Anda di halaman 1dari 18

DALIL-DALIL SYAR’I

(Al- qur’an, AL- Hadis ,Ijma, Qiyas )


MAKALAH
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul fiqh
Pengampu : Dr.Muhamad Abrar M.Hum.

Disusun Oleh :

Nabila Azzahra B. 202102412

Nurul Hikmah B.202102024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan beribu-ribu nikmat serta kelancaran sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini, sholawat beserta salam mari kita haturkan kepada baginda besar kita yakni
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman gelap hingga zaman
terang seperti saat ini, alhamdulillah pada saat ini saya telah menyelesaikan makalah
tentang Pengertian, Sejarah dan Tujuan Balaghah.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Balaghah. Makalah
ini membahas tentang Pengertian, Sejarah dan Tujuan Balaghah.
Demikian makalah ini telah dibuat, penyusun menyadari makalah ini masih perlu
banyak penyempurnaan baik karena kesalahan penulisan maupun penjabarannya. Oleh
karena itu kritik dan saran apapun yang sifatnya membangun bagi penyusun dengan
senang hati akan diterima agar kedepannya kesalahan yang ada dapat diperbaiki lagi.

Leuwiliang, 13 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
BAB І............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1
BAB ІІ...........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................2
A. 1. Pengertian Dalil Hukum...............................................................................................................2
B. DALIL-DALIL SYAR’I YANG DI SEPAKATI............................................................................................3
1. Alquran........................................................................................................................................3
2. SUNAH/AL-HADIST.......................................................................................................................5
BAB ІІІ........................................................................................................................................................12
PENUTUP...................................................................................................................................................12
A. Kesimpulan....................................................................................................................................12
B. Kritik dan Saran..............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................12

ii
BAB І

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum-hukum Islam adalah ajaran yang dibangun atas argumentasi dan landasan yang
jelas dan kokoh. Terbentuknya hukum Islam tidaklah semata olah akal manusia, namun di
dalamnya terbangun sinergitas antara kehendak langit dan pengetahuan akal manusia. Di mana
kedua hal tersebut merupakan bagian dari hidayah atau petunjuk yang Allah berikan kepada
manusia sebagai bekal dalam menjalani kehidupannya di dunia.

Sebagai ajaran yang memiliki landasan dan dasar, para ulama sepakat bahwa dasar pokok dari
ajaran Islam adalah al-Qur’an. Di mana istilah dasar ini kemudian lebih dikenal dengan istilah dalil.
Dan dalil yang menjadi dasar hukum Islam disebut dengan dalil syar’iy. Secara Bahasa, dalil syar’iy (
‫( الش رعي ال دليل‬terdiri dari dua kata yaitu dalil (‫( دلي ل‬dan syar’iy (‫ ش رعي‬.(Secara etimologis, dalil
berasal dari bahasa Arab yang bermakna petunjuk atas sesuatu yang hendak dituju (al-mursyid ila
al-mathlub). Sedangkan penambahan kata syar’iy yang artinya sesuatu yang bersifat ke-syariahan,
untuk membedakannya dengan dalil-dalil lain yang tidak dikatagorikan syar’iy seperti dalil logika,
dalil matematika, dalil sains, dan dalil-dalil lainnya.

Sedangkan secara terminologi ilmu Ushul Fiqih, dalil syar'iy didefinisikan sebagaimana berikut:.

‫يستدل بالّنظرا لّصحيح فيه عىلى حكٍم شرعٍّي عملٍّيعلى السبيل القطع أو الّظّن ما‬
“Setiap sesuatu yang dijadikan petunjuk dengan pengamatan yang benar atas hukum syariah yang

bersifat amali/praktis, baik dengan jalan yang qath'i atau zhanni

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Dalil ?
2. Apa saja pembagian serta Pengertian dalil – dalil Syar’i?

A. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Dalil
2. Untuk mengetahui pembagian serta Pengertian dalil – dalil Syar’i?

1
BAB ІІ

PEMBAHASAN

A. 1. Pengertian Dalil Hukum


Dalam kajian ilmu ushul fikih, para ulama mengartikan dalil secara
etimologis sebagai sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang
dikehendaki atau dicari1

Adapun pengertian dalil secara terminologisnya adalah sebagai berikut :

‫يستدل بالّنظرا لّصحيح فيه عىلى حكٍم شرعٍّي عملٍّي على السبيل القطع أو الّظّن ما‬
Artinya : Segala sesuatu yang berdasarkan teori yang benar dapat menunjukkan
adanya hukum syarak suatu perbuatan, baik secara qat’i maupun secara zhanni”.

Berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang dalil menurut para ulama ushul fiqh,
di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat
mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek
informatif yang diinginkannya.

2. Menurut Al-Amidi, para ahli ushul fiqh biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang
mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek
informatif”.

3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syarak yang bersifat
praktis.2

Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan Alquran dan Sunah sebagai dalil,
namun mereka berbeda pendapat mengenai dalil-dalil selebihnya; ada yang
menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima

1
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab at-Ta‘rifat (Jeddah: al-Haramain, t.t.), hlm. 105
2
DR. MOH. BAHRUDIN, M. Ag.,Ilmu Ushul Fiqh (CV. Anugrah Utama Raharja:2019) hal 29

2
sebagiannya dan menolak yang selebihnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalil
adalah merupakan sesuatu yang dari padanya diambil hukum syara

yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qath’I
atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran

Berdasarkan literatur yang ada dapat dijelaskan bahwa jumhur ulama telah bersepakat
menetapkan empat sumber dalil Alquran, Sunah, Ijmak, dan Qiyas sebagai dalil yang
disepakati.

B. DALIL-DALIL SYAR’I YANG DI SEPAKATI


1. AL- QUR’AN
a) Pengertian Al qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran dalam perspektif
etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bisa
dimasukkan pada wazan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang
tertulis padanya3 Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani, pengertian
Alquran secara ialah :
‫القران هو منزل على الر سول والمكتوب على المصاحف المنقول عنه نقلال متواتيرا بال شبهة‬

Artinya : Alquran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis
dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir,
tanpa ada keraguan.
Alquran merupakan kitab suci agama Islam dan umat Islam memercayai bahwa Alquran
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah swt. yang diperuntukkan bagi manusia,
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Alquran ialah wahyu berupa
kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw., isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara
bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan
serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
b) Kedudukan Alquran sebagai Sumber Hukum

3
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh : Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hlm.49

3
Alquran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia
agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan
hendaknya ia berhakim kepada Alquran.
c) Hukum-hukum dalam Alquran
Hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3 macam, yaitu:
Pertama; hukum-hukum i’tiqadiyah, yakni, hukum-hukum
yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya dan hari
pembalasan.
Kedua; hukum-hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang
berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat
yang tercela.
Ketiga; hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan
itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu ushul fiqh4
hukum-hukum yang ada dalam Al Qur`an pada pokoknya terbagi dua macam,
yaitu:
Hukum-hukum dalam Alquran Hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada
3 macam, yaitu: Pertama; hukum-hukum i’tiqadiyah, yakni, hukum-hukum yang
berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-
malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya dan hari pembalasan. Kedua; hukum-
hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat
yang tercela. Ketiga; hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan perkataan,
perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama manusia. Kategori yang ketiga
inilah yang disebut fiqh Alquran dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu ushul fiqh
a. Hukum-hukum yang mengatur bagaimana hubungan manusia terhadap
Tuhannya, Hubungan tersebut ialah menyangkut tatacara peribadatan

4
DR. MOH. BAHRUDIN, M. Ag.,Ilmu Ushul Fiqh (CV. Anugrah Utama Raharja:2019)hal 29

4
seperti shalat, puasa dan lain-lain.
b. Hukum-hukum yang mengatur bagaimana hubungan antar sesama
manusia. Hukum-hukum yang dimaksud disebut dengan hukum mu`amalat.
Hukum Al Qur`an yang mengatur tentang mu`amalat tersebut terdiri dari
empat macam, yaitu:
1. Yang berhubungan dengan masalah rumah tangga seperti perkawinan,
perceraian, pembagian harta peninggalan dan lain-lain.
2. Yang berhubungan dengan jihad seperti hukum berperang, syarat wajib
berperang, urusan tawanan, hal-hal kesopanan dalam berperang, dan
pembagian harta rampasan.
3. Yang berhubungan dengan mu`amalat perdagangan seperti jual beli,
sewa-menyewa dan lain-lain.
4. Yang berhubungan dengan hukuman terhadap tindak kejahatan seperti
qishas dan hudud.5

2. SUNAH/HADIST
a) Pengertian Sunah
Secara etimologi Hadis berasal dari kata ‫حيدث – حدث‬ (artinya Khabar) maksudnya
berita, atau ungkapan, pemberitahuan yang diungkapkan oleh perawi hadis dan
sanadnya bersambung selalu menggunakan kalimat haddatsana (memberitakan
kepada kami)6
Secara terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli hadis,
namun makna yang dimaksud adalah sama. Al-Ghouri memberi definisi sebagai
berikut;
‫ أو صفة‬،‫ أو تقرير‬،‫ أو فعل‬،‫ما أضيف إيل النبي من قول‬
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan, taqrir,
atau sifat.7
b) Kedudukan Hadis Terhadap al-Qur’an

5
Bakry Hasbullah, Pokok-pokok Ilmu Agama Islam, Siti Syamsiyah, Solo, 1961, hal.33
6
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2015), hal.2
7
Septi Aji Fitra Jaya Al- Qur’an dan hadist sebagai sumber islam (INDO-ISLAMIKA, Volume 9, No. 2 Juli-Desember
2019/1440)hal.211

5
Hadis dalam Islam menempati posisi yang sacral, yakni sebagai sumber hukum setelah
al-Qur’an. Maka, untuk memahami ajaran dan hukum Islam, pengetahuan terhadap
hadis haruslah suatu hal yang pasti. Rasulullah saw. adalah orang yang diberikan
amanah oleh Allah swt untuk menyampaikan syariat yang diturunkannya untuk umat
manusia, dan beliau tidak menyampaikan sesuatu terutama dalam bidang agama,
kecuali bersumber dari wahyu. Oleh karenanya kerasulan beliau dan kemaksumannya
menghendaki wajibnya setiap umat Islam untuk berpegang teguh kepada hadis Nabi
saw.
Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an:
b) Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an. Maksudnya,
yang dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih tinggi. Maka eksistensi dan
keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada eksistensi al-Qur’an. c) Sikap para
sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu jika bermaksud mencari
jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka merreka
merujuk kepada Sunnah yang mereka ketahui, atau bisa menanyakan kepada sahabat
yang lain. d) Hadis Muadz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-Qur’an
dan Sunnah. “Sesungguhnya ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz bin Jabal ke
Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaiamana engkau memutuskan perkara jika
diajukan kepadamu?” Maka Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan
kitab Allah (al-Qur’an).” Rasul bertanya lagi, “Apabila engkau tidak menjumpai
jawabannya di dalam kitab Allah?” Muadz berkata, “Aku akan memutuskan dengan
Sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya lagi, “Bagaiaman jika engkau tidak menemukan di
dalam Sunnah dan tidak di dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad
dengan mempergunakan akalku.” Rasul saw menepuk dada Muadz seraya berkata,
“Alhamdulillah atas taufik yang telah dianugerahkan Allah kepada utusan Rasulnya.” 8
c) Fungsi Hadis Terhadap al-Qur’an
Hubungan Al-Sunnah dengan Al-qur'an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung di
dalamnya sebagai berikut :
a.Sebagai Muaqqid
Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Alqur'an dikuatkan dan
dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat dalam Alqur'an dan
dikuatkan oleh Al-sunnah.

8
Ibid hal.214

6
Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Alqur,an yang belum jelas, dalam hal ini
ada tiga hal :
1).Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Alqur'an yang masih mujmal, misalnya
perintah shalat dalam Alqur'an yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga
tentang zakat, haji dan shaum. Dalam Shalat misalnya
2).Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq) Misalnya, Alqur'an memerintahkan untuk
berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya.
3).Mentakhshishkan keumuman Misalnya, Alqur,an mengharamkan tentang bangkai, darah
dan daging babi, kemudian al-Sunnag mengkhususkan dengan memberikan pengecualian
kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4).Menciptakan hukum baru. Misalnya, Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang
bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam
Alqur'an.9

3. IJMA
Pengertian Ijma
Kata Ijma secara bahasa berarti: kesepakatan atau konsensus, seperti pada ayat berikut ini:
Jumhur ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa ' ijma ' adalah Kesepakatan seluruh
mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafat Rasulullah saw.akan suatu hukum syariat
yang amali.
Ijma sebagai hujjah
Kehujjahan Ijma didasarkan atas beberapa alasan: a.Alasan Alquran Lafadz ulil amri,
pemegang urusan mencakup pada urusan duniawi, seperti kepala negara, mentri dan
lainnya, dan mencakup pemegang urusan agama, seperti para mujtahid, para mufti dan para
ulama. Karena itu jika masing-masing dari mereka telah sepakat untuk menetapkan suatu
hukum agama, maka wajib diikuti.
b.Alasan Hadits . Umatku tidak sepakat untuk membuat kesalahan.
38 Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Muslim, di sisi Allah pun dipandang baik juga.
Abdul Hamid Hakim menyebutkan, bahwa ijma itu bukanlah hujjah karena dirinya, akan

http://file:Upi .edu . Hukum, Sumber Dan Dalil dikutip Pukul 15.00

7
tetapi hujjah itu karena sandarannya kepada Alquran dan Al-Sunnah, karena itu ahli ushul
fiqih menyebutkan, ijma itu bukanlah dalil yang menyendiri. Firman Allah AlNisa:59

3. Unsur-unsur Ijma Dengan memperhatiakn definisi ijma di atas maka dapat dikatakan
bahwa unsur-unsur ijma itu:
a. Terdapat beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan baru bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid.
b. Harus ada kesepakatan di antara mereka
c. Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatannya, misalnya Qadhi
dengan keputusannya, atau dengan perkataannya, misalnya dengan fatwa.
d. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah disebut ijma.10
4.Macam macam Ijma
Macam-macam Ijmak. Berdasarkan proses bagaimana kesepakatan atau konsensus dari
antara para mujtahid itu terjadi, ijmak dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
ijmak sharih dan sukuti. Kedua jenis ijmak dan statusnya dalam sistem penetapan hukum
Islam akan diuraikan berikut ini.
1) Ijmak sharih atau ijmak qauli adalah kesepakatan para mujtahid pada zamannya tentang
hukum suatu perkara di mana seluruh mujtahid menyatakan pendapat dengan jelas
melalui perkataan (qaul) atau perbuatan nyata (fi‘l).Secara teknis, proses ijmak sharih ini
terbentuk apabila para mujtahid berkumpul melalui sebuah forum, kemudian masing-
masing mujtahid menyatakan pendapat hukumnya dengan jelas mengenai suatu
masalah yang menjadi objek kajian dan pendapat mereka mengenai hal tersebut
menyatu. mujtahid mengenai masalah tersebut sama.
Contoh ijma sharih:
2) Ijma Sukuti
Yaitu Ijma yang dengan tegas persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid, sedang
sebagian lainnya diam, tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang.
Contoh:Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang
diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para
sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan

10
ibid hal.32

8
diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa
tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti. 11

Ijma bentuk pertama disebut juga ijma ijma Haqiqi, yang menjadi hujjah menurut ulama
Jumhur, sedang ijma bentuk ke dua disebut ijma I'tibari, menurut jumhur bukan hujjah,
hanya ulama - ulama Hanafiyah yang memandang hujjah, karena diamnya mujtahid
dipandang menyetujui apabila masalahnya telah dikemukakan kepada mereka, dan
telah diberiwaktu untuk membahasnya, dan diamnya bukan karena takut. Dilihat dari
sisi prosesnya, Ijma itu dihasilkan oleh para mujtahid, karena itu termasuk pada salah
satu bentuk Ijtihad. Jika dilihat dari sisi hukum yang dihasilkan dengan konsensus para
ulama yang harus ditaati, maka Ijma ini ditempatkan sebagai sumber hukum yang ketiga
sesudah Alquran dan Al-Sunnah.

4. QIYAS
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya12
Sebagai contoh adalah mengukur kain atau pakaian dengan meteran. Sedangkan
pengertian secara istilah menurut ulama ushul fiqh, qiyas adalah :
menyamakan hukum suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada hukum kejadian lain
yang ada nashnya lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu pada illat atau
alasan hukumnya.
a. Rukun-Rukun Qiyas
a. Asal
Yaitu sesuatu yang sudah dinashkan hukumnya yang menjadi tempat
mengqiaskan, dalam ushul fiqih disebut al-Ashlu, atau al-maqis 'alaih, / musyabah
bih.
b.Cabang
Yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya, ia yang diqiaskan, dalam ilmu
ushul fiqih disebut al-far'u, / al-maqis / al musyabbah.
c.Hukum Asal
Yaitu hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi
11
https://suduthukum.com/2015/01/macam-macam-ijma.html di kutip pukul 16.30
12
127 Wahbah al-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami., hlm. 571

9
hukum pada cabang.
d.Illat
Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada
dan tidak adanya hukum. Karena adanya illat itu maka hukum itu ada, dan jika illat
itu tidak ada maka hukum itu juga tidak ada
Contoh -Contoh qiyas

N Pokok cabang Ilat hukum


O

1) Khamer wisky memabokan haram

2) Gandum Beras/Padi Makanan Pokok Wajib zakat

3) Makan harta yatim Bakar harta yatim Merusak Harta Haram

4. Syarat Qiyas

a.Syarat-syarat Pokok 1).Hukum pokok itu masid ada atau berlaku/ tsabit, kalau tidak ada, hukum
tersebut harus dimansukh, maka tidak boleh ada pemindahan hukum. 2).Hukum yang ada pada pokok
harus hukum syara' bukan hukum akal atau bahasa 3).Hukum Pokok tidak merupakan hukum
pengecualian, seperti tetap dipandang sah puasanya orang yang lupa meskipun makan dan minum,
mestinya puasanya itu menjadi rusak, karena sesuatu tidak bisa tetap ada bersama adanya penghalang.
Namun tetap dipandang sah karena ada hadits yang mengecualikan. Maka seperti ini 47 tidak bisa jadi
pokok, karena itu tidak sah mengqiyaskan orang yang dipaksa kepada orang yang lupa. Hukum bagi
orang lupa hukum pengecualian.

b.Syarat-syarat Cabang

1).Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya mengqiaskan wudhu kepada
tayamum dalam wajibnya niat karena keduanya samasama taharah. Qiyas tersebut tidak benar, karena

10
wudhu ada sebelum Hijrah, sedang tayamum setelah Hijrah. Jika Qiyas itu dibenarkan berarti
menetapkan hukum sebelum adanya Illatnya.

2) Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri, yang menurut ulama Ushul ' apabila datang nash,
qiyas menjadi batal.

3). Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.

