Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU FIQIH

STRUKTUR KEILMUAN, SISTEMATIKA DAN RAGAM


METODOLOGI FIQIH
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. H. Mohamad Jaenudin, M.Ag, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 4 – Kelas C Semester 1

1. Muhammad Rizki Al-Fathir (1227050093)


2. Rizki Surya Gani (1227050118)
3. Syifa Arifah Nurbayani (1227050131)
4. Zidni Nurfauzi Mahen (1227050137)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kelompok kami dapat
menyusun makalah yang berjudul “Struktur Keilmuan, Sistematika, dan Ragam
Metodologi Ilmu Fiqih”. Semoga Allah senantiasa memberkati Nabi Muhammad,
beserta keluarga dan para sahabatnya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat mempermudah dalam pembuatan makalah ini.
Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Secara khusus, kami ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. H. Mohamad
Jaenudin, M.Ag, M.Pd. sebagai dosen pendukung kami dalam mata kuliah
Kewarganegaraan.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


terdapat kekurangan baik dari segi struktur kalimat maupun tata bahasa. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari para
pembaca agar kami dapat menyempurnakan makalah ini.

kata, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan


wawasan dan peningkatan pengetahuan bagi kita semua.

Bandung, 15 September 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB I.........................................................................................................................................
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................
2.1 Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Fiqih.........................................................3
2.2 Hakikat Ilmu Fiqih...............................................................................................4
2.3 Sistematika Penyusunan Ilmu Fiqih....................................................................4
A. Sistematika Fiqih Hanafi.....................................................................................4
B. Sistematika Fiqih menurut Maliki.......................................................................5
C. Sistematika Fiqih Syafi’i......................................................................................6
D. Sistematika Fiqih Hambali..................................................................................7
2.4 Ragam Metodologi Ilmu Fiqih..................................................................................8
A. Penalaran Bayani................................................................................................8
B. Penalaran Ta’lili................................................................................................10
C. Penalaran Istislahi............................................................................................11
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Ragam Metodologi Fiqih.............................................12
BAB III....................................................................................................................................
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara bahasa, Fiqih berasal dari kalimat: 1) Faqaha, yang bermakna:
paham secara mutlak, tanpa memandang kadar pemahaman yang dihasilkan. Kata
Fiqih secara arti kata berarti: “paham yang mendalam”. 4 Fiqih menurut istilah
artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentang sesuatu biasanya tentang
ilmu agama Islam karena kemuliaannya.5 Secara terminologi Qadhi Baidhawi
mendefinisikan Fiqih yang artinya: Ilmu yang berhubungan dengan hukum-
hukum syariat bersifat amali (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil
terperinci”.

Berdasarkan pengertian menurut bahasa inilah bahwa istilah Fiqih berarti


memahami dan mengetahui wahyu (baik al-Qur’an maupun al-Sunnah) dengan
menggunakan penalaran akal dan metode tertentu sehingga diketahui bahwa
ketentuan hukum dari mukallaf (subjek hukum) dengan sumber hukum (dalil-
dalil) yang rinci. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dan memahami
ketentuan hukum ini kemudian menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dikenal
dengan Ushul Fiqih, yang dapat diterjemahkan dengan teori Hukum Islam. Usul
Fiqih memuat prinsip-prinsip penetapan hukum berdasarkan qaidah-qaidah
kebahasaan (pola penalaran bayani), kaidah yang berdasarkan rasio (penalaran
tahlili) dan kaidah pengecualian (penalaran istihsani).

Sistematika Penyusunan Ilmu Fiqih Hukum-hukum fiqih mencakup segala


aspek kehidupan manusia. Dan pembahasan mengenai sistematika Fiqih antara
satu ulama dengan ulama lain berbeda-beda. Begitupu dalam metodologinya, pasti
memiliki perbedaan antar ulama satu sama lain.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa isi dari Sistematika Fiqih?
2) Bagaimana ragam metodologi Fiqih?
3) Apa kelebihan dan kekurangan dari ragam – ragam metodologi Fiqih

1
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui dan memahami sistematika Fiqih
2) Untuk mengetahui dan memahami ragam – ragam metodologi ilmu Fiqih
3) Untuk mengetahui dan memahami kelebihan dan kekurangan dari ragam –
ragam metodologi ilmu fiqih

