................................ 37

A. Kesimpulan ...................................................................................... 37
B. Saran ................................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 40

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian dalil dalam bahasa Arab adalah yang menunjukkan


kepada sesuatu,baik bersifat inderawi ataupun maknawi, baik ataupun
buruk. Adapun pengertian dalil menurut istilah para ahli ilmu Ushul fiqih
adalah sesuatu yang dijadikan berbagai dalil terhadap hukum Syara’ yang
berkenaan dengan perbuatan manusia dengan didasarkan pada pandangan
yang benar mengenainya, baik secara pasti (qath'i) atau dugaan kuat
(zhanni). Sedangkan istilah seperti dalil-dalil hukum, pokok-pokok hukum,
sumber-sumber hukum Islam merupakan beberapa lafal yang memiliki arti
sama (sinonim).

Sebagai ahli ilmu Ushul Fiqih mendefinisikan dalil sebagai: Sesuatu


yang digunakan hukum Syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia
secara pasti (qath’i). Sedangkan sesuatu digunakan sebagai Syara’ dengan
jalan dugaan kuat (zhanni), maka disebut ammarah (tanda) dan bukan dalil.
Akan tetapi, yang terkenal di kalangan ulama Ushul, pengertian dalil
menurut istilah adalah: Sesuatu yang dari padanya diambil hukum Syara’
yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan
qath’i atau dengan jalan zhanni. Oleh karena itulah, mereka membagi dalil
menjadi dua bagian yaitu:

~ Dalil yang dalalahnya qath’i, dan


~ Dalil yang dalalahnya zhanni.

Berdasarkan penelitian diperoleh kepastian, bahwasanya dalil-dalil


syar’iyyah yang menjadi sumber pengambilan hukum-hukum yang
berkenan dengan perbuatan manusia kembali pada empat sumber, yaitu:

1) Al-Qur’an,
2) As-Sunnah,

1
3) Ijma’, dan
4) Qiyas.

Adapun bukti penggunaan dalil tersebut di atas ialah Firman Allah


SWT. Sebagai berikut:

‫س ْو َل َواُو ِلى ْالَ ْم ِر‬ َّ ‫ّللاَ َواَ ِط ْيعُوا‬


ُ ‫الر‬ ٰ ‫ٰيٰٓاَيُّ َهاالَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ِط ْيعُوا‬
‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ّللاِ َو‬ ْ ‫ِم ْن ُك ْۚ ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعتُ ْم ِفي ش‬
ٰ ‫َيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِ َلى‬
َ ْ‫ال ِخ ِۗ ِر ٰذ ِل َك َخي ٌْر َّواَح‬
٥٩ ‫س ُن تَا ْٔ ِوي اًْل‬ ٰ ْ ‫اّٰللِ َو ْال َي ْو ِم‬
ٰ ‫تُؤْ ِمنُ ْونَ ِب‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul (Muhammad), dan Ul Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“
(Q.S An-Nisa’/4:59)1

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan kehujjahan Al-Qur’an menurut ulama imam


madzhab?
2. Bagaiman petunjuk (dilalah) Al-Qur’an menurut nash yang qatt’i dan
nash yang zhanni?
3. Bagaimana sikap para ulama ketika zahir ayat Al-Qur’an berhadapan
dengan Sunnah?
4. Apa pengertian dan kehujjahan Sunnah menurut ulama imam madzhab?
5. Bagaimana petunjuk (dilalah) Sunnah?
6. Bagaimana kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an?

1
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang) 1994, hal 19

2
C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui pengertian dan kehujjahan Al-Qur’an menurut ulama imam


madzhab
2. Mengetahui petunjuk (dilalah) Al-Qur’an menurut nash yang qath’i dan
nash yang zhanni
3. Mengetahui sikap para ulama ketika zahir ayat Al-Qur’an berhadapan
dengan Sunnah
4. Mengetahui pengertian dan kehujjahan Sunnah menurut ulama imam
madzhab
5. Mengetahui petunjuk (dilalah) Sunnah
6. Mengetahui kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an

D. Manfaat

1. Menambah ilmu pengetahuan


2. Memperkuat keimanan dan kataqwaan
3. Menerapkan kaidah Islam secara benar
4. Mengaplikasikan hukum dengan sesuai syariat agama
5. Mengerti dasar-dasar dalil
6. Memahami hukum secara rinci untuk mengetahui maksud dan tujuan
dari hukum tersebut

3
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Imam Madzhab

Megenai asal-usul sebutan atau nama Al-Qur’an, sumber utama dan


pertama ajaran Islam, ada berbagai pandangan yang berkembang di
kalangan ulama. Masjfuk Juhdi meringkaskan keragaman pendapat ulama’
itu dengan penjelasan sebagai berikut ini. 2

Pertama, menurut As-Syafi’i (150-204 H). Bagi As-Syafi’i, kata Al-


Qur’an, dituliskan dan dibaca tanpa hamzah (Al-Quran), dan tak diambil
dari kata lain, adalah merupakan ”sebutan khusus untuk menunjuk kitab suci
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW”, seperti halnya kitab Injil
dan Taurat yang diwahyukan kepada nabi Isa AS dan Musa AS. Oleh karena
itu, kata As-Syafi’i, tidak perlu dibahas asal-usul kata Al-Qur’an itu
dikarenakan keberadaannya ghair musytaq. Ditegaskan oleh Al- Wahidi,
sebagai dirujuk Az-Zarkasyi, bahwa pendapat As- Syafi’i ini3 didasarkan
pada Hadits riwayat Al-Baihaqi, dan kemudian pandangan seperti ini diikuti
oleh Ibn Katsir.

Kedua, pendapat Al- Farra’ (w. 207 H). Menurut Al-Farra’, penulis
kitab Ma’ani Al-Qur’an, kata Al-Qur’an, adalah dituliskan dengan tidak

2
Masjfuk Zuhdi, PENGANTAR ULUMUL QUR’AN (Surabaya: Bina Ilmu, 1982),
hlm.2-3
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 Pukul 19.45
3
Lendy Zelvien Adhari dkk, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH (Widina
Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book hlm. 9
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.45

4
berhamzah (Al-Quran), ia diambil dari kata qara’in, sebagai bentuk jamak
(plural) dari kata qarinah, mempunyai makna dasar sebagai ”indikator” atau
”petunjuk”. Relevansi pemaknaan ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa
sebagian ayat Al-Qur’an memiliki keserupaan antara ayat yang satu dengan
ayat yang lain, sehingga sebagian ayat-ayatnya seolah-olah menjadi
indikator (petunjuk) dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa.

Ketiga, pandangan Al-Asy’ari (w. 324 H). Bagi Al-Asy’ari, kata Al-
Qur’an itu memang tidak berhamzah (Al-Quran) dan secara etimologis
terambil dari kata qarana, artinya ”menggabungkan” atau ”menghimpun”.
Pemaknaan seperti ini didasarkan atas alasan bahwa tampak begitu nyata
keberadaan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an itu telah dihimpun dan
digabung-gabungkan dalam sebuah mushaf sehingga merupakan satu
kesatuan yang utuh dan lengkap.

Keempat, pendapat yang dikemukakan oleh Az-Zajjaj (w. 311 H).


Menurut Az-Zajjaj, kata Al-Qur’an, dituliskan dengan berhamzah (Al-
Qur’an), mengikuti wazan fu’lan, secara etiomologi (bahasa) diambil dari
kata al-qar’u yang berarti ”menghimpun” atau ”mengumpulkan”. Teori
pemaknaan demikian ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab Al-Qur’an
Itu memang merupakan kitab suci yang keseluruhnan isinya telah
menghimpun intisari atau pokok-pokok dari ajaran-ajaran kitab suci yang
diturunkan kepada para rasul sebelumnya. 4

Kelima, pendapat yang dikemukakan oleh Al-Lihyani (w. 215 H).


Disampaikan oleh Al-Lihyani, kata Al-Qur’an dituliskan berhamzah (Al-
Qur’an), dan secara bahasa merupakan mashdar dari qara’a berarti
”membaca”. Hanya saja kemudian dia memberikan penjelasan lanjutan
bahwa kata Al-Qur’an sebagai mashdar dari qara’a itu adalah bermakna

4
Ibid, hlm.10 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.47)

5
isim maf’ul, sehingga kata Al-Qur’an mestilah dimaknai sebagai maqru’,
artinya ”yang dibaca”.5

Berkaitan dengan pendapat ulama’ yang beragam sebagai diuraikan


di atas, Shubhi As-Shalih menyampaikan penilaian dan dapat dianggap
sebagai pendapat yang paling mamadai.

