Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQIH

“ILMU FIQIH, ILMU USUL FIQIH, DAN QAWAID FIQHIYYAH”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih
Dosen Pembimbing: Dr. Moh. Nor Afandi, M.Pd.I.

Disusun Oleh:

1. Nanda Amanatus Sholihah (205101080014)


2. Muhammad Bardan Nafis Firdausi (202101080024)
3. Adi Saputro (221101080025)
4. Ana Shofiyyah Mardhatillah (221101080019)

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SHIDDIQ JEMBER

1
2023

2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah “Fikih ”. Sholawat serta salam
tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kami dari
zaman jahiliyyah menuju zaman yang terang menderang yakni agama islam sehingga kita
bisa merasakan nikmatnya mencari ilmu. Tak lupa juga penulis mengucapkan syukur kepada
Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan mampu menyelasaikan makalah dengan
judul “Ilmu Fiqih, Ilmu Usul Fiqih, Dan Qawaid Fqhiyyah”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah fikih yang
terhormat bapak Dr. Moh Afandi M.Pd.I. dan teman-teman kami yang senantiasa memberi
dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah ini
memperoleh limpahan rahmat, ma‟unah dan ridho Allah, serta dapat bermanfaat kepada
penulis dan para pembaca. Aamiin.

Lumajang, 26 Februari 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI
Judul...................................................................................................................................1
Kata Pengantar..................................................................................................................2
Daftar Isi.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................................4
Bab II PEMBAHASAN.....................................................................................................5
A. Ilmu Fiqih.....................................................................................................................6
B. Ushul Fiqih...................................................................................................................10
C. Qawaid Fiqhiyyah........................................................................................................12
BAB III PENUTUP...........................................................................................................16
A. Kesimpulan...................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................17

4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan
gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan
ritual-ritual. Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk
pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Sehingga memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak masalah-masalah
muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik
membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di
masyarakat sekitar.
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan
gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan
ritual-ritual. Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk
pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti tentang ilmu yang jelas
pembelajaran yang bersifat amaliah, harus mengandung unsur teori dan praktek. Belajar
fiqih untuk diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat dilaksanakan, bila
berisi larangan, harus dapat ditinggalkan atau dijauhi.

B. Tujuan
1. Apa Definisi Ilmu Fiqih
2. Apa Definisi Ushul Fiqih
3. Apa Definisi Qawaid Fiqhiyyah

C. Rumusan Masalah
1. Mengetahui Definisi Dari Ilmu Fiqih
2. Mengetahui Definisi Dari Ushul Fiqih
3. Mengetahui Definisi Dari Qawaid Fiqhiyyah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ilmu Fiqih
1. Pengertian Ilmu Fiqih
1
Secara etimologis, fiqh berasal dari kata faqqaha yufaqqhihu fuqhan yang berarti
pengertian. Pengertian dimaksud di sini, adalah pemahaman tentang agama islam.
Oleh karena itu, fiqh mengacu pada makna memahami Islam secara utuh dan
menyeluruh.
Secara istilah, fiqh adalah:
‫العلم ابااللحكام الشرعية العملية الكتسب من ادلتها التفصيلي‬
Artinya: “Ilmu tentang hukum-hukum Syar’i yang bersifat amali yang digali dari
dalil-dalil yang terperinci”. (Wahab Khallaf: 1977, 11).
Pertama, al-ilmu. Istilah al-ilmu pada hakikatnya memiliki dua pengertian. Yaitu
al-ilmu dalam arti ilmu yang mencapai suatu tingkatan iman (al-yaqin) dan al-ilmu
dalam arti pengetahuan yang hanya sampai pada tingkat dugaan (al-dlan). Al-ilmu
dimaksudkan agar lebih bermakna dengan arti yang kedua, yaitu ilmu yang hanya
tingkat dugaan atau asumsi. Karena mayoritas ketentuan fiqh bersifat asumtif karena
digali dari dalil-dalil yang ada.
Kedua, al-ahkam adalah jamak dari kata al-hukm yang memiliki arti penghakiman.
Al-hukm berarti bekal syariat yang mengatur tentang perbuatan manusia berasal dari
Allah SWT. seperti wajib, sunnah, makruh, haram dan diperbolehkan.
Ketiga, al-amaliyyah artinya praktis. Hukum yang tidak bersifat amaliyah,
misalnya hukum i'tiqadiyyah tidak termasuk fikih. hukum i'tiqadiyah misalnyai’tiqad
(keyakinan) terhadap rububiyah Allah (misalnya meyakini bahwa Allah adalah
Penguasa segala sesuatu) dan kewajiban beribadah kepada-Nya. Ini disebut ashliyah
(prinsip agama), begitu juga dengan hukumnya qalbiyah-khuluqiyah yang sifatnya
seperti ikhlas, riya', dan dan sebagainya tidak termasuk dalam hukum fikih.
Keempat, kata al-muktasab berarti fiqh yang digali dengan usaha sungguh-
sungguh. Karena itu, hukum fiqh syar'i amaly yang tidak digali dengan usaha yang
nyata, dalam definisi ini, tidak termasuk fikih. Oleh karena itu, ketentuan yang
bersifat draruri, tidak termasuk fikih.

1
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Fil.I. 2019. Pengantar Ilmu Fiqih.
Surabaya. Pena Salsabila. Hal 1-3

6
Terakhir, al-adillah at-tafshiliyyah berarti dalil-dalil terperinci. Argumen Ijmaly
(bersifat global) tidak termasuk dalam fiqh, tetapi termasuk dalam ranah kajian ushul
fiqih.
Contoh dalil yang terperinci misalnya:

‫ت َعلَ ْي ُك ْم ُأ َّمهَاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُكم‬


ْ ‫ُح ِّر َم‬
Artinya: ‚Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,anak-anakmu yang
perempuan‛. (QS. An-Nisa’; 23).
Ayat ini merupakan dalil yang terperinci tentang kasus hukum tertentu, yaitu
keharaman menikahi ibu dan anak-anak perempuan kandung.
2. Objek Kajian Ilmu Fiqih
Ilmu Fiqh mengkaji perbuatan atau perilaku mukallaf dari segi normatif (ketetapan
hukum syariat Islam) beserta dalil-dalil dari masing-masing perbuatan tersebut.
Seorang ahli fikih (faqih) membahas tentang shalat dan puasa mukallaf, jual beli dan
sewa, disertai dalil syar'i, ketentuan hukum, rukun, syarat, tata cara melakukannya,
dan hal-hal yang dapat merusak atau membatalkan suatu perbuatan itu.
Secara umum pembahasan fiqh ini mencakup dua bidang2, yaitu fiqh ibadah yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, zakat, haji,
menunaikan nazar, dan membayar tebusan karena melanggar sumpah. Kedua, fikih
muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kajiannya
mencakup semua bidan fiqh selain masalah ubudiyah, seperti syarat jual beli sewa,
nikah, jinayah, dan lain-lain.
Sementara itu, Mustafa A. Zarqa membagi kajian fikih menjadi enam bidang,
yaitu:
a) Ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiyah (langsung dari
Allah SWT), seperti shalat, puasa, dan haji. Inilah yang kemudian disebut
fikih ibadah.
b) Ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan Keluarga, seperti
pernikahan, perceraian, pemeliharaan, dan kondisi nasab. Inilah yang
kemudian disebut ahwal saykhsiyah.
c) Ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antar umat Islam
dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti jual beli, sewa-menyewa,
dan gadai. Bidang ini kemudian disebut fiqh muamalah.
2
Dr. Hafsah, MA. 2013. PEMBELAJARAN FIQH.
Bandung. Citapustaka Media Perintis. Hal. 5-7

7
d) Ketentuan hukum yang berkaitan dengan sanksi Terhadap tindakan kriminal.
Misalnya qiyas (menyamakan hukum) , diat (denda), dan hudud (hukuman).
Bidang ini disebut fikih jinayah.
e) Ketentuan hukum yang mengatur hubungan warga negara dengan
pemerintahnya. Misalnya politik dan birokrasi. Diskusi ini disebut fiqh
siyasah.
f) Ketentuan hukum yang mengatur etika pergaulan antara seorang muslim
dengan sesamanya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Bidang ini
disebut Ahlam khuluqiyah.
Tujuan dibuatnya ketentuan-ketentuan yang halal tentang ibadah adalah
untuk menjaga aspek-aspek keagamaan. Ini berarti memenuhi salah satu
tuntutan keimanan teologis karena menjalankan rangkaian ibadah juga
merupakan manifestasi dari ketentuan doktrin keimanan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Selain itu, melakukan ritual ibadah juga merupakan cerminan
kehidupan seseorang yang ditentukan oleh tingkat kepatuhan terhadap norma-
norma syariah.
Peluang mempelajari fikih terbatas pada aspek yang berkaitan dengan
dinamika budaya kehidupan manusia. Misalnya, ada ketentuan tentang
kewajiban menutup aurat dalam shalat. Batasan aurat yang harus ditutup sudah
dijelaskan dengan jelas oleh Nabi Muhammad SAW, namun beliau tidak
merinci bagaimana cara menutup aurat tersebut. Dalam aspek ini, peluang
untuk kajian ijtihad terkait dengan ibadah shalat.
Berbeda dengan zakat, meskipun para ulama menggolongkannya sebagai
fikih agama, namun sangat dipengaruhi oleh dinamika kebudayaan manusia
sehingga peluang kajian ijtihad lebih besar, misalnya dalam hal jenis barang
yang wajib dizakati, besarnya kewajiban zakat, dan cara pendistribusiannya.
Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya menjelaskan tentang kewajiban zakat atas
jenis-jenis barang yang ada pada masa lampau.
Kemudian, rangkaian ibadah lainnya adalah puasa di bulan Ramadhan
selama satu bulan dalam setahun. Peranan syariat besar dalam ibadah sholat
ini jadi tidak memerlukan banyak ijtihad. Fiqh ibadah sebagaimana dimaksud
adalah mengetahui ketentuan-rangkaian ibadah yang wajib dilakukan oleh
setiap mukallaf dan dilakukan semata-mata untuk menaati semua perintahnya,
para ulama sering menyebut jenis ibadah ini sebagai ibadah mahdhah.

8
Kemudian, Fikih Ibadah ini mencakup lima jenis ibadah, yaitu shalat,
zakat, puasa, haji, dan jihad. Menurut Yusup Musa, secara umum Wahbah
sependapat dengan Musa, hanya saja ia tidak memasukkan jihad dalam
kelompok ibadah mahdhah. Sebaliknya, itu termasuk sumpah dan sumpah
sumpah. Memang jika melihat hadits pada masa Nabi dan para sahabat, jihad
dapat digolongkan sebagai ibadah mahdhah dengan melihat dari sisi motivasi
dan niat baik berupa kegiatan berjuang di jalan Allah. Namun perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa ketiga aktivitas tersebut bukan lagi ibadah
murni karena umat Islam telah menjadikannya sebagai aktivitas profesional
dengan menitikberatkan pada aktivitas ekonomi. Jika jihad tetap sebagai
kegiatan ibadah yang murni, maka umat Islam dilarang mengambil upah dari
kegiatan tersebut.
Dimensi syariah ketuhanan dalam aspek ibadah ini lebih besar dari dimensi
fikih karena ketentuan dasarnya tidak berkembang dan tidak berubah
mengikuti perubahan zaman. Ulama fiqh membagi pembahasan fiqh menjadi
empat bagian, yaitu:
a) Bagian ibadah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah manusia
kepada Allah, seperti hukum bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, kurban, aqikah,
nazar, dan yang lain .
b) Bagian muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan
manusia dengan sesama manusia mengenai harta benda, misalnya: jual beli,
sewa, upah, hutang, hipotek, persekutuan, hibah, dan sebagainya.
c) Bagian munakahat, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perkawinan,
misalnya: pelaksanaan perkawinan, talak, rujuk, hak dan kewajiban
suami/istri, dan sebagainya.
d) Bagian Jinayah, yaitu hukum yang berkaitan dengan tindak pidana, misalnya:
hukum membunuh, melukai, mencuri, zina, merampok, minuman yang
memabukkan, dan lain-lain. Termasuk juga undang-undang tentang
konstitusionalisme, antara lain undang-undang pengangkatan kepala negara,
undang-undang perang, dan sebagainya.
Selain itu, ada undang-undang tersendiri yang berkaitan dengan jenazah,
warisan, hak milik, pakaian, dan sebagainya.

