________________________________________________________________________
Penyusuan :
YOGYAKARTA
2020
Modul MK. Pendidikan Agama Islam ini merupakan “literatur dinamis” yang senantiasa
dapat diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan
dan perubahan zaman. Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan
kualitas modul ini. Terahirkalinya, sumber ilmu dan kebenaran adalah dari Sang Khaliq,
maka secuil ilmu disini hanyalah debu dari luasnya ilmu Allah SWT. Wallahualam
bisshowab.
Bisa kuliah di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) merupakan satu anugerah
bagi mahasiswa, maka rawatlah anugerah itu dengan belajar yang giat, ibadah yang
taat, dan menjadilah insan ulul albab yang banyak manfaat.
Penyusun
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
DAFTAR ISI
MODUL I .............................................................................................................................
Pengantar Pendidikan Agama Islam
1. Dasar dan Filosofi PAI di Perguruan Tinggi
2. Tujuan dan Peranan PAI
3. Pengantar “Faham Agama Islam”
4. Kerangka Dasar Ajaran Islam
5. Karakteristik Islam
MODUL II
Sumber Ajaran Islam :
1. Al-Qur’an :
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
MODUL III
Kerangka Dasar Ajaran Islam
1. Pengertian Kerangka Dasar
2. Akidah
3. Syari’ah
4. Akhlak
5. Hubungan Antara Akidah, Syari’ah, dan Akhlak
MODUL V .............................................................................................................................
Konsep Ibadah Islam
1. Pengertian Ibadah
2. Macam-macam Ibadah
3. Tujuan dan Syarat Ibadah
4. Niat dan Pengamalan Ibadah
MODUL VI............................................................................................................................
Konsep Akhlak Islam
1. Pengertian Akhlak
2. Sumber dan Ruang Lingkup Akhlak Islam
3. Kriteria kemulian Akhlak
4. Konsep Pembentukan Akhlak sebagai Karakter Islami
5. Shiroh Keteladanan Akhlak Para Tokoh Islam
MODUL IX............................................................................................................................
Religiusitas Aparatur Pertanahan
1. Pendahuluan
2. Hakikat dan Prinsip Bekerja Dalam Islam
3. Pedoman Bekerja Sesuai Syariat Islam
4. Aparatur Religius dan Profesional
MODUL X .............................................................................................................................
Konsep Anti Korupsi dalam Islam
1. Pendahuluan
2. Konsep Hadiah (Ghulul) dan Gratifikasi
3. Konsep Risywah (Suap) dan Khianat
4. Solusi Melawan Korupsi
Jadi, agama adalah jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia
dalam kehidupannya di dunia ini supaya lebih teratur dan mendatangkan
kesejahteraan dan keselamatan. Setelah agama Nasrani masuk ke
Indonesia, muncul istilah baru yang diidentikkan dengam istilah agama,
yaitu “religion” (bhs Inggris) yang berasal dari bahasa Latin yaitu dari
kata “relegere” yang artinya berpegang kepada norma-norma. Dalam
bahasa Indonesia kata religion dikenal dengan sebutan “religi” dibaca
reliji. Istilah ini erat kaitannya dengan sistem dan ruang lingkup agama
Nasrani yang menunjukkan hubungan tetap antara manusia dengan
Tuhan saja. Dalam Islam kata agama merupakan arti dari kata “ad- diin”
yang berarti pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan
hubungan manusia dengan manusia, termasuk dengan dirinya sendiri dan
alam lingkungan hidupnya (horisontal).
Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini
merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam
merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau
senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik
dan kekacauan.
ََ ُ َ ْ َ ْ َ ََ ََُْ َ ْ ُ ْ َ
َ
ي إقتتلوإ فأ ْص ِل ُحوإ َب ْين ُه َما ۖ ف ِإن َبغت ِؤ ْحدإه َما عَل َوإ ْن َط ِائ َف َت ِان ِمن إلمؤم ِن ن
ِ
َّ ْ َ ٰ َ َ ْ ِ ُ ْ َ ٰ َ َ ُ َّ َ َ ْ ن َ ََّ ٰ َ ن
َإَّلل ۚ َفإ ْن َف َاء ْت َف َأ ْصل ُحوإ َب ْي َن ُهما
ِ ِ ِ ؼء ِؤَل أم ِر ْ إْلخرى ف َ ْق ِاتلوإ إل ِ يت تب ِ يغ حت ت ِ ي
ْ َ َّ ب ْال َع ْدل َوأقس ُطوإ ۖ ؤ َّن
َإَّلل ُُح ُّ إل ُمقسط ن
ي ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. 49 :
9).al hujurat
ً َ َ َ ْ َ َّ َ َ َّ َ ْ ُ َ ُ َ َّ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َّ ً ُ َ ْ َ ْ َ َ
ۗ َّلل وهو مح ِسن وإتبع ِملة ِؤبر ِإهيم ح ِنيفا
ِ ِ ومن أحسن ِدينا ِممن أسلم وجهه
ً َ َ َ ْ ُ َّ َ َ َّ َ
يم خ ِليل وإتخذ إَّلل ِؤبر ِإه
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan
Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. 4 : 125) ad
dukhon
Islam pada hakikatnya adalah aturan atau undang – undang Allah yang
terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang meliputi perintah dan
larangan serta petunjuk supaya menjadi pedoman hidup dan kehidupan umat
manusia guna kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Secara umum aturan itu
dibagi menjadi 3 hal pokok, yaitu Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.
A. Aqidah
Aqidah adalah sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktivitas muslim.
Ajaran Islam berisikan tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini, dan
diimani oleh setiap muslim. Karena agama Islam bersumber kepada kepercayaan
dan keimanan kepada Allah swt, maka aqidah merupakan sistem kepercayaaan
yang mengikat manusia kepada Islam. Seorang manusia disebut muslim jika
dengan penuh kesadaran dan ketulusan bersedia terikat dengan sistem
kepercayaan Islam. Karena itu, aqidah merupakan ikatan dan simpul dasar dalam
Islam yang pertama dan utama.
Aqidah dibangun atas 6 dasar keimanan yang lazim disebut Rukun Iman.
Rukun iman meliputi : iman kepada Allah swt, para malaikat, kitab – kitab, para
artinya “ Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepaada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang diturunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-
Nya, Rasul-Nya, hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya”.
1. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir, mengandung syariat yang
menyempurnakan syariat – syariat yang diturunkan Allah sebelumnya.
2. Meyakini bahwa Islam adalah satu- satunya agama yang benar di sisi Allah.
Islam dating dengan membawa kebenarana yang bersifat absolute guna
menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selaras dengan fitrahnya.
3. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang universal serta berlaku untuk
semua manusioa dalam segala lapisan masyarakat dan sesuai dengasn
tuntutan budaya manusia
B. Syariáh
Komponen Islam yang kedua adalah syari’ah yang berisi peraturan dan
perundang- undangan yang mengatur aktifitas yang seharusnya dikerjakan
manusia. Syari’at adalah sistem nilai yang merupakan inti ajaran Islam.
Syari’ah aatau sistem nilai Islam yang diciptakan oleh Allah sendiri. Dalam
kaitan ini, Allah disebut Syaari atau pencipta hukum.
Artinya : “Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya
beribadah kepada- Ku “
C. Akhlak.
Akhlaq merupakan komponen dasar Islam yang ketiga yang berisi
ajaran tentang perilaku atau sopan santun. Akhlaq maupun syari’ah pada
dasarnya membahas perilaku manusia, tetapi yang berbeda di antaranya
adalah obyek materia. Syari’ah melihat perbuatan manusia dari segi
hukum yaitu : wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan aklaq
melihat perbuatan manusia dari segi nilai / etika, yaitu perbuatan baik
ataupun buruk.
5. Daftar Pustaka
Prof. Dr Azra Azyumardi. 2002, Buku Teks Pendidikan Agama Islam. Jakarta 18
Agustus 2002 Direktorat Perguruan Tinggi.
6. Rangkuman
Sebagai generasi muda Islam yang masih memiliki waktu yang panjang,
hendaknya para mahasiswa Muslim menyadari hal tersebut, sehingga termotivasi
untuk mendalami ajaran Islam yang utuh dan bisa mengamalkan ajaran-ajaran
Islam dengan baik dan benar. Dengan bekal ajaran Islam yang cukup, diharapkan
aktivitas yang dilakukan, terutama aktivitas ibadah, menjadi berkualitas dan
dapat dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt. Untuk menghasilkan
akhlak atau karakter mulia – yang merupakan citacita setiap Muslim, juga salah
satu tujuan pendidikan nasional Indonesia – dalam konsep Islam harus dimulai
dari membangun fondasi yang kuat, yakni mendasari dengan akidah atau iman
yang kokoh. Dengan iman yang kokoh pasti akan tumbuh semangat yang tinggi
untuk melaksanakan seluruh aturan Allah baik yang ada dalam al-Quran maupun
Sunnah, baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah, dengan baik dan
penuh keikhlasan semata-mata karena Allah, tanpa ada tendensi lainnya. Jika
semua aturan Allah ditaati dan dilaksanakan pastilah akan terwujud akhlak atau
karakter mulia pada diri seseorang. Karena itu, pemahaman yang benar akan
konsep dasar Islam menjadi sangat penting untuk membangun komitmen moral
untuk melaksanakan seluruh ajaran Islam
7. Tes Formatif
1) Apa yang anda Fahami tentang kerangka dasar ajaran Islam.
2) Jelskan hubungan antara Syariah, Aqidah dan Akhlak dalam kehidupan
3) Sebutkan faktor-faktor yang melatar belakangi ketidak sesuaian ibadah
dengan realitas kehidupan.
1. Al-Qur’an :
a. Pengertian Al-qur’an
Adapun kata Qur’an, dari segi isytiqaqnya (asal usul kata), terdapat
beberapa perbedaan pandangan dari para ulama. Antara lain, sebagaimana
yang diungkapkan oleh muhammad bin Muhammad Abu Syaibah (1992) dalam
kitab Al-Madkhal li Dirasah al-Qur’an al-Karim, sebagai berikut:
1. Qur’an adalah bentuk masdar dari qara’a , dengan demikian, kata Qur’an
berarti “bacaan”. Kemudian kata ini selanjutnya, sebagaimana bagi kitab
suci yang diturunkan oleh Allh swt. Kepada nabi Muhammad saw, pendapat
ini didasarkan pada firman Allah: Artinya “apabila kami telah seesai
membacanya maka ikutilah bacaannya. (QS. Al Qiyamah : 18). Antara lain
yang berpendapat demikian adalah al-Lihyan (w.215 H).
2. Qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan).
Selanjutnya digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw, alas an yang dikemukakan adalah karena Al-
Qur’an terdiri dari sekumpulan suruh dan ayat, memuat kisah-kisah,
perintah dan larangan, dan juga karena Al-Qur’an mengumpulkan inti sari
dari kitab- kitab yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini, antara lain
dikemukakan oleh al-Zujaj (w.311 H).
3. Kata al-Qur’an adalah ism alam, bahkan kata bentukkan dan sejak awal
digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi Muhammad saw, pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’y
(w.204 H).
Menurut Abu Syahbah, dari ketiga pendapat di atas, yang paling
tepat adalah pendapat yang pertama. yakni bahwa Al-Qur’an dari segi
isytiqaqnya, adalah bentuk masdar dari kata qara’a.