Tentang masalah Al-Qur’an ini As-Shalih memberikan penegasan


bahwa pandangan yang paling tepat tentang masalah ini adalah pendapat
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah merupakan bentuk mashdar dan
muradif dengan qira’ah yang berarti "bacaan". 6 Dan kemudian pandangan
As-Shalih seperti ini mendapat dukungan luat dari sejumlah ulama' yang
datang lebih terkemudian seperti Az- Zamakhsyari (tokoh besar Mu’tajilah),
penulis kitab tafsir Al-Kasysyaf, dan bahkan kemudian sampai ia
menyampaikan pandangan bahwa sesungguhnnya shalat fajar disebut
dengan qur'an an-fajr.7 Pendapat semacam ini antara lain didasarkan
kepada firman Allah Azza Wa Jalla dalam Qs. al- Qiyamah ayat 17-18:

5
Az-Zarqani, MANAHIL AL’IRFAN FI ’ULUM AL-QUR’AN, Jilid 1 (Mesir: ’Isa
Al-Babi Al-Halabi, t.th.), hlm.14
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan
+kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_s
earch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6
BAgHEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=fals
e ) Diakses pada 09 Oktober 2023 Pukul 19.48

6
Shubhi As-Shalih, MABAHITS FI ‘ULUM AL-QUR’AN (Beirut: Dar Al-‘Ilm,
1988), hlm. 19
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.49
7
Az-Zamakhsyari, AL-KASYAF ‘AN AL-HAQIQAT AT-TANZIL WA AL-;UYUN
AL-AQAWIL FI WUJUH AT-TA’WIL, Jilid II (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t.th.), hlm. 462
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Daikses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.49

6
8
ُ ‫ِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُ ْرآنَهُ فَإِذَا قَ َرأْتُهُ فَاتَّ ِب ْع قُ ْرآنَه‬
”Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (Q.S Al-Qiyamah :17-18)

Adapun pengertian Al-Qur’an secara terminologis (istilah),


ditemukan adanya beberapa rumusan definisi yang disampaikan oleh
ulama’. Di antara rumusan definisi Al-Qur’an dimaksud adalah
sebagaimana nukilan berikut ini:

a. Az-Zuhali memberikan definisi Al-Qur’an dengan rumusan berikut ini:


Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi
Muhammad yang tertulis dalam mashahif menrupakan ibadah dalam
mebacanya, yang diriwayatkan secara mutawatir diawali dengan surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan An-Nas.

b. Shubhi As-Shalih, dalam keterangnanya, memberikan definisi Al-


Qur’an, yang dalam batas tertentu dapat dipandang sebagai pengertian
yang lebih dapat diterima oleh banyak pihak, terutama ulama' dari
kalangan ahli bahasa, fiqih dan ahli ushul. As-Shalih merumuskan
pengertian Al-Qur’an dengan definisi ”Al- Qur’an adalah kalam Allah
yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang tertulis
dalam mashahif yang diriwayatkan secara mutawatir dan merupakan
ibadah dalam membacanya”. 9
c. Kemudian As-Shabuni, dalam sebuah keterangannya mendefinisikan
Al-Qur’an sebagaimana penjelasan di bahwa Al-Qur’an adalah kalam

8
Lendy Zelvien Adhari dkk, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH
(Widina Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book hlm. 11 (
https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+da
n+kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobil
e_search&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6
wF6BAgHEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&
f=false ) Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.49

9
Ibid, hlm. 12 (Diakses pada 09 Oktober pukul 19.50)

7
Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada nabi terakhir melalui Al-
Amin Jibril yang tertulis dalam mashahif yang diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir, merupakan ibadah dalam membacanya diawali
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. 10

Dengan merujuk kepada rumusan definisi ini, maka selanjutnya


dapatlah ditegaskan bahwa yang merupakan unsur-unsur pokok yang
mutlak harus terkandung dalam pengertian Al-Qur’an adalah meliputi hal-
hal penting sebagai berikut ini:

1. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang memiliki sifat


mu'jiz (melemahkan dan atau mengalahkan lawan- lawannya). Sebagai
salah satu karakteristik Al-Qur’an dan sekaligus sebagai
keistimewaannya, unsur ini menempati posisi penting sebagai distingsi
(pembeda) kitab suci Al-Qur’an dengan Hadits, di mana sumber ajaran
Islam yang disebutkan lebih belakangan ini sama sekali tidak
berkekuatan mu'jiz seperti halnya Al-Qur’an.

2. Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang khusus hanya diwahyukan


kepada nabi Muhammad SAW. Tentu saja unsur pokok ini mejadi
penting juga sebagai salah satu karakteristik atau ciri khusus yang
menjadi distingsi (pembeda) Al-Qur’an dengan sejumlah kitab suci yang
telah11 diturunkan oleh Allah kepada para rasul sebelum nabi
Muhammad SAW.

10
As-Shabuni, ‘ULUM QUR’AN, terjemah. Saiful Islam Jamaludin (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1983), hlm.17
(https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+
kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_sear
ch&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAg
HEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false )
Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.51
11
Lendy Zelvien Adhari dkk, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH
(Widina Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book hlm. 13 (
https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+da
n+kehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobil
e_search&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6
wF6BAgHEAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&
f=false ) Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.51

8
3. Metode pewahyuan Al-Qur’an mestilah melalui atau dengan
perantaraan Jibril. Karakteristik metodologis pewahyuan Al- Qur’an ini
penting ditonjolkan mengingat tidak ada satu ayat pun dari Al-Qur’an
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, dengan tanpa melalui
Jibril, meskipun harus secepatnya diberikan catatan bahwa tidak semua
yang diwahyukan oleh Allah Azza Wa Jalla, melalui malaikat Jibril
mesti berwujud Al-Qur’an.

4. Al-Qur'an adalah berhasa Arab, yang lafadz dan tentu juga maknanya
berasal langsung dari Allah. Tentu saja nilai penting unsur ini adalah
sebagai distingsi bersifat fundamental yang membedakan Al-Qur’an
dengan As-Sunnah, yang meskipun As-Sunnah itu juga merupakan
wahyu Allah, tetapi hanyalah segi maknanya saja yang berasal dari
Allah Azza Wa Jalla.
5. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang eksistensinya
sudah tertuliskan dalam mushaf. Unsur ini menjadi penting
dikemukakan untuk membedakan keberadaan Al-Qur’an sebagai kalam
lafdhi dengan kalam Allah yang masih menyatu atau inheren pada diri
Allah yang biasanya diistilahkan sebagai kalam nafsi.

6. Al-Qur’an merupakan kalamullah (kalam Allah) yang membacanya saja


sudah dinilai sebagai ibadah (artinya, diberikan pahala bagi
pembacanya), meskipun yang bersangkutan tak sampai memahami
makna kandungnya. Keistimewaan Al-Qur’an pada sisi ini penting
dikemukakan untuk membedakannya dengan As-Sunnah yang
membacanya saja, tanpa pemahaman12 maknanya, tidak bernilai ibadah.
Terkecuali sebagai ibadah menuntut ilmu, misalnya, tentu saja ketika
diniati oleh pelakunya untuk kepentingan keilmuan agar lebih bisa
memahami ajaran Islam.

12
Ibid, hlm. 14 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.53)

9
7. Al-Qur’an adalah merupakan kalamullah (kalam Allah) yang kualitas
periwayatannya mesti sampai pada derajat mutawatir. Karakteristik
kitab suci Al-Qur’an semacam ini tentu menjadi sangat urgen untuk
disampaikan, khususnya dalam konteks untuk kepentingan
membedakan keberadaan Al-Qur’an dengan As-Sunnah yang bila
ditinjau dari segi periwayatannya ternyata tidak seluruh As-Sunnah
mesti bersifat mutawatir, terkecuali hanya sebagian saja darinya.

Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Ulama Imam Madzhab

1. Pandangan Menurut Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-


Qur’an merupakan sumber hukum Islam. Namun, menurut sebagian
besar ulama. Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur
ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafadzh dan maknanya atau
maknanya saja.

