Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Ruang Lingkup Fiqih


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqih

Dosen Pembimbing:
Ahmad Kamil M.Pd

Disusun Oleh:
M. Imron Hamzah (2020100260505)
Eka Hunaini Wahyu Lestari (2020100260503)
Nur Laili Abida (2020100260495)

Institut Agama Islam Syarifuddin


Jln. Pondok pesantren kyai syarifuddin, Wonorejo, Kec
kedungjajang, Lumajang , Jatim 67358
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Berkat limpahan


rahmat, karunia dan kuasa-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini.
Shalawat beserta salam juga disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa umat dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis melakukan metode penelaahan
melalui studi pustaka dan dari bahan bacaan media lainnya yang bertujuan untuk
melengkapi materi atau data-data dalam penyusunan makalah ini.
Penulisan makalah ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun
disadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan yang disebabkan oleh
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Karena itu, diharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun guna kesempurnaannya dan semoga makalah ini
dapat memberi manfaat bagi semua pihak. AamiinYa Rabbal ’Alamin.

Lumajang, Feb 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Pengertian fiqh dan usul fiqh........................................................................3

B. Ruang Lingkup Fiqh Dan Usul Fiqh.............................................................5

C. Sejarah Perkembangan Fiqh Dan Usul Fiqh.................................................6

D. Kegunaan Fiqh Dan Usul Fiqh....................................................................15

E. Kompponen Hukum Syar’i.........................................................................15

BAB III PENUTUP...............................................................................................20

Kesimpulan.........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

ii
i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Fiqh yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Hadist Nabi, ternyata mampu
bertahan dan terus mengetahui kehidupan muslim, baik individu maupun kelompok.
Ushul fiqh juga merupakan suatu ilmu yang berisikan tentang kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Bahasan tentang
kaidah-kaidah kebahasaan ini penting mengingat kedua hukum Islam, yaitu Al-
Qur’an dan sunnah berbahasa arab, untuk membimbing mujtahid dalam memahami
al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam menetapkan hukum tentu perlu
mengetahui tentang lafal dan ungkapan yang terdapat pada keduanya.

Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi saw wafat, sejak
saat itu sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu
tersebut belum dinamakan ushul fiqh. Perkembangan terakhir dalam penyusunan
buku Ushul Fiqh lebih banyak menggabungkan kedua sistem yang dipakai dalam
menyusun ushul fiqh, yaitu aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.

Keadaan seperti ini terus berlangsung dan akan terus pula diberikan
jawabannya oleh ilmu fiqh terhadap problem yang muncul sebagai akibat dari
perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
kehidupan umat islam, perkembangan lembaga tidak hanya terjadi sebagai
aplikasi ajaran islam, tetapi juga timbul hanya sebagai interaksi umat islam
dengan kebudayaan lain. Karena didalam kehidupan bersama diperlukan pranata
yang dapat memelihara ketertiban dan ketentraman, termasuk pranata hukumnya.

Dalam sebuah penetapan sebuah hukum yang akan diberlakukan secara


umum, perlu diketahui dan juga menjadi sangan urgent untuk dapat memahami
apa saja unsur-unsur yang harus ada dalam penentuan tersebut. sebut saja salah
satunya adalah hukum itu sendiri, pada umumnya setiap orang pasti mengetahui
adanya hukum. Akan tetapi tidak menjamin mereka memahami apa makna
sesungguhnya dari hukum tersebut.
Selain itu masih banyak sekali komponen-komponen yang harus ada
dalam penentuan sebuah hukum, khususnya hukum syara’ diantaranya adalah

1
hukum, al-hakim, mahkum fiihi dan mahkum alaihi, serta apa saja dalil-dalil yang
dapat dipergunakan.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu
untuk dapat memahami komponen-komponen hukum syara’ beserta dalil-dalilnya
secara lebih ringkas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ilmu Fiqih?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Fiqih?
3. Apa kegunaan Ilmu Fiqih?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari ilmu Fiqih
2. Memahami sejarah perkembangan Fiqih
3. Memahami kegunaan ilmu Fiqih

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu
pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah1. Fiqh secara etimologi
berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi
akal2. Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan
diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari
kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas
menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang
bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti
masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa
fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan
ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal
yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah
memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam
mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan
Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis
dalam kitab-Nya yang disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua
kehendak-Nya tentang

1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
2
Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu ushul fiqh. Hal. 18

3
amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah, sehingga
amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci.
Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan
diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.3

 Ruang Lingkup Fiqh


1. Ruang Lingkup Fiqh
Ruang lingkup ilmu Fiqh, meliputi berbagai bidang di dalam hukum-
hukum syara’, antara lain :
 Ruang lingkup Ibadat, ialah cara-cara menjalankan tata cara
peribadatan kepada Allah SWT.
 Ruang lingkup Mu’amalat, ialah tata tertib hukum dan peraturan
hubungan antar manusia sesamanya.
 Ruang lingkup Munakahat, ialah hukum-hukum kekeluargaan dalam
hukum nikah dan akibat-akibat hukumnya.
 Ruang lingkup Jinayat, ialah tindak pelanggaran atau penyimpangan
dari aturan hukum Islam sebagai tindak pidana kejahatan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi pribadi, keluarga, masyarakat, dan Negara.

