Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

MATERI
USHUL FIQIH KELAS X, XI, XII di MA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi MTs/MA

Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Manshur, M.A.

Disusun Oleh Kelompok 10:


Zaenuri (210101041)
Rifqi Candra Permana (210101040)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS


TARBIYYAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA’ SUNAN GIRI BOJONEGORO
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada allah Swt, tuhan semesta alam yang telah
memberikan segala nikmat dan rahmatnya sebagaimana yang kita rasakan selama ini. Shalawat
serta salam tetap tercurahkan kepada baginda rasul kita nabi muhammad Saw yang telah
membimbing kita sebagai umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman islamiyah seperti
yangkita rasakan pula pada saat sekarangini.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI Mts/Ma,
dengan judul "MATERI USHUL FIQIH KELAS X,XI Dan XII di MA". kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan
tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan..

Mudah-mudahan dengana tersusunnya makalah ini bisa membawa kemanfaatan


bagi pembaca dan bisa diaplikasikan pada masyarakat umumnya, dan kami sebagai penulis
berharap atas kritik dan sarannya sebagai pembetulan makalah yang selanjutnya.

Bojonegoro, 18 November 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar belakang masalah....................... ...............................................................1
B. Rumusan masalah............................................................................................... 1
C. Tujuan pembahasan. ...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Materi Ushul fiqih kelas X .....................................................................................2
 Materi ushul fiqih semester 1.........................................................................2
 Materi ushul fiqih semester 2.........................................................................10
B. Materi ushul fiqih kelas XI .....................................................................................13
o Materi ushul fiqih semester 1..........................................................................13
o Materi ushul fiqih semester 2..........................................................................20.
C. Materi ushul fiqih kelas XII......................................................................................23
 Materi ushul fiqih semester 1...........................................................................23
 Materi ushul fiqih semester 2...........................................................................27
BAB III PENUTUP............................................................................... ..................30
 Kesimpulan ...............................................................................................................30
 Saran.......................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ................31

BAB I

PENDAHULUAN
3
A. Latar belakang masalah

Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-Nya, baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara’ yang tidak
mengandung mashlahah. Seluruh perintah Allah kepada manusia untuk melakukannya adalah
mengandung manfaat untuk dirinya, baik secara langsung maupun tidak, begitu pula sebaliknya
semua larangan Allah untuk dijauhi manusia terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya
manusia dari kebinasaan atau kerusakan.

Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah.
Oleh karena itu mashlahah menjadi ukuran bagi mujtahid yang berijtihad untuk menetapkan
hukum atas suatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur’an, Sunnah,
maupun ijmâ’. Dalam hal ini, mujtahid menggunakan metode mashlahah dalam menggali dan
menetapkan hukum.1

B. Rumusan masalah
1. Apa saja pembahasan materi ushul fiqih kelas 10 di MA
2. Apa saja pembahasan materi ushul fiqih kelas 11 di MA
3. Apa saja pembahasan materi ushul fiqih kelas 12 di MA
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui apa saja materi ushul fiqih kelas 10,11,12 di MA
2. Untuk mengetahui pokok pembahasan dari materi ushul fiqih

BAB II
PEMBAHASAN

MATERI USHUL FIQIH KELAS X SEMESTER 1

 Pengertian Ushul fiqih

1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 322.

4
1. Pengertian Ushul Fiqh dari Golongan Syafi’iyyah

Golongan syafi’Iyah mendefinisikan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mengetahui dalil-
dalil fikih secara global, dan mengetahui bagaimana cara istifadah (memanfaatkan dan mengambil
faedah) dari dalil tersebut, serta mengetahui siapa yang pantas untuk menggunakan dalil tersebut.
Dalam pandangan golongan Syafi’iyyah berpandangan bahwa ushul fiqh  berfungsi untuk
mengetahui dalil-dalil fikih, bukan untuk mengetahui hukum yang merupakan wilayah fikih.

Sebagaimana ushul fiqh juga tidak merambah wilayah dalil-dalil selain fikih, seperti dalil-
dalil nahwu, dalil kalam, filsafat, dan lain sebagainya. Selanjutnya golongan ini berpendapat
bahwa ilmu ushul fiqh membahas dan mengajarkan bagaimana cara mengambil faedah dari dalil-
dalil fikih tersebut, hal ini berkaitan erat dengan metode istinbat hukum. Sehingga harus diakui
bahwa ulama ushul memiliki jasa besar dalam melahirkan rumusan. Dan ilmu Ushul fiqh juga
membahas permasalahan yang berkaitan keadaan mustafid (orang yang beristifadah) yang dalam
hal ini maksudnya adalah mujtahid.

2. Pengertian Ushul Fiqh dari Golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah

Ketiga golongan ini memiliki definisi yang secara redaksional berbeda dengan yang
sebelumnya. Mereka mendefinisikan ilmu ushul fiqh sebagai ilmu yang mengetahui kaidah-
kaidah yang mana pembahasannya dapat menyampaikan kepada istinbat hukum yang digali dari
dalil-dalilnya secara terperinci. Dari pendapat ketiga kalangan ini dapat disimpulkan bahwa ilmu
ushul fiqh merupakan sebuah ilmu yang berbicara seputar kaidah-kaidah yang bersifat kulli
(umum) yang melaluinya dapat diketahui berbagai hukum juz’i (parsial) yang masuk ke dalamnya
baik secara qath’i maupun secara zhanny. Kedua, kaidah-kaidah yang dimaksud dalam ushul fiqh
haruslah kaidah yang dapat menyampaikan kepada hukum syar’i, jika tidak maka itu bukanlah
kaidah yang dimaksud. Seperti kaidah-kaidah dalam ilmu engineering, matematika dan lain
sebagainya, dengan arti kata bahwa kaidah yang dimaksud hanyalah kaidah umum yang dapat
digunakan sebagai wasilah oleh para mujtahid dalam memahami hukum dan mengambilnya dari
dalil-dalil yang ada.

 Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqih

5
Antara ilmu ushul fiqih dan fiqih memiliki seperti hubungan ilmu manthiq dengan filsafat,
bahwa manthiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agartidak ada kerancuan dalam
berfikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan
gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa
arab. Demikian juga ushul fiqih adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha agar
tidakterjadi keslahan di dalam mengistimbatkan (menggali) hukum.

Ushul fiqih merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath
(menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqih, tetapi secara teknis, terlebih dahulu
para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum ulama
menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah mengkaji dasar-dasar yang menjadi alasan perkara
itu diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqih, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul
fiqh. Kemudian tujuan dari pada ushul fiqih itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam
mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstinbatkansuatu hukum dari dalil-dalilnya.
Dengan menggunakan ushul fiqih itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid.

 Ruang Lingkup Kajian Ushul Fiqh

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai definisi yang dipaparkan oleh para
ulama ahli ilmu Ushul Fiqh dapat diketahui ruang lingkup kajian (maudhu’)dari Ushul fiqh
secara global diantaranya:2
1.      Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2.      Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3.      Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4.      Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat (mujtahid) dengan berbagai
permasalahannya.

 Sejarah Dan Perkembangan Ushul Fiqh

Sesungguhnya dasar Syariat Islam yang sampai kepada kita dengan perantaraan Rasul
terakhir, Muhammad SAW.,adalah Al-Qur’an. Kemudian beliau menjelaskan Al-Qur’an dengan
sunahnya; baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang masing-masing saling
menguatkan. Maka al-Qur’an dan as-Sunnah kemudian menjadi dasar dalam agama Islam bagi

2 Ade Dedi Rohayana,Ilmu Ushul fiqih

6
terbentuknya hukum-hukum syari’at dan menjadi rujukan bagi para mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad) dalam melakukan istinbath (penetapan hukum).
Menurut para imam orang-orang muslim (dalam bidang hukum islam/fiqh), ketika hukum
syariat yang ditetapkan oleh Allah itu diberi illat (alasan) dengan beberapa karakter (sifat) yang
kembali pada kemaslahatan umat, maka timbullah dasar ketiga yang merupakan cabang dari al-
Qur’an dan sunnah Rasul Saw., yaitu qiyas. Dan ketika zat yang menetapkan syari’ah
memberi illat pada suatu hukum (secar eksplisit) atau (secara implisit) illat  itu dapat diketahui
melalui ijtihad, maka mereka akan menyamakan masalah yang secara tekstual tidak termaktub
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan masalah yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
karena mereka menganggap illat itu sebagai bergantungnya hukum.
Menurut para imam ini pula, para mujtahid itu terbebas dari kesalahan, apabila pendapat
mereka sesuai dengan hukum yang telah dirumuskan dari Al-Qur’an dan as-Sunnah atau qiyas,
maka timbullah kemudian dasar ke empat, yaitu ijma’. Dalam realisasinya dalil-dalil tersebut
harus tetap mengacu kepada kedua sumber yaitu al-Quran dan as-Sunnah. 3
Secara teoritis, ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ilmu ushul fiqh sebagai
alat untuk melahirkan fiqh, akan tetapi, fakta sejarah menunjukkan ushul fiqh bersamaan lahirnya
dengan fiqh. Sedangkan dari penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir daripada ilmu ushul
fiqh. Berikut ini dijelaskan sejarah dan perkembangan ushul fiqh yang dibagi dalam beberapa
periode yaitu :

o Periode Sahabat
Fiqh dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah wafatnya Rasulullah. Sebab pada
masa hidupnya Rasulullah semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada beliau.
Meskipun ada satu atau dua kasus hukum yang timbul disiati oleh para Sahabat untuk ijtihad akan
tetapi meskipun demikian hasil akhir dari ijtihad tersebut dari segi benar atau tidaknya diserahkan
atau dikembalikan kepada Rasulullah. Hal ini karena Rasulullah adalah satu-satunya pemegang
otoritas kebenaran agama melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.

Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan suatu hukum pada
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul
fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap
dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
3 Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, USHUL FIKIH, (Jakarta: Pustaka Imani 2007),

7
Berikut ini adalah contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah
dan masa sahabat. Antara lain, berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil
hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara
Rasulullah dan Mu’adz bin Jabal, ketika Rasulullah mengutus Mu’adz ke yaman yang terekam
dalam sunan Abu Dawud.

ِ ‫فَ تَ ْق‬MM‫ َك ْي‬:‫ال‬M


‫ض‬ َ Mَ‫ا ًذا الِ َي ْاليَ َم ِن ق‬MM‫ث ُم َع‬
َ ‫وْ ُل هللاِ لَ َّما َأ َرا َد َأ ْن يَ ْب َع‬M‫ ِل ِإ َّن َر ُس‬Mَ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجب‬ِ ‫س ِّم ْن اَ ْه ِل َح َمص ِم ْن َأصْ َحا‬ٍ َ ‫ع َْن ُأنا‬
‫ فَِإ ْن لَ ْم ت َِج ْد فِي ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬:‫ب هللا؟ قَا َل‬ ِ ‫ فَِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ َأ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬
ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ َ َ‫ض ل‬
َ َ‫ك ق‬ َ ‫ِإ َذا َع َر‬
‫ي‬M‫ض‬ َ َّ‫ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذيْ َوف‬:‫ا َل‬Mَ‫ص ْد َرهُ َوق‬
َ ْ‫وْ ِل هللاِ لَ َّما يَر‬M‫وْ َل َر ُس‬M‫ق َر ُس‬ َ ِ‫ب َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ ف‬. ْ‫ اَجْ تَ ِه ُد َرا ْيِئ َواَل آلُو‬:‫ب هللاِ؟ قَا َل‬
َ ‫ض َر‬ ِ ‫هللاِ َواَل فِي ِكتَا‬
)‫َرسُوْ ُل هللاِ (رواه ابوداود‬

