Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SUMBER HUKUM: AL- QUR’AN DAN AL- SUNNAH SEBAGAI


MASDAR AL-ADILLAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu: Nandang Abdurohim, H., M.Ag.

Oleh:
Nabil Sidqi Ath- Toriq : 1212010112
Nida Salmanita : 1212010125
Rani Handayani : 1212010138

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat-
Nyalah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber Hukum: Al-Qur’an dan
Al- Sunnah Sebagai Masdar Al-Adillah” Ini dengan baik dan tepat waktunya.
Tidak lupa kami menyampaikan rasa terimakasih kepada dosen pengampu telah
memberikan tugas ini kepada kami. Rasa terimakasih juga hendak kami ucapkan kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya baik secara langsung maupun
tidak langsung sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah di tentukan.
Meskipun kami telah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusun
makalah ini, namun kami menyadari bahwa didalam makalah yang telah kami susun ini
terdapat banyak kesalahan serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya makalah lain
yang lebih baik lagi. Akhir kata kami berharap agar makalah ini bisa memberikan banyak
manfaat.

Bandung, 27 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................................

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................

BAB I PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum Islam............................................................................


B. Dalil Yang Disepakati Sebagai Sumber Hukum Islam dan Dalil Yang Tidak
Disepakati Sebagai Sumber Hukum Islam..............................................................
C. Klasifikasi Dari Isi Yang Terkandung Dalam Al-qur’an........................................
D. Mutasyabihat dan Muhkamat..................................................................................
E. Kualifikasi Hadits Yang Dapat Dijadikan Masdar Al-adillah.................................
F. Metode Menguji Otentisitas Hadits.........................................................................

KESIMPULAN..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sumber hukum islam?
2. Apa saja dalil yang disepakati dan tidak disepakati sebagai sumber hukum
islam?
3. Apa saja klasifikasi dari isi yang terkandung dalam al-qur’an?
4. Apa itu mutasyabihat dan muhkamat?
5. Apa saja kualifikasi hadits yang dapat dijadikan masdar al-adillah?
6. Bagaimana metode menguji otentisitas hadits?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian sumber hukum islam
2. Mengetahui dalil yang disepakati dan tidak disepakati sebagai sumber hukum
islam
3. Mengetahui mutasyabihat dan muhkamat
4. Mengetahui kualifikasi hadits yang dapat dijadikan masdar al-adillah
5. Mengetahui metode menguji otentisitas hadits
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Hukum
Al-qur’an merupakan sumber hukum dalam islam. Dalam konteks ini, kata
sumber hanya dapat digunakan untuk Al-qur’an maupun sunnah, karena keduanya
merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara.
KBBI menerangkan bahwa sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa
tulisan, dokumen, naskah, dan sebagainya yang digunakan suatu bangsa sebagai
pedoman hidup pada masa tertentu. Sehingga sumber hukum dapat diartikan sebagai
bahan atau materi yang berisi mengenai pembuatan hukum, proses terbentuknya
hukum, dan bentuk hukum itu sehingga dapat dilihat, dirasakan, atau diketahui.
Dan pada sumber hukum islam, terdapat beberapa definisi seperti menurut ulama
Ushul ia berpendapat bahwa hukum islam merupakan tata cara hidup mengenai
doktrin syariat dengan perbuatan yang diperintahkan maupun yang dilarang. Pendapat
tersebut jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama fiqih, yang
mengatakan bahwa hukum Islam merupakan segala perbuatan yang harus dkerjakan
menurut syariat Islam.
Sedangkan Hasby A. S berpendapat bahwa hukum Islam ialah segala daya upaya
yang dilakuakan oleh seorang muslim dengan mengikut sertakan sebuah syariat Islam
yang ada. Dalam hal ini beliau juga menjelaskan bahwasannya hukum Islam akan
tetap hidup sesuai dengan undang-undang yang ada.