B. Sejarah Perkembangan Fiqh


1. Sejarah Fiqh
Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada beberapa
periode yaitu :
i. Periode pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang
dibagi kepada 2 masa: 8
Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan dakwah
perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberi penekanan
kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah terbuka.
Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat ayat
yang diturunkan

Kedua, sejak nabi hijrah ke madinah (16 juli 622m). pada masa ini
terbentuklah Negara islam yang dengan sendirinya memerlukan
seperangkat aturan hukum untuk mengatur system masyarakat
islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat yang berisi
hukum turun, baik karena suatu peristiwa kemasyarakatan ataupun
adanya pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, atau
wahyu yang di turunkan tanpa sebab. Pada masa ini fiqih lebih
bersifat praktis dan realis, artinya kaum muslimin mencari hukum
dari peristiwa yang betul betul terjadi.

ii. Periode sahabat


Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat) sampai abad
pertama hijriyah (kurang lebih 101 H)
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum
syariat yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist rasul. Tetapi
tidak semua orang memahami materi atau kaidah hukum yang
terdapat pada kedua sumber tersebut, Karena :

b. Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan


yang sama maupun karena masa atau pergaulan mereka yang
tidak begitu dekat dengan nabi.
c.Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori
hukum di kalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah.
d. Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah
terjadi pada masa Rasulullah saw yang ketentuan hukum nya
tidak di temukan dalam nash syariat.
Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini bertambah
dengan ijtihad sahabat untuk menentukan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al Quran dan Hadist.
Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan pendapat di kalangan
sahabat karena : 3
e. Kebanyakan ayat Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari
sudut pengertiannya.
f. Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani
secara utuh dan menyeluruh.
g. Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami, persoalan yang
di alami dan di hadapi sahabat itu berbeda beda.

c. Periode Kesempurnaan
Periode ini disebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan
hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang pesat
sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan dengan intensif,
baik berupa penulisan hadist- hadist nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in,
tafsir Al Quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan
ilmu ushul fiqih.
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan ijtihad pada masa
ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaaan islam, mulai dari
perbatasan Tiongkok di sebelah timur sampai ke Andalusia(spanyol)
sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir besar dengan
berbagai karya besarnya4, seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah
seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf (Penyusun kitab ilmu ushul
fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafi’i
dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya
Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-
muridnya masing-masing.

3
Ibid. hal. 16
4
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6
Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu
fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah
sebagai berikut: 5
1. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh
khususnya.
2. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi- diskusi
ilmiah diantara para ulama.
3. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al- Qur’an
(pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang
dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan muridnya Mujahid(wafat 104H)
dan kitab-kitab lainnya.

d. Periode Kemunduran
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflik
politik dan berbagai faktor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak
daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu
sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak
sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan.
Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran
Islam langsung dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadist. Mereka puas hanya
dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri
kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti
inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kedalam pkikiran
yang jumud dan statis.6

5
Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 18

13 Ibid. hal.

9
Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap taklid dan kemuduran adalah :
7

1. Efek samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya


Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh ulama-ulama sebelumya, baik
itu persoalan yang benar-benar telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi
memudahkan umat islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan hukumnya
kepada kitab-kitab yang ada itu. Ketergantungan seperti ini mematikan kreativitas,
menumbuhkan sifat malas dan hanya mencari yang mudah-mudah.
2. Fanatisme mahab yang sempit
Setiap golongan pada masa ini sibuk mencari dalil untuk menguatkan
mazhabnya saja, berupaya menangkis setiap serangan yang datang dari pihak
lain dan berupaya membahas serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri.
Akibatnya , mereka tenggelam dalam suasana chauvinisme yang tinggi, jauh
dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber hukum islam yang
sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist.
3. Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Pada masa ini para penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang
bertaklid, bukan para ulama mujtahid seperti yang diangkat oleh penguasa-
penguasa terdahulu. Sehingga kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.

e. Periode Kebangkitan kembali


Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan
mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa
kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki
Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam
betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban
baru

7
Ibid. hal. 23

10
yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan
kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan
gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi,
militer, sosial, dan gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap
perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-
ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru
agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan
hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu.
Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di
Saudi Arabia, Muhammad Al- Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-
Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain
sebagainya.