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Mu’adz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw.
Ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan
kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya? Muadz menjawab: Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi: Jika kasus itu tidak kamu temukan
dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab: Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya: Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an? Mu’adz menjawab: Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan tangan beliau, seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang
telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.” (HR.Abu
Dawud)

o Periode Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya para sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan
dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, di mana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja
dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang
sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Untuk menjawab
kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh hukum islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa
hukum. Mereka ini sebelumnya terlebih dahulu menimbang pengalaman dan pengetahuan
dibidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in
ini, antara lain, Sa’id bin al-Musayyab (15-94) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Iraktampil

8
pula al-Qamah bin al-Qais (w. 62 H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96 H), di samping para ahli
hukum lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in
juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka.
Akan tetapi, pada waktu itu, selain merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah, mereka telah memiliki
tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl Madinah, fatwa ash-
shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode
yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang
menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan
kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki
‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama yang lainnya lebih cenderung
memilih mashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan
kemashlahatan yang terdapatdalam prinsip-prinsip syara’.
Perbedaan yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena
perbedaan pendapat apakah fatwa ash-shahabi  dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan
apakah ijma’ ahl Madinah  merupakan ijma’  sehingga berkedudukan sebagai hujjah
qath’iah  (dalil hukum yan bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar
dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut
jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau Hanafiyyah yang pada mulanya berkembang
di Irak.

o Periode Imam Madzhab


Setelah berlalunya masa tabi’in, maka perkembangan ushul fiqh disusul oleh periode
imam madzhab. Mengingat ada perbedaan sejarah yang signifikan, maka sejarah perkembangan
ilmu ushul fiqh periode imam madzhab ini lebih jauh dapat dirinci menjadi tiga bagian, yaitu
masa sebelum dan ketika tampilnya Imam asy-Syafi’i, serta sesudah Imam asy-Syafi’i.4
1. Masa Sebelum Imam asy-Syafi’i
Masa sebelum Imam asy-Syafi’i ditandai dengan munculnya Imam Abu Hanifah bin
Nu’man (w. 150 H), pendiri madzhab Hanafi. Ia tinggal dan berkembang di Irak. Dibanding

4 Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Al-Jami' al-Shaghir, Juz II
(Indonesia : Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, t.t.), hlm. 183

9
masa tabi’in,  metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas polanya. Dalam berijtihad,
ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan Istihsan.
Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara berurutan, merujuk pada Al-Quran, Sunnah,
fatwa sahabat yang disepakati (Ijma’ ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa para sahabat
yang berbeda-beda dalam satu kasus. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan Istinbath hukum
sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan tersebut. Yang
menarik ialah, Imam Abu Hanifah tidak menjadikan pendapat ulama tabi’in sebagai rujukan.
Karena rentang waktu yang sudah jauh antara Rasulullah dan ulama dari generasi tabi’in. Ia
berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukan para tabi’in dalam hal berijtihad. Dalam hal
ini, sangat terkenal ucapannya: ‫( هم رجال ونحن رجال‬Mereka laki-laki (yang mampu berijtihad), kita
juga laki-laki yang mampu berijtihad).
Mujtahid lainnya, Imam Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri madzhab Maliki. Ia tinggal
dan berkembang di Madinah. Karena faktor sosio kultural yang memengaruhinya, ia sangat ketat
berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat Madinah (‘amal ahl al-Madinah).
Hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada
Rasulullah yang dinilainya tidak valid, karena bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah.
Ia juga mengkritik periwayatan hadis-hadis yang bertentangan dengan nashsh al-Quran atau
prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Misalnya, ia menolak hadis-hadis yang menjelaskan tentang
membasuh tujuh kali bekas jilatan anjing, adanya khiyar al-majlis, dan hadis yang menjelaskan
pemberian sedekah atas nama orang yang meninggal dunia. Akan tetapi, dalam berijtihad Imam
Malik sangat banyak menggunakan hadis dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini karena
Madinah yanng menjadi domisili Imam Malik adalah juga menjadi domisili Rasulullah, sehingga
tidak mengherankan jika di dalam masyarakat Madinah banyak beredar hadis. Imam Malik
sendiri memiliki kitab hadis yang terkenal dengan nama al-muwaththa’.
Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dan Istihsan dalam berijtihad,
maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan mashlahah mursalah. Belakangan
metode mashlahah Imam Malik ini berkembang sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang
bernama Najmuddin ath-Thufi (657-716) dituduh sesat oleh sebagian ulama lainnya, karena
dipandang telah mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat liberal.

2. Masa Imam asy-Syafi’i


Masa kedua dari periode Imam Madzhab adalah ketika tampilnya Imam asy-Syafi’i (150-
204). Berbeda dengan masa sebelumnya, dimana metode ushul fiqh belum tersusun dalam satu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum dibukukuan. Orang yang pertama kali menghimpun
10
kaidah yang bercerai berai didalam satu himpunan ialah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah,
seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrosat (sebuah catatan kaki). Namun
yang dia tulis iti tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertema kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-
bahasan ilmu ushul fiqh sehingga tersusun dalam satu disiplin ilmu yang tertib (sistematis) dan
masing masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan yang mendalam ialah Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i yang meninggal pada tahun 204 H. Dalam kodifikasi itu telah
ditulis kitab ar-Risalah yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya, al-Robi’ al-Murodi. Itulah kitab
yang pertama kali dalam ilmu ushul fikih ini. Karena itu populerlah dikalangan ulama, bahwa
pendasar ilmu ushul fiqh adalah Imam asy-Syafi’i.
Kitab ar-Risalah sendiri, yang semula bernama al-Kitab,banyak berisi uraian tentang
metode istinbath hukum, yaitu al-Quran, as-Sunnah,Ijma’, fatwa ash-shahabi, dan al-qiyas. Baik
juga ditegaskan, secara umum kitab ar-Risalah asy-Syafi’i sangat menekankan al-qiyas sebagai
metode ijtihad. Bahkan dalam beberapa bagian dari kitab tersebut ia menegaskan, al-
qiyas  merupakan satu-satunya metode ijtihad. Dalam hal ini ia berkata, al-ijtihad huwa al-
qiyas  (ijtihad itu tiada lain adalah qiyas).Upaya pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh
sejalan dengan masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya. Imam asy-Syafi’i
banyak memetik manfaat dan mengemukakan sintesis atau tesis dan anti tesis dari berbagai
keunggulan dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan ilmiah yang terjadi antara kelompok
ulama Madinah dan kelompok ulama’ Irak. Kepakarannya dalam ilmu ini, terutama karena ia
adalah murid langsung dari Imam Malik ulama Madinah dan dari Muhammad bin Al-Hasan As-
yaibani, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Tambahan lagi, ia juga menyerap ilmu fiqh dari
para ulama di Mekah, dimana ia lahir dan dibesarkan.5