B. Dalil Yang Disepakati dan Tidak Disepakati Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ulama menyepakati ada 4 sumber hukum Islam. Dalam moraref atau portal
akademik Kementerian Agama dalam tulisan bertajuk Asas-asas Hukum Kewarisan
dalam Islam karya M Naskur disebutkan sumber- sumber hukum Islam, diantaranya:
1. Al Quran
Secara bahasa ( etimologi )Al-qur’an merupakan bentuk masdar (kata
benda) dari kata kerja Qoro-a yang bermakna membaca atau bacaan. Ada yang
berpendapat bahwa qur’an adalah masdar yang bermakna isim maf’ul,
karenanya ia berarti yang dibaca atau maqru’. Menurut para ahli bahasa, kata
yag berwazan fu’lan mempunyai arti kesempurnaan. Karena itu Al-qur’an
meruppakan suatu bacaan yang sempurna. Sedangkan pengertian menurut
istilah (terminologi) Al-qur’an adalah:” kitab Allah yang diturunkan
kepada utusan Allah, Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Yang ter
maktub dalam mushaf, dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa
ada keraguan. Para ulama’ sepakat menjadikan Al-qur’an sebagai sumber
pertama dan utama bagi syari’at islam karena dilatar belakangi oleh beberapa
alasan,diantaranya: Kebenaran dan keaslian Al-Qur’an, Kemukjizatan Al-
qur’an, Pemberitaannya terhadap peristiwa yang terjadi pada umat
terdahulu yang tidak pernah diungkap oleh sejarah sebelumnya dan
Isyaratnya terhadap fenomena alam yang terbukti kebenarannya berdasarkan
ilmu pengetahuan.
2. Al- Hadits
Al-Hadits didefinisikan pada umunya oleh ulama seperti definisi Al-Sunnah
yaitu sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik
ucapan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan), Sifat fisik dan psikis, baik
sebelum beliau menjadi nabi atau sudah menjadi nabi. Allah berfirman yang
artinya “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah keteladanan yang baik baginu,
(yakni) bagi orang yang mengharap (akan rahmat) Allah, (meyakini akan
kedatangan) hari kiamat, dan banyak menyebut (dan ingat akan) Allah” (Al-
Ahzab:21).
Dengan melihat ungkapan ayat diatas, maka sudah jelas bahwa hadis atau
sunnah Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam, disamping Alquran.
Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam berarti
orang itu menolak petunjuk Alquran.
3. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa (lughah) ialah mengumpulkan perkara dan memberi
hukum atasnya serta menyakininya. Sedangkan Ijma’ menurut istilah ialah
kebulatan pendapat semua ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasulullah SAW pada
suatu masa atas sesuatu hukum syara’. Akan tetapi Ijma’ tidak dapat
dipandang sah kecuali apabila ada sandaran sebab ijma’ bukan merupakan
dalil yang berdiri sendiri. Fatwa dalam urusan agama tanpa sandaran adalah
salah. Sandaran tersebut adakalanya berupa dalil qath’i yaitu Al-Qur’an dan
hadits, dan adakalanya berupa dalil zhanni yaitu ahad dan qiyas. Apabila
sandaran ijma’ itu hadits ahad maka hadits ini bertambah kekuatannya atau
nilainya.
4. Qiyas
Dari segi bahasa Qiyas adalah mengukurkan sesuatu atas lainnya dan
mempersamakannya, sedangkan menurut istilah adalah menetapkan hukum
sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang
sudah ada ketentuan hukumnya. Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa
qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari
sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah
baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya
dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan
selanjutnya menjadi hukum syar’i.

Selain sumber hukum islam yang telah disepakati, ada pula beberapa sumber
hukum islam yang tidak disepakati atau masih diperselisihkan, antara lain:

1. Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode istimbat hukum yang oleh ulama ushul
disebut sebagai dalil syara‟ yang diperselisihkan (al-Dalail al-Syar‟iyah al-
Mukhatalaf fiha). Dikatakan diperselisihkan, karena tidak semua ulama
menggunakannya dalam menyelesaikan problematika hukum yang dihadapi.
2. Istishab
Istishab dalam Islam merupakan upaya mendekatkan satu peristiwa hukum
dengan peristiwa lainnya sehingga keduanya dinilai sama hukumnya. Sebagai
metode hukum, konsep ini memiliki tiga unsur, yakni:
(1)Waktu, Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu
waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya dalam istishab
dianggap sama nilainya sampai terbukti ada perubahan karakteristik hukum
yang melekatnya.
(2)Ketetapan hukum, Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh
(isbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehkan (nafy).
(3)Dalil, Istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada pengetahuan
seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan inilah yang menjadi kerangka dasar
dalam menetapkan posisi hukum asalnya.
3. Maslahah mursalah
Penempatan maslahah mursalah sebagai sumber hukum sekunder atau sebagai
metode istinbât hukum, menjadikan hukum Islam itu luwes, dan keuniversalan
hukum Islam ditunjukan dengan aplikasi lokal, artinya dapat diterapkan pada
setiap ruang dan waktu di segala bidang sosial. Tentu yang dimaksud adalah
dalam lapangan mu’amalah dan adat dan bukan lapangan ibadat. Teori kritis
hukum Islam sangat menyadari bahwa kemaslahatan itu bersifat relatif dan
sangat rentan terhadap pengaruh spekulatif manusia, yang kemungkinan hanya
didasarkan pada dominasi hawa nafsu dan ego semata.
C. Klasifikasi Dari Isi Yang Terkandung Dalam Al-qur’an
Klasifikasi atau penggolongan dari isi yang terkandung dalam al-qur’an dapat kita
golongkan kedalam 6 (enam) golongan, antara lain:
1. Akidah dan Tauhid
Isi kandungan Al Quran pertama yakni tentang akidah. Secara etimologi
akidah berarti kepercayaan atau keyakinan. Akidah juga disebut dengan istilah
keimanan. Akidah secara terminologi dapat didefinisikan sebagai suatu
kepercayaan yang harus diyakini dengan sepenuh hati, dinyatakan dengan
lisan dan dimanifestasikan dalam bentuk amal perbuatan. Sehingga akidah
islam merupakan keyakinan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari Al
Quran dan hadits. Maka seorang yang menyatakan diri berakidah Islam tidak
hanya cukup mempercayai dan meyakini keyakinan dalam hatinya, tetapi ia
juga harus menyatakannya dengan lisan dan harus mewujudkannya dalam
bentuk amal perbuatan (amal shalih) dalam kehidupannya sehari-hari. Al
Quran banyak menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran akidah yang
terkandung di dalamnya, di antaranya Surat Al Ikhlas 1-4:
1. Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah tempat meminta segala sesuatu.
3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
4. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia."
2. Ibadah dan Muamalah
Eksistensi manusia di muka bumi ini tentu karena kuasa Allah SWT. Kuasa
Allah sebagai pencipta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya zat yang pantas
untuk disembah. Oleh karena itu setiap manusia diperintahkan untuk
menyembah Allah salah satunya dengan melakukan ibadah. Artinya, manusia
diperintahkan untuk menyembah atau mengabdi sepenuhnya kepada Allah
SWT dengan tunduk, taat, dan patuh kepada-Nya. Selain beribadah, manusia
juga memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
manusia lain. Untuk itu, Allah mengatur hubungan antar manusia dalam
Alquran yang disebut muamalah.
3. Hukum
Hukum dalam Alquran berisikan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan dasar
serta menyeluruh bagi manusia. Hukum ini dapat menjadikan hidup manusia
menjadi lebih tentram, adil, dan sejahtera. Adapun hukum yang tercantum
dalam Alquran meliputi hukum perkawinan, hukum waris, hukum perjanjian,
hukum pidana, hukum perang, dan hukum antarbangsa.
4. Sejarah
Alquran mengungkapkan sejarah dan cerita masa lalu untuk dijadikan
pelajaran ('ibrah) bagi umat Islam. Pelajaran ini bisa menjadi pedoman untuk
menjalani kehidupan agar senantiasa diridhoi Allah SWT. Banyak diceritakan
kisah para sahabat yang memiliki akhlak baik, senantiasa mematuhi perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dan begitu pula sebaliknya, agar manusia
bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
5. Akhlak
Isi kandungan yang tidak kalah pentingnya untuk dijadikan pedoman manusia
adalah akhlak. Secara istilah, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia dan muncul secara spontan dalam tingkah laku sehari-hari. Figur
yang bisa dijadikan suri tauladan bagi umat Islam adalah Rasulullah SAW.
Sebab, kepribadian beliau bersumber langsung pada Alquran. Dengan
mengikuti akhlak Rasulullah, seorang Muslim akan menjadi pribadi yang
berakhlak mulia dan jauh dari akhlak tercela.
6. Ilmu Pengetahuan
Al-qur’an banyak mengandung ayat yang mengisyaratkan ilmu pengetahuan
sains dan teknologi. Ilmu ini sangat potensial untuk kemudian dikembangkan
untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Ayat yang pertama kali
diturunkan Allah adalah Al-Alaq, yang memerintahkan umat Islam untuk
membaca sebagai jembatan utama untuk mendalami ilmu pengetahuan. Ini
mengisyaratkan Alquran ada sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi manusia.
D. Mutasyabihat dan Muhkamat
Mutasyabihat Dan Muhkamat Merupakan Permasalahan Yang Terjadi Dalam Konteks
Pembagian Ayat Al-Quran Menurut Sifatnya. Para Ulama Belum Bersepakat Tentang
Definisi Dari Mutasyabihat Dan Muhkamat. Adapun Definisinya Antara Lain;
1. Muhkamat ialah ayat yang maksudnya dapat diketahui, baik secara nyata
maupun melalui ta'wil. Sedang Mutasyabihat ialah ayat yang hanya diketahui
oleh Allah seperti masalah Kiamat, munculnya Dajjal dan potongan huruf-
huruf hija' di awal surat.
2. Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya, dan mutasyabih ialah ayat yang
tidak jelas maknanya
3. Muhkam ialah ayat yang hanya mengandung satu pena'wilan dan mutasyabih
ialah ayat yang mengandung beberapa kemungkinan penakwilan.
4. Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan mutasyabih ialah ayat yang tidak
sempurna pemahamannya kecuali dengan merujuk kepada ayat lainnya.
5. Muhkam ialah ayat yang tidak dihapuskan dan mutasyabih ialah ayat yang
sudah dihapuskan.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat Muhkamat dalam al-Qur’an dengan ayat-
ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan
ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan
ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma Allah dan sifat-sifat-Nya, antara
lain:
1. Contoh Ayat Muhkamah.
ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِمنْ َذ َك ٍر َوُأ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬
‫ش ُعوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َعا َرفُوا ِإنَّ َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم‬ ُ َّ‫يَا َأيُّ َها الن‬
‫ِإنَّ َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬ ‫هَّللا‬

