Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGANTAR STUDI HUKUM ISLAM

Tentang

METODE IJTIHAD, IJMA’ DAN QIYAS

Disusun oleh:

ANDREE
2316040065
Dosen Pengampu:

Ibnu Hasnul, M.A

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAN ( AKSYA – B )


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
TAHUN 1445 H/ 2024 M
KATA PENGANTAR

Segala puji atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya,
penyusunan makalah ini bisa dilakukan dengan lancar dan tepat waktu. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Pengantar studi hukum islam, bapak
ibnu Hasnul, M.A, atas bimbingannya dalam penyusunan makalah ini.

Makalah berjudul “Makna Ijtihad, Mujtahid, sejarah perkembangan ijtihad,


munculnya imam imam dan Mazhabnya” ini disusun sebagai tugas mata kuliah Pengantar
studi hukum islam,. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
penulis dan juga bagi para pembaca. Terima kasih kepada seluruh teman-teman dan
keluarga yang mendukung untuk membuat makalah ini. Saya menyadari makalah yang
saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 14 April 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan .................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 2

A. Pengertian Ijma’ dan Qiyas ................................................................................. 2


B. Pembagian ijma' dan Qiyas ................................................................................ 2
C. Metode pembagian ijma’ dan Qiyas pada zaman klasik dan kontemporer ........ 3

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 11

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 11
B. Saran .................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada awalnya, para ulama menggunakan ijtihad, yang berasal dari kata Arab yang berarti
"usaha yang gigih" atau "studi mendalam", untuk mencari solusi hukum untuk masalah yang
belum diselesaikan oleh al-Quran, hadis, atau prinsip syariah yang telah ditetapkan.

Ijma adalah kesepakatan para ulama Islam yang kompeten dalam suatu masalah hukum
yang belum diatur oleh Al-Quran atau Sunnah. Ini dianggap sebagai sumber hukum penting
karena menggambarkan konsensus umat Islam tentang suatu masalah.

Qiyas, atau analogi, adalah metode ijtihad yang memperoleh hukum dari kasus yang sudah
diatur dalam Al-Quran, Sunnah, atau ijma, dan menerapkannya pada kasus yang serupa yang
tidak diatur secara langsung oleh sumber-sumber hukum tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Ijma’ dan Qiyas?


2. Bagaimana pembagian Ijma’ dan Qiyas
3. Bagaimana metode pembagian ijma’ dan Qiyas pada masa klasik dan kontemporer?

C. Tujuan Pembahasan

1. Memahami pengertian Ijma’ dan Qiyas


2. Mengetahui pembagian Ijma’ dan Qiyas
3. Bagaimana metode pembagian ijma’ dan Qiyas pada masa klasik dan kontemporer

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJMA’ DAN QIYAS

1. IJMA’

Secara etimologi , kata ijma’ berarti kata “ jama’a “ mempunyai dua arti yang yaitu kehendak
atau niat yang kuat terhadap sesuatu.

Secara teminologi ijma’ ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ulama , Para
ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah diantaranya,

a. Pengaruh kitab Fushul Bada’i berpendapat bahwa ijma’itu adalah kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masalah setelah beliau wafat
terhadap hukum syara’

b. Pengarang kitab tahrir al-kamal Bin haman berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan
mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’

Dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid muslim memutuskan
suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i, karena selagi rasulullah
masih hidup maka dia sendiri yang menjadi sumber syar’i

2. QIYAS

Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa” artinya mengukur. Selain
“qasa” kata yang sama artinya dengan mengukur adalah at-taqdir dan at-taswiyah yang bermakna
menyamakan. Sedangkan secara istilah, qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai
menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Definisi lain Qiyas menurut ulama ushul yaitu menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Al-
‘Illat merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan
berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabang (far’), maka al-,illat disamakan dengan pokonya
dari segi hukum.

