Anda di halaman 1dari 22

KONSEP FIQH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh 2 Dan Metode
Pembelajarannya
DOSEN PENGAMPU : Muhammad Mukhtar. S, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Muhammad Zulkhair
Nurhafifah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUD DA’WAH WAL IRSYAD
(STAI-DDI PINRANG)
TAHUN AKADEMIK 2021
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrohiim,
Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk,
rahmat, dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Konsep Fiqih
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW, pemimpin para Nabi dan panutan bagi umat Islam
di dunia yang beriman dan bertaqwa, begitu juga dengan para keluarga dan
sahabat yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-
benderang “Ila Dzulumati Ilannur” serta kepada pengemban risalah mulia yang
selalu mengikuti metode serta langkah beliau yang menjadikan “Al-Qur‟an”
sebagai pedoman sekaligus sumber hukum.

Penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan, demi
kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga amal kebaikan dan aktivitas yang kita
lakukan selalu ada dalam rahmat dan ampunannya, Aamiin.

Pinrang, 05 April 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1

C. Tujuan penulisan ........................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 2

A. Pengertian Fiqih ......................................................................... 2

B. Sumber Hukum Islam.................................................................. 4

C. Ruang Lingkup Fiqih ................................................................. 13

BAB III PENUTUP .............................................................................. 18

A. Kesimpulan ................................................................................. 18

B. Saran ........................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 19

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mempelajari ilmu fiqih menjadi sebuah sarana manusia untuk menjalani
kehidupan di dunia, baik ibadah maupun muamalah. Fiqh dalam konteks ibadah
akan membahas hubungan manusia dengan Tuhan sedangkan fiqh dalam konteks
muamalah akan membahas hubungan manusia dengan manusia.

Hal yang pertama dipelajari adalah konsep dasar dari ilmu fiqh. Konsep
dasar tersebut meliputi pengertian, sumber hukum islam, ruang lingkup, dan
pengertian ilmu fikih.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fiqih ?
2. Apa sajakah Sumber Hukum Islam ?
3. Apa saja ruang lingkup dari fiqih ?

C. Tujuan Penulisan
1. Memahami dan mengetahui maksud dari fiqih
2. Mengetahui sumber-sumber hukum islam
3. Mengetahui ruang lingkup fiqih dan fiqih ibadah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh
Pengertian “fiqh” secara etimologis berati “paham yang mendalam”. Bila
“paham” dapat digunakan untuk hal hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham
yang menyampaikan ilmu lahir kepada ilmu batin. Karena itulah At-Tirmidzi
menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu”, berarti mengetahui batinnya sampai kepada
kedalamannya.
Kata “faqaha” atu yang berakar kepada kata itu dalam Al-Qur’an disebut dalam
20 ayat : 19 diantaranya berarti bentuk tertentu dalam kedalaman paham dan kedalaman
ilmu yang menyebutkan dapat diambil manfaat darinya.
Ada pendapat yang megatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak sama dengan
“ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafaznya sama. meskipun belum menajdi ilmu,
paham adalah pikiran yang baik dari segi kesiapannya menangkap apa yang dituntut.
Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu
tentang zheanni dalam dirinya.
Secar definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah
yang digali dan ditemukan dan dalil-dalil yang tafsili”.
Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu
pengetahuan. Memang fiqh itu tdak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqh itu
bersifat zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan nya,
sedangkn ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun, karena zhan dalam fiqh ini
kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karena dalam definisi ini ilmu digunakan juga
untuk fiqh. Dalam definisi diatas terdapat batasan atau pasal yang disamping
menjelaskan hakikat dari fiqh itu, sekaligus juga memisahkan arti kata fiqh itu dari yang
bukan fiqh.
Kata “hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada
diluar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk kedalam
pengertian fiqh. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk
jamak adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang
disebut hukum.

2
Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan
bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal
dari kehendak Allah. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘Aqli’
seperti ketentuan bahwa dua kali dua adalah empat atau bersifat hissi seperti ketentuan
bahwa api itu panas bukanlah lapangan ilmu fiqh.
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu
hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-
hal yang bersifat tidak amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk
dalam lingkungan fiqh dalam artian ini.
Penggunaan kata “digali dan ditemuikan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah
hasil penggalian, penemuan, penganalisisian, dan penentuan ketetapan tentang hukum.
Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil penggalian – seperti mengetahui apa-apa yang
secara lahir dan jelas dikatakan Allah – tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil
penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunan
seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan peemuannya. Karena itu, ilmu yang
diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk
kedalam pengertian fiqh.
Al-amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi yang berbeda
dengan yang diatas, yaitu : “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang
bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Kata “furu’iyah” daam definisi Al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang
dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul,
sekalipun yang diketahui itu adalah hukujm yang bersifat mazhari.
Penggunaan kata “penaaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya dengan
“digali”) menurut istilah ibnu subki diatas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah
hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara itu – seperti ilmu
nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu – tidak disebut fiqh.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, “fiqh itu adalah dugaan kuat
yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah”.
(Syarifuddin, 2009)

3
B. Sumber Hukum Islam
ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan
suatu hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan
demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil
dan hukum. Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna,
yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi.
Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi)
maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi
dalil yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya,
baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan
“sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti
menyangkut objek informatif”.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai
dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya
sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan
menolak yang selebihnya.

Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyas.
1. Al-Qur’an
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar
(infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki
arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang
diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan. 
Al-Qur’an ( ‫ ) القرآن‬adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa
Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantaraan Malaikat Jibril.

4
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang
diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw,
isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu
disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta
membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.

Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum


Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya
kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih
dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut
memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup
manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan
berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan
pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha
Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab
dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah
manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu
memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang
abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14
ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala
kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral
dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan
keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah
jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan
ibadah yang sah”.

Hukum-hukum dalam Al-Qur’an


Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam,
yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan

5
kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-
kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan
kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan
menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-
perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama)
sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah
yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
 Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-
hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan
Tuhan.
 Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-
transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-
sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan
maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut
syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan
dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-
hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli
pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah
lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum
perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah)
dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya
masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi.
Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat
dihajatkan.

6
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-
dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam
menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan
yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
(dalil-dalil) dan jiwa syari’at.

2. As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda
setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah
Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
i. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan
dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
“Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan”. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti
kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri
dan orang lain.
ii. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan
beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
iii. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di
hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh
Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan
beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu
dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau
sendiri.

Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para
sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah
Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah

7
alasan dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang
sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada
Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan,
makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat,
shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-
hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali-
Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.

Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an


As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek,
yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek
hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah
Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-
Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara
dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an-
Nahl: 64.

Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an


Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai
3 fungsi sebagai berikut.
i. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada
dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-
Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan
pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
larangan syirik, riba dan sebagainya.
ii. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
iii. takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih
mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat
Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana,

8
dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang
bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda:
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR.
Bukhari)

3. Ijma’
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di
antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara
tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada
seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian
bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka
itulah yang disebut ijma.

Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat
terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa
memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4.
Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu
masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua
mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian
mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan
masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun
secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu
peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang
wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil
Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat
mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :

9
i. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu
kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang
dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
ii. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan
pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut
dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi
menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
i. Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan
tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak
boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah
adanya ijma sharih.
ii. Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan
dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan
adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh
mujtahid.

4. Qiyas
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
yang bisa menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan
menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan
lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya,
masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan
dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.

Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut

10
i. Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini
biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
ii. Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan
hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang
diukur)
iii. Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan
dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
iv. Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl,
kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.

Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istisan, maslahah, mursalah, istihah,
‘urf, syar’u man qablana, dan mazhab shahabi.
1. Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang disyariatkan
kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti hukum-
hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang
menghapuskannya.
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan
oleh Allah swt, bagi umat-umat sebelum kita.
2. Mazhab sahabi
Tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa perkataan sahabat
(mazhab sahabi) yang bukan berdasarkan pikiran semata-mata adalah menjadi hujjah
bagi umat islam. Yang demikian itu, karena apa yang dikatakan oleh para sahabat itu
tentu saja berdasarkan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah saw.
3. ‘Uruf
‘Urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Dalam
pembicaraan ahli hukum tidak ada perbedaan antara ‘uruf dan adat. Macam-macam ‘urf:
- ‘Uruf perkataan: penggunaan lafadz al-waladu kepada anak lelaki, bukan kepada
anak perempuan.
- ‘Uruf perbuatan: manusia sering berjual beli dengan saling memberi barang dan
harganya.

11
- ‘Uruf meninggalkan: manusia tidak menggunakan kata-kata daging untuk ikan.
4. Maslahah Mursalah
Muslahah Mursalah adalah suatu kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-
singgung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Jika dikerjakan akan
membawa manfa’at atau menghindari keburukan.
Dalam praktiknya, maslahah mursalah tidak banyak berbeda dengan istihsan.
Perbedaannya, istihsan adalah mengecualikan sesuatu hukum dari peraturan umum yang
ditetapkan qiyas. Sedangkan maslahah mursalah tidak ada penyimpangan dari qiyas.
5. Istihsan
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan
lawan dari “qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin
dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata
benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara
fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk. Sedangkan secara
istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki
kesamaan. Berikut ini beberapa definisi Istihsan:
a. Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)
ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/
ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya. (Abu Zahroh)
b. Meninggalkan / mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih
kuat darinya. (Jasim Muhalhil)
c. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang
bersifat umum/ menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
d. Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa
karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena
pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
(Al Jayzani)
e. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena
pertimbangan yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
f. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara
pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya
bertentangan. (Ibnul Arobi)

12
g. Pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak,
yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii).
6. Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan
menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain,
istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah
ketentuan hukum itu. Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah membiarkan
berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih
diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang
mengubahnya.

C. RUANG LINGKUP FIQIH


Ruang Lingkup fiqh islami meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
b. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
c. Hubungannya dengan mastarakatnya.
Ilmu fiqh Islami, bukan hanya duniawi semata, tetapi untuk dunia dan akhirat; dia
adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku umum bagi umat manusia hingga hari
kiamat. Isi ilmu fiqh seluruhnya terjalin dengan baik antara akidah denagn ibadah,
akhlak dan muamalah, untuk menciptakan kesadaran hati nurani, dan rasa tanggung
jawab, karena selalu merasakan pengawasan Allah kepadanya, baik dalam keadaan
terang-terangan, maupun tersembunyi. Orang yang selalu merasakan demikian, tetap
tenang hatinya, tentram jiwanya dan merasa aman dalam hidupnya.
Ruang lingkup ilmu fiqh yang berkaitan dengan segala kegiatan orang-orang mukallaf
yang meliputi: perkataannya, perbuatannya, dan seluruh daya-upayanya, dapat di bagi
atas dua bagian (kelompok) yaitu:
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan segala macam, ibadah yang meliputi:
taharah, shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan sebagainya, yang
bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Hukum-hukum selain ibadah, yang dalam istilah syar’i disebut dengan “hukum
muamallah”, yang meliputi berbagai macam transaksi, daya-upaya, hukuman,