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Fiqih

Fiqh lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, karena Islam sendiri
merupakan kumpulan aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya. Karena luasnya aspek yang
diatur oleh Islam, para ahli membagi ajaran Islam menjadi beberapa bidang
seperti bidang akidah, ibadah, dan mua'amalah. Semua bidang tersebut pada
zaman Nabi dijelaskan dalam Alquran sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh
Nabi dalam sunnahnya. 1 Hukum yang diatur dalam Alquran atau sunnah
terkadang berupa jawaban atas pertanyaan atau disebabkan oleh terjadinya suatu
kasus atau keputusan dari Nabi ketika memutuskan suatu masalah. Maka pada
saat itu sumber fiqh hanya ada dua, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Maka untuk menentukan hukum peristiwa baru ini, para sahabat terpaksa
melakukan ijtihad. Dalam ijtihad ada dua kemungkinan, yaitu ada kesepakatan
pendapat antar sahabat yang disebut “ijmaak” dan ada perbedaan pendapat yang
disebut “atsar”. Hasil ijtihad saat itu tidak tercatat sehingga tidak bisa disebut
sebagai ilmu tetapi hanya solusi dari permasalahan. Karena itu hasil ijtihad belum
disebut fiqh dan para sahabat belum bisa disebut fuqoha.

Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyyah, yang dikenal sebagai para tabi'in,
tabi'ti tabi'in dan madhab, daerah-daerah yang dikuasai umat Islam semakin
meluas, bukan bangsa non-Arab yang memeluk Islam. Karena itu, banyak kasus
baru muncul yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karena kasus baru inilah
yang memaksa para fuqoha berijtihad untuk mencari hukum atas kasus tersebut.
Dan pada masa inilah gerakan pembukuan sunnah, fiqh dan berbagai ilmu lainnya
dimulai. Pada masa ini orang yang berkecimpung dalam fiqh disebut “fuqoha”
dan ilmunya disebut “fiqh”. aturan yang rapi bagi tatanan kehidupan umat Islam.
khususnya melalui metode ijtihad, hampir semua permasalahan kontemporer saat
ini dapat dicarikan solusinya untuk kemudian melahirkan hukum.

3
2.2 Hakikat Ilmu Fiqih

Kata “fiqh” secara etimologi berarti “pengertian” atau “pemahaman”.


Selain itu, “fiqh” juga dapat diartikan sebagai “mengetahui sesuatu dan
memahaminya dengan baik”. Dari segi morfologi, kata fiqh berasal dari kata
faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti “memahami atau mengerti”. Jadi kata fiqh
memberikan pengertian pemahaman dalam hukum syari'ah yang sangat
dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pengertian fiqh secara
terminologi, para fuqoha' (ahli fiqh) memberi arti sesuai dengan perkembangan
fiqh itu sendiri. Tepatnya pada abad ke-2, lahir pemimpin-pemimpin mujtahid
yang mendirikan mazhab-mazhab yang tersebar di kalangan umat Islam. Yang
pertama adalah Abu Hanifah ( yang memberikan definisi fiqh sebagai beriku
‫علمنيبيمن ايحقوقمىايوحقىحتيم يييي‬. Definisi ini mencakup semua aspek kehidupan, yaitu
iman, syari'ah dan akhlak tanpa ada pemisahan antara aspek-aspek tersebut.

Pada masa Imam Syafi'i8 (150-204H/767-822M), para ulama Syafi'iyyah


memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini dikarenakan ilmu fiqh cukup
berkembang seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memperoleh
jawaban. atau kepastian hukum. Di antara definisi tersebut adalah sebagai berikut,
“Ilmu yang menjelaskan semua hukum agama yang berkaitan dengan perbuatan
para mulatto yang digali dari dalil-dalil yang jelas (detail)”. Definisi fiqh yang
dikemukakan lebih spesifik dibandingkan dengan definisi fiqh di masa lalu. yaitu
dengan memunculkan istilah ahkam, af’aal al-mukallafin, dan istinbat yang
tentunya hal ini penting dalam memahami hakikat ilmu fikih.

