Anda di halaman 1dari 135

Revisi

MAKALAH ILMU FIKIH

Dosen Pembimbing: Dr. Besse Ruhaya, S. Pd, M.


Pd, I

Disusun Oleh

Nama : Sadirah

Kelas : MPI B

Nim : 20300120061

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Manajemen Pendidikan Islam

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Ta. 2020/2021

Kata Pengantar

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa, dengan segala
limpahan Rahmat dan Hidayah nya kepada pemakalah, dalam menyelesaikan materi
makalah ini, dengan pembahasan tema yakni “Pembahasan Materi Ilmu Fikih”. Yang
dimana, pembahasan ini merupakan salah satu tujuan utama dalam membahas, materi
Ilmu Fiqh dalam ruang lingkup perguruan tinggi, baik itu Negeri ataupun Swasta.
Dimohon, kepada para pembaca, agar kiranya memberikan saran dan kritikan
yang membangun terhadap pemakalah yang di buat oleh pemakalah. Karena
sesungguhnya, pemakalah hanyalah manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan.
Tersebab, segala kebenaran hanya datangnya dari Allah Swt.

Pinrang, 28 Januari 2021

SADIRAH

DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kajian tentang pengetahuan agama Islam pada dasarnya membicarakan dya hal
pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya.
Pengetahuan tentang hal ini, kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqidah”. Kedua,
tentang apa yang harus diamalkanuma Islam dalam kefidupannya. Pengetahuan tentang
hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”.

Ilmu Syariah itu pada dasanya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi
perangkat ketentuan yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam usaha mencari
kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat kelak. Perangkat tersebut, secara mudahnya,
disebut “Fiqh”. Kedua, tentang cara, usaha, dan ketentuan dalam menghasikan materi
fiqh teresebut. Hal yang kedua ini, seacra mudahnya disebut, “Ushul Fiqh”. Dengan
demikian, ushul fiqh merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu
pengetahuan agama Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian, METODOLOGI, TUJUAN, KEGUNAAN Dan Objek Kajian


Ilmu Fikih Dan Ushul Fikih
2. Bagaimana Sejarah Singkat Perkembangan Fikih Dan Ushul Fikih
3. Bagaimana Pembagian Hukum Islam
4. Apa Hubungan Ilmu Fikih Dan Ilmu Pengetahuan Lainnya
5. Apa Pengertian Dan Pembagian Sumber Hukum Islam Yang Disepakati (Al-
Qur’an & As-Sunnah)
6. Apa Pengertian Dan Pembagian Sumber Hukum Islam Yang Disepakati (Ijma
Dan Qiyas)
7. Apa Saja Sumber-Sumber Hukum Islam Yang Diperselisihkan
8. Pengertian Ijtihad Dan Sebab-Seba Terjadinya Perbedaan Pendapat Dalam Fikih
Islam
9. Apa Pengertian Dan Pembagian Kaidah-Kaidah Fikhiyah
10. Apa Pengertian Dan Pembagian Kaidah-Kaidah Ushuliyah
11. Apa Pengertian Dan Pembagian Al-Maqasidu Syari’ah
12. Bagaimana Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Madzhab Fikih
13. Bagaimana Perkembangan Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia
C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui Pengertian, METODOLOGI, TUJUAN, KEGUNAAN Dan


Objek Kajian Ilmu Fikih Dan Ushul Fikih
2. Untuk Mengetahui Sejarah Singkat Perkembangan Fikih Dan Ushul Fikih
3. Untuk Mengetahui Pembagian Hukum Islam
4. Untuk Mengetahui Hubungan Ilmu Fikih Dan Ilmu Pengetahuan Lainnya
5. Untuk Mengetahui Pengertian Dan Pembagian Sumber Hukum Islam Yang
Disepakati (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas)
6. Untuk Mengetahui Sumber-Sumber Hukum Islam Yang Diperselisihkan
7. Untuk Mengetahui Pengertian Ijtihad Dan Sebab-Seba Terjadinya Perbedaan
Pendapat Dalam Fikih Islam
8. Untuk Mengetahui Pembagian Kaidah-Kaidah Fikhiyah Dan Kaidah-Kaidah
Ushuliyah
9. Untuk Mengetahui Pengertian Dan Pembagian Al-Maqasidu Syari’ah
10. Untuk Mengetahui Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Madzhab Fikih
11. Untuk Mengetahui Perkembangan Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia
BAB II PEMBAHASAN

Pengertian, Metodologi, Tujuan, Kegunaan dan Objek Fikih dan


Ushul Fikih

A. Pengertian Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh

1. Ushul Fikih
Ushul fiqh terdiri atas dua kata yaitu, ushul dah fiqh. Ushul berarti pondasi yang
artinya pondasi bagi tegaknya sesuatu yang lain, yaitu pondasi bagi tegaknya
fiqh.Sedangkan fikih, berarti pemahaman yang mendalam, artinya melalui proses
pemikiran yang mendalam. Fikih menurut istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum
syarat yang bersifat amaliah (praktis) yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsirih
(terperinci). Ushul fikir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-
kaidah yang membawa pada cara merumuskan hukum syarat dari dalilnya yang tericii
( metode merumuskan hukum ). Atau dengan kata lain, ushul fikih adalah kaidah-kaidah
yang menjelaskan cara mengeluarkan syarat-syarat dari dalilnya1.
2. Ilmu Fikih
Ilmu Fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Ilmu
Fiqh juga membahas tentang cara beribadah dan muamalah sesuai yang tersurat dalam
Al-Quran dah Sunnah.

B. Metodologi Ushul Fikih Dan Ilmu Fikih


Dalam ushul fiqih, disebutkan dua metode yang digunakan ulama ushul dalam
menyimpulkan suatu kaidah. Pertama, metode mutakallimin. Kedua, metode
Hanafiyyah.
a. Metode Mutakallimin (As-Syafi'Iyah)
Dinamakan metode Mutakallimin sebab kebanyakan pengarang kitab ushul
dalam metode seperti ini adalah ahli kalam, terkadang metode ini disebut juga sebagai
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jil.1, Pengertian Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana, 2011), h.41
1
metode As-Syafi’iyyah. Sebab Imam As-Syafi’i orang yang pertama kali menulis
kitabnya menggunakan metode ini. Begitupun metode Hanafiyyah, disebut demikian
sebab ulama-ulama mazhab Hanafi pencetus metode ini.

Pertama, metode Mutakallim. Metode ini menetapkan kaidah ushul sesuai dalil
yang menunjukkan pada ketetapan kaidah itu. Selama dalil itu dapat menguatkan kaidah
ini, maka ulama dalam metode ini menguatkan kaidah dengan dalil itu. Jika tidak ada
dalil yang dapat menguatkannya, maka otomatis dihilangkan. Dalam artian, tak ada dalil
jika tak ada kaidah, dengan tanpa condong kepada satu mazhab pun, juga tidak melihat
apakah nanti cocok atau tidak dengan masalah furu’iyah dalam fiqih.
Oleh karena demikian, kaidah ushul mereka menjadi penentu dan metode untuk
manghakimi masalah furu’ yang muncul, bukan membantu dalam menyelaraskan
kaidah dengan masalah furu’, sebab furu’ mengikuti ushul
b. Metode Hanafiah
Kedua, metode Hanafiyyah. Ulama metode ini menganggap bahwa
pendahulu mereka dalam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah bagi mereka
seperti halnya Imam As-Syafi’i. Namun, kendati demikian, mereka menjadikan
masalah-masalah furu’ dalam fiqih yang ditetapkan oleh imam pendahulu mereka
sebagai acuan yang dijadikan kaidah dalam menentukan permasalahan furu’ yang lain.
Mereka berpegang dengan masalah furu’ yang beragam, kemudian
mengumpulkan yang serupa dengan masalah tersebut, lalu mengekstrak kaidah dari
masalah furu’ yang telah diserupakan. Tujuannya untuk menguatkan masalah furu’ yang
baru dengan menggunakan masalah furu’ yang telah diistinbathkan oleh pendahulu
mereka.
Apabila terdapat kaidah yang bertentangan, maka mereka berpindah dari satu
kaidah ke kaidah lain yang cocok. Kerja metodologi ini berbeda dengan metode
Mutakallimin. Dalam metode Mutakallimin, jika tidak ditemukan dalil yang
menguatkannya, maka kaidah akan dihapuskan. Simpelnya, jika metode mutakallimin
dari ushul menghasilkan furu’, maka metode Hanafiyyah dari furu’ menghasilkan ushul
(kaidah).
C. Tujuan Ilmu Fikih Dan Ushul Fikih

1. Tujuan Ilmu Fiqh


Selain itu, tujuan mempelajari fiqih lainnya yaitu untuk menerapkan hukum-
hukum syariat islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia,seperti rujukan seorang
hakim dalam keputusannya, rujukan seorang seorang Mufti dalam fatwanya, dan
rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syariat dalam ucapan dan
perbuatannya
2. Tujuan Ushul Fiqh
Tujuan mempelajari ushul fiqih ialah untuk menerapkan kaidah-kaidah dan
pembahasannya terhadap dalil- dalil terperinci untuk mendatangkan hukum syariat
islam yang diambil dai dalil- dalil tersebut. Jadi,dengan kaidah dan pembahasan ilmu
Ushul Fiqih dapat dipahami nash- nash syar’iah dan hukum- hukum yang
dikandungnya. Dalam buku yang berjudul Fiqh Ushul Fiqh karya
DRS. H.A. Syafi’I Karim menyebutkan bahwa yang menjadi dasar dan
pendorong bagi umat islam untuk mempelajari ilmu Ushul Fiqh ialah untuk mengetahui
hukum- hukum syariatIslam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jakan zhan (dugaan
atau perkiraan) dan untu menghindari Taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengetahui alasan- alasannya.

D. Kegunaan Dan Objek Kajian Ushul Fikih Dan Ilmu Fikih

1. Kegunaan Ushul Fikih Ilmu Fikih


a. Dengan mempelajari ushul fiqh, akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-
dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat ikihnya. Dengan
demikian, akan dimengerti betul secara mendalam sehingga dengan itu bisa
diketahui sejauh mana kebenaranpendapat-pendapat fiqh yang berkembang di
dunia Islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan
mengamalkan pendapat-pendapat mereka.
b. Dengan studi ushul fiqh, seseorang akan memperoleh kemampuan untuk
memahami ayat-ayat hukum dalam Al􀀀Qur’an dan Hadis-hadis hukum dalam
Sunnah Rasulullah, dan mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut.
Dalam ushul fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana
seharusnya memahami sebuah ayat atau Hadis, dan bagaimana cara
mengembangkannya. Oleh sebab itu, para ulama mujtahid terdahulu, lebih
mengutamakan studi ushul fiqh dari studi fiqh itu sendiri. Sebab, dengan
mempelajari ushul iqh seseorang bukan saja mampu memakai melainkan berarti
mampu memproduk fiqh.
c. Dengan mendalami ushul fiqh, seseorang akan mampu se􀀀cara benar dan lebih
baik melakukan muqaranat al mazahib al- Fiqhiyah, studi komparatif
antarpendapat ulama fiqh dari berbagai mazhab, sebab ushul fiqh merupakan
alat untuk melakukan perbandingan mazhab fiqh.2
2. Objek Kajian Atau Pokok Pembahasan Ushul Fikih Diantaranya:
 Dalil-dalil atau sumber hukum syara';
 Hukum-hukum syara' yang tergantung dalam dalil itu ;
 Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara' dan dalil atau
sumber yang mengandungnya.3
Adapun bahasan lainnya menjelaskan bahwasanya objek dalam kajian bahasan
ushul fiqh menjadi empat bagian, yaitu:
 Pembahasan tentang hukum syara’ dan
yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum ih, dan mahkum ‘alaih;
 Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
 Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-
dalil itu; dan
 Pembahasan tentang ijtihad.
Secara global muatan kajian ushul Fiqh seperti dijelaskan di atas
menggambarkan objek bahasan ushul fiqh dalam berbagai literatur dan aliran. Dalil-
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh: Manfaat Mempelajari ushul fiqh (Jakarta: Kencana, 2017), h.14-15
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jil. 1: Pokok Pembahasan Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 49
dalil syara’ dikaji dari segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah
kitab suci dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al amr (perintah) yang
terdapat di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Kemudian, hukum syara’
dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana
ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil syara. Dari keterangan tersebut, jelas bahwa yang
menjadi objek bahasan ushul iqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai dalil dalam
kaitannya dengan penetapan suatu hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya suatu
hukum dengan dalil.4
3. Objek Kajian Atau Pokok Bahasan Ilmu Fikih
Tugas ushul fiqh untuk menemukan sifat-sifat esensial dari dalil-dalil syara’ dan
sifat-siafat esensial itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara
global. Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli ushul fiqh ini pada
gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’i (terperinci)
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih
yang langsung dikaitkan den􀀀gan perbuatan mukalaf. Jadi, yang menjadi bahasan ikih
adalah satu per satu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan
perbuatan mukalaf, dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh. Adanya pembedaan
fungsi tersebut, hanya dapat dilihat dari sisi pandang disiplin ilmu. Dari segi praktiknya,
perbedaan tersebut tidak begitu kelihatan, sebab apa yang disebut sebagai ijtihad dalam
pembentukan hukum ikih tidak lain dari penerapan dari kaidah-kaidah ushul iqh itu
sendiri. Oleh sebab itu, dalam buku ini, ketika telah dilengkapi kaidah-kaidah ushul fiqh
dengan contoh-contoh penerapannya, tidak akan kelihatan lagi perbedaan tersebut.5

4
Satria Effendi, Ushul Fiqh: Objek Kajian dan Manfaat Mempelajari Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2017), h.13-14
5
Satria Effendi, Ushul Fiqh: Objek Kajian dan Manfaat Mempelajari Ushul Fiqah, (Jakarta:
Kencana,2017), h.13
BAB III

Sejarah Perkembangan Fikih Dan Ushul Fikih

A. Sejarah Perkembangan Fikih Dan Ushul Fikih

Ulama sependapat bahwa di dalam syariat islam telah terdapat segala hukum
yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan dan perbuatan. Hukum-
hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya
dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk
memahami hukum islam islam yang hanya dalam bentu dalil-dalil dan kaidah-kaidah
secara umum diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk
menggali hokum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang
mendalam yang disebut dengan fiqh.6

Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu


dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk
kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui
sunnah beliau saw.7

Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-


Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka
adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang
luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan
perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak
tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat
memerlukannya.

Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi


dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal
ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat,
6
Alaidin Koto. Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh. 2004.h.1
7
Ahmad Hasa.Sejarah Ushul Fiqh. https://dakwatuna.com
terutama di Irak. Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya
masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum
fiqhnya.8

Sejarah perkembangan ilmu fiqh terbagi kepada beberapa periode: periode


pertumbuhan, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi pada masa
Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode pembangunan
kembali.

1. Sejarah Perkembangan Fiqh


Para membagi sejarah perkembangan ilmu fikih kepada beberapa periode:
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi
Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini,
permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber
hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih
tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan.
Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.9
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah kembali pada wahyu Allah
kepada Nabi Muhammad saw.10

Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin)
sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari
pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih
hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam
nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah
banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang


terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih
8
Ahmad Hasan. Sejarah Ushul Fiqh. https://dakwatuna.com
9
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h. 13
10
Muhammad Salam Madkur. Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam. h. 43
berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil
yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua. Dan jika tidak ada landasan yang jelas
juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.11

Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan
wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.

Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah


islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun
(101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hukum islam.
Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan
pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis
nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-
pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh.12
Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya,
seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf
(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’,
Imam Syafe’I dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya
Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-
masing.13
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh
khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu
fiqh khususnya.
2. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi
ilmiah diantara para ulama.
11
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116. html
12
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h.17
13
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.2004. h.18
3. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an
(pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang
dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan
kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena
hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang
dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai
terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M.14 Pada periode ini,
pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan berbagai factor
sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari
kekuasaanya.
Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai
tingkat umjtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada
periode kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain
sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji
ajaran Islam langsung dari sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist. Mereka  puas hanya
dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada
pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian
mengantarakan umat islam terperangkap kea lam pkikiran yang jumud.
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai
sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka
sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu
terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789
M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa
di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman
bagi Dunia Islam.
Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan
mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan
14
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h.18
gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social,
dan gerakan intelektual lainnya.15
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan
fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam
perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid
dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat
dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul
Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-
Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya.16

B. Sejarah Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh

Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul
fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh.
Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam
arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan
dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh
atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode
yang tetap dalam mencetuskan hukum.
Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para
mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat
sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu
(iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”,
maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita
hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4).
Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-
Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri)
harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang

15
Alaidin Koto. Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h.23
16
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h. 24
dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash
yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau
tidak menjelaskannya.17
Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan
menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu
alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-
nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai
bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal
akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi),
sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan.
Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya,
bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran
pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi
Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya,
karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada
satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak
perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa
diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan
Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk
berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena
mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan
kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah
pensyariatan, sebab turunnya Al Qurandan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan
baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka
mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya
pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang
diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak
17
https://islamwiki-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.com
perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan
yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para
sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam,jiwa yang bersih dan daya
tangkap yang cepat.18
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula
pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in
tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat
dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan
hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak
murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan
hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena
itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode
berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat
terjadi perselisihan.
Kadah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab,
tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam
pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.
(islamwiki.com18/05/10).
Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi
dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan
hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan
pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing
mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis,
meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.
(islamwiki.com18/05/10)
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang
ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-

18
http://islamwiki-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.com
kitabnya tidak pernah kita temukan.19
Menurut Abdul Al-Wahab Khalaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (150-102H)
yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul Fiqh yang disertai dengan
alasan-alasanya dalam kitabnya ar-Risalah . Inilah kitab ilmu suhul fiqh pertama yang
sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafe’ilah yang dipandang-oleh para ulama-
sebagai pencipta ilmu ushul Fiqh dan dilanjutkan oleh pembahansan ulama-ulama
generasi berikutnya.20

BAB IV

Hukum Islam
A. Sumber Hukum Islam

1. Hukumislam Atau Syar’iat Islam

Adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan
Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah dapat dibebani
kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya.

19
http://ensiklopedia.islam-sejarah-perkembangan-ushul-Fiqih.com
20
Ibd. h. 15-17
Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk
melaksanakannya secara total. Syariat Islam menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diperintahkan Allah SWT untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan
amaliyah. Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia
untuk menuju kepada Allah Ta’ala. Dan ternyata Islam bukanlah hanya sebuah agama
yang mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja.
Keberadaan aturan atau sistem ketentuan Allah SWT untuk mengatur hubungan
manusia dengan Allah Ta’ala dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan
tersebut bersumber pada seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.

Hukum Islam di sini meliputi syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda
dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan
hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak
membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum
Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan.
Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkuphukum Islam
ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablunminallah) dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut
ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah21

Dari pengertian diatas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kata hukum Islam
yang sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum
mencakup syariah dan fiqih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fiqih (dasar-dasar
fiqih).

Tetapi, harus dipahami juga bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan
syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fiqih Dan juga tidak berarti bahwa
hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fiqih. Tepatnya adalah
pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fiqih. Karena hukum

21
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam (Jakarta: Kencana: 2011 ). h. 1-6
Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang
dalam bentuk fiqih.22

2. Hubungan Syar’iah, Fikih dan Hukum Islam

Hubungan antara syariah dan fiqih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah
adalah sumber atau landasan fiqih, sementara fiqih merupakan pemahaman terhadap
syariah. Secara umum syariah merupakan hukum Islam yang bersumber dari Alquran
dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad). Sedangkan fiqih adalah hukum
Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah, baik Alquran maupun Sunnah.
Asaf A.A Fyzee menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut dengan penjelasan
sebagai berikut.

Bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi
semua perilaku dan perbuatan manusia. Sedang fiqih adalah lingkaran kecil yang
mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan umum. Syariah sering
mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh
seandainya tidak ada Alquran dan Sunnah. Dalam fiqih ditekankan penalaran dan
deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan.

Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bangunan fiqih ditegakkan
oleh usaha manusia. Dalam fiqih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak
sah, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan
maupun pelarangan. Fiqih merupakan istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu
ilmu; sedangkan syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari
langit (Fyzee, 1974: 21).

Jadi, jika dikaitakn dengan ketiganya, maknaya hukum Islam lah yang menjadi
penentu dalam menentukan atau mermuska hukum yang kelak akan diberikan kepada

22
https://penaqolbi.com/pengertian-hukum-islam/
siapa saja terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Oleh karena itu, ketiganya tidak
boleh terpisahkan, sebab saling berhubungan satu sama lain. 23

3. Tujuan Hukum Islam

Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan. Atau kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.

Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yaitu memelihara:

a. Agama, merupakan tujuan pertama hukum Islam, karena agama merupakan


pedoman hidup manusia.
b. Jiwa, merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena hukum Islam wajib
memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
c. Akal, sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena dengan mempergunakan
akalnya, manusia akan dapat berfikir tentang Allah, alam semesta, dan dirinya
sendiri. Keturunan, agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan ummat
manusia dapat diteruskan.
d. Harta, adalah pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat
mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya.
e. Tujuan hukum Islam itu disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-
shari’ah(tujuan-tujuan hukum Islam).
Tujuan hukum Islam tersebut di atas dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1. Dari segi pembuat hukum Islam itu sendiri, yakni Allah dan Rasul-Nya.

Tujuan hukum Islam adalah:

• Tujuannya agar mencukupi kelangsungan hidup manusia yang bersifat

23
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam (Jakarta: Kencana: 2011). h. 5-6
ehari-hari.

• Supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib
meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari usul
al fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya.

2. Dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam tersebut.

Tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan
sejahtera. Atau tujuan hakiki hukum Islam, jika dirumuskan secara umum, adalah
tercapainya keridhaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.