Di antara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah


bahwa Al-Qur’an hanya maknanya saja adalah ia membolehkan shalat
dengan menggunakan bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi
walaupun tidak dalam keadaan madarat. Padahal menurut Imam Syafi’i
sekalipun seseorang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an
dengan menggunakan bahasa selain Arab.13

2. Pandangan Menurut Imam Malik

Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah. la


bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Sesuatu yang
termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan
predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
itu makhluk. Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-
Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata,
”Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang

13
Ibid, hlm. 15 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 20.57)

10
yang menafsirkan Al-Quran (dengan daya nalar murni), maka akan
kupenggal leher orang itu.”

Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf
(sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit
mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap
Allah SWT. Maka tidak heran kaiau kitabnya, Ai-Muwathlha dan Ai-
Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi'in. Dan Malik pun
mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.

Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafadzh yang terdapat


dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan
mutasyabat, ayat-ayat muhakamat adalah ayat yang terang dan tegas
maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat
mustasyahihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian
yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara
mendalam.

Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafadzh dan nash. Imam
Malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafadzh nash itu
adalah lafadzh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qath’i)
yang secara pasti tidak memiliki makna lain, sedangkan lafadzh zhahir14
adalah lafadzh yang menunjukkan makna jelas, namun masih
mempunyai kemungkinan makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya
dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafadzh nash didahulukan daripada
lafadzh zhahir.

Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan


dilalah zhahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara
keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu
diingat adalah zhahir di sini adalah makna zhahir meneurut pengertian
Imam Malik.

14
Ibid, hlm. 16 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 19.58)

11
3. Pandangan Menurut Imam As-Syafi’i

Imam As-Syafi’i, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan


bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok,
bahkan beliau berpendapat. ”Tidak ada yang diturunkan kepada
penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-
Qur’an.” (Asy-Syafi’i, 1309:20). Oleh karena itu. Imam Asy-Syafi’i
senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Qur’an setiap kali
mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yakni
deduktif.

Namun, Asy-Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa


dilepaskan dari As-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat
sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum Islam
yang pertama itu Al-Qur’an kemudian As-Sunnah, maka Imam Asy-
Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum Islam pertama itu Al-Qur’an
dan As-Sunnah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya
berada pada satu martabat.15

Sebenarnya. Imam Asy-Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain


tidak menganggap bahwa Al-Quran dan Sunah berada dalam satu
martabat, namun kedudukan As-Sunnah itu adalah setelah Al-Qur’an.
Tapi Asy-Syafi’i menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah Azza
Wa Jalla. Meskipun mengakui bahwa di antara keduanya terdapat
perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As-Sunnah
merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada
dalam Al-Qur’an.

Kemudian Asy-Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya


berbahasa Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan bahwa
dalam Al-Qur’an terdapat bahasa ’Ajam (luar Arab), di antara

15
Ibid, hlm. 17 (Daikses pada 09 Oktober 2023 pukul 20.59)

12
pendapatnya adalah firman Allah Azza Wa Jall, pada surah Yusuf ayat
ke 2 :

َ‫ِإنَّا أَ ْنزَ ْلنَهُ قُ ْرآناا َع َربِيًّا لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْع ِقلُ ْون‬


”Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur'an berbahasa Arab,
agar kamu mengerti”. (QS Yusuf :2)

Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi’i dalam berbagai


pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan
dalam shalat. nikah, dan ibadah-ibadah lainnya. Dan beliau pun
mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin
memahami dan meng-istinbath hukum dari Al-Qur’an. (Abu Zahrah
:191-197).

4. Pandangan Menurut Imam Ahmad Ibnu Hambal

Al-Qur’an merupakan sumber dan tonggak syari’at Islam, yang di


dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan
perubahan zaman dan tempat. Al-Qur’an juga mengandung hukum-16
hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di samping
sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.

Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat


bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul
oleh As-Sunnah. Namun, seperti halnya Imam Asy-Syafi’i, Imam
Ahmad memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang
kuat di samping Al-Qur’an, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan
bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an
dahulu atau As-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

16
Ibid, hlm. 18 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 21.01)

13
Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an. Imam Ahmad betul-betul
mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunnah (Nabi
Muhammad SAW), dan sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga :

a. Sesungguhnya zhahir Al-Qur’an tidak mendahulukan As-Sunnah.

b. Rasulullah SAW, saja yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka


tidak ada seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan
Al-Qur’an, karena As-Sunnah telah cukup menafsirkan dan
menjelaskannya.

c. Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran


para sahabatlah yang dipakai, karena merekalah yang menyaksikan
turunnya Al-Qur’an dan mendengarkan takwil. Dan mereka pula
yang lebih mengetahui As-Sunnah, yang mereka gunakan sebagai
penafsir Al-Qur’an.17

B. Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an (Nash yang Qath’i dan Nash yang


Zhanni)

Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qath'i dari segi kehadiran,


ketetapan, dan periwayatannya dari Rasulullah SAW. kepada kita.
Maksudnya, kita memastikan bahwa setiap nash Al-Qur’an yang kita baca,
hakikatnya merupakan nash Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada
Rasul-Nya. Kemudian Rasul yang ma’shum (terpelihara) itu
menyampaikan18 kepada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian.
Karena Rasul yang ma’shum itu, apabila mendapatkan wahyu berupa
sebuah surah, atau beberapa ayat, atau satu ayat, maka beliau
menyampaikan dan membacakan langsung kepada para sahabatnya.
Sementara para penulis wahyu menulisnya, dan di antara sahabatnya ada
pula yang menulis untuk dirinya sendiri. Di antara mereka banyak yang

17
Ibid, hlm. 19 (Diakses pada 09 Oktober 2023 pukul 21.02)
18
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIHh, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1994), hal 43

14
menghafalkan dan membacanya di dalam shalat mereka. Dalam semua
waktu mereka senantiasa beribadah dengart membacanya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, seluruh ayat Al-Qur’an telah dicatat
menurut kebiasaan bangsa Arab yaitu mencatat dan menghafalkan Al-
Qur’an. Selanjutnya Abu Bakar Ash-Shidiq dengan perantaraan Zaid bin
Tsabit dan sebagian sahabat yang terkenal hafalan dan catatannya,
mengumpulkan Al-Qur’an yang telah dicatat tersebut, dan menggabungkan
sebagian dengan sebagian lainnya, dengan disusun menurut urutan yang
telah dibacakan oleh Rasulullah SAW. dan dibaca oleh para sahabatnya pada
masa beliau hidup. Kumpulan Al-Qur’an dan apa yang telah dihafal oleh
para penghafal Al-Qur'an menjadi referensi kaum muslimin dalam
mempelajari Al-Qur’an dan meriwayatkannya. Kumpulan Al-Qur’an
tersebut dipelihara oleh Abu Bakar RA. pada masa hidupnya dan digantikan
pemeliharaannya oleh Umar RA. Selanjutnya Umar menyerahkannya pada
putrinya Hafshah yang bergelar Ummul Mukminin. Lalu Utsman RA.
mengambilnya dari Hafshah pada masa ia menjadi khalifah dan menulisnya
kembali beberapa naskah dengan perantaraan Zaid bin Tsabit dan sejumlah
pembesar kaum Muhajirin serta kaum Anshar. Naskah-naskah itu
dikirimkan ke berbagai negeri kaum muslimin. Dengan demikian, Abu
Bakar RA, memelihara seluruh ayat Al-Qur’an yang telah ditajwidkan,
sehingga tidak ada sedikit pun yang hilang. Selanjutnya Utsman RA
mengumpulkan kaumnya dan membagikan Al-Qur’an yang telah dibukukan
tersebut, sehingga tidak terjadi lagi perbedaan dalam segi lafalnya. 19
Selanjutnya kaum muslimin saling meriwayatkan Al-Qur’an dalam
bentuk penulisan mushaf yang telah ditajwidkan tersebut, atau dengan cara
belajar langsung dari para penghafal Al-Qur’an dari satu generasi ke
generasi berikutnya selama berabad-abad. Al-Qur'an yang tertulis tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an yang dihafalkan. Tidak pula ada

19
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1944), hal 44

15
pertentangan mengenai pelafalan Al-Qur’an antara orang China, Marakasyi,
Polonia maupun Sudan. Demikianlah berjuta-juta kaum muslimin di
berbagai benua semenjak abad ke-13 dan 80 sekian tahun, mereka membaca
Al-Qur’an semuanya, namun tidak ditemukan pertentangan antara satu
sama lain, satu umat dengan umat lainnya, baik dari segi penambahan,
pengurangan, perubahan, penggantian, ataupun urutannya. Hal tersebut
merupakan pembuktian terhadap janji Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya.