2.3 Sistematika Penyusunan Ilmu Fiqih

Hukum fikih meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dan pembahasan


sistematika Fiqh antara ulama yang satu dengan yang lain berbeda. Sistematika itu
antara lain:

A. Sistematika Fiqih Hanafi

Fuqaha Hanafi membagi Fiqih ke dalam tiga bagian pokok:

1) Ibadah, yaitu seperti shalat, zakat puasa, haji dan jihad.

4
2) Muamalah, seperti transaksi materi berimbal, perkawinan,
perselisihan, amanah, dan harta peninggalan.
3) Uqubah, seperti qishash, hukuman pencurian, hukuman zina,
qadzab, dan murtad

Pembagian semacam ini bukan berarti melupakan topik thaharah, karena


thaharah adalah itu adalah kunci pembuka sekaligus syarat untuk shalat, jadi
secara implisit, dia punya termasuk. Fiqh ibadah diposisikan pada level tinggi
karena itulah tujuan utama manusia diciptakan.

Mu'amalat dalam mazhab Hanafi mencakup perkawinan dan penempatan


setelahnya ibadah, selain yang lain, hal ini dilakukan dalam perkawinan itu
sendiri ada sisinya itu ta'abudi. Dikatakan mu'amalat, karena pernikahan itu ada
kaitannya dengan harta, yaitu pahala kehormatan bagi wanita (mahar), ada ijab
dan qabul, dan kesaksian dan ditambah lagi karena dia berada di bawah
naungan sistem peradilan..

B. Sistematika Fiqih menurut Maliki.

Ulama Madzhab Maliki membagi topik – topik pembahasan Fiqih ke


dalam empat bagian pokok:

1) Ibadah, mencakup satu perempat bagian yang pertama dari Fiqih.


2) Nikah, serta persoalan – persoalan yang berkaitan dengannya,
sepertempat bagian kedua.
3) Jual beli, serta persoalan – persoalan yang berkaitan dengannya
seperempat bagian ketiga.
4) Peradilan serta persoalan – persoalan yang berkaitan dengannya,
seperempat bagian keempat.

Dalam Mazhab Maliki ada beberapa tambahan selain yang disebutkan


dalam Mazhab Hanafi, yaitu thaharah, kurban, barang yang boleh dimakan dan
diminum dalam keadaan merdeka, sumpah, dan perlombaan. Musabaqah ini
dimasukkan ke dalam ibadah dengan melihat kaitannya dengan bab jihadnya.

5
Selain itu ada ayat yang mengatakan berlomba-lomba dalam kebaikan, dan
setiap kebaikan adalah ibadah.

Pembahasan pernikahan merupakan bab tersendiri selain mu'amalah, yang


berbeda dengan mazhab Hanafi. Perbedaan ini dengan dalil bahwa menikah
adalah taqarrub yang dianjurkan. Selanjutnya, bab mu'amalah dalam mazhab
Maliki disebut jual beli, padahal pembahasannya adalah tentang topik yang
terdapat dalam bab mu'amalah dalam mazhab Hanafi. Argumen mengapa jual
beli ditempatkan setelah menikah adalah karena jual beli adalah dua transaksi
yang ada kaitannya dengan umur panjang masyarakat dunia.

Sistematika ini berakhir pada peradilan dan persoalan-persoalan yang


berkaitan dengannya, termasuk faraidh. Hal ini dikarenakan pada bagian-
bagian sebelumnya, seperti perkawinan dan mu'amalah, merupakan bidang
interaksi antar anggota masyarakat yang terkadang menimbulkan perselisihan
dan penghapusan perselisihan yaitu mengenai keadilan.

C. Sistematika Fiqih Syafi’i.

Ulama Syafi’i membagi topik – topik Fiqih kedalam empat bagian pokok:

1) Ibadah
2) Mualamah
3) Nikah
4) Jinayah

Topik pertama yang dibahas adalah ibadah. Sebab, tujuan pertama dari
ilmu Fiqh adalah kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat sangat
bergantung pada pelaksanaan ibadah yang baik atau tidak.

Mu'amalat menempati urutan kedua, berbeda dengan Mazhab Maliki.


Perbedaan ini karena hanya dengan mu'amalat kehidupan manusia dapat
berlangsung. Dan juga karena kesuksesan dunia sebagai faktor utama
kesuksesan di hari esok.

6
Pembicaraan perkawinan ditempatkan setelah bagian mu'amalat, karena
kebutuhan pasangan berada di bawah kebutuhan mu'amalat, karena itulah yang
pertama kali dibutuhkan manusia dalam mempertahankan hidupnya, dan jika
mampu memenuhi kebutuhannya. kebutuhan kemudian mereka mulai berpikir
untuk menikah.

Sistematika ini diakhiri dengan jinayat, karena apa yang tadi menjadi
penyebab gesekan antar individu yang sering kali mengakibatkan perlakuan
salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

D. Sistematika Fiqih Hambali.

Fuqaha Hambali menyusun topik – topik Fiqih ke dalam lima bagian


pokok:

1) Ibadah
2) Mualamah
3) Munakahat
4) Jinayat
5) Qadha dan Khusumah

Bab ibadah menempati urutan pertama, yaitu sama dengan mazhab


sebelumnya. Pentingnya masalah ini karena sesuai dengan tujuan
pertama dan terakhir diciptakannya makhluk, sesuai dengan firman
Allah QS. adz-Dzhariat, 51:56. Yang artinya : “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi
kepada-Ku”. (QS. adz-Dzariyat, 51:56)

Fuqaha Hambali lebih mengutamakan surat mu'amalat di atas surat


nikah karena memandang beberapa hal terpenting yang dibutuhkan
manusia setelah ibadah. Dan urutan selanjutnya adalah munakahat,
dimana urutan ini sama dengan sistematika mazhab Syafi'i. Perbedaan
yang mencolok terdapat pada bab jinayah dan bab qadha yang dibahas
secara terpisah, sedangkan pada tiga madzhab sebelumnya kedua bab
ini menjadi satu yaitu bab ahkam al-qadha.

7
Dapat dipahami bahwa pembagian Fiqh menurut mazhab ini penuh
dengan perhatian/kesungguhan, menempatkan pemikirannya sesuai
dengan zaman dan generasinya.

2.4 Ragam Metodologi Ilmu Fiqih

A. Penalaran Bayani

Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan metode


penemuan hukum al-bayan, yang meliputi pengertian al-tabayun dan al-tabyin:
yaitu proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan memberikan penjelasan. (al-
izhar); upaya pemahaman (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham);
memperoleh makna (al-talaqqi dan menyampaikan makna (al-tablig). Dalam
perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya mendekati suatu metode
yang disebut juga dengan hermaneutika yang artinya menafsirkan, menafsirkan
atau menerjemahkan dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam pengertian ini
dapat dipahami seseorang sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi
ketidaktahuan menjadi pemahaman, atau upaya mengalihkan diri dari bahasa
asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya
lebih jelas, atau proses mengubah pikiran dari yang kurang. yang jelas atau
ambigu menjadi yang lebih jelas/konkret; bentuk transformasi makna ini sangat
penting dalam pekerjaan seorang mufasir/muffasir. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penalaran bayani adalah pemahaman atau penafsiran al-
Qur'an dan al-hadits. , untuk menemukan hukum-hukum syar'i dengan
menggunakan kaidah kebahasaan (al-qawa'id al-lughawiyah).

Pendekatan bayani merupakan prinsip utama pemikiran fikih Islam. Pola


ini lebih menitikberatkan perhatiannya pada teks al-qur an dan sunnah sebagai
sumber kebenaran mutlak. Alasan dianggap lebih sekunder dalam menjelaskan
teks. Kekuatan dari pendekatan ini adalah lebih memperhatikan aspek tata
bahasa dan sastra bahasa Arab. Al-Qur'an dan Al-Sunnah adalah referensi
untuk ilmu-ilmu Islam. Kebenaran wahyu adalah mutlak.

8
Untuk menghasilkan pengetahuan, penalaran bayani ini akan
mengutamakan tiga hal, yaitu:

1) Redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab yang baku.
2) Menitikberatkan otoritas transmisi suatu teks nash agar tidak keliru
ataupun salah. Hal ini telah menyebabkan timbulnya ilmu Hadis riwayah.
3) Menitikberatkan penggunaan metode Qiyas.

Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke


dalam sebelas macam, yaitu :

1) Interpretasi Tata Bahasa (menurut bahasa).


Yakni penafsiran kata dalam teks hukum menurut kaidah bahasa dan
kaidah hukum gramatikal.
2) Penafsiran sejarah.
Yaitu penafsiran suatu aturan hukum berdasarkan sejarah.
3) Interpretasi sistematis.
Yaitu penafsiran suatu aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari
keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu
dipahami dalam kaitannya dengan jenis aturan lainnya.
4) Penafsiran sosiologis atau teologis.
Yakni aturan/ayat yang ditentukan berdasarkan tujuan kemaslahatan.
5) Interpretasi komparatif.
Yaitu metode penafsiran dengan membandingkan (muqarina) berbagai
sistem hukum di suatu negara Islam atau membandingkan pendapat para
imam mazhab.
6) Interpretasi futuristik.
Yaitu metode penemuan hukum antisipatif, yaitu penjelasan ketentuan
hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belum
mempunyai kekuatan hukum, karena peraturan tersebut masih dalam
bentuk rancangan.
7) Interpretasi restriktif.
Artinya, metode penafsiran yang bersifat restriktif, seperti tata bahasa
kata “tetangga” dalam fiqh mu’amalah, dapat diartikan bahwa setiap

9
tetangga adalah penyewa dari pekarangan sebelahnya, tetapi jika dibatasi
tidak termasuk penyewa tetangga, ini berarti seorang qadhi telah membuat
penafsiran yang membatasi.
8) Interpretasi yang luas.
Yaitu metode penafsiran yang membuat penafsiran melampaui batas
gramatikal hasil penafsiran.
9) Interpretasi otentik atau resmi.
Yaitu metode penafsiran dimana qadhi tidak diperbolehkan menafsirkan
dengan cara lain selain dari apa yang telah ditetapkan dalam pengertian
hukum itu sendiri.
10) Penafsiran interdisipliner.
Yaitu metode yang digunakan dalam suatu analisis masalah yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum, di sini digunakan logika
penafsiran lebih dari satu cabang hukum.
11) Interpretasi multidisiplin.
Yaitu metode dimana hakim harus mempelajari satu atau beberapa
disiplin ilmu lain di luar hukum. Dengan kata lain, disini hakim
membutuhkan verifikasi dan pendampingan dari disiplin ilmu lain.

B. Penalaran Ta’lili

Penalaran ta'lili adalah penalaran yang didasarkan pada anggapan bahwa


ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mengatur tingkah laku manusia
mempunyai alasan yang logis atau nilai hukum yang ingin dicapai. terutama.

Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh Ulama' ushul fiqih, dapat
disimpulkan bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat (dhahir) yang jelas
yang dapat diukur dan mengandung relevansi (munasabah) sehingga kuat
dugaan bahwa ia adalah alasan untuk menetapkannya. ketentuan dari Allah dan
Rasul-Nya.

Di sini dapat dipahami bahwa ada tiga syarat yang harus terkandung dalam
illat, yaitu:

10
1) Sifat yang jelas (dhahir)
2) Relatif dapat diukur (terukur)
3) Mengandung pengertian yang sesuai dengan hukum dalam arti mempunyai
relevansi dengan hukum.(munasabah)

Terlihat dari persyaratan inilah yang membedakan antara illat dan hikmah.
Misalnya, shalat untuk orang yang sedang bepergian memiliki hikmah dan illat.
Hikmahnya adalah memberikan kelegaan dan menghilangkan kesulitan.
Sedangkan niatnya adalah bepergian atau musafir itu sendiri karena musafir
(safar) disini adalah sesuatu yang jelas dan pasti. Hanya saja ukuran safar
(yang memberi izin qashar) karena "jarak tembakan" atau "waktu tempuh".

Jelas di sini bahwa suatu keadaan yang abstrak dalam arti tidak dapat
diukur tidak dapat dijadikan indikasi. Misalnya dalam kasus doa di atas, karena
istilah “susah atau susah” itu sifatnya relatif, tidak bisa diukur dan tidak sama
bagi setiap orang.

Dari pengertian dan syarat-syarat illat di atas kita akan membedakan


antara illat dan sebab, karena illat harus memiliki relevansi dengan hukum
yang telah ditetapkan, sedangkan sebab tidak selalu harus memiliki relevansi
dengan hukum. Contohnya adalah penyerahan matahari untuk kewajiban shalat
dzuhur atau terbenamnya matahari sebagai tanda datangnya waktu shalat
maghrib, dinamakan karena tidak memiliki atau tidak diketahui relevansinya.
Namun sebagian ulama ushul tidak membedakan antara illat dan sebab, karena
keduanya memiliki tujuan yang sama.

C. Penalaran Istislahi

Seperti metode penalaran lainnya, al-maslahat al-mursalah juga


merupakan metode penemuan hukum yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits. Hanya saja, metode ini lebih
mengedepankan aspek manfaat langsung. Sehubungan dengan metode ini,
dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal tiga macam maslahat, yaitu maslahat
mu'tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat.

11
Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara
langsung baik dalam Al-Qur'an maupun dalam Hadits. Sedangkan maslahat
kedua bertentangan dengan ketentuan yang terkandung dalam kedua sumber
hukum Islam tersebut. Di antara kedua manfaat itu ada yang disebut maslahat
mursalat, yaitu maslahat yang tidak ditentukan oleh dua sumber dan juga tidak
bertentangan dengan keduanya.Istilah yang sering digunakan sehubungan
dengan metode ini adalah istislahi.

Istislahi adalah cara menetapkan hukum atas persoalan yang hukumnya


tidak dijelaskan oleh nash dan ijmaat berdasarkan pemeliharaan al-mashlahat
al-mursalat. Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqh menerima metode
maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode ini mereka menyediakan
beberapa kondisi.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan


istilah difokuskan pada bidang-bidang yang tidak terdapat dalam nash, baik
dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang
mendapat penguatan melalui I'tibar. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak
diperoleh dengan ijma' atau qiyas terkait dengan kejadian tersebut. Hukum
yang ditentukan oleh istislahi adalah seperti pembukuan Alquran dalam satu
mushaf oleh Usman bin Affan, khalifah ketiga. Hal ini tidak dijelaskan dengan
nash dan ijmak, tetapi berdasarkan kemaslahatan yang sejalan dengan
kehendak syara' untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan di
kalangan umat tentang Al-Quran.

2.5 Kelebihan dan Kekurangan Ragam Metodologi Fiqih

Dari ragam ragam yang telah disebutkan diatas ada beberapa kelebihan dan
kekurangan dalam tiap tiap ragam tersebut. Misalnya dalam penalaran Bayani,
ragam ini mentitik beratkan dalam penafsiran Al-Quran dan Hadist melalui
pemahaman bahasa. Kekuatan pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada
aspek gramatikal dan sastra Arab yang dimana ini bisa menjadi suatu jalan dalam

12
memahami Al – Qur’an dan Hadist yang notabene nya adalah rujukan ilmu – ilmu
Islam.

Lalu dalam Penalaran Ta’lili yang Illat sebagai alat utamanya yang dimana
memfokuskan dalam rasionalisasi dalam memahami perintah dan larangan Allah
sebagai Tuhan. Tetapi keadaan abstrak dalam arti tidak dapat di ukur tidak dapat
digunakan sebagai illat.

Dalam Penalaran Istislahi, penalaran ini memfokuskan dalam penemuan


hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadist
dan mendasarkan pada pemeliharaan al mashlahat al mursalat.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ilmu Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum – hukum yang ada
dalam agama islam. Ilmu fiqih memiliki landasan dasar yaitu Al-Qur’an dan
Hadist juga aspek lain jika ketentuan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit
dalam kedua dasar tersebut. Pemahaman yang berbeda beda dalam penafsiran
membuat beberapa ragam dalam penentuan hukum dalam fiqih atau yang disebut
ragam metodologi fiqih. Tiap ragam tentunya memiliki sumber dan objek kajian
tersendiri tetapi pada akhirnya semua ragam tersebut merujuk pada satu tujuan,
yaitu mencari hukum yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hal. 298
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan
Interprestasi Teks, (UII Pres: Yogyakata, 2004), hal. 23
Ibid, hal. 20
Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal.364
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-
Indonesia 1972), hal. 84
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), hal. 117

15

Anda mungkin juga menyukai