2
B. Pembagian ijma’ dan Qiyas

a. IJMA’

Ijma‟ ditinjau dari aspek kuantitas mujtahid terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ijma‟ Shorih : para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa
ucapan atau tulisan.
2. Ijma` sukuti : para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat
dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi
terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di
masanya.

Ijma‟ ditinjau dari aspek kualitas dalalah terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ijma` qath`iy yaitu ijma` yang menghasilkan keputusan hukum yang pasti, yang tidak
memungkinkan untuk dita'wil. Keputusan ijma` ini tidak bisa diganggu gugat. Pun juga
tidak bisa diijtihadiy.
2. Ijma` zhanniy ijma` yang menghasilkan keputusan hukum yang masih zhanniy (masih
debatable). Ijma` jenis inilah yang ada peluang untuk dimasuki ijtihad.

b. QIYAS

Pembagian qiyas dari segi keserasian 'illatnya dengan hukum, ada dua yaitu:"

a). Qiyas muatstsir, yaitu qiyas yang 'illat penghubung antara ashal dan furu' ditetapkan dengan
nash yang sharih atau ijma. Atau qiyas yang 'ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan
ashal dengan furu' itu berpengaruh terhadap 'ain hukum.

Contoh yang pertama, misalnya mengqiyaskan kewalian nikah anak di bawah umur kepada
kewalian atas hartanya dengan illat belum dewasanya. 'Illat ini ditetapkan berdasarkan ijma'.
Contoh yang kedua, misalnya mengqiyaskan minuman keras selain yang dibuat dari anggur
kepada khamr dengan 'illat memabukkan.

b). Qiyas muluim, yaitu qiyas yang 'illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram
adalah dalam bentuk munâsih mulaim. Misalnya, qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunuhan dengan benda tajam yang 'illatnya pada ashal dalam hubungannya dengan hukum
pada ashal adalah dalam bentuk munasih mulaim.

C. Penggunaan Metode Ijma' dan Qiyas pada Zaman Klasik dan Kontemporer
• Ijma’Klasik

Ulama klasik mendefinisikan Ijma' sebagai konsensus para mujtahid atas suatu hukum
syarak yang berkaitan dengan perbuatan manusia setelah Nabi saw. meninggal. Menurut
3
jumhur ulama usul, ittifāq yang dimaksud dalam definisi Ijma' adalah konsensus para mujtahid
secara keseluruhan, dan jika ada mujtahid lain yang tidak setuju, maka Ijma'nya tidak sah.
Kecuali masalah yang didukung oleh dalil qat'ī atau yang 'ulima min al-dīn bi al-
dharurah, paradigma Ijma' total ini jelas utopis, tidak rasional, dan tidak realistis. Selain itu,
wilayah ijtihad tidak termasuk dalam masalah seperti itu.

Menurut paradigma Ijma’ total, kebulatan pendapat seluruh mujtahid akan


menyebabkan pintu Ijma’ tertutup setelah masa Sahabat karena jumlah umat Islam yang
banyak dan tersebar sehingga tidak akan ada kesepakatan bulat tentang masalah hukum. Selain
itu, paradigma ini akan membuat Ijma’ berada pada kedudukan yang statis, padahal Ijma'
adalah pila

hukum Islam yang seharusnya bersifat dinamis. Meskipun ada beberapa literatur yang
dapat diandalkan yang menunjukkan bahwa beberapa ulama Malikiyah mengakui bahwa
penduduk Madinah berhak atas Ijma’, dan beberapa ulama lainnya menganggap penduduk
Makah, Basrah, dan Kufah memiliki Ijma’ yang sah, Ijma’ total akan menghilangkan
eksistensi Ijma’ lokal-regional.

