Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQIH

“MENGANALISIS HUKUM IJMA’ SEBAGAI HUKUM ISLAM YANG


MUTTAFAQ”

NAMA KELOMPOK : KELOMPOK 3


NAMA ANGGOTA :

1. Hanaya Petri Palmed


2. Muhammad Dzulfi Muttaqin
3. Putri Anjellika

KELAS : XII IPA 5


GURU PEMBINA : IBU SEPTI LISASTRI, M.Pd.I

MADRASAH ALIYAH NEGERI 01 KOTA BENGKULU


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat serta karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘MENGANALISIS HUKUM IJMA’
SEBAGAI HUKUM ISLAM YANG MUTTAFAQ’

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas yang diberikan oleh Ibu Septi Lisastri
M.Pd.I pada bidang studi Fiqih. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang salah satu dasar hukum islam yang muttafaq yaitu Ijma’.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Septi Lisastri M.Pd.I selaku guru
mata pelajaran Fiqih. Berkat tugas yang diberikan ini, kami dapat menambah wawasan
berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta
saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Bengkulu, 2 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………..……………………..…………………………..……………………..……1


Daftar Isi ……………………..………………………………………..……………………..……………………….2
BAB 1 PENDAHULUAN ..……………………..……………………..…………………………..………………3
1.1 Latar Belakang .....……………………..……………………..…………………………..…………3
1.2 Rumusan Masalah ....……………………..……………………..…………………………..……3
1.3 Tujuan Makalah …………………………………..……………………..…………………………..4
BAB 2 PEMBAHASAN .……………………..……………………..…………………………..…………………5
2.1 Pengertian Ijma’ ………………………………………………………………………….……………5
2.2 Dasar Hukum Ijma’ …………………………………………………………………..……………..6
2.3 Kedudukan Ijma’ Sebagai Dalil Hukum ……………………………………………………..8
2.4 Rukun dan Syarat Ijma’ .……………………………………………………………………………9
2.5 Macam-Macam Ijma’ .……………………………………………………………………………..10
2.6 Contoh Perilaku Ijma’ Dalam Kehidupan …………….…………………………………..11
BAB 3 PENUTUP ……………………..……………………..…………………………..……………………….12
3.1 Kesimpulan ……………………..……………………..…………………………..…………………..12
DAFTAR PUSTAKA ……………………..……………………..…………………………..…………………….13
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sumber-sumber hukum Islam merupakan dalil-dalil tempat berpijaknya setiap kebijakan


hukum Islam. Dalil hukum dalam Islam terbagi dua ; pertama, adalah dalil yang mendapat
kesepakatan mayoritas ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadis, al-Ijmȃ’ dan al-Qiyȃs. Kedua adalah
dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang keabsahannya sebagai pijakan hukum.

Keberadaan al-Qur’an dan al- Sunnah sebagai pijakan utama hukum sangat terbatas dan
telah final, maka sangat dibutuhkan sandaran lain yang tidak terbatas dan mampu
memberikan solusi hukum dengan tuntas dan utuh tidak hanya terbatas pada kedua
sandaran diatas. Di sinilah teori dan konsep ijthad tampil sebagai solusi hukum yang bisa
menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi manusia. Ijma’ sebagai salah satu
perangkat ijtihad bertujuan untuk mengarahkan pesan- pesan hukum yang ada kepada
sasaran yang selaras dengan nilai-nilai luhur al-Qur’an dan as-Sunnah melalui penalaran
rasio.

Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam menentapkan
hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang tidak ditemukan dalam al-
Qur’an maupun dalam al-Sunnah yang dapat dijadikan landasan hukum setelah Rasulullah
meninggal dunia. Ijma’ memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-
Qur’an dan Al-Sunnah) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang
dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Ijma menurut Abu Zahrah adalah “kesepakat seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin
pada suatu masa setelah Rasulullah saw meninggal dunia”

Begitupun dalam menetapkan hukum untuk ekonomi, dalam sistem ekonomi Islam atau
lebih akrab disebut ekonomi syariah sangat diperlukan adanya keterlibatan para ulama,
khususnya ulama yang memahami betul sistem ekonomi Islam baik dari sisi landasan
hukumnya ataupun dalam bentuk teoritis maupun praktisnya di lapangan dengan
penyesuaian perkembangan yang ada.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Ijma’ ?