14
C. Kegunaan Fiqh Dan Usul Fiqh

Kegunaan utama ushul fiqh adalah untuk mengetahui kaidah- kaidah yang
bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk diterapkan
pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehinggan dapat diistinbathkan hukum syara’
yang di tunjukkannya. Dengan ushul fiqh dapat dapat dicarikan jalan keluar
menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama lain.

Sementara kegunaan utama fiqh untuk dapat menerapkan hukum syara’


terhadap segala perbuatan dan perkataaan mukallaf. Fiqh hukum syara’ terhadap
segala perbuatan dan perkataaan mukallaf. Fiqh merupakan rujukan bagi hakim
dalam menetapakan putusannya dan menjadi pedoman bagi mufti dalam
mengeluarkan fatwa. Bahkan fiqh menjadi petunjuk berharaga bagi setiap
mukallaf dalam menetapkan hukum perkataan dan perbuatannya sehari-hari.

a. Komponen Hukum Syar’i


Hukmu syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam.

1. Al-Hakim
Hakim adalah Pembuat hukmu (syar’i). dalam pengertian Islam adalah
Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang
menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya
dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat;
baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.

15
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukmu (syar’i) satu-satunya bagi
umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am:
57
Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang
nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada
padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
menetapkan hukmu itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya
dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am : 57).

2. Al-Hukmu
Definisi Hukmu menurut ahli usul fiqh adalah Khithab (doktrin) Allah
yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
penetapan. Sedangkan menurut ahli fiqih (Fuqaha) adalah suatu karakter (sifat)
yang merupakan iplikasi dari khithab tersebut.8
Dalam pengertian hukmu, terdapat perbedaan terminologi, para ahli ushul fiqh
menjadikan hukmu sebagai ilmu tentang khithab al-Syari’, yang menuntut
mukallaf untuk berbuat atau menyuruh memilih antara berbuat atau tidak, atau
khithab itu menjadi sebab, syarat atau penghalang atas suatu perbuatannya.
Adapun menurut ahli fiqh, hukmu itu adalah suatu implikasi dari khithab,
seperti halnya kewajiban melaksanakan shalat, keharaman melakukan
perzinahan. Kemakruhan jual beli pada waktu adzan berkumandang,
pembolehan berburu setelah melakukan ihram.Perbedaan dalam terminologi ini
tidak memiliki implikasi praktis.
Dari definisi tersebut, jelas bahwa hukmu terbagi menjadi dua bagian,
yaitu: Hukmu Taklifi dan Hukmu Wadl’i.
a. Hukmu Taklifi : hukmu yang berupa titah Allah yang
mengandung beban bagi orang mukallaf, baik beban itu berupa

8
Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
hlm,. 33.

16
Tuntutan untuk mengerjakannya, meninggalkannya atau
memilih mengerjakannya atau tidak mengerjakannya.9
Hukmu taklifi disini menurut jumhur ulama’ dibagi menjadi
lima bagian:
 Al-Iijab (Wajib)
 An-Nadab (Sunnah)
 At-Tahrim (Haram)
 Al-Karohah (Makruh)
 Al-Ibahah (Mubah)
b. Hukmu Wadl’i : hukmu tuhan yang berhubungan dengan sesuatu yang
menjadi alamat/tanda-tanda yang menentukan ada atau tidak adanya hukmu
taklifi, atau dengan kata lain sesuatu yang mengakibatkan ada tidaknya
hukmu taklifi.
Hukmu taklifi disini meliputi:10
 Sabab : adalah suatu sifat/keadaan yang karena adanya
menjadi sebab timbulnya hukmu taklifi.
 Syarat : adalah sesuatu yang harus ada untuk
terjadinya/adanya hukmu taklifi, jika syarat itu tidak ada
maka hukmu taklifi menjadi tidak ada.
 Mani’ : adalah sesuatu yang menjadi penghalang
adanya hukmu taklifi.
3. Al-Mahkum
Yang dimaksud dengan mahkum adalah perbuatan yang
dihukumi. Dalam hal ini mahkum tersebut adalah segala perbuatan
yang dilakukan oleh seorang mukallaf. Jadi perbuatan yang dilakukan
oleh orang yang tidak mukallaf tidak dikenai hukum, misalnya
perbuatan anak kecil, orang gila ataupun orang yang sama sekali tidak
mengerti peraturan syari’at.11
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek
hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:

9
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Cet-1 (Surabaya: eL-Kaf, 2006), hlm,. 25.
10
Ibid, hlm,. 33.
11
Ibid. hlm. 36.