Karena ada beberapa sahabat, seperti Ali bin Abi Thalib dan Sa’d bin Ubādah, yang
tidak sependapat, penetapan Abu Bakar menjadi khalifah adalah berdasarkan kesepakatan
(Ijma') mayoritas. Jika Ijma' mayoritas tidak dapat digunakan sebagai hujah, kepemimpinan
Abu Bakar tidak sah. Demikian juga, pendapat mayoritas ulama tentang ijtihad dan ijma' dapat
menghasilkan keyakinan, sehingga Ijma' mayoritas adalah sah sebagai hujah. Sejarah
menunjukkan bahwa khalifah tidak harus menunggu ulama yang sedang safar untuk
membahas masalah hukum, dan mereka juga tidak mengundang semua Sahabat.

Ibnu Taimiyah mengungkapkan dan membuktikan "kebohongan" Ibnu Hazm dalam


kitab Marātib al-Ijmā', yang mengkodifikasi masalah-masalah yang dia yakini telah terjadi
Ijma', dengan tidak ada seorang ulama yang berbeda pendapat, dan berdasarkan nas. Namun,
Ibnu Taimiyah kemudian membantah kitab Ibnu Hazm tersebut dalam kitab Naqd Marātib al-
Ijmā'. Di antaranya, Ibnu Ḥazm mengatakan bahwa telah terjadi Ijma' bahwa membasuh dua
tangan saat berwudu sampai dengan siku. Namun, Zufar berbeda pendapat, dengan merujuk
pada salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan beberapa ulama Malikiyah,
bahwa batas membasuh dua tangan saat berwudu adalah telapak tangan, bukan siku.

Beberapa Ijma' Sahabat tidak tersebar luas ke semua bagian dan kelompok masyarakat
hingga akhirnya terbentuk keyakinan bahwa ada Ijma' dan tidak ada pendapat yang berbeda
karena tidak semua pendapat dalam masyarakat terdeteksi. Kemudian masyarakat akan
menolak perbedaan pendapat dengan pendapat ulama sebelumnya. Ulama sering
mendefinisikan Ijma' sebagai kesepakatan bulat seluruh mujtahid, tetapi ini tidak benar.

4
• Ijma’Kontemporer
Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi lagi, karena pada
waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara ijma’, pada masa itu para ulama
mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka masih berdekatan, wilayah umat Islam
atau negara belum begitu luas seperti sekarang, dan masih memungkin masing-masing
mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang persoalan hukum
yang di ajukan kepada mereka.
Ulama klasik seperti Imam as-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauziah ,
(dari mazhab Hanbali), begitu juga pandagan ulama yang sudah modern seperti Muhammad
Abu Zahrah, Muhammad Hudri Bek dan Fath adDuraini ( guru besar fiq dan Ushul Fiqh dari
Unversitas Suriah, Damacus, dan Wahbah az-Zuhaili, mereka berpendapat tidak mungkin
akan terjadi ijma’ seperti pada masa sahabat. Maka persoalan isu-isu seperti keputusan
anggota MPR RI, atau DPR RI tentang Undang-undang atau keputusan kepala daerah seperti
Gubernur/Bupati/Walikota seperti PERDA tentang larang judi, minuman keras dan
sebagainya yang muncul pada zaman kotemporer atau globalisasi tidak akan mungkin dapat
mengakomodasi persoalan hukum baru, artinya ijma’ tidak dapat diterapkan sebagai metode
penetapan hukum baru pada era sekarang. Mereka memberikan dasar pemikiran bahwa ijma
dapat terjadi karena mengharuskan semua mujtahid disemua negara harus hadir dan
memberikan respon pada persoalan yang diajukan kepada mereka, kemudian persyaratan
yang masuk dalam kategori mujtahid juga sangat ketat. Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat
ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian
kuat terhadap agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan
diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.
Sedangkan pada zaman sekarang sangat sulit dan langka ulama yang menguasai
semua bidang ke ilmuan apalagi yang masuk dalam kategori mujtahid. Akan tetapi kalau kita
melihat dari subtansi dari tujuan ijma’ sebagai salah satu metode penetapan hukum, di
karenakan ada persoalan baru yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat,
sedangkan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan. Maka perlu kita
mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa Ijma’ akan mungkin terjadi
apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah, karena pemerintah sebagai ulil Amri
dapat mengetahui mujtahid-mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan
menentukan mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam”.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli
permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah/undangan kepala
Negara, itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu
bakar dan Umar” Kalau memperhatikan pengertian dari subtansi pengertian ijma’ tersebut,
kemudian didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidieqy, ada
kemungkinan bahwa Keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan kepala daerah atau
menghimpun berbagai macam fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga
seperti fatwa ulama NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa MUI,
5
yang kebetulan subatansi dari isi fatwa tersebut sama-sama menyatakan bahwa merokok itu
haram karena merusak kesehatan manusia.dapat dianggap sebagai ijma’, paling dapat kita
sebut sebagai ijma’ lokal.
Pada zaman sekarang, ada kemungkinan untuk menghimpun pendapat para ulama
atau mujtahid lokal maupun pendapat mujtahid seluruh dunia, tidak musti harus bertemu
dalam satu majlis, akan tetapi dapat di akses melalui teknologi Internet, atau melalui akun
pecebook, atau akun Twitter. Tetapi memberikan persoalan melalui media Internet dan
mengharapkan jawaban oleh orang yang berkualitas mujtahid tentu akan mengandung
beberapa kelemahan, karena pada media tersebut, kemungkinan orang yang bukan ulama
mujtahid juga dapat memberikan jawaban dan penipuan dalam memberikan jawaban yang
tidak di harapkan. Kelemahan selanjutnya media internet belum ada ulama yang
menggunakan, bahwa madia ini dapat digunakan sebagai sarana untuk ijma’ ( kesepakatan
Mujtahid)’ untuk mengakses atau menghimpun) pendapat para mujtahid lakal maupun secara
internasional dari berbagai negara didunia.

