Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TARIKH TASYRI’

DOSEN PENGAMPU:
Eman Suherman, S.Pd.I.,M,Pd.

DISUSUN OLEH:
Unaisah

JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
KLATEN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
limpahan rahamat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan baik dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan
yang dimiliki penulis, oleh karna itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
diharapkan demi penyempurnaan Makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Klaten,15 Oktober 2022

Unaisah

DAFTAR ISI

i
HALAMAN JUDUL .............................................................................................

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ...............................................................................


B. RUMUSAN MASALAH ...........................................................................
C. TUJUAN MAKALAH ...............................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQIH ...............................................................................


B. PERBEDAAN FIQIH DAN SYARI’AT ...................................................
C. OBJEK ILMU FIQIH ISLAM ...................................................................
D. TUJUAN DAN KEBUTUHAN SYARI’AT ............................................
E. KEBERAGAMAN SYARI’AT ................................................................

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN .........................................................................................
B. SARAN .....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ilmu fiqih adalah salah satu ilmu keislaman yang hingga kini cukup
berkembang, hal ini terbukti dengan kekayaan warisan khazanah klasik yang
dimilikinya hingga maraknya berbagai kegiatan atau forum kajian ilmu fiqih
seperti bahts al-masâil fiqhiyah yang dilakukan lembaga dan ormas-ormas
Islam maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren. Namun
yang tampaknya perlu mendapat perhatian khusus adalah munculnya kesan
kuat dalam masyarakat, bahwa Islam yang mereka pahami adalah fiqih itu
sendiri, karena ia menyajikan aturan dan rambu-rambu hukum yang jelas
sehingga dapat mereka jadikan pegangan. Ini mengindikasikan kedudukan fiqih
sebagai sebuah ilmu sering belum dapat dimaknai secara proporsional,
sehingga cenderung tidak dibedakan mana ajaran dasar Islam yang bersifat
absolut, dan mana ajaran fiqih yang bisa berkembang dan mengalami
perubahan sesuai dengan dinamika sosial.

Penerapan syari’at islam dalam masyarakat melahirkan fiqih. Fiqih merupakan


sebuah cabang ilmu yang tentunya bersifat ilmiah, logis, memiliki obyek dan
kaedah tertentu. Antara fiqih dan syari’at mempunyai hubungan yang sangat erat,
karna sesungguhnya fiqih tetap berpijak pada syari’at. Fiqih merupakan tuntutan
yang harus timbul dan sulit dielakan dalam pelaksanaan syari’at.

Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti tentang ilmu yang
jelas pembelajaran yang bersifat alamiah, harus mengandung unsur teori dan
praktek. Belajar fiqih untuk diamalkan bila berisi perintah, harus dapat
dilaksanakan, bila berisi larangan, harus dapat dijauhi dan ditinggalkan.

1
2

B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa pengertian fiqih?
b) Apa perbedaaan fiqih dengan syari’at?
c) Apa objek ilmu fiqih islam?
d) Bagaimana tujuan dan kebutuhan terhadap syari’at?
e) Bagaimana keberagaman syari’at?

C. TUJUAN MAKALAH
 Menjelaskan pengertian fiqih
 Menjelaskan perbedaan antara fiqih dan syari’at
 Menjelaskan objek ilmu fiqih islam
 Menjelaskan tujuan dan kebutuhan terhadap syari’at
 Menjelaskan keberagaman syariat
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQIH

Kata “fiqih” secara etimologis berarti "paham" atau "paham yang


mendalam". Selain itu “fiqih” juga dapat dimaknai dengan "mengetahui
sesuatu dan memahaminya dengan baik".1Kalau dalam tinjauan
morfologi, kata fiqih berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti
“mengerti atau paham”. Jadi perkataan fiqih memberi pengertian
kepahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.

Sedangkan definisi fiqih secara terminologi, para fuqoha’ (ahli fiqih)


memberikan artian sesuai dengan perkembangan dari fiqih itu sendiri.
Tepatnya pada abad ke-II telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang
mendirikan madhab-madhab yang tersebar di kalangan umat Islam. Yang
pertama yaitu Abu Hanifah yang memberikan pengertian fiqih sebagai
berikut; ‫علمنيبيمن ايحقوقمىايوحقىحتيمي‬.2 Definisi ini meliputi semua aspek
kehidupan, yaitu akidah, syari'ah dan akhlak tanpa ada pemisahan di antara
aspek-aspek tersebut.
Pada masa imam Syâfi'i (150-204H/767-822M), para ulama’
Syafi’iyyah memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini karena ilmu
fiqih cukup berkembang seiring tuntutan kebutuhan masyarakat dalam
memperoleh jawaban atau kepastian hukum. di antara definisi tersebut
adalah sebagai berikut, “Ilmu yang menerangkan segala hukum agama
yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang digali dari
dali-ldalil yang jelas (terperinci).”