3. Masa Sesudah Imam Imam asy-Syafi’i


Setelah berlalunya masa Imam asy-Syafi’i, perkembangan ilmu ushul fiqh semakin
menunjukkan tingkat kesempurnaannya. Pada masa ini (masih dalam abad ketiga) lahir beberapa
karya dalam bidang ushul fiqh, antara lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karaya Ahmad bin Hanbal
(164-241 H), pendiri madzhab hanbali dan Ibthal al-qiyas karya Dawud azh-Zahiri (200-270 H),
pendiri madzhab Az-zahiri. Kitab terakhir ini merupakan anti tesis terhadap pemikiran Imam asy-
Syafi’i yang sangat mengunggulkaan qiyas dalam berijtihad.

5 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Mesir: Darul Fikri al-‘Araby, 1958), hlm. 7.

11
Agaknya, abad ketiga hijriyah merupakan puncak dan masa keemasan fiqh Islam, karena
pada masa itu, suasana perdebatan terbuka dalam ilmu fiqh sangat menggairahkan sehingga
bermunculan para ulama dalam bidang ilmu ini. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan suasana
yang sangat menggemberikan ini tidak berlangsung lama karena dicemari oleh pemikiran orang-
orang yang sebenarnya tidak memiliki keahlian dalam bidang ilmu fiqh. Mereka melahirkan
fatwa-fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan masyarakat, hal itu bukan saja fatwa
mereka yang saling bertolak belakang dengan fatwa-fatwa para ulama’ yang kenamaan, tetapi
juga karena fatwa mereka pada umumnya tidak dibangun pada landasan dalil dan metodologi
yang memenuhi standar. Akibatnya, pada pertengahan abad keempat, mulai terdengar isu
penutupan pintu ijtihad, keadaan ini diperparah dengan hilangnya rasa percaya diri para ulama
yang sebenarnya memiliki kemampuan berijtihad yang tampil pada masa itu, sehingga mereka
tidak berani berijtihad sendiri secara bebas. Mereka berkeyakinan, setelah Imam madzhab yang
empat, tidak ada lagi ulama yang memiliki bidang keilmuan mujtahid mutlak, disamping itu
mereka juga berpendapat, semua persoalan fiqh sudah dibahas ulama sebelumnya sehingga tidak
diperlukan ijtihad baru.

12
MATERI USHUL FIQIH KELAS X SEMESTER 2

Bab 1 : Aliran-aliran Ushul Fiqh dan kitab-kitab

Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal tiga aliran yang berbeda. Masing-masing
aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan membangun teori yang terdapat
dalam ushul fiqh. Ketiga aliran itu ialah Aliran Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin) dan Aliran
Hanafiyah dan Aliran Muta’akhirin.

a. Aliran Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin)


Aliran Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran ini
disebut syafi’iyah karena imam syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqh dengan
menggunakan sistem ini. Dan aliran ini disebut aliran mutakallimin karena dalam metode
pembahasannya didasarkan pada nazari, falsafah dan mantiq serta tidak terikat pada mazhab
tertentu dan mereka yang banyak memakai metode ini berasal dari ulama’ mutakallimin (ahli
kalam).6

Dalam menyusun ushul fiqh, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan didukung oleh
alasan yang kuat, baik berasal dari dalil naqli (al-qur’an dan sunnah) maupun dalil aqli (akal
pikiran). Penyusunan kaidah-kaidah ini tidak terikat kepada penyesuaian dengan furu’.
Adakalanya kaidah-kaidah yang disusun dalam ushul fiqh mereka menguatkan furu’ yang
terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya melemahkan furu’ mazhab mereka.

Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-
masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan
alasan yang kuat, baik dalil aqli maupun naqli. Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu
difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering tidak bisa menyentuh permasalahan praktis.
Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan, seperti penentuan tentang tahsin (menganggap
sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak). Dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan
dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan
tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah. selain itu,

6 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawa’id al-


Fiqhiyyah, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.t.),

13
aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap
kema’suman Rasulullah SAW. 

Kitab ushul fiqh yang disusun mengikuti aliran Syafi’iayah diantaranya ialah:
1. Al ‘Umdah oleh Abd Al Jabbar Al Mu’tazily. Dan syarahnya dalam kitab Al
Mu’tamad oleh Muhammad Ibn Ali Al Bashry Al Mu’tazily(wafat 436 H)
2. Kitab al-Burhan fi Ushu al-Fiqh oleh Abi al-Ma’aly Abd. Malik bin Abdillah al-Juwaini
al-Naisaiburi al-Syafi’I (w. 487 H).
3. Kitab al-Mustashfa min ilmi Ushul oleh imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazali al-Syafi’I (w. 505 H).
4. Kitab al-ikhkam fi ushul al-Ahkam oleh Abu Hasan Ali bin Abi Ali yang dikenal dengan  
sebutan Saifuddin al-Amidi al-Syafi’I (w. 631 H).

b. Aliran Hanafiyah
Aliran ini banyak dianut oleh ulama’ mazhab hanafi. Dalam menyusun ushul fiqh, aliran
ini banyak mempertimbangkan masalah-masalah furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka.
Tegasnya, mereka menyusun ushul fiqh sengaja untuk memperkuat mazhab yang mereka anut.
Oleh sebab itu, sebelum menyusun setiap teori dalam ushul fiqh, mereka terlebih dahaulu
melakukan analisis mendalam terhadap hukum furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Sistem
yang digunakan aliran ini dapat dipahami karena ushul fiqh baru dirumuskan oleh pengikut
mazhab hanafi, setelah Abu Hanifah pendiri mazhab ini meninggal.7

Diantara cirri khas aliran hanafiyah, bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fiqh mereka
semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan ushul fiqh mereka telah terlebih dahulu
disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka. Ini tentu berbeda dengan
aliran syafi’iyah atau mutakallimin yang tidak berpedoman kepada hukum furu’ dalam menyusun
ushul fiqh mereka. Konsekwensinya, tidak jarang terjadi pertentangan antara kaidah ushul fiqh
Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan kadang kala kaidah yang disusun aliran ini sulit diterapkan.

Kitab ushul fiqh yang disusun mengikuti aliran Hanafiyyah diantaranya ialah:

7 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami id., hlm. 183.

14
1. Kitab Ushul oleh Abi al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H)
2. Kitab Ushul al-Jashshash oleh Abi Bakar Ahmad Ali al-Jashshash (w. 370 H)
3. Kitab Ta’sis al-Nazar oleh Abi Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
4. Kitab Tahmid al-Fushul fi al- Wushul oleh Syamsu al-Aimah Muhammad bin Ahmad al-
Sarakhsi (w. 483 H)
5. Kitab Ushul oleh Fakhri al-Islam Ali Muhammad al-Bazdawi (w. 483)
6. Kitab al-Manar oleh Hafiz al-Din al-Nasafi (w. 790 H)
7. Al Ushul oleh Zaed Ad Dabusy (wafat 430 H)8

c. Aliran Muta’akhirin
Aliran yang menggabungkan kedua sistem yng dipakai dalam menyusun ushul fiqh oleh
aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Ulama’-ulama’ muta’akhirin melakukan tahqiq terahadap
kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran tersebut. Lalu mereka meletakkan dalil-
dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu’ fiqhiyyah.

Para ulama’ yang menggunakan aliran muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah
dan Hanafiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut
sebagai aliran muta’akhirin dan perkembangan terakhir penyesuaian kitab ushul fiqh, tanpak lebih
banyak mengikuti cara yang ditempuh aliran muta’akhirin.

Kitab ushul fiqh yang disusun mengikuti aliran Muta’akhirin diantaranya   ialah:

1 Kitab al-jam’u al jawami’ oleh Taju al-Din abd Wahab bin Ali al-Subki al-Syafi’I (w. 771
H).
2 Kitab al-Tahrir oleh Kamal Bin Hamam Kamal Al-Din Muhammad Bin Abd Wahid Al-
Hanafi (w. 861 H)
3 Kitab Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min Ilmi Al-Ushul oleh Muhammad bin Ali bin
Muhammad al-Syaukani (w. 1255 H)
4 Kitab ushu al-fiqh oleh Muhammad Khudari Beik (w.1345)
5 Kitab ilmu ushul al-fiqh oleh Abd Wahhab Al-Khallaf(w. 1955)
6 Kitab ushu al-fiqh oleh Muhammad Abu Zahrah (w. 1974).
7 Ushul Al Feqh oleh Zaky Ad Din Sya’ban.9

8 Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul,


9 Abd al-Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman, al-Fikr al-Ushul: Dirasah Tahliliyah
Naqdiyah (Jeddah: Dar al-Syarq, t.t.)

15
Adapun kitab yang terbaik pada masa ulama’ mutaakhirin adalah At Tahrir dan Jam’u Al
Jawami’. Karena keduanya paling lengkap, paling jelas lafadz-lafadznya dan paling mudah
dimengerti.

MATERI USHUL FIQIH KELAS XI SEMESTER 1

16
A. HUKUM TAKLIFI

Hukum Taklifi adalah tuntunan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah dan larangan.
Didalam Islam, hukum taklifi yang berupa bentuk tuntutan yang tidak memberatkan pelakunya
dan dalam batas kemampuan mukalaf. Imam hanafi menjelaskan hukum taklifi mencakup Wajib
(Fardu), Sunnah (Mandub), Haram (Tahrim), Makruh (Karahah) dan Mubah (Al-Ibahah).10

1. Wajib (Fardu)
Adalah aturan Allah SWT yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa apabila
dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan akan berakibat dosa. Misalnya,
perintah wajib sholat, zakat dan lainnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat.
Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di
sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 110)

2. Sunnah (Mandub)
Adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.
Apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan ditinggalkan karena berat dalam
melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya, puasa Senin-Kamis, ibadah shalat rawatib dan
lainnya.
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh
pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis”.

3. Haram (Tahrim)
Adalah larangan dalam mengerjakan sesuatu perbuatan ataupun pekerjaan. Pekerjaan yang
apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Misalnya,
larangan berjudi, zina dan lainnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

10 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, cet. ke-16 (Damaskus: Dar al-
Fikr, 2009 M/ 1430 H), hlm. 51.

17
”Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu
jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 32)

4. Makruh (Karahah)
Adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila pekerjaan tersebut
dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi apabila ditinggalkan maka akan mendapat pahala.
Misalnya, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap.
5. Mubah (Al-Ibahah)
Adalah sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan. Secara umum, mubah
ini juga dinamakan jaizatau halal.  Tidaklah berdosa dan berpahala jika ditinggalkan atau
dikerjakan. Misalnya, minum susu, duduk-duduk, dan lainnya.

B. HUKUM WAD'I

Hukum Wad’i adalah perintah Allah SWT yang berkaitan dengan sebab, syarat, atau
penghalang bagi adanya sesuatu. Dalam ushul fikih, hukum wadh’i terdiri dari, sebab (sabab),
syarat (syarth), penghalang (mani’), rukhsah (keringanan), azimah (hukum yang tidak berubah),
sahih (sah), dan batal (batil atau fasid).11

 Sebab (Sabab)
Adalah kondisi atau sifat yang menjadikan suatu sebab atau tanda keberadaannya karena
ada hukum syariat. Misalnya, datangnya Idul Fitri ditandai dengan kemunculan hilal.

 Syarat (Syarth)
Adalah sesuatu keberadaan hukum yang syariatnya tergantung kepadanya. Misalnya,
setelah melaksanakan wudlu seseorang belum dikatakan bahwa sholatnya sah karena
untuk melaksanakan sholat juga harus menghadap kiblat. Nabi Muhammad SAW

11 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 28

18
bersabda, “Bila kamu hendak mengerjakan sholat, hendaklah menyempurnakan wudlu
kemudian menghadap kiblat lalu takbir ” (HR Bukhari dan Muslim).

 Penghalang (Mani’)
Adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan batalnya hukum ataupun meniadakan
hukum. Misalnya, seseorang perempuan yang sedang haid tidak boleh melakukan sholat.

 Rukhsah (Keringanan)
Adalah suatu perubahan dari yang berat menjdai ringan atau juga  yang lebih mudah.
Dengan maksud Allah memberikan keringanandalam suatu kondisi dan situasi khusus.
Misalnya, keringan kepada orang yang sedang diperjalanan untuk mengasar sholatnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan apabila kamu bepergian di Bumi, maka
tidaklah berdosa kamu mengqasar sholat jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 101)

 Azimah (Hukum yang tidak berubah)


Adalah perbuatan yang disyari’atkan pada awalnya oleh Allah Swt yag tidak tertentu atau 
tergantung pada sutau halangan. Misalnya, Sholat 5 waktu sebelum uzur, puasa ramadhan
sebelum uzur dan lainnya.

 Sahih (Sah)
Adalah keadaan dan perbuatan yang telah memenuhi segala sesuatunya yaitu syarat dan
rukunnya. Maka dari itu perbuatan tersebut sudah memenuhi suatu ketentuan hukum.
Miasalnya, apabila sholat dikatakan sah karena sudah sesuai dengan diperintahkan syara’.

 Batal (Batil atau fasid)


Suatu keadaan ataupun perbuatan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya, tidak ada
akibat yang ditimbulkannya. Misalnya, batalnya jual beli minuman keras, karena minman keras
tidak bernilai harta dalam sebuah ketentuan syara’.

19
C. PENGERTIAN SUMBER HUKUM

Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi # tegas dan nyata.12
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi
sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah
SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama
hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang
erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun,
maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
 Macam-macam dalil yang disepakati

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at
islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu  105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi
dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1.      Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang
disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan
oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2.      Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3.      Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.      Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan
keadaan,antara lain, yaitu :
1.      Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
12 Muhammad Hudhari Beik, Ushul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr,1988 M/1409 H.),
hlm. 33-36.

20
2.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang
laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
3.      Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4.      Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar
sebagaimana rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1.      Ayat-ayat Makkiyah
2.      Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu
hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab
“Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum
atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan
Qiyas.[2]

2. Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan
manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari
sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah

Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut  hukum yang ada
dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai
penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum
sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-
unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :
1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai
tingkatan mutawattir
3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.

21
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan
berdasarkan sifat perawinya.
1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu
2.  Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya
sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung
menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya
sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.

Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat
tingakatan yaitu

1.   Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai
pada Nabi Muhammad SAW.
2.  Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas.
Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih
3.  Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada
nabi muhammad
4. Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

3. Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli
istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan
beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya
istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’
mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu
berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma
berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih
dari abad tertentu mengenai masalah hukum.
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya,
maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :
1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau
mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.

22
2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah
mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.

Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat
digolongkan menjadi :
1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak
pasti.

4. Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada
kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat
hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber
hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran,
timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin 
persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical deduction).
Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari
garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu
keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang
lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :

“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban


untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah :
ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya
akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan  demikian sifat memabukkan
dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap
minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.

23
MATERI USHUL FIQIH KELAS XI SEMESTER 2
 HUKUM

Hukum merupakan bentuk jamak dari al-hukmu , bentuk mashdar dari hakama yang
artinya penetapan atau putusan. Sedang menurut istilah, para ahli berbeda-beda pendapat dalam
memberikan definisi, diantaranya sebagai berikut :13

1. Hukum syara’menurut istilah para ahli ushul fiqh ialah Khitab Syar’i yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau
ketetapan. [2

2. Khitab (firman) Allah yang berhubungan dengan tingkah laku perbuatan orang mukallaf,
baik berupa tuntutan, pilihan maupun yang bersifat wadh’i. [3]

3. Hukum adalah kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,
baik bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan
penghalang[4].

 HAKIM

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum.Dalam fiqih, istilah hakim
semakna dengan qadhi.Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat
hukum syara’ secara hakiki.Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat
hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt. Firman-Nya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak

13 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 39

24
Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-
An’am: 57)

Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang lain. Para utusan Allah
hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak
menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar menyingkap tabir-
tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun secara adat mereka juga
terkadang disebut hakim.Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di atas.
Terbukti, mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-Rusul atau
khitab al-Mujtahidin . Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, apakah akal dengan sendirinya mampu mengetahui
hukum-hukum tersebut ataukah perlu perantara para rasul untuk dapat mengetahuinya.

 MAHKUM FIH

Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif
yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari
taklif ini tidak lain adalah sebagai bentuk uji coba/ ibtila’ dari Allah kepada para hambanya
supaya dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat
kepadaNya. Dengan demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan erat dengan perbuatan mukallaf
dan perbuatan inilah yang disebut dengan mahkum alaih.

Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu berupa taklif
ijab atau nadb maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya sebuah tindakan atau
perbuatan dan jika taklif itu berupa karahah atau haram, maka hukum tersebut akan terlaksana
pula dengan adanya tindakan/perbuatan meninggalkan. Jadi tindakan pencegahan atau
meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun (perbuatan).

 MAHKUM ‘ALAIH

Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan dengan hukum dari
syari’.
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang sah apabila
mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:

25
1. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia mampu memahami nash-
nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah dengan kemampuannya sendiri
atau melalui perantara. Hal ini penting, sebab seseorang yang tidak mampu memahami
dalil/petunjuk taklif, maka ia tidak mungkin melaksanakan apa yang telah ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan untuk memahami dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-
nash taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan merupakan penggerak untuk bertindak.
Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa ditemukan oleh indera zhahir, oleh karenanya syari’
mengimbangi dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan sesuatu yang riil, yang bisa
diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat baligh inilah seorang dianggap mampu
untuk memahami petunjuk-petunjuk taklif. Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup dalam
kategori mukallaf.

2. Seseorang itu diharuskan mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah.
Dalam penjelasan lain seseorang harus Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang
ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan. Sementara
kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Terkait dengan hal ini, Al-Amidi,
sebagaimana dikutip oleh az-Zuhaili mengatakan bahwa para cendikiawan Muslim sepakat bahwa
syarat untuk bisa disebut sebagai seorang mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang
ditaklifkan, sebab taklif adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil,
layaknya batu padat dan hewan.

26
MATERI USHUL FIQIH KELAS XII SEMESTER 1

 PENGERTIAN IJTIHAD

Dalam jurnal yang berjudul 'Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam', kata
ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”, yang memiliki arti “al-masyoqot” (kesulitan
atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan).14

Pengertian ijtihad juga dapat dilihat secara etimologi yaitu: “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan pengertian ijtihad secara
terminologi adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada
kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar
maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.

Abu Zahrah memberi pengertian ijtihad dengan “badzl faqih wus’ah fi istinbath al-ahkam
al-‘amaliyyah min adillatiha at tafshiliyyah”, yang artinya upaya seorang ahli fikih dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil rinci.

Imam al-Amidi menjelaskan bagaimana pengertian ijtihad, yaitu mencurahkan semua


kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak
mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.

Sedangkan menurut mayoritas ulama ushul fiqh, menjelaskan pengertian ijtihad sebagai
pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fikih untuk mendapatkan
pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syariat.

14 Al-Suyuthi, al-Jami‘ al-Shaghir, Juz I (t.tp.: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 130.

27
 FUNGSI IJTIHAD

Dasar dari ijtihad adalah Al Quran dan Sunnah. Jadi para ulama tidak sembarang
menentukan hukum dari suatu permasalahan. Seseorang yang mampu melakukan ijtihad disebut
sebagai mujtahid, dan untuk menjadi seorang mujtahid, terdapat beberapa syarat yang harus
dipenuhi seseorang.15

Fungsi ijtihad sendiri di antaranya adalah:

a. fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an


dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
b. fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
Islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman.
c. fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-
ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks
zaman dan kondisi yang dihadapi.

 RUKUN IJTIHAD

Sedangkan rukun ijtihad sendiri adalah sebagai berikut:

a. al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh
nash,
b. mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-
ijtihad dengan syarat-syarat tertentu,
c. mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dan
d. dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.

 SYARAT BAGI MUJTAHID

Terdapat banyak perbedaan untuk menentukan syarat-syarat dari seorang mujtahid.


Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:16

15 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat , Juz I (Mesir: Mushthafa al-Babi al-


Halabi, 1976), hlm. 11.
16 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh, I: 380-386.

28
a. Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena
itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
b. Mengetahui Asbab al-Nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui al-Qur’an secara
komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis.
c. Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum
dengan ayat yang sebenarnya telah di-nasikh-kan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
d. Mengetahui As-Sunnah
Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari
Nabi SAW.
e. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para
perawi hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam
menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis.
Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.

f. Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh


Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid
jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak
boleh dipergunakan.

g. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis


Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul,
yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut muncul.
h. Mengetahui Bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada
objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab.
i. Mengetahui Tempat-Tempat Ijma
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para
ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang bertentangan dengan hasil
ijma.
j. Mengetahui Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha untuk meletakkan

29
kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara
pengambilan hukum yang tidak ada nashhukumnya.
k. Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan
manusia.
l. Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat, problem, aliran
ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana interaksi saling memengaruhi
antara masyarakat tersebut.
m. Bersifat Adil dan Takwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar
proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinbat
hukumnya.

MATERI USHUL FIQIH KELAS XII SEMESTER 2

 PENGERTIAN TAQLID

Kata “taqlid”  berasal dari bahasa arab yakni “qallada”, “yaqallidu”, “taqlidan”  yang artinya


meniru.Menurut bahasa taqlid  yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber
atau alasannya, adapun orang yang di perbolehkan untuk bertaqlid yaitu orang awam (orang

30
biasa) yang tidak mengerti cara cara mencari hukum syari’at atau yang tidak beralasan Alqur’an,
Hadist, Ijma’, dan Qiyas.17

 PENGERTIAN ITTIBA'

Kata ittiba’  berasal dari bahasa arab yakni dari kata kerja atau fi’il “ittaba’a”, “yattbiu”,
“ittiba’an”, “muttabi’un”, yang artinya menurut atau mengikuti.Menurut bahasa ittiba’ yaitu
menerima perkataan orang lain dengan dalil yang lebih kuat atau mengetahui alasannya.

 PENGERTIAN TARJIH

Kata “tarjih” yakni menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut
berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya. Apabila salah satu dari dua dalil
tersebut berlawanan itu tidak di ketahui mana yang datangnya terkemudian, maka tidak akan
terjadi nasikh-mansukh dalam menghadapi keadaan yang demikian ini seorang mujathid
hendaklah meneliti diantara 2 dalil tersebut yang lebih kuat.

 PENGERTIAN TALFIQ

Kata  “talfiq”   yaitu mendatangkan cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah di
nyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaqlid kepada madzhab-madzhab serta mengambil
(menggabungkan) 2 pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan
cabang cabang. Sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan).contoh ; seseorang
mentalak 3 terhadap istrinya, kemudian mantan istrinya menikah dengan anak laki laki berusia 9
tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan suaminya yg pertama).
Dalam hal ini, suami keduanya bertaqlid kepada madzhab asy-syafi’i yg mengesahkan
pernikahan seperti itu. Kemudian ia menggauli wanita tersebut lalu menceraikannya dengan
bertalak  kepada madzhab imam ahmad tanpa melalui masa ‘iddah, sehingga suaminya yang
pertama boleh menikahinya kembali. Masalah talfiq ini sama halnya dengan masalah talfiq.

Ruang lingkupnya adalah dalam masalah masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (bukan merupakan
perkara-perkara qath’i atau pasti), berupa perkara perkara yang di sandarkan pada hukum syar’i
(yang pasti) yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka

17 Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh , hlm. 339-343

31
tidak boleh bertaqlid apalagi membuat talfiq didalamnya. Atas dasar itu, maka tak boleh
membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan (penghalalan) perkara yang
diharamkan seperti khamr (miras) dan zina. Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada)
dikalangan salaf (pendahulu umat ini),tidak di masa rasulullah s.a.w dan pada sahabatnya, tidakn
pula di masa imam imam (setelah mereka) dan para muridnya. Maka tidak ada praktek talfiq
sama sekali, karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yg tidak mungkin adanya
ijtihad.

 HUKUM TAQLID DAN TALFIQ


1. hukum taqlid

hukum taqlid ada yang mengatakan Haram, Wajib, dan Boleh.18


 HARAM ;
o Taqlidnya mujtahid mutlak.
Seseorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum
syari’ah haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid lain. Sebab, seorang
mujtahid mutlak berada pada urutan tertinggi dari para mujtahid. Di bawahnya
masih ada empat sampai lima level mujtahid. Maka mujtahid mutlak di haramkan
untuk bertaqlid dengan sesama mujtahid mutlak. Kalau ada seorang mujtahid tetapi
masih menggantungkan pendapat kepada mujtahid lain, maka statusnya bukan
mujtahid mutlak lagi.

o Taqlidnya kepada selain taqlid


Orang awam yg tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan
untuk bertaqlid kepada mereka yg statusnya orang awam juga. Maksudnya dalam
hal ini orang awam yang dia bertaqlid kepadanya hanya boleh berperan sebagai
imforman atas fatwa dari mujathid yg sesungguhnya.

o Taqlid kepada orang sesat

18 Wahbah al-Zhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami , hlm. 179.

32
Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu sudah tidak boleh, apalagi
bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama, hukumnya tentu haram lagi.

 WAJIB ;
o Tidak yang wajib hukumnya adalah taqlidnya kita semua sebagai orang awam
kepada para mujtahid yang memang memenuhi syarat ijtihad. Kita sebagai orang
awam, tentu tidak punya satupun syarat untuk jadi mujtahid yg bisa di akui secara
layak. Kalaupun satu syarat tidak kita milliki, apalagi yang semua syaratnya, tentu
lebih tidak punya lagi. Dengan keadaan sebagai orang awam seperti kita ini, maka
haramlah kita ini untuk melakukan ijtihad fiqih, yaitu melakukan istimbath hukum
hukum dari sumber syariah islam secara seenaknya sendiri.
 BOLEH
o Taqlid yang tidak mengapa untuk di lakukan, tidak merupakan kewajiban, juga
bukan merupakan perkara haram.

2. Hukum talfiq:
 HARAM
o Tidak boleh atau di larang, apa yang di nyatakan ulama ushul fiqih sebagai ijma’
yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama berbeda pendapat
menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan
dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat
melanggar wilayah kesepakatan.

 BOLEH
o Tidak adanya nash di dalam alqur’an ataupun as-sunnah yang melarang talfiq ini,
setiap orang berhak berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid dan berijtihad.
o Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli
ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad lain.

33
BAB III
PENUTUP

 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, Golongan syafi’Iyah mendefinisikan bahwa
ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mengetahui dalil-dalil fikih secara global, dan mengetahui
bagaimana cara istifadah (memanfaatkan dan mengambil faedah) dari dalil tersebut, serta
mengetahui siapa yang pantas untuk menggunakan dalil tersebut.
Objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil syari’ yang bersifat umum ditinjau dari segi
ketetapan-ketetapan hukum yang bersifat umum pula. Jadi seorang pakar ilmu ushul membahas
tentang qiyas dan kehujjahannya,tentang dalil ‘Amm dan yang membatasinya,dan tentang
perintah (amr) dan dalalahnya,demikian seterusnya.

 Saran
Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih banyak pembenahan-pembenahan maka dari itu
kami memohon kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan, sehingga nanti bisa
diaadakan perbaikan dalam makalah ini. Terima kasih banyak kepada teman-teman yang sudah
membantu dalam penyempurnaan makalah ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Logos, 2001

A. Djazuli, dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam), (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, Cet. 1, 2000

Abdul Haq, et all, Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya:

Khalista, Cet.2, 2006)

Bukhori, Alma, dan Donni Juni priansa, Manajemen Bisnis Syariah, Bandung:

Alfabeta. Cet. 1, 2009

Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. 2004

Burhan, Bungin, M, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana, cet 4, 2010

Ismail, Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif teori, Sistem, Dan Aspek Hukum,

Surabaya: PMN, Cet. 1, 2009

Hesti Widi Hartini, Wawancara, BMT Amanah Madina Waru Sidoarjo

J, Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta. Cet. 1,

2003

Kamal Muchtar, Ushul fiqh jilid 1, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995

Ghufron A, Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, Cet 1,2002

35
36

Anda mungkin juga menyukai