• Qiyas Klasik

Qiyas telah digunakan secara praktis sejak awal perkembangan hukum Islam, tepatnya
di zaman Nabi saw., dan diterapkan hingga masa sahabat. Namun, pada awalnya, ia belum
memiliki teori pembentukan hukum yang sistematis. Pada awalnya, qiyas dipahami secara
sederhana, tanpa syarat dan rukun yang secara teoritis tidak diperlukan. Pada awalnya, sumber
hukum Islam hanyalah AlQur'an, yang kemudian diperiksa dan dijelaskan oleh Sunnah.

Proses kehidupan masyarakat setelah wafatnya Nabi Muhammad, dengan berbagai


aspeknya, menimbulkan banyak pertanyaan yang membutuhkan penalaran dan penafsiran
terhadap teks nash. Secara teoritis, istilah ini lebih dikenal sebagai "ijtihad". Sebelum qiyas
dan istihsan muncul dalam bentuk teoritis, ra'yu menjadi alat utama dalam melakukan ijtihad
pada masa awal. Cara ini dianggap lebih fleksibel dan bijak untuk menyelesaikan dan
menjawab berbagai masalah masyarakat.

Ra'yu adalah alat utama untuk berijtihad pada awal perkembangan hukum Islam,
setelah Nabi Muhammad dan generasi sahabatnya. Sebelum qiyas dan istihsan muncul sebagai
penalaran hukum, para mujtahid menggunakan istilah ini. Ra'yu berarti pendapat dan
pertimbangan. Istilah ini sebenarnya juga telah digunakan oleh orang Arab jauh sebelum
Islam. Pendapat dan keahlian untuk menjawab dan mempertimbangkan berbagai masalah
yang timbul dalam masyarakat terkait dengan penggunaan. Oleh karena itu, kata "dzul ra'yu"
masih digunakan dalam masyarakat Arab sehari-hari untuk menggambarkan seseorang yang
bijak.
Lawannya menyatakan bahwa dia adalah mufannad, yang berarti bahwa dia berada
dalam kondisi di mana dia tidak dapat mempertimbangkan dengan bijak. Istilah mufannad
sendiri tidak berlaku untuk semua orang; itu hanya digunakan untuk laki-laki dan tidak untuk
perempuan. Karena itu, perempuan, meskipun masih muda, dianggap tidak memiliki ra'yu.
6
Dalam sejarah hukum Islam, qiyas secara praktis sudah digunakan sejak masa Nabi
saw. Banyak persoalan-persoalan yang ditanyakan para sahabat direspon dan dijawab Nabi
saw dengan menggunakan qiyas meskipun belum dalam bentuk teoritis. Fakta menunjukan
bahwa di antara kasus-kasus hukum yang muncul di masa Nabi saw, ditangani dan
diselesaikan secara langsung dengan tidak membutuhkan metode ijtihad yang bersifat
konseptual dan teoritis. Salah satu cara beliau menanganinya adalah menghubungkan antara
peristiwa hukum baru yang belum jelas ketentuan hukumnya dengan apa yang sudah ada
ketentuan hukumnya karena memiliki kesamaan sifat. Sifat itulah yang kemudian menjadi
tambatan antara kedua peristiwa hukum yang dapat dihubungkan satu sama lain. Penyelesaian