4).Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok

c.Syarat-syarat Illat

1).Illat Harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak ada hukum bila tidak ada
illat. 2).Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapat illat. Sebab adanya
illat tersebut adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa adalah illat wajibnya qishash,
memabukan adalah illat haramnya meminum minuman keras

5. Macam-macam Qiyas

Qiyas itu ada beberapa macam, antara lain:

1.Qiyas Aula Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum, dan yang disamakan atau yang
dibandingkan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada yang dibandingi ( mulhaq bih ).
Misalnya, membandingkan memukul orang tua kepada ucapan 'ah '. ( al-Isra : 23 ). Mengucapkan 'ah'
kepada orang tua dilarang dan haram karena Illatnya menyakiti. Memukul orang tua tentu lebih dilarang
karena selain menyakiti hati, juga menyakiti jasmani.

2.Qiyas Musawy Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum, dan illat hukum yang ada pada
yang dibandingkan / mulhaq, sama dengan illat hukum yang ada pada mulhaq bih. Misalnya mebakar
harta anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, dari sisi
merusaknya. Sedang makan harta anak yatim diharamkan ( Alquran : al-Nisa : 10). Maka membakar
harta anak yatim haram diqiaskan kepada memakannya, karena sama-sama merusak harta.

3.Qiyas al-Adwani Yaitu qiyas yang illat hukum yang ada pada yang dibandingkan / mulhaq, lebih rendah
dibandingkan dengan illat hukum yang ada pada mulhaq bih. Misalnya qiyas sebagian ahli Ushul,
tentang terlarangnya perhiasan perak bagi laki-laki diqiaskan kepada terlarangnya perhiasan emas bagi
laki-laki, karena persamaan illat khuyalaa ( sombong ). Maka Illat pada perak lebih rendah daripada illat
yang ada pada emas.

11
4.Qiyas Dilalah Yaitu qiyas di mana illat yang ada pada mulhaq / yang disamakan, menunjukan hukum,
tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Misalnya mengqiaskan harta milik anak kecil kepada harta
milik orang dewasa dalam kewajiban mengeluarkan zakat. Dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta
benda yang mempunyai sifat dapat bertambah. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat, harta
milik anak kecil tidak wajib dizakati, diqiaskan kepada ibadah haji. Haji tidak wajib bagi orang yang belum
dewasa. 5.Qiyas Syibhi Yaitu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiaskan kepada dua mulhaq bih (pokok ),
Maka diqiaskan kepada mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya,
seorang hamba sahaya yang dirusak oleh seseorang. Hamba yang dirusak itu bisa diqiaskan dengan
orang merdeka, karena sama-sama keturunan Adam. Dapat pula diqiaskan kepada harta benda, karena
keduaduanya sama-sama dapat dimiliki. Namun budak tersebut diqiaskan dengan harta benda, karena
sama dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan. Karena hamba itu diqiaskan kepada harta, maka
hamba yang dirusak itu dapat diganti dengan nilai.

BAB ІІІ

PENUTUP

A. Kesimpulan
1.

2. Pembagian kinayah
Dilihat dari maknanya:
a. Alqur’an
b. Sunah /Hadist
c. Ijma
d. Qiyas

12
B. Kritik dan Saran
Adanya makalah ini saya berharap dapat memberikan tambahan ilmu bagi
kita semua, umumnya dalam mata kuliah Ushul fiqh , dan khususnya tentang Al
qur’an ,Sunah,hadist,Ijma,Qiyas .
Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan dan
penjelasan pada makalah ini, mohon maaf atas kekurangan tersebut, saya sangat
berharap saran dan kritik dari pembaca terkait materi ini.

13
14
DAFTAR PUSTAKA

al-Jurjani, Ali bin Muhammad Kitab at-Ta‘rifat, Jeddah: al-Haramain, t.t


. BAHRUDIN, MOH .,Ilmu Ushul Fiqh (CV. Anugrah Utama Raharja:2019

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2015.


Septi Aji Fitra Jaya Al- Qur’an dan hadist sebagai sumber islam (INDO-ISLAMIKA, Volume 9, No. 2 Juli-Desember
2019/1440)

Anda mungkin juga menyukai