2. Apa saja dasar hukum dalam Ijma’ ?
3. Bagaimana kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum ?
4. Bagaimana rukun dan syarat penetapan Ijma’ ?
5. Apa saja macam-macam Ijma’ ?
6. Apakah Ijma’ sudah diterapkan dalam kehidupan ?
1.3 TUJUAN MAKALAH

1. Untuk mengetahui apa itu Ijma’


2. Untuk mengetahui dasar hukum dalam Ijma’
3. Mencari tau kedudukan Ijma’ sebagai dalil hukum
4. Untuk mengetahui rukun dan syarat Ijma’
5. Untuk mengetahui macam-macam dari Ijma’
6. Mencari tahu perilaku yang mencontohkan penerapan Ijma’ dalam kehidupan
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN IJMA’

Ijma’ berasal dari bahasa Arab ‫ ِإْج َم اٌع‬ijmā yang berarti konsensus. Istilah ini berasal dari kata
‫ َأْج َمَع‬ajma‘a yang artinya menyepakati. Kata ini berakar dari ‫ َج َمَع‬jama‘a yang berarti
mengumpulkan atau menggabungkan. Secara bahasa, Ijma’ berarti sebagai suatu hal berupa
mengumpulkan berbagai macam perkara yang kemudian memberi hukum atas perkara
tersebut serta meyakini hukum tersebut. Sedangkan secara umum, Ijma’ adalah sebuah
kebulatan atau keputusan dari pendapat-pendapat yang berasal dari para ahli ulama ijtihad
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW serta menggunakan hukum syara’.

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijma’ merupakan
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma’ ini disebut sebagai fatwa.

Ijma’ muncul ketika terjadi suatu peristiwa yang memerlukan pemecahah hukum setelah
Rasulullah wafat. Pemecahan masalah ini tidak ditemukan secara jelas dan tegas di dalam Al
Qur'an dan sunnah. Para mujtahid kemudian berusaha mencari pemecahan hukum baik
dengan cara bermusyawarah maupun sendiri-sendiri. Jika hasil pemecahan tersebut
disepakati bersama, maka peristiwa ini disebut dengan Ijma’. Permasalahan dalam Ijma’
biasanya berkisar pada masalah teknis muamalah, tidak dalam masalah materi ibadah.

Menurut istilah para ahli ushul fiqih, pengertian Ijma’ adalah kesepakatan terhadap
permasalahan hukum syara pada suatu peristiwa. Kesepakatan ini dilakukan para mujtahid
Muslim pada suatu masa tertentu setelah Rasulullah wafat. Berikut pengertian Ijma’
menurut para ulama :

1. Imam Al Ghazali
Imam Al Ghazali menyatakan bahwa ijma’ merupakan sebuah kesepakatan dari umat Nabi
Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan yang berhubungan dengan
persoalan agama.

2. Imam Al Subki
Menurut Imam Al Subki, Ijma’ didefinisikan sebagai suatu kesepakatan dari para mujtahid
setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan berkenaan dengan segala persoalan yang
berkaitan dengan hukum syara.

3. Ali Abdul Razak


Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak dan bertajuk al Ijma’ Fi al Syari’at al
Islamiyat. Beliau menerangkan bahwa Ijma’ merupakan kesepakatan dari para mujtahid
Islam yang terjadi pada suatu masa dan atas perkara hukum syara.

4. Abdul Karim Zaidah


Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah menjelaskan
bahwa ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada suatu masa
mengenai hukum syara’ setelah Rasullallah SAW wafat.

Masih banyak pendapat lain yang mengemukakan mengenai pengertian dari Ijma’, namun
yang pasti Ijma’ merupakan kesepakatan para ahli atau para ulama dalam menyelesaikan
suatu perkara atau persoalan yang berkaitan dengan agama Islam.

2.2 DASAR HUKUM IJMA’

A. Al-Qur’an dan Hadits

Ada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. sebagai dasar yang
mengisyaratkan Ijma’ untuk memecahkan permasalahan hukum. Antara lain sebagai
berikut:

Surat An-Nisa ayat 59

‫َأْل‬ ‫ُأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬


‫ِم ْنُك ْم ۖ َفِإْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفي‬ ‫َي ا ُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا ِط يُعوا َهَّللا َو ِط يُعوا الَّر ُسوَل َو وِلي ا ْم ِر‬
‫ِخ ِر ۚ َٰذ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن‬ ‫َش ْي ٍء َفُر ُّد وُه ِإَلى ِهَّللا َو الَّر ُسوِل ِإْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْل َي ْو اآْل‬
‫ِم‬
‫َت ْأِو ياًل‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”

Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan
yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa. Sedangkan ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu
telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka
kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.

Surat Ali Imran Ayat 103

‫َو اْع َت ِص ُموا ِبَح ْب ِل ِهَّللا َج ِميًعا َو اَل َتَفَّر ُقوا‬


“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, …”

Surat An-Nisa Ayat 115

‫َو َم ْن ُيَش اِقِق الَّر ُسوَل ِم ْن َب ْع ِد َم ا َت َب َّي َن َلُه اْل ُهَد ٰى َو َي َّت ِبْع َغ ْي َر َس ِبيِل اْل ُمْؤ ِمِنيَن ُنَو ِّلِه َم ا‬
‫َت َو َّلٰى َو ُنْص ِلِه َج َه َّن َم ۖ َو َس اَء ْت َمِص يًر ا‬

“ dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i ketika ada yang menanyakan apa dasarnya
bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam Syafi’i menunda
jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga tiga hari, beliau mengulang-ulang
hafalan Al Qur’an hingga menemukan ayat ini

Hadits Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi

‫ال تجتمع أمتى على الخطاء و ال تجتمع أمتى على الضاللة‬

“Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesesatan”

Apabila para mujtahid telah melakukan ijma’ dalam menentukan hukum syara' dari suatu
permasalahan hukum, maka keputusan ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan
dusta.

Hadits Riwayat Ahmad

‫ما َر َأى اْلُم ْس ِلُم وَن َحَس نًا َفُهَو ِع ْنَد ِهَّللا َحَس ٌن‬

“Perkara yang dianggap oleh kaum muslimin baik maka hal itu disisi Allah adalah baik”

Dari hadits tersebut, cukup jelas memberikan petunjuk bahwa dalam hal permasalahan
hukum sangat utama untuk mengikuti pendapat yang disepakati oleh kaum muslimin.

B. Dalil Aqliah

Setiap ijma’ yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus dilakukan dan disesuaikan dengan
asal-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam, batal-batas yang telah ditetapkan dalam
berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad
itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari
yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan
satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh
melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil
yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya.

Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang
telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al Qur'an dan Hadis, karena
semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh
melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah
hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih
utama diamalkan.

2.3 KEDUDUKAN IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM

Ijma’ menempati salah satu sumber hukum atau dalil hukum berada setelah al-Qur’an dan
Sunnah. Demikian pendapat beberapa jumhur ulama’ mengenai ijma’. Hal ini menunjukkan
bahawa betapa pentingnya kedudukan ijma’ sebagai hujjah atau dalil hukum. Dalil-dalil yang
ada pada ijma’ wajib untuk di patuhi oleh semua umat muslim jika tidak ada dalam al-
Qur’an dan Sunnah.

Jika tidak mematuhi hal yang di tetapkan dalam ijma’ maka sama saja berarti tidak
mematuhi terhadap apa yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini karena
dalil yang ada pada ijma’ sumber hukumnya juga berasal dari al-Qur’an dan hadis juga.
Jumhur ulama’ mengemukakan pandapat ini tentu dengan menggunakan dasar yang ada
pada al-Qur’an dan Sunnah. Berikut beberapa dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama’
kaitannya mengenai ijma’.

Surat an-Nisa (4):115

Yang artinya: “dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan
jahanam itu merupakan seburuk-buruknya tempat kembali”

Dari uraian ayat tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dinamakan orang-orang
mukmin ialah orang yang melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan sebagai umat
mukmin. Mukmin yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh orang
mukmin, maka ia mendapat ancaman neraka jahanam sebagai tempat kembalinya. Neraka
jahanam merupakan tempat kembali yang paling buruk. Demikianlah yang di maksud ijma’
kaum muslimin.

Kaum muslimin disuruh untuk mengikuti ijma’. Kaum muslimin dilarang untuk mengikuti
jalan selain apa yang di ikuti kaum muslimin. Artinya, menjadi kewajiban bagi kaum
muslimin untuk mengikuti atau mentaati ijma’.
Apa yang telah ditetapkan oleh ijma’, wajik dilaksanakan perintahnya, dan apa yang dilarang
oleh ijma’ maka wajib dijauhi oleh kaum muslimin. Demikian penjelasan dari surat an-Nisa:
115 yang tersebut diatas. Barang siapa, mukmin yang tidak mengikuti jalan yang telah di
tetapkan dalam ijma’, diancam akan dikembalikan pada neraka jahanam.

Selain surat an-Nisa: 115, ada beberapa ayat lain dalam al-Qur’an yang menjadi dasar ijma’.
Diantaranya adalah surat al-Imron (3): 110 dan 103, surat an-Nisa ayat 59. Selain dasar dari
al-Qur’an, terdapat juga sumber yang berasal dari sunnah.

Adapun dari dalil sunnah, hadis nabi yang di riwayatkan oleh beberapa perawi yang
berbeda, namun inti yang ingin disampaikan adalah sama, yaitu bahwa umat nabi
Muhammmad tidak akan pernah sepakat dengan kesalahan.

Berikut isi dari hadist tersebut yang artinya:

‘’umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk
melakukan kesalahan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan
kesalahan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untk melakukan kesalahan”.

Hadist ini menjelaskan bahwa, apabila ada kesepakatan dalam suatu umat, maka
kesepakatan itu pasti diambil yang paling baik dan yang paling benar. Artinya kesepakatan
itu terjaga dari kesalahan dan dijaga kebenarannya. Dalam hal urusan apapun, ketika
kesepakatan itu dilakukan secara bersama, maka akan terjaga dari kesalahan.

Dari penjelasan hadist diatas, menegaskan bahwa ijma’ itu terpelihara dari kesalahannya.
Artinya bahwa kesepakatan didalam ijma’ itu mengandung kebenaran yang telah dijamin
oleh Rasulullah SAW. Dalam hadist tersebut telah menjamin bahwa kesepakatan yang
diambil oleh umat Muhammad SAW. telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT.

Ada juga pendapat lain dari jumhur ulama’, bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah (dalil) yang qath’i (pasti), wajib diamalkan
dan tidak boleh mengingkarinya. Bahkan, apabila ada yang mengingkarinya dianggap kafir.

Menurut pendapat jumhur ulama’ ini, dalil yang telah ditetapkan oleh ulama’ pada generasi
tertentu, tidak boleh direvisi atau dibahas oleh generasi yang selanjutnya. Karena ijma’ yang
telah ditetapkan sudah menjadi kesepakatan bersama dan sifatnya qath’i (pasti) sebagai
hujjah. Dalil Ijma’ tersebut kedudukannya nomor tiga setelah al-Qur’an dan sunnah.

2.4 RUKUN DAN SYARAT IJMA’

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid kaum
muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah Saw. terhadap suatu hukum syar’i
mengenai suatu peristiwa. Namun, tidak semua kesepakan para ulama setelah Rasulullah
Saw. wafat dikategorikan sebagai ijma, kesepakatan ulama biar bisa dikatagorikan sebagai
ijma harus memenuhi rukun dan syarat ijma’. Yang menjadi rukun dalam ijma’ harus satu,
yaitu kesepakatan ulama’, apabila tidak ada kesepakatan maka itu bukan ijmak’.
Sementara syarat-syarat ijma’ menurut Wahba Zuhaili ada enam, yaitu:

1) Haruslah orang yang melakukan ijma’ itu dalam jumlah banyak, dan tidak
dikatakan ijma’ apabila hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan sebuah kesepakatan
apabila dilakukan hanya satu orang ulama. Akan tetapi, pada saat terjadinya peristiwa
tersebut tidak ada seorangpun mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja.
Tidaklah bisa dikatagorikan sebagai ijma’ yang dibenarkan oleh syara’.
2) Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan dengan tidak
memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Akan tetapi, peristiwa yang
dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid dari satu daerah atau negara saja,
misal mujtahid dari Mesir, atau Arab Saudi, atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu
bukanlah sebagai ijma’, ijma harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid muslim ketika
peristiwa itu terjadi
3) Mujtahid yanag melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai daerah Islam. Tidak
bisa dilakukan ijma’ apabila hanya dilakukan oleh ulama satu daerah terentu saja seperti
ulama Hijaz atau ulama Mesir, atau ulama Iraq.
4) Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh dari masing-masing mereka secara tegas
terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan, seperti mempraktikanya
dalam peradilan walaupun pada permulaannya baru merupakan pernyataan perseorangan
kemudian pernyataan itu disambut oleh orang banyak, maupun merupakan pernyataan
bersama melalui suatu muktamar.
5) Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat dan menjauhi hal- hal yang
bid’ah: karena nash-nash tentang ijma’ mensyaratkan hal tersebut.
6) Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid bersandar kepada sandaran hukum yang
disyari’atkan baik dari nash maupun qiyas.

Apabila rukun dan syarat-syarat ijma’ tersebut telah terpenuhi, hasil dari ijma’ itu
merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak
boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu sebagai obyek ijma’ yang baru. Oleh
sebab itu, hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma’ itu telah menjadikan hukum syara’
yang qath’i, hingga tidak dapat ditukar atau dihapus dengan ijtihad lain.

2.5 MACAM-MACAM IJMA’

Adapun berdasarkan kekuatan kehujjahan Ijma sebagai hukum Islam yang disepakati, ijma’
terbagi menjadi dua, di antaranya:

1. Ijma’ Sharih

Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya
tentang hukum tertentu secara jelas, baik melalui ucapan, tulisan atau perbuatan. Dan ternyata
seluruh pendapat menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut. Ijma’ ini juga disebut
dengan ijma’ qauli.

Ijma sharih sangat jarang terjadi, sebagian ulama mengatakan bahwa itu hanya terjadi di masa
sahabat karena waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas dan domisili mereka relatif berdekatan.
Hukum yang dihasilkan melalui ijma sharih bersifat qath’i sehingga mempunyai kekuatan yang
mengikat dan tidak boleh seorang pun pada masa itu untuk menyanggahnya.

2. Ijma’ Sukuti

Yaitu, kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih lebih mengemukakan
pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar
dan diketahui oleh orang banyak. Namun ternyata tidak seorang pun di antara mujtahid yang lain
mengemukakan pendapat yang berbeda.

Pada kasus ini seorang mujtahid lebih memilih diam dan tidak berkomentar dengan pendapat
ulama lainnya, ia tidak mengeluarkan pendapatnya pada saat itu tapi diam tersebut dimaksudkan
sebagai tindakan pembenaran.

Pengaruh Ijma’ sukuti terhadap hukum bersifat dzanni atau merupakan dugaan kuat terhadap
kebenaran. Karena itu tidak terhalang bagi mujtahid lain di kemudian hari untuk mengemukakan
pendapat berbeda sesudah ijma itu berlangsung. Menurut Imam Syafi’i ijma sukuti bukanlah ijma
yang dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Sedang Imam Ahmad dan Hanafi berpendapat sebaliknya dengan syarat setelah
berlalunya waktu dan semua mujtahid pada masa itu telah meninggal serta tidak ada pendapat
yang menyanggah hasil ijma tersebut

2.6 CONTOH PERILAKU IJMA’ DALAM KEHIDUPAN

Berikut merupakan beberapa contoh Ijma’ dalam kehidupan.

1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang mulai diterapkan pada
masa kepemimpinan Utsman bin Affan r.a. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes
atau menolak Ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda
menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
2. Saudara-saudara seibu - sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al-
a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’.
3. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.
4. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
5. Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi.
6. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. Bilangan
rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin Khattab
mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh Ijma’.
7. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan
8. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’
tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas barangnya)
9. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika tidak
ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa
menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski terdapat
anak dari orang yang meninggal
10. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
perhitungan zakatnya.
11. Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa
diamnya nabi adalah membolehkan.
12. Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan kepada
penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang berhalangan.

BAB 3. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
https://penerbitbukudeepublish.com/materi/ijma-dan-qiyas/
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-ijma-dan-qiyas/amp/#Pengertian_Ijma
https://id.berita.yahoo.com/pengertian-ijma-dalam-hukum-islam-074044605.html
https://m.liputan6.com/hot/read/4882103/pengertian-ijma-dalam-hukum-islam-jenis-dan-
pendapat-para-ulama
http://idr.uin-antasari.ac.id/6225/1/Kehujjahan%20Ijma%20Sebagai%20Dasar%20hukum
%20Fiqh%20Islam.pdf
https://www.bacaanmadani.com/2017/09/pengertian-ijma-dasar-hukum-rukun-dan.html?
m=1
http://dakwahsunnah.com/artikel/aqidah/297-setiap-bid’ah-sesat-bag-05
https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-
agama.html#Keabsahan_Ijma
https://www.academia.edu/34671663/Contoh_Contoh_Ijma
https://bincangsyariah.com/khazanah/macam-macam-ijma-dan-kekuataannya-sebagai-
hukum-islam/
https://www.kompasiana.com/amp/misbah.kompasiana/kedudukan-ijma-sebagai-dalil-
hukum_54f8fc29a333116c5d8b4628

Anda mungkin juga menyukai