kasus-kasus yang demikian dalam literatur ushul fiqh disebut dengan metode qiyas. Begitu
pula pada masa sahabat banyak persoalan yang timbul dalam masyarakat dijawab dan
diselesaikan dengan menggunakan qiyas, kemudian terus mengalami perkembangan.
Walaupun dalam perkembangannya muncul kekuatiran terhadap penggunaan qiyas yang
begitu sangat bebas. Pada akhirnya, melahirkan penolakan terhadap qiyas baik secara teoritis
maupun praktis. Hal demikian terlihat secara jelas dalam bangunan teori ushul fiqh masing-
masing mazhab yang coraknya berbeda satu sama lain terutama dalam menggunakan dan
mengembangkan qiyas sebagai dalil hukum.

Dalam kaitannya dengan pembentukan hukum, qiyas digunakan ulama ushul dalam
artian mencari persamaan di antara dua peristiwa hukum. Peristiwa hukum pertama sudah
ditentukan hukumnya oleh nash secara pasti, sedangkan peristiwa hukum kedua merupakan
persoalan baru yang muncul di tengah masyarakat, dan belum ada ketentuan hukumnya.
Kedua peristiwa hukum ini dapat ditarik dalam satu garis lurus disebabkan adanya persamaan
illat di antara keduanya.267 Peristiwa hukum pertama dijadikan sebagai patokan untuk
menarik kepada peristiwa hukum kedua karena ketentuan hukumnya sudah jelas dan pasti
ditetapkan oleh nash. Selanjutnya, ketentuan hukum yang ada pada peristiwa hukum pertama
ditransformasikan kepada peristiwa hukum kedua sehingga ketentuan hukum yang ada pada
peristiwa hukum kedua dapat ditetapkan, yaitu sama dengan ketentuan hukum yang ada pada
peristiwa hukum pertama melainkan berlaku untuk seluruhnya yang disejalankan dengan
dinamika kehidupan masyarakat. Meode ini juga melahirkan pemahaman dan pengamalan
hukum tidak terbatas hanya pada pemahaman tektual yang membawa pada pemahaman dan
pengamalan yang literal, rigit dan ketat melainkan mendorong terwujudnya hukum yang lebih
progresif. Apalagi jumlah ayat dan hadis yang terbatas seiring dengan tidak adanya lagi wahyu
yang turun dan meninggalnya Nabi saw. Selain itu, ketentuan hukum yang terdapat pada ayat
dan hadis lebih dominan dalam bentuk yang tidak rinci dan detail melainkan bersifat global.
Sementara dinamika dan perkembangan kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan
dengan menimbulkan kompleksitas persoalan yang disebabkan perubahan sosial akibat
kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan dalam bentuk ini berdampak terhadap pemahaman
dan keberlakuan hukum Islam. Di sini, qiyas memiliki relevan dan peran yang sangat penting
dalam membantu para mujtahid dalam merespon dan menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapkan kepadanya. Bahkan bagi al-Syafi’i qiyas dan ijtihad memiliki makna yang sama.

7
Ketika seorang Muslim dihadapkan pada suatu persoalan mesti mengikuti petunjuk yang jelas.
Apabila gagal dalam menemukannya harus mencarinya dengan indikasi dalam upaya mencari
kebenaran melalui ijtihad.

Qiyas merupakan bentuk pengembangan dari ra’yu yang tersusun secara sistematis.
Ra’yu cakupannya lebih luas dan sangat dinamis dalam menghadapi permasalahan yang
timbul dalam masyarakat. Selain itu, ra’yu memiliki prinsip kearifan yang kuat dalam
penemuan keadilan, bijak, cermat dan tepat dalam pencarian kebenaran. Kebenaran yang
dicapai melalui ra’yu setelah proses pemikiran, perenungan dan pencarian yang maksimal
melalui metode tertentu. Sedangkan qiyas terbatas pada perbandingan dalam dua hal yang
setingkat dan sejenis disebabkan adanya unsur kesamaan dalam bentuk illat. Dalam hal ini
tidak selamanya pula dapat ditentukan secara pasti. Oleh karenanya, tidak mengherankan
apabila terjadi perbedaan pendapat di antara mujtahid di dalam menetapkan illat dimaksud.
Pada awal sejarahnya, qiyas digunakan dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah
menerapkannya. Belum lagi dalam bentuk yang terkonseptual sebagaimana terurai dalam
literatur ushul fiqh. Qiyas hanya dalam bentuk penganalogian dalam kasus-kasus tertentu yang
tidak kaku dan formal. Dalam perkembangannya qiyas digunakan secara bebas tanpa batas
sehingga sebagian mujtahid merasa perlu merumuskan dan sekaligus membatasi. Hal itu,
terlihat secara jelas dalam tulisan al-Syafi’i yang mendegasikan kebebasan penggunaan qiyas
tersebut sehingga diperlukan ada pembatasan yang tersusun secara sistematis.

Penggunaan qiyas dalam bentuk ini juga diterapkan pada masa sahabat bahkan kasus-
kasus yang diselesaikan semakin meningkat jumlahnya seiring dengan persoalan dan
dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Hal itu, ditopang pula dengan semakin
berkembangnya penggunaan ra’yu dalam penalaran hukum. Kemudian persoalan-persoalan
yang timbul dalam masyarakat masih sangat mudah merujuk dan ditemukan hukumnya dalam
hadis Nabi saw terutama dalam kaitannya dengan penerapan qiyas. Jikapun muncul masalah-
masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya para sahabat masih memiliki kemampuan dalam
menangani dan menyelesaikannya sejalan dengan kehendak Syari’. Hal itu ditandai dengan
banyaknya masalah-masalah baru yang diselesaikan para sahabat yang secara zahir belum
dijelaskan ketentuan hukumnya dalam nash. Misalnya, ketentuan ganti rugi terhadap geraham
yang mengalami kerusakan akibat perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Dalam hal itu, Ibn Abbas dalam salah satu riwayat menjelaskannya bahwa
sebuah gigi geraham memiliki nilai yang sama dengan gigi lainnya sebagaimana juga berlaku
pada jari-jari. Ganti ruginya sama untuk semua jari, dan tidak melihat perbedaan
ukurannya.278 Hal ini memberikan gambaran bahwa Ibn Abbas telah menggunakan qiyas
secara langsung, sederhana dan alamiah. Qiyas dalam bentuk ini tampak lebih dekat dengan
ra’yu. Begitu pula dalam kasus-kasus lain yang ditangani para sahabat lainnya, seperti Abu
Bakar, Umar Ibn al-Khaththab, Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib serta sahabat lain.
Penalaran hukum yang dilakukan Umar Ibn al-Khaththab lebih banyak muncul dalam bentuk
yang lebih rasional dalam menghadapi situasi dan persoalan tanpa menafikan ijtihad yang

8
dilakukan sahabat lain. Ijtihad Umar secara zahir kadang berbeda dengan ketentuan yang
terdapat dalam nash.