Sedangkan Al-Qur’an menurut istilah, antara lain, adalah: Firman
Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang memiliki
kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara
mutawatir, yang tertulis dalam mushhaf, dimulai dengan surah al-Fatihah
dan diakhiri dengan surah al-Nas. (Muhammad Abu Syahbah: 1992)
M. Qurais Shihab (1997) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai : “firman-
Dasar yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi
adalah wahyu yang wajib diikuti adalah mimpi Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam agar menyembelih putranya, Ismail ‘alaihis salam. Allah ta’ala
berfirman:
Artinya: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang
sangat sabar. Tatkala anak itu telah sampai pada umur sanggup
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,
maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia menjawab, ‘Wahai
ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah
Oleh karena itu, sangat tepat apa yang pernah di kemukakan oleh al-
Wahidi an-Naisaburi bahwa “tidak mungkin bisa memahami suatu ayat
tertentu tanpa mengetahui latar belakang sejarah turunnya ayat tersebut”.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa “asbabun nuzul adalah bidang ilmu al-
Qur’an yang paling penting untuk dicermati dan diperhatikan, sebab
penafsiran dan pengungkapan maksud dari suatu ayat tidak akan dapat
dilakukan tanpa mengetahui kronologis yang menjadi penyebab turunnya
ayat tersebut”.
a) Untuk membersihkan aka] dan menyucikan jiwa dari bentuk syirik serta
memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempuma bagi Tuhan
seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia
b) Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa
umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama
dalam pengabdian kepada Allah SWT dan pelaksanaan tugas
kekhalifahan.
c) Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bukan saja antar suku atau
bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dan akhirat,
natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 21
kebenaran, kesatuan kepribadian, manusia, kesatuan kernerdekaan dan
determinasi, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya
berada di bawah satu keesaan, yaitu keesaan Allah SWT.
d) Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerjasama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bemegara melalui musyawarah dan
mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
e) Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia,
dalam bidang sosial ekonomi, politik, dan juga agama.
f) Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok
kehidupan masyarakat manusia.
g) Untuk memberi jalan tengah antar falsafah monopoli kapitalisme dengan
falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummat wassathan yang
menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran.
h) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi. Guna menciptakan satu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan
paduan Nur Ilahi ( 1996: 12-13)
2. As-Sunnah (Hadist )
a. Pengertian As-sunnah
Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum Islam dikarenakan
kekuatan otoritatif yang dimilikinya. Posisi yang begitu penting meletakan
sunnah sebagai sumber yang harus dijadikan referensi dalam pengambilan
dan penetapan setiap keputusan Hukum, menurut Imam Syafii sunnah yang
valid hanya terdapat dalam teks hadist yang diperoleh melalui metode
transmisi periwayatan tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Dengan
batasan demikian berarti sunnah identik dengan hadist yaitu informasi
tentang Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu Yusuf al -qaradawi, seorang pemikir termuka yang berasal
dari mesir sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber dasar hukum Islam
yang kedua setelah al-qurán, secara sederhana ia menyatakan bahwa sunnah
berfungsi untuk menjelaskan maksud-maksud al-qurán, baik berupa
penegasan, pembatasan, atau penetapan Hukum baru. Sunnah yang
menentukan peran al-qurán, sedangkan al-qurán itu sendiri hanya dapat
difahami secara penuh dan dapat diaplikasikan secaara benar hanya karena
pertolongan Sunnah, namun dari berbagai peran tersebut harus pula
ditegaskan bahwa otoritas sunnah tidak boleh keluar dari lingkaran batas-
batas al-qurán itu sendiri.
Dari dua pendapat itu dapat ditarik suatu pengertian bahwa as-sunnah
adalah pensarah Al-Qur’an, karena Rasulullah bertugas menyampaikan Al-
Qur’an dan menjelaskan pengertiannya. Maka As-asunnah menerangkan
ma’na Al-Qur’an, adalah dengan cara:
1. Menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti
menerangkan waktu-waktu sembayang, bilangan raka’at, kaifiyat ruku’,
kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat, waktu-waktu memberikan zakat,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 23
macam-macamnya dan cara-cara mengerjakan haji. Karena inilah
Rasulullah s.a.w. bersabda: Artinya “ambillah olehmu dariku perbuatan-
perbuatan yang dikerjakan dalam ibadah haji”.
2. Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur’an seperti
mengharamkan kita menikahi seseorang wanita bersamaan dengan
menikahi saudaranya ayahnya, atau saudara ibunya, seperti
mengharamkan kita makan binatang-binatang yang bertaring.
3. Menerangkan ma’na lafad, contoh seperti mentafsirkan al maghdlubi
‘alaihim dengan orang yahudi dan mantafsirkan adldlallin, dengan orang
nasrani
Sunnah berdiri sebagai penjelas maksud al-Qur’an, penjamin makna al-
Qur’an dan pelengkap perintah-perintah yang ada dalam al-Qur’an, sehingga
al- Qur’an tidak bisa dipahami tanpa sunnah, Qur’an tidak bisa mandiri tanpa
sunnah. Misalnya al-Qur’an memberikan perintah-perintah umum, maka
sunnah menjelaskan maksudnya secara spesifik. Sunnah juga memberikan
informasi tambahan yang mutlak diperlukan dalam praktek peribadatan yang
tidak ada dalam al-Qur’an. Karena itu muncul anggapan bahwa, kebutuhan al-
Qur’an terhadap sunnah lebih besar daripada kebutuhan sunnah terhadap al-
Qur’an.(Dikutif dari tulisan Ahmad Rafiq dalam Studi Analisis atas al-Qur’an
dan as-Sunnah Antara Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta: UIN
Yogyakarta, 2011).
b. Bagian-bagian Sunnah
Dari pengertian yang dijelaskan diatas maka oleh para ahli usul membagi
sunnah itu kepada tiga yaitu :
3. Ijtihad
1. Pengertian
Sebelum membahas fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam, kamu perlu
untuk mengetahu pengertian ijtihad terlebih dahulu. Kata Ijtihad sendiri berasal
dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang memiliki arti mengerahkan segala
kemmpuan yang ada pada diri dalam menanggung beban. Menurut bahasa,
2. Metode Ijtihad
1. Ijma’
Menurut Abdul Wahab Khallaf , ijma’ bila dilihat dari cara mendapatkan
hukum melalui ijma’ , maka ijma’ itu ada dua macam: yaitu Ijma’ Sharih (The
real ijma’) dan Ijma’ Sukuti (The silent ijma’) Ijma’ Sharih ialah, setiap
mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang disepakati.
Menurut ulama jumhur.
Ijma’ sharih ini yang dapat dijadikan hujjah ( dalil hukum). Sedangkan
imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’ sharih yang dapat dijadikan hujjah
(dalil hukum), sehingga Imam Syafi’i mengatakan sebagai berikut: jika
engkau atau salah seorang ulama mengatakan,”hukum ini telah disepakati”,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 32
maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga megatakan seperti apa
yang engkau katakan.
Syarat dan Rukun Ijma’ Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah
yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad, kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil
(berpendirian kuat terhadap agamanya), Mujtahid yang terlibat adalah yang
berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Keiga
syarat ini disepakati oleh seluruh ualama.
Menurut ulama ushul fiqh rukun ijma’ itu ada lima: pertama Yang terlibat
dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’adalah seluruh mujtahid,
kedua mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh
mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam,
keempat kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah
mereka mengemukan pandangannya, kelima hukum yang disepakati itu
adalah hukum syara’yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya dalam al-
qur’an ataupun dalam hadits Rasulullah SAW.
Tentang ijma’ sukuti ada tiga pendapat: Pertama, Menurut ulama jumhur
berpendapat ijma’ sukuti tidak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil, karena
menganggap tidak hanya sebagai pendapat ulama mujtahid saja. Kedua,
menurut ulama Hanafiyah Ijma’ Sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah ketika
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 33
telah ada ketetapan, bahwa seorang mujtahid yang diam ketika dihadapkan
kepadanya suatu kejadian, dan diutarakan pendapatnya mengenai peristiwa
tersebut, dan tidak ada kecurigaan bahwa diamnya mujtahid tersebut karena
takut, karena posisi diamnya seorang mujthid bearti dia sedang memberi
fatwa. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk,
Rajawali Press ,Jakarta, 1993, h.75), Ketiga menurut Abu Ali al-Jubba’i (tokoh
Muktazilah w.303 H) bahwa ijma’ sukuti dapat dikatakan ijma’, apabila
generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut sudah habis. Karena
sikap diam mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati
sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya
mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi. Imam al’Amidi
(ahli ushul fiqh dari mazhab Syafi’y), Ibnu Hajib (ahli ushul fiqh dari mazhab
Maliki), dan Imam Abu bakar Muhammad bin Husein al-Karkhi (ahli ushul
fiqh dari mazhab Hanafi), berpendapat, bahwa kesepakatan seperti ini tidak
dikatakan ijma’, tetapi dapat dijadikan hujjah, dan sifat kehujjahannya juga
bersifat zanni.
Ijma’ ahli Madinah menurut pandangan Imam Malik dapat dijadikan dalil
atau argumentasi dalam berhujjah. Sedang sebagian mazhab Maliki telah
sepakat bahwa ijma’ penduduk Madinah yang dapat dijadikan hujjah ialah
ijma’ mereka terhadap masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Syu’bah ibn
Mughirah tentang kesepakatan mereka dalam memberikan harta pusaka
kepada nenek atau hadits Nabi tentang interpretasi terhadap saudara seayah
termasuk juga dalam kategori saudara dalam pengertian umum.
Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi lagi,
karena pada waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara ijma’, pada
masa itu para ulama mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka
masih berdekatan, wilayah umat Islam atau negara belum begitu luas seperti
sekarang, dan masih memungkin masing-masing mujtahid dapat
memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang persoalan hukum
yang di ajukan kepada mereka. Ulama klasik seperti Imam as-Syafi’i, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauziah , (dari mazhab Hanbali), begitu juga
pandagan ulama yang sudah modern seperti Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Hudri Bek dan Fath adDuraini ( guru besar fiq dan Ushul Fiqh
dari Unversitas Suriah, Damacus, dan Wahbah az-Zuhaili, mereka
berpendapat tidak mungkin akan terjadi ijma’ seperti pada masa sahabat.
Maka persoalan isu-isu seperti keputusan anggota MPR RI, atau DPR RI
tentang Undang-undang atau keputusan kepala daerah seperti
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 34
Gubernur/Bupati/Walikota seperti PERDA tentang larang judi, minuman
keras dan sebagainya yang muncul pada zaman kotemporer atau globalisasi
tidak akan mungkin dapat mengakomodasi persoalan hukum baru, artinya
ijma’ tidak dapat diterapkan sebagai metode penetapan hukum baru pada era
sekarang. Mereka memberikan dasar pemikiran bahwa ijma dapat terjadi
karena mengharuskan semua mujtahid disemua negara harus hadir dan
memberikan respon pada persoalan yang diajukan kepada mereka, kemudian
persyaratan yang masuk dalam kategori mujtahid juga sangat ketat.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2)
kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat ini
disepakati oleh seluruh ulama.224 Sedangkan pada zaman sekarang sangat
sulit dan langka ulama yang menguasai semua bidang ke ilmuan apalagi yang
masuk dalam kategori mujtahid. Akan tetapi kalau kita melihat dari subtansi
dari tujuan ijma’ sebagai salah satu metode penetapan hukum, di karenakan
ada persoalan baru yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat,
sedangkan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan. Maka
perlu kita mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa Ijma’
akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah,
karena pemerintah sebagai ulil Amri dapat mengetahui mujtahid-
mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan menentukan
mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia
Islam”.
2. Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan.
Meng-qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu
terhadap sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, menurut ulama
usul fikih, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya
dengan sesuatu yang ada nas hukumnya karena adanya persamaan „illat
hukum.7Dalam redaksi yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum
dari peristiwa yang tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah
memiliki nas hukum, sebab adanya persamaan dalam „illat hukumnya.8
Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya
dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan „illat
hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum analogis
terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan „illat akan
melahirkan hukum yang sama pula. Oleh karenanya, sebagaimana yang
diungkapkan Abu Zahrah, asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah
secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang
membentuknya.
Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan antara
sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka
konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan. Qiyas merupakan
salah satu medote istinbāṭ yang dapat dipertanggungjawabkan karena ia
melalui penalaran yang disandarkan kepada nas. Ada beberapa ayat Al-
Qur‟an yang dijadikan landasan bagi berlakunya qiyas di dalam menggali
hukum, di antaranya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S An-Nisa‟ (4): 59)
1. QS. Yunus: 57
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
(QS. Yunus: 57)
2. QS. Al-Baqarah: 220
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan
perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 220
Sedangkan nash dari al-Sunnah yang dipakai landasan dalam
mengistimbatkan hukum dengan metode maslahah mursalah adalah
Hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang
berbunyi :
3. Daftar Pustaka
Dr. Dawud al-Aththar, Mujaz ‘Ulum al-Qur’an, alih bahasa oleh Afif Muhammad
dan Ahsin Muhammad (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994).
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 42
Jaluluddin as-Suyuti, Al-Itqan Fi Umu Al-Qur’an, (Kairo: Dar as-Salam, 2003),
jilid II, )
Ash Shieddieqy, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar ilmu Al-Qur'an, Bulan
Bintang, Jakarta, I 982
Hasbi Ash shiddieqiy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA, 2002).
Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al -Fiqh al - Islami, Juz I, al-Maktabah al-Assad, 2006.
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet.Ke-1, Jilid 2, Ictiar Baru
Van Hove, Jakarta, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru
Darul Fkr al-‘Araby, 1958.
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet.Ke-1, Jilid 2, Ictiar Baru
Van Hove, Jakarta, 1996, h .667).
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011
Hasbi Ash-Shiddieqy T.M, Pengantar Hukum Islam, Cet. Ke-3, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983
Juhhaya s. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan,
Cet. Ke-2, 1994.
Sulaiman Andullah, Sumber hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Juz I, al-Maktabah al-
Assad, 2006
4. Rangkuman
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW). adapun sumber Hukum Islam yang mashur di sepakti
ulama :
Al-quran, As sunnah (hadist), Ijtihad ( ijma, qiyas, Maslahar mursalah)
5. Tes Formatif
1) Al quran adalah sumber hukum Islam yang utama, jelaskan bagaimana al
quran di wahyukan.
2) Jelaskan fungsi al quran diturunkan ke dunia
3) As Sunnah adalah sumber hukum islam kedua setelah al quran, apa yang ada
fahami tentang As sunnah
4) Ijtihad adalah sumber hukum islam ketiga setelah As sunnah, jelaskan
pengertian ijtihad dan apa saja metodologi ijtihad tersebut
5) Ijma adalah salah satu metode ijtihad, apa yang anda ketahui tentang Ijma
dan sebutkan ijma masa kini
Kerangka dasar dapat diartikan sebagai garis besar suatu pembicaraan atau
rute perjalanan yang akan ditempuh atau bagian-bagian pokok yang menyangga
suatu bangunan (AS Hornby, 1987:804 dan John M. Echols dalam Hassan Shadily,
1987:255)Ajaran Islam ialah sekumpulan pesan ketuhanan yang diterima oleh
Nabi Muhammad SAW (571-632 M) untuk disampaikan kepada manusia sebagai
petunjuk perjalanan hidupnya semenjak lahir hingga mati (Syaltout, 1983:25).
Dengan demikian, pengertian kerangka dasar ajaran Islam adalah gambaran asli,
garis besar, rute perjalanan, atau bagian pokok dari pesan ketuhanan yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada manusia.
Kerangka dasar ajaran Islam sangat terkait erat dengan tujuan ajaran Islam.
Secara umum tujuan pengajaran Islam atau Pendidikan Agama Islam (PAI),
khususnya di perguruan tinggi adalah membina mahasiswa agar mampu
memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga
menjadi insan Muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak
mulia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kerangka dasar ajaran Islam
meliputi tiga konsep kajian pokok, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Tiga
kerangka dasar ajaran Islam ini sering juga disebut dengan tiga ruang lingkup
pokok ajaran Islam atau trilogi ajaran Islam.
Kalau dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar Islam di atas
berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga konsep
dasar Islam ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Umar Ibn
Khaththab. Hadis ini menceritakan dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi saw.
Jibril bertanya kepada Nabi tentang ketiga konsep tersebut, pertamatama tentang
konsep iman yang dijawab oleh Nabi dengan rukun iman yang enam, yaitu iman
kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan
Qadla dan Qadar-Nya. Jibril lalu bertanya tentang islam yang dijawab dengan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 44
rukun Islam yang lima, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu..
Kemudian Jibril bertanya tentang konsep ihsan yang dijawab dengan rukun
ihsan, yaitu menyembah (beribadah) kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan
jika tidak bisa melihat Allah, harus diyakini bahwa Dia selalu melihatnya.
Berdasarkan hadis di atas, dapat dipahami bahwa rukun atau kerangka dasar
ajaran Islam itu ada tiga, yaitu iman, islam, dan ihsan. Dari tiga konsep dasar ini
para ulama mengembangkannya menjadi tiga konsep kajian. Konsep iman
melahirkan konsep kajian aqidah; konsep islam melahirkan konsep kajian
syariah; dan konsep ihsan melahirkan konsep kajian akhlak. Penjelasan ketiga
konsep kajian ini dapat dilihat di bawah ini.
2. Akidah
Aqidah atau sistem keyakinan Islam dibangun atas dasar enam keyakinan atau
yang biasa disebut dengan rukun iman yang enam. Adapun kata iman, secara
etimologis, berarti percaya atau membenarkan dengan hati. Sedang menurut
istilah syara’, iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lidah,
dan melakukan dengan anggota badan.
Dengan pengertian ini, berarti iman tidak hanya terkait dengan pembenaran
dengan hati atau sekedar meyakini adanya Allah saja, misalnya. Iman kepada Allah
berarti meyakini bahwa Allah itu ada; membuktikannya dengan ikrar syahadat
atau mengucapkan kalimat-kalimat dzikir kepada Allah; dan mengamalkan semua
perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Inilah makna iman yang sebenarnya, sehingga orang yang beriman berarti
orang yang hatinya mengakui adanya Allah (dzikir hati), lidahnya selalu
melafalkan kalimat-kalimat Allah (dzikir lisan), dan anggota badannya selalu
melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya (dzikir
perbuatan). Dari uraian di atas dapat juga dipahami bahwa iman tidak hanya
tertumpu pada ucapan lidah semata. Kalau iman hanya didasarkan pada ucapan
lidah semata, berarti iman yang setengah-setengah atau imannya orang munafiq
seperti yang ditegaskan al-Quran dalam surat al-Baqarah (2) ayat 8-9
Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan
hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya
menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” (QS. alBaqarah [2]: 8-9).
3. Syari’ah
Secara etimologis, syariah berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus
diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Orang-orang Arab
menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Adapun secara
terminologis syariah berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah
untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-Quran maupun Sunnah Rasul
(Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131). Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah
sebagai aturan-aturan yang disyariatkan oleh Allah atau disayariatkan
pokokpokoknya agar manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan
dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama
manusia, dan alam semesta, serta dengan kehidupan (Syaltut, 1966: 12). Syaltut
menambahkan bahwa syariah merupakan cabang dari aqidah yang merupakan
pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak dapat
dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah,
sementara syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah
(Syaltut, 1966: 13).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kajian syariah tertumpu pada
masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini
mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan
dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan
manusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang
pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan hubungan yang kedua disebut
muamalah. Ibadah mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah.
Dalam arti yang khusus (ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun Islam
yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadah (persaksian), mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bagi yang
mampu. Sedang muamalah bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas
manusia dalam berhubungan dengan sesamanya.
Ilmu fikih ini mengkaji konsep-konsep syariah yang termuat dalam al-Quran
dan Sunnah dengan melalui ijtihad. Dengan ijtihad inilah syariah dikembangkan
lebih rinci dan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat manusia. Sebagaimana dalam kajian aqidah, kajian ilmu fikih ini juga
menimbulkan berbagai perbedaan yang kemudian dikenal dengan mazhab-
mazhab fikih. Jika aqidah merupakan konsep kajian terhadap iman, maka syariah
merupakan konsep kajian terhadap islam. Islam yang dimaksud di sini adalah
islam sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi saw. yang di riwayatkan oleh
Umat Ibn Khaththab sebagaimana yang diungkap di atas.
4. Akhlak
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang juga
memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan
dari proses menerapkan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak merupakan
kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat.
Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri seseorang jika dia tidak
memiliki aqidah dan syariah yang baik. Akhir-akhir ini istilah akhlak lebih
didominasi istilah karakter yang sebenarnya memiliki esensi yang sama, yakni
sikap dan perilaku seseorang.
Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq (yang berarti tabiat,
perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi saw. Salah satunya
adalah.
Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu
khuluq (QS. al-Qalam (68): 4).
﴾٤ يم َ ُ ُ َٰ َ م ىَ َػ
َ ذ
ٖ َِل خي ٍق غظ ُ﴿ِإَو
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 47
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan
buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktekkan dalam perbuatan,
sedang yang buruk di benci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186). Dalam khazanah
perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak
adalah moral, etika, nilai, dan karakter. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan
budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178).
Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian
serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau
dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih
bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral
bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang (Muka Sa’id, 1980: 23-24). Etika memandang perilaku secara universal,
sedang moral memandangnya secara lokal.
Baik dan buruk akhlak manusia sangat tergantung pada tata nilai yang
dijadikan pijakannya. Abul A’la al-Maududi membagi sistem moralitas menjadi
dua. Pertama, sistem moral yang berdasar kepada kepercayaan kepada Tuhan dan
kehidupan setelah mati. Kedua, sistem moral yang tidak mempercayai Tuhan dan
timbul dari sumber-sumber sekuler (al-Maududi, 1971: 9). Sistem moral yang
berdasar pada gagasan keimanan pada Tuhan dan akhirat dapat ditemukan pada
sistem moral Islam. Hal ini karena Islam menghendaki dikembangkannya al-akhlaq
al-karimah yang pola perilakunya dilandasi dan mewujudkan nilai Iman, Islam, dan
Ihsan. Iman sebagai al-quwwah al-dakhiliyyah, kekuatan dari dalam yang
membimbing orang terus bermuraqabah (mendekatkan diri kepada Tuhan) dan
muhasabah terhadap perbuatan yang akan, sedang, dan sudah dikerjakan. Dan
ubudiyah adalah merupakan jalan untuk merealisasikan tujuan akhlak. Cara
pertama untuk merealisasikan akhlak bahkan hanya dengan mengikatkan jiwa
dengan ukuran-ukuran peribadatan kepada Allah. Akhlak tidak akan nampak
dalam perilaku tanpa mengikuti aturanaturan yang ditetapkan oleh Allah Swt.
(Hawa, 1977: 72).
6. Daftar Pustaka
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah (1) (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967) Hlm. 28-29 7
Ibnu Taimiyah, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif,
1983).
Sayid Sabiq, Aqidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal Sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, Surabaya: 1996),
7. Latihan
1. Mahasiswa membuat makalah tentang Kerangka dasar ajaran Islam
2. Mahasiswa diskusi dengan tema kerangka dasar ajaran islam
8. Rangkuman.
Kerangka dasar ajaran Islam merupakan dasar-dasar pokok ajaran Islam yang
membekali setiap orang untuk bisa mempelajari Islam yang lebih luas dan
mendalam. Memahami dan mengamalkan kerangka dasar ajaran Islam merupakan
9. Tes Formatif
1. Pengertian aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata (( لریyang berarti ikatan atau bisa
dijabarkan dengan “ma ‘uqida ‘alaihi al-qalb wa al-dhamir”, yakni sesuatu yang
ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani) dan juga
berarti ma tadayyana bihi al-insan wa I’tiqadahu , yakni sesuatu yang dipercaya
dan diyakini (kebenarannya) oleh manusia. aqidah bermakna simpulan, yakni
kepercayaan yang tersimpul di hati. Aqidah secara bahasa ialah sesuatu yang
dipegang teguh dan terhujam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari
padanya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan makna aqidah sebagai ‘suatu perkara yang harus
dibenarkan dalam hati, dengannya jiwa menjadi tenang, sehingga jiwa itu
menjadi yakin serta mantap tanpa ada keraguan, kebimbangan dan keraguan.7
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun
pada orang yang menyakininya. Jika hal tersebut tidak sampai pada tingkat
keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena
orang itu mengikat hatinya di atas hal tersebut. Yunahar Ilyas menegaskan
keterkaitan yang tak terpisahkan antara aqidah, iman, dan tauhid,. Tauhid
merupakan tema sentral aqidah dan iman. Jadi teoritis aqidah juga diartikan
dengan iman, kepercayaan dan keyakinan
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada)
yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari
sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Maha benar, Tempat bergantung para
makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), pencipta segala
makhluk, yang melakukan segala yang dikehendaki-Nya, dan mengerjakan
dalam kerajaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Beriman kepada Allah juga
bisa diartikan berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta
beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya, yaitu Tauhid Rububiyyah,
Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat.
Dari Abi Hurairah r.a berkata: Nabi saw bersabda “Setiap anak
terlahir dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang
ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota
Artinya : Dan Tuhan-mu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan
di bumi. Dan Sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu
atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (Q.S. al-
Isra: 55)
3) Injil, yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s. Firman Allah
ُُ َ ۡيو َو َج َػي َ ۡ ُ ََۡ ََ َََۡ ۡ َ َِلَع َء َاثَٰرًِْ ة ُر ُشي َِِا َو َق ذف ۡي َٰٓ ََ َۡ ُ ذ َذ
ٔب
ِ ي ك ِفِ ا ِ َۖ جن
ِ ٱۡل
ِ َّٰ ني ات ءو ً ي ر م َ
ِ ٱة ِيَس ػ ِ ة ا ِ ِ ثً قفيِا
َ ذ ۡ َٓ ذ َ َ َ َ ُ ً ۡ َٗۡ َ َ ََٗۡ ُ ُ َذ َ ذ
ۡحث ُۚ َو َرْ َتاج ذِيث ۡٱب َخ َدغْٔا ٌَا ن َخ ۡت َنَٰ َٓا غي ۡي ِٓ ًۡ إَِّل ٱةۡخ ِغا َء رِض َن َٰ ِن ٱّلل ِ ف ٍَا ٱَّلِيَ ٱتتػٔه رأفث ور
َ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ ْ َ فٔاحَ ۡي َِا ذٱَّل
َ َ َۖ َر َغ ۡٔ َْا َح ذق ر ََعيَخ َِٓا
٢٧ ٌِِّ ُٓ ًۡ َٰٰصِ لٔنٞٞ ِ ِيَ َء َاٌ ُِٔا ٌِِ ُٓ ًۡ أ ۡج َرْ ًَۡۖ َوكي ِ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap- tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". Maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Q.S. an-Nahl 6: 36)
Artinya : Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,
maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang
ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya
sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah (1) (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967) Hlm. 28-29 7
Ibnu Taimiyah, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif,
1983).
Sayid Sabiq, Aqidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal Sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, Surabaya: 1996),
9. Latihan
Aqidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:
1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia
adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah
haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.
2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya
hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini,
adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang
dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah
dan khurafat.
3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang
dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin
dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur.
Hakim yang Membuat tasyri. Oleh karena itu hatinya menerima takdir,
dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah
kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di antara dasar
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 60
akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung mengikuti jalan
mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan
kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala
serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari
siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta
balasan terhadap seluruh perbuatan.
1. Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد يعبد عبادةyang
artinya melayani, patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis adalah sebutan
yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin1.
Dari keterangan diatas maka jelaslah bahwa tauhid dan ibadah itu tidak bisa
dipisahkan, keduanya saling mempengaruhi,dengan arti: tauhid menumbuhkan
ibadah dan ibadah memupuk tauhid.
2. Macam-macam Ibadah
Menurut Siti Musdiah Mulia dalam bukunya menyelami seluk beluk ibadah
dalam islam, secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam:
3. Tujuan
A. Tujuan Ibadah
Makna sesungguhnya dalam ibadah ketika seseorang diciptakan maka
tidak semata- mata ada di dunia ini tanpa ada tujuan di balik penciptaannya
tersebut Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk
Allah SWT. yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada- Nya. Hal ini
seperti firman Allah SWT. dalam QS Al- Dzariyat [51]:56:
Serta masih banyak lagi ayat yang menjelaskan bahwasanya tujuan utama
manusia diciptakan di bumi ini untuk beribadah hanya kepada Allah
sedangkan tujuan yang lain adalah sebagai pelengkap atas tujuan utama diatas.
Lalu apabila tujuan manusia untuk beribadah kepada Allah semata, bagaimana
manusia dapat menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial.
B. Syarat Ibadah
Ibadah merupakan perkara yang sakral. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah
pun yang disyariatkan kecuali berdasarkan al- Qur’an dan sunnah. Semua
bentuk ibadah harus memiliki dasar apabila ingin melaksanakannya karena
apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah, sebagaimana yang telah diketahui
bahwa setiap bid’ah adalah sesat sehingga mana mungkin kita melaksanakan
ibadah apabila tidak ada pedomannya? Sudah jelas, ibadah tersebut akan
ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan dari Allah maupun Rasul Nya.
4. Daftar Pustaka
Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i, ( Bandung: cv Pustaka
Setia, 2007),
Abdurrahman, Fadh bin Sulaiman al-Rumi. 1992. Konsep Salat Menurut al-
Qur’an, Telaah Kritis Tentang Fiqh Salat, Alih Bahasa Abdullah
Abbas, Firdaus, Jakarta
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1954. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra
5. Latihan
1) Mahasiswa menyusun soal jawab sebanyak 20 butir dengan tema Ibadah
2) Mahasiswa menganalisis praktik ibadah di lingkungannya kemudian
diperbandingkan dengan konsep ibadah secara konseptual.
6. Rangkuman
Ibadah dapat dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus. Ibadah umum
artinya segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan ibadah yang khusus
merupakan apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perincian-Nya, tingkah laku
dan dengan cara-cara tertentu. Dari uraian tersebut makna ibadah dapat dipahami
sebagai taat yang disertai ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT., dengan
menjalankan segala yang dicintai dan diridhai-Nya, melalui perkataan maupun
perbuatan, baik yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat batiniah. Sedang ritual
adalah perilaku yang diatur secara ketat yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukan maupun maknanya
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 65
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pelaksanaan ibadah ritual berpengaruh
terhadap akhlak karimah, karena ibadah yang baik tanpa akhlak yang mulia ibadah
itu tidak akan berguna. Dan sebaliknya, akhlak yang baik tanpa pengamalan ibadah
belum bisa dikatakan iman yang sempurna. Ibadah ritual merupakan ibadah yang
dengannya seorang hamba berhubungan langsung dengan Allah.
Disamping itu tata cara ibadah ritual telah diatur secara terperinci dalam al-
Quran maupun Sunnah Nabi, yang tercakup dalam ibadah ritual ini, misalnya shalat
dan puasa. Selain merupakan kewajiban, ibadah adalah sarana yang efektif untuk
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Akhlak adalah suatu kekuatan yang timbul
dari dalam jiwa atau diri yang tercermin dari tingkah laku lahir tanpa memerlukan
pertimbangan terlebih dahulu, yang dalam pelaksanaannya sudah menjadi
kebiasaan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut agama dan akal maka itu
disebut akhlak yang baik, dan begitu pula sebaliknya.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang sangat
penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sebab
jatuh bangunya suatu bangsa akan tergantung pada bagaimana akhlak warganya.
Seorang yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak. Kewajiban terhadap
dirinya sendiri, terhadap Tuhannya, terhadap manusia maupun terhadap alam
sekitarnya.
7. Tes Formatif
1. Mahasiswa memberikan contoh Ibadah
2. Mahasiswa Berpraktek Ibadah
3. Mahasiswa mampu memahami jenis jenis ibadah
6. Pengertian Akhlak
Pembahasan tentang akhlak selalu menarik karena sangat berkaitan dengan
kepribadian seseorang, dan para ulama banyak menyebutkan pentingnya
mempelajari akhlak sebelum mempelajari yang lainnya. Maka dalam kehidupan
seseorang dimulai dari masa kecil, ia belajar akhlak dari lingkungan keluarganya,
melakukan pengamatan sederhana terhadap orang-orang disekitarnya yang
secara simultan membentuk pola akhlak dalam kepribadian dan pemahamannya.
6.1. Pengertian Akhlak Secara Etimologis
Pengertian akhlak secara etimologis atau bahasa, berasal dari bahasa Arab
jama‘ dari bentuk mufradnya khuluqun ( )خلقyang diartikan: budi pekerti,
perangai, tingkah laku, karakter atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-
segi persesuaian dengan perkataan Khalqun ( )خلقyang berarti kejadian,
serta erat hubungannya dengan Khaliq (( )خالقyang berarti pencipta dan
Makhluk ( )مخلوقyang berarti diciptakan.
Dalam pengertian sehari-hari di Indonesia, akhlak umumnya disamakan
artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, dan sopan santun, bahkan dalam
masyarakat ada simplifikasi atau penyederhanaan makna akhlak yang
cenderung diartikan sebagai sesuatu yang positif. Masyarakat mengenal
manusia yang baik dengan sebutan manusia yang berakhlak, sedangkan
manusia yang tidak baik dilabeli manusia yang tidak berakhlak.
Akhlak jika dijabarkan dalam konteks kebahasaan yang lebih luas, maka
setidaknya ada empat makna, pertama akhlak diartikan sebagai ilmu tentang
kebiasaan. Arti ini mengikuti pendapat dari para filusuf Yunani, definisi ini
membatasi ruang lingkup ilmu akhlak yang terbatas pada perbuatan manusia
yang sesuai dengan kehendaknya yang menjadi kebiasaan dan tradisi, makna ini
mendapat kritik dari pemerhati tentang akhlak dengan menyebut bahwa ilmu
akhlak seharusnya lebih luas daripada itu, di dalamnya juga meliputi petunjuk
yang benar untuk perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk serta perintah
untuk berpegang teguh pada tradisi dan kebiasaan yang benar.
Kedua, akhlak diartikan sebagai ilmu tentang manusia. Ini adalah
argumentasi dari seorang penulis berkebangsaan Prancis. Berbeda dengan
definisi pertama yang membatasi ruang lingkup akhlak, maka definisi yang
kedua ini justru lebih luas cakupannya karena dalam definisi ini meliputi segala
sesuatu yang berhubungan dengan manusia dari berbagai macam ilmu dan
pengetahuan mulai dari ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu logika, sejarah dan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 67
segala macam ilmu yang berada di sekitar manusia.
Ketiga menjelaskan akhlak sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Akhlak
juga diartikan sebagai studi tentang wajib dan kewajiban. Pengertian ini terlalu
ringkas karena mengabaikan sisi yang terpenting dari aspek ilmu yaitu nilai-
nilai dari perbuatan manusia yang berubah nilai baik dan buruk.
Keempat, akhlak didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan atau sifat-
sifat yang utama dan bagaimana cara agar manusia senantiasa menghiasi diri
dengan keutamaan tersebut, dan Ilmu yang membahas tentang keburukan-
keburukan dan bagaimana cara menjaga diri agar menjauhi dari perbuatan
buruk tersebut. Ini adalah pengertian menurut al-Bustani yang dalam
definisinya itu membatasi pada bagaimana manusia menghiasi diri dengan
sifat-sifat utama serta menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela serta
menerangkan contoh-contoh metode untuk mencapai hal tersebut.
Beberapa kalangan pengkaji etika maupun akhlak seperti Prof.
Poedjawiyatna mengklasifikasi beberapa ukuran baik dan buruk dalam diri
manusia dengan menggunakan beberapa pendekataan, seperti teori hedonisme,
utilitarisme, vitalisme, sosialisme, religeosisme dan humanisme, dengan uraian
sebagai berikut;
1) Hedonisme, yaitu sebuah aliran klasik dari Yunani yang menyatakan
bahwa ukuran tindakan kebaikan adalah done, yakni kenikmatan dan
kepuasan rasa. Tokoh utama pandangan ini adalah S. Freud.
2) Utilitarisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa yang baik adalah
yang berguna. Karena ini jika berbuatan itu dilakukan atas diri
sendiri maka itu disebut individual, dan jika terhadap kepentingan
orang banyak disebut sosial.
3) Vatalisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa ukuran perbuatan
baik itu adalah kekuatan dan kekuasaan. Bahwa yang baik adalah
mencermikan kekuatan dalam hidup manusia.
4) Sosialisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa baik nya sesuatu
ditentukan oleh masyarakat. Jadi, masyarakatlah yang menentukan
baik dan buruknya tindakan seseorang bagi anggotanya.
5) Religiosisme, aliran yang mengatakan bahwa baik dan buruk itu
adalah sesuai dengan kehendak Tuhan. Lantas, manakah yang
menjadi kehendak Tuhan itu?, ini adalah tugas para theolog dalam
memberikan gambaran.
6) Humanisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa baik dan
buruknya sesuatu itu adalah sesuai dengan kodrat manusia itu
sendiri, atau kemanusiaannya.
Dari sejumlah aliran dalam mengukur baik buruknya sesuatu, bagi Islam
tentu saja memiliki konsep tersendiri tentang akhlak. Islam berpandangan
bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai dengan kehendak Allah SWT., kehendak
Allah SWT tentu saja adalah yang termaktub di dalam al-Qur‘an dan ajaran
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 68
praktis para RosulNya, khususnya terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. Lebih dari itu, pemahaman tentang kebaikan dan keburukan,
atau yang dikehendaki oleh Allah SWT. dan yang tidak dikehendaki-Nya dapat
pula diperoleh melalui akal, jiwa dan hati yang jernih dengan petunjuk para
ulama’.