ِ ‫ِإنَّا نَحْ ُن ن ََّز ْلنَا‬


ُ ‫الذ ْك َر َو ِإنَّا لَهُ لَ َح ِف‬
َ‫ظون‬
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr/15: 9)

Adapun nash-nash Al-Qur’an dari segi dalalah hukum yang


dikandungnya, terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:

a. Nash yang qath'i dalalah, dan


b. Nash yang zhanni dalalah

Adapun nash yang gathi dalalah ialah nash yang menunjukkan pada
pemahaman makna yang jelas (nyata) dan tidak me ngandung takwil serta
tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari nash itu.
Misalnya firman Allah SWT.:

ٌ‫ف َما ت ََر َك أَ ْز َوا ُج ُك ْم ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّ ُه َّن َولَد‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
ُ ‫ص‬
”Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak....” (QS.
An-Nisa'/4: 12)20

Ayat ini qath’i dalalahnya, bahwa bagian suami dalam kondisi


seperti ini adalah seperdua, tidak bisa lainnya

20
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1994), hal 45

16
Juga seperti firman Allah SWT. mengenai orang yang berzina:

ٍ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِمائَةَ َج ْلدَة‬ َّ ‫الزانِيَةَ َو‬


ِ ‫الزانِي فَاجْ ِلدُوا ُكل َو‬ َّ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dan
keduanya seratus kali....” (QS. An-Nür/24: 2)

Ayat ini juga secara pasti menunjukkan bahwa haid zina adalah
seratus kali deraan, tidak lebih dan tidak kurang. Demikian pula setiap nash
yang menunjukkan bagian harta warisan yang telah ditentukan jumlahnya,
atau pada had dan nishab tertentu.

Sedangkan nash yang zhanni dalalah ialah nash yang menunjukkan


suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwil atau
dipalingkan dari makna.

Misalnya firman Allah SWT:

ٍ‫صنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَلَثَةَ قُ ُروء‬ َ ‫َو ْال ُم‬


ْ َّ‫طلَّ ْقتُ يَت ََرب‬
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (me- nunggu)
tiga kali quru’....” (QS. Al-Baqarah/2: 228)

Lafal "Quri" dalam bahasa Arab merupakan lafal musytarak antara


dua makna. Menurut bahasa diartikan "suci" dan ada juga yang mengartikan
"haid". Nash menunjukkan bahwa wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri selama 3 kali suci, dan ada pula kemungkinan yang
dikehendaki adalah 3 kali haid. Jadi, lafal di atas tidaklah menunjukkan
dalalah qath’i. Oleh karena itu, maka para mujtahid berselisih pendapat
mengenai masa iddah wanita yang ditalak yaitu ada yang berpendapat 3 kali
haid dan ada pula yang berpendapat 3 kali suci.

Firman Allah SWT:

‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدَّ ُم‬


ْ ‫ُح ِر َم‬

17
”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah....” (QS. Al-
Ma'idah/5: 3)21

Lafal "maytah" (bangkai) dalam ayat di atas masih bersifat umum.


Nash tersebut mempunyai kemungkinan yaitu: mengharamkan setiap
bangkai, dan ada kemungkinan untuk mengkhususkan pengharaman dengan
sesuatu selain bangkai lautan. Hal tersebut mengandung arti bahwa nash
yang di dalamnya terdapat makna yang musytarak atau lafal yang umum,
atau lafal yang mutlak, ataupun lainnya, maka nash itu adalah zhanni
dalalahnya, karena ia menunjukkan pada suatu makna dan juga
mengandung kemungkinan pengertian lainnya. 22

C. Sikap Para Ulama Ketika Zahir Ayat Al-Qur’an Berhadapan dengan


Sunnah

Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga


terjadi karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan
nash Sunnah, seperti Sunnah yang men-takhshish keumuman dilalah Al-
Qur’an. Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan. Imam Asy-Syafi’i,
Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman
Al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunnah,
karena Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga
sebagai takhsis terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), sehingga artinya
menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ulama pun bilang tidak
menemukan penafsirannya dari Sunnah.
Dengan demikian, semua lafadzh ’amm yang ada dalam Al-Qur’an
jika sudah ada keterangan dalam Hadist, meskipun menyalahi zahir tersebut,
harus di- takhsish dengan Sunnah.

21
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1994), hal 46
22
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra:
Semarang, 1944), hal 47

18
Adapun Abu Hanifah dan beberapa ualama lain berpendapat bahwa lafadzh
umum yang ada dalam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan
terhadap keumumannya. Jika ada Sunnah yang mutawatir atau yang
masyhur, sunah tersebut yang bisa men-takhshish-nya. Namun jika
Sunnahnya tidak mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan
keumumannya karena Al-Qur’an itu qath’i ke mutawatir-annya.
Menurutnya, Hadist ahad tidak bisa dipakai men-takhsis Al-Qur’an karena
tidak sahih untuk dinisbatkan kepada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama
mengenai takhshish Sunnah terhadap Al-Qur’an terbagi dua:
1. As-Sunnah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunnah
sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-
Qur’an. As-Sunnah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an
yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an sebagai hakim bagi Sunnah, yakni sunah tidak dianggap
sahih jika bertetangan dengan Al-Qur’an, termasuk didalamnya khabar
ahad.

Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al-


Qur’an, juga terjadi golongan Sunni dan Syi’i. kaum Sunni memahami
dilalah Al-Qur’an melalui sunah. Jika tidak ditemukan dalam sunah, mereka
memahaminya melalui ilmu bahasa Arab dan ilmu syari’at dengan
mengambil muqashid dan tujuan disyariatkannya ayat tersebut.

Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak


seorang pun yang mampu memahami Al-Qur’an selain Imam mereka yang
dua belas. Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas tersebut
sebagai kunci dalam memahami Al-Qur’an, sedangkan selain mereka tidak
ada yang mampu mencapainya. Selain itu, mereka juga dianggap ma’shum,
terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II : 59-60).23

(https://an-nur.ac.id/sikap-para-ulama-ketika-zahir-al-quran-berhadapan-
23

dengan-sunah/ ) Diakses pada 10 Oktober 2023 Pukul 17.25

19
D. Pengertian dan Kehujjahan Sunnah Menurut Imam Madzhab

Lafal As-Sunnah, menurut bahasa adalah jalan. Diantaranya firman


Allah SWT :
‫ّللا تَ ْب ِد ْيًلا‬ ُ ‫َو لَ ْن ت َِجدَ ِل‬
ٰ ‫سنَّ ِة‬
“...Dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah” (Q.S
Al-Ahzab/33:62)

Sebagaimana lafal Sunnah digunakan untuk sesuatu makna yang


terpuji, ia juga digunakan untuk sesuatu yang tercela. Sebagaimana
disebutkan dalam hadist:

As-Sunnah menurut istilah Syara’ adalah sesuatu yang datang dari


Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan
(taqrir).

‫ َم ْن‬.‫سنَةا فَلَهُ اَجْ َرهَا َواَجْ ُر َم ْن َع ِم َل ِب َها اِلَى َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة‬
َ ‫سنَّةا َح‬ َ ‫َم ْن‬
ُ ‫س َّن‬
.‫س ِي َٔىةا فَ َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل ِب َها اِلَى يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
َ ‫سنَّةا‬
ُ ‫س َّن‬
َ
“Barang siapa membuat jalan (mengawali) perbuatan yang
baik,maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya
(mengikuti perbuatan baiknya itu) sampai hari kiamat. Dan barang siapa
membuat jalan (mengawali) perbuatan yang buruk, maka ia menanggung
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya (mengikuti perbuatan
buruknya itu) sampai hari kiamat.”24

Sunnah Qauliyyah ialah hadist-hadist Rasullullah SAW, yang beliau


katakan dalam berbagai maksud dan konteks. Misalnya sabda Rasulullah
SAW.:

Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
24

Semarang) 1994, hlm 48

20
‫ار‬ ِ ‫ض َر َر َو َل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫َل‬
“Tidak diperkenankan berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri
ataupun orang lain.”

Dan sabda beliau:

ٌ ‫الس ىِ َم ِة زَ َكا ة‬
َّ ‫فِى‬
“Pada bintang ternak yang digembalakan wajib zakat.”25

Serta sabda beliau mengenai lautan:

ُ‫الط ُه ْو ُر َٰٓما ُؤهُ ْال ِح ُّل َم ْيتَتُه‬


َّ ‫ه َُو‬

“Lautan itu airnya suci dan bangkainya halal.”

Sunnah fi'liyah ialah perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW.,


Sebagaimana beliau menunaikan salat lima waktu dengan cara-cara dan
rukun-rukunnya, melaksanakan manasik haji, dan putusannya dengan
berdasarkan seorang saksi dan sumpah dari pihak pendakwa.

Sunnah taqririyyah ialah sesuatu yang timbul dari sahabat


Rasulullah SAW, yang telah diakui oleh Rasulullah SAW, baik berupa
ucapan maupun perbuatan. Pengakuan tersebut ada kalanya ditunjukkan
dengan sikap diam dan tidak adanya keingkaran beliau terhadap sesuatu,
atau dengan adanya pernyataan penilaian baik terhadap perbuatan itu.
Dengan adanya pengakuan dan persetujuan dari Rasul, maka perbuatan itu
dianggap berasal dari Rasulullah SAW sendiri. Seperti suatu yang
diriwayatkan, bahwa dua orang sahabat keluar dalam suatu perjalanan,
kemudian tiba waktu shalat, namun mereka tidak mendapatkan air, lalu
keduanya bertayamum dan melakukan shalat. Setelah mereka selesai
melakukan salat, ternyata keduanya menemukan air, kemudian salah

25
Ibid, hlm 48

21
seorang diantara mereka mengulangi shalatnya, dan seorang lelaki tidak
mengulangi. Lalu ketika mereka menceritakan perihal tersebut kepada
Rasulullah SAW, maka beliau menetapkan hukum dua-duanya Dengan
mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi salatnya: "kamu telah
melakukan sunnah dan salatmu telah mencukupimu". Dan kepada orang
yang mengulangi shalatnya beliau bersabda: "kamu mendapat pahala dua
kali lipat."

Contoh hadist lain;

ُ ‫ث ُم َعاذَ ابْنَ َج َب ٍل اِلَى ْال َي َم ِن قَا َل لَه‬


َ َ‫ّللا عليه وسلم لَ َّما َبع‬
ٰ ‫اَنَّهُ صلى‬
،ِ‫ّللا‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬
ٰ ‫س ْو ِل‬ ُ ‫ّللاِ فَا ِْن لَّ ْم ا َ ِج ْد فَ ِب‬
ٰ ‫ب‬ ِ ‫ض ْي ِب ِكتَا‬ ِ ‫ اَ ْق‬:‫ضى ؟ قَا َل‬ ِ ‫ِب َم تَ ْق‬
‫ف‬ ْ ‫ اَ ْل َح ْمدُ ِ ّٰٰللِ الَّذ‬:‫س ْو ُل َوقَا َل‬
َّ َ‫ِي َوق‬ َّ ُ‫ فَاَقَ َّره‬.‫فَا ِْن لَّ ْم اَ ِج ْد اَجْ ت َ ِهدُ َرأْ ِي ْي‬
ُ ‫الر‬ 26

َ ‫س‬
.ِ‫ول ّٰٰلل‬ ُ ‫ض ْي َر‬
ِ ‫ّللاِ ِل َما يُ ْر‬
ٰ ‫س ْو ِل‬
ُ ‫سو َل َر‬
ُ ‫َر‬
“sesungguhnya beliau SAW, ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman,
beliau bersabda kepadanya, “dengan apakah kamu mengadili?” Mu’adz
menjawab, “saya akan mengadili berdasarkan kitab Allah, jika tidak
menemukan, maka berdasarkan sunnah Rasulullah, kemudian jika saya
tidak menemukan, maka saya beri ijtihad dengan pendapatku.” Pantas
Rasulullah SAW. Mengakuinya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang
telah memberikan Taufik kepada utusan Rasulullah pada sesuatu yang
diridhoi oleh Rasulullah.”27

Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
26

Semarang) 1944, hal 49


Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
27

Semarang) 1994, hal 50

22
Kehujjahan Sunnah Menurut Imam Madzhab

1. Pendapat Menurut Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah dalam mengambil sumber atau dalil hukum
dalam menghadapi tuntutan ketetapan hukum terhadap masalah-
masalah yang dihadapinya atau yang timbul di tengah-tengah
masyarakat, ia mendapatkan Hadist sebagai sumber penetapan hukum
yang kedua sesudah Al-Qur’an. Hal ini diketahui melalui ulasan yang
diberikan Al-Baghdadi dalam buku tarikhnya, di mana Abu Hanifah
berkata: Saya terlebih dahulu mengambil pada kitab Allah, tetapi kalau
saya tidak menemukan di dalam-Nya, maka saya mengambil pada
sunnah Rasulullah SAW.
Banyak ulama yang menuduh Abu Hanifah mendahulukan qiyas
dari pada Hadist. Namun tuduhan itu hanyalah didorong oleh perasaan
apriori belaka. Al-Sya’rani dalam kitabnya, Al-Mizan Al-Kubra menulis,
bahwa Abu Hanifah berkata: Demi Allah, telah berdusta dan telah
mengada-ngaada terhadap saya, orang yang mengatakan, sesungguhnya
saya mendahulukan qiyas atas nash. Apakah diperlukan qiyas sesudah
ada nash.
Jumhur ulama telah menegaskan, Abu Hanifah berhujjah dengan
Hadist mutawatir. Sebagian ulama Hanafiyah menyamakan hadis
masyhur dengan hadis mutawatir; dan sebagian dari mereka
menegaskan, Hadist masyhur tidak menyangkut soal yang bersifat
keyakinan, melainkan hanya yang bersifat zhanni (di luar keyakinan
atau akidah). Dengan kata lain, Hadist masyhur dapat diamalkan dan di
bawah peringkat Hadist mutawatir.
Dari keterangan di atas, nampak ada perbedaan di kalangan ulama
pengikut Abu Hanifah dalam mendudukkan Hadits sebagai hujjah. Ada
yang menyamakan derajat hadis masyhur dengan hadis mutawair; dan
ada yang berpandangan peringkat Hadist masyhur berada di bawah
hadis mutawatir. Ada dualism persepsi, namun pada hakikatnya,

23
keduanya menyetujui Hadist mutawatir sebagai Hadist yang dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

Abu Hanifah menerima Hadist ahad dengan menetapkan syarat-


syarat sebagai berikut:
a. Periwayatnya tidak menyalahi riwayatnya
b. Riwayatnya tidak menyangkut soal yang umum
c. Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.

Hadist ahad didahukukan atas qiyas, jika:

a. Qiyas yang ’illat-nya mustanbath dari sesuatu yang zhanni


b. Istinbath zhanni walau dari asal yang qath;i
c. Di-istinbath-kan dari yang qath’i, tapi penerapannya pada furu’
adalah zhanni

Berdasarkan penjelasan tersebut, ternyata Abu Hanifah


menggunakan qiyas untuk menilai Hadist ahad sebagai alat untuk
memproduk hukum Islam. Dengan demikian dapat dikatakan, posisi
Hadist ahad bagi Abu Hanifah berada di bawah qiyas.

Abu Hanifah dapat menerima hadis mursal dalam membina hukum


Islam, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadist masyhur
dan keterangan syara’.28

Pada prinsipnya Abu Hanifah menetapkan Al-Qur’an sebagai


sumber hukum Islam yang pertama, menerima Sunnah jika datang dari
orang yang terpercaya, menerima Hadist ahad sesudah Al-Qur’an, jika
Hadist ahad tidak bertentangan dengan kaidah yang telah di ijma’-i oleh
ulama, tidak teemasuk soal yang umum dan tidak menyalahi qiyas. Abu
Hanifah menerima juga Hadist mursal sebagai hujjah jika tidak

28
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 94
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39

24
bertentangan dengan Al-Qur’an, serta menggunakan Hadist mutawatir
sebagai hujjah. Sedangakan terhadap ke-hujjah-an Hadist masyhur,
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah.

2. Pendapat Menurut Imam Malik bin Anas

Imam Malik adalah imam dalam bidang fikih dan Hadist. Hal ini
terlihat padal kitabnya, Al-Muwaththa. Al-Qadhi 'Iyadh
menyebutkan dalam kitab Al-Madari, bahwa dasar pegangan dalam
menetapkan hukum Islam ada empat, yaitu Al-Kitab, Al-sunnah,
’Amal ahli Madinah dan qiyas.

