Oleh :
IV. Kelebihan.
V. Kekurangan.
Buku ini terdiri dari Delapan Bab, dengan 265 halaman. Di awal buku
ini memaparkan sejarah pers, beberapa pengertian dan teori yang
menyertainya. Buku ini juga memaparkan, bahwa pers atau media massa
menjadi salah satu pilar demokrasi, dari tiga pilar demokrasi yang sudah
ada, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers menjadi penyeimbang dan
alat kontrol bagi jalannya pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan.
Pers seolah-olah menjadi pisau yang tajam untuk membedah suatu kasus
yang muncul di tengah-tengah masyarakat maupun di lingkup
pemerintahan. Segala jenis informasi mencuat melalui media massa, baik
cetak, eletronik maupun online. Kemajuan teknologi menjadikan informasi
sampai ke tangan masyarakat dalam hitungan detik saja.
Buku yang dibidani oleh tiga orang pakar Hukum, Edy Susanto, SH,
MH., Prof. Mohammad Taufik Makarao, SH, MH, dan Hamid Syamsudin,
SH. Telah melengkapi hasanah referensi tentang Hukum Pers di Indonesia.
Buku ini telah mengupas secara keseluruhan tentang Hukum Pers,
pengertian pers, sejarah pers, fungsi, organisasi pers, sampai dengan
ketentuan pidana dan perdata pers.
Kondisi ini dirasakan betul oleh mereka yang terlibat langsung dalam
proses penerbitan berita, khususnya para wartawan. Mereka berada pada
posisi yang dilematis, antara kepentingan pemilik modal dari perusahaan
persnya dengan kepentingan masyarakat. Posisi dilematis ini dirasakan di
hampir semua media massa, baik cetak, elektronik maupun online. Seperti
diketahui, kepentingan pemilik modal adalah bagaimana media massa yang
didirikan itu mampu menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga
paling tidak mampu membayar gaji para wartawannya dengan layak. Tanpa
keuntungan itu, maka media massa tersebut terancam bangkrut dan para
karyawan dan wartawan akan kehilangan pekerjaannya. Sementara para
wartawan yang memiliki visi idealis sebagai penyambung lidah rakyat,
harus terkendalan dengan kepentingan pemilik modalnya.
Dalam hal ini, posisi Dewan Pers, sebagai lembaga yang berfungsi
melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain menjadi tidak
efektif. Karena justru pemilik modallah yang menjadi batu sandungan dari
kemerdekaan per situ sendiri. Apalagi banyak pemilik modal perusahaan
pers yang bergabung dengan kekuasaan atau sebaliknya, menjadi oposisi
bagi kekuasaan itu sendiri. Sehingga seringkali terlihat, antara satu media
dengan media yang lain berbeda pendapat dalam suatu pemberitaan.
Masyarakat menjadi antipasti terhadap media, jika kondisi ini terus terjadi.
Belum lagi media abal-abal, yang tidak jelas sumber dan datanya, yang
sering banyak di-share di media sosial. Banyak di antara masyarakat yang
terjebak pada kondisi ini. Bahkan perang opini antara satu masyarakat
dengan masyarakat yang lain sangat luar biasa, akibat mendapat informasi
yang berbeda dari media yang berbeda pula.
Pro dan kontra itu sebenarnya tidak perlu terjadi, jika masing-masing
pihak, baik dari eksektuf, legilatif, pemilik modal media massa dan
wartawan selaku praktisi di lapangan, memiliki komitmen yang sama untuk
tetap menjunjung tinggi kemerdekaan pers. Namun di sisi lain, juga ada
komitmen untuk menjadi media massa yang bertanggung jawab. Masing-
masing harus duduk bersama, membahas bersama apa kelemahan dari
undang-undang yang sudah ada ini, dana apa kelebihan yang harus
dipertahankan dari undang-undang tentang pers ini.
IV. Kelebihan
Setelah saya membaca buku ini, dimana saya juga masih sangat awam
terhadap ilmu hukum dan pers itu sendiri, maka saya tidak menemukan
kekurangan dalam buku ini. Bahkan saya memperoleh banyak informasi dan
ilmu yang bermanfaat.
VI. Kesimpulan.
Kesimpulan diatas merupakan esensi dari isi buku yang dibidani oleh
Drs. Suhasril, SH,MH dan Prof. Mohammad Taufik Makarao, SH, MH.
Namun, pada sampul depan sepertinya perlu mendapat sentuhan apresiatif
lagi guna memberi ilustrasi yang lebih kongkrit, tentang Praktek Monopoli
dan Persaingan Tidak Sehat. Sehinga, gambar pada sampul depan buku ini,
bisa berbicara banyak tentang apa saja yang menjadi esensi buku ini
diterbitkan.
Pembahasan buku ini dibagi beberapa hal yang dianggap oleh penulis
sebagai inti dari hukum persaingan usaha, yaitu larangan perjanjian
horisontal (horisontal restraint of trade), perjanjian vertikal (vertikal restraint of
trade), posisi dominan dan penyalahgunaannya (abuse of dominant position)
serta mengatur mengenai penggabungan dan pengambilalihan saham
perusahaan. Setiap pembahasan diatas disertai contoh kasus nyata yang
porsinya lumayan banyak.
Dalam pembahasan tentang larangan perjanjian horisontal didominasi
kasus persengkongkolan dalam proses pengadaan barang dan jasa di
instansi pemerintah. Masuknya KPPU mengawasi proses tender sangat tepat
sebab saat itu (bahkan masih ada sampai sekarang) proses tender hanya
formalitas saja. Di antara peserta tender tersebut melakukan semacam kartel
dalam bentuk arisan atau perjanjian diantara peserta tender, siapapun
pemenangnya akan membayar fee tertentu kepada peserta lain sebagai
perusahaan pendamping. Menurut buku ini kemenangan keputusan KPPU
dalam kasus penjualan dua buah kapal tanker Pertamina adalah
kemenangan terbesar yang dapat menjadi shock therapy bagi instansi/BUMN
lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.
Hal yang menarik lain adalah pendapat penulis buku yang tidak
setuju terhadap ketentuan larangan mini market dan supermarket menjual
barang yang sama lebih murah dengan yang ada di warung atau toko
sekitarnya. Ketentuan ini ada dalam Perda No. 2 tahun 2002 tentang
Perpasaran Swasta yang dikeluarkan Pemprov Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta, khususnya Menurut penulis buku ini ketentuan ini tidak sesuai
dengan konsep Undang-Undang Antimonopoli. Alasannya minimarket atau
supermarket memasok barangnya dalam jumlah yang lebih banyak sehingga
mendapatkan harga yang lebih murah.
IV. Kelebihan.
Buku ini sangat lengkap, mulai dari sisi akademis sampai dengan hal-
hal yang bersifat prkatis. Contoh-contoh kasus yang ditangani oleh KPPU
juga menjadi perbincangan dalam buku ini.
Terakhir, buku ini terasa padat, sehingga bagi para pembaca yang
pernah mendalami topik persaingan usaha tidak akan menemui kesukaran
untuk memahami kasus-kasus di dalam buku ini. Namun, bagi pembaca
yang masih awam disarankan membaca dulu UU No. 5/1999 dan buku
lainnya yang porsi penjelasan teorinya lebih banyak.
V. Kekurangan.
Mungkin buku ini perlu lebih terbuka lagi dalam memberikan solusi
bagi para Pengusaha kecil. Seperti misalnya, agar para pedagang kecil
berani membentuk kartel pembelian bersama (oligopsoni) guna mendapatkan
barang dengan harga yang lebih murah, atau tips-tips untuk menghindari
larangan praktek-praktek usaha yang tidak sehat.
VI. Kesimpulan.
Buku ini dibidani oleh tiga orang Pakar Hukum, yaitu : Prof.
Mohammad Taufiq Makarao, SH, MH; Drs. M. Sadar, MH; dan Habloel
Mawardi, SH. Mohammad Taufik Makarao, lahir di Gorontalo pada 1961.
Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar dan
memperoleh gelar Sarjana Hukum tahun 1985. Mengambil program pasca
sarjana (S2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan memperoleh gelar
Magister Hukum tahun 1997. Sekarang menjadi staf pengajar (dosen)
Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta; dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai Sulawesi Tengah;
dosen Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-
syafi’iyah Jakarta; dosen S1 dan S2 STIH Iblam Jakarta.
Ada dua asumsi dalam melihat posisi konsumen di era pasar bebas.
Pertama, posisi konsumen diuntungkan. Dimana konsumen lebih banyak
punya pilihan dalam menentukan berbagai kebutuhan baik berupa barang
dan jasa, dari segi jenis/ macam barang, mutu, maupun harga. Kedua, posisi
konsumen khususnya di negara berkembang di rugikan. Mengingat masih
lemahnya pengawasan dibidang standardisasi mutu barang, lemahnya
produk perundang-undangan akan menjadi konsumen negara dunia ketiga
menjadi sampah berbagai produk yang di negara maju tidak memenuhi
persyaratan untuk di pasarkan.