Identik dengan pendapat Ibnu Athir ini, adalah Imam Al-Ghazali yang
menyatakan.bahwa: “Bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan
khuluqnya, berarti si A baik sifa-sifat lahiriahnya dan sifat-sifat batiniahnya”.
Seorang pakar ilmu akhlak Abd. Hamid Yunus di dalam kitabnya menyatakanُ:
“Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik”, memahami ungkapan tersebut
bisa dimengerti sifat/potensi yang dibawa setiap manusia sejak lahir: artinya,
potensi tersebut sangat bergantung dari cara pembinaan, latihan/pembiasaan
dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya posotif, outputnya adalah akhlak
mulia; sebaliknya apabila pembinaaannya negatif, yang terbentuk adalah akhlak
mazmumah (tercela). Lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi negara
sangat mempengruhi akhlah seseorang sebagai individu dan warga negara,
karena secara potensial dan aktual Allah telah membentangkan jalan yang
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 69
benar dan jalan yang salah.
Pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M. Abdullah Darroz,
mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:
“Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan
kehendak yang berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak
yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pilihan yang jahat (dalam hal
akhlak yang jahat)”.
َ َْْ َ َُ ُ ْ َّ
ِؤن َما ُب ِعثت ِْلت ِّم َم َص ِالح إْلخل ِق
Artinya: “Sesungguhnya aku (Rasulullah )ﷺdiutus untuk menyempurnakan akhlaq
yang baik.” (HR. Ahmad 2/381)
Manusia dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk,
sebab Allah memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid. Allah Swt.
berfirman:
َ ُ َ ُ ُ ََ ُ َْ َ ُ َ َْ َ ُ َ َ ْ ََ َ َ َ ْ َن
ُ آد َم م ْن ُظ
ۛ ور ِه ْم ذ ِّرَّيت ُه ْم َوأش َهده ْم َع َٰل أنف ِس ِه ْم أل ْست ِب َر ِّبك ْم ۖ قالوإ َب َٰل
ِ ُ َّ ِ ْ و ِإذ أ َخذ َ رب َك ِ ُمن ب ِ يت
ه
َ َ
ََشه ْدنا ۛ أ ْن ت ُقولوإ َي ْو َم إلق َي َامة ؤنا ك َّنا عن ه ٰ ذإ غافل ن
َ ْ َ
ي ِِ ِ ِ ِ ِ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.” (QS. al-A’raf: 172).
Prinsip Akhlak dalam Islam terletak pada Moral Force. Moral Force Akhlak Islam
adalah terletak pada iman sebagai Internal Power yang dimiliki oleh setiap orang
mukmin yang berfungsi sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya
kehendak untuk merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa, dan tata karya yang
kongkret. Dalam hubungan ini Rosulullah SAW, bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan
sebaik-baik diantara kamu ialah yang paling baik kepada istrinya”
Selain itu, yang menjadi dasar pijakan Akhlak adalah Iman, Islam, dan Islam. Al-
Qur’an menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki
akhlak yang mulia yang dimisalkan seperti pohon iman yang indah, hal ini dapat
dilihat pada surat Ibrahim ayat 24-27, yang berbunyi:
َّ َ َّ َ َ ۡ َ ۡ ُ َّ ُ ۡن ۡ َ ِّ َ َ َ ن ُ ُ َٓ ۡ ُ
َّ ڪ َل َها ُك ٓ َ َّ َ َ ۡ ُ َ ن
اِ ل َعل ُه ۡم لن لِ ال ث م ئْل ئَّلل ُ ْص يو اۗ ه بر ن ِ ذ إ ب ي حِ ل أ ت ؤ ت ) ٤٢ ( ءِ ا وفرعها ِػ ئلسم
ُ ِّ َ ُ ٍ۬ َ َ ِ ََ َ ۡ َ ۡ ۡ َ ِ ۡ َّ ُ ۡ َ ِ ِ َ ِۭ ِ َ َ َ َ ٍ۬ َ َ ِ َ َ ُ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َ
) يثبت٤٤( ض ما لها ِمن قرإر ِ ر ئْل قِ و ف نمِ ت ث ت ئج ة
ٍ يث ب خ
ِ ٍ ةر ج ش ك ة ٍ يث ب
ِ خ ةٍ م لِ ك ل ث مو ) ٤٣ ( ونيتذڪر
Konsep akhlak dalam agama Islam tidak dapat disamakan persis dengan etika.
Etika sebagai konsep dibatasi oleh sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan
hal tersebut belum tentu terjadi pada lingkungan masyarakat yang lainnya. Etika juga
sering hanya dikaitkan dengan perilaku hubungan lahiriah. Misalnya, etika berbicara
antara orang pesisir, orang pegunungan dan orang keraton akan berbeda, dan
sebagainya.
Akhlak memiliki makna yang lebih luas, karena akhlak tidak hanya bersangkutan
dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan dengan batiniah maupun pikiran. Akhlak
menyangkut berbagai aspek diantaranya adalah hubungan manusia terhadap Allah
dan hubungan manusia dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT (manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa).
Berikut ruang lingkup akhlak dalam Islam:
1). Akhlak terhadap Allah
Pemaknaan akhlaq kepada Allah dapat ditafsirkan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
kepada Tuhan sebagai Khaliq. Sehingga akhlaq kepada Allah dapat diartikan
sebagai segala sikap atau perbuatan manusia yang dilakukan tanpa dengan
berpikir lagi (spontan) yang memang seharusnya ada pada diri manusia
(sebagai hamba) kepada Allah SWT sebagai Tuhan.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 73
Argumentasi keharusan manusia berakhlak kepada Allah SWT
sebagai Tuhan, dapat ditemukan dalam dalil naqli kitab suci Al-Qur’an.
a) Allah SWT-lah yang mencipatakan manusia. Dia yang menciptakan
manusia dari air yang ditumpahkan keluar dari tulang punggung dan
tulang rusuk hal ini sebagai mana di firmankan oleh Allah SWT dalam
surat at-Thariq ayat 5-7 yang artinya: “Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia tercipta dari air yang
terpancar dari tulang sulbi dan tulang dada.” (at-Tariq: 5-7)
b) Allah SWT-lah hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan
sempurna kepada manusia. Firman Allah SWT dalam surah an-Nahl ayat
78 yang artinya: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS an-Nahl :
78)
c) Allah SWT-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan
yang berasal dari tumbuh- tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
lainnya. Firman Allah SWT dalam surah al- Jatsiyah ayat 12-13 yang
artinya “Allah SWT-lah yang menundukkan lautan untuk kamu supaya
kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu
dapat mencari sebagian dari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kamu yang berpikir.” (QS al-Jatsiyah : 12-13)
d) Allah SWT-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan, daratan dan lautan. Firman Allah SWT dalam surah Al-
Israa‟ ayat 70 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak cucu Adam, Kami angkut mereka dari daratan dan lautan,
Kami beri mereka dari rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan.” (QS al-Israa‟: 70)
Adapun akhlak kepada Allah itu antara lain:
Artinya: Dialah yang mengutus kepada kamu yang buta huruf seorang
Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.
Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah SAW diutus memang
untuk ditaati, Allah SWT berfirman:
ّ ْ َ َ َّ ُ َو َما َأ ْر َس ْل َنا من َّر
ِ ول ِؤال ِل ُيطاع ِب ِإذ ِن
﴾٤٢ إَّلل ﴿ألنسا ٍ س ِ
Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati
dengan izin Allah (QS An-Nisaa:64).
َ ُْ َْ َ ُُ ُ ُ َ َْ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َْ َ ْ ُ ُ َ َ َ ُ
إجك ْم َو َع ِش َّيتك ْم َوأ ْم َوإل إق َّيفت ُموها َو ِت َج َارة ق ْل ِؤن كان آباؤكم وأبن ؤكم و ِإخوإنكم وأزو
ّ َ ِّ ُ ْ َ َّ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ
ول ِه َو ِج َه ٍاد ِ ن يػ َس ِب ِيل ِه
ِ ْسُ إَّلل َو َر
ِ تخشون كسادها ومس ِاكن ترضونها أح ُّ ِؤليكم من
﴾٤٢﴿ ي
َ ْ َ
َإَّلل ال َي ْهدي إلق ْو َم إلفاسق ن َ ُ ّ إَّلل ب َأ ْمره َو
ُ ّ وإ َح ََّت َُ ْأ َ َت
ْ ُ َّ َ َ َ
فّيبص
ِ ِ ِ ِِ ِ ِي
Artinya: Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dasn
(dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik (QS 9:24).
Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama
seharusnya tidak hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam,
tapi juga memiliki sikap dan kepribadian sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 79
Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang
luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu
bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk
menghormatinya.
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(QS Al Baqarah[2] : 29)
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan
dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian
kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman
di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. (QS. Al
Baqarah[2] : 36)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu”.(QS. Al Baqarah[2] : 168)
3. Berbasis Masjid
Untuk melaksanakan fungsi utamanya sebagai pendidik, Rasulullah SAW
telah membuat kebijakan yang sangat penting dalam bidang pendidikan.
Kebijakan pertama yang diambil beliau adalah membangun masjid di Quba dan
dilanjutkan dengan membangun masjid Nabawi di Madinah. Masjid digunakan
sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah, pembinaan moral, spritual,
mengajarkan agama kepada kaum Muhajirin dan Anshor, membina sikap
kebangsaan. Dengan kata lain, masjid telah digunakan oleh Rasulullah SAW
sebagai tempat yang paling efektif dalam menyusun dan menghimpun potensi
umat Islam.
Adapun Fungsi masjid pada masa Nabi SAW adalah: (1) masjid sebagai
pusat ibadah mahdhah, seperti sholat, zikir, dan baca al-Qur`an; (2) masjid
sebagai tempat pengobatan korban perang/poliklinik; (3) masjid sebagai tempat
mengatur strategi perang; (4) masjid pusat untuk mendamaikan seseorang atau
kelompok yang sedang berbantah-bantahan; (5) masjid tempat menyambut
tamu; (6) masjid tempat proses belajar mengajar, pendidikan kepribadian dalam
bentuk qauli dan fi’liy; (7) masjid tempat menahan tawanan perang; dan (8)
masjid tempat konsultasi masalah ekonomi, sosial.
Maka pembentukan karakter islami di perguruan tinggi, tidak bisa
dijauhkan dari Masjid Kampus. Mahasiswa dan semua sivitas akademika harus
menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan karakter islami. Pimpinan
perguruan tingi, dosen, mahasiswa, dan karyawan menjadi orang-orang
pemakmur masjid kampus dan juga masjid-masjid dilingkungannya masing-
masing.
Ahmad Saebani, dkk. Ilmu Akhlak. Cet.I (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Ilyas, Yunahar. 2005. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengalaman Islam (LPPI).
Lahiji, Syehk ZA Qurbani, 2011, Risakah Sang Imam (Ajaran Etika Ali Bin Abi
Thalib), Al-Huda: Jakarta.
Marjuki, 2009, Akhlak Mulia (Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika Dalam
Islam), Debut Wahana Press: Yogyakarta.
Misbah, Mujtaba, 2008, Daur Ulang Jiwa, Al-Huda: Jakarta.
Muslim Nurdin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: CV Alfabeta, 1995)
Zahruddin AR, Hasanuddin sinaga. Pengantar Studi Akhlak PT Grafindo Persada,
Jakarta, 2004
5. Pengertian Muamalah
Kajian tentang muamalah dalam Islam merupakan hal penting, ini
menunjukkan bahwa agama Islam tidak hanya mengatur tentang hubungan
Makhluk dengan Sang Khaliq, namun juga mengatur hubungan sesama manusia
guna menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan menjaga hak dan
kewajiban sesama manusia. Pengaturan kehidupan antar manusia ini sangat
dibutuhkan karena manusia merupakan makhluk yang dibelaki akal dan nafsu, jika
tanpa pengaturan dalam kehidupan antar manusia, maka bisa jadi yang terjadi
adalah kekacauan relasi manusia karena masing-masing manusia mengedepankan
nafsu dibanding akalnya, hadirnya Islam untuk memberikan jaminan bahwa ada
aturan yang harus diikuti oleh manusia dalam membangun relasinya dengan
manusia lainnya.
Muamalah secara harfiah/bahasa berarti “pergaulan” atau hubungan antar
manusia sebagai ciptaan Allah SWT, dalam pengertian harfiah yang bersifat umum
ini, muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar peribadahan.
Sedangkan muamalah secara terminology/istilah dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pengertian muamalah dalam arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya
menjadi sebab suksesnya urusan ukhrawy”. Menurut Muhammad Yusuf Musa yang
dikutip Abdul Majjid : “Muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus
diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia”. “Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan”. Jadi,
pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum- hukum) Allah
untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit, didefinisikan oleh para
ulama Hudhari Beik yang dikutip oleh Hendi Suhendi, “muamalah adalah semua
akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”. Menurut Rasyid
Ridda, “muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang telah ditentukan”.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian muamalah dalam arti
sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya
dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia
wajib mentaati-Nya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama
Faidah Kaidah
1). Sebuah kaidah fiqih bisa digunakan untuk mengetahui banyak
permasalahan fiqih yang tercakup dalam pembahasannya. Dan ini akan sangat
memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum fiqih
tanpa harus menghafal sebuah permasalahan satu persatu.
Imam Al-Qarrafi berkata: “Barangsiapa yang menguasai fiqih lewat
penguasaan kaidah-kaidahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua
permasalahannya satu persatu karena sudah tercakup dalam keumuman
kaidah tersebut.” (Lihat Al-Furuq Al-Qarrafi 2/115)
2). Penguasaan kaidah akan sangat membantu seseorang dalam memberikan
sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya
dengan cara yang mudah.
Sumber Kaidah
1. Kaidah yang teksnya terambil langsung dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Kaidah yang teksnya tidak diambil langsung dari nash Al-Qur’an dan As-
Sunnah, namun kandungannya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kaidah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 105
yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan biasanya didasarkan atas
sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum) atau dengan
melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada
maqashid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i) atau yang
lainnya.
ُ َّ ُ
2. لّي َماه ِباإت َعا ق ِد
ََ ُ ُ َ َََ ْ َ
إلمت َع ِاقد ين ونت ْيجته َما ؤ َ ن َ َ ْ
َ إْلص ُل ػ
ُ إلعقد ر نض ن ْ َ
ِ ِ ِ ِ ي ِي
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam melakukan transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena
itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah
pihak. Artinya tidak sah suatu akad apabila suatu pihak dalam keadaan
terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi padaa waktu akad
sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu,
artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti
pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya
terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
ْ َ
3. ّي ِه ِبال ِؤذ ِن ِه
َْ ْ ََّ ن َ ََ َْ
ُ ََ ُ َ َ
ِ ال ُجور ِْلح ِد أن يتْصف ِ يػ ِمل ِك غ
“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain
tanpa izin si pemilik harta”.
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual
atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak
ada hak orang lain pada barang yang dijual.
ََ ُ ََْ َ ُ
4. إإل َجازة َ
ِ لبا ِطل ال ُقبل
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 106
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena diblehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah
terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima
oleh salah satu pihak. Contohnya, Bank Syariah tidak boleh melakukan akad
dengan lembaga keuangan lainnya yang menggunakan sistem bunga,
meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga telah
dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila
lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan
pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan
sitem bunga.
َ َ َ َ َ َ
َّ إإلجازة إلالحقة كالو كالة َُ َ
5. إلس ِابق ِة ِ ِ ِ ِ ِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang
telah dilakukan lebih dahulu”.
Seperti telah dikemukakan kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak
boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak
hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta
mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi
dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
6. ان َ َ ْ َ َ ُ
َ ُ َّ َ َْ
ِ إْلجر وإلِمان ال ُجت ِمع
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak
berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhanan atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah
mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran
atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di
pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah Pasal 416)
Contoh, seorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa
keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-
barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka,
si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar
sewaannya. (Majalah Ahkam al-adliyah Pasal 550)
َ َّ َ ُ َ
7. ان ِ إلجرإج ِبالِم
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda
maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang
mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
َْ ُ َ
8. لغ ْرم ِبالغن ِم
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalh bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus
menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada
keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya,
seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang
dan risiko ongkos-ongkos pengembaliaannya. Berbeda dengan ongkos
mengangkut dan pemeliharaan barang, dibebankan kepada pemilik barang.
َ ََ ُْ ئ َ ن ََ َّ ََ َ
9. اػ ض ْم ِن ِه
ِؤذإ بطل إلشت بطل م ِ ي
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli
telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua
belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hal pembeli terhadap barang
menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya,
si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus
mengembalikan harga barangnya.
َ َ
10. العق ِد عَل َمن ِاف ِعها
ََ ْ
َ إلعقد عَل إْلع َيان ك
َ َ َْ ََ ُ ْ
ِ
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap
manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang,
objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari
akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti
rukun dan syaratnya sama.
ُ َ َّ َ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َْ َ ُ
11. ات فال ُ ِصح ت ْو ِق ْيته َ ُ ُ ْ َ
ِ ود إلمعاوض
ِ كل ماُ ِصح تأ ِبيده ِمن إلعق
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-
masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di
pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak
terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah
apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya.
Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 108
َ َْ ْ نْ َ َّ َ
12. اطلِ إْلم ُر ِبالتْص ِف ِ يػ ِمل ِك إلغ ِّي ب
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah
batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk
bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap
miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga
keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang
dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga
bisa masuk dalam kaidah fiqih siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan
memerintah dari atasan kepada bawahannya.
ْ َ َّ َّ ََ
13. ض
ِ الي ِتم إلت َّيعث ِؤال ِبالقب
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata
seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan
barangnya dilaksanakan.
َ َّ ََ نَ َّ ُ َ
14. ان
ِ اػ إلِم
ع ين ِ ي ِ ْ إلجوإز ر
إلش ي
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan
ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik
melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi.
Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian
binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga
tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di
tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.
َ ّ َ َّ ََ َ ْ
ْ الي ن نّيع ر
15. شء ِمن ُ ٍد أح ٍد ِؤال ِبحق ث ِاب ِت
َ ُ َْ َُ
ي
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar
ketentuan hukum yang telah tetap.”
ُ ْ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ
16. ول ج ِائز أن ُك ْون ق ِبلت ُ
ٍ كل ق ب
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli,
sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah
terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti
saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan
“saya terima”.
ُُ َ َّ َ ُ ْ
َّ كل َماصح َّ َ ُ
18. إلرهن ِب ِه صح ض َما نه
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
ُُْ َ َ ُ َ َ َ
19. َماجاز ب ْي ُعه جاز َرهنه
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh
disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
َ َُ ً َْ َ
20. كل ق ْرض ج َّر َمنف َعة فه َو ِربا
َ ُ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama
dengan riba.”
9. Latihan Soal
1. Jelaskan Pengertian muamalah dalam konsep Islam?
2. Jelaskan pemahaman terhadap dasar muamalah dalam Islam pada Al-Qur'an,
Hadist, dan Ijtihad ulama'!
3. Jelaskan tentang Al- Muamalah Al-Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah
dalam konsep Muamalah Islam!
4. Jelaskan ruang lingkup muamalah berdasarkan tujuannya!
5. Jelaskan prinsip-prinsip muamalah yang harus dijadikan acuan dalam
bermuamalah?
6. Jelaskan 3 kaidah dalam bidang muamalah yang paling anda fahami?
7. Jelaskan relasi muamalah dengan kehidupan sosial dalam konsep Islam?
5. Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama langit yang satu-satunya membahas tentang
segala hal secara sempurna termasuk membahas tentang pertanahan, segala
sesuatu yang ada dilangit dan bumi ternasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah
SWT. Sebagai pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) kemudian
Allah SWT memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik
Allah ini sesuai dengan syariatNya. Asal usul kepemilikan (aslul milki) adalah
milik Allah SWT, dan bahwa manusia tidak mempunyai hak kecuali
memanfaatkan (tasarruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Konsekuensi
dalam tataran fikih atau hukum, maka setiap kebijakan atau ijtihad dibidang
pertanahan hendaklah dilaksanakan dengan mengaplikasikan hukum-hukum
Allah SWT kedalam kebijakan tersebut.
Tanah tidak dipungkiri merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
penting dan harus dimanfaatkan secara optimal. Setiap jenis tanah selain
mempunyai zat yakni tanah, yaitu tanah itu sendiri, juga mempunyai manfaat
tertentu misalnya untuk pertanian, perumahan atau industri. Islam
memperbolehkan seseorang memiliki tanah dan memanfaatkannya dengan
tujuan yang baik, bukan tujuan merusak. Kalau dicermati nas-nas syara’ yang
berkaitan dengan kepemilikan tanah, maka ditemukan ketentuan hukum tentang
tanah berbeda dengan kepemilikan benda-benda lainnya, di dalam al-Quran
sebagai sumber hukum Islam banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara
tentang bumi/tanah sebagai karunia Allah Swt kepada manusia sebagai khalifah
di bumi.
Ada tiga kata yang disebutkan Allah Swt tentang tanah di dalam Alquran, di
samping kata al-ardhu kata yang juga banyak disinggung adalah al-thin
kemudian kata al-turab yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti tanah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kata-kata al-ardhu
disebutkan oleh al-Quran, antara lain Al-Mulk:16, Al-Hajj:5, Thaahaa:4, Saba':9,
Nuh:19, Thaahaa:53, Al-Mursalaat:25, An-Naba:6, Abasa:26, Faathir:9, Al-
Anbiyaa':44, Al-Mulk:15, Al-Qashash:81, Al-Jaatsiyah:5, Al-Ankabuut:63, An-
Naml:61, Ar-Ruum:9, Al-Qamar:12, Ar-Ruum:24, Fush-Shilat:9, Ghafir:64, Az-
Zumar:74, Ar-Ruum:50, Az-Zukhruf:10, Al-Hadiid:17, Ar-Ruum:19, Fush-
Shilat:39, Al-Anbiyaa':105, Al-Ankabuut:40, Maryam:40, Al-Isra:37, Ibrahim:14,
Al-A'raaf:128, Yusuf:80, Arraad:3, An-Nahl:65, Al-Baqarah:164, An-Nahl:45, Al-
Baqarah:71, Al-Maidah:21, Al-A'raaf:100, Al-Baqarah:22, Al-Isra:104, Al-Kahfi:47,
Kata al-ardhu menggunakan susunan suku kata/huruf (alif, lam, dan ra’),
susunan suku kata ini jika diperluas padanannya maka disebutkan sebanyak 461
kali dalam Al-Qur’an. Banyaknya penyebutan kata tersebut menjadi tanda bahwa
hal-ihwal tanah tidak asing dalam pembahasan Al-Qur’an, bagi umat Islam dan
khususnya bagi mereka yang menekuni profesi yang berkaitan dengan tanah
maka ini harus menjadi pelajaran untuk semakin meningkatkan keimanannya.
Kata berikutnya adalah al-thin yang juga diartikan sebagai tanah, terdapat
dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra:61, Adz-Dzaariyaat:33, Shaad:76, Al-An'aam:2, Al-
A'raaf:12, Al-Mu'minuun:12, Shaad:71, As-Sajdah:7, Ash-Shaafaat:11, Al-
Qashash:38, Al-Maidah:110, dan Ali-Imran:49.
ُ َ ُ ُ ۡ َ ِّ َ ُ ُ ُ ۡ ۡ َ ِّ َ َ َٓ ۡ ٓ َ َ ُ ً َ ٰ َ ن
ُل أ ن يت قد ِجئتكم ِب َاُ ٖة ِّمن َّ ِّربك ۡم أ ن ي ٓت أخلق لكم ِّم َن شء ِ ٰ َ وَل ِؤَل ب ِ يت ِؤ ورس
َ ۡ َ ۡ ُ ۖ
َ ئَّلل َوأ ۡبر ُ ئْل ۡك َم َه َوئْل ۡب َرَّ ۡ َ ۡ َ ُ ُ َ َ ُ ُ َ َّ
ۡ ئلط َ
ۡ ي ك َه ِّ
ِ نِ ذ إ ب إ
ّي ط ون ك ي ف يه
ِ فِ نف أ ف ّي ة ِ ي ئلط ن
ِِ ِ ۡ
ِ
َّ ۖ َ ُ َ ِّ ُ ُ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ َ َّ ُ َ ن ُ ُ ُ ۡ ۚ َّ ن َٰ ۡ َ ۡ ِ ۡ ُ َ
وتكم ِؤن ِ يػ ِ ئَّلل ۡوأنبئكم ِبما تأ كلون وما تد ِخرون ِ يػ بي ِ ح ئلموت ِب ِإذ ِن َوأ ِي
ُ ُ
َذ ٰ ل َك ْل َُة لك ۡم ؤن ك ُنتم مؤمن ن َّ ٗ ٓ َ
٢٧ ي ِ ِ ِ ِ
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 114
Artinya: Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):
"Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu
tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari
tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi
seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang
buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.
(QS. Ali-Imran: 49)
َ َ َ ُ َ ُۖ ُ َ َ ۖ ٗ َ ٓ َُ َّ َ ن
ُه َو َّئل ِذي َخ َل َق ُكم ِّمن ِط ن
٢ ل م َس ىًّم ِعندهۥ ث َّم أنت ۡم ت ۡم ُّيونٞ ض أ َجل َوأ َج
ٰ ي ثم ق ٖ
Artinya : Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya
ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang
Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang
berbangkit itu) (QS. Al-An’am: 2)
Artinya: “Pengkhianatan terbesar disisi Allah AzzaWaJalla adl satu dzira' (hasta)
tanah, kalian lihat dua orang bertetangga disuatu tempat atau di suatu rumah lalu
salah satunya meyerobot bagian temannya, padahal bila ia menyerobotnya maka
ia akan dikalungi tujuh bumi hingga hari kiamat. “(HR. Ahmad)
Latihan
Daftar Pustaka
Berbagai Jurnal, Buku, dan Referensi lainnya yang relevan dengan tema
pembahasan.
5. Pendahuluan
Pembahasan tentang kerja, dalam al-Qur’ān digunakan beberapa istilah
yang berarti kerja: ‘amal (kerja), kasb (pendapatan), sakhkhara (untuk
mempekerjakan atau menggunakan), ajr (upah atau penghargaan), ibtighā’a fadl
Allah (mencari keutamaan Allah) (Al-Fārūqī dkk., 1995: 93). Sedangkan dalam
hadist Nabi SAW banyak menyebut kata amal dengan arti kerajinan tangan atau
perbuatan jasmaniah pada umumnya, dan dalam ayat al-Qur’ān banyak
penggunaan kata “iman” diikuti dengan kata “amal shaleh” yang berarti bahwa
iman yang tertanam dalam hati hanya akan berarti apabila membuahkan
perbuatan lahiriah yang nyata sesuai dengan tuntunan iman itu sendiri.
Ulama kontemporer Yusuf Qardhawi memaknai kerja adalah segala usaha
maksimal yang dilakukan manusia, baik melalui gerak tubuh ataupun akal untuk
menambah kekayaan, baik dilakukan secara perorangan ataupun secara kolektif,
baik untuk pribadi maupun untuk orang lain (Qardhawi, 1997: 104). Oleh sebab
itu pekerja dapat dikelompokan menjadi dua, pekerja khas dan musytarak.
Pekerja khas (pekerja tetap) adalah seorang yang bekerja pada satu majikan
dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh bekerja pada pihak lain. Sedangkan
pekerja musytarak (pekerja serabutan) adalah orang yang bekerja pada
beberapa majikan dan bebas untuk bekerja dengan siapa saja (Al-Zuhailī, t.th.,
juz. V: 3845).
Selain itu pekerjaan pejabat negara atau aparatur sipil negara juga
termasuk ’amal. Ibnu Taimiyah meriwayatkan pada suatu waktu seorang ulama
besar bernama Abu Muslim Al-Khaulani masuk ke tempat Khalifah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan mengucapkan “assalamu’alaika ayyuha al-ajīr”. Mendengar ucapan
salam tersebut orang disekitar memperingatkannya agar mengucapkan “ayyuha
al-amīru”. Namun teguran tersebut tidak merubah pendirian Abu Muslim, sebab
ia berpendapat bahwa kepala negara sekalipun termasuk ajīr, orang yang bekerja
untuk kepentingan orang lain dengan mendapatkan imbalan upah (Ibnu
Taimiyah, 1419H: 11).
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari
rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang
maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tidak mengenal lelah, tetapi
kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur
kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta
negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang
.
Artinya: “Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang
masih kecil, maka ia (Jihad) fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk
mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia maka ia
(Jihad) fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhannya
sendiri agar terjaga kehormatannya, maka ia (Jihad) fi sabilillah. Tetapi
jika ia keluar karena riya’ (pamer pekerjaannya) dan kesombongan maka
ia di (Jihad) jalan syaithan”. [HR. Thabrani]
1. QS. Al-Jumu’ah: 10
ُ ذ َ ۡ ُ ُ ْ ذَ َ ٗ ذ ذ ۡ َ ْ ُ َۡ ْ ُ َ َ ُ َٰ َ ذ ُ َ َ
ًۡ ا ى َػيلٞ ِ ۡرض َوٱ ۡب َخغٔا ٌَِ فض ِو ٱّلل ِ وٱذنروا ٱّلل ني
ِ ِشوا ِِف ٱۡل
ِ فٱُت ج ٱلصئة ِ ض َي ِ فإِذا ك
َ ُۡ
٪ تفي ُِحٔن
Artinya: apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.
Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan salat
Jumat boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha
mencari rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat.
Hendaklah mengingat Allah sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan
usahanya dengan menghindarkan diri dari kecurangan, penyelewengan dan lain-
lainnya, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, yang tersembunyi apalagi
yang nampak nyata.
7. QS. Al-Qashas: 77
َ َ َ َُ َ ٓ َ ۡ َ َ ذ َ ۡ َ َ َ َ َ ََ ََ ُمٱ ذَ َٰ َ َ ٓ َ
ّلل إِۡلۡمَۖ َوَّليتم ٌ ََِ ٱ ُّدلج َيا َۖ َوأ ۡحصِ َ نٍا أحصَ ٱ ّلل ٱ ذدل َار ٱٓأۡلخِرة َۖ وَّل حنس ُ ِص َوٱ ۡب َخؼِ فِيٍا ءاحى
ۡ ُ ۡ ُّ ُ َ َ ذ ذ َۡ َ َۡ َ
َ
٧٧ َۡرض إِن ٱّلل َّل ُيِب ٱلٍفصِ دِي ِ ت ۡتؼِ ٱىف َصاد ِِف ٱۡل
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan empat macam nasihat dan
petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya, namun begitu nasihat dan
petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai pengikut Rasulullah
s.a.w. Karena Al-Quran adalah petunjuk yang sempurna untuk ummat beliau
s.a.w. Barangsiapa mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.
Artinya: Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab
neraka”.
9. QS. Al-Hadiid: 25
َ َ َ ۡ َ َ َٰ َ ۡ ُ ُ َ َ َ ۡ َ َ َ َٰ َ ّ َ ۡ َ َ ُ ُ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ
َ ۡ ُز ۡنلَا ٱ
َ ۡلد
ِيد َ اس ةٱىۡل ِۡص ِط َوأ ُ ٔم ٱنلذَ ان ِۡلَ ُل ج وأُزنلا ٌػًٓ ٱىهِتب وٱل ٍِزي ِ ىلد أرشيِا رشيِا ة ِٱۡليِن
ِ
ٞ ّلل كَٔ ٌّي َغز َ ُِصهُۥ َو ُر ُشيَ ُّۥ ةٱىۡ َغ ۡيب إ ذن ٱ ذ ُ اس َو ِۡلَ ۡػيَ ًَ ٱ ذ
ُ ُ َّلل ٌََ ي َ َ َ َٰ ُ ذٞ َ ٞ ۡ َ
٢٥ يز ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِي فِيِّ ةأس شدِيد وٌنفِع ل
Artinya: Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari
mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut
kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).
11. HR. Khathib, “Tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya, dan meninggalkan
akhirat untuk dunianya, serta tidak menjadi beban orang lain”.
13. HR. Thabrani, “Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang
lain”.
14. HR. Ahmad, “Sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang bekerja. Barang
siapa yang bekerja keras, mencari nafkah yang halal untuk keluarganya, maka
sama seperti mujahid di jalan Allah”.
Latihan
5. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Islam mengatur semua
aspek hidup dan kehidupan manusia baik secara pribadi, sosial, berbangsa dan
bernegara. Islam mengabarkan tuntunan aspek duniawi dan ukhrawi (akhirat),
baik kabar gembira berupa pahala maupun peringatan/kabar buruk berupa
ancaman/siksaan. Tujuan akhir ajaran Islam adalah membawa setiap
pemeluknya mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dengan jalan
melakukan segala yang bermanfaat dan mencegah segala hal yang merugikan
atau mudarat. Untuk mencapai tujuan itulah maka syariat Islam berperan sebagai
pedoman hidup.
Seperti diungkapkan dalam kitab suci Al Qurán:
ٞ َََۡ َُٗ ُ ّ ّ ذٞ َ ۡ َ َٰٓ َ ُّ َ ذ ُ َ ۡ َ ٓ َ ۡ ُ ذ
ُّ ل ّ ٍَِا ِف ٱٞ ل ًۡ َوش َِفآء
لص ُدورِ وْدى ورۡحث ِ ِ يأحٓا ٱنلاس كد جاءحلً ٌٔغِظث ٌَِ رب
َ ٌِِ ىّ ِيۡ ٍُ ۡؤ
٥٧ ِني
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS
Yunus (10): 57).
Pemahaman hikmah syariah, atau Maqaashid Al-Syarii’ah kajian Dr. H. Harun
al-Rasyid, S.H. M.Hum, CFE, hadirnya syariat Islam pada dasarnya adalah untuk
memelihara dan melindungi enam hal pokok, yakni:
1) Agama, karena agama adalah pedoman hidup yang mencakup akidah
dan syariat, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia,
2) Jiwa, karena Islam mengakui hak hidup setiap manusia secara
mendalam dan melarang penghilangan jiwa,
3) Akal, karena keberadaan akal-lah yang membedakan manusia dari
binatang dan dengan akal manusia bisa memperbaiki diri dan
memilih jalan hidup mendapat pahala atau siksa,
4) Keturunan, karena anak keturunan adalah upaya manusia
memelihara kemurnian darah dan kelanjutan kehidupannya,
5) Harta benda, karena Islam mengakui dorongan hidup manusia
mencari harta benda demi pemenuhan kebutuhan sehingga perlu
diatur agar tidak bentrok, dan
6) Kehormatan diri, karena martabat manusia dalam Islam dianggap
lebih berharga dan mulia dari harta benda.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 150
Dari keenam hal pokok di atas, memelihara dan melindungi harta benda
adalah hal yang paling bersifat keduniawian. Islam memperhatikan naluri
kepemilikan harta benda sebagai sesuatu yang sangat kodrati. Manusia
melakukan dorongan ini tak hanya demi memenuhi kebutuhan dasar sandang,
pangan dan papan, tapi juga sekaligus mengangkat martabat dan status sosialnya
di tengah masyarakat. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa
yang diinginkan berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda
yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik” (QS Ali Imran:14)
Melalui syariat, Allah SWT mengakui dorongan kodrati tersebut sambil
membekalinya dengan rambu-rambu kuat agar manusia mampu mengendalikan
dan membatasi perilaku yang menyimpang. Manusia juga harus mengumpulkan
harta dengan cara halal, dan daripadanya dikeluarkan hak Allah dan manusia
lain, serta digunakan untuk hal-hal yang halal.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu… (QS an-Nisa (4): 29)
Berikut sejumlah konsep harta dalam pandangan Islam
1) Pemilik hakiki atas segala harta yang ada di muka bumi adalah Allah SWT.
Kepemilikan manusia bersifat nisbi, relatif sebatas melaksanakan amanah
untuk mengelola.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS Al-Hadid
(57):7).
2) Harta-harta yang dikuasakan Allah kepada manusia memiliki beberapa fungsi,
yakni:
a. Harta sebagai amanah titipan Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
b. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan6. Sebagai
perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan,
serta kebanggaan diri.
c. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan
dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak8.
d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia melalui zakat, infak
dan sedekah.
Hukum Ghulûl
Sejumlah kisah di atas menggambarkan bahwa Islam sangat menentang
gratifikasi, atau praktik pemberian hadiah yang terkait jabatan. Demikian
menentangnya, sejumlah ulama klasik sampai menulis bab khusus tentang
gratifikasi di dalam kitab-kitab mereka. Contohnya Al-Bukhari dalam kitab al-
Jami’ as-Shahih menulis: “Bab Hadiah untuk Pegawai” dan “Bab Orang yang
Dilarang Menerima Hadiah karena Sebab Tertentu.” Kemudian Imam Muslim
dalam kitab al-Imarah (Pemerintahan) juga membuat bab khusus “Bab Hadiah
bagi Para Pegawai,” yang oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
dinamakan: “Bab Haramnya Hadiah bagi Pegawai.” dan masih banyak lagi.
Mengenai hadiah yang diberikan BUKAN karena faktor jabatan, seperti
pejabat/pegawai yang biasa menerima hadiah dari teman atau kerabat sejak
sebelum menjadi pejabat/pegawai, atau nilainya tidak meningkat secara
signifikan dibandingkan pemberian-pemberian sebelumnya, maka dalam Islam
tidak dinamakan ghulûl/gratifikasi. Itu bisa termasuk shadaqah jika diniati ingin
mendapat pahala, atau temasuk hadiah jika diniati ingin mendapat pahala dan
memuliakan.
Ketentuan yang sama berlaku bagi hakim. Hakim tidak boleh menerima
hadiah dari orang yang belum pernah memberikan hadiah kepadanya sebelum
menjabat. Dia juga dilarang menerima pemberian yang jumlahnya meningkat dari
pada pemberian sebelumnya. Ini prinsip umum dalam fiqh jinayah (pidana
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 156
Islam). Hakim hanya boleh menerima hadiah atau pemberian dari keluarga atau
sahabat dekat, dimana si keluarga atau si sahabat tidak sedang berperkara dan
memang sudah terbiasa memberi hadiah sejak sebelum dirinya menjadi hakim.
Dari paparan di atas, hukum pemberian hadiah kepada pejabat/ pegawai dapat
dipilah sbb:
1) Haram bagi pemberi dan penerima. Yakni suap (risywah), pungli (sukht),
dan yang sejenis.
2) Boleh bagi pemberi, haram bagi penerima. Yakni hadiah kepada
pejabat/pegawai/hakim tanpa syarat, tapi pemberinya terpaksa
memberi untuk mengamankan diri dari perilaku penguasa, atau sekedar
untuk menghormati kedudukan si pejabat/ pegawai. Pihak pemberi
hadiah tidak berdosa, sedangkan pihak penerima hadiah (pejabat)
berdosa besar karena dianggap menerima gratifikasi atau bahkan
melakukan pemerasan.
3) Boleh bagi pemberi dan penerima. Seperti hadiah kepada
pejabat/pegawai dari kerabat/sahabat yang sudah terbiasa memberi
hadiah sejak sebelum dirinya menjadi pelayan publik, dan kadar hadiah
tidak melebihi kebiasaan sebelum dia menjadi pejabat/ pegawai.
Persoalannya, budaya nepotisme dan politik dinasti di Indonesia sudah
menggurita, sehingga sahabat atau keluarga pejabat justru sering memanfaatkan
kesempatan memberi hadiah untuk memperoleh kemudahan, baik dalam
masalah perizinan, pengurusan akta, pengadaan barang/jasa, dan sebagainya.
Sehingga, pada saat tender, misalnya, sahabat atau keluarga yang pernah
memberikan gratifikasi otomatis akan memiliki “posisi khusus” di mata si
penerimanya, bandingkan peserta tender lainnya. Inilah yang dimaksud oleh
Umar bin Abdil Aziz ra: ”Hadiah pada zaman Nabi SAW adalah hadiah, sedangkan
hadiah hari ini (hakikatnya) adalah suap.” Dan, kondisi kita sekarang ini
sebenarnya sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW 15 abad yang lalu. Beliau
bersabda: Kelak akan datang suatu masa, di mana sejumlah pemerintahan
menghalalkan arak dengan “bungkus” bir, menerima pemberian kecil dengan
alasan sedekah, membolehkan suap dengan “bungkus” hadiah, dan membunuh
dengan alasan memberi peringatan. Mereka memerangi bangsa-bangsa merdeka
untuk menguasai, sehingga (akibatnya) dosa mereka semakin bertambah. Maka,
salah satu solusi yang ditawarkan Islam ialah sadd ad-dari’ah, Yakni upaya
preventif untuk mencegah timbulnya dampak negatif di belakang hari. Jika suatu
perbuatan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) di belakang
hari, maka perbuatan tersebut harus dilarang secara total. Kaidah sadd ad-dari’ah
merupakan salah satu prinsip hukum Islam yang bertujuan mewujudkan
kemaslahatan umum dan menghindari kerusakan (jalbul mashalih wa dar’ul
mafasid).
Karena itu, jika hadiah dari keluarga atau teman dekat pejabat/pegawai
diduga keras akan menjurus pada gratifikasi, maka ia harus dilarang secara total.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 157
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 12 B Undang-Undang 20/2001, yang
menyebutkan bahwa gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan
dengan tugas atau kewajibannya. KPK menghimbau terhadap pegawai negeri
atau penyelenggara negara wajib menolak pemberian terkait jabatan dan
berlawanan dengan tugas atau kewajibannya, jika terpaksa menerima segera
melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK. Sebab, jabatan atau kekuasaan
memiliki efek magnetis; ia dapat menarik hal- hal yang sebelumnya tidak bisa
ditarik. Hadiah kepada pejabat di masa sekarang, sangat rentan mempengaruhi
sikap si pejabat dalam mengambil keputusan.
Pandangan lain yang paralel dengan pemikiran tersebut adalah: “Adapun
hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan
simpati. Jika hadiah diberikan oleh orang yang tidak biasa memberi kepada
seseorang sebelum ia memangku suatu jabatan, maka hukumnya haram. Namun,
jika hadiah diterima dari orang yang sudah terbiasa memberi hadiah kepadanya
sebelum ia mendapatkan jabatan, maka jika ia memberi lebih (dari biasanya),
maka statusnya sama dengan jika si pemberi tidak terbiasa memberi hadiah
kepadanya. Yakni, haram. Namun, jika tidak lebih dari ukuran yang biasa
diberikan, maka jika ia memiliki lawan sengketa, hukumnya juga tidak boleh. Jika
ia tidak memiliki lawan sengketa (pada suatu kasus), maka ia boleh mengambil
hadiah sebatas ukuran yang biasa diterimanya sebelum menjabat. Lebih utama,
tidak mengambil hadiah tersebut. Hukum larangan kepada seseorang hakim
untuk mengambil hadiah lebih kuat dari pejabat lain. Karena hakim adalah wakil
dari syara’, maka sudah seharusnya bila ia berjalan sesuai dengan hukum syara’.
Konsekuensi Hukum
Konsekuensi hukum bagi penerima gratifikasi dalam fiqh jinayah adalah
wajib mengembalikan hadiah yang diterima, atau menyerahkan kepada negara,
atau memilikinya dengan izin pemerintah. Jika salah satunya tidak dilakukan,
maka penerima gratifikasi diancam hukuman/sanksi pidana. Pemerintah berhak
mengatur bentuk hukuman atau sanksi bagi penerima gratifikasi yang melanggar
ketentuan perundang-undangan. Hal ini sesuai prinsip hukum Islam, bahwa
bentuk sanksi yang tidak ditetapkan secara langsung dalam Al-Qur’an atau Hadits
(ta’zir), ketentuannya diserahkan kepada pihak berwenang. Maka KPK
mendorong aparatur sipil negara untuk menolak pemberian terkait jabatan. Jika
terlanjur diterima, maka pemberian itu wajib dilaporkan ke KPK maksimal 30
hari setelah diterima untuk ditentukan, apakah pemberian itu diizinkan diterima
secara pribadi atau diserahkan ke negara.
Selain konsekuensi hukum duniawi, pelaku gratifikasi dalam Islam juga
diancam hukuman akhirat, jika dia tidak mengembalikan hadiah yang
diterimanya. Ini perbedaan paling mendasar antara UU Tipikor dengan ketentuan
syariat Islam. Namun, meski sanksi yang bersifat ukhrawi tidak tercantum,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 158
pelaksanaan sanksi dalam UU Tipikor telah memenuhi prinsip- prinsip ta’zir
dalam syariat Islam, sehingga pelaku gratifikasi yang beragama Islam, dapat
menghapus dosa-dosanya dengan cara menjalani hukuman yang ditetapkan
pengadilan. Jika tidak demikian, dosa-dosanya tidak akan terampuni. Hal ini
didasarkan hadis yang mengisahkan perjalanan Rasulullah SAW ke
perkampungan Bani al-Asyhal. Rasulullah bersilaturrahim dengan penduduk Bani
Asyhad, ditemani seorang shahabat bernama Abu Rafi’. Ketika pulang, keduanya
tampak tergesa-gesa karena waktu Maghrib segera tiba. Di tengah perjalanan,
saat melewati pekuburan Baqi’, tiba-tiba Nabi SAW berseru: “Waduh, celaka…
Waduh, celaka….!” Abu Rafi’ pun menghentikan langkahnya. “Apa yang terjadi
padamu?” tanya Rasulullah SAW. “Ayo jalan!” ajak beliau. Abu Rafi’ lalu
menjelaskan bahwa dirinya berhenti karena mengira dialah yang akan celaka.
“Tidak!” jawab Rasulullah SAW. “(Tadi) aku melewati kuburan si Fulan. Dia
pernah kutunjuk sebagai pegawai pemungut zakat di sebuah perkampungan. Di
sana dia menerima (hadiah) mantel yang terbuat dari bulu harimau. Sekarang (di
dalam kuburnya), dia memakai mantel yang terbuat dari api neraka.”.
Pertama, Mengingatkan kembali bahwa kita semua akan mati dan ada
kehidupan setelah mati.
Jika kita semua meyakini ada kehidupan setelah mati, semestinya kita semua
akan berhati-hati dalam menjalankan hidup dan kehidupan di dunia ini. Semua
perbuatan baik maupun buruk, termasuk amanah berupa jabatan pasti akan
dipertanggungjawabkan di sisi-Nya. Sebab manusia adalah makluk yang
bertanggung jawab, berasal dari Allah, menjadi wakil Allah di muka bumi
(kholifah fil ‘ardli) dan akhirnya akan kembali kepada Allah. Jika semua kita ingat
dan sadar bahwa hidup di dunia ini sementara, kita akan kembali menuju hidup
yang abadi setelah mati, maka hanya satu kata, ‘hati-hati.” Sebagaimana firman
Allah SWT:
“Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrahpun, niscaya ia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa berbuat keburukan seberat zarrahlpun, niscaya ia
akan melihat (balasan)nya”. (QS Al Zalzalah:7-8)
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepadaNYa kamu menyembah.” (QS Al Baqorah:172)
Keempat, bagi para dai, para penyeru kebaikan, para pemegang kekuasaan
hendaklah lebih giat untuk memberi keteladan, menjadi contoh hidup orang
beriman dan berkepribadian baik/ Islami (shakhsiyah Islamiyah), terutama
sikap kesederhanaan (zuhud terhadap dunia), sehingga memberikan energi
positif dan menginspirasi terwujudnya masyarakat yang baik/Islami
(mujtama’ muslim).
Dengan izin Allah SWT, tauladan seperti ini pada akhirnya akan mengantarkan
negeri ini menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
dipenuhi keberkahan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Sebagaimana firman Allah SWT:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (QS. Al- A’raf : 96)
Sikap kesederhanaan akan memberikan energi positif berupa kesyukuran dan
menumbuhkan rasa empati yang dalam terhadap kepedulian. Sementara sikap
bermewah-mewah dan konsumtif akan mematikan hati dan kewaspadaan atas
harta yang diperolehnya halal atau haram.
Daftar Pustaka
Latihan
Buatlah karya tulis popular atau makalah yang membahas salah satu persoalan
korupsi yang bersumber dari banyaknya pemberitahuan, dianalisis
menggunakan konsepsi anti korupsi dalam Islam, dan tuliskan gagasanmu untuk
menerapkan pencegahan korupsi di Kementerian ATR/BPN.