• Qiyas Kontemporer

Salah satu lembaga ijtihad kontemporer yang menerapkan qiyas adalah Majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah. Dalam wacana pemikiran hukum Islam lembaga ijtihad ini
merupakan salah satu yang produktif melahirkan fiqh dan fatwa terutama dalam merespon
perkembangan dan dinamika kehidupan umat Islam di Indonesia. Bagi Muhammadiyah qiyas
pada prinsip dasarnya dapat diterima dalam penetapan hukum, tetapi bukan dalam bentuk
sumber hukum melainkan sebagai teknik atau cara. Qiyas dalam pandangan ini tidak bisa
dipersamakan dengan sumber hukum karena qiyas membutuhkan nash sebagai tempat
menambatkan hukum baru. Dalam hal itu, qiyas tidak dapat menetapkan hukum secara
mandiri, tetapi sangat bergantung kepada nash. Hanya saja secara teoritis, Majelis Tarjih tidak
menjelaskannya secara rinci mulai dari rumusan atau konsep maupun dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, dalam memahaminya, tidak boleh tidak, menurut Asjmuni Abdurrahman
mengartikannya dalam arti luas.459Penggunaan istilah qiyas, hanyalah diselipkan pada kata
ijtihad dalam usaha menetapkan hukum suatu masalah yag belum ada ketentuan hukumnya
dengan menyamakan hukum suatu masalah yang telah ada hukumnya berdasarkan nash,
karena ada persamaan illat antara kedua hukum dan kedua masalah tersebut.

Dalam sejarahnya, penggunaan qiyas dilingkungan Majelis Tarjih pada mulanya


terjadi perbedaan yang cukup tajam. Informasi tambahan yang didapatkan dari Himpunan
Putusan Tarjih menunjukan bahwa proses adanya putusan tersebut merupakan akomodasi
terhadap dua kekuatan yang berbeda dalam mendudukan apakah qiyas bisa dijadikan dasar
dalam penetapan hukum atau tidak.461Namun, akhirnya semua ulama tarjih dapat
menerimanya meskipun harus melalui persidangan hingga tiga kali pemandangan umum dan
satu kali tanya jawab. Penerimaan ulama Tarjih tersebut tergambar dalam penjelasan
Himpunan Putusan Tarjih berikut:

“Dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk
diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk
alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam Al-Qur’an atau Sunnah shahihah, maka
jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada
berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.”462
Kutipan putusan muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953463 tersebut
memberikan petunjuk bahwa qiyas digunakan Muhammadiyah dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi selama tidak terkait dengan masalah ibadah mahdhah.
Menurut Asjmuni Abdurahman penggunaan qiyas bagi Majelis Tarjih dipengaruhi oleh aliran
mazhab terutama Hanabilah yang menyatakan bahwa qiyas hanya digunakan ketika kondisi

9
darurat.465 Pada aras praksis, metode ini misalnya digunakan oleh Muhammadiyah ketika
menetapkan keharaman hukum bunga bank pada 18 Juni 2006 M. Sebelumnya telah keluar
fatwa tentang “Kitab Beberapa Masalah” dengan menyatakan bahwa riba yang dilarang
menurut syara’ ialah dalam tukar-menukar mas dengan mas, perak dengan perak dan makanan
dengan makanan (qut) lebih melebihi serta tunai (kontan) kecuali kalau berlainan macam-
macamnya yang tersebut itu. Pinjammeminjam dengan melebihi itu haram jika pakai aqad
(perjanjian), jika tidak pakai aqad dibolehkan. Selanjutnya, putusan Tarjih di Sidoarjo Tahun
1968 tentang masalah bank yang membagi perbankan kepada dua kelompok, yaitu bank
swasta dan bank negara. Putusan tarjih ini melahirkan empat poin penting, yaitu; (a) riba
hukumnya haram, dengan nash sharih Quran dan Sunnah. (b) bank dengan sistem riba
hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal. (c) bunga yang diberikan bank-bank
milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk
perkara “musytabihat”. (d) menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistim perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai
dengan qa’idah Islam. Putusan Tarjih di Wiradesa Tahun 1972 tentang Perbankan. Muktamar
Wiradesa 462 Ibid,. h. 280 463 Ibid,. h. 269 464Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah,
Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah, 2000), h. 21 dan Himpunan Putusan Tarjih, op. cit,.h. 277-278 465
Asjmuni Abdurrahman, op. cit,. h. Flexibilitas Qiyas dalam Pembentukan Hukum Islam 256
Bakhtiar ini tidak memberikan putusan tentang hukum perbankan melainkan hanya
mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan
Mu’tamar Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistim perekonomian
khususnya Lembaga perbankan yang sesuai dengan qaidah Islam dan mendesak kepada PP
Muhammadiyah Majelis Tarjih untuk dapat mengajukan konsepsi termaksud dalam Mu’tamar
yang akan datang. Keputusan Tarjih di Malang Tahun 1989 terkait unsur-unsur riba yang
terdapat pada bunga koperasi dan riba. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa unsur-unsur
keduanya adalah: Pertama, unsur-unsur riba bank terdiri dari dilakukan antar perorangan yang
menentukan syarat keuntungan secara sepihak dan bersifat penghisapan yang menimbulkan
kesengsaraan baik perorangan maupun masyarakat. Kedua, unsur-unsur tambahan pada
koperasi simpan-pinjam adalah dilakukan antar lembaga dengan anggotanya yang bersifat
tolong-menolong dan tambahan itu ditujukan untuk kesejahteraan bersama dan masyarakat
sesuai dengan ketentuan musyawarah anggota. Riba dalam hal itu adalah tambahan atau
kelebihan tanpa imbalan jasa atau barang yang diharuskan bagi salah satu dari dua orang yang
mengadakan akad. Putusan Tarjih di Padang Tahun 2003 tentang etika bisnis. Dalam putusan
tarjih tersebut dinyatakan bahwa kegiatan berbisnis didasarkan kepada at-tauhid, al-amanah,
ash-shidq (kejujuran), al-‘adalah (keadilan), al-Ibahah (kebolehan), at-ta‘awun, al-maslahah
(jalbul mashalih wa dar’ul mafasid: menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), at-
taradli (saling kerelaan) dan al-akhlaq al-Karimah (kesopanan).

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid muslim memutuskan
suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i, karena selagi rasulullah
masih hidup maka dia sendiri yang menjadi sumber syar’i.

Qiyas menurut ulama ushul yaitu menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Al-‘Illat
merupakan suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan
keberadaan sifat itu pada cabang (far’), maka al-,illat disamakan dengan pokonya dari segi hukum.

B. Saran

Saya selaku penulis menyadari banyak hal jika makalah ini masih terdapat kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan berpedoman kepada
banyak sumber serta kritikan yang dibangun dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Ma’ali al-Juwaini menulis al-Burhan fi Usul al-Fiqh dalam empat cetakan, diterbitkan di
Mesir oleh al-Wafa’ Mansurah pada tahun 1418.

Abu Ishaq Al-Syatibi menulis al-Muwafaqat, diterbitkan di Mesir oleh Mustafa al-Babi al-Halabi
pada tahun 1976.

Badjeber, Abu Zuhdi Munir A, Dhaif Riyadhus Shalihin: Hadis-Hadis Dhaif Dalam Kitab
Riyadus Shalihin, (Solo: Pustaka Azam, Tth).

Djazuli, Prof. Dr. A. dan Dr. I .Nurol Aen, MA, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2000).

Efendi, Satri, Ushul Fiqh Cet. 1 ; (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008).

12

Anda mungkin juga menyukai