13
pelanggaran, jaminan dan sebagainya yang dimaksudkan untuk mengatur
hubungan orang-orang mukallaf dengan sesama mereka, baik secara pribadi,
maupun jama’ah (masyarakat).
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam bidang yang sesuai
dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan dengannya, yaitu :
a. Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga, semenjak
terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
b. Hukum Perdata (Hukum sipil)
c. Hukum Jinayah (Pidana) Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan
tindakan pidana (kejahatan) dari orang mukallaf dan hukumannya.
d. Hukum Acara Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan: penuntutan,
pemeriksaan, saksi, sumpah, dan pemutusan perkara ini dimaksudkan untuk
mengatur cara-cara mengajukan perkara, untuk menciptakan keadilan diantara
manusia.
e. Hukum Dusturiah (perundang-undangan) Yaitu hukum-hukum yang mengatur
tentang dasar-dasar pemerintahan (Negara) dan sistemnya.
f. Hukum Internasional Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan Negara-
negara Islam denagn Negara-negara lain, baik dalam keadaan perang maupun
dalam keadaan damai.
g. Hukum Ekonomi dan Keuangan Yaitu hukum-hukum yang mengatur sumber-
sumber pemasukan keuangan Negara dan menetapkan anggaran belanja
Negara; mengatur hak dan kewajiban setiap Negara dibidang keuangan dan
mengatur hubungan social-ekonomi antara orang kaya dan orang fakir-miskin,
serta antara pemerintah denagn rakyat.

Objek ilmu Fiqh pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqih
adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah,
mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan
urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan
diri kepada allah, seperti sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Bagian mu’amalah

14
mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjam, amanah, dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan
persoalan munakahat dan siyasah. Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang
menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan,
pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti
qisas, had, diyat, dan ta’zir.

Sesuai dengan definisi fiqh diatas maka seluruh perbuatan dan perilaku manusia
merupakan medan bahasan ilmu fiqh.
Ruang lingkup yang demikian luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a. Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan
haji.
b. Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari najis maupun dari hadats.
c. Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk transaksi dan kegiatan-
kegiatan ekonomi
a. Munakahat, yaitu tenatang pernikahan, perceraian dan soal-soal hidup berumah
tangga.
b. Jinayat, yang mengulas tentang perilaku-perilaku menyimpang (mencuri,
merampok, zina dan lain-lain) dan sangsinya
c. Faraidh, yang membahas tentang harta warisan dan tata cara pembagiannya
kepada yang berhak.
d. Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas politik, peradilan,
kepemimpinan
Pengertian Fiqih Ibadah
Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya
pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.
Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i
yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban.
Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (‫( ;)الطاعة‬2) tunduk (
‫( ;)الخضوع‬3) hina (‫ ;)ال__ذ ّل‬dan (‫)التنس_ك‬
ّ pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk
ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah.

15
Adapun pendapat lain mengenai ibadah adalah:
‫التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة‬
Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang
dikatakan ibadah adalah beramal dengan yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.;
karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti khusus.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang
dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah
perbuatan ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah Saw. Ibadah dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat,
Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah Nadzar dan Kifarat.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas
seperti meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya.
(Rachmawan,)
Jadi fiqh ibadah adalah ilmu yang mencakup segala persoalan yang pada dasarnya
berkaitan dengan akhirat dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ruang Lingkup Fiqh Ibadah


1. Thaharah, wudhu, mandi, dan tayammum.
Dasarnya, adalah :
 (QS. Al Maidah : 6)(QS. Albaqoroh :222)(QS.Annisa:43)
 Hadits dari abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW. Bersabda :“ Alloh tidak
menerima sholat salah seprang diantaramu bila ia berhadats, sampai ia
berwudhu lebih dahulu.” (H.R. Bukhori & Muslim).
2. Shalat.
 Secara etimologi berarti doa.
 Menurut syara artinya bentuk ibadah yang terdiri atas perkataan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Dasarnya
adalah (QS.Al-Ankabut:45) (Al Baqarah: 43) (Al Bayyinah: 5).  Hadits Nabi
SAW,”Salat itu tiang agama, maka barang siapa yang mendirikan shalat

16
berarti ia menegakkan agama. Dan barang siapayang meninggalkannya,
sungguh ia telah merobohkan agama.”(HR.Albaihaqqi)
3. Puasa.
 Menurut bahasa berarti menahan atau mencegah.
 Menurut istilah  adalah menahan diri dari makan,minum, hubungan suami
istri dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit matahari sejak terbit
fajar sampai tenggelam matahari. Dasar hukumnya (QS.Albaqoroh:183) dan
alhadits.

