Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPU :HUMAIDI.M.Pdi

Disusun Oleh:

1. Jumratul idaini
2. Khidayaturromdani
3. Rizwan

Semester 2C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS ILMU SOCIAL DAN EKONOMI

UNIVERSITAS HAMZANWADI

T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat danhidayah- Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang ”IJTIHADSEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM” ini. Makalah ini
merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan
salawat kamikirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,
parasahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.Kami menyadari
bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan olehkedangkalan dalam memahami teori,
keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis.Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta
bimbingan yang telah diberikankepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata, semoga
makalah inidapat bermanfat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.

Selong, 25 April 22022

Tim Penulis

DAFTAR ISI KATAPENGANTAR.............................................................................................


DAFTARISI...........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang...................................................................................................

B.Rumusan Masalah..............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian Ijtihad……..………………...........................................................

B.Dasar Hukum Ijtihad………………..................................................................

C.macam macam Ijtihad………………………..……………………………………

D.Tujuan ijtihad……………………………………………………………...

E.Ijtihad Masa Kini……………………………………………………………….

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan………………………………………………………………….

B. Saran…………………………………………………………………………

C.Daftar Pustaka………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama,
sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsepyang jauh berbeda jika dibandingkan dengan
konsep, sifat dan fungsi hukum biasa.Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari
kemanusiaan yang lebihtinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian
biasahanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikanhukum Islam
sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islamdalam keseluruhan aspek
menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.Pada umumnya sumber hukum islam ada dua,
yaitu: Al-Qur‟an dan Hadist,namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga
berfungsiuntuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur‟anmaupun
Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.

B.Rumusan Masalah

1.Apa pengertian Ijtihad?

2.Apa dasar hukum bagi Ijtihad?

3.Apasaja pembagian Ijtihad?

4.Bagaimana pendapat para ulama tentang kehujjahan Ijtihad?

5.Bagaimanakah Ijtihad Pada Masa Kini?

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian ijtihad
Pengertian Ijtihad Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan
segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad
adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul
fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya
Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna
mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat
(mengambil kesimpulan hukum).

Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua


kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa
dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan
imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-
ijtihad attaam (ijtihad sempurna). Imam Syafi’i menegaskan bahwa seseorang
tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum
melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam
permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum
ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga.

Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan


dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari
berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi
pedoman bagi orang banyak. Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih
akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.

B. Dasar hukum ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber
hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik
melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:[[8]]

1. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105


Artinya:

“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat


menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”

Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.

Artinya:

“sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”

2. Firman Allah SWT Q.S An nisa ayat 59:y

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan


sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti
hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis dengan
menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya
dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illatnya
seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-
kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud
mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh
ayat itu.[[9]]

3. Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:

Sabda Nabi SAW:

Artinya:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan
kebenaran dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak
memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala”
(H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.[[10]]

Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika
Muadz diutus menjadi hakim di yaman berikut ini:

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah
saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya:
apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-
Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?,
Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah.
Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian
Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:,
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud).[[11]]

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka
selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[[12]]

C. MACAM MACAM IJTIHAD

Ijtihad dapat dibagi menjadi 7 jenis. Mengacu pada pengertian Ijtihad di


atas, adapun beberapa macam Ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Ijma’

Pengertian Ijma’ adalah suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum
agama Islam berdasarkan Al-quran dan hadits dalam suatu perkara. Hasil dari
kesepakatan para ulama tersebut berupa fatwa yang dilaksanakan oleh umat
Islam.

2. Qiyas
Pengertian Qiyas adalah suatu penetapan hukum terhadap masalah baru yang
belum pernah ada sebelumnya, namun mempunyai kesamaan (manfaat, sebab,
bahaya) dengan masalah lain sehingga ditetapkan hukum yang sama.

3. Maslahah Mursalah

Pengertian Maslahah Mursalah adalah suatu cara penetapan hukum berdasarkan


pada pertimbangan manfaat dan kegunaannya.

4. Sududz Dzariah

Pengertian Sududz Dzariah adalah suatu pemutusan hukum atas hal yang mubah
makruh atau haram demi kepentingan umat.

5. Istishab

Pengertian Istishab adalah suatu penetapan suatu hukum atau aturan hingga ada
alasan tepat untuk mengubah ketetapan tersebut.

6. Urf

Pengertian Urf adalah penepatan bolehnya suatu adat istiadat dan kebebasan
suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-quran dan hadits.

7. Istihsan

Pengertian Istihsan adalah suatu tindakan meninggalkan satu hukum kepada


hukum lainnya karena adanya dalil syara’ yang mengharuskannya.

D. TUJUAN IJTIHAD

Menurut beberapa pendapat ijtihad memiliki tujuan adalah untuk memudahkan


kaum muslim dalam menyesuaiakan diri mereka dengan pandangan islam tentang
kehidupan. Dan berdasarkan prinsip dari sudut pandang teoritis ijtihad bertujuan
memperhatikan pandangan islam diterapkan sebanyak mungkin dalam kehidupan
seorang individu yang berhubungn dngan prilaku dan tindakan individualnya serta
kehidupan sosialnya ketika diperlukan dalam hubungan sosial, ekonomi, dan
politik di tengah-tengah masyarakat.

Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut

a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan
hadis.

b. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru


yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.

c. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk


menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.

d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam


mencari jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini:

1. Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti
masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.

2. Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan


bangsa.

3. Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam


masyarakat.

E. IJTIHAD MASA KINI

Ijtihad di era modern merupakan kebutuhan untuk menjawab permasalahan


yang terus bermunculan yang hukumnya tidak terurai jelas dalam sumber hu-kum
utama, al-Qur‟an dan al-Hadits. Kendati merupakan kebu-tuhan, ijtihad tidak bisa
dilakukan semua orang. Hanya ulama yang memenuhi syarat yang bisa melakukan
ijtihad.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan


berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah
upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia
semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai
solusi terhadap problematika tersebut.
Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-hadits yang
mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah suatu yang
baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini sudah dilakukan oleh
Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang
diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria
tertentu. Dan tujuan dari ijtihad ialah untuk memudahkan kaum muslim dalam
menyesuaiakan diri mereka dengan pandangan islam tentang kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Margiono, dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam 1. Jakarta: Yudhistira

Matsum, Hasan. Diktat Ushul Fiqh. Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan
2012

Muhammad Baqir, Sayid. Sistem Politik Islam. Jakarta; Penerbit Lentera. 2009

Syafa’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia

Syuhada, Harjan, dkk. 2010. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: Bumi Aksara

http://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/ 10-11-2018/ 20.25 WIB

[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97

[2] Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011)
h.57

[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
[4] Ibid. h. 98

[5] Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan, h. 85

[6] Ibid.

[7] Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011)
h. 57

[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 101

[9] Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan, h. 86

[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980) h. 143

[11] http://elhumania.wordpress.com/tag/ijtihad/

[12] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 103

[13] Sayid Muhammad Baqir, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera) h.59

[14] Margiono et.al., Pendidikan Agama Islam 1 Lentera Kehidupan, (Jakarta:


Yhudistira, 2007), h. 86
Search

Anda mungkin juga menyukai