3. Tujuan Mempelajari Ilmu Fiqih

9
mempelajari fiqih atau ilmu agama, tujuannya agar mereka yang mempelajarinya
mengetahui tentang jalan yang benar; jangan salah jalan, pahami artinya, dan jangan
sesat di jalan3. Semua itu menjadi penting karena seluruh hidup adalah ibadah. Tanpa
mengetahui atau memahami hukum dan dasar dari banyak hal yang kita lakukan
dalam hidup, dapat dibayangkan, kita sebenarnya tidak lebih baik dari seekor bebek
atau burung beo. Melakukan, mengulang, dan menjalankan banyak hal, tanpa kita
tahu arti sebenarnya. Fiqh sebenarnya juga seperti Filsafat, pengetahuan tentang akal.
Pencarian alasan dan dasar.
Umat Islam bukanlah masyarakat tanpa acuan hukum dan tatanan sosial. Dan fikih
adalah perangkat tatanan itu. Perintah yang mengacu pada akidah dan syariat Allah.
Dengan demikian, apa yang kita lakukan saat ini sudah sesuai dengan apa yang
dikehendaki dan diperintahkan Tuhan.
Apa perintah itu? Perintahnya adalah agar seluruh hidup kita selalu dipenuhi
dengan ibadah. Oleh karena itu, segala aktivitas kita pasti memiliki dua sisi yang
selalu dijaga. Baik dan benar. Tidak baik atau benar. Yang baik belum tentu benar dan
yang benar belum tentu baik. Sesuatu yang baik, jika kita tidak melakukannya dengan
benar, bisa dipastikan akan gagal. Hal yang sama berlaku untuk tujuan yang tepat.
Jika dilakukan dengan cara yang tidak baik atau tidak Islami, maka akan sia-sia.
Karena tujuan dari segala sesuatu adalah manfaat, bukan kemudharatan atau kesia-
siaan.

B. Ushul Fiqih
1. Pengertian Ushul Fiqh
Ushul fiqih merupakan gabungan dari dua kata yakni ushul yang berarti pokok,
dasar, pondasi dan kata fiqih secara literal berarti paham dan mengerti tentang
sesuatu. Seorang ulama ushul besar Al-Amidi mendefinisikan ushul fiqih sebagai
berikut:

‫ال ال ُمستدل بها ِم ْن ِجهَ ِة ْال ُج ْملَ ِة ال‬


ِ ‫أصول الفقه هي ابلة الفقه من جهات دالالتها على األحكام ال َّشرْ ِعيَّ ِة َو َك ْيفِيَّ ِة َح‬
ِ ‫ِم ْن ِجهَ ِة التَّ ْف‬
‫صيل‬

3
Hery Nurdi, 2004. Why Not? Fiqih Itu Asyik.
Bandung, PT Mizan Bunaya Kreativa. Hal 26-27

10
Artinya: Ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh dari segi penunjukannya kepada hukum-
hukum syarak serta bagaimana orang- orang yang kompeten menetapkan hukum dari
dalil-dalil secara global, bukan secara sepsifik (tafshili).
Sedangkan menurut Abdul Hamid Hakim ushul fiqh adalah dalil fiqh secara global,
seperti ucapan para ulama: suatu yang dikatakan sebagai perintah adalah menandakan
sebuah kewajiban, suatu yang dikatakan sebagai larangan adalah menandakan sebuah
keharaman,dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw., ijmak
dan qiyas (analogi) adalah sebuah hujjah.
2. Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai definisi yang
dikemukakan oleh para ulama ahli ilmu ushul fiqh dapat diketahui bahwa ruang
lingkup kajian (maudhu') dari ilmu ushul fiqh secara global, di antaranya:
a. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
b. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
c. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
d. Syarat-syarat orang yang berwenang melakukan istinbat (mujtahid) dengan
berbagai permasalahannya.

3. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqih


a. Aliran Mutakallimin:
Setelah berkembangnya Madrasah Syafi'iyah, maka ber lomba-lombalah
ulama sesudahnya menyusun kitab Ushul Fiqh dengan mengikuti metode para
mutakallimin (deduktif) kitab-kitab fikih yang ditulis oleh aliran mutakallimin ini
adalah:
1) Al-Mustafa: Abu Hamid al-Gazali;
2) AL-Ahkam: Abu Hasan al-Amidi;
3) Al-Minhaj: al-Baidhawi; dan
4) Kitab Syarah yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.

b. Aliran Fukaha atau Aliran Hanafiyah


Aliran fukaha adalah aliran yang dikembangkan oleh kalangan hanafiyah.
Disebut aliran fukaha karena metode yang digunakan adalah meletakkan kaidah-
kaidah dan bahasan- bahasan ushuliyah yang mereka pandang bahwa para imam
mereka berdasarkan ijtihad mereka atas kaidah dan bahasan itu. Mereka tidaklah

11
menetapkan kaidah-kaidah amaliyah yang bercabang dari hukum-hukum ijtihad
imam mereka. Adapun yang mengarahkan untuk membuktikan kaidah-kaidah ini
adalah berbagai hukum yang telah diistinbatkan oleh para imam mereka yang
didasarkan atas kaidah-kaidah tersebut, bukan semata-mata dalil teoritis saja.
Oleh karena inilah, maka dalam kitab-kitabnya mereka banyak menyebutkan
masalah-masalah furu', yang pada waktu mereka membuat ka- idah-kaidah
ushuliyah yang sesuai dengan masalah-masalah furu'. Jadi orientasi mereka
adalah mengembangkan ushul fiqih imam-imam mereka dari furu' hasil ijtihad
mereka.

4. Manfaat Mempelajari Ushul Fiqih


Dibawah ini bebrapa manfaat mempelajari ushul fiqh:
a. Dengan mempelajari ushul fiqh, akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-
dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Dengan
demikian, akan dimengerti betul secara mendalam sehingga den- gan itu bisa
diketahui sejauh mana kebenaran pendapat- pendapat fikih yang berkembang di
dunia Islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan
mengamalkan pendapat-pendapat mereka.
b. Dengan studi ushul fiqh, seseorang akan memperoleh kemampuan untuk
memahami ayat-ayat hukum dalam Al- Qur'an dan Hadis-hadis hukum dalam
Sunnah Rasulullah, dan mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut. Dalam
ushul fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya
memahami sebuah ayat atauHadis, dan bagaimana cara mengembangkannya. Oleh
sebab itu, para ulama mujtahid terdahulu, lebih menguta- makan studi ushul fiqh
dari studi fikih itu sendiri. Sebab dengan mempelajari ushul fiqh seseorang bukan
saja mam- pu memakai melainkan berarti mampu memproduk fikih.
c. Dengan mendalami ushul fiqh, seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik
melakukan mugaranat al-mazahib al-Fiqhiyah, studi komparatif antarpendapat
ulama fikih dari berbagai mazhab, sebab ushul fiqih merupakan alat untuk
melakukan perbandingan mazhab fikih.

C. Qawaid Al-Fiqhiyah
1. Pengertian Qawaid Al-Fiqhiyah

12
Qawaid merupakan kata jama’ dari kaidah. Qawaid Fiqhiyyah adalah kata
majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata
itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, berarti; asas, landasan, dasar atau
fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi
bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti
ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu
rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.(Azhari,
2015)
Dari uraian pengertian di atas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang
dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Tajjudin as-Subki:
‫االمز الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيزة تفهم احكامها منه‬
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu ."Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul
Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk
undang-undang yang berisi hukum-hukum syara‟ yang umum terhadap berbagai
peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.(Berutu, 2019)