4. Zakat
Zakat dalam ajaran Islam yaitu harta tertentu yang wajib dikeluarkan seseorang
untuk fakir miskin dan sesuai dengan perintah syara. Dasar hukumnya,
(QS.Almuzammil:20)(QS.Luqman:2-4)(QS.Attaubat:11) (QS.Annur:56)
(QS.Adzdzariyat:19). Hadits Nabi SAW.
5. Haji
a) Secara etimologis, haji berarti pergi menuju tempat yang diagungkan atau
menyengaja.
b) Secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan
manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan
tempat tertentu dengan cara yang tertentu pula.Definisi ini disepakati oleh
seluruh mazhab.Dasar Hukum : QS.Albaqoroh:27, QS Alhaj: 26-27, Hadits
“Dari Ibnu abbas, telah bersabda Nabi SAW,”Hendaklahh kamu bersegera
mengerjakan haji, maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari
sesuatu halangan yang akan merintangi.”(HR.Ahmad)
6. Pemeliharaan Jenazah
Hukum pemeliharaan jenazah adalah fardu kifayah. Kewajiban muslim
terhadap jenazah yaitu, memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan
menguburkan

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Fiqih ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui metode
ijtihad,sedangkan ushul fiqih merupakan seperangkat dalil-dalil atau
kaidah-kaidah penyusunan hukum fiqih serta metode-metode yang mesti
ditempuh agar kita bisa memanfaatkan sumber-sumber hukum Islam untuk
bisa memformulasikan sebuah hukum khususnya terkait sebuah persoalan
kekinian.
Dari keterangan di atas, kita dapat memahami perbedaan obyek kajian
antara fiqih dan ushul fiqih. Wilayah pembahasan dalam fiqih ialah hukum
tentang sebuah persoalan. Misalkan saja, ada sebuah persoalan, maka
melalui fiqih kita akan membahas hukum persoalan tersebut apakah wajib,
sunah, haram, dan lain sebagainya
2. Dari keterangan di atas, kita dapat memahami perbedaan obyek kajian
antara fiqih dan ushul fiqih. Wilayah pembahasan dalam fiqih ialah hukum
tentang sebuah persoalan. Misalkan saja, ada sebuah persoalan, maka
melalui fiqih kita akan membahas hukum persoalan tersebut apakah wajib,
sunah, haram, dan lain sebagainya
3. Ruang lingkup fiqih yaitu Hubungan manusia dengan
Tuhannya,Hubungannya dengan dirinya sendiri,dan Hubungannya dengan
mastarakatnya.Ruang lingkup yang terdapat pada ilmu Fikih adalah semua
hukum yang berbentuk amaliyah untuk diamalkan oleh setiap mukallaf
(Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani atau diberi tanggung jawab
melaksanakan ajaran syariah Islam dengan tanda-tanda seperti
baligh,berakal,sadar,sudah,masuk,Islam.
B.     Saran
Setelah mempelajari Konsep Fiqh sebagai calon pendidik sudah
seharusnya bagi kita untuk dapat memahami konsep Fiqih dengan baik agar dapat
diaplikasikan dilapangan nantinya. Karena hal ini sangat penting bagi
kelangsungan proses belajar mengajar.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ashshiddiqi, habsi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Mulya. Jakarta.

https://www.bacaanmadani.com/2018/05/pengertian-dan-ruang-lingkup-fikih.

https://www.scribd.com/doc/282341902/makalah-konsep-fiqih.

Majelis tarjih Muhammadyah. Himpunan Putusan Majelis Tarjih


Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Yogyakarta.

Rachmawan, Hatib. Fiqih Ibadah Dan Prinsip Ibadah Dalam Islam.UAD.


Yogyakarta.

Syarifuddin, amir. 2009. Ushul Fiqh jilid 1. Kencana Prenada Media Group
Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai