Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

IJMA, QIYAS, DAN SADDUDZ DZARIAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik
Mata Kuliah : Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh :

Fitriana Fajar Wati 202111035

HES 3A

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2021/SEMESTER 3
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa berkat rahmat dan
hidayah Allah SWT saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya. Makalah ini berisikan penjelasan tentang Ijma’, Qiyas, dan Saddu Dzari’ah.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi
upaya meneladani akhlaknya yang mulia. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan
bagi para pembaca.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
masih sangat kurang. Oleh karena itu, saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan
baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila
ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut
dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau
Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-
permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-
Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah
Ijma’ dan Qiyas.

Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-
Qur’an dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya.Untuk dapatnya titah Allah dan
penjelasan Nabi yang merupakan Syari’ah itu menjadi pedoman beramal yang terurai
bernama fiqh tersebut, disusun ketentuan dan aturan.Pengetahuan tentang aturan dan
ketentuan yang dapat membimbing Ulama dalam merumuskan fiqh itulah kemudian disebut
“Ushul Fiqh”.

Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip
hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran maupun
as-Sunnah. Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial dan persoalan baru
yang muncul yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Qur’an.

Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-
dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya pencegahan agar tidak terjadi sesuatu
yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku
manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini karena salah satu
tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan
menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada
perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah?

2. Jelaskan dasar hukum Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah?

3. Sebutkan rukun Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah?

4. Jelaskan contoh dari Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah?

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini ditulis dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah


2. Untuk mengetahui dasar hukum Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah
3. Untuk mengetahui rukun Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah
4. Untuk mengetahui contoh dari Ijma, Qiyas, dan sadd adz-dzari’ah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ijma
1. Pengengertian Ijma’

Arti Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat dan  definisi Ijma’
menurut bahasa terbagi dalam dua arti:

1.     Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yunus ayat 71

َ ‫َأجْ ِمعُوا َأ ْم‬Fَ‫ت ف‬


‫ر ُك ْم‬F ُ ‫ َو َّك ْل‬Fَ‫ت هَّللا ِ فَ َعلَى هَّللا ِ ت‬
ِ ‫ا‬Fَ‫يري بِآي‬ ِ ‫ذ ِك‬Fَْ ‫ا ِمي َوت‬Fَ‫ر َعلَ ْي ُك ْم َمق‬Fُ َ َ‫وح ِإ ْذ ق‬
َ ‫انَ َكب‬FF‫وْ ِم ِإ ْن َك‬FFَ‫ا ق‬Fَ‫ ِه ي‬F‫ال لِقَوْ ِم‬ ٍ ُ‫َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبََأ ن‬
ِ ‫ي َواَل تُ ْن ِظر‬
‫ُون‬ َّ َ‫َو ُش َر َكا َء ُك ْم ثُ َّم اَل يَ ُك ْن َأ ْم ُر ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم ُغ َّمةً ثُ َّم ا ْقضُوا ِإل‬

Artinya:Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata
kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal,
karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah
terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.1

Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan beliau
tempu. Dan hadis Rasulullah SAW. Yang artiny, “barang siapa yang belum berniat untuk
berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.2

2.     Kesepakatan terhadap, sesuatu. kaum dikatakan telah berijma bila mereka sepakat
terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 15, yang
menerangkan keadaan saudara-saudara a.s.:

َ‫ت ْالجُبِّ ۚ َوَأوْ َح ْينَا ِإلَ ْي ِه لَتُنَبَِّئنَّهُ ْم بَِأ ْم ِر ِه ْم ٰهَ َذا َوهُ ْم اَل يَ ْش ُعرُون‬
ِ َ‫فَلَ َّما َذهَبُوا بِ ِه َوَأجْ َمعُوا َأ ْن يَجْ َعلُوهُ فِي َغيَاب‬

Artinya: Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur
(lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada
Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."3
1 Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2011). Hlm,
217
2 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung,: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm, 68
3 Departemen Agama, op cit, Hal, 237
yakni mereka bersepakat terhadap perencana tersebut  adapun perbedaan antara kedua arti
diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang
kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang
bersepakat dengan dirinya.4

Sedangkan menurut istilah para ahli ushul  fiqih dirumuskan sebagai berikut :               

‫ شرع ّى فى الواقعة‬ ‫ فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم‬F‫اجماع هو اتّاق مجتهدين‬

“  Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu stelah
wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa

 (kejadian )”.5

            Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan sebagai


berikut:

a.        Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para mujtahid pada
suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang
disepakati itu. 

b.        Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika


ada seorang saja yang tidak menyetujuinya maka tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila pada
suatu masa hanya ada seorang mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi
kesepakatan.

c.         Ijma’ hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’ dan harus
berdasarkan pada Al – Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika didasarkan pada yang
lainnya.6

Dari definisi diatas pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama
atau mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan dalam  masalah-masalah
sosial yang tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.

            Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :

1.Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i

4 Rachmat Syafe’I, op cit, Hal: 69


5 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,  (Jakarta:PustakaFirdaus 2003), hlm. 308
6 Suratno, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang: Dina Utama, 2011) hlm 131
Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh, dengan artian
bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang
bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu kejadian setelah
terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai kejadian itu.7

2.Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni

Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya atas
mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau tidak
memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah ditetapkan.
Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang menyatakan :

“ diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan”.8

Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai berikut :

1.Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa
tertentu.

2. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah terhadap sesuatu
urusan hukum.

3. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam  suatu masalah.

4. Ijma’  Khulafaur Rasyidin, yaitu :           

 ‫اتفاق الخلفء االربعة على امر من االمور ال ّشر ّعة‬

“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa
atas suatu hukum.”9

5. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam suatu masalah.

2. Sumber Hukum Ijma’

7 Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Hlm.73
8 Suratno,  op cit, Hal: 132
9 Totok Jumantoro,  Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Bumi Aksara  2009), hlm. 106
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau
dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang
mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an
maupun sunnah.10 Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi
ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau
peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.

Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’sebagai sumber
hukum Islam adalah sebagai berikut :

a. Firman Allah SWT :

‫ امنو اطيعوهّللا واطيعواال ّرسول واولى االمر منكم (النساء‬F‫يا ايهاالذذين‬    

Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan
Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )

Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan
Ulil ‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga
memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang
disepakati mereka.

b. Hadist RasulullahSAW                                   

ّ
) ‫امذتي ال تجمع على ضاللة ( رواه ابن حاجه‬  ‫ان‬

Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”

‫مارءاه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah
juga baik. 11

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama –
sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari
kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.

Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :

10 Amir S, Ushul Fiqh.( Jakarta: Fajar Interpratama , 2009 ), hlm. 138


11 Suratno, op cit, hlm: 133
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu
menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat
mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.

Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena
diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan
memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas,
berarti mereka setuju.

Hanafiyah dan Malikiyah  mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat
dikatakan telah terjadi ijma’.  Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat
perorangan. 12

3. Syarat Ijma’

Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma‟ itu ada lima, yaitu :
1.Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma‟ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,maka
hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma‟.
2.Mujtahid yang terlibat dalam pembahsan hukum itu adallah seluruh mujtahid yangada pada
masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakanpandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dan tidakhukumnya
secara rinci dalam Al-Qur‟an.
5.Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Qur‟an dan atau hadist Rasulullah saw.
Di samping kelima rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-
syarat ijma yaitu :
1.Yang melakukan ijma‟ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratanijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuatterhadap
agamanya)
3.Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan
atau perbuatan bid‟ah.
4. Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’

12 Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56


a. Pengangkatan Abu Bakar As-  Shiddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.

b. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.

c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan
demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya
dan beramal.13

Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu Bakar as
yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan  dasar-dasar hukum
sesudah Nabi Muhammad.

B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak
adanashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas
ialahmenyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada
nashhukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum.1[1] Ada beberapa definisi menurut
para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya yaitu :

1. Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam


halmenetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.

2. Qadhi Abu Bakar 

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam


halmenetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan
adahal yang sama antara keduanya.

3. Ibnu Subkhi dalam Jam’u al- Jawami’ 

13 Suratno, op cit, Hlm:134
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).

4. Abu Hasan al-Bashri

 Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam‘illat
hukum menurut mujtahid.

5. Al-Baidhawi

Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui karena
keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.

6. Shaadru al-Syari’ah

Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan‘illat
yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata. Dengan cara qiyas itu
berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya
Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelasdalam nash Alqur’an atau
Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Mengenai
Qiyas ini Imam Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat
islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak adaketentuan hukumnya yang pasti,
maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas.”

 Jadi Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni Hukum-
hukum yang secara tegas tersurat dalam Alqur’an dan Hadits, ada kalanya harus digali
melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu dapat
diperolehmelalui pendekatan qiyas.Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti
mempertemukan sesuatu yang tidakada nash hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash
hukumnya karena ada persamaanillat hukum. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan
ditetapkan berdasarkan penalaranyang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua
masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya.
Apabila pendekatan analogis itumenemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-
sifat antara dua masalah tersebut,maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang
ditetapkan.2[3]

2. Dasar Hukum Qiyas


Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran
islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak
diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar
hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah. Ulama’
Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh tetapi tidak ada satu
nashpun dalam ayat Alqur’an yang menyatakan wajib memakai qiyas.
Ulama’ Syi’ah Imamiyah dan An-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas
tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena mengamalkan qiyas
sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal. Mereka mengambil dalil QS. Al
Hujurat:1
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. “
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:

a.       Dalil Alqur’an


Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata :
“ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama
dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan
tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang
tersebut kepada penciptaan pertama kali.
Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Alqur’an,
seperti dalam surat Al-Hasyr (59), ayat 2 :
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah
yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-
orang yang mempunyai wawasan.”
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil dan ibarat
dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah:
Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada
diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman
melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang
boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau
qiyas.
  Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul
dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu. Jika kamu berselisih
paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.”
Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an, perintah menaati
Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan perintah
menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’ ulama. Sedangkan kata-kata
akhir (Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan. Ini memberi
penjelasan bahwa pengembalian itu berlaku atas perintah Allah dan Rasul. Tidak mungkin
dikatakan bahwa kata “ruju’” itu berarti mengembalikan kepada Alqur’an dan Sunnah, karena
ruju’ kepada qiyas itu berlaku setelah adanya perbedaan pendapat sedangkan perintah
mengamalkan Alqur’an dan Sunnah tanpa disangkutkan kepada adanya perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat di antar umat islam tentang hukum syara’ jarang terjadi pada sesuatu
yang telah ditetapkan dengan nash Alqur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa yang dimaksud perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang
tidak terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan kepada
Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari kesamaannya dengan
yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat diketahui melalui penggunann nalar
(ra’yu). x
b.  Dalil Sunnah
Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah:
Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk
menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “dengan cara apa engkau menetapkan hukum
seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? “Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum
berdasarkan kitab Allah”. Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya
dalam kitab Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau dalm
Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya akan menggunakan
ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi
Taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”

Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’, tentang kekuatan
qiyas sebagai dalil Syara’
Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan
membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.
Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas menurut riwayat An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana
pendapatmu bila bapakmu berutang, apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si
penanya (al-Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih patut
untuk dibayar.”
Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar
untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada
Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?”
Keluarlah jawaban Nabi seperti tersebut di atas.
Dalam hadits itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang
menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar. Dalil ini menurut
jumhur ulama’ cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.
C.    Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan
qiyas, adalah Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi
qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka
putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah
dengan menggunakan ra’yu. Pesan Umar dilanjutkan dengan :
Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu itu. Bagian pertama
atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban
dalam Alqur’am maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas
menyuruh titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila
menemukan kesamaan.
Para Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang
popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar menjadi khalifah pengganti Nabi.
Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk Nabi
menggantikan beliau nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini dijadikan
alasan untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi telah
menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita tidak memilihnya untuk
memimpin urusan dunia kita.”
Kedudukan abu bakar sebagai khalifah diqiyas-kan kepada kedudukannya sebagai imam
shalat jamaah. Ternyata argumen ini dipahami semua sahabat (yang hadir dalam pertemuan
itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.14

3. Rukun Qiyas

Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa. Maka
rukun qiyas ada empat macam, yaitu :
1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash syara’ yang
menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang menjadi Dasar
Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat mengqiyaskan), Mahmul
‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2.    Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang
dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3.    Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.
4.  ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum
cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.15

14 Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.

15 Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.
4. Contoh Qiyas
Berhubung qiyas adalah analogi atau perumpamaan, maka contohnya adalah
menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak disebutkan dalam Al
Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Maka para
ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini
sebagai khamr (minuman yang memabukan). Sebab sifat atau efek dari konsumsi
narkotika sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding minuman memabukan tadi.
Sehingga ditarik kesimpulan bahwa narkotika hukumnya haram.

C. Sad al-dzariah
1. Pengertian Sad al-dzariah

 Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah  (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari
َّ
dua kata, yaitu sadd (‫) َس ُّد‬dan adz-dzari’ah (‫)الذ ِر ْي َعة‬. Secara etimologis, kata as-sadd (
‫)ال َّس ُّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫ ًّدا‬F‫ ُّد َس‬F‫ َّد يَ ُس‬F‫س‬.
َ Kata as-sadd tersebut
berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-
َّ
dzari’ah (‫)الذ ِر ْي َعة‬ merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan,
sarana dan sebab terjadinya sesuatu.[2]
     Secara Terminologis /Istilah
Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan :

ٍ ‫ش ْيٍئ َم ْمنُ ْو‬


‫ع ش َْرعا‬ َ ‫لى‬ َ ‫س ْيلَةً َو‬
َ ِ‫ط ِر ْيقا ً ا‬ ِ ‫ما َ َت ُك ْونُ َو‬
“Jalan yang menjadi perantaraan dan jalan kepada sesuatu yang dilarang”
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk
sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.[3]Dari berbagai pandangan di atas,
bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas
suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

2. Dasar Hukum Saddu Dzariah

a)  Al-Qur’an
َ‫سبُّو ْا هّللا َ َعدْواً بِ َغ ْي ِر ِع ْل ٍم َك َذلِك‬
ُ َ‫سبُّو ْا الَّ ِذينَ يَ ْدعُونَ ِمن دُو ِن هّللا ِ فَي‬ ُ َ‫َوالَ ت‬
َ‫ َزيَّنَّا لِ ُك ِّل ُأ َّم ٍة َع َملَ ُه ْم ثُ َّم ِإلَى َربِّ ِهم َّم ْر ِج ُع ُه ْم فَيُنَبُِّئ ُهم ِب َما َكانُو ْا يَ ْع َملُون‬ 
Terjemahan :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka.Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am : 108)
    
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau sembahan
agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya
sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori
psikologi mechanism defense,  orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena
itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan
agama lain merupakan tindakan pencegahan(sadd adz-dzari’ah).16
‫اب َألِي ٌم‬ ْ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُو ْا الَ تَقُولُو ْا َرا ِعنَا َوقُولُو ْا انظُ ْرنَا َوا‬
ٌ ‫س َم ُعوا ْ َولِل َكافِ ِرينَ َع َذ‬
Terjemahannya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
"Raa`ina", tetapi katakanlah : "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang
kafir siksaan yang pedih.”(QS. Al-Baqoroh:104)
Pada QS.Al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak
negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (‫ ) َرا ِعنَا‬berarti: “Sudilah kiranya kamu
memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah,
orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah
SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan  (‫) َر ِعنًا‬sebagai bentuk isim
fail dari masdar  kata  ru’unah(‫) ُر ُعوْ نَة‬yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan
pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka
pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang
dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-
dzari’ah.[4]
2)      As-Sunnah
َ ‫س|لَّ َم َيقُ|و ُل ا ْل َحاَل ُل َبيِّنٌ َوا ْل َح| َرا ُم بَيِّنٌ َوبَ ْينَ ُه َم|ا ُم‬
ْ‫ش|بَّ َهاتٌ اَل يَ ْعلَ ُم َه|ا َكثِ|ي ٌر ِمن‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي| ِه َو‬ َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫َر‬
‫اع يَ ْ|رعَى َح| ْو َل ا ْل ِح َمى‬ ٍ ‫|ر‬َ ‫ت َك‬ ُّ ‫ض| ِه َو َمنْ َوقَ| َع فِي‬
ِ ‫الش|بُ َها‬ ِ ‫اس|تَ ْب َرَأ لِ ِدينِ| ِه َو ِع ْر‬
ْ ‫ت‬ ِ ‫شبَّ َها‬ َ ‫س فَ َمنْ اتَّقَى ا ْل ُم‬ ِ ‫النَّا‬
ً‫ض| َغة‬
ْ ‫س| ِد ُم‬ َ ‫ض| ِه َم َحا ِر ُم| هُ َأاَل َوِإنَّ فِي ا ْل َج‬ ِ ‫ش ُك َأنْ يُ َواقِ َعهُ َأاَل َوِإنَّ لِ ُك ِّل َملِ| ٍك ِح ًمى َأاَل ِإنَّ ِح َمى هَّللا ِ فِي َأ ْر‬ ِ ‫يُو‬
‫ب‬ ُ ‫س ُد ُكلُّهُ َأاَل َو ِه َي ا ْلقَ ْل‬ َ َ‫سدَتْ ف‬
َ ‫س َد ا ْل َج‬ َ َ‫س ُد ُكلُّهُ َوِإ َذا ف‬ َ ‫صلَ َح ا ْل َج‬َ ْ‫صلَ َحت‬ َ ‫ِإ َذا‬
Terjemahannya :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah jelas dan yang
haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang

16 Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2, hal. 56
tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang
syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa
yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti
seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang
dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan,
dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang
diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila
baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut.
Ketahuilah, ia adalah hati".(Shohih Bukhari no.50)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang syubhat lebih besar
kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan daripada kemungkinan dapat
memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang
perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3)      Kaidah fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-
dzari’ah adalah: 
.‫ح‬
ِ ِ‫صال‬ ِ ‫س ِد َأ ْولَى ِمنْ َج ْل‬
َ ‫ب ا ْل َم‬ ِ ‫د َْر ُء ا ْل َمفَا‬
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah).17
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan
di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd
adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena
dalam sadd adz-dzari’ah  terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
3.Syarat sadd dzarî`ah
Sadd al-dzarî`ah sebagai salah satu piranti ijtihad memiliki sumbangsih yang sangat
besar dalam perkembangan fikih Islam. Meski demikian, sadd al-dzarî`ah tidak dapat
diterapkan dengan hanya bersandar pada hawa nafsu. Ada standar dan batasan-batasan yang
harus diperhatikan sehingga piranti tersebut tetap sejalan dengan tujuan dasar diturunkannya
hukum syariah. Setidaknya ada lima poin yang dianggap sebagai standar atau syarat
realisasi sadd dzarî`ah, yaitu:
1. Mafsadah  yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan maslahat yang
didapatkan.
Karena jika tidak, maka akan membawa umat pada kerugian dan kehancuran. Namun jika
mafsadah yang ditimbulkan lebih rendah dari maslahat yang mungkin dihasilkan, maka tidak
boleh menggunakan kaidah sadd al-dzarî`ah. Jika mafsadah dan maslahat berada pada satu

17 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).  Hlm. 176


tingkatan, maka dzarî`ah dapat ditutup atau dibuka sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat.
2. Tidak bertentangan dengan maqâshid syariah.
Syariah Islam datang dengan membawa maslahat bagi umat manusia. Jika dikaji lebih
mendalam mengenai tujuan dasar diturunkannya hukum syariat, maka akan diketahui bahwa
segala perintah Allah selalu membawa maslahat bagi umat manusia, sementara semua
larangan-Nya demi menjaga umat manusia agar tidak jatuh pada kerusakan dan kebinasaan.
Penerapan sadd al-dzarî`ah tidak boleh keluar dari tujuan dasar diturunkannya syariah. Jika
tidak, justru akan membawa madharat bagi umat manusia.
3. Tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan kaidah umum syariah.

Syariat sebagai hukum Allah memiliki prinsip-prinsip dasar yang bermuara pada maslahat
bagi umat manusia. Prinsip dasar tersebut di antaranya bersifat universal, moderat dan adil.
Syariah Islam akan selalu sesuai dengan ruang waktu. Penerapan sadd al-dzarî`ah harus
selalu mengacu pada prinsip dan kaidah umum ini agar tidak terjadi ketimpangan dalam
masyarakat. Yang dimaksudkan dengan kaidah umum adalah kaidah fiqhiyyah kulliyyah, yatu
konsepsi universal yang dapat dijadikan sebagi acuan untuk mengetahui persoalan yang
bersifat partikular. Dalam hal ini, terdapat lima pokok kaidah, yaitu
a.                                          ‫األمور بمقاصدها‬
b.                                         ‫الضرر ال يزال بضرار األكبر‬
c.                                          ‫العادة محكمة‬
d.                                         ‫اليقين ال يزول بالشك‬
e.                                           ‫المشقة تجلب التيسير‬
4. Tidak menggugurkan hak yang telah ditetapkan syariah.

Hak dalam Islam merupakan anugerah Tuhan yang dapat diketahui melalui berbagai sumber
hukum yang mengacu pada nas syariah. Dengan demikian, hak secara syariah hanya dapat
diketahui melalui dalil. Meski demikian, Islam tetap memberikan batasan-batasan tertentu
terhadap individu dalam menggunakan hak yang dimilikinya. Batasan tersebut berkisar
seputar maslahat dan mafsadah yang akan ditimbulkan pada masyarakat sekitar. Tidak
diperkenankan menggunakan hak, jika dapat berakibat pada timbulnya madharat pada orang
lain. Maka, tidak ada hak mutlak dalam Islam. Hak sendiri masih dibagi mejadi tiga; hak
manusia dengan Tuhan, hak manusia dengan sesama manusia dan hak yang mengandung hak
Tuhan dan manusia sekaligus. Hak tersebut harus selalu dijaga sehingga tidak diperkenankan
menerapkan kaidah sadd al-dzarî`ah yang kiranya dapat menggugurkan berbagai hak di atas.
5. Ketetapan hukum pada sarana tersebut tidak menjurus pada keterbelakangan dan
kemunduran umat.

Efektifitas suatu hukum dalam upaya membangun suatu tatanan masyarakat sangat berkaitan
erat dengan sarana yang digunakan. Suatu sarana dibolehkan jika menjurus pada tujuan yang
dapat membawa mashahat, dan dilarang jika berdampak pada mafsadah. Jika seorang
mujtahid sudah mengetahui secara pasti mengenai maslahat yang akan ditimbulkan, maka ia
sudah dapat memberikan ketetapan hukum pada sarana yang akan digunakan. Jika suatu
perbuatan tidak mengandung nilai maslahat, atau dapat menggugurkan maslahat lain yang
lebih penting atau dapat berakibat pada madharat yang lebih besar, maka seorang mujtahid
harus melarang sarana yang akan digunakan. Secara sederhana, sadd al-dzarî`ah tidak dapat
diterapkan jika berdampak pada kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.18
4. Contoh Sadd al-dzariah
1)      Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka hukumnya
dilarang secara kesepakatan ulama’. Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah atau
dijalan umum.

2)      Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada
kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram.Contoh: menjual senjata dimasa perang
atau banyak fitnah, menjual anggur untuk membuat khamr.

3)      Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai pada tingkat
tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah ditarjihkan yang haram atau yang
halal. Imam Malik dan Imam Ahmad menetapkan keharamannya. Contoh: menjual sesuatu
yang didalamnya ada barang riba.

4)      Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini hukumnya
diperbolehkan. Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.

18 Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 122-128. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin al-Abdi Muhammad Nur, op.
cit., hal. 298.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan
Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum
sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas
dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam
nash tersebut.
Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran islam.
Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh
satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Sedangkan isimpulkan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas
suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Dasar hukum sadd adz-dzari’ah adalah jelas, mulai
dari alQuran, sunnah, dan kaidah fiqh. Dari kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asySyatibi
membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau
sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan.

Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat dijadikan dalil dalam
fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya. Berpegang pada dzari’ah tidak
boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam di dalamnya bisa saja melarang
perbuatan yang sebenarnya mubah,mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir
terjerumus ke jurang kezaliman. Mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau
perintah dan menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar di dalam menggunakan
dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Mereka juga harus
mentarjihkan (menguatkan) diantara keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih
(unggul). harus mentarjihkan (menguatkan) diantara keduanya kemudian harus mengambil
mana yang rajih (unggul).

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media


Kreasi, 2011).
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung,: CV Pustaka Setia, 2010)
Departemen Agama, op cit.
Rachmat Syafe’I, op cit.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,  (Jakarta:PustakaFirdaus 2003)
Suratno, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang: Dina Utama, 2011)
Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000)

Totok Jumantoro,  Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Bumi Aksara  2009)

Amir S, Ushul Fiqh.( Jakarta: Fajar Interpratama , 2009 )


Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005)

Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011)

Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010)

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an, juz 2

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)

Anda mungkin juga menyukai