4. Pembagian Hukum Islam


Pembagian hukum syara' dan fikih dalam Islam, terbagi menjadi lima bagian
yang diantaranya meliputi:

a) Wajib

Secara etimologi kata wajib berati tetap atau pasti dan secara terminologi seperti
yang dikemukakan Abd. Karim Zaidan. Ahli hukum berkebangsaan Irak, menyatakan
bahwa: sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf. Dan apabila dialksanakan akan mendapatkan
pahala, dan bila ditinggalkan akan mendapatkan dosa.

Dapat diketahui bahwasanya sesuatu yang wajib, berati suatu hal yang diharuskan
dan mengikat sesuatu yang mukalaf. Pembagian wajib ada dua 24 macam yakni, wajib
'ainy dan wajib kifayah.

 Wajib 'ainy adalah kewajiban yang dibebankan kepada setia orang yang
sudah baligh dan berakal (mukalaf) tanpa terkecuali, selama ia beragama
Islam.

24
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Pembagian Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h. 40-46
 Wajib Kifayah adalah kewajiban yang di bebankan kepada seluruh
mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam,
maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi. Sehingga orang yang tidak
ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjaknanya. Misalnya,
pelaksanaan shabat jenazah.

Wajib kifayah terbagi menjadi dua segi kandungan perintahnya dan waktu
pelaksanannya yakni:

Waktu Yang Sesuai Dengan Kandungan Perintahnya

Wajib Mu'ayyan. Yaitu kewajiban yang dimana tidak ada objek adalah tertentu
dan tidak ada pilihan lain. Misalnya, shalat wajib yang yang dilakukan sehari semalam.
Berpura pada bulan Ramadhan dan membayar zakat.

Wajib Mukhayyar. Yaitu kewajiban yang dimana ibjeknya boleh dipilih,


misalnya kewajiban membayar kafarat (melanggar sumpah)

Waktu Yang Sesuai Dengan Pelaksanaannya

Wajib Mutlaq. Yaitu kewajiban yang pelaksanannya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu. Misalnya, untuk membayar puasa Ramadhan yang tertinggal dan juga
membayar kafarat atau sumpah.

Wajib Muaqqat. Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dibatasi oleh waktu
tertentu.

b) Mandub dan Pembagiannya

Mandub dalam artian lughawi adalah: seruan untuk sesuatu yang penting.
Adapun dalam artian istiah ialah: “sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara
hukum syar’i tanpa ada celaan terhadap orang yang meninggalkan secara mutlak”.25

25
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Pembagian Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h.361
Untuk pengertian mandud yang dijelaskan hukumnya dari segi mengerjakan atau
meninggalkan digunakan beberapa lafaz yang keseluruhannya mengarah pada yang
dimaksud yaitu: as-sunnah, an-nafal, at-tathawwu’, al-mustahab, dan al-mustahsan.26
Pembagian mandub
Mandub (sunnah) dapat dibagi dalam beberapa segi yaitu:
1. Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melakukan perbuatan sunnah,
sunnah ini di bagi kedalam dua bagian, yakni:
Sunnah Mu’akkad: Yaitu perbuatan yang selalu dilakuka oleh Nabi disamping
ada keteranga yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukalah sesuatu ang fardhu.
Misalnya shalat witir, dua raka’at fajar sebelum shalat shubuh dan sebagainya. Menurut
ulama, akan dicela bagi orang-orang yang meninggalkan27.
Sunnah Ghair Mu’akkad: Yaitu perbuatan ang dilakukan oleh Nabi, tetapi
Nabi tidakmelazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Misalnya, memberi makan
orang miskin, shalat sunnah 4 rakaat sebelum Dzuhur dan Ashar.
2. Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, terbagi dalam dua bagian
yaitu:
Sunnah Hadyu: Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena
begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dinyatakan
sesat dan tercela; contoh daripada sunnah ini adalah, shalat berjama’ah, shalat hari raya,
adzan dan iqamah
Sunnah Zaidah: Yaitu sunnah yang bila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan
baik tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa; sunnah
ini ditempatkan dibawah sunnah Ghair Mu’akkad.
Sunnah Nafal: Yaitu ssuatu perbuatan yang sebagai tambahan bagi perbuatan
wajib; seperti shalat sunnah 2 raka’at yang mengiringi shalat wajib, shalat tahajjud da
shalat witir.28
c) Haram
Haram secara etimologi adalah " sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan " dan
secara terminologi Fikih adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
26
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Pembagian Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h.362
27
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Pembagian Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h.362
28
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Pembagian Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h.363
dikerjakan, yang dimana ketika orang melanggarnya dikatakan sebagai insan yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.29
d) Makruh
Makruh secara etimologi adalah " sesuatu yang dibenci " . Dalam istilah ushul
fikih , kata makruh menurut mayoritas ulam ushul Fikih adalah sesuatu yang dianjurkan
syariat untuk meninggalkanya, yang bilang ditinggalkan akan mendapatkan pujian, akan
tetapi jika dilnggar akan mendapat dosa. Misalnya, memasukkan air kedalam hidung
secara berlebihan ketika berwudhu di siang hari Ramadhan.30
e) Mubah
Mubah secara etimologi adalah " sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan",
sedangkan menurut istilah ushul fikih seperti yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan
adalah sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan
melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungan dengan dosa.31

BAB V

Hubungan Ilmu Fikih Dan Ilmu Pengetahuan Lainnya

1. Hubungan Ilmu Fikih dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya

  Ilmu fiqih adalah salah satu bidang ilmu yang khusus membahas persoalan
hukum dari bebagai aspek kehidupan manusia itu sendiri, baik aspek pribadi, sosial,
ataupun hukum tentang bagaimana kehidupan manusia dengan tuhannya. Menurut
Abdul Wahab Khallaf, ilmu fiqih merupakan salah satu cabang ilmu yang berisi tentang
hukum syariat islam, menganai perbuatan manusia itu sendiri yang diambil dari dalil
secara rinci.

Pembahasan didalam ilmu fiqih itu sendiri dibedakan menjadi dua bidang
pembahasan diantaranya adalah membahas masalah ibadah dan membahas masalah

29
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h. 50-51
30
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h. 54-55
31
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana : 2011 ). h. 56
mu'amalah atau al-'adat (adat), dalam bidang ini pembahasannya meliputi masalah
hubungan manusia engan sesamanya, baik secara pribadi, perorangan, kelompok guna
mewujukan segala kepentingan yang bersifat duniawi32

Secara etimologi, fiqh berasal dari kata faqqaha yufaqqihu fiqhan yang berarti
pemahaman. Pemahaman yang diimaksud disini adalah pemahaman mengenai ajaran
agama islam secara utuh. Meliputi interpretasi Ulama Fuqoha terhadap ayat-ayat dan
hadist-hadist ahkam yang terdapat didalam al-quran dan Hadist secara terperinci.
Sedangkan yang membuat hukumnya adalah Allah SWT.

Pemahaman sebenarnya mengenai ayat dan hadist ahkam yaitu ketentuan-


ketentuan Syari'ah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang berasal dari Allah
SWT Seperti wajib, sunah, makruh, haram dan mubah sebagai ketetapan apakah
perbuatan yang dilakukan diperbolehkan atau tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan
syari'ah yaitu segala sesuatu yang dinisbahkan pada Nabi Muhammad SAW berupa
hukum tentang perbuatan manusia mengenai berbagai kewajiban, perintah dan larangan
yang disampaikan kepada Rasul guna dijadikan pedoman hidup agar hidup sejahtera di
dunia dan selamat dunia akhirat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Ilmu Fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang
Syariat Islam dengan jalan ijtihad (usaha yang sungguh-sungguh) , yang berhubungan
dengan perbuatan manusia yang mencakup dua bidang, yaitu fiqh ibadah
(hablumminallah) dan fiqh muamalah (hablumminannas) yang dikaji secara terperinci
oleh para Fuqoha (Ulama Fiqh)33.

32
https://www.kompasiana.com/cerly37320/5f9634edfdcdb41aac71b152/hubungan-ilmu-fiqih-dengan-
ilmu-lainnya?page=all#sectionall
33
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-ilmu-fiqh-dengan-
ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?page=all#section2
2. Hubungan Ilmu Fikih Dengan Ilmu Tauhid

Penjelasan tentang apa itu tauhid, telah dijelaskan di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (KUBI) bahwa tauhid adalah keesaan Allah; ilmu tauhid adalah
pengetahuan atau ajaran pengetahuan atau ajaran mengenai keesaan Allah SWT, dengan
hati, dengan bulat hati, kuat-nya, tetap teguh kepercayaannya bahwa Allah hanya satu;
Mentauhidkan: 1) menyatukan; memusatkan hati; menyeru segala umat ibadat kepada
Allah saja; 2) mengakui keesaan Tuhan yaitu Allah SWT.

Berdasarkan pengertian mengenai ilmu tauhid, terdapat hubungan yang sangat


erat tantara Ilmu Fiqh dengan Ilmu Tauhid. Demikian ini karena ilmu fiqh objek
kajiannya adalah hukum-hukum perbuatan lahiriyah mukallaf (al-ahkam al-amaliah)
sedangkan objek kajian ilmu tauhid mengarah pada persoalan kepercayaan (aqidah).
Sehingga, jika objek ilmu Tauhid adalah soal ushul (pokok) yang berupa kepercayan
terhadap Allah SWT saja, maka objek ilmu fiqh adalah furu' (cabang) yang merupakan
ibadah atau ajaran agama Islam yang berasal dari Allah SWT.

Berikut adalah salahsatu contoh yang menerangkan hubungan antara ilmu fiqh
dengan ilmu tauhid. Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang- orang yang ruku'. (Q.S Al-Baqarah ayat 43). Sumber ilmu fiqh
yang pokok adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Pada ayat Al-Quran tersebut dijelaskan
tentang perintah mendirikan sholat. Dalam hal ini, sholat adalah objek kajian ilmu fiqh
berupa hukum-hukum syariat (perbuatan) orang islam yang mukallaf.

Sehingga karena tujuan akhir ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridhaan Allah
SWT didunia maupun diakhirat, maka sudah pasti harus yakin pula akan adanya tuhan
Allah SWT yang maha ESA (tunggal). masalah-masalah yang berkaitan dengan
keimanan ini dibahas di dalam ilmu tauhid. Tanpa pemahaman fiqh semua ibadah
perhamban manusia tidak akan sampai kepadaNYA. singkatnya, hubungan antara ilmu
fiqh dengan ilmu tauhid seperti hubungan antara bangunan dan fondasinya. Ilmu tauhid
merupakan fondasi yang kokoh, sedangkan bangunan yang berdiri tegak dengan
megahnya di atas fondasi yang kokoh dan kuat itulah ilmu fiqh34.

3. Hubungan Ilmu Fiqh Dengan Ilmu Kalam

Secara harfiah kalam artinya perkataan atau percakapan. Menurut Husein Tripoli
bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-
kepercayaan keagamaa (agama Islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Sedangkan
menurut Fu'at Al-Ahwani Ilmu Kalam adalah memperkuat aqidah agama dengan ajaran-
ajaran yang rasional (akal).

Ilmu kalam adalah ilmu yang lahir sebagai respon kekecewaan umat atas praktek
politik dan kepemimpinan islam setelah Nabi Muhammad wafat. Tepatnya saat
peristiwa arbitrase (tahkim) atau keputusan suatu perkara keyakinan antara Ali dan
Muawiyah, hal inilah yang mengiringi kepada pertentangan teologis lewat penuturan
kata yang sama-sama mempesona dan meyakinkan keputusan yang dimaksud adalah
keputusan mengensi siapa yang pantas memimpin islam setelah kepergian khalifah
Usman. Karena banyak peristiwa pemberontakan dari masyarakat terhadap masa
kepemimpinan ali yang berlanjut pada perang shiffin dan peristiwa tahkim.  Sehingga,
lahirlah aliran-aliran dalam ilmu kalam setelah peristiwa ini, yaitu: Khawarij, Syiah,
Murjiah dan muktazilah. Periode ini sangatlah sulit karena sebagian besar membahas
pertentangan tentang akidah

Pendapat dari Abu Hanifah bahwa terdapat hubungan antara ilmu kalam dengan
fiqih. Ilmu kalam membahas soal-soal dasar dan pokok, pandangan lebih luas, tinjauan
dapat memberi sikap toleran, memberi keyakinan yang mendalam berdasarkan pada
landasan yang kuat sedangkan Fiqh membahas soa furu' atau cabang dan ranting,
pandangannyapun lebih detai dan rinci. Bahasan didalam Ilmu kalam yaitu tentang
aqidah atau keyakinan kepada Allah, dan ilmu fiqih itu membahas tentang tata cara
beridah kepada Allah. Jadi, ilmu kalam dengan fiqh itu sama-sama berorientasi kepada
34
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-ilmu-fiqh-dengan-
ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?page=all#section2
Allah. Yaitu bagaimana kita Yakin, dan bagaimana kita menjalankan ibadah dengan
sesuai ilmunya. Sehingga jika kita menerapkan ilmu fiqh fan ilmu kalam untuk
beribadah kepada Allah SWT, maka kita akan mendapatkan perasaan yakin dan tenang
bahwa ibadah yg dilakukan sudah benar35.

4. Hubungan Ilmu Fiqh Dengan Ilmu Filsafat

Filsafat adalah suatu Tindakan ataupun suatu aktivitas. Filsafat sebagai sebuah
aktivitas untuk berpikir secara mendalam (rasional) tentang pertanyaan-pertanyaan
besar dalam hidup manusia seperti apa tujuan hidup, siapa itu manusia yang
sesungguhnya, mengapa manusia dan alam bahkan akhirat diciptakan, bagaimana
proses terciptanya matahari, siapa tuhan itu dan lain sebagainya. Secara singkat filsafat
membahas mengenai keseluruhan kenyataan dengan kajian eksistensi (keberadaan) dan
esensi (hakikat), metafisika umum (ontologi)metafisika khusus: antropologi (tentang
manusia), kosmologi (tentang alam semesta) dan teologi (tentang tuhan). Disini, filsafat
mencoba menjawabnya secara rasional, kritis, sistematis dan logis.

Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat terhadap agama tidak lebih dari pada
mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk
menemukan zat yang membuatnya. Al-Quran berkali-kali memerintahkan demikian,
antara lain dalam surat Al-A'raf, ayat 185: "Apakah mereka tidak memikirkan tentang
(Yandhuru Fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?"
terdapat pula dalam surat Al-Hasjr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: "Hendaknya
kamu mengambil ibarat (I'tibar, mengadakan Qias = sillogisme), wahai orang-orang
yang mempunyai pandangan.". inilah bukti yang cukup untuk mengetahui bahwa
terdapat perintah untuk melakukan penyelidikan terhadap apa-apa yang ada di dunia dan
peristiwa -peristiwa apa yang ada, baik peristiwa yang terlihat maupun yang tidak
terlihat (diluar nalar sekalipun). 

35
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-ilmu-fiqh-dengan-
ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?page=all#section2
Dalam kaitan filsafat dan syari'at Ibn Rusyd mencoba memberikan penjabaran
mengenai keterkaitan filsafat dan syari'at yang secara emplisit mempunyai karakter
yang berbeda. Syari'at adalah murni bersumber dari teks nash agama, sedangkan filsafat
adalah hasil dari ulah pikir manusia36. Manurut Ibn Rusyd, kebenaran yang satu tidak
akan berlawanan dengan kebenaran lainnya, bahkan justru saling mendukung dan
menempatkan posisi masing-masing. Oleh karena itu, kita ketahui syari'at adalah hq
adanya (mutlak) dan mengajak kepada penalaran yang akan menggiring ke arah
pengetahuan kebenaran.

5. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Tasawuf

Terkait dengan tasawuf, fiqh ibarat jasad dan tasawuf adalah ruhnya. Jasad tanpa
ruh adalah tidak dapat hidup. Sementara ruh tanpa jasad juga tidak bisa berfungsi
apaapa. Keduanya harus saling melengkapi satu dengan lainnya. Sekadar ilustrasi, fiqh
tidak membahas ikhlas dalam sholat karena itu bahasan tasawuf. Fiqh hanya membahas
syarat dan rukun sholat apa saja –tidak peduli sholatnya dilakukan dengan ikhlas atau
riya’. Di sinilah letak kekurangan fiqh yang semestinya harus dilengkapi dengan ilmu
tasawuf.
Berkaitan dengan dua hal ini, tak heran jika Imam Malik mengatakan ‚Barang
siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa
bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan barang siapa
melakukan keduanya, berarti ia melakukan kebenaran‛. Walhasil, Tasawuf dan fiqih
adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara
keduanya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi
seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli mengabaikan ilmu tasawufnya. Jadi,
seorang ahli sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih.
Sebaliknya, seorang ahli fiqh harus berpegangan pada tasawuf agar ada kendali
moralnya.37
36
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-ilmu-fiqh-dengan-
ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?page=all#section2
37
M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Lainnya.(Surabaya : Buku
Pena Salsabila : 2013) h.11-12
6. Hubungan Fiqh dengan Kaedah Fiqh (al-Qawa'id alFiqhiyyah)
Kaidah fiqh merupakan kaidah yang diambil dan digali dari diktum-diktum fiqh
secara induktif. Diktum fiqh yang sangat banyak ini memiliki kesamaan-kesamaan
sehingga dapat diambil kaidah umumnya yang membawahi diktum-diktum fiqh
tersebut. Kaidah ini jumlahnya sangat banyak. Misalnya kaidah: al-umuru bi
maqasidiha, an-naflu ausau minal fardli, al-yaqinu la yuzalu bissyakki15, dan lain-lain.
Dari kaidah ini, kita dapat melakukan penggalian hukum yang lain dengan cara ilhaq,
menyamakan sebuah kasus yang telah ada hukumnya dalam fiqh dengan kasus yang
belum ada38.

7. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Falsafah Hukum Islam

Diakui atau tidak, ilmu Fiqh juga memiliki erat dengan falsafah hukum Islam.
Falsafah hukum Islam, secara objektif, berusaha mengungkapkan nilai-nilai,
hikmahhikmah, manfaat dan kegunaan syariat bagi kehidupan manusia. Sehingga,
dalam implementasinya, kesadaran dan pengertian mendalam akan dimiliki umat Islam
dalam mengamalkan atau mempraktekkan hukum Islam. Falsafah hukum Islam sangat
menentukan dan menguatkan kesadaran hukum umat Islam.
Karena Falsafah Hukum Islam akan menuntun umat Islam untuk memahami
hikmah dan manfaat disyariatkannya sebuah hukum Islam. Sehingga, umat Islam akan
sadar dengan sendirinya dalam mengimlementasikan Syari’at. Dengan adanya
kesadaran hukum ini, implementasi fiqh dalam kehidupan umat Islam akan semakin
semarak. Begitupun, pelanggaran terhadap ketentuan dalam fiqh dapat dieliminasi
frekuensinya39.

8. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Tarikh Tasyri’

Ilmu tarikh memiliki tiga dimensi: masa lalu, masa kini, dan kemungkinan-
kemungkinannya masa yang akan yang akan datang. Untuk mengetahui bagaimana ilmu

38
M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Lainnya.(Surabaya : Buku
Pena Salsabila : 2013) h. 13
39
M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Lainnya.(Surabaya : Buku
Pena Salsabila : 2013) h.13-14
fiqh di masa lalu, bagaimana sekarang dan bagaimana kemungkinan-kemungkinannya
pada masa yang akan datang bisa ditelusuri dari ilmu sejarah Islam dan sejarah hukum
Islam atau lebih dikenal dengan Tarikh al-Tasyri’.16 Masa lalu dan masa sekarang
memberikan data dan fakta. Dengan fakta ini dicari latar belakangnya serta ditelusuri
kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang merahnya yang merupakan
semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu fiqh pada khususnya berlaku
sepanjang masa.
Penerapan semangat ajaran ini tentu akan berubah sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang dihadapinya karena kemaslahatan yang juga berubah-ubah
sebagaimana bunyi kaidah: takhtalifu almaslahatu fihi bi thaghayyurul ahkam bi
taghayyuril azminah wal amkinah wal amkinah wal akhsasi wamin huna wujida
alijtihadu. 17 Perubahan hukum bergantung pada perubahan waktu, tempat dan keadaan
atau individu, karena itu dibutuhkan ijtihad. Demikianlah, apa yang dianggap sebuah
maslahah di masa lalu bisa dianggap tidak maslahah di masa kini. Sebaliknya, apa yang
tidak dianggap maslahah pada masa lalu bisa dianggap maslahah di masa sekarang. Di
sinilah letak pentingnya tarikh tasyri’ dalam hubungannya dengan fiqh40.

M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Lainnya.(Surabaya : Buku
40

Pena Salsabila : 2013) h.14-15


BAB VI
Sumber Hukum Islam Yang Disepakati

A. Sumber Hukum Islam Yang Disepkati Al-Qur’an Dan Hadist


Sumber hukum islam adalah suatu hal yang sangat penting dan sangat
dibutuhkan didalam kehidupan, khususnya bagi umat islam sendiri. Dikarenakan
sumber hukum islam merupakan dasar hukum yang dipakai didalam menguhukumi
suatu permasalahan yang ada baik itu yang sudah ada hukumnya taupun masalah baru
yang timbul dan belum ada hukum. Islam sebagai agama penutup dan yang sempurna
pastilah menyediakan pokok-pokok yang dapat diterapkan didalam kehidupan kita.41
Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam yang
sudah ditetapkan atau ditentukan. Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil
hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Kata sumber yang juga
dapat diartikan suatu tempat yang dari tempat itu dapat ditemukan atau ditimba norma
hukum. Dalam artian ini kata “sumber” hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan
sunah, karena memang keduanya merupakan tempat yang dapat ditimba hukum syara’
tetapi kata ini tidak mungkin digunakan untuk ‘ijma dan qiyas karena keduanya
bukanlah tempat yang dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas keduanya itu adalah
cara dalam menemukan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan

41
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2019/03/sumber-hukum-islam-yang-disepakati-pai.html
sunah, dapat juga digunakan untuk ijma dan qiyas, karena semuanya memang mengarah
kepada penemuan hukum Allah.42

1. Al-Qur’an
Pengertian
Alqur'an secara istilah adalah Kalamullah yang diturunkannya kepada Nabi
Muhammad, dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai
kepada kita dengan jalan mutawatir, apabila membacanya maka mengandung nilai
ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. “Al-Jurjani
mendefinisikan Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada
Rasulullah tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan
tidak diragukan.”43

Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum

Dari segi penjelasan terhadap hukum, yang digunakan dalam Al-Qur’an ada
beberapa cara, yaitu:

i. Secara Juz’i (terperinci). Dalam Al-Qur’an Allah telah memberikan penjelasan


dengan secara lengkap, sehingga dapat dijalankan dengan apa adanya, meskipun
tidak dijelaskan oleh Nabi dengan sunah-Nya. Seperti ayat-ayat tentang
“kewarisan dalam surat an-Nisa’ (4): 11 dan 12. Tentang “sanksi terhadap
kejahatan zina dalam surat an-Nur (24): 4”. Seperti yang telah dijelaskan dalam
ayat diatas, maksudnya pun sudah jelas dan juga tidak memberikan celah
dengan adanya kemungkinan pemahaman lain. Ayat tersebut termasuk ayat
muhkamat, dapat dilihat dari segi penjelasan artinya.
ii. Secara Kulli (global). Secara garis besar Al-Qur’an terhadap hukum masih
berlaku, sehingga dalam pelaksanaannya masih memerlukan penjelasan. Nabi
Muhammad dan sunah-Nya itu lah yang paling berwenang dalam memberikan
penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk dalam garis besar itu.
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2019/03/sumber-hukum-islam-yang-disepakati-pai.html
42

Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum Islam, Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam.
43

Vol.1 No.1 (Maret, 2018), hlm. 105.


iii. Secara Isyarah. Al-Qur’an telah memberikan penjelasan terhadap apa yang
secara lahir disebutkan di dalamnya secara ‘ibarat. Disamping itu juga dalam
maksut lain telah memberi pengertian secara isyarat. Dengan demikian dalam
satu ayat Al-Qur’an itu dapat menjelaskan beberapa maksut.
Seperti firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 23:
ّ ٖ ُ‫” َك ِر ٗيما قَ ۡواٗل لَّ ُه َما َوقُل ت َۡن َه ۡر ُه َما َواَل أ‬
“ ‫ف لَّ ُه َمٓا تَقُل فَاَل‬
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan janganlah kamu membentuk mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.”
Menurut yang tersurat (‘ibarat) ayat tersebut merupakan: haram hukumnya berkata
kasar dan menghardik orang tua. Menurut dari yang tersirat di balik yang tersurat itu
adalah haram hukumnya jika memukul dan menendang orang tua.
Firman Allah surat al-Baqarah ayat 233:
“‫س َوتُ ُهنَّ ِر ْزقُ ُهنَّ لَهۥُ ٱ ْل َم ْولُو ِد َو َعلَى‬ ِ ‫”بِٱ ْل َم ْع ُر‬
ْ ‫وف َو ِك‬
“Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian terhadap keluarganya secara
patut.”
Ayat ini menurut yang tersurat (‘ibarat) mewajibkan kepada ayah untuk menanggung
nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. Dilain itu juga, ayat ini juga meng-isyarat-
kan juga hubungan nasab anak adalah kepada ayahnya, bukan kepada ibunya. Dalam
ayat itu tidak mungkin ada maksut lain dan tidak mungkin juga ditanggapi dengan
tanggapan yang berbeda. Hukum ini yang sudah ditunjuk secara pasti berlaku juga
secara universal dan tidak akan pula mengalami perubahan walaupun waktu dan
tempatnya sudah berubah.44
a) Hukum Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, yaitu:

 Hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada


Allah swt, Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul Allah, dan kepada hari akhir.

44
mir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, Jilid 1, 2008), hlm. 220-222.
 Hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia
harus mempunyai akhlak yang baik dan menjauhi perilaku yang buruk.
 Hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Hukum amaliyah ini ada dua yaitu mengenai Ibadah dan mengenai muamalah
dalam artian yang luas.45
b) Cara Al-Qur’an Menjelaskan Hukum

Al-qur’an menjelaskan hukum ada tiga jenis:

 Penjelasan umum (kulli), yaitu yang menjadikan dasar untuk menentukan


hukum-hukum furu’ dengan menyebutkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip
umum, seperti:
a. Perintah musyawarah, yang telah difirmankan oleh Allah: “Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali-Imran (3): 156)
b. Sanksi setimpal dengan pelanggaran: “Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa. (asy-Syura (42): 40)”
c. Memenuhi komitmen : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-
janji. (al-Ma’idah (5): 1)”
 Penjelasan global (ijmali), yaitu penyebutan hukum-hukum dengan secara
global yang membutuhkan penjelasan dan perincian. Diantaranya hukum-hukum
tersebut adalah:
a. Kewajiban shalat dan zakat, sebagaimana Allah telah berfirman: “Tegakkan
shalat dan tunaikan zakat. (al-Baqarah(2): 110)” Dalam Al-Qur’an tidak
memberikan penjelasan berapa jumlah rakaat shalat dan tata caranya. Maka,
sunnah lah yang lebih menjelaskan hal tersebut secara rinci. “Rasulullah saw.
bersabda: shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.” Begitu juga dengan
sunnah yang menjelaskan tentang hukum-hukum zakat, takarannya, dan
nishabnya.
b. Kewajiban haji, Allah berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan
45
A. Dzajuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, edisi revisi, 2005), hlm. 63.
ke Baitullah. (Ali-Imran (3): 97)” Sunnah telah merincikan dan menjelaskan haji
serta rukun-rukunnya. “Nabi bersabda: Ambillah dariku manasik-manasikmu.
c. Halalnya jual beli dan haramnya riba: “Dan Allah telah menghalalkan jual-
beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah(2): 275) Sunnah telah menjelaskan
jual-beli yang halal dan yang haram, serta maksut dari riba.
 Penjelasan rinci (tafshili), menyebutkan hukum-hukum dengan secara rinci.
Misalnya, pembagian warisan, cara talak dan jumlahnya, cara li’an antara suami-
istri, wanita-wanita yang haram dinikahi, sebagian hukuman yang disebut had,
seperti had zina, pencurian, perampasan di jalan, qadzaf (tuduhan zina), dan
hukum-hukum tafshil lain di dalam Al-Qur’an.

Jika seluruh hukum dijelaskan dengan secara detail maka hal ini justru tidak
sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu member petunjuk dan hidayah. Sebagaimana awal
adanya hukum dalam bentuk kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum yang fleksibel itu
sangat relevan dengan universalitas dan keabadian syari’at, sehingga kita bisa
membangun hukum-hukum di atasnya dengan menerapkannya pada suatu kejadian
persial di masa yang berbeda-beda.46

2. As-Sunnah

Pengertian

As-Sunnah ialah segala sesutau perkataan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah


saw. yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Pengertian tersebut menunjukkan
bahwa adanya 3 bentuk sunnah, yaitu Qauliyah (berupa perkataan), fi’liyah (berupa
Sunnah qauliyah lebih sering disebut hadis adalah seperti Sabda Nabi saw.

“.‫ت ْاألَ ْع َما ُل إِنَّ َما‬


ِ ‫ئ لِ ُك ِّل َوإِنَّ َما بِالنِّيَّا‬
ٍ ‫”نَ َوى َما ا ْم ِر‬
“Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai
apa yang diniatkan.”

Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah : Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, (Jakarta:
46

Robbani Press, Cet. 1, 2008), hlm. 233-236.


Sunnah fi’liyah atau amaliyah seperti hadis-hadis yang diriwayatkan tentang
perbuatan, misalnya wudhu’ Nabi saw., shalatnya, hajinya, setiap keputusan terhadap
suatu perkara dengan seorang saksi dan sumpah yang terdakwa, dipotongnya tangan
kanan seorang pencuri dan sebagainya.
Sunnah taqririyah ialah pengakuan/ pembenaran Nabi saw. terhadap perkataan
atau perbuatan yang sumbernya berasal dari sahabatnya, baik dengan diamnya ataupun
dengan tidak diingkarinya ataupun dengan menyatakan persetujuannya, baik perbuatan
atau perkataan sahabat itu dilakukan didepan ataupun dibelakangnya. Pembenaran
terhadap perbuatan/perkataan sahabat dipandang sebagai hadis beliau juga, karena
sekiranya perbuatan/perkataan sahabat itu mungkar tentu beliau melarangnya, sebab
Rasul sebagaimana difirmankan Allah:

“.‫وف يَأْ ُم ُر ُه ْم‬ ِ ‫”ا ْل َخبَائِ َث َعلَ ْي ِه ُم َويُ َح ِّر ُم الطَّيِّبَا‬


ِ ‫ت لَ ُه ُم َويُ ِح ُّل ا ْل ُم ْن َك ِر َع ِن َويَ ْن َها ُه ْم بِا ْل َم ْع ُر‬
“Menyuruh mereka berbuat ma’ruf, melarang mereka dari berbuat munkar,
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala
yang buruk.”47
a. Macam-Macam Sunnah

Menurut pengertian ahli ushul, sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh para sahabat dan
disampaikan kepada orang lain. Misalnya sahabat menyampaikan bahwa ia telah
mendengar Nabi bersabda, “siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia
lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat.”
2. Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw. yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikannya kepada
orang lain dengan ucapannya. Misalnya sahabat berkata, “saya melihat Nabi
Muhammad saw. melakukan shalat sunat dua rakaat sesudah shalat dzuhur.”

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama, Oktober 1995), hlm.
47

20-21.
3. Sunnah taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang
dilakukan dihadapan atau dengan sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau
dilarang oleh Nabi. Dengan diamnya Nabi itu disampaikanlah oleh sahabat yang
menyaksikannya itu kepada orang lain dengan perkataannya. Misalnya ada
seorang sahabat tengah memakan daging dhab tersebut di depan Nabi. Nabi pun
juga mengetahui apa yang tengah dimakan oleh sahabat itu, namun Nabi tidak
melarang ataupun menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Dengan kisah tersebut
disampaikanlah oleh sahabat yang mengetahuinya dengan perkataannya, “Saya
melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui,
tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu.”48

Macam-macam sunnah dari segi sanadnya, yang dimaksut dengan sanad adalah
para perawinya. Dari segi ini sunnah dibagi menjadi tiga macam jika sanadnya
bersambung.
 Sunnah mutawatirah, yaitu sunnah yang telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw. oleh sekelompok orang yang secara akal tidak mungkin sekelompok orang itu
berbohong terhadap sunnah tersebut. Kategori ini termasuk sunnah ‘amaliyah yang
menjelaskan ketentuan zakat, tata cara haji, dan tata cara shalat serta rukun-
rukunnya.
 Sunnah masyhurah, yaitu yang diriwayatkan dari Nabi oleh banyak orang namun
jumlah mereka tidak sampai pada batas mutawatir, kemudian menjadi sangat
dikenal dengan (masyhur) kemudian diriwayatkan oleh sebanyak orang yang ada di
dalam riwayat mutawatir di masa tabi’in dan tabi’ut-tabi’in.
 Sunnah ahad, yaitu yang telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. oleh
sejumlah orang yang tidak sampai pada batas mutawatir dan tidak masyhur setelah
itu, yakni bukan sunnah mutawatir dan masyhur.49

b) Fungsi Sunnah

48
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm 229-230.
49
Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, op.cit., hlm. 241-242.
Sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an yaitu as-sunnah.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang masih
mujmal (umum), maksudnya maka ayat-ayat yang seperti ini masih memerlukan
penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulullah dengan melalui sunnahnya. Karena
fungsi sunnah/hadis terhadap Al-Qur’an sendiri adalah memberi penjelasan/menguatkan
hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. Fungsi as-sunnah sendiri terhadap Al-
Qur’an secara umum, yaitu:
1. As-sunnah menjelaskan pernyataan Al-Qur’an yang bersifat umum, misalnya
dalam surah Al-Baqarah ayat 110 yang menjelaskan tentang perintah shalat, dalam
aya tersebut kata shalat masih bersifat umum, maka as-sunnah menjelaskan secara
operasional, baik dari kaifiyatnya/tata cara shalat (bacaan dan gerakannya). “Nabi
bersabda: shalat kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (Al-Hadis)”. Dengan
demikian pula shalat tersebut memiliki status hukumnya wajib atau sunnah,
misalnya mana shalat yang wajib dan shalat mana yang sunnah. “Ketika ada seorang
arab Badui bertanya kepada Rasulullah: wahai Rasulullah beritahukan kepadaku
shalat yang difardhukan untukku? Rasulullah berkata: shalat lima waktu, yang
lainnya adalah sunnah. (HR. Bukhari dan Muslim)”
2. As-sunnah memberikan batasan maksimal terhadap apa-apa yang telah
dinyatakan oleh Al-Qur’an, misalnya tentang wasiat, mengenai hal ini as-sunnah
telah memberikan batasan mengenai banyaknya wasiat agar tidak melebihi sepertiga
dari harta yang ditinggalkan. Hal ini juga telah disampaikan oleh Rasululah saw.
“dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi
Waqash ra. Yang menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang jumlah wasiatnya,
Rasulullah memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya menyetujui sepertiga dari
jumlah harta yang ditinggalkan.”
3. As-sunnah sebagai penguat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an
seperti menetapkan hukum, sebagaimana yang telah Allah firmankan di dalam
surah Al-Baqarah ayat 183:

‫الصيَا ُم َعلَ ْي ُك ُم ُكتِ َب َءا َمنُوا الَّ ِذينَ يَاأَيُّ َها‬


ِّ ‫” لَ َعلَّ ُك ْم قَ ْبلِ ُك ْم ِمنْ الَّ ِذينَ َعلَى ُكتِ َب َك َما‬
“‫تَتَّقُون‬
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkannya atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dalam ayat tersebut memiliki kandungan atas kewajiban puasa, yang telah
dikuatkan oleh as-sunnah “dengan sabda Rasul: Islam didirikan di atas lima perkara;
persaksian tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan
shalat, membayar zakat, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah. (HR.
Bukhari dan Muslim)”50

c) Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Sunnah merupakan sumber pertama setelah Al-Qur’an. Karena sunnah merupakan


penjelas dari Al-Qur’an, maka yang dijelaskan memiliki kedudukan lebih tinggi
daripada yang menjelaskan. Namun, kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-
kurangnya ada tigal berikut ini:
 Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an Hukum islam disandarkan kepada
dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Jadi tidak heran jika banyak sekali
sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan
musyrik, dan lain-lain.
 Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an Sunnah sebagai penjelas (bayanu tasyri’)
yang sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat 44:

“.‫ٱلذ ْك َر إِلَ ْيكَ َوأَنزَ ْلنَٓا‬


ِّ َ‫س لِتُبَيِّن‬
ِ ‫”يَتَفَ َّكرُونَ َولَ َعلَّ ُه ْم إِلَ ْي ِه ْم نُ ِّز َل َما لِلنَّا‬
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa
yang diharamkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.”
Maka sudah jelas bahwa sunnah itu sangat berperan penting dalam menjelaskan maksut-
maksut yang terkandungn dalam Al-Qur’an, sehingga dalam memahami Al-Qur’an
dapat menghilangkan kekeliruan.

Zainuddin Ali, M.A., Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
50

Cet.1, Oktober 2006), hlm. 33-34.


Bahwasannya penjelasan sunnah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam tiga
bagian:

i. Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat namun dalam
Al-Qur’an sendiri tidak diiringi dengan penjelasan mengenai rukun, syarat dan
ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Dalam hal itu telah dijelaskan oleh sunnah
sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
َ ُ‫”أ‬
َ ‫صلِّي َرأَ ْيتُ ُمونِي َك َما‬
“.‫صلُّوا‬
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”

ii. Penguat secara mutlaq, sunnah merupakan sebagai penguat terhadap dalil-dalil
umum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
iii. Sunnah sebagai takhsis, dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.
iv. Sebagai Musyar’I (Pembuat Syari’at)Sunnah sudah tidak diragukan lagi yang
merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an, misalnya
diwajibkannya zakat fitrah, disunnahkannya aqiqah, dan lain sebagainya. Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat:
1)      Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.

2)      Sunnah yang tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi hanya
saja memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.51

51
Rachmat Syafe’I, M. A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 65-67.
BAB VII
Sumber Hukum Islam Yang Disepakati Ijma’ Dan Qiyas

A. Ijma Dan Qiyas


1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, yaitu ‫ إمجما ع‬bermakna dua pengertian:

1) Ijma’ yang bermakna ‫“ م عل الشئي المز‬keputusan berbuat sesuatu atau ketetapan


hati untuk melakukan sesuatu”. Seperti halnya firman Allah pada surat yunus
ayat 71 :
‫فَأ َ ْج ِم ُع ٓو ۟ا أَ ْم َر ُك ْم َوش َُر َكٓا َء ُك ْ™م‬
Artinya: “...karema itu bulatkan keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu -
.”sekutumu (untuk membinasakanku)
;Demikian pula dalam hadist Nabi SAW yang berbuyi
‫الَ صيَا َم ل َمن لَم يَج َم َع الصيَا َم من اللَيل‬
Artinya: “tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa sejak
.”malam
2) Ijma’yang bermakna “sepakat”, seperti halnya pengertian ijma’ ini sejalan
dengan firman Alllah yakni surat Yusuf ayat 15:
‫ت ۡال ُج ِّب‬
ِ َ‫فَلَ َّما َذہَبُ ۡوا بِ ٖہ َو اَ ۡج َم ُع ۡۤوا اَ ۡن یَّ ۡج َعلُ ۡوہُ فِ ۡی َغ ٰیب‬
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur”.52
52
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276
Sedangkan menurut syara’ (menurut jumhur) adalah kesepakatan mujtahid
(seluruhnya) umat islam dicocokkan masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW
tentang hukum syara’ yang amali.53
Atau definisi lainnya adalah sebuah pandangan para sahabat Nabi dan pencapaian
persetujuan dalam berbagai keputusan dan dilakukan oleh para ulama, fuqoha atau mufti
yang ahli didalam banyaknya persoalan dinul islam54sejalan dengan itu juga terdapat
pada firman Allah surah Ali-Imron ayat 159:
‫ش™ا ِو ْر ُه ْم فِى‬ َ ‫ستَ ْغفِ ْر لَ ُه ْم َو‬ ْ ‫وا ِمنْ َح ْولِكَ ۖ فَٱعْفُ َع ْن ُه ْم َوٱ‬ ۟ ‫ض‬ ِ ‫فَبِ َما َر ْح َم ٍة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَ ُه ْم ۖ َولَ ْو ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ٱ ْلقَ ْل‬
ُّ َ‫ب ٱَلنف‬
َ‫ٱأْل َ ْم ِر ۖ فَإ ِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّك ْل َعلَى ٱهَّلل ِ ۚ إِنَّ ٱهَّلل َ يُ ِح ُّب ٱ ْل ُمت ََو ِّكلِين‬
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
“Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan
politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya”.
Adapun dalam istilah syari’nya memiliki beberapa perbedaan definisi dari para ulama,
pendapat mereka mengenai deinisi ijma’ sebagai berikt:

1. Menurut Al-Ghozali ijma’ adalah “ kesepakatan umat Muhammad secara khusus


atas suatu agama”.
2. Menurut Al-Amidi , ijma’ adalah : “ kesepakatan sejumlah ahlul halli wal’aqd
(para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu
masa atas hukum suatu kasus”.
3. Definisi yang berbeda dikemukakan oleh ulama syi’ah secara substantial, yakni
dalam kata “ semua” tetapi xukup dalam kata “ kelompok atau beberapa orang ‘
asalkan kelompok tersbeut memiliki wewenang dalam menetapkan hukum. Yang

53
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Sinar Grafika, Jakarta,
1995,hlm 42.
54
Abdur Rahman, Shari’ah Kondifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta,1993, hlm 98-99.
berbunyi; “ kesepakatan suatu komunitas yang kesepakatan mereka memiliki
kekuatan dalam menetapkan hukum syara’.
4. Menurut Ibnu Hazmi, ijma’ adalah “ kesepakatan ulama islam tentang nash,
baik dari al-qur’an maupun sunnah”.
5. Menurut Al-Nazham, ijma’ adalah “setiap perkataan yang hujahnya tidak dapat
dibantah” dll.55
6. Menurut pengarang kitab Fushulul Bada’i, ijma’ adalah “sebuah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW, dalam suatu masa setelah
beliau wafat terhadap hukum syara”.
2. Kedudukan Ijma’
Menurut jumhur ulama kedudukan ijma sebagai dalil hukum sesudah al-qur’an
dan sunnah. ijma juga menetapkan hukum wajib dan mengikat yang harus dipatuhi oleh
umat islam setelah kedua hukum yang utama (al-qur’an dan sunnah) 56. Pernyataan ini
dikuat dengan beberapa ayat al-qur’an dan hadist nabi sebagai berikut;

1. Surah an- Nisa ayat 115


ْ‫س™ا َءت‬ َ ‫سو َل ِمنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْل ُهد َٰى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر‬
ْ ُ‫س™بِي ِل ا ْل ُم™™ؤْ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه مَا تَ َولَّ ٰى َون‬
َ ‫ص™لِ ِه َج َهنَّ َم ۖ َو‬ ُ ‫ق ال َّر‬
ِ ِ‫َو َمنْ يُشَاق‬
‫صي ًرا‬
ِ ‫َم‬
Artinya: “dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.

2. Surah al- Baqarah ayat 143


۟ ٰ َ ِ‫َو َك ٰ َذل‬
ِ َّ‫ك َج َع ْلنَ ُك ْم أُ َّمةً َو َسطًا لِّتَ ُكونُوا ُشهَدَٓا َء َعلَى ٱلن‬
‫اس َويَ ُكونَ ٱل َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم‬
Artinya: “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.

55
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276-279.
56
Amir Syarifuddin ,Ibid, hlm 283
“Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi
atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di
akhirat”.

3. Surah Ali Imran ayat 110


4. Sirah Ali Imron ayat 103
5. Surah an-Nisa ayat 59
Adapun hadist nabi sebagai berikut: “umatku tidak akan sepakat untuk
melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak
akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan”57

3. Pendapat Para Ulama Tentang Batasan Ijma’


Menurut Ahl al-Sunnah memposisikan ijma’ sebagai dalil yang dapat berdiri
sendiri setelah dua sumber hukum sebelumnya (al-qur’an dan sunnah) akan tetapi
didalam ijma juga terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan adanya pembatasan
dan persyaratan, baik dari batasan dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya.

a) Keikutsertaan Kalangan Awam Dalam Ijma’


Banyak pendapat mengenai hal ini, yakni ada diperhitungkan atau tidaknya,
tetapi menurut jumhur ulama suara kalangan awam tidak diikutkan (diperhitungkan)
dalam melakukan ijma’. Kemudian sebagian kecil ulama berpendapat bahwa suara
kalangan awam dapat diikutsertakan dalam melakukan ijma’ beberapa ulama yang
sejalan dengan ini adalah Qadhi Abu Bakar dan juga Amidi.58

b) Ijma’ Sesudah Masa Sahabat


Dalam hal ini juga banyak perbedaan pendapat, banyak ulama berpendapat
bahwa ijma’ memiliki kekuatan hujjah dan pemakaiannya tidak terbatas pada masa
sahabat saja tetapi dapat digunakan pada setiap masa dengan ketentuan hujjah tersendiri
pendpat ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama dan menurut pendapat lainnya yang

57
Amir Syarifuddin, Ibid,hlm 185.
58
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm 286- 287
berbeda, salah satunya adalah Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dan imam Ahmad ijma
yang memiliki daya hujjah adalah ketika masa sahabat.59

c) Kesepakatan Mayoritas
Menurut jumhur ulama berpendapat, ijma’ tidak sah bila hanya mayoritas
menyetujui dan sebgian lagi ada yang tidak setuju atau menentangnya. Pendapat lainnya
yakni jika jumlah minoritas mencapai mutawatir maka ketidak setujuan mereka
menyebabkan ijma tidak dilaksanakan, tetapi jika tidak sampai mutawatir makaketidak
setujuan mereka tidak berpengaruh dan masih banyak lagi pendapat lainnya.60

d) Kesepakatan Ulama Madinah


Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ini bukanlah ijma’ dan tidak
memiliki kekuatan hujjah. Karena dalil- dalil kehujjahan tersebut itu mencangkup ulama
diluar madinah juga. Sedangkan ulama malikiyah kesepakatan ini merupakan ijma dan
memiliki kekuatan hujjah terhadap ulama yang menyalahhkannya.61

e) Kesepakatn Ahlu Al-Bait


Menurut ulama syi’ah ahlu al-bait yaitu keturunan Nabi Muhammad dari putrinya
Fatimah dan Ali. Dan mereka berpendapat kesepakatn ahlu al-bait dalam ijma’ memiliki
kehujjahan (memiliki kekuatan hukum), mereka berlandasan pada ayat al- ahzab ayat 33
serta hadist nabi yang berbunyi, “perkenankan aku meninggalkan pada kalian dua
pedoman. Apabila kalian berpegang teguh pada keduannya, niscaya kalian tidak akan
sesat, yaitu kitabulloh dan keluargaku”. Namun pendapat ini ditolak oleh seluruh ulama
Ahl al-sunnah karena yang dimaksud mahsum disini bukanlah ahlu al –bait saja
melainkan umat secara keseluruhan.62

f) Kesepakatan Khulafaur Rasyidin


Menurut Ahmad ibn Hambal kesepakatan ini tidak bisa dikatakan ijma’ tetapi bisa
gunakan sebagai hujjah. Imam Ahmad dalam periwayatannya mengatakan bahwa

59
Amir Syarifuddin ,Ibid, hllm 287-288
60
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm 288
61
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm 289-291
62
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm 291-292
kesepakatan ini termasuk ijma’ yang mengikat, akan tetapi jumhur ulama mengatakan
bahwa kesepakatan ini bukanlah ijma’ dan tidak termasuk hujjah. Sedangkan yang
mengatakan bahwa kesepakatan khulafaur rasyidin sebagai ijma’berdasarkan hadist nabi
yakni “ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahku” dan masih banyak
lagi perbedaan pendapat lainnya.63

4. Macam- Macam Ijma’

Dilihat dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma, maka dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu:

 Ijma’ al-Ummat (‫ )إجماع األمة‬ijma’inilah yang dimaksudkan dengan dermisi pada


awal pembahasan ini.
 Ijma’ Ash- Sahabat (‫ )إجم••اع الص••حابة‬adalah persesuaian paham segala ulama
sahabat terhadap suatu urusan
 Ijma’ Ahl al-Madinah (•‫ )إجماع اهل المدينة‬adalah persesuaian paham ulama- ulama
ahli madinah terhadap sesuatu kasus, dan ijma ini menurut imam Maliki adalah
sebuah hujjah.
 Ijma’ Ahl al-Kuah (‫ )إجماع اهل الكوفة‬yakni dianggap sebagai hujjah oleh imam
Hanifah.
 Ijma’ Al-Khulafa’ al-Arba’ah (‫ )إجم••اع الخلفاءاالربعة‬yakni dianggap hu jjah oleh
beberapa ulama didasari oleh hadist, “kamu wajib mengikuti sunnahku dan
sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku” (hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad
Abu Daud dan At-Turmudzi).
 Ijma’ Al-Syayhayni (‫ )إجماع الشيخين‬adalah sebuah persesuaian dari paham Abu
Bakar dan Umar dalam suatu hukum, dan Iijma’ ini dianggap hujjah oleh
sebagian ulama atas dasar hadis, “ikutlah atau teladanilah kedua orang ini
sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”.

63
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm 293-n295
 Ijma’Al-Itrah ( ‫ )إجماع العترة‬adalah sebuah persesuaian paham ulama-ulama Ahli
Bait.64

Dan jika dilihat dari segi terjadinya dan kedudukan ijma’ ada dua macam ijma’
yaitu:

1. Ijma’ Al-Sharih (‫) جماع الصاريحإ‬


Adalah ijma’ persetujuan ketegasannya bisa melewati ucapan maupun dengan
perbuatan.65 Yang dilakukan oleh semua mujtahid menyampaikan pendapat- pendapat
mereka kemudian memilih salah satu untuk disepakati. Hal ini bisa dilakukan ketika
para mujtahid berkumpul dan mengemukakan pendapat mereka dan juga apabila
muncul suatu peristiwa yang perlu di ijma’kan.66
Dalam kehujjahan ijma’ ini jumhur ulama bersepakat bahwa hujjah jima ini wajib
diamalkan dan haram untuk menolaknya atau disebut qath’i. sedangkan dalil yang
menjadi sandaran adalah surat an-nisa ayat 115.67
1. Ijma’ sukuti (‫)إجماع السكوتى‬
Adalah ijma’ persetujuan ketegasannya dinyatakan oleh mujtahi, dan sebagian
diam, serta tidak jelas apakah apakah mereka menyetujui atau malah menentangnya.
dan di dalam ijma’ ini memiliki kriteria yang harus dipenuhi yakni, 1) mujtahid diam
karena menunjukkan persetujuannya ataupun penolakannya, 2) keterdiaman mereka
memakan waktu cukup lama, yang dikira untuk berpikir didalam permasalahan tersebut,
3) permasalahan yang dibahas haruslah permasalahan ijtihad dan bersumber dari dalil
zhanni.
5. Naskh (Pembatalan) Ijma’
Kemunculan naskh ijma’ ini dikarenakan ijma’ yang sebelumnya sudah tidak
berlaku lagi atau muncul suatu hukum baru (berbeda) dialam menghukumi suatu
permasalahan dari ijma’. Sejatinya naskh ini tidak berlaku keculai dalam penetapan
hukum yang ditetapkan dengan nash (al-qur’an dan hadist), dikarenakan naskh ini
64
A. Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana,
Jakarta, 2005, hlm 75-76
65
A. Djazuli Ibid, hlm 76
66
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN PTS, Pustaka Setia, Bandung,2007, hlm 72
67
Rachmat Syafe’i, Ibid hlm 73-74
berlaku pada masa nabi ketika hidup saja karena tidak akan terjadi naskh karena
pembatalan ijma ini berdasarkan hukum yang ra’yu yang merujuk pada nash.
Sedangkan menurut para ulama tentang naskh sebagai berikut:
 Jumhur ulama menyatakan bahwa naskh tidak berlaku pada ijma’.
 Sebagian ilama diantaranya Mu’tazilah dan Fakhrur Razi berpendapat bahwa
ijma’ dapat di naskhkan.68
6. Contoh –Contoh Ijma’
Beberapa contoh berikut merupakan hasil yang didasarkan pada proses ijma:
a. Seperti halnya pada keabsahan kontrak dalam pemebelian barang yang A’dul
Istitsna (diolah) berdasarkan pada ijma’
b. Biasanya pada hukum jual beli yang barangnya yang belum ada adalah tidak sah
kerena barang tersebut belum pasti. Dan para ulama menyepakati untuk
memperbolehkan hal tersebut karena bertujuan utuk memperoleh jalan keluar
yang mudah.
c. Dalam aspek warisan, juga sudah disepakati jika seseorang ditinggal mati oleh
ayahnya, maka kakeknya juga memperoleh hak warisan bersamaan dengan anak
laki-laki yang bagianya itu diambil dari bagian dari ayahnya.
d. Serta dalam masalah hukum keluarga juga sudah disepakati bahwa
dilarangannya menikah dengan nenek dan cucu perempuan (sekalipun jaraknya
jauh), dikarenakan dalam Al-qur’an menjelaskan tentang larangan menikah
dengan ibu dan anak perempuan, kerana hukum pelarangan tersebut
diberlakukan sama.69
7. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa qiyas berarti menyamakan (musawah) dan mengukur (taqdir).
70
Sedangkan kan menurut ulama fiqih qiyas menurut istilah adalah menyamakan suatu
masalah baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah nabi

68
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jilid 1, Kencana, Jakarta,2008, hlm 310-312.
69
Abdur Rahman, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta Jakarta, 1993, hlm 101-102
70
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Rabbani Press,
Jakarta, 2008, hlm 250
dengan masalah yang memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an dan Sunnah
yang berdasarkan dengan adanya persamaan illat hukumnya.71
a. Rukun Qiyas
Dalam qiyas memiliki 4 rukun yaitu:
i. Maqis ‘alaihi (ashal= pokok (tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya))
Adalah suatu hukum yang di-nash-kan untuk di qiyaskan, dan dalam ushul fiqh
disebut Al-maqis alih, Al-Ashlu dan Al-Musyabah bihi. Dalam ashla ini haruslah
berupa nash yakni al-qur’an sunnah atau ijma, serta dalam kandungannya harus terdapat
illat hukumnya.72
Syarat- syaratnya antara lain:
 Terdapat dalil atau petunjuk diperbolehkannya pengqiyasan tersebut, baik dalam
nau’I atau lingkungan yang sempit atau terbatas (syakhi) menurut Utsman ibn
Muslim.
 Didalam adanya illat harus ada kesepakatan ulama didalam ashal maqis ‘alaih
menurut Basyri al-Marisi.73
ii. Maqis (furu’= cabang (sesuatu yang kan disamakan hukumnya dengan
ashal))
Adalah suatu hukum yang tidak dinashka, dalam istilahkan ushul fiqh yakni Al-
Fa’ru, Al-Musyabah dan Al-Maqis adapun syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
 Cabang tidak memiliki hukum sendiri.
 Dalam cabang dan ashal harus memiliki illat hukum yang sama.
 Cabang tidak boleh mendahului ashal.
 Hukum yang ada dalam cabang dan ashal sama.74
iii. Illat

71
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
hlm 40
72
A. Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana,
Jakarta, 2005, hlm 77
73
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jilid 1 Kencana, Jakarta,2008, hlm: 342-343
74
A. Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islma, Kencana,
Jakarta, 2005, hlm 78
Adalah “washaf yang nyata lagi tetap yang melengkapi pengertian yang
munasabah dengan hukum. (seperti mabuk, illat haram meminum minuman keras)”.75
Syarat- syaratnya yaitu:
 Sifatnya nyata (jelas) dan dapat diindrai, walaupun tanpa tahu dengan jelas
illatnya.
 Bersifat tegas dan tertentu yakni dapat dipatkan dalam wujud cabang.
 Keterkaitan illat hukum dengan hukum illat karena ilat merupakan penerapan
hukum unutuk mencapai maqasidu syari’ah.
 Illat sejalan dengan nash, dan jika berlawanan maka nashnya didahulukan.
 Illat bukan termasuk sifat yang adapada ashal, karena sifat tersebut hanya ashal
saja dan tidak bisa dianalogikan.
Adapun macamnya illat ada 4 macam yaitu:
 Munasib muatssir
 Al- munasib al-mula’im
 Munasib mulgha
 Al- munasib al-mursal atau al-mursal al-muthlak
iv. Hukum Pokok (Hukum Ashal)
Adalah hukum syara yang dinashkan pada ashal dan akan dijadikan hukum pada
furu’ dan syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
 Haruslah hukum amaliah.
 Dalam hal persyariatannya harus rasional atau ma’qul al-ma’na.
 Bukan termasuk hukum khusus.
 Hukum ashal adalah hukum yang berlaku (bukan termasuk hukum yang sudah
dimansukhkan)
Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
Menurut Muhammad Abu Zahra membagi 3 kelompok dalam hal penerimaan
ulama terhadap qias sebagai berikut:

Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999,
75

hlm190
 Golongan Jumhur Ulama menjadikan qiyas sebagai dalil syara’. Penggunaan
qiyas ini dilakukan untuk mencari hukum yang tidak ada pada sumber hukum tiga
(al-qur’an, sunnah dan ijma’), tetapi dalam prakteknya qiyas digunkan secara
tidak berlebihan.
 Golongan ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, mereka dengan mutlak
menolak pemakaian qiyas, Zhahariyah juga menolak penggunaan illat dalam suatu
hukum serta berpendapat tidak perlu mengetahui tujuan suatu hukum syara’.
 Dan kelompok ini menggunakan qiyas secara mudah dan luas kelompok ini
menyatukan dua hal yang tidak jelas (terlihat) kesamaan illat keduanya, terkadang
memberikan kekuatan yang tinggi terhadap qiyas dan karena itu berakibat
membatasi keumuman beberapa dalil al-qur’an dan sunnah.
Beberapa dalil yang digunakan jumhur ulama dalam penerimaan qiyas sebagai
hukum syara’.
a)  Dalil al-qur’an
Yakni dalam surat Yasin ayat 78-79 yakni Allah memberika petunjuk penggunaan
qiyas, kemudian juga pada surat Al-Hasyr ayat 2 tentang Allah memerintah
digunakannya qiyas., lalu dalam sura Ali Imron ayat 13 dan juga dalam surat An-Nisa
ayat 59.
b)  Dalil sunnah
Diantara dalil sunnah yang digunakan jumhur ulama sebagai penggunaan qiyas
adalah hadist dialog Nabi Muhammad dengan Muaz ibn Jabal ketika ia ditugaskan ke
Yaman untuk menjad i penguasa, dan juga petunjuk yang diberika Nabi kepada sahabat
tentang penggunaan qiyas didalam keputusan didalam membandingkan hal tersebut.
c)  Atsar Shahabi
Menurut pendapat jumhur ulama adalah dalam surat Umar Ibn Khatab untuk Abu
Musa Al-Asy’ari ketika dia ditugaskan ke Yaman untuk menjadi qodhi, para sahabat
seringkali perpendapat dengan didasari dengan qiyas.
Dari banyaknya para ulama menerima penggunaan qiyas didalam hukum syara’
ada juga yang menolak pqnggunaan qiyas dalam hukum syara’contohnya saja yakni,
Syi’ah Imamiyah, Al-Nazham, ahlu Zhahiri dan masih banyak lagi diantaranya.
a. Macam- Macam Qiyas
Terbagi menjadi dua macam yaitu:
 Al-qiyas al-jali (qiyas yang nyata)
Dalam qiyas ini dicontohkan tentang minuman beralkhol yang diharamkan karean
menyebabkan mabuk dan hal itu dilarang dalam agama.
 Al-qiyas al-khafi (qiyas tersembuyi)
Sedangkan dalam contoh ini adalah Allah sudah memerintahkan kepada
hambanya untuk membayar zakat. Kemudian Nabi menjelaskan tentang cara untuk
membayar zakat tersebut. Serta mewajibkan didalam sabdahnya tentang pemeliharaan
hewan kambing harus dizakati yakni jika sudah mencapai 40 ekor kambimg, dan karena
hal itu jika kita memberikan hewan kamibing kepada orang miskin dikhawatirkan
kurang bermanfaat untuk orang tersebut. Dan sebab tersebut diperbolehkan memberikan
uang dari hasil penjualan kambing tersebut yang diharap lebih bermanfaat ketimbang
kita memberikan seekor kambing.76
b. Contoh- Contoh Qiyas
I. Hukum minum khamer yaitu “haram” karena sudah ditegaskan didalam nash. Dan
illah hukum haram ini adalah “memabukkan”, maka karena itu dapat disimpulkan
bahawa dalam minuman perasan (nabidz) yang terdapat efek memabukkan maka
hukumnya haram dengan meng-qiyas- kan kepada hukum meminum khamer
tersebut.
II. Didalam hadist nabi diterangkan bahwa adanya larangan jika tiga orang yang
berada dalam suatu majelis, janganlah diantara dua orang tersebut berbicara
berbisik-bisik, dan orang ketiga tidak dilibatkan didalam pembicaraan tersebut.
Karena adanya larangan tersebut mencegah rasa kecemburuan orang ketiga, atau
ia merasa dibicarakan diantara keduanya atau lain sebagainnya, kemudian muncul
masalah baru yakni jika kedua orang tersebut dari ketigannya itu berbicara dengan
suara keras, bagaimana hukumnya? Sebagai contoh, dari tiga orang tersebut dua
diantaranya dari suku Bugis dan yang ketiga berasal dari suku jawa yang tidak
paham bahasa Bugis. Maka ketika dua orang dari suku Bugis berbicara dengan
A. Rahman, Penejelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
76

2002, hlm 105-10


bahasa Bugis walaupun dengan suara yang cukup keras dan dapat didengarkan
oleh orang jawa tersebut, pastinya orang ketiga tersebut juga merasa kurang
senang karena hal tersebut. Maka dari itu masalah ini dapat diqiyaskan yakni
berbicara cukup keras tetapi tidak dapat diketahui atau dipahami orang ketiga,
maka hukumnya disamakan dengan hukum dilarannya berbisik- bisik, hal ini
disebabkan illat hukum larangan ini juga ada didalam berbicara keras yakni tidak
dipahami oleh orang ketiga.77
III. Ahli waris (warits) yang membunuh orang yang mewariskan (muwarrits)
merupakan suatu masalah yang sudah ditegaskan hukumnya didalam nash, yakni
pembunuh tersebut terhalang atau tidak bisa mendapatkan warisan tersebut. Dan
illat hukumnnya yaitu ketergesa-gesaan warits (ahli waris) didalam mendapatkan
warisan sebelum waktunya, maka hukumannya adalah ahli waris tidak mendapat
warisan tersebut. Dan permasalahan baru yang muncul yakni pembunuhan yang
dilakukan oleh orang yang mendapat wasiat (musha lahu) kepada mushil (pemberi
wasiat) yang merupakan sebuah kasus yang belum ada hukumnya didalam nash,
namun karena illatnya sama dengan masalah yang diatas (warist membunuh
muwarrits) yakni ketergesa- gesa untuk memiliki sesuatu sebelum waktunya tiba,
maka pengambilan hukumnya sama, yaitu terhalangnya penerima wasiat untuk
mendapatkan haknya dalam wasiat tersebut.78

77
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
hlm. 40
78
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Rabbani Press,
Jakarta, 2008, hlm 25
BAB IX
Sumber-Sumber Hukum Islam Yang Diperselisihkan

Sumber-Sumber Hukum Islam Yang Diperselisihkan

Hukum (peraturan/norma) adalah suatu hal yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, baik peraturan tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.
Dengan adanya Hukum dalam islam berarti ada batasan-batasan yang harus
dipatuhi dalam kehidupan. Kerena tidak bisa dibayangkan jika hokum, seseorang akan
semaunya melakukan sesuatu perbuatan termasuk perbuatan maksiat.
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik
cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-
akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam
menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni
untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat
secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal
shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang
hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan
baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan
kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela
dan terusir”. (Qs. 17:18)
A. Istihsan Sumber Fiqh Yang Tidak Disepakati

Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni


menghitung-hitung sesuatu menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul,
istihsan adalah sebagai berikut:

1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I: 137, “Istihsan adalah


semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan
terhadap hukum dan pandangannya karena ada dalil tertentu dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, “Istihsan ialah
pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang
bersifat global”
4. Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Istihsan ialah perbuatan adil terhadap
sesuatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena
adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.
5. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa Istihsan adalah perbuatan adil dalam
hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.

1. Macam-Macam Istihsan

Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada enam macam, yaitu:

1. Istihsan bi al Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Maksudnya, ada ayat
atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah
umum. Misal istihsan dengan Sunnah Rasul adalah dalam kasus orang makan
dan minum karena lupa keika ia sedang berpuasa.
2. Istihsan bi al-Ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada ijma’). Misalnya adalah
dalam kasus pemandian umum.
3. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jalliy
(qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah
menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut.
4. Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya ulama
Malikiyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita
dalam berobat. Menurut kaidah umum, seseorang dilarang melihat aurat orang
lain.
5. Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’, yaitu dalam
masalah pemandian umum
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat). Artinya, ada
keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak
memberlakukan kaidah umum. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan
najis.

B. Mashlahah Mursalah

1. Pengertian Mashlahah

Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Sedangkan secara terminologi, menurut Imam Ghazali, mashlahah ialah
mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan
syara’. Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut menurut Imam Ghazali ada lima
bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang
melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan
syara’ di atas, maka dinamakan mashlahah.

Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan
dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah. Dengan
demikian maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar
dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Sedangkan alasan dikatakan mursalah, karena
syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi
penguatnya ataupun pembatalnya.

2. Macam-macam Mashlahah

Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat
dari beberapa segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli
ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:

1. Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang beerhubungan dengan


kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini
ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima
kemaslahatan ini disebut disebut dengan a-lmashlahah al-khamsah.
2. Mashlaha al-Hajiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan
untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya,
diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi musafir.
3. Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa
keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya,
dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi. 

Dilihat dari segi kandungan mashlahah, para ulam ushul fiqh membaginya
kepada:

1. Mashlahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan


orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua
orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya, para ulama
membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Mashlahah al-Khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali,
seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkwinan
seseorangyang dinyatakan hilang (maqfud).

Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad


Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua
bentuk, yaitu:

1. Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah


sampai akhir zaman. Misalnya berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa,
zakat dan haji.
2. Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-rubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini
berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam
masalah makan yang berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya.

Dilihat dari keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi kepada:

1. Mashlahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’.


Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman
keras dalam hadits Rasulullah SAW. dipahami secara berlainan oleh ulama fiqih,
disebabkan perbedaan alat pukul yang digunakan Rasulullah SAW. ketika
melaksanakan hukuman tersebut.
2. Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena
bertentangan dengan syara’.
3. Mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
oleh syara’ dan tidak pula dibatalkan, tetapi didukung oleh sekumpulan makna
nash.
3. Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah

Mashlahah mursalah mempunyai persyaratan yang jelas untuk dijadikan sebagai


proses istinbath hukum:

1. Mashlahah ini tidak berbenturan dengan dalil nash maupun ijma’


2. Mashlahah ini keberadaannya harus berpijak pada pemeliharaan maqâshid
syari’ah
3.  Sebuah kemashlahatan tidak dapat merubah ketetapan hukum yang sudah ada
yakni dalam dalil nash dan ijmâ’, seperti menjalankan kewajiban, mengharamkan
sesuatu yang haram, sanksi hukum
4. Sebuah kemashlahatan tidak dapat berbenturan dengan kemashlahatan lain yang
lebih unggul dan kuat keberadaannya.

C. ‘Urf

‘Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu
yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal
oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.

Ditinjau dari bentuknya ada dua macam:

1. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm
(daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.
2. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual
beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
3. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat diterima, karena tidak
bertentangan dengan nash hukum syara’.
4. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan
hukum syara.
Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam:

1. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga
sekarang.
2. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja,
urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam:
3. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as
Sunnah.
4. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga
tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
5. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang
saja.

1. Kehujjahan ’Urf

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat
dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.

Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat
pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf
yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karena bertentangan dengan syarat nash
maupun ketentuan umum nash.79

79
https://ihreworte.wordpress.com/2014/05/05/sumber-sumber-hukum-fiqh-yang-diperselisihkan/
D. Istishab

1. Pengertian Istishab

Secara bahasa istishab berasal dari bahasa arab yang maknanya yaitu adanya
hubungan perkawinan. Sedangkan secara istilah, menurut ulama ushul yaitu
menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumya sehingga terdapat dalil yang
menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada
masa lalu secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas
perubahannya.80
Pendapat lainnya mengenai istishab yakni, menurut al-Asnawi istishab adalah
penetapan hukum berdasarkan adanya sesuatu pada masa kini berdasarkan adanya
sesuatu tersebut pada masa yang telah lalu. 81 Menurut Abdur Rahman I. Doi istishab
adalah dugaan dalam hukum pembuktian sehingga suatu keadaan masalah yang
diketahui pada masa lalu terus ada sampai kebalikannya dapat terbukti.82
Sedangkan pengertian istishab menurut al-Syaukani adalah apa yang telah
ditetapkan pada masa lalu, pada dasarnya masih dapat dilestarikan pada masa yang akan
datang selama tidak didapai sesuatu yang mengubahnya.83
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya istishab adalah penetapan
hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil
yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.
Macam-Macam Istishab
 Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang
menunjukkan keharamannya
 Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan
berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya
80
Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany
dan Moch. Tolchah Mansoer, (Jakarta: raja grafindo Persada, 2000)
81
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)
82
Abdur Rahman I. Doi, Syari’ah kodifikasi Hukum Islam, terj. Basri Iga Asghari dan Wadi Masturi,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993)
83
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya Bagi Pembaharuan hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Logos, 1999)
memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat
oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya
 Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak
ada dalil yang nash (yang membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup
segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang
menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu
hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan
dengan ada suatu dalilyang khusus.
 Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi
sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada
bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua
berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil
secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku
sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain.
 Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak
adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada
perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni menetapkan
hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap
hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya
memicu terjadinya perselisihan pendapat84

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam

Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang
mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena
itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata “Sesungguhnya Isthisab merupakan
akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan
hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.

84
http://juraganmakalah.blogspot.com/2015/12/istishab.html
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah,
karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum
bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.

Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut:


a. Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya:
‫االصل بقاء ماكان على ماكان‬
Artinya:
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".

b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.
‫ما ثبت باليقين اليزول بالشّك‬
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah
batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).

c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan
meninggalkan hukum tersebut.
‫االصل فى االشياء االباحة‬
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab
itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.

E. Pengertian Saddu al-Dzari’ah


Secara lughawi (bahasa) dapat diartikan sabagia “setiap sesuatu yang menjadi
perantara dan jalan kepada sesuatu lainnya.85 atau dapat juga diartikan sebagai “jalan
yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk. Sedangkan
secara isthilah yakni sebagai “sesuatu yang menjadikan lantaran kepada yang lain yang
dilarang karena mengandung kerusakan. atau dapat diartikan sebagai “perantara yang

85
Amir syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana , 2008), 398.
dengan kenyataannya halal tetapi kadang-kadang mengarah pada keharaman, maka hal
itu dilarang.

1. Macam-Macam Saddul Dzariat

Ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam,


yaitu:
 Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup
bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
 Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
 Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti
memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba

2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum

1)   Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus
dihindarkan.
2)   Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak
dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah,
tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan:
‫دع مايربك الى مااليربك‬
Artinya:
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
BAB X
Ijtihad Dan Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat

A. Pengertian Ijtihad
Sumber hukum islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya untuk
memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam al-
qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam hadits da
merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kejadian
tertentu.
Akal adalah kunci untuk memenuhi agama, ajaran dan hukum islam. Manusia,
khusunya umat islam tidak akan dapat memahami islam tanpa mempergunakan akal.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa agama adalah akal, tidak ada
agama bagi orang yang tidak berakal. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan hukum,
berarti bahwa hukum dan hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak ada hukum atau
hukuman bagi orang yang tidak berakal. Sehingga akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam sistem agama islam, karena akal adalah wadah yang menampung aqidah,
syari’ah dan akhlaq. 
Akal yang mempunyai fungsi sangat penting dalam kehidupan manusia, tumbuh
dan berkembang menuju kesempurnaan melalui proses. Akan tetapi, bagaimanapun
posisi peranan akal dalam ajaran islam, harus tetap mendapatkan bimbingan dan
petunjuk dari Allah SWT yang berupa wahyu. Hal ini karena selain manusia itu lemah,
pelupa dan acuh tak acuh, pada dirinya sendiri terdapat hambatan-hambatan yang
menyebabkan ia tidak mampu mempergunakan akalnya secara benar dan baik. 
Artikel terkait: 
B. Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad
Beberapa hal yang dapat menyebabkan perbedaan ijtihad, sebab pertama   yaitu
berbeda dalam memahami nash dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari
sosio-kultural dan geografis mujtahid adapun sebab pertama itu adalah:
1. Karena perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik
dalam Al-Quran maupun Hadist. Misalkan saja, dalam Al-Qur’an terdapat kata
quru. Sebagian ulama’ ada yang mengartikan haidh dan sebagian yang lain ada
yang mengartikan suci.
2. Berbeda tanggapan terhadap Hadist. Hal ini terjadi karena mereka berbeda
pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah
tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan
sanad lain. Sehingga, ada beberapa ulama’ yang berbeda dalam mengkategorikan
bahwa suatu hadits tersebut dimasukkan ke dalam hadits shohih, hasan, maupun
dho’if. Konsekuensinya, kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.
3. Berbeda tanggapan tentang ta’arudl  (pertentangan antara dalil)
dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan
mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya86.
4. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai
ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya
perbedaan hasil ijtihad87
Dan sebab kedua adalah metode yang disebabkan sosio-kultural dan geografis
mujtahid, disini hanya akan mengambil dari empat mujtahid yang mempengaruhi cukup
luas dalam islam, yaitu:
Sejarah singkat mengenai empat imam mengenai hasil metodenya yang
disebabkan sosio-kultural dan geografis. Pada masa sahabat ada dua kelompok
(pandangan hukum) yaitu kelompok pertama Ali bin Abi Thalib bersama Bilal

86
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: PT.
Prenada Meia 2005 hal117-118
87
http://ahza.multiply.com/journal/item/13
kelompok pertama lebih menekankan ke nash secara ketat dan kelompok kedua lebih
kerasio yang lebih luas tokoh kelompok ini diantaranya Umar bin Khatab dan Ibnu
Mas’ud.
Dan selanjutnya kelompok ini berkembang menyebar dan memeliki pengaruh.
Kelompok pertama berkumpul disekitar hijaz sedangkan kelompok yang kedua
berkumpul disekitar kufah. Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam
Malik tinggal di makkah (termasuk daerah hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di
Kuffah. Imam Malik hidup didalam yang masih banyak menjumpai sahabat Nabi
sehingga dalam berijtihad lebih kenash secara ketat, sedangkan Imam Abu Hanifah
tinggal dimana sedikit sekali dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini menimbulkan
perbedaan dalam pemecahan kasus.
C. Sebab-sebab perbedaan dalam ijtihad
Dalam melakuan Ijtihad ada beberapa yang mempengaruhi Mujtahid dalam
berpikir sehingga menimbulkan beberapa perbedaan antar mujtahid satu dan yang lain,
berikut adalah yang menyebabkan perbedaannya:

1. Perbedaan dalam methode memahami ayat al-Qur’an


Para ulama’ sepakat untuk menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan dasar
pokok dan utama serta pertama bagi para mufti dan berijtihadnya, sebab setiap masalah
harus dikembalikan kepadanya sebagai sumber hukum pertama dan utama. Dan para
sahabat masih harus mencari orang-orang yang benar-benar memahami masalah asbab
al Nuzul ayat. Meskipun demikian, masih saja terjadi perselisihan dan perbedaan
pandangan diantara mereka.
Adapun terjadinya perbedaan di kalangan mereka disebabkan adanya hal-hal
seebagai berikut:

1. Adanya perbedaan wawasan dan pengetahuan yang telah mereka miliki,


disamping perbedaan lamanya mereka bergaul dengan Rasulullah saw.

2. Adanya “Ta’arrudl al-Nushush” (pertentangan antar ayat-ayat), misalnya


masalah “Iddah Wafat” dan “Iddah Hamil” yang disebabkan perbedaan
di dalam memahami makna lafdliyyah ayat dalam al-qur’an, seperti lafal
" ‫ "قروء‬dalam ayat.

3. Adanya susunan ayat yang mengandung dua presepsi atau wajah, seperti
ayat tentang “Ila’ (Suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya
atau menidurinya)
2. Perbedaan dalam methode memahami al-sunnah
Al-hadits yang dikeluarkan oleh Rasulullah selama 22 tahun lebih itu disebabkan
adanya kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Diantara kasus-
kasus tersebut ada yang disepakati dan ada pula yang dibatalkan. Begitu juga keadaan
para sahabat yang bermacam-macam, ada yang lebih dahulu masuk islam dan ada yang
baru saja masuk. Ada yang juga sebagian waktunya dipergunakan untuk mencari ilmu.
Begitu juga waktu untuk berijtihad, dimana para sahabat itu ada yang hampir seluruh
waktunya dipergunakan untuk mengikuti jejak Rasulullah dan mereka ini jelas wacana
keagamaannya lebih luas dari yang lain.
Oleh sebab itu, para sahabat yang masuk islam lebih dahulu, lalu waktunya
dihabiskan untuk menyertai Rasul, maka wawasan mereka dalam kemampuan
memahami nash, lebih sempurna dibandingkan dengan sahabat yang masuk islamnya
belakang dan waktu mereka gunakan untuk menyertai Rasul hanya sedikit. Dengan
keadaan inilah maka Hadits Nabi yang diterima para sahabat tersebut tentu tidak sama.
Sekalipun dapat dikatakan bahwa hampir seluruh waktu para sahabat itu dipergunakan
untuk menyertai Rasul, tidak semuanya al-Hadits diterimanya. Hal ini terjadi pada
sahabat berikut:
a) Abu Bakr al-Shiddiq, yang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan sahabat
tentang “Pusaka Nenek”, sebab dalam al-Qur’an dan al- Hadits belum pernah
ditemukannya. Lalu para sahabat dikumpulkan untuk mencari jawabannya. Dari
peristiwa itulah, maka sahabat Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin
Maslamah menjawab dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah
memberikan bagian nenek perempuan sebanyak seperenam (1/6) dari harta
pusaka.
b) Khalifah Umar bin Khathab, yang berfikir lama sekali dalam memahami
maslah Abdurrahman bin Auf menjelaskan sabda Nabi dengan mengatakan
bahwa Nabi bersabda sebagai berikut:
ِ ‫سنُّةُ اُه ِْل ا ْل ِكتُا‬
‫ب (رواه الشا فعى واحمد بخارى وابو داوو‬ ُ ‫سنُّ ْوا ِب ِه ْم‬
ُ

Perlakukanlah mereka itu (Kafir Majusi) sebagaimana perlakuan terhadap ahli


kitab.
c) Masalah “Mufawwidlah”, artinya Wanita yang langsung menyerahkan dirinya
kepada seorang laki-laki dengan tidak menetapkan besar kecilnya mahar yang
suaminya mati sebelum disetubuhi. Sedang yang dipersoalkan disini adalah
-Apakah wanita ini mendapatkan “Mahar” atau tidak?
-Apakah status thalaq karena kematian suami itu sama dengan status thalaq
karena
ditalaqsuami yang masih hidup?
Dalam menanggapi masalah tersebut, sahabat satu dengan yang lain berbeda
pendapapat diantaranya adalah:
1. Ali dan Zaid bin ‘Umar berpendapat bahwa “Mati itu sama dengan Talak” dan
tidak berhak untuk mendapatkan “Mahar Mitsil”
2. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa “Mati itu tidak sama dengan talak”. Dan berhak
mendapatkan “Mahar Mitsil”. Hal ini berdasarkan al-Hadits tentang masalah
“Mufawwidlah” yang terjadi pada diri “Barwa’ binti Mas’ud yang isinya
menjelaskan bahwa wanita Mufawwidlah itu berhak menerima “Mahar Mitsil”.
d) Masalah Mandi-Wajib bagi wanita yang rambutnya tebal. Dalam hal ini
terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, yaitu”
1. Umar berpendapat wanita tersebut harus menguraikan rambutnya supaya
airnya dapat merata diatas kepala.
2. ‘Aisyah berpendapat setelah mendengar fatwa ‘Umar sambil merasa geli
hatinya dengan mengatakan:
‫لقد كنت اغسل انا ورسول هللا صلى هللا عليه وسلم من اناء واحد وما ازيد ان افرغ على رأس ثال ث‬
‫افرات‬
Benar-benar akau mandi bersama Rasulullah dari satu bejana, sedangkan aku
tidak melebihi menuangkan air diatas kepalaku dari tiga kali siraman.
e) Masalah Nasikh-Mansukh dalam al-Hadits. Dalam hal ini terjadi perbaedaan
pandangan dikalangan para sahabat, yang disebabkan adanya sahabatb yang
belum mengetahui bahwa al-hadits itu sudah di-nasakh, seperti Ibnu Mas’ud.
Sedang hadits yang me-nasakh sudah diketahui oleh sahabt lain yang
diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
Dari kenyataan seperti itulah, maka para sahabat sangat berhati-hati dalam
menerima riwayat al-hadits, sebagaimana yang terjadi pada diri sahabat ‘Umar
bin Khathab yang menolak al-hadits tentang Fatimah binti Qaisy yang telah di
talaq bain, dimana oranng yang tertalak bain tidak berhsk menerima “Nafaqah
dan “tempat tinggal”.
Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa perselisihan antara sahabat satu
dengan yang lain dalam masalah keberadaan al-hadits itu, disebabkan adanya
hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Tidak tersebarnya al-Hadits secara meluas.

2. Terlalu teliti dan hati-hatinya para sahabat Nabi dalam menerima suatu
periwayatan al-Hadits.
3. Perbedaan Methode Ijtihad di Kalangan Sahabat
Dalam prosedur penerapan metode penentuan hukum islam para sahabat selalu
menggunakan metode (cara)njika masalah tersebut tidak di temukan hukumnya
dalam al-quran dan al-hadist, maka untuk menetapkan hukumnya mereka
menggunakan Ra’yu atau ijtihad. Artinya setelah merenungkan dan menyelidiki
masalahnya dan mencari yang benardiantara dalil-dalil yang dhahir dan yang
bertentangan baik pada akhirnya diputuskan sendiri maupun ditempuh dengan jalan
yang lainnya.
Karna faktor penetapan seperti itulah, terjadi perselisihan diantara mereka sesuai
dengan arah dan tujuan amsing-masing. Sekalipun demikian, perselisihan diantara
mereka tidak sampai meluasdeperti yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Hal
ini disebabkan adanya hal-hal sebagai berikut:

1. Prinsip musyawarah dikalangan para sahabat masih sangat kuat.

2. Para sahabat maih banyak yang menetap di madinah, sehingga mudah


sekali terjadi “Ijma’- Sahabat”.

3. Periwayatan al-Hadits belum begitu meluas.

4. Belum banyaknya masalah-masalah baru yang muncul.

5. Para sahabat tidak mempermudah dalam memberikan fatwa. Dan ini


terbatas pada kasus-kasus yang ada.

6. Dalam memberikan fatwa, mereka selalu mengutamakan orang-orang


yang lebih pantas untuk berfatwa.
Sekalipun demikian, di masa-masa sekarang sulit sekali ditemukan kitab-kitab
yang khusus membukukan fatwa-fatwa mereka, karena memang tidak dibukukan.
4. Perbedaan Methode Ijtihad di Kalangan Tabi’in
Pada masa tabi’in, kedudukan ijtihad sebagai salah satu alat untuk menggali
hukum islam semakin meluas sekalipun prinsip musyawarah sudah terlihat agak
menurun dan kurang berfungsi. Hal ini terjadi karena adanya hal-hal sebagai berikut:

1. Banyaknya para Ulama’ yang sudah terpencar seluruh wilayah islam, sehingga
prinsip tersebut sulit dilaksanakan.

2. Pecahnya suhu politik dikalangan kaum muslimin dalam masalah


kepemimpinan, setelah wafatnya Utsman bin Affan. Hal ini terbagi menjadi 4
kelompok, yaitu: kelompok Kawarij, Kelompok Syi’ah, Kelompok Muawiyah
dan Kelompok Murji’ah.
Dari peristiwa itulah, berakibat pada terjadinya perbedaan pandangan dalam
menetapkan hukum islam. Sekalipun pada hakikatnya masing-masing kelompok
tersebut sama salam hal memegangi pendirinya terhadap masalah politik, misalnya
kelompok khawarij yang sangat membenci kelompok Syi’ah dengan menetapkan
hukum-hukum dasar keagamaan yang sudah disesuaikan dengan pandangan politiknya,
antara lain:
a. Hukum orang berbuat dosa besar adalah kafir. Hal ini ditujukan untuk mengkafirkan:

1. Utsman lantaran tidak mau mengikuti Abu bakar dan Umar.

2. Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Abu Musa dan Amr bin Ash lantaran
ketertibatan dirinya langsung (dengan kaum Khawarij) dalam masalah Tahkim,
sehingga kelompok muawiyah dianggap dlalim dan dianggap tidak mengikuti
petunjuk al-Qur’an.

b. Wajib hukumnya melakukan pertentangan dan ketidak patuhan terhadap


pemerintahanyang alim.
c. Wajib mengetahui keabsahan pemerintah yang telah dipilih dan ditetapkan oleh
kaum muslimin tanpa memandang dari suku mana saja, sehingga jika pemerintahan
itu jatuh kepada orang lain, maka wajib menerimanya dan jika ternyata dzalim,
maka wajib di pecatdari jabatannya dan jika tidak mau di pecat, maka halal
darahnya

d. Wajib hukumnya mengamalkan semua amalan ibadah dengan nyata, karena adanya
perintah Allah yang demikian, sedang perintah Allah merupakan salah satu dari rukun
iman. Oleh sebab itu, iman adalah perwujudan dari pengakuan dengan lisan dan
pelaksanaan dalam perbuatan, yamg ketiga-tiganya harus ada tanpa meninggalkan salah
satunya. Dari ketetapan hukum inilah, maka dalam khawarij muncul semboyan: ‫االهلل‬
‫( الحكم‬Tidak ada hukum selain hukum allah) dan dari semboyan inilah, muncul
semboyan Ali bin abi thallib untuk menyanggahnya, yaitu: ‫ حق يراد بها باطل كلمة‬/ ucapan
yang benar tetapi dipergunakan untuk tujua yang salah. Kelompok syiah yang
mendukung ali bin abi thalib membuat ketetapan hukum pokok dengan pandangan
politiknya sebagai berikut:

1. Setelah wafatnya rosulullah amanat pemerintahan diserahkan kepada Ali dan


seterusnya kepada anak-anak keturunan dari Fatimah setelah ali wafat sebab menurut
merka rosulullah telah berwasiat yang demikian.
2. Segala bentuk penafsiran al-quran wajib mendapatkan rekomendasi dari Imam-
imam mereka, karena al-quran memiliki makna lahir dan makna bathin sedang orang
umum hanya mengetahui makna lahir saja.

3. Ijma’ merupakan sumber hukum islam setelah al-quran dan as-sunnah, dengan
syarat imam mereka ikut serta dalam menetapkan ijma’ tersebut, sehingga tanpa
keikutsertaan imam-imam mereka, maka tidak di anggap sebagai hujjah sebab yang di
maksum hanyalah imam-imam mereka. Karena hal itulah ijma’ yang di ikuti mereka
memiliki kedudukan sama dengan “ahl-al bait / Ijma’ ahl-Bait”.

4. Qiyas tidak di akui oleh mereka dalam menetapkan hukum islam, karena asalnya
dari akal fikiran manusia yang sudah jelas mengandung kesalahan, sedang agama tidak
bisa di ambil dari akal pikiran manusia.

D. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaa Pendapat Dalam Hukum Islam

Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak,


sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja
yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih. Dalam
makalah ini penulis mencoba menggabung argumentasi-argumentasi para ulama
tersebut. Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:

1. Perbedaan Mengenai Sahih Dan Tidaknya Nash

Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada
ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini
terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya
seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan
matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai
hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis
tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.

2. Perbedaan Dalam Memahami Nash


Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yang
mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga arti yang
terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para ulama
berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata ‫( قُرُوْ ٍء‬qur’) dalam surah al-Baqarah
(2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut
para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga
disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.

3. Perbedaan Dalam Menggabungkan Dan Mengunggulkan Nash-Nash Yang


Saling Bertentangan

Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang
bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan.
Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash yang lebih kuat (arja¥)
di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam
mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para ulama berbeda
pendapat.

4. Perbedaan Dalam Kaidah-Kaidah Ushul Sebagai Sumber Istinbath

Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyai
cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang oleh seorang mujtahid
dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja ditolak oleh mujtahid lain
dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis itu
tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi
dalam memecahkan suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak
mau mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan
amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya ditolak. Hal ini
karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.

5. Perbedaan Dalam Perbendaharaan Hadis


Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidak
sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka selalu bersama-
sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat sahabat yang satu
sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehingga pada saat Nabi
mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri
koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan
terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada
gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.

6. Perselisihan Tentang Ilat Dari Suatu Hukum

Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga
merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Sebagai contoh,
dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para
mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau
kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah
kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk
berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun orang
Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya
terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis diterangkan bahwa
pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang
Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri
Bab XI

Kaidah-Kaidah Fikhiyah

A. Pengertian Qawaidul Fikhiyah

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26: “Allah akan
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl: 26).

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr.


Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah
“Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang
banyak”.

Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan: “Hukum


yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.

Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang
banyak dipahami, yaitu: “Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama” (Q.S. At-Taubat: 122).

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum


syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili
(terperinci) Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah
adalah: “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-
bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum
cabang itu”. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah
mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
B. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah

Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan


menjadi 3 fase, yaitu:

1. Fase Pertumbuhan Dan Pembentukan

Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.


Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi
islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung
selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in
yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M,
dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab.
Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang
mendirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru
dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-
Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan
tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat
dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. 

Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu:
• Segi sumber: Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak
mengandung al-Mustasnayat
• Segi cakupan makna dan bentuk kalimat: Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena
kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu:
“pajak itu disertai imbalan jaminan”. “Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak
boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”.
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai
kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu
kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk
kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan
mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun
berkenaan dengan mereka.

Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara
ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf
Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-
kaidah yang disusun adalah: “Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli
waris diserahkan ke Bait al- mal” 

Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai
salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau
mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.

Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang
hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang
dibentuknya, yaitu: “Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”.

Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah
yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu: “Setiap yang dibolehkan untuk
dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
2. Fase Perkembangan Dan Kodifikasi

Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada
zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat
imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan
agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa
berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh,
karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh
terpenting dan termasyhur abad ini adalah:

 Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)


 Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
 Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-
Syafi’i (W. 761 H)
 Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3. Fase kematangan dan penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun


demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman
sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang
tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah
tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena
itu kaidah fiqh tersebut adalah: “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang
lain tanpa izin”

C. Pembagian Kaidah Fiqh

Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi:


1. Segi fungsi

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-
cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat,
umpamanya: “Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”.

Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal,


diantaranya: “Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah
ditentukan sebagai syarat” “Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti
ditetapkan dengan naskh”. Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah
kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan
dengan furu’

2. Segi Mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah
fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya
adalah: “Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang
tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi Kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: 
 Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu: “Menolak kerusakan (kejelekan) dan
mendapatkan maslahat”.

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.
 Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum
islam. Kaidah fiqh tersebut adalah:
“Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
“Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
 Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah “majallah al-
Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.

D. Manfaat Kaidah Fiqh

Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah:


 Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan
akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh
 Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadap.
 Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
 Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh
Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-
Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
 Mempermudah dalam menguasai materi hukum
 Membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan
 Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij
untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
 Mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-
bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta
meringkasnya dalam satu topic
 Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan
maslahat yang lebih besar
 Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam

E. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut:


1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan


bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut.
Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa
kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan

dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah
tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

F. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah


Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh
yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang
memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh
sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil
hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh
boleh dijadikan dalil mandiri.

Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh
Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut: “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini,
maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”

Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua
hal: pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh
yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah
fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan
kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
G. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh

1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan
kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada
satu hukum yang sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh
muncul setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari
dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang
terhimpun di dalam kaidah.
H. Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Asasi

1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan


Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-
Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara
menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa
kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu
diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.

2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)


Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut:
Kaidah pertama:

‫األمور بمقاصدها‬
(Perkara tergantung pada tujuannya)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:
‫إنما األعمال بالنيات‬
"Sesungguhnya amalan itu hanya tergantung pada niatnya."

Dalam hal ini, amalan tergantung kepada niat dalam hal: 1) diterima tidaknya
amalan oleh Allah tergantung pada niatnya, apakah ikhlas karena Allah ataukah tidak,
2) amalan mubah bernilai ibadah ataukah tidak, 3) untuk membedakan perbuatan biasa
(adat) dengan ibadah, 4) untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang
lainnya.

Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan perbuatan biasa dengan


ibadah:

 Duduk di masjid bisa jadi sekadar untuk beristirahat atau dengan tujuan untuk
i'tikaf, tergantung niatnya.
 Memberi harta kepada orang lain bisa jadi untuk zakat, atau kafarah, atau
sekadar sedekah biasa, tergantung niatnya.
 Menyembelih binatang bisa jadi untuk ibadah kurban, atau aqiqah, atau sekadar
untuk makan-makan biasa, tergantung niatnya.

Contoh penerapan kaidah ini untuk membedakan ibadah yang satu dengan
ibadah yang lainnya:

 Sholat empat rakaat bisa jadi sholat zhuhur atau sholat asar, tergantung niatnya.
 Sholat dua rakaat di waktu shubuh bisa jadi sholat shubuh atau sholat sunnah
sebelum shubuh, tergantung niatnya.
 Puasa bisa jadi puasa qadha' atau puasa sunnah, tergantung niatnya. 

Kaidah kedua:
‫اليقين ال يزول بالشك‬
‫اليقين ال يزال بالشك‬

(Keyakinan tidak hilang oleh keraguan, atau: keyakinan tidak bisa dihilangkan
oleh keraguan)

Diantara dalilnya adalah hadits tentang orang yang ragu-ragu apakah telah buang
angin dalam sholatnya, dimana Rasulullah saw bersabda:

‫ريحا‬
ً ‫ال ينصرف حتى يسمع صوتًا أو يجد‬

"Hendaknya ia tidak meninggalkan (membatalkan) sholatnya sampai ia


mendengar suara atau mendapati bau (dari kentutnya)."

Juga hadits Rasulullah saw dari Abu Sa'id Al-Khudri:

َ‫ستَ ْيقَن‬ ِ ‫ فلم َي ْد ِر كم صلى ثالثا أم أربعا؟ فَ ْليَ ْط َر‬،‫أحدُكم في صالته‬


ْ ‫ح الشك َو ْليَ ْب ِن على ما ا‬ َ ‫إذا شك‬

"Jika salah seorang kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak tahu apakah
dia sudah sholat tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia buang keraguannya dan
menetapkan hatinya atas apa yang ia yakini."

Contoh penerapan kaidah ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kedua
hadits diatas. 

Kaidah ketiga:
‫المشقة تجلب التيسير‬
(Kesempitan mendatangkan kemudahan)
Diantara dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
ْ ‫س َر َواَل يُ ِري ُد بِ ُك ُم ا ْل ُع‬
‫س َر‬ ْ ُ‫يُ ِري ُد اللَّـهُ بِ ُك ُم ا ْلي‬
"Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan
buat kalian."
dan juga firman Allah Ta'ala:
ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِمنْ َح َر‬
‫ج‬
"Dan tidaklah Allah jadikan atas kalian dalam agama ini suatu kesukaran."
Kemudian juga sabda Rasulullah saw:
‫س ْم َحة‬
َّ ‫بعثت بالحنيفية ال‬
"Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan mudah
(lapang)."
dan juga sabda Rasulullah saw:
‫يسروا وال تعسروا‬
"Permudahlah dan jangan mempersulit."
Contoh dari kaidah ini adalah berbagai macam rukhshah (kemudahan) dalam
ibadah bagi mereka yang memiliki kesempitan atau kesulitan, seperti sholat qashar bagi
musafir, sholat dengan duduk atau berbaring bagi orang yang sakit, qadha' puasa bagi
musafir dan yang sakit, dan membayar fidyah bagi orang yang sudah tidak lagi sanggup
berpuasa.  

Kaidah keempat:
‫الضرر يُزال‬
(Kemudharatan hendaknya dihilangkan)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:
‫ال ضرر وال ضرار‬
"Janganlah memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri kalian
sendiri."
Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah:
1) Haramnya makanan yang diharamkan menjadi hilang jika seseorang tidak
mendapati satu makanan pun kecuali itu dan jika ia tidak memakannya maka ia akan
mati.
2) Seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kekafiran dibawah
ancaman yang nyata diperbolehkan untuk mengucapkan kalimat tersebut asalkan
hatinya masih mantap dalam keimanan.
Kaidah kelima:
‫العادة ُم َح َّكمة‬
(Adat/kebiasaan bisa dijadikan landasan hukum)
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: 
‫ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند هللا حسن‬ 
"Apa yang kaum muslimin menganggapnya baik maka ia di sisi Allah juga
baik."
Contoh penerapan kaidah ini adalah penetapan masa haidh, kadar nafkah,
kualitas bahan makanan untuk kafarah, dan sahnya akad jual beli tanpa ucapan eksplisit
"aku jual" dan "aku beli" dalam sistem jual beli modern.

I. Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Umum

Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya
menjelaskan sebagiannya saja, yaitu:

1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab:
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang”

2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”


Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil
suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.

3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan


seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai
kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan
tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti:
Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B
adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil
curian.

5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka


menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini: Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum
maghrib tiba.
J. Kaidah-Kaidah Fiqh Yang Khusus

Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi
kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh
tertentu, yaitu: 

1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah


“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula
digunakan shalat fardhu”

2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah


Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi: pernikahan, waris, wasiat, waqaf
dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu 
“Hukum asal pada masalah s e k s adalah haram” 
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan s e k s, pada asalnya haram sampai
datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu
dengan adanya akad pernikahan. 

3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi


“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti: jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba. 

4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah


Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan
dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu
kaidah khusus fiqh jinayah adalah:
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah” 
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian
atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka
diperbolehkan. Misalnya: petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki
yang sudah wajib mengeluarkan zakat. 

5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah


“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada
kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada
kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya
maupun golongannya.

6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya,
seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah
agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu:
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan,
kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.
 
BAB XII

Kaidah-Kaidah Ushuliyah

1. Pengertian Kaidah Ushyuliyah

Qa’idah Ushuliyyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah,


kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, yang artinya patokan, pedoman dan
titik tolak. Dan ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Sedangkan bentuk jamak
dari qa’idah adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, yang artinya
pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, Qa’idah Ushuliyyah adalah pedoman
untuk menggali dalil syara’, yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan
yang dijadikan metode dalam penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai
kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah. (1)
Sedangkan menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir (dalam Amin Darmah :2011)
mendefinisikan sebagai:” “Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya
bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-
dalilnya yang terperinci”.

Penulis mengambil kesimpulan bahwa kaidah ushulliyyah merupakan sejumlah


peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-
dalil tersebut dan kaidah ushulliyah ini juga merupakan kaidah yang berhubungan
dengan masalah kebahasaan, yang didalamnya tidak berbicara sama sekali tentang fiqih
karena didalamnya hanya berhubungan dengan masalah kebahasan saja, yang telah
disepakati oleh semua ulama’ madzhab dan dijadikan pijakan ulama’ tentang hukum.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat
Syafe’i MA. adalah sebagai berikut:

Kaidah:
‫العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬

Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan
sebab khusus (latar belakang kejadian).
Kaidah:
‫إذا اجتمعت المقتضى والمنافع قدمت المنافع‬
Artinya: “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang.

2. Jenis- jenis Qawaid Ushulliyyah


Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah
ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang
berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-
Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut

a. Amr dan Nahi


 Pengertian Amr
Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan
tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjaan suatu pekerjaan. Amar
menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah, "‫من األعلى إلى األدنى‬
‫“ األمر طلب الفعل‬Amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya
kepada yng lebih rendah tingkatannya.” atau dapat didefinisikan, ‫اللفظ الدال على طلب الفعل‬
‫ على جهة االستعالء‬Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
 Kaidah dalam ’Amr
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada
beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan. Kaidah pertama,
‫األصل قى األمر للوج™™وب‬, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian,
namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali
bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya. Contoh perintah yang terbebas dari
indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah QS. An-Nisa (4): 77.
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:
Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!” Ayat
tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan
zakat. Adapun contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain
wajib, QS. Al-Baqarah (2):283. “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis.
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
 Pengertian Nahi

Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai:

‫االستعالء بالسيغة الدال عليطلب الكف عن الفعل على الجهة‬

Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita
yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan
yang dilarang secara tetap dan pasti. Menurut ulama ushul, definisi nahi adalah
kebalikan amr, yakni lafad yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu
(tuntutan yang mesti di kerjakan) dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama
ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
 Kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Kaidah, ‫األصل فى النهى للتحريم‬, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum
haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan
hukum lain.
Contohnya ayat 151 surat al-An’am. “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram,
dalam Surat Al-Jum’ah (62):9.” Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

b. Am Dan Khas
 Pengertian Am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah "
Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam
pengertian lafadz itu. Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian
umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Menurut istilah ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu
makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali
ucapan saja.Seperti lafadz “arrijal” maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Disamping pengertian ‘am diatas ada beberapa pengertian ‘am menurut ulama’ lainnya
antara lain:
a) Hanafiah yaitu “Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun
makna”.
b) Al-Ghazali yaitu “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau
lebih”
c) Al-Bazdawi yaitu “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut
dalam satu kata”
d) Menurut Uddah (dari kalangan ulama' Hanbali)" suatu lafadz yang mengumumi dua
hal atau lebih".
Kaidah yang menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi semua
yang khusus, misalnya kaidah:
 ‫العمعوم من عوارض األلفاظ‬

Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”

 ‫ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ‬


Artinya: “Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
 ‫ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ‬
Artinya: “Al-m itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang
mutlak hanya bersifat sebagian.
 Pengertian Khas

Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti
umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas
adalah: “Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan
tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau
menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah
masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan
bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.

Dalam pengertian lain khas adalah lafaz yang khash itu lafaz yang diletakkan
untuk menunjukkan suatu individu yang satu perseorangannya, seperti seorang laki-laki,
atau menunjuk kepada sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan
seluruh individu-individu. Atau khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya
sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.

 Kaidah yang berkaitan dengan khas atau khusus


‫ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ‬

Artinya: “Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”

‫ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ‬

Artinya: “Sifat itu bagian dari pengkhususan.”

3. Kaidah Yang Berkaitan Dengan Manthuq (Tersurat/Tekstual) Mafhum


(Tersirat/Kontekstual).
Misalnya kaidah:

‫ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ‬

Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum


laqab.”
Menurut beliau menambahkan, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah
tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Yaitu kaidah al-tasyri’iyah
terdiri dari dua kata yaitu kaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud dengan kaidah,
secara jelas telah penulis bahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang
dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.

Dr. Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata
shara’a yang berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama,
dengan demikian, kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam
tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan
perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’
wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia
yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.

Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan
nama Qawa’idut-   Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat
undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin
dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.

Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna
terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar
ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i
(peraturan prosedural). Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang
yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau
sumber-sumber hukum syara’. Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-
undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah),
dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.

4. Perbedaan Qawaid Ushulliyyah dan Qawaid Fiqhiyyah


Perbedaan diantara keduanya menurut Ahmad Rajafi Sahran, (2011) adalah
sebagi berikut:
a) Kaidah Ushuliyah
Kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah
lughawiyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan
dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya yang terinci.

Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai
ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang
telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab, setelah diadak an penelitian-penelitian yang
bersumber dan kesusastraan arab.

Kaidah-kaidah ushuliyah digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan


hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyah
dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin.

b) Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqhiyah adalah kaidah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum)
yang dipetik dari dalil-dalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan
mukallaf di bawah beban dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-
hikmahnya. Rahasia tasyri’ adalah ilmu yang menerangkan bahwa syara’
memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf, kemaslahatan hamba, dan
menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Kaidah-kaidah fiqhiyah dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim


dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang
mukallaf untuk mengetahui hukum syaria’t dalam ucapan dan perbuatanya. Karena
aturan-aturan syara’ itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya
terhadap perbua tan dan ucapan manusia. Selain itu juga kaidah fiqhiyah digunakan
untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan ataupun yang
diharamkan baginya.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat


pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan
menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan
petunjuk yang operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat
kepada hikmah dan rahasia¬rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan
patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya yang tidak
dapat dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan, dalam menetapkan hukun
Islam.

1. Fungsi Kaidah Ushulliyyah

Fungsi utama dari kaidah Ushulliyah menurut Amin Darmah adalah untuk
mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam yang terpapar dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah, sehingga setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan
menerimanya sebagai ketentuan syara’ baik secara yakin maupun dzan.

Para ulama menempuh langkah-langkah kreatif menurut norma-norma hukum


itu yang terpapar secara acak dalm al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk kalam-kalam
yang tertulis, dan mereka tidak berjumpa langsung dengan rasulullah sebagai orang
yang menyampaikan kalam tersebut dan mampu menjelaskannya dengan baik. Dengan
demikian, kaidah ushulliyyah ini hanya merupakan metodelogi kajian hukum dari nash-
nash al-Quran dan al-Sunnah yang berfungsi mengangkat ketentuan-ketentuan hukum
islam, untuk kemudian menjadi pedoman bagi orang-orang mukallaf dalam menjalani
kehidupan ini.

2. Kaidah Ushuliyah

Dalam ushul fiqh terdapat 5 kaidah pokok, yaitu:

1. ‫اصـ ِدهَا‬ ْ ‫( األُ ُم‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)


ِ َ ‫ـو ُر بـ ِ َمـقـ‬
ِ ‫( ا ْليـَقِـ ْينُاَل يُزَ الُبِالش‬Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
2.  ‫َّـك‬
3. ‫سـ ْي ُر‬ ْ ‫( ا ْلمـُشَـقَّةُت‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)
ِ ‫َـجـلِبُالتَّـ ْي‬
4. ‫ض َر ُريُـ َزا ُل‬َّ ‫( ال‬Kemudharatan harus dihilangkan)
5. ٌ‫ا ْلـ َعـا َدةُ ُم َح َّكـ َمة‬ (Kebiasaan dapat menjadi hukum) 
Untuk memperjelas memperjelas maksud dari kaidah-kaidah tersebut, kami akan
menyertakan contoh dari masing-masing kaidah-kaidah tersebut. 

1. ‫اصـ ِدهَا‬ ْ ‫( األُ ُم‬Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)


ِ َ ‫ـو ُر بـ ِ َمـقـ‬
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu
perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung
pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.88
Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau
kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu
juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang
namnya niat. Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi: 

“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat.” (QS. Ali-Imran: 145) 

ِ ‫( ا ْليـَقِـ ْينُاَل يُزَ الُبِالش‬Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
2. ‫َّـك‬
Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur
dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang
muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh
keyakinan atau asumsi yang kuat yang menyatakan sebaliknya.89
Contoh: Kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah
kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi
kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada
kenyataannya wudhu’ kita telah batal. 

88
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu
Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6
89
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu
Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 15
3. ‫سـ ْي ُر‬ ْ ‫( ا ْلمـُشَـقَّةُت‬Kesukaran mendatangkan kemudahan)
ِ ‫َـجـلِبُالتَّـ ْي‬
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah
meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan
kesukaran.

Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut


sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh
mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan
besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena
seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat
sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus
melakukan sholat pada waktu sholat tersebut. Dasar kaidah ini para ulama mengambil
dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:

 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”


(QS. Al-Baqoroh: 185)

 “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat


lemah.” (QS. An-Nisa: 28)

4. ‫ض َر ُريُـ َزا ُل‬


َّ ‫( ال‬Kemudharatan harus dihilangkan)
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan
dari idhrar (tindak menyetujui), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan
tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.90
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diri wayatkan oleh Ibnu Majah,
Ad-Daruquthni, dan lain – lain dari Sa’id Al-khudrira. Bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر‬ َ َ‫ال‬

Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu
90

Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 15


“Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah  merugikan orang lain.91
 Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana
buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya
hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini
pohon tersebut harus di tebang. 

5. ٌ‫ا ْلـ َعـا َدةُ ُم َح َّكـ َمة‬ (Kebiasaan dapat menjadi hukum) 


Adat yang dimaksudkan kaidah Ushul fiqh diatas mencakup hal yang penting,
yaitu: di dalam adapt ada unsur berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu
yang baik. 

Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan
tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan
menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak
melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat. 

Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan
syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan umum
yang ada dalam syara’. Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW: 
َ ‫سنًا فَ ُه َو ِع ْن َد هّللا ِ َح‬
ٌ‫سن‬ ْ ‫َما َرأهُ ا ْل ُم‬
َ ‫سلِ ُم ْونَ َح‬
 “Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik, makadisisi Allah    
juga  dianggap baik.92
6. Kaidah Umum Ushuliyah

1. ‫ب‬
ٌ ‫™و‬ ِ ‫( ا ِإل ْيثَا ُر ِبا ْلقُ َر‬Mengutamakan orang lain dalam urusan
ْ ™ُ‫ب َم ْك™ ُر ْوهٌ َوفِى َغ ْي ِرهَا َم ْحب‬
ibadah adalah makruh dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi) 
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi: 

 “Merekaitu (shahabat Anshor) mengutamakan shahabat muhajirin dan mengalahkan


dirinya sendiri walaupun sebenar nya merekamemerlukan)” (QS. Al-Hasyr: 9) 

91
IbnuMajah, SunanIbnuMajah, Juz 2, CD. MaktabahKutubilMutun, Seri 4, hlm. 743.
92
IbnuMajah, SunanIbnuMajah, Juz 2, CD. MaktabahKutubilMutun, Seri 4, hlm. 743
Contoh: Air terbatas, kesempatan wudlu ada, justru air diberikan kepada orang
lain sehingga ia tidak bias mengerjakan shalat. Pengutamaan kepada orang lain yang
seperti ini haram hukumnya karena menyebabkan dirinya sendiri meninggalkan yang
wajib. Contoh yang lainnya adalah: mendahulukan orang lain dalam menerima zakat. 

2. ‫ت‬ ُّ ‫سقُطُ بِال‬


ِ ‫شبُ َها‬ ْ َ‫الحد ُْو ُد ي‬
ُ (Hukuman itu gugur sebab adanya subhat)
Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

‫ت‬
ِ ‫شبُ َها‬
ُ ‫ُاالحد ُْو ُدبِال‬
ُ ‫إِد َْرؤ‬

 “Hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat” 

Contoh: Orang yang berhubungan seks dengan wanita lain yang disangka
istrinya itu tidak bisa di had. Contoh yang lainnya adalah: Orang yang menikah
menggunakan dua pendapat seperti: kontrak atau mut’ah itu juga tidak bisa di had.93
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:
‫ت‬ ُ ‫سقُطُبِال‬
ِ ‫شبُ َها‬ ْ َ‫ال َكفَّا َرةُت‬

“Kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”


Contoh: orang melakukan persetubuhan pada waktu puasa ramadhan karena
lupa, tidak wajib membayar kafarat. 

3. ‫الح ِري ُم لَ ُه ُح ْك ُم َما ُه َو َح ِري ٌم لَه‬


َ (Yang mengelilingi larangan hukum nya sama dengan
yang dikelilingi) 
Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

ِ ‫شبَبَ َهاتالَيَ ْعلَ ُم ُهنَّ َكثِ ْي ٌر ِمنَالنَّا‬


.… ‫س‬ َ ‫الحالَلُبَ ْينَ َو‬
ْ ‫الح َرا ُمبَ ْينَ َوبَ ْينَ ُه َما ُم‬ َ

( ‫)رواهالشيخان‬

93
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 42
“Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas dan diantara keduanya ada
masalah-masalah mutasyabihat (yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang
tidak mengetahui hukumnya….” (HR. Bukhori dan Muslim) 

Contoh: Haram meminum khamr berarti haram pula menjualnya.


4. ‫ض َما ِن‬ ُ (Berhak mendapatkan hasil disebabkan keharusan mengganti
َّ ‫الخ ُر ْو ُج بِال‬
kerugian)
Contoh: Membeli sesuatu yang ada illatnya itu boleh dikembalikan.94
5. ‫ست ََح ٌّب‬ ِ َ‫الخ ُر ْو ُج ِمنَ ْال ِخال‬
ْ ‫ف ُم‬ ُ (Keluar dari khilaf itu hukumnya sunnah) 
Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

ْ ‫ستَ ْق َرألَ َد ْينَه َو َع ِّر‬


ُ ‫ضه‬ ُّ ‫فَ َم ْناتَّقَىال‬
ْ ‫شبُ َهاتفَقَدْا‬

“Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat,
maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (makalah)

Contoh: Shalat sunnah qashar atau jama’ dalam perjalanan jauh.95 Contoh yang
lainnya adalah: mengutamakan anggota wudhu. 
َّ ‫ص الَتُنَاطُ ِبال‬
6. ‫ش ِك‬ َ ‫الر ْخ‬
ُّ (Keringanan itu tidak untuk hal-hal yang meragukan) 
Contoh: Wajib mengulangi sesuatu yang dikerjakan dengan ragu-ragu, misalnya lupa
sudah berwudhlu atau belum maka kita harus berwudhlu lagi.96 
7. ‫ب‬
ِ ‫لج َوا‬ ٌ ‫س َؤا ُل ُم َع‬
َ ‫اذ فِى ْا‬ ُّ ‫( ال‬Pertanyaan itu diulangi dengan jawaban) 
 Contoh:  Jika ada seorang berkata aku jual barang ini dengan harga seribu, lalu ada
orang lain menjawab: aku beli, itu berarti membeli dengan harga seribu. 

8. ‫ت قَ ْو ٌل‬ َ ‫ب اِلَى‬
ٍ ‫سا ِك‬ َ ‫( الَيُ ْن‬Suatu pendapat tidak disandarkan kepada yang diam) 
ُ ‫س‬

94
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu
Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 24

95
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 24

96
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 43
Contoh: Jika seorang ditawari ijab dalam transaksi jual beli lalu dia diam, maka sikap
diamnya serta-merta tidak dapat diartikan sebagai menerima transaksi tersebut (qabul).97
ْ ِ‫( َما َكانَ اَ ْكثَ َر فِ ْعالً َكانَ اَ ْكثَ َر ف‬Perkara yang banyak pekerjaannnya, maka banyak
9. ً‫ضال‬
pula pahalanya)
Kaidah Ushul fiqh ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

ْ َ‫اَ ْج ُر ِك َعلَىقَ ْد ِرن‬


)‫صبِ ِك (رواهمسلم‬

“Pahalamu adalah berdasar kan kadar usahamu” (HR. Muslim) 

Contoh: Shalat witir terpisah itu lebih utama daripada disambung.98 Sebab dengan
diputusakan tambah niat, takbir dan salam.
َ ‫( ال ُمتَعَدِّى اَ ْف‬Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain
ِ َ‫ض ™ ُل ِمنَ ْالق‬
10. ‫اص ™ ِر‬
lebih utama dari pada hanya terbatas untuk kepentingan sendiri) 
Menurut Imam Asy-Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama daripada sholat sunat, karena
mencari ilmu akan bermanfa’at kepada orang banyak, sedangkan sholat sunat itu
manfa’atnya hanya pada diri sendiri. 

97
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu
Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 25

98
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 4
BAB XIII

Maqasidu Al-Syari’ah

A. Pengertian Maqasid al-Syariah

Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan
syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau
tujuan.99 Syari’ah secara bahasa berarti ‫المواضع تحدر الى الم•اء‬ yang berarti jalan menuju
sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan.100
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-
beda berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah, 101
al-maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah,102 dan maqasid min syar’i al-hukm.103
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:

‫وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا‬...‫هذه الشريعة‬104

“Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia


di dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi

‫اآلحكام مشروعة لمصالحالعباد‬105

99
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed) (London: Mac Donald
&Evan Ltd, 1980), hlm. 767
100
Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
101
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo, I, hlm. 21
102
Ibid, hlm. 23
103
Ibid, hlm. 374
104
Ibid, hlm.6
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba."
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan
sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang
istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik
terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid106 pun
tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna
mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai
tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan
dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam
definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka.
Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap
ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid
syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.107

Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri,


sama dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim menegaskan
bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk
manusia di dunia atau di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan
perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan
kemaslahatan kepada manusia.108 Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat
sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak
kejahatan atau menarik kebaikan…".109

105
Ibid, hlm.54
106
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah,
Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131
107
Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997M, m.s.48.
108
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M, jil.3, m.s.37
109
Al-Izz bin Abdul Salam, opcit, jil.1, m.s.9.
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama
klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.110

Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai


oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang
maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah
telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai
berikut:

a. Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang


berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya
telah dijelaskan oleh syara’.
b. Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah
dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai
berikut:

“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada


maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah
kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana
tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.

Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu


berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak
mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram.
Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara
ibadah dengan muamalah.111

B. Macam-Macam Maqasid al-Syariah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
110
Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi, Qatar, 1998M, m.s.50

111
Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm 125-126.
a. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer
manusia (Maqashid al- Dharuriyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan
adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab),
dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang
menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini,
terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.

1. Agama

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang


telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan
horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna
seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah: 3

“pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama


yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti
perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam
surat Asy-syura: 13.

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya, atau
yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan
aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi
penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang
diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam.
hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah:
256.
2. Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman


Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga
dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir
secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang
membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si
pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist
dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah:

1)      Surat Al-Baqarah ayat 178-179


2)      Surat al-an’am ayat 151
3)      Surat Al-Isra’ ayat 31
4)      Surat Al-Isra’ ayat 33
5)      Surat An-Nisa ayat 92-93
6)      Surat Al-Maidah ayat 32
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di
dunia, yaitu surat Al-Isra’ ayat 33

  “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),


melainkan dengan suatu (alasan) yang benar [853]. dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan [854] kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan”.

3. Memelihara Akal

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk


ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik
bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.   
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis
menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang
meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.

Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal
dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran
kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma,
hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.

“66.  Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran


bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya
(berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang
yang meminumnya.

67.  Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang
memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

68.  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-


bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",

69.  Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah


jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.

4. Memelihara Keturunan

Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan


mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana
cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga
perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis
itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan
menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang
perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.

5. Memelihara Harta Benda


Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah,
namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’
kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur
supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam
mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai menggadai dll112

b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan


sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada
sesuatu yan gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan
gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar
menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam
berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan
menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.

Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh


(keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan
dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka
puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan


urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah
(perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.

c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan


pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)
112
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992, hlm 67-101
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’),
maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib
baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna.

Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil


bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan
adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau
kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu
diantara tiga kepentingan tersebut113

BAB XIV
Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Madzhab Fikih

A. Pengertian Madzhab
Secara bahasa, mazhab memiliki dua pengertian, pertama kata mazhab berasal dari
kata zahaba-yazhabu yang memiliki arti telah berjalan, telah berlalu, telah mati. Pengertian

113
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996, hlm 333-343
kedua yakni, mempunyai arti suatu yang diikuti dalam berbagai masalah disebabkan adanya
pemikiran, oleh karena itu mazhab berarti yang diikuti atau dijadikan pedoman atau metode. 114

Kata Madzhab adalah isim makan ( kata yang menunjukkan tempat) yang diambil


dari fi’il madhi ( kata dasar)dzahaba yang berarti “pergi”. Dan dapat juga  berarti al-ra’yu, yang
artinya “pendapat”.115

Secara istilah, Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum
suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab
adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-
kaidah istinbath-nya.116

Sedangkan secara terminologi pengertian mazhab menurut Huzaimah Tahido Yanggo,


adalah  pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan
masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam
Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam. 117

Pengertian Madzhab dalam istilah fiqih atau ilmu fiqih setidaknya meliputi dua pengertian,
yaitu :

a. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu kejadian.
b. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.

Pembahasan tentang Madzhab merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang taklid.


Orang awam yang muqallid setelah memperoleh jawaban hukum dari seseorang mufti harus
beramal dengan pendapat atau fatwa dari mufti itu. Fatwa atau pendapat yang dirumuskan oleh
seorang mujtahid itulah yang pada mulanya disebut dengan Madzhab.

Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut
akidah dan dari sudut fiqh.  Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal
keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya.  Contoh mazhab-
mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah itu mempunyai mazhab-
114
http://khazanah-keislaman.blogspot.co.id/2015/08/makalah-sejarah-lahirnya-mazhab-fiqh.html
115
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih, 2008. Prenada Media Group : Jakarta hlm. 422
116
http://khazanah-keislaman.blogspot.co.id/2015/08/makalah-sejarah-lahirnya-mazhab-fiqh.html
117
mazhab fiqh nya sendiri-sendiri . Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-
hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh untuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah
ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. 118

B. Latar Belakang Timbulnya Madzhab


            Lahirnya berbagai aliran atau Madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis, bahwa
perbedaan pendapat di kalangan Madzhab disebabkan oleh :

1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash

Hal ini merupakan bagian yang banyak menimbulkan perbedaan, karena boleh jadi suatu
lafadz memiliki makna lebih dari satu. Adanya pengertian hakiki dan kiasan atau perbedaan
‘uruf mengenai arti sesuatu lafadz yang dipergunakan.
2. Perbedaan Dalam Masalah Hadis
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis, bahwa perbedaan dalam
masalah hadits ini bisa saja terjadi karena ada hadits yang sampai kepada sebagian kelompok
saja. Atau bisa jadi, berbeda dalam menilai keberadaan hadits dan perawinya.
3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash
4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl Al-
adillah)
5. Perbedaan Tentang Qiyas
6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum
7. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum
8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh

C. Sejarah Singkat Munculnya Madzhab dalam Islam


Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai
penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang
baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim
Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan
sahabat ada tiga yakni :
118
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an

2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat

3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.

 Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang
berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur
penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah
generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi
penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu.
Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini
dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah
Abbasiyyah. 

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan
istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai
cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari
bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendekiawan-
cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan
mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah
Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode
kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh
tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah
luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.

        Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran


di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya
mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran
operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-
mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam
masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
       Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak
lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang
dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
Ahmad bin Hanbali dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan
kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi,
teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada
awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya
dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami Nash Al-
Quran dan Al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam
nash. 

Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut
terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma
menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin
mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya
terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang
akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat
hukum.

Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut


merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja
dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan
pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut
dengan ushul fiqh.

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih.


Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan
mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah
sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.  

Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada,  maka hanya beberapa mazhab saja
yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbali, mazhab-mazhab yang masih
bertahan sampai sekarang  hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab Hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :

1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah


a. Ahl al-Ra’yi, kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi

b. Ahl al-Hadis terdiri atas :

1. Mazhab Maliki

2. Mazhab Syafi’i

3. Mazhab Hambali

2. Syi’ah

a. Syi’ah Zaidiyah

b. Syi’ah Imamiyah

3. Khawarij

4. Mazhab-mazhab yang telah musnah

a. Mazhab al-Auza’i

b. Mazhab al-Zhahiry

c. Mazhab al-Thabary

d. Mazhab al-Laitsi

Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani beliau
menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13
aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran
itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya. Adapun di antara pendiri tiga
belas aliran itu adalah sebagai berikut :

1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)

2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)

3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)

4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)

5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)

6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)


7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)

8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)

9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbali (w. 241 H.)

10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)

11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)

12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)

13. Ibnu Jarir at-Thabari


D. Perkembangan Madzahibul Arba’ah
1. Madzhab Hanafi

            Madzhab ini dibangun atas dasar pemikiran Imam Abu Hanifah (w.150 H/767 M).
Nama kecil beliau adalah al-Nu’man ibn sabit ibn Zauta, yang kemudian lebih populer dengan
sebutan Abu Hanifah. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 80H/699 M, dan meninggal pada
tahun 150 H/767 M. 119

            Pemikiran Imam Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di berbagai
kawasan negeri Islam seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di Mesir dan daerah
lainya. Salah satu kota tempat pertama Abu Hanifah memulai perkembangan ilmunya yaitu di
Kuffah, dimana tempat tersebut menjadi salah satu kota yang sedang berkembang dan sekaligus
menjadi pusat ilmu dan kebudayaan. Di samping itu ulama – ulama serimg melakukan diskusi
dan banyak menimbulkan perdebatan menyangkut aqidah, hadits dan fiqh. Abu Hanifah belajar
dengan seorang guru Zaid ibn Ali Ja’far Ash – Shadiq, Abdullah ibn Hasan dan para tabi’in di
bidang ahli fiqh.

            Sepeninggal gurunya ketika beliau berumur 40 tahun Abu Hanifah mulai mengajar ilmu
agama yang telah ia dapat. Mulai dari sinilah beliau mulai mengluarkan pandangan – pandangan
yang tidak jarang menimbulkan kontroversi dengan pandangan yang sudah ada. Beliau tidak
segan – segan mengkritik tajam terhadap fatwa atau putusan hakim pada pemerintahan.
Akibatnya beliau dipenjarakan sampai wafat

119
Drs. Romli SA, M. Ag, Muqarramah Mazahib fil Ushul, Gaya Media Pratama Jakarta. Pamulang
Estate Blok E5 No 10, hlm 19
            Tidak dapat dipungkiri bahwa kecerdasan dan ilmu yang beliau miliki sangatlah luas.
Oleh sebab itu para murid yang menjadi pengikutnya juga mengembangkan dan menjadi pihak
yang sangat berjasa dalam meneruskan serta menyebar luaskan perjuangan gurunya. Pola
pemikiran pada bidang fiqh yang menjadi fokus kajian Abu Hanifah sehingga melahirkan
mazhab tersendiri yang disebut dengan Ushul al – Mazhab al – Hanfiyah. Diantara murid –
muridnya yang terkenal ialah Abu Yusuf dan Muhammad ibn al – Hasan al – Syaibani.
Keduanya dalam menetapkan hukum dan memberi fatwa berpijak pada cara – cara yang
ditempuh oleh Abu Hanifah. Mereka juga yang pertama menulis beberapa buku berdasarkan
mazhab Hanafi. Karya – karya murid Abu Hanifah tertuang pada kitab yang mereka ciptakan
antara lain, al – Zakah, al – Siyam, al – Faraidl, al – Hudud, al – Kharaj, dan al – Jami.

            Dalam hal istinbat, mazhab Hanafi menempuh langkah – langkah sebagai berikut,
pertama berpegang pada al – Kitab, kedua, as – Sunah, ketiga, Qaul Sahabi, keempat al –
Ijma’, kelima, al – Qiyas, keenam, al – istihsan, dan ketujuh, al – ‘Urf120.Dalam penggunaan
Qiyas dan al – Istihsan kadang – kadang Abu Hanifah mendahulukan penggunaan al – Istihsan
dan mengenyampingkan Qiyas karena persoalan yang lebih penting. Begitu pula halnya dengan
as – Sunah beliau sangat selektif dalam penggunaannya sebagai hujjah, beliau hanya berpegang
pada Sunah yang memang betul – betul kuat dan dapat dipercaya. Ini pula yang menyebabkan
mazhab Hanafi dikenal dengan mazhab yang cenderung berpegang pada ra’yu. Bahkan Abu
Yusuf melakukan ijtihad telah melampaui masanya, dengan memperkirakan hal – hal yang
belum terjadi.    

2. Madzhab Malik

            Mazhab ini dinisbatkan pada pendirinya Imam Malik. Nama lengkapnya Malik bin Anas
ibn Abi Amr. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Imam
Malik selama hidupnya hanya berada di Madinah berkat hal tersebut beliau juga mendapat
julukan Imam Dar al – Hijrah. Dengan demikian watak dan corak yang dimiliki sangat
dipengaruhi oleh lingkungannya pada saat itu. Malik menuntut ilmu kepada ulama’ – ulama’
kota Madinah, diantara guru – gurunya adalah Abdurahman bin Harmuz, Nafi’ seorang Maula
Ibn Umar dan Ibn Syihab Al – Zuhri.

Malik belajar fiqh kepada gurunya bernama Rabi’ah ibn Abdirrahman yang dikenal sebagai ahli
ra’yu dan setelah tujuh belas tahun Malik mulai belajar menekuni Hadits di samping ilmu fiqh.
Malik adalah orang yang sangat cerdas dan genius serta memilki hafalan yang kuat dari

120
Drs. Romli SA, M. Ag, Muqarramah hlm 22
kecerdasan beliau dalam usia yang relatif muda beliau sudah mendapatkan izin oleh gurunya
untuk mengajar di masjid Madinah saat itu.

            Dari sini Malik mulai menunjukkan sikap dan pendapatnya tentang berbagai hal tentang
fiqh dan manhajnya maupun yang berkaitan dengan hadits sendiri. Setelah tampil dengan
pemahaman mengenai ajaran Islam, orang – orang mulai berbondong bondong untuk belajar
dengannya di Madinah. Hampir sebagian besar kehidupannya kurang lebih tujuh puluh tahun
digunakan untuk mengajar dan menelaah ilmu yang disebarkan kepada murid – muridnya.

            Pemikiran Imam Malik dan dasar – dasar istinbatnya berkemban luas di masyarakat
Islam yang dijadikan pegangan dan dasar pijakan mazhab ushul Maliki. Perkembangan ajaran –
ajarannya tersebar diantaranya di daerah – daerah Madinah, Hijaz, Bahrain, Kuwait, Andalusia,
Maroko, Afrika Timur, dan Afrika Barat. 121 Dasar – dasar istinbat yang digariskan oleh Imam
Malik, sebagai diungkapkan oleh Muhammad Ali al – Sayis adalah pertama, al –
Kitab, kedua, al – Sunah, ketiga al – Jima’, keempat, al – Qiyas, kelima amal ahli
Madinah, keenam, Maslahat Mursalah atau al - Istilah, ketujuh, Qaul Sahabi, kedelapan, al –
Istihsan,  kesembilan, al – Zara’i atau al – Zari’ah kesepuluh, al – Urf dan kesebelas, al –
Istihsab. Adapun mengenai hadits Malik menggunakan Hadits Mursal. Berkaitan dengan karya
beliau ada sejumlah buku akan tetapi yang hingga saat ini masih ada hanyalah al – Muwata’.

            Diantara murid – murid beliau yang terkenal dan besar jasanya dalam mengembangkan
Mazhab Maliki ialah Muhammad ibn al – Hasan da Abdullah Ibn Wahab. Dari karya murid –
muridnya yang terkenal tersebut munculnya kitab yang paling populer, al –
Mudawanah .Kemudian murid Malik yang nantinya juga menjadi tokoh tersendiri pula adalah
Imam Syafi’i.

3. Madzhab Syafi’i

            Mazhab ini dinisbatkan kepada tokohnya yang bernama Imam Syafi’i. Nama lengkapnya
Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris ibn Abbas Ibn Usman Ibn As – Syafi’i dan dikenal dengan
As – Syafi’i. Beliau dilahirkan di Gazah di daerah Palestina pada tahun 150 H dan wafat pada
tahun 204 di Mesir. Sejak kecil beliau telah menjadi Yatim kemudian ibunya membawanya ke
Mekah guna menimba ilmu disana. Di Mekah beliau mulai belajar menimba ilmu serta
menghafal Al – Qur’an berkat dorongan dari ibunya, dengan ketekunan serta kecerdasan yang
dimiliki Syafi’i telah mengkhatamkan hafalan Qur’annya sejak umur tujuh tahun.

121
Drs. Romli SA, M. Ag, Muqaranah hlm 24
            Setelah selesai menghafal Al – Qur’an beliau  mulai menekuni ilmu lain di bidang fiqh
dan hadits. Di samping itu ia juga belajar bahasa arab dan sastra, serta syair – syair bangsa   arab
kala itu. Atas dasar kemampuan yang dimiliki luar biasa itu, maka salah seorang gurunya,
Muslim ibn Khalid al – Zanji mengizinkan dan menganjurkannya untuk menjadi mufti di kota
Makkah di umur beliau dua puluh tahun. Sejak itu Syafi’i mulai mengluarkan pandangan –
pandangan tentang hukum Islam. Perkembangan pemikiran hukum ini dilatar belakangi oleh
suasana kebebasan berpikir dan ijtihad di kalangan ulama’ dan fuqaha’.

            Kedua corak pemikiran hukum ini didasarkan pada sebelumnya yang seolah – olah sulit
untuk dipertemukan, yaitu ahlu ra’yu yang diwakili oleh Mazhab Hanafi dan kedua diwakili
oleh Mazhab Maliki. Hal ini membuat Syafi’i lebih memiliki semangat dalam mendalami ilmu
– ilmu tersebut. Semangatnya tersebut diwujudkan dengan berangkatnya beliau ke Madinah
untuk belajar kepada Imam Malik. Disana ia mendalami bidang fiqh di samping mempelajari
kitab al – Muwata’. Tidak berhenti sampai disitu sepeninggal wafatnya Imam Malik ia juga
berkunjung ke barbagai daerah diantaranya Yaman dan Irak.

            Dalam kondisi seperti ini, Syafi’i berhadapan dengan dua corak pemikiran fiqh, yaitu
Irak yang bercorak rasional dan Madinah serta Hijaz yang bercorak tekstual. Pencampuran dua
pola pemikiran tersebut yang nantinya melahirkan pemikiran baru dalam bidang fiqh. Ketika
setelah kembali dari dua kota tersebut dan kemudian menetap di Makkah selama kurang lebih
sembilan tahun beliau mulai melakukan perbandingan dan berusaha membuat metode baru
dalam istinbat disamping menelaah dua corak pemikiran dan menerapkannya pada ijtihad yang
dilakukan.

            Corak pemikiran fiqh yang dikembangkan oleh Syafi’i hasil dari telaahnya itu
menghasilkan hal baru pada fiqh dan teori ushul dengan karakteristik mengambil jalan tengah
antara ahlu ra’yi dan ahlu hadits, dengan kata lain memakai prinsip pemikiran yang bersifat
moderat (tawasuth). Ahmad Hasan mengungkapkan konsep pemikiran yang diciptakan oleh
Syafi’i memang berbeda dengan yang sudah ada. Syafi’i telah berhasil mengkolaborasikan
pemikiran – pemikiran yang telah ada sebelumnya dengan pemikiran barunya, akan tetapi ia
juga tidak menyalahkan apa yang telah dirumuskan oleh Imam Mazhab sebelumnya.

            Langkah – langkah yang dipakai Syafi’i dalam penetapan hukum sebagai dijelaskan
Hasan Abu Thalib[9] yaitu pertama, al – Kitab, kedua, al – Sunah,  ketiga, al – Ijma’,keempat, al
– Qiyas, kelima, al – istihsab. Dalam hal Sunah Syafi’i menggunakan khabar ahad apabila
rawinya tsiqat. Dan tidak mensyaratkan harus mansyur sebagaimana halnya Malik dan Syafi’i
tidak menggunakan al – istihsan sebagaimana Abu Hanifah. Kepiawaian Syafi’i dalam bidang
pemikiran hukum Islam memang sudah diakui dan luar biasa. Disamping ia mengajar dan
menyebarkan ilmunya ia juga aktif menulis, salah satu karyanya dalam bidang ushul fiqh yaitu
kitab ar – risalah.. Ahmad Hasan mengemukakan bahwa Syafi’i adalah seorang penulis di
bidang hukum yang sangat hebat dibandingkan para pendahulunya, karena tidak ada karya –
karya pendahulunya yang sampai kepada kita, kecuali Syafi’i. Selain kitab ar – risalah di
bidang ushul fiqh beliau juga berhasil mengarang kitab di bidang fiqh yaitu, Al – Umm.

            Disisi lain sebagai ulama’ yang mempunyai kedalaman dan keluasan ilmu pada
masanya, Syafi’i banyak pengikut dan murid – murid yang sangat besar jasa mereka dalam
mengembangkan mazhab Syafi’i baik di Makkah, Irak, maupun Mesir. Salah satu murid Syafi’i
yang fenomenal yaitu Ahmad ibn Hambali  yang nantinya dapat mengembangkan ajarannya dan
menciptakan mazhab sendiri.

4. Madzhab Hambali

            Mazhab ini dipelopori oleh Ahmad ibn Hambali. Nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Ahmad ibn Hambali ibn Hilal ibn Assad al – Syaibani yang lebih populer dengan
nama Ahmad ibn Hambal. Ia dilahirkan di Kota Baghdad  pada tahun 164 H/780 M dan wafat
pada kota ini pula pada tahun 241 H/855 M. Beliau sejak kecil sudah belajar serta menghafal Al
– Qur’an disamping itu ia juga belajar fiqh kepada sejumlah ulama’ di Baghdad, Imam Abu
Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah.

            Kecerdasan dan kesungguhannya sangat luar biasa, hal ini ditujukan ketika ia menginjak
umur tujuh tahun mulai berkelana ke berbagai daerah antara lain Kufah, Basrah, Makkah,
Madinah, Syam dana Yaman. Beliau lebih banyak menekuni hadits meskipun

juga seorang ahli fiqh iapun juga menjadi seorang mujtahid mustaqil ( mujtahid yang tidak
terkait dengan mazhab pendahulunya ). Akan tetapi meskipun ia mengembangkan mazhab
tersendiri, jalan istinbat yang ditempuhnya lebih dekat dengan gurunya yaitu Imam Syafi’i.

            Kedalaman dan keluasan ilmu Ahmad ibn Hambal terutama dalam bidang hadits sangat
luar biasa dan diakui oleh berbagai kalangan. Beliau telah berhasil menghimpun sejumlah hadits
selama masa belajarnya kurang lebih sebanyak empat puluh ribu hadits, yang terkumpul dalam
kitab yang terkenal dengan Musnad Ahmad Ibn Hambal. Mengenai karya – karya nya di bidang
fiqh tidak didapatkan penjelasan secara pasti, karena ia sendiri tidak mendiktekan kepada murid
– muridnya sehingga tidak bisa menemukan pandangan fiqhnya secara orisinil. Dalam hal ini
Abu Hasan At – Thalib  dasar – dasar hukum yang dipakai oleh Ibn Hambal yaitu, pertama al –
Qur’an, kedua, as – Sunah, ketiga al – Ijma’, keempat, al – Qiyas, kelima al –
istihsab, keenam, al – Masalih al Mursalah dan ketujuh Saduz Zariah. Berkenaan dengan
hadits beliau menggunakan Hadits Mursal dan Hadits Dhaif daripada Qiyas. Darisinilah
menunjukan karakteristik corak pemikiran beliau yang lebih mengutamakan nash formalistik
dan pendekatan tekstual dalam istinbat hukum, dan jarang menggunakan ra’yu.

BAB XV

Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia

A. Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer

Masyarakat memang tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh August


Comte melalui teori La loi des trois etat yang diciptakannya. Menurut teori ini,
masyarakat berkembang secara linear dari tahap teologis, metafisik sampai kepada
tahap terakhir, positivistik. Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih
dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika
terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada
agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran masyarakat masih sangat sederhana.

Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat,


setelah masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari
paham rasionalisme, yang ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan
tekhnologi. Dilihat dari perspektif filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat
alShaqawi dalam kitab Falsafah al-Hadharah al-Islamiyah (1980), proses
perkembangan masyarakat seperti yang digambarkan Comte merupakan proses gerak
maju ke depan35 .

Dalam hubungannya dengan era kontemporer, konsekwensi logis dinamika


masyarakat, telah memunculkan apa yang sering di istilahkan dengan era globalisasi.
Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai satu titik perhatian; meskipun ia terdiri
dari beberapa negara yang terpisah dan dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda
bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik pandang itu karena sudah begitu
lancarnya komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak lagi berarti dan lancarnya
arus informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Globalisasi ini menyebabkan terjadinya
perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan.

Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk menghadapi arus globalisasi itu,
yaitu; pertama, memiliki kemampuan dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk
memanfaatkan sisi positif globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan
manusia tidak mampu menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi
menjadi sumber malapetaka. Tindakan yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan
kemampuan yang ada untuk meraih sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang
terbuka untuk memperoleh unsur positif yang ada pada globalisasi itu. Di samping itu
manusia harus berusaha mneghilangkan titik lemah yang ada pada dirinya untuk
memanimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.

B. Pemikiran-Pemikiran Yang Terjadi Di Era Kontemporer

Sehingga dengan berkembangnya sistem informasi yang terjadi di masyarakat


berkembang pula masalah-masalah yang membutuhkan jawaban hukum agama, dalam
pemikiran-pemikiran yang berkembang di dalam masyarakatpun ikut berkembang
sehimgga menimbulkan berbagai kelompok aliran-aliran ideologis yang beraneka
ragam, karena dalam era kontemporer ini kebebasan berfikir berkembang di masyarakat
luas. Di antara golongan atau aliran-aliran ideologis ialah.

a) Fundamentalis

Suatu aliran pemikiran fundamental yang model pemikiran sepenuhnya percaya


pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia.
Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek kehidupan sehingga tidak
memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah
menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan
menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur’an dan Sunnah) dan
mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa’ al-
Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern
sebagai bentuk kebangkitan Islam.

b) Tradisionalis (salaf)

Suatu aliran Islam yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah ada
dan mapan. Dalam hal ini, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh
para ulama terdahulu. Berbeda dengan Fundamentalis yang membatasi tradisi yang
diterima hanya sampai pada khulafa’ al-rasyidin, sedangkan tradisionalis melebarkan
ajarannya sampai pada salaf al-shalih, sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab
klasik sebagai bahan ajarannya. Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini.
Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan
diterminisme.

c) Reformis

Dalam aliran reformis ini dimana aliran tersebut berusaha merekonstruksi ulang
warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut aliran tersebut,
Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak
dapat langsung diaplikasikan melainkan harus dibangun kembali secara baru dengan
kerangka berpikir yang lebih modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan
diterima dalam kehidupan modern. Oleh karena itu, mereka berbeda dengan
tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
d) Postradisionalis
Aliran tersebut berusaha mendekonstruksikan warisan Islam berdasarkan standar
modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan
interprestasi baru. Perbedaannya, postadisionalis ini mempersyaratkan dekonstruktif
atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang
ahistoris menjadi histories.

e) Moderinis

Suatu aliran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan
mistik. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal
keagamaan dan kemasyarakatan. Aliran ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang
marxisme. Meski demikian, aliran tersebut bukan sekuler. Sebaliknya, aliran ini
mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku
eklektif terhadap Barat.

C. Faktor Yang Mendasari Perbedaan Pemikiran

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemikiran hukum Islam
adalah “koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat, tentunya ini bersumber dari pemahaman atas titah Allah yang mungkin
mengalami pengembangan dan perubahan.

Dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat, dikatakan bahwa dalam hukum


Islam terdapat wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika,
yakni hukum-hukum yang telah pasti (qath’i). inilah yang menyebabkan terpeliharanya
kesatuan pemikiran dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi
hukum-hukum yang tidak pasti (zanny), baik dari segi sumbernya (qath’I ats-subut)
maupun penunjukannya (qath’I al-dalalah), yang merupakan bagian terbesar dari
hukum-hukum fikhi. Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad, yang antara lain
mengarahkan fikhi atau pemikiran hukum Islam ke dalam dinamika, perkembangan dan
pembaruan.

Adapun faktor penyebab elastisitas hukum Islam adalah :

Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted segenap
hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash.
Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi
makhlukNya.

Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang
universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di
dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam
perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain
perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global

Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu


bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik
secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun
memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak
menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-
maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang
dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.

Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan


hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag
beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan
dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas,
istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan
nashnya.
Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta
berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau
meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudah-kan atau membantu manusia
karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta
kondisi-kondisi yang yang menekan.

Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa
hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.

Selain faktor diatas, dalam hukum Islam Ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah.
Kaidah ini mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib,
mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat
atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya
karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak
ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu
hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain.

Selain itu para ulama juga mengenal kaidah al-ahamm (yang lebih penting) dan
al-Muhimm (yang penting).Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan
tidak mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib
memikirkan mana yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia
mengorbankan hukum yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih
banyak nilai pentingnya. Perhitungan kaidah al-hamm dan al-muhimm mengatakan
kepada manusia., “lakukanlah shalat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika kamu
dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan: barang siapa di antara kamu sakit atau
sedang berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain
sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika ditanyakan hal ihwal
mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu: Allah
menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2:
185).
Demikianlah hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam
keadaan. Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu
mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.

BAB XIV

Penutup

A. Kesimpulan

Ilmu fikih adalah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali yang
diambil dari dalil-dalil yang tafsil yang terdapat dalam al-Qur’an, hadits, ijma dan qiyas.
Pada pokoknya yang menjadi bjek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan mukalaf
dilihat dari sudut hukum syar’i yang terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu ibadah,
mu’amalah dab ‘uqubah.
Ilmu fikih sebagai suatu bidang keilmuan memiliki ciri khas, diantaranya: Al-
Ahkam (tentang hukum-hukum), As-Syari’ah ( yang diambil dari syariat) Al-‘Amaliyah
( berkenaan dengan amal perbuatan). Al-Muktasib Adillatiha At Tafshiliyyat (diperoleh
dari dalil-dalil yang tereperinci bagi hukum-hukum tersebut).
Daftar Pustaka

https://id.m.wikipedia.org/wiki/fikih
http://islam.nu.or.id/post/read
moriman.jusri.wordpress.com
http://ensiklopedia.islam-sejarah-perkembangan-ushul-Fiqih.com
http://islamwiki-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.com
https://islamwiki-sejarah-perkembangan-ushul-fiqh.com
Alaidin Koto. Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h.23
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h. 24
Alaidin Koto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. h.18
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana :
2011 ). h. 50-51
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana :
2011 ). h. 54-55
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana :
2011 ). h. 56
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana :
2011 ).h.49
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Pembagian Hukum-Hukum Islam ( Jakarta :
Kencana : 2011 ). h.40-46
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana :
2011 ). h.5-6
Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Sumber Hukum-Hukum Islam ( Jakarta : Kencana :
2011 ).h.1-6
https://penaqolbi.com/pengertian-hukum-islam/
https://www.kompasiana.com/cerly37320/5f9634edfdcdb41aac71b152/hubungan-
ilmu-fiqih-dengan-ilmu-lainnya?page=all#sectionall
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-
ilmu-fiqh-dengan-ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?
page=all#section2
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-
ilmu-fiqh-dengan-ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?
page=all#section2
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-
ilmu-fiqh-dengan-ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?
page=all#section2
https://www.kompasiana.com/nur18224/5fa3682d8ede486797624042/hubungan-
ilmu-fiqh-dengan-ilmu-tasawuf-ilmu-kalam-ilmu-filsafat-ilmu-tauhid?
page=all#section2
M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu
Lainnya.(Surabaya : Buku Pena Salsabila : 2013) h.11-12
M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu
Lainnya.(Surabaya : Buku Pena Salsabila : 2013) h. 13
M.Noor Harisuddin. Pengantar Ilmu Fiqh. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu
Lainnya.(Surabaya : Buku Pena Salsabila : 2013) h.14-15
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2019/03/sumber-hukum-islam-yang-disepakati-
pai.html
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2019/03/sumber-hukum-islam-yang-disepakati-
pai.html
Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum Islam, Tahkim, Jurnal Peradaban
dan Hukum Islam. Vol.1 No.1 (Maret, 2018), hlm. 105.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, Jilid 1, 2008), hlm.
220-222.
A. Dzajuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, edisi revisi, 2005), hlm. 63.
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah : Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam, (Jakarta: Robbani Press, Cet. 1, 2008), hlm. 233-236.
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama,
Oktober 1995), hlm. 20-21.
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm 229-230.
Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, op.cit., hlm. 241-242.
Zainuddin Ali, M.A., Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, Cet.1, Oktober 2006), hlm. 33-34.
Rachmat Syafe’I, M. A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.
65-67.
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
Sinar Grafika, Jakarta, 1995,hlm 42.
Abdur Rahman, Shari’ah Kondifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta,1993,
hlm 98-99.
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih jilid 1,Kencana,Jakarta,2008, hlm 276-279.
A. Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 75-76
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN PTS, Pustaka Setia,
Bandung,2007, hlm 72
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jilid 1, Kencana, Jakarta,2008, hlm 310-312.
Abdur Rahman, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Rineka Cipta Jakarta, 1993, hlm
101-102
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam, Rabbani Press, Jakarta, 2008, hlm 250
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006, hlm 40
A. Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 77
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jilid 1 Kencana, Jakarta,2008, hlm: 342-343
A. Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islma, Kencana, Jakarta, 2005, hlm 78
Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 1999, hlm190
A. Rahman, Penejelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm 105-10
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 40
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam, Rabbani Press, Jakarta, 2008, hlm 25
Pendidikan agama  islam Al-Qur’an dan hadis, PT. Karya putra toha semarang
Indonesia, 2008
Umam, Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung,
1998
As Syafi’I Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yoyakarta: Pustaka
Belajar, 2008), hal. 16
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam. Jakarta: PT. Prenada Meia 2005 hal117-118
http://ahza.multiply.com/journal/item/
https://mahasiswabelajar.wordpress.com/2011/08/17/sebab-sebab-terjadinya-
perbedaan-pendapat-dalam-hukum-islam/
Mubarok, Jaili. 2002. Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Syafe’I, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia. Bandung
Usman, Muklish. 1997. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Raja Grafindo
Persada: Jakarta
Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009,
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.,
Abdul Hamid. 1928. ‫مبادى أولية في أصول الفقة‬. Jakarta: Sa’adiyah putra
http://kozam.wordpress.com/2009/II/10/kaidah-kaidah-ushul-fiqh
Fadal, Muh kurdi. 2008. Kaidah-kaidah fikih. Jakarta Barat: Artha Rivera
http://mbahduan.blogspot.com/2012/03/ kaidah-ushuliyah.html
http://Amindarnah.blogspot.com/2011/05/kaidah kaidah al ushulliyyah.html
http://Ahmad Rajafi Sahran.blogspot.com /2011/02/qawaidalushulliyah dan
alfiqhiyah.html
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah
al-Islamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1996, jilid 3
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-
Risalah, 1997
Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi, Qatar, 1998
http://khazanah-keislaman.blogspot.co.id/2015/08/makalah-sejarah-lahirnya-
mazhab-fiqh.html     17:32 17032017
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih, 2008. Prenada Media Group : Jakarta hlm. 422
http://khazanah-keislaman.blogspot.co.id/2015/08/makalah-sejarah-lahirnya-
mazhab-fiqh.html     17:32 17032017
Chumaidy Ahmad Zarkasyi.Fiqh Statis dan Dnamis,bandung; Pustaka al-Hidayah,
1998), h.211
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.hal:7
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik,(Cet. II:
SIPRESS; Yogyaklarta, 1994)

Anda mungkin juga menyukai