Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM

Tentang
IJTIHAD

Disusun Oleh:
Kelompok 12

AYU ASSARI 2113010154


RIDHOTUL FAUZAN 2113010161
HENI WARDANI 2113010165

Dosen Pengampu:
Dr. H. Muchlis Bahar, Lc, M.Ag

PRODI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1444/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas rahmat Allah yang telah
dilimpahkan terhadap hamba-Nya. Serta sholawat dan salam untuk junjungan kita, Nabi
Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Metode Istinbath Hukum Islam, dengan
judul Ijtihad.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna disebabkan
terbatasnya pemahaman dan pengetahuan yang kami miliki. Sebab itu, kami mengharapkan
saran, masukan dan kritikan dari teman-teman semua yang bisa membangun untuk perbaikan
nanti.

Dan terimakasih atas bantuan dari pihak lainnya, yang dengan tulus memberikan doa
dan dukungan terhadap penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat terhadap teman-teman semua.

Padang, 12 Juni 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada awal diturunkannya Islam, segala bentuk peribadatan sudah diatur dan ditata
bentuk aplikasinya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat saat itu. Seluruh
pewantahan aplikasi syari’at pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
praktis tidak terdapat perbedaan. Hal ini karena Nabi Muhammad saw. menjadi rujukan dalam
segala permasalahan. Ketika muncul suatu persoalan, secara otomatis langsung dimintakan
penjelasannya kepada Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam.
Syari’at yang berarti jalan dan sesuatu yang telah diatur oleh Allah untuk hamba-
hamba-Nya dengan menunjuk pada suatu hukum yang beragam, dianggap sebagai tolak ukur
aturan dan sistem kehidupan dalam Islam. Diantara sistematisasi syari’at yang menjadi
pedoman hubungan kehidupan, baik itu hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan dengan
lingkungan, maupun hubungan transendental manusia dengan Tuhannya adalah fikih. Fikih
yang mengatur hubungan muamalah menjadi pemahaman manusia berkenaan dengan garis
hubungan horizontal-vertikal. Para ulama terdahulu, bahkan dari Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam sendiri, mendasarkan aturan ini pada nas-nas yang sudah terkodifikasi dalam
al-Qur’an maupun hadis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad dan dasar hukum ijtihad?
2. Apa saja objek ijtihad?
3. Apa syarat-syarat mujtahid?
4. Apa saja tingkatan mujtahid?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum ijtihad
2. Untuk mengetahui objek ijtihad
3. Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid
4. Untuk mengetahui tingkatan mujtahid
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar hukum ijtihad


Pengertian
Ijtihad menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak diterapkan pada “pengerjaan sesuatu
yang mudah atau ringan”. Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah dari kata “al-jahdu” yang
berarti “daya upaya atau usaha yang keras”.
Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam
kaitan ini pengertian ijtihad adalah usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat
dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Ijtihad menurut definisi ushul fiqih yaitu pengarahan segenap kesanggupan oleh
seorang ahli fiqih unutk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ dan hukum
syara’ menunjukan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan
dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan nizhariy.
Pengertian-pengertian di atas jelas memberikan pandangan yang mendasar bahwa
ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh individu atau
sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat melalui pemikiran yang
sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al Quran dan Hadits.

Dasar hukum
Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran.
Diantara ayat-ayat Quran yang dijadikan dasar hukum ijtihad oleh ahli ushul fiqh adalah
QS.An-Nisa ayat 105:

َۤ ‫ـق بِا ا ْل ِك ٰت‬


‫ب اِلَيْكَۤ اَنْ َزلْنَاۤ انَّۤا‬ ِۤ ‫س النَّا بَيْنَۤ لِت َ ْحكُ َۤم ْل َح‬ َۤ ‫َخ ِص ْي ًما لِـ ْل َخآئِنِ ْي‬
ٰۤ ‫ن تَكُنْۤ َو َۤل‬
ۤ ِ ۤ‫ۗ ّللاُ اَرٰۤٮكَۤ بِ َما‬

”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang khianat.’’
B. Objek ijtihad
Objek ijtihad adalah masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat muslim
yang tidak tercakup dalam Al-Qur’an atau hadis, atau masalah-masalah yang tidak memiliki
solusi yang jelas dalam Al-Qur’an atau hadis.
Objek ijtihad bisa berupa masalah-masalah hukum, sosial, politik, ekonomi, dan lainnya.
Contoh objek ijtihad adalah:
1. Masalah-masalah hukum yang tidak tercakup dalam Al-Qur’an atau hadis, seperti
masalah perbankan, asuransi, dan lainnya.
2. Masalah-masalah sosial yang tidak tercakup dalam Al-Qur’an atau hadis, seperti
masalah gender, LGBT, hak asasi manusia, dan lainnya.
3. Masalah-masalah politik yang tidak tercakup dalam Al-Qur’an atau hadis, seperti
masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan lainnya.
4. Masalah-masalah ekonomi yang tidak tercakup dalam Al-Qur’an atau hadis, seperti
masalah pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan lainnya.

Objek ijtihad tidak terbatas pada masalah-masalah tersebut, tetapi dapat berupa masalah-
masalah lain yang timbul dalam kehidupan masyarakat Muslim dan membutuhkan solusi
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Oleh karena itu, ijtihad merupakan salah satu cara
untuk memperbarui dan menyesuaikan hukum Islam dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat. Namun, ijtihad harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan, agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar Islam.

C. Syarat-syarat mujtahid
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap orang dapat
melakukan ijtihad, hanya orang-orang memiliki syarat tertentulah yang mampu berijtihad.
Syarat-syarat tersebut ialah berikut ini:

1. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga memungkinkan dia


menguasai pengertian susunan kata-katanya. Hal ini karena objek pertama bagi orang
yang berijtihad ialah pemahaman terhadap nas-nas Al-Qur’an dan Hadis yang
berbahasa Arab. Sehingga ia dapat menetapkan aturan-aturan bahasa dalam
pengambilan hukum darinya.
2. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang dibawa oleh Al-
Qur’an beserta ayat-ayatnya dan mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat
tersebut, sehingga apabila tersjadi suatu peristawa ia dapat menunjuk ayat-ayat Al-
Qur’an dan hadis.
3. Mengetahui hadis-hadis Rasullullah, yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum
syariah sehingga ia dapat mendatangkan hadis-hadis yang diperlukan dengan
mengetahui keadaan sanadnya.
4. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta
mengetahui fakta-fakta yang ada nasnya dan yang tidak ada nasnya.
5. Mampu menghadapi nas-nas yang berlawanan.

D. Tingkatan mujtahid
1. Mujtahid Mutlak (Mujtahid Fi al-syar’i) yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad
langsung secara keseluruhan dari Quran dan Hadis. Serta seringkali mendirikan
madzhab sendiri, seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat, Syafi’i,
Hambali, Hanafi, dan Maliki.
2. Mujtahid madzhab (Mujtahid fi al-madzhab atau fatwa mujtahid), yaitu para mujtahid
yang mengikuti salah satu madzhab dan tidak membentuk suatu madzhab tersendiri,
yang dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya Imam Syafi’i
tidak mengikuti pendapat gurunya Imam Malik, dalam beberapa masalah.
3. Mujtahid fi al-Masail atau ijtihad parsial (dalam cabang-cabang tertentu) ialah orang-
orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja. Jadi tidak dalam arti
keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab, misalnya Hazairin
berijtihad tentang hukum kewarisan islam.
4. Mujtahid Muqqayad, yakni orang-orang yang berijtihad yang mengikatkan diri dan
mengikuti pendapat ulama salaf. Tetapi memiliki kesanggupan untuk menentukan
mana yang lebih utama dan pendapat menentukan yang kuat dan pendapat yang berbeda
beserta riwayat yang lebih kuat diantara riwayat itu. Mereka juga memahami dalil-dalil
yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti misalnya Sayuti Tholib.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh individu
atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat melalui
pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al Quran dan Hadits.
Seorang mujtahid hendaklah mengamalkan hasil ijtihadnya, baik di dalam memutuskan
perkara maupun di dalam memberikan fatwa. Adapun bagi mujtahid lain tidak wajib
mengikutinya. Karena pendapat seseorang sepeninggal Rasullullah, bukan merupakan
hujjah yang harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Hanya saja bagi orang awam yang
tidak mempunyai kesanggupan untuk berijtihad, hendaknya mengikutinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hayy Abdul, Pengantar Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Toha Putra Group, 1994.

Abdul Wahid Haddade, Ijtihad Kolektif, Makassar: Alauddin University Press, 2012.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.

Anda mungkin juga menyukai