IV. Kelebihan.
V. Kekurangan.
VI. Kesimpulan
VI. Kesimpulan.
Buku ini adalah diambil dari penelitian skripsi saudara afif alamsyah
di fakultas hukum Universitas Indonesia dengan judul “Analisis Yuridis
dalam perubahan Bisnis dari Bank Konvensional ke Bank Syariah
(Implementasi Perubahan Kebijakan PT. Bank Aceh). Penulis memulai
dengan latar belakang Perbankan Islam berdasarkan perkembangan
kebijakan dimulai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan. Dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang
merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992. Dilanjutkan dengan UU
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Seperti yang disebutkan
dalam pasal 21 UU no. 1998 Bank komersial dapat didirikan dalam salah satu
bentuk hukum berikut antara lain Perseroan terbatas, koperasi dan
perusahaan pemerintah daerah. Seperti yang terdapat dalam pasal 7 UU No.
21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah danpasal 2 peraturan BI No.
11/3/PBI/2009 bentuk badan hukum bank Syariah adalah perusahaan
terbatas. Karena itu bank harus memiliki anggaran dasar dan juga
memenuhi persyaratan yang telah ditur dalam UU No. 40 Tahun 2007
tmengenai perseroan terbatas tentang pembentukannya. Disamping
memenuhi dasar persyaratan anggaran dasar ada beberapa persyaratan lain
yaitu penunjukan anggota komisioner, direktur dan dewan pengawas
Syariah yang harus disetujui oleh Bank Indonesia terlebih dahulu, peraturan,
nomor, tugas, wewenang, tanggungjawab dan hal-hal lain tetnatang susunan
komisioner, direktur dan dewan pengawas Syariah harus sesuai dengan
hukum yang berlaku, rapat umum pemegang saham bank menentukan
tugas manajemen, remunerasi dewan komisaris dan direksi, laporan
keuangan, penunjukan dan imbalan akuntan publik, penggunaan laba, dan
lainnya yang secara rinci diatur dalam peraturan BI, dan RUPS yang
dipimpin oleh presiden komisaris atau kepala komisaris. Selain itu pula
dibutuhkan persetujuan prinsip dan lisensi bisnis dari Bank Indonesia.
Selain tata cara pendirian bank Syariah, ada juga Unit Usaha Syariah
adalah unit kerja bank konvensional sebagaimana diatur dalam Peraturan BI
No. 11/10/PBI/2009 yang dirubah dengan Peraturan Bi No.
15/14/PBI/2013. Ada pula, kebijakan perpisahan yang menjadi perbuatan
hukum dari perusahaan untuk memisahkan bisnis menjadikan seluruh asset
dan kewajiban perusahaan beralih secara hukum kepada satu atau lebih
perusahaan atau sebagian asset dan kewajiban berpindah kepada
perusahaan. Cara terakhit ialah konversi bank konvensional menjadi bank
Syariah. Ada pula cara lain yaitu merger dan konsolidasi serta akuisisi.
Melihat proses konversi bank aceh dari bank konvensional menjadi bank
Syariah penulis menyimpulkan konversi tersebut telah menggunakan UU
No. 40 tahun 2007 dan Peraturan BI No. 11/15/PBI/2009 sebagai dasar
pendirian. Pemegang Saham, dasarnya keinginan masyarakat aceh. Nasabah
bank menyetujui kebijakan konversi menjadi bank Syariah aceh. RUPS,
dewan direksi dan pimpinan teap butuh uji kelayakan sekalipun mereka
adalah orang yang sama, hanya ada perubahan struktu dengan keluarnya
karena penghapusan UUS, karena kemampuan bank aceh sendiri, asset,
kontrol pemegang saham dan kompetensi pemegang saham inti dan segala
upaya dalam proses transisi bank aceh.
X. Kelebihan.
XII. Kesimpulan.
Perlindungan anak dan kekerasan dalam rumah tangga, keduanya tidak bisa
dipisahkan dan salin berkaitan bahkan telah memakan cukup banyak korban
dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai
bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya
dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan
pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Dengan berbagai
penjabaran peraturan perundang-undangan yang ada telah menjadi bukti
nyata upaya pemerintah serius dalam upaya perlindungan anak dan
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, tinggal dilihat dalam tahap
pelaksanaan peraturan tersebut.