Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

IJTIHAD JAMA’IY DAN PRINSIPNYA DALAM MUHAMMADIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manhaj Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah

Disusun oleh:

Anas Shadiqi 201910020311004


Maftuh
Ihza Fauzan 201910020311038
Febiola Reskita 201910020311016

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kelembagaan majelis
tarjih dan tajdid Muhammadiyah”.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
bapak Agus Supriadi, Lc., M.H.I. pada Mata Kuliah Manhaj Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk mengenalkan “Ijtihad Jama’iy dan prinsipnya
dalam Mumahhadiyah” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Agus Supriadi, Lc., M.H.I. selaku
Dosen Mata Kuliah Manhaj Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tarjih, dan Manhaj Tarjih.....................................................................

2.2 Asal-usul dan Perkembangan Kegiatan Ketarjihan

.....................................................................................................................................

2.3 Tugas dan Fungsi Majelis Tarjih..............................................................................

BAB II PENUTUP

3.1 Referensi.................................................................................................................
BAB I

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijtihad Jama’iy

-Ijtihad secara Bahasa diambil darikata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran).

Secara istilah upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara
optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni.

-Jama’I berasal dari kata jama’ah yang berarti kelompok.

Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin, Ijtihad semacam
ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada
Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ketika itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang
mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang
dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan
pendapat orang seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr )

1.2. Syarat-Syarat Ijtihad Jama’iy

1.Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan dengan hukum itu, meskipun tidak hafal
diluar kepala.

2.Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu seperti Nahwu,
Shorof, Ma’ani, Bayan, Bad’i, agar dengan ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah
dengan cara berfikir dengan benar.

3.Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu sebagai
dasar berijtihad.

4.Mesti mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma’
itu.
5.Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

6.Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang
dhoif, mana yang maqbul dan mardud.

7.Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i ( asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-qoidah yang menerangkan


tujuan syara’ dalam meletakan beban taklif kepada mukallaf.

8.Kesepakatan para Mujtahid dalam suatu Ijtihad

1.3 Prinsip tidak terkait pada suatu mazhab

Ciri fundamendal Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian Islam (Islam puritan/ salafi-
reformis) adalah ketergantungannya yang sangat kuat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam manhaj Tarjih Muhammadiyah, dinyatakan bahwa sumber pokok ajaran agama Islam
adalah al-Quran dan as-Sunnah.

Hal ini ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah, yaitu antara lain:
Pertama,Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang
menyatakan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi
Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah” (BRM, 2005: 111).
Kedua,Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran
Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah.

Bagi Muhammadiyah, Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah wahyu yang bersifat final dan
absolut. Sedangkan tafsir Al-Qur’an merupakan ra’yu: buah pemikiran atau penjelasan para
ulama atas al-Qur’an yang terikat oleh ruang dan waktu. Karena itu pemahaman atas al-
Qur’an selalu bersifat terbuka, relatif, dan subjektif karena kemampuan akal manusia yang
terbatas. Muhammadiyah memandang bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, tafsir al-
Qur’an dimungkinkan untuk dikaji, dijelaskan, atau dikoreksi.

Karena itu kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah bagi Muhammadiyah itu memiliki tiga
makna, yaitu:

-beragama dengan sumber yang otentik murni, dan valid. Harus jelas dalilnya. Kalau hadits
harus yang shahih, sanadnya jelas, atau dalam bahasa Tarjih disebut dengan Sunnah
maqbullah.
-memilah antara wahyu dan ra’yu atau membedakan antara agama yang mutlak dan
pemahaman agama yang relatif dan dinamis. Agama dan wahyu tidak bisa berubah, tetapi
pemahaman agama bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

-keterbukaan pintu ijtihad, sehingga melahirkan pemikiran keagamaan baru untuk


menjawab realitas.

1.4 Tidak bermazhab sesuai dengan pesan Imam Mazhab

 Imam Abu Hanifah: “Apabila aku mengatakan sesuatu perkataan (pendapat) menyelisihi
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, maka tinggalkanlah pendapatku tersebut”.
 Imam Malik bin Annas: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa (mungkin) aku salah
dan (mungkin) aku benar. Maka perhatikanlah pendapatku, selama pendapatku itu
sesuai al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan selama pendapatku itu tidak sesuai dengan al-
Qur’an dan al-Sunnah, maka tinggalkanlah”.
 Imam al-Syafi’i: “Apabila engkau menemukan dalam kitab (pendapat)-ku menyelisihi
Sunnah Rasulullah Saw, maka katakanlah (ikutilah) yang disampaikan Rasulullah Saw dan
tinggalkan apa yang aku katakana (pendapatku) itu”.
 Imam Ahmad bin Hamal: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada
Imam Malik, Imam Syafii, Imam Auza’I dan Imam al-Tsauri. Namun ambillah (ikutilah)
dari mana mereka (para imam itu) mengambil yaitu (al-Qur’an dan Hadits)”.

1.5 Prinsip terbuka, Prinsip toleran, Prinsip dinamis

Toleransi artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang
lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan,
“keputusan tarjih mulai dari merunding sampai kepada menetapkan tidak ada sikap perlawanan,
yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh tarjih itu..” Pernyataan ini
menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak menegasikan pendapat lain apalagi
menyatakannya tidak benar. Tarjih Muhammadiyah memandang keputusan-keputusan yang
diambilnya adalah suatu capaian maksimal yang mampu diraih saat mengambil keputusan itu. Oleh
karena itu Tarjih Muhammadiyah terbuka terhadap masukan baru dengan argumen yang lebih kuat.

Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat dikritik dalam rangka
melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih
akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam “Penerangan
tentang Hal Tardjih” ditegaskan, “malah kami berseru kepada sekalian ulama supaya juga membahas
pula akan kebanaran putusan majelis tarjih itu dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat
dalilnya diharapkan supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalil yang lebih tepat dan
benar, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulang penyelidikannya, kemudian kebenarannya
akan ditetapkan dan digunakan.sebab waktu mentarjih itu ialah menurut sekdar pengertian dan
kekuatan kita pada waktu itu.” Oleh karena itu, koreksi dari siapapun akan diterima dengan lapang
dada sepanjang didukung oleh dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, dimungkinkan bagi
Majelis Tarjih untuk mengubah keputusan yang pernah ditetapkan seperti pencabutan larangan
menempel gambar KH. Ahmad Dahlan karena kekhawatiran terjadinya syirik sudah tidak ada lagi,
pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah, dsb.

Dinamis artinya tarjih mampu mengikuti perkembangan zaman yang disertai dengan semakin banyak
permasalahan baru yang hadir. Jadi ketika ada permasalahan baru yang belum ada dasar hukumnya,
maka akan dibahas dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) sampai mendapatkan solusi dari
permasalahan tesebut.

1.6 Prinsip memudahkan dalam amalan agama (taysir)

Taysir artinya tarjih dapat menjadi panduan yang mudah difahami dan diamamalkan oleh setiap
muslim khususnya warga Muhammadiyah dalam menjalankan kehidupan beragama. Dalam
membuat putusan masalah, Majelis Tarjih mengedepankan prinsip al-taysir dan Majelis
Tarjih menolak sikap tasyaddud dalam praktik agama.

BAB III
Penutup

3.1. Referensi

Al-Ghazali, Abu Hamid. (1993). al-Mustashfa. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Khalid, H. (2009). al-Ijtihad al-Jama’i fi alFiqh al-Islami. Dubai: Markaz Jam’ah al-Majid li al-
Tsaqafah wa al-Turats.

Al-Qardhawi, Yusuf. (1996). al-Ijtihad fi alSyari’ah al-Islamiyyah. Kuwait: Dar al-Qalam.

Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta : Panitia Musyawarah Nasional


Tarjih Muhammadiyah XXX, 2018).

Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta

Anda mungkin juga menyukai