17
 Perbuatan itu sah dan jelas adanya : tidak mungkin memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mengecat langit.
 Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
 Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada
dalam kemampuannya untuk melakukannya.
 Perbuatan itu harus diketahui adalah merupakan perintah Allah SWT.
Sehingga jelas kemana tujuan kepatuhannya.
Dari syarat-syarat di atas timbul beberapa cabang masalah: “kemampuan
mengerjakan adalah syarat pembebanan, maka tak ada pembebanan atas sesuatu
yang tidak mungkin dikerjakan”. Dan perbuatan yang tidak mungkin dikerjakan
tersebut dapat disebabkan oleh halangan (mani’) yang dibagi menjadi dua
bagian:12
 Al-Mustahil Li Dzatihi (yang mustahil karena dzatnya)
 Al-Mustahil Li Amrin Kharij (yang mustahil karena faktor
eksternal).

4. Al-Mahkum ‘Alaihi
Mahkum alaihi adalah orang yang dibebani hukum (subjek hukum), yakni
mukallaf (orang yang sudah mencapai akil balig, sehat rohani, islam dan sudah
sampai da’wah syariat kepadanya)13. Dengan demikian orang-orang yang tidak
memenuhi kriteria diatas tidak terbebani hukum.
Dengan demikian Subjek hukum atau pelaku hukum (mukallaf) ialah
orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya
telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.

12
Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
hlm,. 152- 153.
13
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Cet-1 (Surabaya: eL-Kaf, 2006), hlm,. 36.

18
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
 Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan
bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
 Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
 Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna,
yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Ketika orang sudah mencapai usia baligh (mukallaf), maka baginya telah
sempurna hak dan keahliannya. Akan tetapi pada fase ini sering timbul
permasalahan-permasalahan (penghalang) yang dapat menghalangi hak dan
keahliannya.
Penghalang keahlian ini dibagi menjadi dua macam: Pertama : Awaridh
Samawiyah, yakni penghalang yang datangnya bukan dari manusia dan bukan
pula dari kemauannya. Seperti Al-Junun (gila), Al- ‘Atah (dungu/idiot), An-
Nisyam (lupa), An-Naum (tidur), Al-Ighmaa’ (pingsan), Al-Maradh (sakit),
haid/nifas, Al-Maut (mati). Kedua : Awridh Muktasabah, yakni penghalang yang
terjadi dengan kehendak manusia, baik dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya.
Seperti: Al-Sakr (mabuk), Al-Hazl (Bergurau.main-main), As-Safah (Bodoh),
Al-Safar (perjalanan), Al-Khatha’ (kekeliruan), Al-Ikrah (paksaan).14

14
Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)

19
BAB III PENUTUP
Kesimpulan

1. Fiqh adalah Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan


perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan
dihasilkan dengan jalan ijtihad. Sedangkan Ushul fiqh adalah ilmu kaidah-
kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk
menemukan hukum-hukum syara yang amaliah dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi
tuntunan berbuat, meninggalkan. Kajian Fiqh adalah semua perbuataan
mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’, yang membahas tentang
seluk beluk hukum-hukum islam dan yang ada hubungannya dengan
tindakan mukallaf.
2. Kegunaan utama ilmu ini adalah untuk mengeathui kaidah-kaidah yang
bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk
diterapkan pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehingga dapat di
istinbathkan hukum syara’yang ditunjukkan. Dan dengan ushul fiqh dapat
dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan
bertentangan satu sama lain. Dan juga kegunaannya dapat menerapkan
hukum syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataan mukallaf, yang
merupakan rujukan bagi hakim dalam menetapkan keputusannya dan
menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan fiqh
menjadi petunjuk berharga bagi setiap mukallaf dalam menetapkan hukum
perktaaan dan perbuatannya sehari-hari.
3. Al-Hakim : adalah Pembuat hukum (syar’i). dalam pengertian Islam
adalah Allah SWT.
4. Al-Hukmu : menurut ahli usul fiqh adalah Khithab (doktrin) Allah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
penetapan.Dari definisi tersebut, jelas bahwa hukum terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i.
Hukum Taklifi:
 Al-Iijab (Wajib)

20
 An-Nadab (Sunnah)
 At-Tahrim (Haram)
 Al-Karohah (Makruh)
 Al-Ibahah (Mubah)
Hukum Wadl’i:
 Sabab
 Syarat
 Mani’
5. Al-Mahkum: adalah perbuatan yang dihukumi. Penghalang keahlian
mukallaf dibagi menjadi dua:
 Al-Mustahil Li Dzatihi (yang mustahil karena dzatnya)
 Al-Mustahil Li Amrin Kharij (yang mustahil karena faktor
eksternal)
6. Mahkum ‘Alaihi : adalah orang yang dibebani hukum (subjek hukum),
yakni mukallaf (orang yang sudah mencapai akil balig, sehat rohani, islam
dan sudah sampai da’wah syariat kepadanya).

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002

Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. 3,
2004

Dedi rohayana, ilmu Ushul fiqih (pekalongan: STAIN Press, 2006)

Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu ushul fiqh, Pustaka Setia. 2015 cet-5

Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani,


2007)

Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Cet-1 (Surabaya: eL-Kaf, 2006)

22

Anda mungkin juga menyukai