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang


laki-laki dan seorang perempuan dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”. (QS.
Al-Hujarat: 13)

ُ َّ‫يَا َأيُّ َها الن‬


‫اس ا ْعبُدُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم َوالَّ ِذينَ ِمنْ قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
Artinya: “Hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 21)

‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬


Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS.
Al-Baqarah: 275).

2. Contoh ayat Mutasyabih.


‫ستَ َوى‬ ِ ‫ال َّر ْح َمنُ َعلَى ا ْل َع ْر‬
ْ ‫شا‬
Artinya: “ Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas
Arsy”. (QS.Thaha: 5).

ُ‫ُك ُّل ش َْي ٍء هَالِ ٌك ِإاَّل َو ْج َهه‬


Artinya: “tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah”. (QS. Al-
qashash: 88)
‫ق َأ ْي ِدي ِه ْم‬
َ ‫يَ ُد هَّللا ِ فَ ْو‬
Artinya: “tangan-tangan Allah diatas tangan mereka”. (QS. Al-Fath: 10).

E. Kualifikasi Masdar Yang Dapat Dijadikan Masdar Al-adillah

Sebelumnya Perlu kita ketauhi bahwasannya hadits itu terbagi menjadi 3 bagian
sesuai dengan tingkatannya. Detilnya adalah; Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan
Hadits Dhoif.Adapun Hadits yang bisa digunakan secara mutlak sebagai sandaran di
dalam hukum islam hanyalah hadits shahih dan hadits hasan saja.

1. Hadist Shahih
Kata shahih berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan wa
shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar,
yang sah dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih sebagai
lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadist shahih menurut bahasa berarti
hadist yang sah, hadist yang sehat atau hadist yang selamat.
Hadist shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah sebagai berikut: "Hadist
yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan
oleh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada
kejanggalan dan tidak ber'illat."
Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan hadist dengan lebih ringkas yaitu:
"Hadist yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna
kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber'illat dan tidak syadz."
Dari kedua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadist shahih merupakan
hadist yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya
bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak
ada cacat atau rusak. Para ulama telah bersepakat atas penggunaan hadits ini
sebagai sandaran hukum islam dan tidak ada perdebatan di dalamnya.

