Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERKEMBANGAN FIQH/USHUL FIQH

Dosen pengampu Dr. H. Iskandar, M.Hum

Disusun oleh:

Selvia 2233030

Sovianti 2233029

Kelas 1B AKS

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2022
Kata pengantar

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Perkembangan Fiqh/ Ushul Fiqh” dapat
kami selesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca tentang perkembangan fiqh atau Ushul fiqh. Begitu pula atas
limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah
ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua
orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pembimbing kami,
Bapak Dr. H. Iskandar, M.Hum dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang membantu
kami dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan
Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi
perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami menerima
kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik
pada kesempatan berikutnya.

Terimakasih,
DAFTAR ISI

Cover....................................................................................i

Kata pengantar...................................................................ii

Daftar isi.............................................................................iii

BAB I Pendahuluan.............................................................1

1. Latar belakang...........................................................1

2. Rumusan masalah....................................................1

BAB II Pembahasan............................................................2

A. 1. Pengertian Fiqh dan ushul fiqh.............................2

2. Qawa'id Fiqhiyyah....................................................5

3. Hukum Islam...............................................................6

B. Tujuan mempelajari ushul fiqh ...................................7

C. Sejarah dan perkembangan ushul fiqh........................8

BAB III Penutup...................................................................9

1. Kesimpulan.................................................................9

2. Saran...........................................................................9

3. Daftar rujukan..............................................................9

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang

Ilmu ushul fiqih tumbuh pada abad kedua hijrah yang dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit
antara ahlul hadis dan ahlu al-ra’yi. Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijrah muncul
Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H), yang membukukan ilmu ushul fiqih dengan
karyanya yang bernama al-Risalah.

2. Rumusan Masalah

1. Mendeskripsikan pengertian Ushul fiqh, fiqh, Qawa'id Fiqhiyyah, dan Hukum Islam.

2.Mencari tau Tujuan dari mempelajari ushul fiqh.

3. Mendeskripsikan sejarah dan perkembangan ushul fiqh.

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQH, USHUL FIQH, QAWA'ID FIQHIYYAH, DAN HUKUM ISLAM


1. Pengertian Ushul Fiqh dan Fiqh
Di dalam KBBI, ditemukan kata "usuluddin (ilmu usul)", yang artinya: pengetahuan mengenai
pokok dasar hukum Islam( yaitu mengenai Alquran, Sunnah Nabi, ijma' dan qiyas).² meskipun
kata dan pengertian yang terdapat dalam buku tersebut tidak sepenuhnya tepat, namun
setidaknya dapat dipahami bahwa ilmu Usul (tepatnya ilmu Ushul fiqh) merupakan ilmu yang
berkaitan dengan dasar-dasar hukum Islam. Agar kekeliruan yang sama tidak terjadi lagi, di
bawah ini dijelaskan secara terperinci pengertian Ushul fiqh, dimulai dari penjelasan bentukan
kata dan maknanya.
Ushul fiqh merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Arab: ushul al-fiqh. Kata ini
dibentuk dari dua kata yaitu, ushul dan fiqh, dimana makna masing-masing dari kedua kata
tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan makna kata ushul fiqh. Oleh karena itu,
sebaiknya dijelaskan lebih dahulu pengertian dari masing-masing kata tersebut.
a. Pengertian Ushul
Di dalam bahasa Arab, kata ushul merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ashl, yang secara
etimologi berarti: sesuatu yang menjadi landasan bagi yang lain.³
Adapun dalam pengertian terminologi, kata al-ashl mengandung beberapa makna, antara lain,
menunjuk pengertian:
1. Ketentuan dasar, contoh: (agama Islam dibangun di atas lima ketentuan dasar).
2. Hukum yang dipedomani, contoh: dalam hal terjadi gugatan perdata dalam suatu
perkongsian dagang terhadap pembagian margin keuntungan yang dicurigai tidak fair,
sedangkan penggugat tidak mempunyai bukti yang cukup, maka hakim memutuskan: (hukum
yang dipedomani: tidak ada kewajiban pembagian keuntungan lain).
3. Yang dominan, contoh: jika suatu kalimat mengandung beberapa arti (makna), maka kaidah
menegaskan bahwa: (makna yang dominan dalam suatu kalimat adalah makna hakikatnya).
4. Unsur (rukun) qiyas (analogi) yang pertama, yang menjadi rujukan untuk menetapkan hukum
baru yang belum ada ketentuan hukumnya. Contoh: wajibnya zakat perdagangan merupakan
al-ashl bagi zakat profesi.

5. Dalil (dasar), contoh: (dasar wajibnya shalat adalah ketentuan Alquran dan hadis).

Dari pengertian-pengertian al-ashl yang lima di atas, maka pengertian yang kelima
(menunjuk pengertian dalil) adalah pengertian yang sesuai dengan maksud kata Ushul fiqh.
Dengan kata lain, ushul fiqh mengandung arti: dalil-dalil untuk menetapkan hukum fiqh, dan
dalil-dalil tersebut dapat berupa Al-Quran (al-kitab) Sunnah (hadis), al-ijma, al-qiyas, dan lain-
lain.

b. Pengertian Fiqh
Kata fiqh berasal dari bahasa Arab; fiqh, yang secara etimologi, mengandung makna: mengerti
atau paham. Contohnya: Firman Allah SWT. Pada surah al-isra'(17): 44

Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti
tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.
Dengan demikian, jika seseorang berkata: (saya paham), maksudnya: ia mengerti tujuan
perkataan seseorang. Akan tetapi, sebagian ulama menjelaskan, mengerti atau paham yang
dimaksud dalam kata fiqh (sebagai bagian dari kata ushul fiqh), bukanlah sekadar paham
terhadap hal-hal yang dengan mudah dapat mengerti, melainkan pemahaman yang mendalam.
Oleh karena itu, menurut pendapat ini, orang yang dapat memahami bahwa api itu panas, atau
harimau adalah binatang buas, belum dapat disebut sebagai faqih (orang yang paham). Seorang
faqih adalah orang yang memiliki seperangkat pengetahuan dan keahlian untuk memahami hal-
hal yang berkaitan dengan masalah fiqh yang sulit.
c. Fiqh sebagai Suatu Disiplin Ilmu
Adapun dalam pengertian terminologi (istilah), terdapat variasi definisi (ta'rif) fiqh, antara ,
definisi yang dikemukakan oleh Ibnu al-Hajib, sebagaimana yang dikutip Ibnu Qudamah:
Pengetahuan tentang hukum-hukum Syara' yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
bersifat parsial, yang berasal dari dalil-dalil yang spesifik, melalui cara penelitian terhadap dalil.
Sedangkan definisi yang dikemukakan Ibnu as-Subki ialah:
Pengetahuan tentang hukum-hukum Syara'yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
diusahakan dari dalil-dalil Syara'yang spesifik.
Di antara dua definisi di atas, definisi kedua yang di pandang lebih tepat untuk menunjuk
pengertian fiqh, karena lebih sederhana, sekaligus menggambarkan pengertian fiqh secara
lengkap (jami' wa mani ').
Dari definisi yang kedua di atas dapat diketahui:
1. Fiqh adalah seperangkat ketentuan hukum-hukum Syara' yang berasal dari Allah SWT.
Melalui Wahyu yang disampaikan kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw. Dengan demikian,
hukum akal (logika), hukum kebiasaan (al-'adat), hukum kausalitas, dan hukum-hukum
lainnya yang murni berasal dari hasil pemikiran manusia, tidak termasuk dalam pengertian
dan pembahasan fiqh.
2. Fiqh berkaitan dengan perbuatan manusia. Artinya: masalah-masalah yang tidak termasuk
dalam kategori perbuatan manusia, tidak termasuk dalam pembahasan fiqh. Misalnya: yang
berkaitan dengan keimanan dan kepercayaan; masalah ini dibahas dalam ilmu Kalam atau
ilmu tauhid. Demikian juga dengan masalah-masalah akhlak, dibahas dalam ilmu akhlak.
3. Hukum-hukum fiqh itu sendiri didapat melalui usaha penelitian sungguh-sungguh yang
dilakukan Mujtahid untuk menggali dan memahami nash-nash (al-nushush) Syara', baik Al-
Quran maupun hadis, sehingga Mujtahid tersebut dapat mengetahui bahwa hukum dari
suatu perbuatan tertentu sesuai dengan yang ditetapkan Allah SWT.
4. Hukum yang pasti benar hanyalah yang secara jelas dan langsung berasal dari Allah SWT.
Oleh karena itu, menurut ilmu Ushul fiqh, ketentuan hukum tentang wajibnya shalat lima
waktu, puasa ramadhan, zakat, dan haji, atau tentang haramnya membunuh tanpa alasan
yang sah, makan babi, mencuri, berzina, dan meminum minuman keras, tidak termasuk
dalam kategori fiqh, karena tingkat kebenaran ketentuan-ketentuan hukum tersebut
bersifat jelas dan pasti.
d. Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin Ilmu
Di atas telah dijelaskan pengertian etimologi dan terminologi dari kedua kata Ushul dan fiqh,
yang dari kedua kata tersebut terbentuk kata majemuk ushul fiqh (ushul al-fiqh). Selanjutnya
dibawah ini dijelaskan definisi ushul fiqh sebagai suatu disiplin ilmu.
Para ulama mengemukakan definisi ushul fiqh secara agak berbeda-beda, sesuai dengan
penekanan makna dan sudut pandang mereka masing-masing. Ibnu Qudamah, misalnya,
mendefinisikan ushul fiqh:
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat digunakan menarik kesimpulan hukum syara'
yang parsial dari dalil-dalilnya yang spesifik.
Sementara Ali Hasbullah mengemukakan definisi ushul fiqh dengan:⁴
Sekumpulan kaidah yang digunakan untuk menarik kesimpulan hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil yang spesifik.
Sedangkan al-Baidhawi mendefinisikan:
Pengetahuan tentang dalil-dalil Fiqh secara umum, dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-
dalil tersebut, serta tentang hal ihwal Mujtahid.
Apabila ketiga Definisi di atas dipadukan, maka dapat diketahui bahwa ushul fiqh terdiri atas
beberapa unsur sebagai berikut.
1. Ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu
2. Ushul fiqh merupakan sekumpulan dalil dan kaidah atau rumusan-rumusan yang bersifat
umum, maka ia tidak secara langsung menunjuk hukum-hukum syara' secara terperinci.
3. Kaidah-kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan melahirkan
hukum-hukum syara'.
4. Ditegaskan pula, bahwa hukum-hukum fiqh yang dihasilkan itu bersifat amaliyah (perbuatan
manusia (baik aktif/berbuat, maupun pasif/tidak berbuat)). Artinya, bukan yang berkaitan
dengan akidah/kepercayaan/keyakinan, karena hal itu dibahas dalam ilmu Kalam.
Hukum-hukum fiqh yang disimpulkan dari Al-Quran dan hadis merupakan hasil ijtihad. Artinya,
hukum-hukum tersebut tidak secara langsung ditegaskan oleh Al-Quran dan Sunnah, tetapi
lahir berdasarkan hasi pemikiran dan kerja keras para ulama dalam memahami hukum-hukum
yang terdapat dalam nashsh-nashsh Alquran dan Sunnah/hadis.
6. Karena hukum-hukum tersebut tidak secara langsung berasal dari Alquran dan sunnah,
maka tingkat kekuatan hukum-hukum tersebut hanya bersifat zhanni (relative, kuat dugaan),
bukan bersifat qath'i (absolute, pasti benar).

2. Qawa'id Fiqhiyyah
Al-qawa'id Al-fiqhiyyah terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu, qawa'id dan
Fiqhiyyah. Kata qawa'id merupakan bentuk jamak (plural) dari kata qa'idah. Kata ini telah
diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi kaidah, dengan pengertian yang lebih kurang sama
dengan yang terdapat dalam bahasa Arab.⁵
Lebih jauh dapat dijelaskan, bahwa di dalam penggunaan bahasa Arab, kata qawa'id secara
etimologi berarti asas atau dasar dari pondasi,⁶ baik dalam pengertian konkret, seperti kata
qawa'id al-buyut yang berarti fondasi bangunan rumah, maupun dalam pengertian abstrak,
seperti, qawa'id ad-din, yang berarti dasar-dasar agama.⁷
Penggunaan kata qawa'id dalam pengertian fondasi dapat ditemukan dalam Alquran, antara
lain, firman Allah SWT. Pada surah Al-Baqarah (2): 127:
‫ت َواِسْمٰ ِع ْي ۗ ُل‬
ِ ‫َواِ ْذ يَرْ فَ ُع اِب ْٰر ٖه ُم ْالقَ َوا ِع َد ِمنَ ْالبَ ْي‬
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail.
Demikian juga firman Allah SWT pada surah an- Nahl (16): 26:

‫هّٰللا‬
ِ ‫فَاَتَى ُ بُ ْنيَانَهُ ْم ِّمنَ ْالقَ َو‬
‫اع ِد‬

Maka Allah menghancurkan bangunan rumah-rumah mereka dari fondasi-fondasinya.

Dengan demikian jika disebut qawa'id, maka secara etimologi, yang dimaksud adalah dasar-
dasar atau fondasi-fondasi.
Adapun pengertian kata qa'idah secara terminologis, terdapat beberapa definisi, antara lain,
sebagai berikut.
Menurut ath-Thahanawi, ulama menggunakan kata qa'idah (kaidah) dalam beberapa
pengertian yang lebih kurang sama dengan pengertian dasar, qanun (undang-undang),
dhabith (catatan penting), dan maqashid (tujuan), yang menurut at-Taftazani (791 H/1384
M), secara umum kata kaidah menunjuk pengertian: Ketentuan yang bersifat umum yang
sesuai terhadap semua bagian-bagiannya yang bersifat parsial, ketika hendak mengetahui
ketentuan hukum yang bersifat parsial tersebut daripadanya.
Menurut Abu al-Baqa' al-Kafawi al-Hanafi ( w 1094 H ): Qadhiyyah kulliyyah (preposisi yang
bersifat umum) yang secara potensial mencakup semua ketentuan hukum yang bersifat juz'i
yang berada dalam ruang lingkupnya.
Sementara itu, al-Jurjani (w 816 H) mendefinisikan qawa'id: Qadhiyyah kulliyyah (preposisi
yang bersifat umum) yang dapat diterapkan kepada semua juz'iyah (parsial)-nya.
Sedangkan menurut at-Taftazani (w. 791H)¹²: Hukum yang bersifat kulli (yang bersifat umum)
yang dapat diterapkan kepada semua juz' iyyah-nya yang dari kaidah tersebut dapat
diketahui hukum-hukumnya.
Dari uraian di atas jelas bahwa kata kaidah memberi pengertian yang bersifat umum, yaitu
suatu ketentuan yang kulli yang dapat diterapkan kepada semua juz'i (parsial)-nya.
Lebih dari itu, sebagaimana diketahui, istilah kaidah juga berlaku pada semua cabang ilmu,
sehingga kita mengenal istilah Qawa'id ushuliyyah (kaidah-kaidah ilmu Ushul fiqh), qawa'id
nahwiyyah (kaidah-kaidah dalam ilmu nahwu) dan qawa'id qanuniyyah (kaidah-kaidah
perundangan-undangan).

4. Hukum Islam
Hukum Islam merupakan kata majemuk yang masing-masing kata-katanya pada mulanya
berasal dari bahasa Arab yaitu, hukum dan Islam. Akan tetapi, penggunaan kedua kata
tersebut dalam bentuk kata majemuk, hanya digunakan dalam bahasa Indonesia, sedangkan
di dalam bahasa Arab sendiri, penggunaan kata majemuk tersebut tidak dikenal.
Di dalam kamus Bahasa Indonesia, ditemukan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
hukum Islam ialah: peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan kitab Al-Quran; hukum syara'.¹⁹ Tentu saja definisi tersebut juga tidak
memenuhi pengertian hukum Islam yang biasa dipahami oleh para akademisi di Indonesia.
Sebab hukum Islam tidak dibatasi hanya yang berkaitan dengan perbuatan manusia pada
umumnya, dimana ia tidak mencakup masalah akidah/kepercayaan dan akhlak. Di samping
itu, sumber hukum Islam bukan hanya dari Alquran, tetapi juga dari Sunnah, dan melalui
berbagai metode penemuan hukum yang dikenal dalam ushul fiqh.

Untuk memudahkan pemahaman, secara sederhana dapat dikatakan, sebenarnya yang


dimaksud dengan hukum Islam tidak lain dari terjemahan makna fiqh Islam. Dengan
demikian, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jika disebut kata hukum Islam, maka
maksudnya adalah, seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara' yang bersifat
terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang dipahami dan digali dari sumber-
sumber (Al-Quran dan hadis) dan dalil-dalil syara' lainnya (berbagai metode ijtihad).

B. TUJUAN MEMPELAJARI USHUL FIQH

Dari uraian sebelumnya, sepintas telah tergambar bahwa ilmu ushul fiqh memiliki peran yang
amat penting dalam menggali dan menemukan ketentuan-ketentuan hukum Islam/fiqh dari
sumber hukum Islam itu sendiri, yaitu firman Allah dan hadis nabi, mengenai peristiwa-
peristiwa hukum yang terjadi.
Dengan menggunakan analogi ushul fiqh sebagai bagian proses produksi, sulit membayangkan
suatu barang/produk dapat dihasilkan, tanpa adanya alat/mesin produksi yang menghasilkan
suatu produk, dimana ushul fiqh berperan sebagai mesin produksi tersebut. Karena itu, secara
mitodologis dapat dikatakan, seseorang baru dapat dikatakan sebagai ahli hukum Islam/ulama
fiqh, apabila menguasai ilmu ushul fiqh. Sebaliknya, orang yang hanya mengetahui ilmu fiqh
tanpa menguasai ilmu ushul fiqh, dapat dengan mudah keliru dan salah dalam menerapkan
pengetahuannya pada kasus-kasus hukum yang dihadapkan kepadanya. Sebab, pengetahuan
fiqhnya itu hanya berdasarkan hafalan saja, tanpa landasan yang kokoh dan pemahaman yang
mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum Islam.

Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan, tujuan utama mempelajari ushul
fiqh ialah, untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh pada dalil-dalil syara', baik Al-Quran
maupun Sunnah sehingga menghasilkan hukum-hukum syara'.

C. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH

Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat
untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya
dengan fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu
ushul fiqh. Berikut ini dijelaskan sejarah dan perkembangan ushul fiqh yang dibagi dalam
beberapa periode.

1. Periode Sahabat

Fiqh mulai dirumuskan pada periode Sahabat, yaitu setelah wafatnya Rasulullah Saw. Sebab
pada masa hidupnya Rasulullah Saw. Semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada
beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat
beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad
mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah Saw. Hal ini karena Rasulullah Saw adalah satu-
satunya pemegang otoritas kebenaran agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.

Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya
para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang
mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam
rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Para sahabat Rasulullah Saw, selain karena kedekatan mereka kepada beliau, sehingga mereka
menimba banyak pengalaman dari beliau dan memahami secara mendalam pembentukan
hukum Islam (tasyri'), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah Saw
wafat, mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas
peristiwa-peristiwa baru yang terjadi, yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit
dalam Alquran dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan memahami ayat-
ayat Alquran dan maksud sunnah untuk melakukan pengembangan hukum Islam, terutama
melalui metode qiyas.

Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan-persoalan


hukum ialah, menelusuri ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila
tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran, maka mereka mencarinya didalam sunnah. Apabila
didalam sunah pun tidak ditemukan, barulah mereka berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang
mereka lakukan adalah dengan cara musyawarah diantara mereka (ijtihad jama'i). Hasil
kesepakatan ijtihad melalui musyawarah ini kemudian dikenal dengan istilah ijma' ash-shahabi
(kesepakatan sahabat). Akan tetapi, sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga ijtihad
memecahkan persoalan-persoalan hukum itu mereka lakukan secara sendiri-sendiri (ijtihad
fardi). Hasil ijtihad ini kemudian dikenal dengan Istilah ijtihad ash-shahabi (ijtihad sahabat) atau
fatwa ash-shahabi (fatwa sahabat) atau qaul ash-shahabi (pendapat sahabat).

2. Periode Tabi'in

Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi'in. Pada masa ini, sejalan dengan
perluasan wilayah-wilayah Islam, di mana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari
segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu
pengetahuan, tekhnologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru,
yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah Saw dan masa sahabat.
Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh hukum Islam yang bertindak sebagai
pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan
pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli
hukum generasi tabi'in ini, antara lain, Sa'id bin al-Musayyab (15-94 H) sebagai mufti di
Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62 H) dan Ibrahim an-Nakha'i
(w. 96 H), di samping para ahli hukum lainnya.

Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi'in juga
menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan
tetapi, dalam masa itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan
fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi
sahabat.
3. Periode Imam Mazhab

Setelah berlalunya periode Tabi'in , maka perkembangan ushul fiqh disusul oleh periode Imam
Mazhab. Mengingat ada perbedaan sejarah yang signifikan, maka sejarah perkembangan ilmu
ushul fiqh periode Imam Mazhab ini lebih jauh dapat dirinci menjadi tiga bagian, yaitu: masa
sebelum dan ketika tampilnya Imam asy-Syafi'i, serta masa sesudah imam asy-Syafi'i.

a. Masa sebelum Imam asy-Syafi'i

Masa sebelum Imam asy-Syafi'i ditandai dengan munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu'man
(w.150 H), pendiri mazhab Hanafi. Ia tinggal dan berkembang di Irak. Dibanding masa tabi'in,
metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas polanya. Dalam berijtihad, ia sangat
dikenal banyak menggunakan qiyas dan istihsan.

b. Masa Imam asy-Syafi'i

Masa kedua dari periode Imam mazhab adalah ketika tampilnya Imam Muhammad Idris asy-
Syafi'i (150-204 H). Berbeda dengan masa sebelumnya, di mana metode ushul fiqh belum
tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum dibukukan, maka masa ini
ditandai dengan lahirnya karya Imam asy-Syafi'i yang bernama al-Risalah.

c. Masa Sesudah Imam asy-Syafi'i

Setelah berlalunya masa Imam asy-Syafi'i, perkembangan ilmu ushul fiqh semakin menunjukkan
tingkat kesempurnaannya. Pada masa ini (masih dalam abad ketiga) lahir beberapa karya dalam
bidang ushul fiqh, antara lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karya Ahmad bin Hambal (164-241 H),
pendiri mazhab Hanbali, dan Ibthal al-Qiyas, karya Dawud azh-Zhahiri (200-270 H), pendiri
mazhab azh-Zhahiri. Kitab terakhir ini antitesis terhadap pemikiran Imam asy-Syafi'i yang
sangat mengunggulkan qiyas dalam berijtihad.

Satu hal yang perlu dicatat, meskipun arah pengembangan ushul fiqh berbeda-beda pada
masing-masing Mazhab, namun semua mereka menerima dan mengembangkan empat dalil
utama yang ditegaskan oleh asy-Syafi'i, yaitu: Alquran, Sunnah, al-jima dan al-qiyas.
Bagaimanapun juga, sejalan dengan mazhab mereka masing-masing, tentu saja intensitas
penggunaan dalil yang empat itu berbeda-beda pada masing-masing mazhab.
BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Ushul fiqh memberikan pemahaman tentang metodologi pengambilan/penggalian hukum


(istinbath al-ahkam) dalam Islam sekaligus penerapan hukumnya (fiqih) dalam aspek ibadah
dan muamalah. Materi dalam kajian Ushul Fiqih bertujuan untuk menerapkan kaidah-kaidah
ushul fiqh pada dalil-dalil syara', baik Al-Quran maupun Sunnah sehingga menghasilkan hukum-
hukum syara'. umat Islam tidak buta untuk mengetahui dasar-dasar pengambilan hukum oleh
ulama tersebut berdasarkan Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang utama.

2. Saran

Bacalah lebih banyak tentang ushul fiqh, agar kita mengetahui hukum-hukum dalam Islam. Tak
lupa juga sering baca Alquran dan hadis supaya kita tidak ragu apa yg kita lakukan salah atau
benar. Karna kunci utamanya adalah Al-Qur'an dan hadis.

DAFTAR RUJUKAN

Dahlan, Rahman. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta. Amzah.

Anda mungkin juga menyukai