Imam Mustafha al-Zarqa‟ Dasar-dasar hukum fiqh yang bersifat kully yang
diungkapkan dalam teks-teks singkat yang bersifat undang-undang dan mengandung
hukum-hukum syara dalam berbagai kasus yang termasuk dalam cakupan kaidah
tersebut.
Dari berbagai macam defenisi yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa
para ulama terdahulu berbeda-beda dalam mendrfenisikannya namun dari semua
defenisi diatas ternyat memiliki substansi yang sama bahwa kaidah fiqh itu adalah
“dasar hukum fiqh yang bersifat kully). Artinya kaidah fiqh tersebut bersifat umum
yang dapat diterapkan pada cakupan ju‟i nya, cakupan juz‟i tersebut berlaku pada af‟
aalu al-mulallaf (perbuatan seorang mukallaf).(Suparmin, 2013)
2. Pembagian kaidah Fiqih
Menurut Imam Suyuthi, sebagaimana diceritakan oleh Abu Said al-Harawy,
bahwa seorang ulama mazhab Hanafiyah yang bernama Imam Abu Thahir al-Dabbas
pada abad ke-4 hijriah mengumpulkan 17 kaidah. Ia kerap membaca secara berulang-
ulang kaidah tersebut di masjid setelah masyarakat kembali ke rumah masing-masing
usai melaksanakan ibadah. Pada saat itu, Abu Said hanya mencatat tujuh kaidah saja,

13
lalu singkatnya, ia kemudian merangkum itu menjadi 4 kaidah setelah memahami
hukum-hukum fikih dalam ajaran mazhab Syafi'i.
Selanjutnya, bermula dari kaidah-kaidah di atas kemudian muncul cabang-cabang
kaidah yang jumlah puluhan hingga ratusan kaidah. Kemunculan tentu sangatlah
dinamis, tergantung pada dinamika para pakar ilmu fikih dalam menganalisis hukum-
hukum dan perkembangan masalah.(Muiz, 2020)
3. Landasan Perumusan Kaidah Fiqih
Sejarah munculnya kaidah fikih, kaidah fikih ini telah mempunyai bibit sejak
zaman Rasulullah SAW. Akar-akar kaidah fikih ini telah ada pada zaman Rasulullah
SAW yang diinduksi oleh ulama fikih dan dijadikan suatu kaidah. Akar kaidah fikih
itu bermula dari ayat al-Quran dan hadis Nabi, karena memang setiap kaidah memiliki
sumber dari keduanya sebagaimana yang dicantumkan oleh imam suyuti dalam kitab
asybah-nya. 8 Selanjutnya, yang dimaksud sumber pengambilan dalam uraian ini
ialah dasardasar perumusan kaidah fikih atau al-qawidah al-fiqhiyyah, yang meliputi
dasar formal dan materialnya. Dasar formal maksudnya apakah yang dijadikan dasar
ulama merumuskan kaidah itu, seperti nash-nash yang menjadi sumber motivasi
penyusun kaidah. Lalu adakah ayat al-Quran atau hadis Nabi atau bahkan keduanya
yang mengandung ketentuan sebagai dasar dirumuskannya kaidah fikih itu.

4. Pentingnya Kaidah Fiqih


Kaidah fikih dirumuskan secara umum dari hukum-hukum furu’ yang banyak
jumlahnya dan mempunyai kesamaan, sehingga perumusan itu dapat mengenai furu'
yang ada dan sejenis dalam cakupan kaidah itu.
Dengan kata lain, Kaidah fikih merupakan untaian dari hukum-hukum furu' yang
sejenis, seperti hukum niat hubungannya dengan perbuatan. Dalam masalah ibadah,
niat menjadi rukun sahnya perbuatan atau pun rukun kesempurnaannya. Dalam hal
jinayat, niat menjadi kriteria untuk membedakan antara perbuatan yang dilakukan
dengan perbuatan sengaja dan yang terjadi karena kealpaan.
Melihat dari obyek yang diteliti untuk menjadi dasar dalam perumusan kaidah
fikih, maka kaidah fiqh itu adalah termasuk kumpulan hukum fikih, tetapi melihat
namanya kaidah, akan lebih dekat pada ushul al-fiqh, karena ilmu ushul al-fiqh itu
juga bernama gawid ushuliyyat yang wujudnya ialah kaidah-kaidah yang merupakan
rumusan mengeluarkan hukum dari dalil.