Menurut Imam Malik, dididukkan Al-Sunnah terhadap Al-


Qur’an dalam tiga hal, yaitu:
a. Mentaqrirkan hukum hukum dalam Al-Qur’an
b. Menerangkan apa yang di kehendaki Al-Qur’an
c. Mendatangkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an

Mencermati pendapat Imam Malik tersebut, dapat ditegaskan


bahwa Imam Malik dalam membina hukum Islam, ia menempatkan
Al-Sunnah sebagai sumber pengambilan hukum yang kedua sesudah
Al-Qur'an. Imam Malik memandang keberadaan Al-Sunnah
sekaligus sebagai sumber bagi timbulnya hukum-hukum baru di luar
Al- Qur’an.

Imam Malik menegaskan, dirinya mungathi’ dan hadist-hadist


yang disampaikan periwayat kepadanya yang (dalam kitab Al-
Muwaththa’) di-ta'bir-kan dengan ibarat balaghani (sampai
kepadaku), walaupun ia tidak terangkan sebab-sebab ia menerima
hadist-hadist tersebut, mengingat pada masa itu, belum dipersoalkan
ulama tentang kedudukan hadist mursal; dan ia sendiri tidak
menerima hadist melainkan dari orang yang dipercayainya.

25
Imam Malik menegaskan pula, dirinya berpegang kepada amal
penduduk Madinah dan menggunakan qiyas dalam membina dan
menetapkan masalah hukum yang dihadapinya.

Adapun hadist ahad, ulama-ulama Malikiyah tidak


mengamalkannya bila bertentangan dengan amalan-amalan atau ’urf
ulama-ulama Madinah, mengingat ada pandangan yang mengatakan,
amalan-amalan ulama Madinah sama dengan riwayatnya.

Pada intinya. Imam Malik membina hukum-hukum Islam dengan


berdasarkan Al-Qur’an sebagai sebagai sumber pembinaan yang
pertama, kemudian Sunnah sebagai sumber pembinaan yang kedua.
Dalam hal hadist, Imam Malik menerima hadist masyhur, hadist
mursal dan hadist mutawatir serta hadist ahad. Sementara khusus
hadist ahad, Imam Malik memberi syarat, yaitu tidak bertentangan
dengan amalan-amalan ulama Madinah.

3. Pendapat Menurut Imam Syafi’i

Imam Al-Syafi'i membagi prosedural ilmiah penetapan dalil-dalil


hukum dalam lima tingktan dengan urutan sebagai berikut:
a. Al-Kitab dan Al-Sunnah. Ditempatkannya Al-Sunnah sejajar
dengan Al-Kitab karena Al-Sunnah merupakan penjelas bagi Al-
Kitab, walau hadist ahad tidak senilai dengan Al-Kitab. 29
b. Ijma’ ditempuh dalam berbagai masalah yang tidak diperoleh
dalilnya dari Al-Kitab dan Al- Sunnah. Ijma’ dalam hal ini, ialah
ijma’-nya para fuqaha yang memiliki ilmu khusus.
c. Qaul (pendapat) sebagian sahabat yang diketahui, tidak ada qaul
lain yang menyelisihinya.

29
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 95
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39

26
d. Qaul-Qaul sahabat yang bertentangan dengan qaul-qaul sahabat
juga; dalam hal ini, mengambil qaul yang paling kuat.
e. Qiyas, yaitu menetapkan hukum suatu masalah dengan
menyamakan (mengkias) hukum yang sudah dietapkan oleh dalil

Menyimak pembagian prosedural ilmiah tersebut, dapat


diketahui, bahwa Imam Syafi'l dalam membina hukujm Islam, ia
menemaptkan Al-Qur’an dan hadist sebagai termpat bersandarnya
ijma, qaul sahabat dan qiyas. Dengan kata lain, bahwa sumber yang
digunakan Imam Syafi’i dalam membina hukum, hanyalah dua, yaitu
Al-Qur’an dan Hadist. Adapun dalil- dalil lain dalam urutan tingkatan
di atas, hanyalah merujuk kepada Al- Qur’an dan hadist atas.

Dalam kitabnya, Al-Risalah, Imam Syafi’i mengajukan sejumlah


dalil yang membuktikan ke-hujjah-an Al-Sunnah. Hadist ahad, Imam
Syafi'i menerimanya, namun dengan syarat sebagai berikut:

a. Periwayatnya adalah orang yang dipercaya


b. Periwayatnya berakal atau memahami apa yang diriwayatkan
c. Periwayatnya dhabith
d. Periwayatnya benar-benar mendengar hadist itu dari orang yang
meriwayatkannya
e. Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan
hadis. yang sama."

Sedangkan hadist mursal, Imam Syafi’i tidak menerima secara


mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak. Hadist mursal dapat
diterima Imam Syafi’i dengan dua syarat, pertama, hadist mursal itu
disampaikan oleh tabi’in yang banyak berjumpa dengan sahabat;
kedua, ada petunjuk yang menguatkan sanad hadist ahad itu.
Walaupun hadis mursal diterima Imam Syafi’i sebagai hujjah, namun
menurutnya tidaklah sederajat dengan hadist ahad; dan demikian

27
juga hadis ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar dengan al-Qur'an
dan hadis mutawatir

Adapun kedudukan hadist terhadap al-Qur'an, menurut Imam


Syafi'i adalah sebagai berikut:

a. Menerangkan ke-mujmal-an Al- Qur’an, seperti menerangkan ke-


mujmal-an ayat shalat
b. Menerangakan 'am Al-Qur’an, yaitu ’am yang dikehendaki khas
c. Menerangkan fardhu-fardhu dari fardhu-fardhu yang telah
ditetapkan Al-Qur’an
d. Menerangkan mana yang naskh dan mana yang mansukh dari
ayat-ayat Al-Qur’an.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar dengan jelas, bahwa


Imam Syafi’ dalam menetapkan hukum menempatkan Sunnah sejajar
dengan Al-Qur’an. Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal
dari Allah dan keduanya meruapakan sumber ajaran Islam

Imam Syafi’i memakai ijma’, qaul sahabat dan qiyas dengan


merujuk pada kedua sumber ajaran Islam tersebut. Selanjutnya,
Imam Syafi’i menerima hadist ahad sebagai hujjah dengan syarat,
harus dari periwayat yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria tam
Al-Dhabit. Imam Syafi’i menerima juga hadis mursal dengan syarat,
periwayatnya banyak berjumpa dengan30 sahabat dan sanad-nya
dapat dipercaya. Menurutnya, posisi hadist mutawatir lebih tinggi
dari pada hadist ahad dan hadist mursal.

30
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 96
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39

28
4. Pendapat Menurut Imam Ahmad bin Hambal

Sumber kedua yang diperpegangi Imam Ahmad bin Hanbal


dalam menetapkan hukum terhadap masalah yang dihadapinya,
adalah Al-Sunnah. Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan, untuk
mencari apa yang ada dalam Al- Qur’an harus melalui Al-Sunnah.
Jika ada orang yang mencari sesuatu dalam Al-Qur’an tanpa melalui,
maka ia akan menempuh jalan kesesatan. Hal ini karena:

a. Al-Qur’an mengharuskan kita mengikuti Rasul (Sunnahnya)


b. Ada hadist-hadist yang mengharuskan kita mengikuti Rasul dan
melarang kita menghadapi Al-Qur’an saja dan membelakangi
Sunnah

Hukum yang di-ijma-i oleh para muslimin banyak yang diambil dari
Al-Sunnah, karena itu meng- hilangkan Al-Sunnah, berarti
menghilangkan 9/10 hukum Islam.

Jumhur ulama berpendapat bahwa III. K hadis ahad hanya dapat


digunakan dalam bidang ’amali (pengamalan) dan tidak boleh
digunakant dalam bidang berikut i’tiqadi (akidah). Akan tetapi Imam
Ahmad bin Hanbal menggunakan hadist ahad dalam kedua bidang
tersebut, baik itu ’amali maupun i’tiqadi.

Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadis mursal jika berasal dari
seorang sahabi atau seorang tabi’in atau tabi’- tabi’in. Hadist yang datang
dari dari luar kelompok tersebut, tidak diterimanya. Imam Ahmad bin
Hanbal adalah salah seorang pembina hukum Islam dan banyak yang
mengikutinya. la menerima hadist dha’if bila keadaan darurat.
Imam Ahmad bin Hanbal memegangi hadis yang berkualitas dha’if,
dengan syarat, periwayatnya bukan orang yang sengaja berdusta dan
tidak menemukan penjelasan masalah- nya dalam hadis, baik dalam
hadist shahih maupun dalam hadist hasan.

29
Kererangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin
Hanbal mengakui ke-hujjah-an Al-Sunnah dengan tegas dan jelas,
dengan menggolongkan orang-orang yang menolak Al-Sunnah sebagai
orang-orang sesat. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan hadist
mutawatir, hadist ahad, hadist mursal dan hadist dha’if. Bahkan ia
mendahulukan hadist dha’if dari pada qiyas.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut,
dapat dikatakan, bahwa para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan
menetapkan hukum terhadap seluruh masalah yang dihadapi pada masa
hidupnya sebagai ulama mujtahid, menggunakan hadist sebagai sumber
yang kedua. Namun demikian, di antara mereka menekankan
persyaratan-persyaratan bagi sebuah hadis yang dapat diterimanya
sebagai hujjah.31

E. Petunjuk (Dilalah) Sunnah

Adapun ditinjau dari segi kedatangannya, maka Sunnah


mutawatirah merupakan Sunnah yang pasti kedatangannya dari Rasulullah
SAW (Qath’iyyatul wurud), karena kemutawatiran periwayatan
menunjukkan kepastian mengenai kebenaran beritanya, sebagaimana yang
telah dikemukakan. Sedangkan Sunnah masyhurah merpuakan Sunnah yang
pasti datangnya (Qath’iyyatul wurud) dari shahabi (sahabat) yang
menerimanya dari Rasulullah SAW karena kemutawatiran periwayatan dari
mereka. Akan tetapi, Sunnah ini tidak pasti datangnya dari Rasulullah SAW,
karena orang yang pertama kali menerimanya dari beliau bukanlah
kelompok perawi mutawatir. Oleh karena itu, maka ulama Hanafiyah
menjadikan Sunnah masyhurah dalam hukum Sunnah mutawatirah. Jadi, ia
dapat mentakhsishkan keumuman Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya,

31
M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB
EMPAT, jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 97
(https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat ) Diakses pada 10 Oktober 2023 pukul 18.39

30
karena Sunnah ini dipastikan datangnya dari sahabat. Sedangkan sahabat
adalah hujjah dan dapat dipercayai periyawatannya. Oleh karena itu, maka
dalam madzhab mereka, tingkatan Sunnah masyhur termasuk dalam hadist
muatawatir dan khabar wahi. Sunnah ahad bersifat zhanniyah (dugaan kuat)
datangnya dari Rasulullah SAW karena sanadnya tidak menujukkan
kepastian.

Adapun dari segi dalalahnya (pengertiannya), maka dari ketiga


Sunnah tersebut, ada yang dalalahnya qath’i, yakni apabila nashnya tidak
membutuhkan pentawilan, dan ada yang dalalahnya zhanni, yakni apabila
nash nya mengandung kemumgkinan tawkwil.

Dari perbandingan antara nash-nash Al-Qur’an dan nash-nash


Sunnah ditinjau dari segi qath’i dan zhanni diperoleh kesimpulan,
bahwasannya nash-nash Al-Qur’anul Karim adalah qath’iyyatul wurud
seluruhnya. Diantaranya ada yang dalalahnya qath’i dan ada yang zhanni.
Adapun As-Sunnah, maka ada yang kedatangannya qath’i dan ada yang
zhanni. Kemudian32 masung-masing dari keduanya, ada yang dalalahmya
qath’i dan ada juga yang zhanni.

Setaip As-Sunnah dari ketiga macam Sunnah tersebut yakni Sunnah


mutawatirah, Sunnah masyhurah, dan Sunnah ahad, adalah hujjah yang
wajib diikuti dan wajib diamalkan. Adapun Sunnah mutawatirah, dapat
dipastikan datangnya dari Rasulullah SAW sedangkan Sunnah masyhurah
dan Sunnah ahad, meskipun Sunnah itu kedatangannya zhanni dari
Rasulullah SAW, hanya saja dugaan itu dimenangkan dengan terpenuhinya
beberapa syarat dalam diri para rawi, yaitu sfat adil yang dimilikinya,
kuatnya hafalan dan kesempurnaan sifatnya. Keunggulan dugaan ini cukup
untuk mewajibkan diamalkan. Oleh karena inilah, seorang qadhi
memutuskan dengan persaksian saksi, padahal persaksian ini hanya
menunjukkan dugaan terhadap sesuatu yang disaksikannya. Shalat

32
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 61

31
dihukumi sah dengan kecermatan dalam menghadap kiblat, padahal ini
hanya menunjukkan zhanni (dugaan) yang kuat. Jika sekiranya haruskan
kepastian dan keyakinan didalam segala persoalan amal perbuatan, niscaya
manusia akan mendapat kesulitan. 33

F. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an dari segi penggunaannya


sebagai hujjah dan referensi dalam istimbath hukum syara’, maka ia berada
pada urutan setelah Al-Qur’an,34 di mana seorang mujtahid dalam mengkaji
suatu kasus akan mengacu pada As-Sunnah apabila ia tidak menemukan
hukum mengenai suatu perkara di dalam Al-Qur'an. Hal tersebut di
karenakan Al-Qur'an merupakan sumber pokok dalam pembentukan hukum
Islam dan merupakan sumber pertamanya. Apabila Al-Qur'an menyebutkan
nash terhadap suatu hukum, maka ia wajib diikuti, dan apabila tidak
menyebutkan nash mengenai suatu hukum, maka dikembalikan pada As-
Sunnah Jika ditemukan hukumnya dalam As-Sunnah, maka itu yang dijadi
kan sebagai hukum.

Adapun hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an dari segi hukum


yang terdapat di dalamnya, bahwasanya As-Sunnah tidak melampaui salah
satu dari 3 hal:

1. Adakalanya As-Sunnah menetapkan dan mengukuhkan hukum yang telah


ada dalam Al-Qur'an. Jadi, hukum tersebut mempunyai 2 sumber dan 2
dalil, yaitu:

a. Dalil yang menetapkan berupa ayat-ayat Al-Qur'an, dan

b. Dalil yang mengukuhkan berupa Sunnah Rasul.

33
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 62
34
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 54

32
Di antara hukum-hukum dalam kategori ini adalah pe rintah untuk
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, melaksanakan haji
ke Baitullah, larangan me nyekutukan Allah, persaksian palsu, durhaka
terhadap orang tua, membunuh jiwa seseorang tanpa hak, dan ber bagai hal
yang diperintahkan maupun yang dilarang, yang telah ditetapkan oleh Al-
Qur'an dan dikukuhkan oleh Sun nah Rasulullah SAW., sedangkan dalil atas
hukum tersebut dikemukakan dari keduanya.

2. Adakalanya As-Sunnah memerinci dan menafsirkan ter hadap sesuatu yang


ada dalam Al-Qur'an secara global, membatasi terhadap hal-hal yang ada
dalam Al-Qur'an secara mutlak, atau mentakhshish sesuatu yang terdapat
di dalamnya secara umum. 35 Penafsiran, pembatasan, ataupun
pentakhshishan As-Sun nah merupakan penjelasan maksud terhadap
sesuatu yang ada dalam Al-Qur'an Karena Allah swt. telah memberikan
otoritas kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan nash-nash Al-Qur'an melalui
firman-Nya:

“.....Dan Kami turunkan Az-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau


menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
........."(QS. An-Nahl/16 44)

Di antara kategori ini adalah sunnah-sunnah yang menjelas kan


tentang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah. Karena
Al-Qur'an telah memerintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan melaksanakan haji ke Baitullah, namun tidak menjelaskan jumlah
rakaat shalat, ukuran zakat, maupun manasik haji Sunnah amaliyah dan
qauliyahlah yang menjelaskan keglobalan ini.

Demikian pula Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba. Sunnahlah yang menjelaskan jual beli yang sah dan yang fasid, dan
menjelaskan macam-macam riba yang diharamkan.

35
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 55

33
Allah mengharamkan bangkai, dan sunnahlah yang men jelaskan
maksud dari bangkai itu, yaitu selain bangkai lautan, dan lain sebagainya
yang termasuk sunnah yang menjelaskan kemujmalan Al-Qur'an,
kemutlakannya dan keumumannya. As-Sunnah yang demikian
dikategorikan sebagai As-Sunnah yang melengkapi dan menambahkan
hukum Al-Qur'an.

3. Adakalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk hu kum yang tidak


terdapat di dalam Al-Qur'an. Hukum in ditetapkan berdasarkan sunnah
sekalipun nash Al-Qur'an tidak menjelaskannya. 36

Di antara sunnah dalam kategori ini ialah pengharaman


mengumpulkan (mengawini) seorang wanita dan bibinya (saudara
perempuan dari ayah atau saudara perempuan dari ibu), pengharaman
binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam,
mengenakan kain sutera, dan memakai cincin emas bagi kaum laki-laki serta
yang terdapat dalam hadis:

.‫ب‬ َ َّ‫الرضَاعِ َما يَحْ ُرمُ بِاالن‬


ِ ‫س‬ َّ ‫يَ ْح ُر ُم ِم َن‬

“Haram lantaran susuan apa yang haram karena keturunan (nasab)”.

Dan hukum-hukum lainnya yang disyari’atkan berdasarkan sunnah


saja, hukum-hukum tersebut adalah bersumber dari ilham Allah kepada
Rasul-Nya, atau ijtihad Rasul sendiri.

Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Risalah mengatakan, “Saya tidak


melihat perbedaan pendapat di antara para ilmuwan me ngenai sunnah Nabi
saw, kecuali tiga aspek” yaitu:

Pertama:

36
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 56

34
Sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah berupa nash kitab
mengenainya, kemudian Rasulullah saw menetapkan sun nah seperti
sesuatu yang telah terdapat dalam nash kitab Al-Qur’an tersebut.

Kedua:

Sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Yang Maha perkasa lagi
Mahaagung di dalam Al-Qur’an secara global, kemudian beliau
menerangkan pengertian yang dimaksud.

Ketiga:

Sesuatu yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Terhadap


suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an.

Sesuatu hal yang patut diingat bahwasanya ijtihad Rasul Allah SAW.
Mengenai pembentukan hukum Islam, adalah bersumber dari37 Al-Qur’an.
Sedangkan hukum yang bersumber dari dirinya mengenai dalam
pembentukan hukum Islam, maka beliau bersandar pada qiyas yang terdapat
di dalam Al-Quran atau pada penerapan prinsip-prinsip umum pembentukan
hukum Islam. Dengan demikian rujukan dari hukum-hukum sunnah adalah
hukum-hukum Al-Qur'an.

Kesimpulan dari apa yang telah dikemukakan penulis adalah


bahwasanya hukum yang terdapat dalam As-Sunnah adakalanya merupakan
hukum-hukum yang menetapkan hukum Al-Qur'an, adakalanya merupakan
hukum-hukum yang menjelaskan Al-Qur'an, dan adakalanya pula
merupakan hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur'an yang
dikembangkan berdasarkan qiyas atas sesuatu yang terdapat di dalam Al-
Qur'an, atau dengan menerapkan prinsip-prinsip dan pokok-pokok Al-
Qur'an yang bersifat umum. Dengan demikian jelaslah bahwasanya tidak

37
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 57

35
mungkin terjadi pertentangan atau kontradiksi antara hukum-hukum Al-
Qur'an dengan As-Sunnah.38

38
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994, hal 58

36
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah yang kami bahas saat ini diantaranya:

a. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan-Nya melalui perantara


Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan
lafal berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, sebagai hujjah
atas ke Rasulannya, menjadi undang-undang bagi manusia mengikuti
petunjuknya, dan menjadi sarana pendekatan diri dan berniat ibadah
dengan membacanya. Dalil bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat
manusia dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang wajib
mereka ikuti, adalah: bahwa Al-Qur’an dari sisi Allah dan disampaikan
kepada mereka dari Allah melalui cara yang pasti (qath’i), tidak ada
keraguan mengenai kebenarannya. Sedangkan bukti bahwa AL-Qur’an
itu dari sisi Allah adalah kemukjizatan-Nya dalam melemahkan umat
manusia untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an

b. Adapun nash yang qath’i dalalah adalah nash yang menunjukkan pada
pemahaman makna yang jelas (nyata) dan tidak mengandung takwil serta
tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari nash itu.
Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya, ialah nash yang menunjukkan
satu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwil atau
dipalingkan makna.

c. Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat


bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh
As-Sunnah. Namun, seperti halnya Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad
memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di
samping Al-Qur’an, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa
sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu

37
atau As-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-
Qur’an dan As-Sunnah.

d. Lafal As-Sunnah, menurut Bahasa ialah jalan. Sedangkan menurut istilah


syara’ adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Setiap As-Sunnah
yang membentuk hukum Islam dan terhitung sahih dari Rasulullah SAW
adalah hujjah yang wajib diikuti, baik As-Sunnah itu menjelaskan hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hukum yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an. Karena semua As-Sunnah sumbernya dari Rasulullah SAW,
yang ma’shum yang telah dianugerahi oleh Allah otoritas menjelaskan
dan membentuk hukum Islam. Ulama Hanafiyah menjadikan Sunnah
masyhurah dalam hukum Sunnah mutawatirah. Jadi, ia dapat
mentakhsishkan keumuman Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya,
karena Sunnah ini dipastikan datangnya dari sahabat. Sedangkan sahabat
adalah hujjah dan dapat dipercayai periyawatannya.

e. Bahwasanya hukum yang terdapat dalam As-Sunnah adakalanya


merupakan hukum-hukum yang menetapkan hukum Al-Qur'an,
adakalanya merupakan hukum-hukum yang menjelaskan Al-Qur'an, dan
adakalanya pula merupakan hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur'an
yang dikembangkan berdasarkan qiyas atas sesuatu yang terdapat di
dalam Al- Qur'an, atau dengan menerapkan prinsip-prinsip dan pokok-
pokok Al-Qur'an yang bersifat umum. Dengan demikian jelaslah
bahwasanya tidak mungkin terjadi pertentangan atau kontradiksi antara
hukum-hukum Al-Qur'an dengan As-Sunnah.

f. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an dari segi penggunaannya


sebagai hujjah dan referensi dalam istimbath hukum syara’, maka ia
berada pada urutan setelah Al-Qur’an, 39 di mana seorang mujtahid dalam
mengkaji suatu kasus akan mengacu pada As-Sunnah apabila ia tidak

39
Abdul Wahhab Khallaf, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra
Semarang) 1994, hal 54

38
menemukan hukum mengenai suatu perkara di dalam Al-Qur'an. Hal
tersebut di karenakan Al-Qur'an merupakan sumber pokok dalam
pembentukan hukum Islam dan merupakan sumber pertamanya. Apabila
Al-Qur'an menyebutkan nash terhadap suatu hukum, maka ia wajib
diikuti, dan apabila tidak menyebutkan nash mengenai suatu hukum,
maka dikembalikan pada As-Sunnah Jika ditemukan hukumnya dalam
As-Sunnah, maka itu yang dijadi kan sebagai hukum.

B. Saran

Telah disepakati oleh para ulama (imam madzhab) bahwasannya Al-


Qur’an adalah sumber hukum yang pertama yang datang dari Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.
Sedangkan As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
(taqrir) datang langsung dari Rasullah SAW sebagai hukum kedua setelah
Al-Qur’an.
Oleh karena itu, dengan adanya makalah ini semoga membantu para
pembaca khususnya kami selaku penyusun makalah ini dalam memahami
dalil pertama (Al-Qur’an ) dan dalil kedua (As-Sunnah ). Kami memohon
maaf bila dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
karena kami juga dalam proses belajar dan kami menerima kritik dan saran
dalam makalah yang masih banyak kekurangan dalam penyusunannya.

39
DAFTAR PUSTAKA

Dkk Adhari Zelvien Lendy, STRUKTUR KONSEPTUAL USHUL FIQIH (Widina


Bhakti Persada Bandung: Bandung, 2021), e-book

https://an-nur.ac.id/sikap-para-ulama-ketika-zahir-al-quran-berhadapan-dengan-sunah/

https://books.google.co.id/books?id=fClVEAAAQBAJ&pg=PR6&dq=pengertian+dan+k
ehujjahan+al+qur%27an&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_searc
h&ovdme=1&sa=X&ved=2ahUKEwicnb2C8OiBAxWWbGwGHQTGAZ0Q6wF6BAgH
EAU#v=onepage&q=pengertian%20dan%20kehujjahan%20al%20qur'an&f=false

https://www.neliti.com/id/publications/285542/kehujjahan-hadis-menurut-imam-
mazhab-empat

Khallaf Wahhab Abdul, ILMU USHUL FIQIH, (PT Karya Toha Putra Semarang)
1994

M. Nasri Hamang, KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT,


jurnal Hukum Diktum, Volume 9, Nomor 1, Januari 2011, hlm 94

40

Anda mungkin juga menyukai