Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“Fiqih dan Ruang Lingkup Fiqih”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah pada Program Studi
Pendidikan Agama Islam

oleh

Arini Triana Suci Rahmadani / 19010101033


Eka Putri Zalianty / 2022010101031
Dwi Sesa Safira / 2022010101073
Nurlita Wulandari / 2022010101079

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam makalah ini kami membahas “Fiqih dan Ruang Lingkupnya”. Tidak lupa

kami ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak atas dukungannya dalam

penyusunan makalah ini.

Kami menyadari, bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih jauh

dari kata sempurna baik dari materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,

penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Akhir kata, kami meminta maaf atas kekurangan yang ada dalam makalah ini.

Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan makalah kami selanjutnya

Kendari, 5 Maret 2023

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Pengertian Fiqih .................................................................................................. 3
B. Ruang Lingkup Fiqih........................................................................................... 4
C. Objek Bahasan Ilmu Fiqih ................................................................................... 7
D. Metodologi Ilmu Fiqh ......................................................................................... 8
E. Hubungan Antara Syariah dan Ilmu Fikih......................................................... 17
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 20
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 20
B. Saran .................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

lImu Fiqh yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Hadist Nabi.

Ternyata mampu bertahan dan terus mengetahui kehidupan muslim, baik

individu maupun kelompok. Ushul figh juga merupakan suatu ilmu yang

berisikan tentang kaidah yang menjelaskan cara-cara mengistinbatkan

hukum dari dalil-dalilnya.

Bahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan ini penting mengingat

kedua hukum Islam. Yaitu Al-Qur'an dan sunnah berbahasa arab, untuk

membimbing mujtahid dalam memahami al-Qur'an dan sunnah sebagai

landasan dalam menetapkan hukum tentu perlu mengetahui tentang lafal

dan ungkapan yang terdapat pada keduanya.

Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi saw wafat,

sejak saat itu sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh,

meskipun ilmu tersebut belum dinamakan ushul figh. Perkembangan

terakhir dalam penyusunan buku Ushul Figh lebih banyak menggabungkan

kedua sistem yang dipakai dalam menyusun ushul figh, yaitu aliran

Syafi'iyyah dan Hanafiyyah.

Keadaan seperti ini terus berlangsung dan akan terus pula diberikan

jawabannya oleh ilmu figh terhadap problem yang muncul sebagai akibat

dari perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan ilmu

pengetahuan. Dalam kchidupan umat islam, perkembangan lembaga tidak

1
hanya terjadi sebagai aplikasi ajaran islam, tetapi juga timbul hanya sebagi

interaksi umat islam dengan kebudayaan lain. Karena didalam kehidupan

bersama diperlukan pranata yang dapat memelihara ketertiban dan

ketentraman, termasuk pranata hukumnya.

Dalam sebuah penetapan sebuah hukum yang akan diberlakukan

secara umum, perlu diketahui dan juga menjadi sangat urgent untuk dapat

memahami apa saja unsur-unsur yang harus ada dalam penentuan tersebut.

Sebut saja salah satunya adalah hukum itu sendini, pada umumnya setiap

orang pasti mengetahui adanya hukum. Akan tetapi tidak menjamin mereka

memahami apa makna sesungguhnya dari hukum tersebut.

Selain itu masih banyak sekali komponen-komponen yang harus ada

dalam penentuan sebuah hukum, Khususnya hukum syara' diantaranya

adalah hukum, al-hakim, mahkum filhi dan mahkum alaihi, serta apa saja

dalil-dalil yang dapat dipergunakan. Oleh karena itu diharapkan dengan

adanya makalah ini dapat membantu (untuk dapat memahami komponen-

komponen hukum syara' beserta dalil-dalilnya secara lebih ringkas.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu ilmu fiqih?


2. Apa saja ruang lingkup fiqih?
3. Apa saja objek bahasan ilmu fiqih?
4. Bagaimana metodologi ilmu fiqih?
5. Bagaimana hubungan antara syariah dan ilmu fiqih?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena

fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Fiqh secara

etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan

pengerahan potensi akal2. Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan

bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah

Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan

berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan

menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu

tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan

ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.

Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan

bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu

yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam

definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk

manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat

bukan amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk

dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan kata “digali dan

ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian,

penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh

3
itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh

nash.

Amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang

syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan

situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan

yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf yang

diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu

disebut fiqh.

B. Ruang Lingkup Fiqih

Para ulama fiqih sesuai ruang lingkup bahasan menjadi dua bagian

besar yaitu : fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Hal ini didasarkan pada ayat

al-Qur’an yang membedakan dua hubungan manusia itu pada umumnya :

‫ﺿﺮﺑﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺬ ﻟﺔ ﺍﻳﻨﻤﺎ ﺛﻘﻔﻮﺍ ﺇﻻﺑﺤﺒﻞﻣﻦ ﷲ ﻭﺣﺒﻞﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬

Artinya: Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada kecuali

jika mereka berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (hubungan

baik) dengan manusia.

Di jelaskan bahwa ruang lingkup fiqih itu meliputi keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan antara:

a. Hubungan manusia dengan Allah SWT

b. Hubungan manusia dengan sesama manusia, dan

c. Hubungan manusia dengan alam(selain manusia) dan lingkungan

Adapun fokus pelajaran fiqih MTs. adalah dalam bidang-bidang

tersebut:

4
a. Fiqih ibadah : norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur

hubungan manusia dengan Tuhannya (vertical)

b. Fiqh muamalah : norma-norma ajaran agama Allah yang mengatur

hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya (horizontal)

Yang pertama (fiqh ibadah) dibagi lagi menjadi dua, yaitu ibadah

mahzhah dan ibadah ghairu mahzhah. Ibadah mahzhah adalah ajaran agama

yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang murni mencerminkan

hubungan manusia itu dengan Allah. Sedang ibadah ghairu mahzhah adalah

ajaran agama yang mengatur perbuatan antar manusia itu sendiri.

Norma-norma ajaran agama yang mengatur hubungan antar manusia

ini sangat luas sehingga fiqh muamalah ini terbagi kedalam banyak bidang,

yaitu:

1. Fiqh munakahat : pengetahuan tentang norma-norma ajaran Islam yang

mengurai tentang pernikahan sejak dari norma tentang melihat calon

suami / istri (nazhar), tata cara melamar (khithbah), mas kawin (mahat

/ shadaq), akad nikah, wali, saksi, pencatatan nikah, perceraian (talak),

iddah, hak nafkah bagi istri, hak mengasuh anak (hadhanah), hak dab

kewwajiban suami istri dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

suami istri.

2. Fiqh Jinayat : Pengetahuan tentang norma-norma ajaran Islam yang

mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap

orang atau lembaga lain, seperti melukai orang lain, menghina, atau

memfitnah, mencuri, meminum minuman keras atau membunuh.

5
3. Fiqh Siyasah : Pengetahuan yang membicarakan norma norma ajaran

Islam yang berkaitan dengan pemerintahan, misalnya tata cara

pemilihan presiden dan wakil presiden dan wakil presiden, pemilihan

anggota legislatif, pembuatan undang-undang yang mengatur

kepentingan rakyat, dll.

4. Fiqh Muamalat : Pengetahuan yang membicaraka norma-norma ajaran

Islam yang berkaitan dengan transaksi-transaksi yang dilakukan

masyarakat manusia, baik itu jual bel, hutang piutang, sewa menyewa,

pinjam meminjam barang, dll, Meliputi : kajian tentang prinsip-prinsip

ibadah dan syari’at dalam Islam; hukum Islam dan perundang-

undangan tentang zakat dan haji, hikmah dan cara pengelolaannya;

hikmah qurban dan aqiqah; ketentuan hukum Islam tentang pengurusan

jenazah; hukum Islam tentang kepemilikan; konsep perekonomian

dalam Islam dan hikmahnya; hukum Islam tentang pelepasan dan

perubahan harta beserta hikmahnya; hukum Islam tentang wakalah dan

sulhu beserta hikmahnya; hukum Islam tentang dhaman dan kafalah

beserta hikmahnya; riba, bank dan asuransi; ketentuan Islam tentang

jinayah, hudud dan hikmahnya; ketentuan Islam tentang peradilan dan

hikmahnya; hukum Islam tentang keluarga, waris; ketentuan Islam

tentang siyasah syar’iyah; sumber hukum Islam dan hukum taklifi;

dasar-dasar istimbath dalam fiqih Islam; kaidah-kaidah ushul fiqih dan

penerapannya.

6
C. Objek Bahasan Ilmu Fiqih

Dari pengertian Fiqh yang telah dikemukakan pada sebelumnya,

Objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf serta dalil dari

setiap perbuatan tersebut (dalil Tafshili) yang memiliki nilai dan telah

ditetapkan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib misalnya

dalam melaksanakan shalat dan puasa, sunnah misalnya bersedekah kepada

orang yang membutuhkan, mubah misalnya melangsungkan berbagai

transaksi yang dibolehkan secara syara’, makruh misalnya menjatuhkan

talak tanpa sebab dan haram misalnya berzina, mencuri, dan membunuh

seseorang tanpa sebab yang dibenarkan syara’.

Contoh sederhana diantaranya : shalat itu wajib dalilnya “ aqimu al-

shalah”. jual beli itu boleh, dalilnya “ahalla Allah Al-bay”. Jadi, melakukan

shalat itu (maksudnya yang lima waktu) adalah wajib, melakukan jual beli

itu boleh.”Aqimu Al-shalah” dan “Ahalla Allah al-bay”disebut dalil tafshili.

Artinya, menunjuk kepada satu perbuatan tertentu, yaitu perbuatan shalat

dan perbuatan jual beli ini menjadi objek pembahasan Fiqh.

Yang menjadi bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang

berkaitan dengan masalah ammaliyah. Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan

agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya

sehari-hari. Sekaligus untuk mengetahui niai dari perkataan dan perbuatan

para mukallaf tersebut.

Seorang ahli fiqh membahas tentang bagaimana seorang mukallaf

melaksanakan Shalat, puasa, naik haji dan lain-lain yang berkaitan dengan

7
fiqh ‘ibadah mahdhah, bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban

rumah tangganya, apa yang harus dilakukan terhadap harta anggota keluarga

yang meninggal dunia dan sebagainya.yang menjadi objek pembahasan Al-

Ahwal Syakhsyiah (hukum keluarga), mereka juga membahas bagaimana

cara melakukan muammalah (hukum perdata), seperti jual beli, sewa-

menyewa, patungan dan lain sebagainya. Maksiat apa saja yang dilarang

serta sanksinya apabila larangan itu dilarang, atau bila kewajiban tidak

dilaksanakan oleh seorang mukallaf dan lain-lain pembahasan yang

berkaitan dengan Fiqh Jinayah (hukum pidana), kelembaga mana saja

seorang mukallaf bisa mengadukan masalahnya apabila dia merasa

dirugikan dan atau diperlakukan secara tidak adil, dan lain sebagainya yang

berkaitan dengan Ahkam Al-qadh’a (hukum acara), dan bagaimana

perbuatan mukallaf didalam melakukan hubungan hukum dengan

masyarakat, lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat yang

berhubungan dengan Fiqh Siyasah.

D. Metodologi Ilmu Fiqh

Metodologi Ilmu Fiqh adalah Ushul Fiqh, oleh karena itu apabila kita

mempelajari fiqh tanpa ushul fiqh tidak akan tahu bagaimana caranya

mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya itu dan bagaimana mengembalikan

hukum fiqh kepada sumber asalnya.

a. Pembahasan dalil syara’ secara global

Adapun menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang

dipergunakan sebagai petunjuk pandangan yang sehat untuk menetapkan

8
hukum syara’ tentang amal perbuatan manusia secara qath’i (pasti) atau

zhanni (dugaan keras).

Dalil syara’ (sumber-sumber hukum) jumlahnya sangat banyak,

dari jumlah yang banyak itu ada sebagian yang telah disepakati oleh para

ushul fiqh dan ada pula yang sebagian yang belum mereka sepakati.

Dalil dalam bahasa arab adalah sesuatu yang menunjukan hal-hal

yang dapat ditanggap secara indrawi atau secara ma’nawi. Ada 4 macam

dalil yang berturut-turut adalah sebagai berikut:

a) Al-Qur’an

b) As-Sunnah

c) Al-Ijma’ dan

d) Al-Qiyas

b. Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum,

tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan.

c. Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk

memperoleh hukumdari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-

macamnya kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.

d. Pembahasan tentang ijtihad. Tujuan ushul fiqh adalah mengatur ijtihad

dan membimbing fuqaha dalam upaya mendeduksi hukum dari sumber-

sumbernya.

Selain itu ushul fiqh bertujuan untuk membantu fuqaha untuk

memperoleh pengetahuan memadai tentang susmber-sumber syariah dan

tentang metode-metode deduksi dan inferensi fiqh.

9
Pembagian fiqh menurut objeknya adalah sebagai berikut .

1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sang

pencipta, seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan lainnya yang disebut

sebagai ibadah mahdhah.

2. Hukum-hukum yang mengatur pembentukkan dan pembinaan rumah

tangga, seperti masalah perkawinan, talak, rujuk, nafkah, nasab, dan

waris yang disebut al-ahwal asy-syahsiyah.

3. Hukum-hukum yang mengatur hubun.gan manusia satu sama lain, baik

yang menyangkut harta kekayaan maupun hak-hak, yang disebut al-

mu’amalah.

4. Hukum-hukum yang mengatur hubungan hakim (penguasa)dan

rakyatnya secara timbal balik. Hal ini disebut oleh sebagian ulama al-

ahkam ash-shulthaniyah atau as-siyasah asy-syar’iyah.

5. Hukum-hukum yang mengatur sanksi hukum bagi penjahat (‘uqubah),

yakni mengatur ketertiban dan ketentraman manusia. Tergolong ke

dalam kajian Hukum Pidana Islam atau al-jinayah.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara dengan negara, seperti

masalah perjanjian, perdamaian dan peperangan, yang disebut as-Siyar

atau as-siyasah ad-dauliyah, al-huquq ad-dauliyah.

7. Hukum-hukum yang mengatur norma-norma (ad-akhlaq), masalah baik

buruk dan sebagainya yang disebut al-adab.

Adapun objek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang

berkaitan dengan metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum Islam) di

10
dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Jadi, ushul fiqh membahas dan

menjelaskan cara-cara ber-istinbath: Bagaimana caranya menetapkan

hukumdari dalil-dalilnya.

Dari objek pembahasan tersebut, bisa diuraikan lebih jauh seperti

diteukan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Oleh karena ushul fiqh berbicara

tentang bahgaimana mengeluarkan hukum, maka di dalam ushul fiqh

dibicarakan tentang hukum baik takrif-nya maupun pembagiannya, yaitu

hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi, pada prinsipnya, terdiri

dari: al-ijab, al-nadb, al-tahrim, al-karahah,dan al-ibadah. Sedangkan yang

dibicarakan dalam hukum wad’i terdiri dari: sebab, syarat, al-mani, syah,

syah, dan bathal. Dan ada pula yang memasukkan dalam bab ini tentang

azimah dan rukhshah.

Bagaimana caranya hukum itu dikeluarkan dari dalil-dalilnya? Inilah

inti dari pembahasan ushul fiqh. Didalam bagian ini, dibahas tentang dalil-

dalil hukum, seperti hal-hal sekitar Al-Qur’an, al-sunnah, Ijma’, Qiyas,

Istihsan, al-Mursalah, al-‘Urf, al-Istishhab, “Syara’ umat sebelum kita’,

mazhab Shahabi, saddu al-dzari’ah, dan lain sebagainya yang berkaitan

dengan dalil-dalil syara.

Adapun dalam hal yang berkaitan dengan cara mengeluarkann hukum

dalil, dibahas tentang kaidah bahasa:

1. Tinjauan tentang jelas dan tidak jelasnya satu kata yang menunjukan

kepada maksud tertentu, seperti ada kata yang dhahir, nash, mufashar,

muhkam, dan adapula yang khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.

11
2. Tinjauan tentang cara memahami kata-kata dalam satu nash, apakah

dengan manthuq-nya atau dengan mahfum-nya (dengan tersurat atau

yang tersirat).

3. Tinjauan tentang ruang lingkup satu kata tertentu, seperti lafal yng ‘am

atau yang khas.

4. Tinjauan tentang bentuk katanya, seperti ‘amr (perintah), nahyu

(larangan).

5. Dibahas pula kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu

mendapatkan perhatian serius dalam memecahkan masalah-masalah

yang tidak ada nash-nya seperti: maqashid al-syari’ah, hak Allah, dan

hak adami. Dan sudah tentu dibicarakan pula hal-hal sekitar ijtihad dan

yang berkaitan dengan ijtihad, seperti tingkatan-tingkatan mujtahid,

tentang taqlid dan ‘ittiba.

6. Pembahasan di sekitar Hakim, yaitu pembaasan yang menjelaskan

bahwa Allah SWT., sebagai dzat yang menetapkan hukum. Hukum

Allah ini disampaikan melalui Rasulullah SAW.

7. Pembahasan tentang mahkum fih, yaitu pembahasan sekitar perbuatan

mukalaf yang diberi hukum (perbuatan hukum). Diantaranya

dibicarakan tentang syarat sah taklif, seperti taklif itu harus diketahui

oleh mukalaf, harus mungkin dilaksanakan, dan taklif tersebut harus

datang dari yang mempunyai kewenangan mentaklif.

8. Pembahasan tentang mahkum ‘alayh, yaitu orang mukalaf yang

dibebani hukum. Singkatnya pembahasan tentang subjek hukum.

12
9. Pembahasan yang menjelaskan tentang manusia itu memiliki ahliyah

al-wujub, karena kemanusiaannya, janin sekalipun harus dihormati

hak-haknya. Dan pembahsan tentang ahliyah al-ada’, yaitu orang yang

mempunyai kewenangan bertindak hukum tertentu; orang mukalaf

mempunyai ahliyah al-ada’ secara penuh. Disamping itu dibahas pula

tentang orang-orang yang ahliyah-nya kurang, serta hambatan-

hambatan ahliyah-nya, seperti orang gila.

Sepintas lalu tidak semua sistematika kitab Ushul Fiqh itu sama,

walaupun uraian di atas umumnya menjadi perhatian para ulama ahli Ushul.

Di samping itu kecenderungan kuat para ahli Ushul Fiqh bukan saja

memerhatikan cara-cara penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, juga

berusaha agar cara tersebut (thuruq al-istinbat) bisa

dipertanggungjawabkan. Dalam arti cara-cara tersebut adalah cara berfikir

hukum menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dibuktikan dengan selalu

ditunjukkannya ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang ijma, qiyas, istihsan,

maslahah, mursalah, dan lain sebagainya. Sudah tentu tidak semua ulama

setuju dengan seluruh dunia Islam menggunakan Ushul Fiqh dalam

penarikan hukum, setidak-tidaknya sebagian dari Ushul Fiqh. Ulama yang

tidak menyetujui Ushul Fiqh pun, apabila diperhatikan hasil ijtihadnya,

secara implisit menggunakan Ushul Fiqh.

Banyak sekali kitab Ushul Fiqh yang dikarang oleh ulama-ulama

dahulu maupun yang disusun oleh ulama-ulama sekarang diantaranya:

1. Al-risalah, karangan Imam Syafi’i.

13
2. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiqi al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul , karangan

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani.

3. Al-Mushtafa min ‘Ilm al-Ushul, karangan Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad al-Ghazah.

4. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karangan Abu Ishaq al-Syathibi.

5. Al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh, karangan Dr. Muhammad Ma’ruf

al-Daulabi

6. Ushul al-Fiqh al-Islami, karangan Zaki al-Din Sya’ban.

7. ‘Ilm Ushul al-Fiqh, karangan ‘Abd al-Wahab Kholaf.

8. Ushul al-Fiqh, karangan Muhammad al-Khudlori Byk.

9. Ushul al-Fiqh, karangan Muhammad Abu Zarah.

Metodologi ushul fiqh sesungguhnya merujuk kepada metode-metode

penalaran seperti analogi/qiyas, istishan, istishab, dan aturan-atauran

penafsiran dan deduksi.

Kaidah bahasa dan kaidah ushul lainnya, yang biasa digunakan oleh

para ulama di dalam menentukan hukum, patut dipelajari secara saksama.

Dalam ushul fiqh antara lain ada kaidah bahasa yang berbunyi:

“Pada dasarnya bentuk kata nahyu (larangan) itu menunjukkan

haram”

Kaidah ini bisa diterapkan kepada berbagai macam ayat atau hadits

yang memakai bentuk kata larangan, seperti ayat:

“Janganlah kamu mengatakan ‘ah’ pada ibu bapakmu”. (al-Isra ayat

32)

14
“Janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra ayat 32)

Kedua ayat tersebut meunjukkkan haramnya membantah dan

haramnya mendekati zina.

Kaidah di atas bersifat umum , namun ada kekecualiannya, yaitu

apabila bentuk kata larangan tadi mengandung qarinah (tanda) yang

menyimpangkan haram pada maksud yang lain. Seperti dalam ayat:

“Wahai Tuhan kami janganlah Engkau siksa kami bila kami

terlupa dan tersalah”. (al-Baqoroh ayat 286)

Dalam ayat ini, tidak berarti Allah melarang memberikan hukuman,

tetapi berarti doa, karena berupa permohonan dari yang lebih rendah

(manusia) kepada yang Maha Tinggi (Allah SWT).

Kaidah lain:

“Pada pokoknya sesuatu perkataan diartikan dengan arti yang

sesungguhnya (hakikatnya).”

Contoh: Seseorang memberikan hibah kepada anaknya, padahal dia

juga mempunyai cucu dan menantu. Maka cucu dan menantu tadi tidak

termasuk yang berhak terhadap hibah tersebut. Sebab lafal anak pada

hakikatnya tidak termasuk cucu dan menantu.

Apabila tidak bisa diartikan dengan arti yang sesungguhnya, bisa

bergeser kepada arti kiasan, sesuai dengan kaidah:

“Apabila sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka sesuatu

nash harus diartikan dengan arti kiasan.”

15
“Istri-istrimu adalah pakaian bagimu (bagi para suami) dan kamu

(para suami) adalah pakaian bagi istri-istrimu.” (al-Baqarah ayat 187)

Dalam ayat tersebut bukan mengandung arti yang sesungguhnya

(hakikatnya), tetapi diartikan dengan “antara suami-istri harus bergaul

dengan baik dan saling menjaga kehormatannya”.

Ada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

“Hukum itu selalu mengikuti illat hukum. Ada dan tidak adanya

hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya illat hukum.”

Seperti khamar itu haram karena memabukkan. Dalam hal ini, jadi

illat hukum adalah memabukkan. Maka setiap minuman memabukkan

adalah haram.

Dalam ushul fiqh sering satu masalah bisa didekati dengan berbagai

cara. Untuk memilih mana yang paling tepat diantara cara-cara tersebut

dalam memecahkan satu kasus tertentu sangat tergantung kepada

kecermatan dan pengamatan yang tajam dari seorang mujtahid terhadap

masalah tersebut dan kepada seni berijtihad. Agar hasil ijtihadnya tidak

hanya benar dan akurat, tetapi juga baik dan indah, memiliki kearifan yang

tinggi. Oleh karena itu, para mujtahid selalu melakukan shalat istikharah

sebelum memberikan fatwanya, sebagai usaha terakhir di dalam proses

ijtihad. Dengan demikian dalam proses ijtihad itu segala potensi insani

seorang mujtahid dikerahkan untuk meraih sebanyak mungkin nilai-nilai

samawi. Sebab pada akhirnya ijtihad yang paling mendekati kepada

16
kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kearifan adalah yang paling banyak

meraih nilai-nilai uluhiyah.

E. Hubungan Antara Syariah dan Ilmu Fikih

Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat

dipisahkan. Syariah merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih

merupakan pemahaman terhadap syariah. Pemakaian kedua istilah ini sering

rancu, artinya ketika seseorang menggunakan istilah syariah terkadang

maksudnya adalah fikih, dan sebaliknya ketika seseorang menggunakan

istilah fikih terkadang maksudnya adalah syariah. Hanya saja kemungkinan

yang kedua ini sangat jarang. Meskipun syariah dan fikih tidak dapat

dipisahkan, tetapi keduanya berbeda. Syariah diartikan dengan ketentuan

atau aturan yang ditetapkan oleh Allah tentang tingkah laku manusia di

dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan

syariah terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda

Rasulullah.

Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai

kehidupan yang baik harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah.

Kehendak Allah dan Rasulullah itu sebagian telah terdapat secara tertulis

dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut syariah, sedang sebagian besar

lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu, atau yang tersirat. Untuk

mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku

manusia itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syariah hingga

secara amaliyah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi

17
bagaimana pun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan

yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tingkah laku orang mukallaf

yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah

itu disebut fikih. Pemahaman terhadap hukum syara’ atau formulasi fikih itu

mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi manusia

dan dinamika serta perkembangan zaman. Fikih biasanya dinisbatkan

kepada para mujtahid yang memformulasikannya, seperti Fikih Hanafi,

Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari (Fikih Syi’ah), dan

lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan

Rasul-Nya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum-hukum fikih

merupakan refleksi dari perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat

sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Mazhab fikih tidak lain dari

refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam dunia Islam,

karenanya mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan situasi serta

kondisi masyarakat yang ada. Jadi, secara umum syariah adalah hukum

Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang belum dicampuri

daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah hukum Islam yang bersumber

dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash, baik al-

Quran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah

tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang

besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia;

sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya

dipahami sebagai tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan

18
wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya

tidak ada al- Quran dan Sunnah; dalam fikih ditekankan penalaran dan

deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan

persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan

fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat

digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu, boleh atau

tidak boleh. Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau

pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu

ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan

dari langit (Fyzee, 1974: 21). Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya,

sedang fikih berasal dari pemikiran manusia. Syariah terdapat dalam al-

Quran dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih.

Syariah bersifat fundamental dan mempunyai cakupan yang lebih luas,

karena oleh sebagian ahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak, sedang fikih

bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur

perbuatan manusia. Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut)

dan berlaku abadi, sedang fikih mempunyai kebenaran yang relatif dan

bersifat dinamis. Syariah hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti

terlihat dalam mazhab-mazhab fikih. Syariah menunjukkan kesatuan dalam

Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman dalam Islam.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fiqh adalah ilmu tentang (himpunan) hukum-hukum syara mengenai

perbuatan manusia yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman

yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (tafshili) dalam nash

(al-Qur an dan Sunnah). Yang dimaksud dalil tafshili adalah dalil-dalil yang

terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu persatunya menunjuk pada

satu hukum tertentu.

Tujuan ilmu fiqh yaitu Menerapkan hukum syariat terhadap perbuatan

dan ucapan manusia. Dan sebagai batasan-batasan pemahaman umat

tentang hukum-hukum syara yang berlaku dalam kehidupan beragama dan

bermasyarakat.

Objek pembahasan dalam fiqh adalah perbuatan mukallaf ditinjau dari

segi hukum syara' yang tetap baginya.

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari

bahwa makalah kami masih banyak kekeliruan, untuk itu kami

membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun

demi kesempurnaan makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011).

Ahmad Falah, Materi dan Pembelajaran Fiqh MTs-MA, 2009, Hlm: 2

Al-Jurjawi, Syekh Ahmad Ali.Indah nya Syariat Islam (Jakarta:Gema Insani,

1995).

C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka.

Jakarta. 1986

Djazuli. Ilmu Hukum Islam Fiqih; Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan

(Jakarta: Prenada Media, 2005).

Http://anonymousdx.blogspot.com/2016/05/makalah-objek-pembahasan-

metodologi.html

Http://joharcomfoto.blogspot.com/2011/06/pembelajaran-fiqih-di-MA.html

Rohmad Syafe’I , Fikih MU’amalad Bandung:Pustaka Mulia,2004.

Wahbah Al-zuhaili, Al-fiqh Al-islam Wa adillatuhu I, Beirut: Darul Fikri, 1985.

Wiroso, Muhammad Yusuf. Bisnis Syariah Edisi 2, (Jakarta: Mitra Wacana

Media,1999)

Yasin, Fiqh Ibadah, 2008, Hlm:6-11

Anda mungkin juga menyukai