14
Maka, kaidah fikih merupakan bagian dari studi fikih. Bagi peminat hukum Islam,
mempelajari seluruh hal yang berkaitan dengan hukum Islam, yaitu al-Qur'an dan
sunnah sebagai sumber hukum yang disepakati sejarah hukum Islam, ushul al-fiqh,
kaidah ushul al-fiqh, dan filsafat hukum Islam merupakan satu keharusan karena
antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi.
Atas dasar pemikiran tersebut, mendalami kaidah fikih memiliki arti penting karena
ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi hukum Islam secara
keseluruhan. Tanpa memahami kaidah fikih, pemahaman seseorang terhadap hukum
Islam menjadi tidak. komprehensif. Dari kaidah fikih, seseorang dapat menerapkan
hukum furu' sehingga menyerupai dalil, sekalipun bukan dalil. Kaidah fikih
merupakan indikator pada adanya fura 'yang tercakup di dalamnya.
Kaidah fikih adalah salah satu cabang dari ilmu syariat. Kaidah fikih mempunyai
kedudukan yang penting dalam menentukan hukum Islam. Karena kaidah-kaidah
tersebut bertujuan untuk memelihara ruh Islam dalam membina hukum dan
mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, maupun
dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan
suasana.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqih berasal dari kata faqqaha yufaqqhihu fiqhan yang berarti pengertian. Pengertian
dimaksud di sini, adalah pemahaman tentang agama isla. Oleh karena itu, fiqh mengacu
pada makna memahami Islam secara utuh dan menyeluruh. Ilmu Fiqh mengkaji
perbuatan atau perilaku mukallaf dari segi normatif (ketetapan hukum syariat Islam)
beserta dalil-dalil dari masing-masing perbuatan tersebut.
Ushul fiqih merupakan gabungan dari dua kata yakni ushul yang berarti pokok, dasar,
pondasi dan kata fiqih secara literal berarti paham dan mengerti tentang sesuatu. Dengan
mempelajari ushul fiqh, akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para
mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya dan akan memperoleh
kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al- Qur'an dan Hadis-hadis
hukum dalam Sunnah Rasulullah,
Qawaid merupakan kata jama’ dari kaidah. Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk
yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki
pengertian tersendiri. Secara etimologi, berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi
sesuatu, Qawaid al-Fiqhiyah berperan dalam menguatkan dalam pikiran, memunculkan
alasan dan pertimbangan penentuan hukum „illat-‟illatnya, menentukan arah-arah
pembentukannya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Harisudin, M. Noor. 2019. “Pengantar Ilmu Fiqih”. Surabaya. Pena Salsabila.

Dr. Hafsah, MA. 2013. “Pembelajaran Fiqh”.Bandung. Citapustaka Media Perintis.

Nur, Saifudin. 2007. “Ilmu Fiqih”. Bandung. Tafakur.

Hery Nurdi, 2004. “Why Not? Fiqih Itu Asyik”. Bandung, PT Mizan Bunaya Kreativa.

Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawa'id al- Fiqhiyyah,
(Jakarta: Maktabah Sa'adiyah Putra, t.t.), hlm. 6.
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh (Pekalongan: STAIN Press, 2006), him.10.

Darmawati h. “Ushul Fiqih” (Jakarta: Prenadamedia Group) hlm 17.

Zein, Satria Efendi M.. 2017. “Ushul Fiqih”. Jakarta:Prenamedia. hal 14.

Sugianto, Efendi, 2020. Deskripsi Pengertian Dan Penerapan Qawaid Al-Fiqhiyyah


Tawshiyah Vol. 15, No. 2.
Musyafaah, Nur Lailatul. 2018. “Kedudukan Dan fungsi Kaidah Fikih Dalam Hukum Pidana
Islam”. Universitas Islam Negeri sunan Ampel Vol. 4, No. 1.
Saragih, Sokon. 2020. “Masa Perkembangan Dan Pembukuan Qawaid Fiqhiyyah”. Tazkiya,
Vol. IX No.1.
Firmansyah, Heri. 2019. “Qawaid Fiqhiyyah Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia”. Al-
Qadhâ: Vol. 6, No. 2,

17

Anda mungkin juga menyukai