1
Abû Hasan Ahmad Fâ ris bin Zakariya, Mu'jam Maqâyis al-Lughah Jilid II (Mesir:
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970), 442.
2
Muhammad Fathi al-Duraini, Buhûts Muqâranah fi al-Fiqh al-Islâmi (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1994), hlm. 14.

3
4

Pengertian fiqih yang dikemukakan tersebut lebih spesifik dari pada


yang diketengahkan oleh definisi fiqih pada masa sebelumnya, yaitu
dengan memunculkan ahkam, af’aal al-mukallafin, dan istinbat yang
tentunya hal ini penting dalam menyingkap hakikat dari ilmu fiqih.

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya berbagai


disiplin keislaman yang mengharuskan pembidangan secara tegas
terhadap fiqih, para ulama mulai memunculkan pengertian yang spesifik
megenai ilmu fiqih. Al-Said al-Juraini sebagaimana dikutip oleh Nazar
Bakry mengemukakan pengertian ilmu fiqih sebagai berikut;3 “Ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dan diambil dari
dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang diperoleh dengan
jalan ijtihad dan membutuhkan penalaran dan taammul”.

Pengertian yang dikedepankan oleh al-Said al-Juraini lebih spesifik


daripada pengertian yang sebelumnya, yaitu dengan menyebutkan al-
ahkam, al-syar’iyyah, al-‘amaliyyah, istinbat, ijtihad, nadhor.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya, Zainuddin alMalibary


salah satu ahli fiqih syafi’iyyah memberikan definisi yang hampir serupa
dengan dengan pengertian said, namun pengertian ini lebih spesifik lagi,
yaitu:

‫حقعلنيب ألحك ميحقشرعن ةيحقعولن ةيحقوكتسبيهايأدق ته يحقتفصنلن‬


Kata " " dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa hal-hal
yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata "hukum", seperti zat,
tidaklah termasuk dalam pengertian fiqh. Sedangkan penggunaan kata "

" dimaksudkan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang berasal


dari Allah sebagai pembuat syari’at atau tepatnya disandarkan kepada-
Nya.

3
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), 11.
5

Kemudian kata “al-‘amaliyyah” itu menunjukkan bahwa ilmu fiqih itu


sifatnya praksis (pengamalan), artinya bahwa fiqh itu hanya menyangkut
perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, yang berarti masalah
i’tiqodiyah (keimanan) seperti tetapnya sifat qudroh bagi Allah, tidak
termasuk dalam lingkup fiqh

Kemudian kata “ ” mengandung pengertian bahwa fiqh itu hasil


penggalian dan penemuan mujtahid atas ketentuan yang belum secara
eksplisit disebut dalam nash. Dengan demikian mengecualikan ilmunya
Allah yang sifatnya adalah dhorury.

Kata " " dalam definisi tersebut menjelaskan tentang dalil-


dalil yang digunakan seorang faqih dalam penggalian dan penemuannya.
Karena itu ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang
terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fiqh, karena ia hanya
taqlid (mengikuti) saja.

Kemudian kata “ " itu menunjukkan akan dalil-dalil yang


digunakan fuqaha’ itu adalah dalil yang jelas (terperinci). Semisal cara
pengambilan hukum wajib pada sholat yang berasal dari ayat “aqimu
alsholat”. Kata “aqimu” adalah amar yang dilalahnya (penunjukannya)
adalah ke hukum wajib, jadi hukum sholat adalah wajib.

Dengan demikian fiqih akan mengarahkan terhadap suatu


perbuatan itu bisa dihukumi wajib, haram, sunnah, makruh ataupun
mubah, yang disebut dengan hukum taklifi (hukum yang berkenaan
dengan perbuatan mukallaf). Ataupun mengarahkan pada hukum wad’i,
yakni hukum yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan mukallaf,
seperti tenggelamnya matahari adalah tanda masuknya kewajiban sholat
Maghrib.

Dengan memahami beberapa pengertian yang dikemukakan beberapa


tokoh di atas nampak jelas bahwa hakikat ilmu fiqih meliputi hal-hal
sebagai berikut; (1) fiqih adalah ilmu tentang hukum syara', (2) fiqih
6

membicarakan 'amaliyah furû'iyyah mukallaf (3) pengetahuan tentang


hukum syara' didasarkan pada dalil terperinci, (4) fiqih itu digali dan
ditemukan melalui ijtihad.

secara ketat, ilmu haruslah empiris dan memiliki nilai


kepastian.4 Sementara fiqih adalah sesuatu yang dapat dicapai
oleh mujtahid dengan Berdasar atas rumusan tersebut, memang
fiqih disebut sebagai ilmu, meskipun ada yang berpendapat
bahwa “fiqih” tidaklah sama dengan “ilmu”. Karena ilmu harus
bersifat koheren, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Bahkan
kadang didefinisikan dzonnya, sedangkan ilmu haruslah tidak
bersifat dzonniy. Namun demikian, karena dzon dalam fiqh itu
dipandang cukup kuat, maka ia mendekati ilmu. Apalagi ukuran
ilmu pada masa-masa itu belumlah sedetail dan serumit saat ini.
Jadi dengan demikian ilmu fiqih bisa dipandang sebagai ilmu
yang berdiri sendiri.

Kemudian ketika ilmu fiqih dikaitkan dengan hakekat sesuatu dalam


perspektif filsafat, maka termasuk dalam wilayah ontologi. Pembahasan
tentang ontologi sebagai dasar ilmu ini berusaha untuk menjawab "apa",56
yang menurut Aristoteles merupakan The Fisrt Philosophy, yang
membahas esensi benda. Dapat juga dinyatakan, ontologi membahas apa
yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau suatu
pengkajian mengenai teori tentang ada. Dengan demikian ontologi
berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.7 Kemudian
jika dikaitkan dengan hakekat fiqih, maka perlu terlebih dahulu
dikemukakan mengenai definisi fiqih dari beberapa tokoh yang
selanjutnya ditelaah sesuai dengan kaidah filsafat ilmu.

4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998), 324.
5
Dadang Suhardan dan Nugraha Suharto, Filsafat Administrasi Pendidikan, dalam Tim
Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta,
6
), 3.
7
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2001), 57.
7

Bertolak dari definisi fiqih yang telah dikemukakan oleh beberap


tokoh ilmu fiqih di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian ilmu fiqih
adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang diperoleh melalui penggalian atau istinbat dari dalil-dalil syraa’ oleh
ahli fiqih.

B. PERBEDAAN FIQIH DAN SYARI’AT

Pada pokoknya perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :


1) Syari’at adalah wahyu Allah dan sunnah nabi Muhammad sebagai
Rasul-Nya, Syariat terletak pada Al-Qur’an dan hadist maka dari itu
Syariah tak akan pernah salah. Sedangkan Fiqih merupakan pemahaman
manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman
itu.
2) Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas karena ke dalamnya, oleh banyak ahli dimasukan juga Aqidah dan
Akhlaq. Sedangkan fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas
pada hukum yang mengatur manusia.
3) Syari’at bersifat mengikat untuk semua manusia. Maka siapapun yang
telah melengkapi syarat-syarat taklif, wajib mengikuti aturan syariah.
Baik aturan aqidah, akhlaq maupun ibadah. Sedangkan fiqih yang
merupakan pemahaman para mujtahid itu maka tidaklah mengikat.
seorang mujtahid tidaklah mengikat mujtahid lain untuk mematuhinya.
Bahkan kesimpulan fiqih juga tidaklah mengikat seorangpun muqallid.
Jika si muqallid ini mendapati kesimpulan mujtahid lain yang ingin
diikutinya, ia boleh melakukannya

4) Syari’at bersifat tetap dan tak berubah. karena syari’at merupakan


ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, Karna itu berlaku abadi.
8

Sedangkan fiqih bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat,


kondisi, dan lain-lain.
5) Syari’at hanya satu, Sedangkan fiqih mungkin lebih dari satu seperti
(misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah
mazahib atau mazhab-mazhab itu.
6) Syari’at menunjukan kesatuan dalam islam, Sedangkan fiqih menunjukan
keragamannya8

C. OBJEK ILMU FIQIH ISLAM

1. Objek Material

Syafi’i Karim mengemukakan, dengan mengetahui ilmu fiqih seorang


mukallaf akan dapat mengetahui mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan
mana pula yang dilarang untuk mengerjakannya. Dan mana yang haram mana
yang halal, mana yang sah mana yang batal, dan mana pula yang fasid.

Adapun hasil pembahasan tersebut atau mahmul-nya adalah salah satu


dari hukum lima, seperti “perbuatan ini wajib”. Kelima hukum tersebut yang
dimaksud adalah hukum taklifi berikut; Ijab (wajib), nadb (sunah), tahrim
(haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).

Pernyataan yang diungkapkan oleh Syafi’i Karim tersebut


mengisyaratkan bahwa obyek dari pembahasan ilmu fiqih adalah semua
ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Hal ini sebagaimana
pernyataan Fuad Ihsan, bahwa obyek material adalah obyek yang
dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau obyek yang dipelajari
oleh suatu ilmu.9

Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui obyek material ilmu


fiqih adalah dengan memahami hakekat ilmu fiqih sebagaimana telah
dikemukakan oleh tokoh ilmu fiqih di atas, bawa ilmu fiqih adalah ilmu

8
Abu Zahra Al-Imam, Ushul al-fiqhi ( Dar al Fikr al Arabi, Al-Qahirah 2006)
9
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Rineka Cipta,),15.
9

yang menerangkan tentang aturan-aturan agama yang berhubungan


dengan segala perbuatan mukallaf.

Maka, dari sini dapat dipahami bahwa obyek material atau ‫ي‬

dari ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam itu sendiri yakni


penjelasan-penjelasan syara’ itulah yang menjadi sasaran pembahasan
dari ilmu fiqih.

Dengan demikian, yang menjadi sasaran atau obyek dari ilmu


fiqih adalah semua ajaran-ajaran Islam yang juga dibahas atau menjadi
obyek bahasan selain ilmu fiqih. Karena obyek formal adalah obyek
kajian dari disiplin ilmu tertentu yang belum bisa dijadikan sebagai
pembeda antara satu bidang atau disiplin ilmu dengan ilmu yang lain.
Misalnya seperti obyek material berupa “ajaran agama”.

Ajaran agama di samping menjadi obyek material dari ilmu fiqih


ajaran agama juga menjadi obyek kajian dari ilmu yang lain, misalnya
ilmu tasawwuf dan ilmu kalam. Adapun yang dapat membedakan antara
satu disiplin ilmu dengan yang lain adalah obyek formal dari masing-
masing disiplin ilmu tersebut, karena obyek formal dari tiap-tiap ilmu
pasti tidak akan sama.

2. Obyek Formal

Objek formal adalah sudut pandang dari mana subyek


menelaah obyek materialnya. Setiap ilmu pasti memiliki obyek
formal supaya dapat dibedakan antara satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu yang lain. Setelah diketahui obyek material dari ilmu
fiqih adalah ajaran Islam, maka ajaran Islam dari aspek apanya
yang dikupas atau dibahas oleh ilmu fiqih itulah yang menjadi
obyek formalnya. Mengenai hal ini Imam Syafi’i sebagaimana
10

dikutip oleh Asywadie Syukur mengemukakan, ilmu fiqih


adalah;10

Dengan melihat penjelasan mengenai pengertian ilmu fiqih yang


dikemukakan oleh imam Syafi’i tersebut dapat dipahami bahwa ilmu
fiqih merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran-ajaran agama yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf.

Dengan demikian obyek formal ilmu fiqih yang merupakan aspek


dari obyek formal yang dikaji oleh subyek adalah ajaran-ajaran Islam
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Jadi, ajaran Islam yang
tidak berkaitan dengan perbuatan mukallaf tidak menjadi bahasan dari
ilmu fiqih. Ajaran agama yang ada hubungannya dengan perbuatan
mukallaf inilah yang membedakan antara ilmu fiqih dengan ilmu lainnya.

Melalui pembahasan mengenai fiqih dalam sudut pandang filsafat


ilmu ini tampak jelas bahwa fiqih adalah satu disiplin ilmu yang memiliki
kebenaran sebagaimana ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini juga
memberikan pembuktian bahwa fiqih bukan hanya produk pemikiran
semata, namun fiqih merupakan tatanan kehidupan sekaligus ilmu
pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya.

D. TUJUAN DAN KEBUTUHAN TERHADAP SYARI’AT


Inti dari tujuan syariat adalah merealisasikan kemaslahatan bagi
manusia dan menghilangkan kemudharatan.Yakni memperhatikan nilai-
nilai dasar islam seperti keadilan, persamaan dan kemerdekaan demi
terwujud kemaslahatan agama dan dunia.

1. Primer/dharuriyat
Aspek ini berkaitan dengan kebutuhan pokok dalam kehidupan
manusia, yang tidak boleh tidak harus dijaga demi kemaslahatan
hidupnya. Unsur-unsur dharuriyat meliputi penjagaan akidah (hifz ad
10
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1990), halm,35.
11

diin) melindungi agama merupakan hak memeluk dan meyakini


seseorangboleh dan berhak memeluk agama yang diyakini. penjagaan
jiwa (hifz an-nafs) melindungi bahwa seorang manusia tidak boleh
disakiti, dilukai, apalagi dibunuh, penjagaan akal(hifz aqli) segala yang
menyebabkan hilangnya akal menjadi tidak boleh, penjagaan
keturunan(hifz nasl) melindungi keturunan maka zina menjadi
terlarangkarna dapat memberikan dampak negatif, dan penjagaan
harta(hifz mal) menjamin bahwa setiaporang berhak memiliki kekayaan.
Itulah sebabnya (berdasarkan dharuriyat tersebut) kemusyrikan,
pembunuhan penganiayaan. pengrusakan akal, perzinaan (dan
sejenisnya), diharamkan.

2. Kebutuhan penting/sekunder
Aspek ini mencakup perilaku yang berkaitan dengan kebutuhan
sekunder (seperti pekerjaan, pendidikan, penjagaan aurat, dsb.). Amaliah-
amaliah jenis ini sangat diperhatikan oleh syariat, bahkan dalam keadaan
tertentu (karena keterpaksaan) disejajarkan dengan dharuriyat.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kendaraan umum, misalnya, seseorang
boleh berdekatan dengan yang bukan mahram. Begitu pula dengan
melakukan transaksi penjualan barang dalam kemasan.

3. Pelengkap/Tahsiniyat
Tahsiniyat adalah perilaku yang berkaitan dengan kebutuhan atau
sebagai pelengkap melengkapi dan menyempurnakan kehidupan.seperti;
pakaian, tempat tinggal, makanan dll. Syariat Islam juga memperhatikan
aspek ini demi kenyamanan hidup manusia. Bahkan syariat
menganjurkan mukallaf (muslim yang telah baligh dan berakal) untuk
menerapkan prinsip ini dalam beribadah mahdhah dan dalam
bermuamalah.
12

E. KEBERAGAMAN SYARIAH

Syari’at Islam yang sampai kepada kita adalah yang diturunkan melalui
ḥatam al-nabiyyin, yaitu Nabi Muhammad SAW, dengan sumber utama yaitu
al-Qur’an. Kemudian sumber utama tersebut, beliau terjemahkan dengan
sunnahnya, baik dalam bentuk ucapan, perkataan, maupun penetapan.11 oleh
para sahabat, yaitu dalam bentuk penerapan hukum (taṭbiq). Oleh karena itu,
produk ijtihad para sahabat belum menjadi ketetapan hukum. oleh para
sahabat, yaitu dalam bentuk penerapan hukum (taṭbiq). Oleh karena itu,
produk ijtihad para sahabat belum menjadi ketetapan hukum.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka berakhirlah periode
pewahyuan, maka otoritasnya beralih ke tangan para sahabat Nabi. Oleh
karena itu para sahabat memainkan peran yang siginifikan dalam membela
dan mempertahankan agama. Para sahabat tidak hanya mempertahankan
“tradisi hidup Nabi”, tetapi juga menyebarkan dakwah Islam melintasi
semenanjung arabia. Dalam hal ini untuk pertama kalinya fiqih berhadapan
dengan permasalahan baru, meliputi penyelesaian atas masalah etika,
moralitas, kultural, dan kemanusiaan dalam masyarakat yang plural.
Daerah-daerah yang “diislamkan” pada saat itu memiliki perbedaan
masalah tradisi, kultural, kondisi dan situasi yang menghadang para ahli fiqih
di kalangan sahabat untuk memberikan “kepastian hukum” pada masalah-
masalah baru yang muncul belakangan.
Kapasitas pemahaman yang komperhensif yang dimiliki para sahabat
terhadap Islam karena intens dan lamanya berkomunikasi dengan Nabi
Muhammad dengan menyaksikan sendiri proses turunya syari’at merespon
setiap masalah yang muncul dengan merujuk al-Qur’an dan Sunnah. Para
sahabat menggali dimensi etis al-Qur’an, adakalanya mereka menemukan naṣ
al-Qur’an atau Sunnah Nabi yang secara jelas menunjukan pada permasalahan
itu, akan tetapi dalam banyak hal para sahabat harus menggali kaidah-kaidah
dasar dan tujuan moral dari berbagai tema di al-Qur’an untuk diterapkan
terhadap kasus-kasus yang tidak ada naṣ nya. Perkembangan baru seiring
11
Muhamad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Deirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 3.
13

perluasan teritorial Islam itu, sangat membantu dalam memperkarya kekayaan


fiqih, mulailah terjadi perbedaan interprestasi terhadap naṣ sebagaimana
perbedaan itu muncul dikarenakan perbedaan pendapat dan persepsi.
Langkah yang ditempuh para sahabat, kemudian diikuti oleh para Tabi’in,
dan mencapai puncaknya pada masa Imam Mujtahid seperti Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya.
Kalau menggunakan analisis sejarah maka, pada penghujung abad 2 H, Imam
Syafi’i telah berhasil mengkodifikasi uṣul al-fiqih secara sistematis, melalui
karya monumentalnya al-Risālah. Oleh karna itu Imam Syafi’i dianggap
sebagai orang pertama yang menulis dasar-dasar secara sistematis dalam
khazanah hukum Islam, dari al-Risālah ini para ulama mensyarahkan sebagai
refrensi utama dalam menyusun karya-karyanya yang menjadi sebuah disiplin
ilmu yang berdiri sendiri, dan menjadi salah satu syarat bagi seorang mujtahid
untuk menguasainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, jejak Imam al-Syafi’i terus
diikuti oleh para teoritisi hukum Islam sehingga melahirkan berbagai aliran
(mazhab) dalam diskursus usul al-fiqh. Masing-masing aliran menempuh
metode yang bervariasi dalam mengenarasikan teori uṣul al-fiqh terhadap para
penerusnya, dan pemikiran mereka terus mempengaruhi pendukungnya serta
ulama setelah mereka.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqih
merupakan sebuah cabang ilmu yang tentunya bersifat ilmiah, logis,
memiliki obyek dan kaedah tertentu. Fiqih dan Syariah tentu tak sama,
keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas. Salah satunya Syariah
bersifat tetap tidak akan pernah berubah sedangkan fiqih tidak tetap dapat
berubah sesuai keadaan, kondisi dan perubahan zaman.
Sebagai salah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran ilmiah,
ilmu fiqih memiliki bidang atau obyek bahasan, baik obyek material
maupun obyek formal.
Syari’at Islam yang sampai kepada kita adalah yang diturunkan
melalui Nabi Muhammad SAW, Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
maka otoritasnya beralih ke tangan para sahabat Nabi. Langkah yang
ditempuh para sahabat, kemudian diikuti oleh para Tabi’in, dan mencapai
puncaknya pada masa Imam Mujtahid seperti Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, jejak Imam al-Syafi’i terus diikuti oleh para
teoritisi hukum Islam.
B. SARAN
Tidak ada kata sempurna dalam hidup, untuk itu saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas ketidak sempurnaan dalam makalah ini. Untuk itu
mohon sarannya agar saya bias membuat makalah yang lebih baik lagi,
dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

14
15

Ahmad Fâris Abû Hasan bin Zakariya, Mu'jam Maqâyis al-Lughah Jilid
II (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970).
Fathi Muhammad al-Duraini, Buhûts Muqâranah fi al-Fiqh al-Islâmi (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1994).
Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta Utara: PT. RajaGrafindo
Persada, 1993).
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998).
Muhadjir Noeng, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001).
Zahra Abu Al-Imam, Ushul al-fiqhi (Dar al Fikr al Arabi, Al-Qahirah 2006)
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Rineka Cipta).
Syukur Asywadie, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Surabaya PT. Bina
Ilmu, 1990).
Muhamad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Deirut: Dar al-Fikr, 1988).
16

Anda mungkin juga menyukai