2. Hadits Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh
orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak
cacat dan tidak ganjil.
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut : “Tiap-tiap hadist
yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-
nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula
melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan
kelemahan dalam sanadnya. Disamping itu, hadist hasan hampir sama dengan
hadist shahih. Perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan
rawinya tidak kuat hafalannya. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi
suatu hadist yang dikategorikan sebagai hadist hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c. Sanad-sanadnya bersambung,
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e. Tidak mengandung 'illat.

Selain itu terdapat macam-macam hadist hasan. Para ulama dan ahli hadist
membaginya menjadi dua macam yaitu:

1) Hadist Hasan Li-Dzatih


Adalah hadist hasan dengan sendirinya. Yakni hadist yang telah
memenuhi persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-
Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal
kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan
belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang shahih
2) Hadist Hasan Li-Ghairih
Hadist Hasan Li-Ghairihi adalah hadist hasan yang bukan dengan
sendirinya. Artinya, hadist tersebut berkualitas hasan karena dibantu
oleh keterangan hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang
pertama dapat terangkat derajatnya oleh keberadaan hadist yang kedua.

Dalam hal kehujjahan hadis hasan, jumhur ulama mengatakan bahwasanya


kehujjahan hadis hasan sebagaimana kehujjahan hadis sahih, baik hasan li
dhatihi maupun hasan li ghayrihi. Bahkan ada segolongan ulama yang
memasukkan hasan li dhatihi dan hasan li ghayrihi sebagai bagian dari
kelompok hadis sahih, misalnya al-Hakim al-Naysaburi, Ibn Hibban, dan Ibn
Khuzaymah dengan catatan bahwa hadis hasan secara kualitas berada di
bawah hadis sahih sehingga apabila terjadi pertentangan yang dimenangkan
adalah hadis sahih.

F. Metode Menguji Otentisitas Hadits


Keaslian suatu hadis bisa diketahui jika ada unsur-unsur dibawah ini;
1. Sanadnya bersambung hingga Nabi Muhammad
Sanad dapat diartikan sebagai urutan perawi hadis mulai dari Rasulullah sampai
dengan orang terakhir yang meriwayatkan hadis. Umumnya, hadis yang kita
terima sekarang sudah dalam bentuk ringkasnya. Namun, sebenarnya, suatu hadis
dapat ditakar sahih atau tidaknya adalah dari ketersambungan sanadnya sampai ke
Rasulullah.
2. Perawi yang mengabarkan hadis itu kredibel dan bisa dipercaya
Untuk bisa dipercaya perkataannya, perawi hadis itu harus diteliti kredibilitasnya.
Penelitian mengenai sumber informasi ini dapat dilakukan dengan bertanya pada
orang-orang-orang yang pernah bertemu dengan perawi hadis itu. Di masa
sekarang, meneliti perawi hadis dapat dilakukan dengan menelaah biografi
masing-masing perawi di kitab-kitab klasik. Banyak buku biografi perawi hadis
yang mendokumentasikan tindakan-tindakan yang pernah dilakukan oleh perawi
tersebut. Jika seorang perawi hadis pernah kedapatan berbohong, maka hadisnya
langsung tertolak. Demikian juga jika sering bermaksiat atau pernah melanggar
nilai-nilai moral masyarakat setempat, maka hadisnya tidak bisa diterima secara
utuh.
3. Hafalan Perawi Kuat
Kualitas hafalan dan ingatan perawi juga perlu ditakar. Jikalau seorang perawi
sering lupa, maka hadisnya tidak bisa dikatakan shahih. Untuk perawi yang sering
lupa ini paling jauh masuk dalam kategori hadis hasan saja, Karena hafalannya
tidak sekuat yang shahih.
KESIMPULAN
Otonomi daerah adalah suatu hak, wewenang, serta kewajiban daerah otonom
guna untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan suatu pemerintahan dan
kepentingan suatu masyarakat daerah tersebut yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam
menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat
akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan
yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program
serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari.
Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun
program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui m nai bagaimana cara
menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.enge
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai