Anda di halaman 1dari 13

MAKNA DAN SUBSTANSI QIYAS SEBAGAI DALIL

HUKUM ISLAM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh


Dosen Pengampu Indar Wahyuni, M.S.I.

Disusun Oleh:
1. Mujib Zuhdi 1121082
2. Fatihatur Rohmah Ghufroni 1121091

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Makna dan Substansi Qiyas Sebagai Dalil
Hukum Islam” dengan baik tanpa ada halangan.

Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam
penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, penyusun sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa


masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, saya
selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat
luas.

Pati, 03 Desember 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Definisi dan Rukun Qiyas.............................................................................3

B. Urgensi Qiyas dalam Hukum Islam..............................................................4

C. Kedudukan Qiyas sebagai Hukum Islam......................................................5

D. Syarat-Syarat Qiyas.......................................................................................7

E. Macam-Macam Qiyas...................................................................................8

BAB III PENUTUP................................................................................................9

A. Kesimpulan...................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam ditengah kemajuan dalam segala bidang sebagai hasil dari cipta,
rasa, serta karya manusia saat ini dituntut eksistensinya dalam memenuhi
perkembangan pengetahuan dan teknologi serta hukum yang mendasarinya.
Perkembangan sejarah telah memberikan wawasan kepada seluruh manusia
bahwa denganadanya transformasi nilai sosial, adat, budaya, perekonomian,
dan politik akan berdampak pengaruhnya pada perubahan hukum Islam.

Hukum islam bukanlah sebuah hukum yang kaku dan tidak dapat
diinterpretasikan. Hukum Islam bersifat dinamis sebagai sebuah kekuatan
normative yang memperlakukan kepentingan masyarakat sebagai substansi
dari posisi fleksibilitas asalkan tidak mengorbankan keleluhuran hukum Islam.
Oleh karenanya, interpretasi mengenai perkembangan kehidupan manusia
serta permasalahan umat dalam realitas social tidak dapat ditawar lagi.

Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama
setelah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ adalah Qiyas. Hal ini berarti bahwa,
apabila terjadi suatu peristiwa maka pertama kali yang harus dijadikan sumber
hukum adalah Al-Qur’an, kemudian Hadist, Ijma’, dan apabila melalui ketiga
sumber hukum tersebut tidak ditemukan sumber hukum yang dibutuhkan atas
suatu kejadian, maka qiyas akan digunakan sebagai sumber hukum
selanjutnya.

Qiyas merupakan suatu prinsip hukum, ia memainkan peran yang sangat


penting dalam kajian hukum Islam. Namun, disamping peran qiyas yang amat
vital tersebut, ia selalu saja menjadi pembahasan yang menarik karena
beberapa persoalan. Diantaranya perdebatan seputar makna dan substansi
qiyas sebagai dalil dalam hukum Islam. Berdasarkan permasalahan tersebut
menjadi dasar bagi penulis untuk membahas mengenai qiyas lebih dalam dan
dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Qiyas dan Rukun Qiyas?
2. Bagaimana Urgensi Qiyas dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana Kedudukan Qiyas sebagai Hukum Islam?
4. Bagaimana Syarat-syarat Qiyas?
5. Bagaimana Macam-macam Qiyas?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi dan rukun qiyas.
2. Untuk menjelaskan urgensi qiyas sebagai hukum Islam.
3. Untuk menjelaskan kedudukan qiyas sebagai hukum Islam.
4. Untuk menjelaskan syarat-syarat qiyas.
5. Untuk menjelaskan macam-macam qiyas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Rukun Qiyas


1. Definisi Qiyas
Qiyas merupakan derivasi dari kata Arab “qasa” yang berarti
mengukur. Selain “qasa” kata yang sama artinya dengan mengukur adalah
“at-taqdir dan at-taswiyah” yang bermakna menyamakan.1 Sedangkan
secara istilah, qiyas menurut ulama ushul didefinisikan sebagai
menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan
Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Melalui metode Qiyas, para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Al-Qur’an
dan Al-Hadits.2

Hukum Islam seringkali sudah tertuang jelas dalam nash Al-Qur’an


dan Al-Hadits, seringkali juga masih bersifat implisit-analogik terkandung
dalam nash tersebut. Imam Syafii mengatakan “setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan ummat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi,
jika tidak ada ketentuan hukumnya ysng pasti, maka harus dicari
pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas”.3

Qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan atau


disinggung oleh nash (Al-Qur’an dan Hadist) kepada sesuatu yang
disebutkan dan telah ditetapkan hukumnya, karena serupa makna hukum
yang disebutkan.4 Artinya qiyas adalah suatu metode penetapan hukum
dengan cara menyamakan sesuatu kejadian yang tidak tertulis hukumnya
secara tekstual dengan kejadian yang telah ditetapkan hukunya secara
tekstual. Hal ini dimungkinkan dengan pertimbangan adanya kesamaan
1
Darul Azka, Kholid Affandi, and Nailul Huda, Jam’u Al-Jawami’ (Kajian Dan Penjelasan Ushul
Fiqh Dan Ushuluddin) (Lirboyo Kediri: Santri Salaff Press, 2014), 187.
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 336.
3
Zahrah, Ushul Fiqh, 336.
4
Muhammad Abu Zahrah, Al-Syafi’I: Hayatuhu Wa Asyaruhu Wa Fiqhuhu (Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, n.d.), 296.

3
’illat dalam hukumnya. Dengan demikian ketetapan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya dapat dikategorikan sebagai qiyas.

2. Rukun Qiyas
Para ushul ulama fiqh menetapkan rukun qiyas ada 4, yaitu ashl,
far’u, i’llat, dan hukm al-ashl. berikut merupakan rukun qiyas, yakni:5

a. Ashl menurut ahli ushul fiqh, merupakan obyek yang telah ditetapkan
hukumnya oleh ayat al-Qur‟an, hadits Rasulullah atau Ijma’. 6 Contoh
Ashl: diharamkannya wisky atau minuman keras lainnya dengan
mengqiyaskannya kepada khamar, maka Al-Ashl itu adalah khamar
yang telah ditetapkan hukumnya yaitu haram melalui nash Q.S. Al-
Maidah (3) ayat 90-91.
b. Far’u, Far’u (cabang) adalah objek yang akan ditetapkan hukumnya,
yang tidak ada secara tegas hukumnya di nash (Al Qur,an dan Hadits)
maupun Ijma’. Al Far’u adalah kasus yang akan diketahui hukumnya
melalui qiyas.
c. I’llat, Secara etimologi ‘illat berarti nama bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan ‘illat karena dengan
adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi
sakit.7
d. Hukm al-ashl, yaitu hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl
(pokok) nya dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukun pada Far’u
(cabang) nya.8

B. Urgensi Qiyas dalam Hukum Islam


Islam ditengah kemajuan dalam segala bidang sebagai hasil dari cipta,
rasa, serta karya manusia saat ini dituntut eksistensinya dalam memenuhi
perkembangan pengetahuan dan teknologi serta hukum yang mendasarinya.
5
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), 65.
6
Zahrah, Ushul Fiqh, 352.
7
Haroen, Ushul Fiqh, 76.
8
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina utama (Toha Putra Group), 2014),
94.

4
Perkembangan sejarah telah memberikan wawasan kepada seluruh manusia
bahwa dengan adanya transformasi nilai social, adat, budaya, perekonomian,
dan politik akan berdampak pengaruhnya pada perubahan hukum Islam.
Hukum islam bukanlah sebuah hukum yang kaku dan tidak dapat
diinterpretasikan. Hukum Islam bersifat dinamis sebagai sebuah kekuatan
normative yang memperlakukan kepentingan masyarakat sebagai substansi
dari posisi fleksibilitas asalkan tidak mengorbankan keleluhuran hukum Islam.
Oleh karenanya, interpretasi mengenai perkembangan kehidupan manusia
serta permasalahan umat dalam realitas social tidak dapat ditawar lagi.
Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama
setelah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ adalah Qiyas. Hal ini berarti bahwa,
apabila terjadi suatu peristiwa maka pertama kali yang harus dijadikan sumber
hukum adalah Al-Qur’an, kemudian Hadist, Ijma’, dan apabila melalui ketiga
sumber hukum tersebut tidak ditemukan sumber hukum yang dibutuhkan atas
suatu kejadian, maka qiyas akan digunakan sebagai sumber hukum
selanjutnya.
Qiyas merupakan suatu prinsip hukum, ia memainkan peran yang sangat
penting dalam kajian hukum Islam.9

C. Kedudukan Qiyas sebagai Hukum Islam


Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat
dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang
membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara’ di luar yang ditetapkan
oleh nash. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan
qiyas sebagai dalil hukum syara’.10
Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas, dikalangan
ahli fiqih terbagi menjadi tiga kelompok seperti berikut:
1. Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nashnya dalam Qur’an, hadits, pendapat sahabat

9
Edy Muslimin, “Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam,” Mamba’ul Ulum 15, no. 2 (2019): 242–
250.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1 (Jakarta: Kencana, 2009), 177.

5
dan ijma’ ulama. Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak
berlebihan.
2. Kelompok Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak qiyas
secara penuh dan tidak mengakui illat nash, juga tidak berusaha
mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk mengungkap alasan-alasan
guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat.
3. Kelompok yang memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara
keduanya, bahkan menerapkan qiyas sebagai pembatas keumuman al-
Qur’an dan hadits.11
Alasan ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas dapat dibagi
lagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang menerima dan menolak
menggunakan qiyas, yang masing-masing mengemukakan dalil al-Qur‟an,
sunnah, ijma‟ ulama atau sahabat dan dalil akal.
Amir Syarifuddin menambahkan, kelompok ulama yang menolak
penggunaan qiyas dalam hukum syara’ adalah:
1. Kelompok Syi’ah Imamiyah yang membatalkan beramal dengan qiyas.
Mereka tidak membolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil yang
populer dikalangan mereka adalah: “agama Allah tidak dapat dicapai
melalui akal dan sunnah itu bila diqiyaskan akan merusak agama.
2. Kelompok al-Nazham, mengatakan bahwa illat yang tersebut dalam nash
mewajibkan adanya usaha menghubungkan hukum melalui lafaz yang
umum tidak melalui qiyas.
3. Kelompok zhahiriyah, pandangan mereka tentang qiyas sebanarnya
kelihatan dari tanggapan mereka atas argumentasi yang dikemukakan
jumhur ulama. Mereka tidak menggunakan qiyas, sebagai penggantinya
mereka menggunakan kaidah umum lafaz nash. Sebagai contoh jumhur
ulama menetapkan haramnya memukul orang tua diqiyaskan kepada
haramnya mengucap kata “uf” kepada orang tua. Ulama zhahiri tidak
menggunakan mengqiyaskan “uf” dengan memukul orang tua namun
11
Zahrah, Ushul Fiqh, 339-340.

6
menggunakan lafaz umum bahwa perintah Allah untuk berbuat baik
kepada orang tua.
Dengan demikian dapat dijelaskan diantara keraguan mereka yang
paling jelas pendapatnya bahwa qiyas didasarkan hanya pada dugaan, seperti
illat hukum nash.

D. Syarat-Syarat Qiyas
Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada
ketentuannya dalam al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat
berikut:12

1. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan


artinya hukum yang tetap berlaku.
2. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama artinya
sudah ada menurut ketegasan al-Qur’an dan hadits.
3. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, artinya
hukum asal itu dapat diberlakukan pada qiyas.
4. Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena
untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
5. Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal.
6. Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang pada
asal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
7. Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum, artinya
illat itu selalu ada.
8. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama,
artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.

E. Macam-Macam Qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi dalam hal ini dapat dibagi tiga
yaitu sebagai berikut:13

12
Azar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 48.
13
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, 2.

7
1. Qiyas Awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu’. Sebagai
contoh mengqiyaskan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “uf”
(berkata kasar) terhadap orang tua dengan illat menyakiti.
2. Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
Umpamanya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada
memakannya secara tidak pantas dalam menetapkan hukum haramnya.
Firman Allah yang artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan
yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.” Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara
tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim.
3. Qiyas Adwan, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas
tersebut memenuhi persyaratan. Umpamanya mengqiyaskan apel kepada
gandum dalam menetapkan berlakunya riba bila dipertukarkan dengan
barang yang sejenis. Illatnya bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan
hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada
gandum karena illatnya lebih kuat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Qiyas adalah suatu metode penetapan hukum dengan cara menyamakan
sesuatu kejadian yang tidak tertulis hukumnya secara tekstual dengan

8
kejadian yang telah ditetapkan hukunya secara tekstual. Sedangkan rukun
qiyas ada 4, yaitu ashl, far’u, i’llat, dan hukm al-ashl.
2. Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama setelah
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ adalah Qiyas. Hal ini berarti bahwa,
apabila terjadi suatu peristiwa maka pertama kali yang harus dijadikan
sumber hukum adalah Al-Qur’an, kemudian Hadist, Ijma’, dan apabila
melalui ketiga sumber hukum tersebut tidak ditemukan sumber hukum
yang dibutuhkan atas suatu kejadian, maka qiyas akan digunakan sebagai
sumber hukum selanjutnya. Qiyas merupakan suatu prinsip hukum, ia
memainkan peran yang sangat penting dalam kajian hukum Islam.
3. Kedudukan qiyas sebagai hukum islam yaitu alasan ketiga kelompok
ulama tentang penggunaan qiyas dapat dibagi lagi kedalam dua kelompok
yaitu kelompok yang menerima dan menolak menggunakan qiyas, yang
masing-masing mengemukakan dalil al-Qur‟an, sunnah, ijma‟ ulama atau
sahabat dan dalil akal.
4. Syarat-syarat qiyas yaitu, hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum
dinasakhkan, asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut
agama, hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, tidak boleh
hukum furu’ (cabang) terdahulu dari hukum asal, hendaklah sama illat
yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal, hukum yang ada pada
furu’ hendaklah sama dengan hukum yang pada asal, tiap-tiap ada illat ada
hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum, tidak boleh illat itu
bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama.
5. Macam-macam qiyas yaitu, Qiyas Awlawi, Qiyas Musawi, dan Qiyas
Adwan.

DAFTAR PUSTAKA
Azka, Darul, Kholid Affandi, and Nailul Huda. Jam’u Al-Jawami’ (Kajian Dan
Penjelasan Ushul Fiqh Dan Ushuluddin). Lirboyo Kediri: Santri Salaff
Press, 2014.
Bakry, Azar. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

9
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina utama (Toha Putra
Group), 2014.
Muslimin, Edy. “Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam.” Mamba’ul Ulum 15, no.
2 (2019): 242–50.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1. Jakarta: Kencana, 2009.
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Syafi’I: Hayatuhu Wa Asyaruhu Wa Fiqhuhu. Mesir:
Dar al-Fikr al-‘Arabi, n.d.
———. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

10

Anda mungkin juga menyukai