Anda di halaman 1dari 170

MODUL MATA KULIAH

________________________________________________________________________

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Penyusuan :

M.Nur K. Amrullah, S.Pd., M..M.

Joko Santosa, SHI., MHI.

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN

YOGYAKARTA

2020

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 2


Modul Mata Kuliah Wajib Perguruan Tinggi, Pendidikan Agama Islam ini merupakan satu
ikhtiar substantive untuk memberi ruang pendalaman terhadap keilmuan dan praktik
keagamaan bagi Mahasiswa/taruna beragama Islam, kehadiran modul ini diharapkan
menjadi teman belajar atau istilah pembelajarannya adalah sumber belajar minimal.
Rosululloh Muhammad SAW telah memberi pelajaran, bahwa siapa yang dikehendaki
baik oleh Allah Swt maka orang itu diberikan pemahaman oleh Allah Swt tentang Agama.

Sebagai mata kuliah yang mengedepankan pembangunan karakter, kehadiran mata


kuliah pendidikan agama Islam adalah salah satu oase utama bagi mahasiswa untuk
membentuk dirinya menjadi pribadi dan komunitas ulul albab, yakni intelektual yang
mengintegrasikan fikir, dzikir dan amal shalih. Mahasiswa disarankan untuk mengikuti
perkuliahan dengan baik, mempelajari semua materi dengan baik, serta menginternalisasi
pengamalan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Modul MK. Pendidikan Agama Islam ini merupakan “literatur dinamis” yang senantiasa
dapat diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan
dan perubahan zaman. Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan
kualitas modul ini. Terahirkalinya, sumber ilmu dan kebenaran adalah dari Sang Khaliq,
maka secuil ilmu disini hanyalah debu dari luasnya ilmu Allah SWT. Wallahualam
bisshowab.

Bisa kuliah di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) merupakan satu anugerah
bagi mahasiswa, maka rawatlah anugerah itu dengan belajar yang giat, ibadah yang
taat, dan menjadilah insan ulul albab yang banyak manfaat.

Penyusun

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 3


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

PENDAHULUAN

DAFTAR ISI

MODUL I .............................................................................................................................
Pengantar Pendidikan Agama Islam
1. Dasar dan Filosofi PAI di Perguruan Tinggi
2. Tujuan dan Peranan PAI
3. Pengantar “Faham Agama Islam”
4. Kerangka Dasar Ajaran Islam
5. Karakteristik Islam

MODUL II
Sumber Ajaran Islam :
1. Al-Qur’an :
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas

MODUL III
Kerangka Dasar Ajaran Islam
1. Pengertian Kerangka Dasar
2. Akidah
3. Syari’ah
4. Akhlak
5. Hubungan Antara Akidah, Syari’ah, dan Akhlak

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 4


MODUL IV............................................................................................................................
Konsep Akidah Islam
1. Pengertian akidah Islam
2. Ruang Lingkup Akidah
3. Pengaruh Aqidah Dalam Kehidupan

MODUL V .............................................................................................................................
Konsep Ibadah Islam
1. Pengertian Ibadah
2. Macam-macam Ibadah
3. Tujuan dan Syarat Ibadah
4. Niat dan Pengamalan Ibadah

MODUL VI............................................................................................................................
Konsep Akhlak Islam
1. Pengertian Akhlak
2. Sumber dan Ruang Lingkup Akhlak Islam
3. Kriteria kemulian Akhlak
4. Konsep Pembentukan Akhlak sebagai Karakter Islami
5. Shiroh Keteladanan Akhlak Para Tokoh Islam

MODUL VII ..........................................................................................................................


Konsep Muamalah Dalam Islam
1. Pengertian Muamalah
2. Ruang Lingkup Muamalah
3. Prinsip dan Kaidah Muamalah
4. Relasi Muamalah dan Kehidupan Sosial

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 5


MODUL VIII .........................................................................................................................
Konsep Pertanahan Dalam Islam
1. Pendahuluan
2. Ruang Lingkup Pertanahan dalam Studi Islam
3. Posisi Negara dalam urusan Pertanahan dalam Islam
4. Aparatur Pertanahan dalam Islam

MODUL IX............................................................................................................................
Religiusitas Aparatur Pertanahan
1. Pendahuluan
2. Hakikat dan Prinsip Bekerja Dalam Islam
3. Pedoman Bekerja Sesuai Syariat Islam
4. Aparatur Religius dan Profesional

MODUL X .............................................................................................................................
Konsep Anti Korupsi dalam Islam
1. Pendahuluan
2. Konsep Hadiah (Ghulul) dan Gratifikasi
3. Konsep Risywah (Suap) dan Khianat
4. Solusi Melawan Korupsi

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 6


MODUL I
PENGANTAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

1. Dasar dan Filosofi PAI di Perguruan Tinggi

Pendidikan agama Islam pada dasarnya adalah pembentukan karakter


(Character Building), bukan sekadar transfer of knowledge atau transfer of values.
Tujuannya adalah untuk mewujudkan mahasiswa berkepribadian Ilahiyah ;
berpikir paradigmais, bertindak rasional yang bermanfaat bagi orang banyak

Kompetensi yang diharapkan dari Pendidikan Agama Islam kususnya pada


STPN adalah agar mahasiswa memiliki paradigma berfikir yang benar dalam
memahami ajaran Islam (kognitif). Termotivasi untuk meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT melalui studi Islam yang lebih mendalami di
luar kampus (afektif). Mampu mengaplikasikan pesan-pesan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama
manusia maupun dengan alam sekitar, termasuk dalam pengembangan ilmu
Ukur Pertanahan.

Materi sumber Hukum Islam mengajak mahasiswa untuk memahami sumber-


sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad, sehingga mereka
meyakini bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai aturan
absolut tentang jalan hidup, aturan hidup yang masih bersifat global yang harus
dijelaskan dengan sunnah Rasul. Dalam hal ini fungsi rasul adalah sebagai whole
model (uswah hasanah) yang perlu dijadikan pusat identifikasi. Sedangkan dalam
hal-hal kurang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan sunnah rasul, maka ditetapkanlah
melalui Ijtihad sebagai metode penetapan hukum sesuatu yang belum dijelaskan
secara ekplisit oleh Al-Qur’an dan sunnah rasul.

Materi Aplikasi Nilai-nilai Islam dalam kehidupan berisi analisi seputar


bagaimana menghadirkan Allah dalam aktivitas hidup, merumuskan kunci
sukses manusia sebagai Khalifah di muka bumi, memfungsikan riitual dalam
Perubahan Prilaku (behavior change), menyikapi ajaran tasawuf yang benar dan
yang menyimpang, serta tentang etika Islam dalam pembinaan keluarga dan
kegiatan sosial serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

 Aspek Kognitif : Agar mahasiswa memahami al-Islam dengan paradigma yang


benar (berfikir paradigmais).
 Asepk Afektif : Agar anak didik mampu mengapresiasi al-Islam secara

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 7


mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran al-Islam, mampu
memenej emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran al-Islam
sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.
 Aspek psikomotor : Mampu mengamalkan al-Islam secara komprehensif, baik
dalam Hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
2. Tujuan dan Peranan PAI
Islam Merupakan Suatu Agama yang ajaran-ajaranya bersumber dari
wahyu Allah yang diturunkan kepada Manusia melalui Muhammad SAW, Sebagai
Rasulnya, harun Nasution menguraikan Panjang lebar bergai segi dan ilmu yang
menjadi cakupan atau pembahasan dalam Pendidikan Agama Islam.
Berbagai segi atau aspek ini terangkum dari konsep-konsep yang ada
dalam dua sumber aslinya Yaitu Al-qu’an dan As _sunnah (Hadist). Dari kedua
sumber pokok ini para pemikir Islam berhasil mengambil berbagai Ajaran atao
konsep dalam berbagai Aspek Kehidupan manusia, konsep yang terpenting
dalam Islam adalah tauhid, yaitu Ajaran yang menjadi dasar dalam Islam, yaitu
pengakuan tentang adanya satu Tuhan, Yaitu Allah Swt. Dari segi kebahasaan
Islam berasal dari bahasa Arab yaitu kata “salima”, yg mengandung arti selamat,
sentosa dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama
yg berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Sumber lain: salima yang
berarti selamat sentosa kemudian dibentuk kata aslama yg berarti memeihara
dlm keadaan selamat sentosa, dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh,
taat. Kata aslama inilah yg mengandung arti dari segala arti yg terkandung di
dalam pokok artinya. Oleh sebab itu orang yg berserah diri, patuh dan taat
disebut sebagai orang Muslim.
Islam berbicara panjang lebar tentang pendidikan, inti pendidikan Islam
adalah budi Pekerti, jadi pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa
pendidikan dalam Islam. Mencapai akhlak yang karimah (mulia) adalah tujuan
yang sebenarnya dari pendidikan Islam. Meskipun demikian Pendidikan Islam
tetap memperhatikan Pendidikan jasmani, akal, ilmu, ataupun segi segi praktis
lainnya.
Sejalan dengan pendapat diatas Harun Nasution, menegaskan bahwa
tujuan pendidikan Islam tidak hanya mengisi peserta didik dengan Ilmu
pengetahuan dan mengembangkan ketrampilannya, tetapi juga mengembangkan
aspek moral dan agamanya. Konsep ini sejalan dengan konsep manusia yang
tersusun dari tubuh, akal dan hati nurani yang kita yakini bersama. Jadi konsep
pendidikan seperti ini menghendaki bukan hanya pengintegrasian nilai nilai
kebudayaan nasional, tetapi juga pengintegrasian ajaran ajaran ke dalam
pendidikan.
Pendidikan Agama di lembaga pendidikan baik perguruan tinggi
merupakan bagian integral dari pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan di
lembaga pendidikan formal dan sekaligus menjadi bagian dari pendidikan
nasional. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2 dinyatakan bahwa pemerintah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 8
menyelengarakan satu sistem pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-
undang.
Sebagai bagian dari pendidikan Nasional, Pendidikan Agama Islam
mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan
fungsi dan tujuan Pendidikan nasional, peraturan pemerintah No 55 tahun 2007
tentang pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan pasal 2 ayat 1 secara
tegas menyatakan bahwa pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan Hubungan
Inter dan antarumat beragama.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan,
perlu dirancang suatu pendidikan yang mampu menghasilkan ouput yang
memiliki kecerdasan baik fikir maupun dzikir, juga manusia yang siap pakai.
Berkait dengan hal ini konsep pendidikan Agama Islam di STPN menawarkan
konsep dua diterminan pokok, yaitu :1. Subtansi atau isi Ajaran Islam (2)
Problem sosial yang dihadapi oleh umat agar mampu menjawab tantangan sosial
di masyarakatnya.

3. Pengantar “Faham Agama Islam”


1. Pengertian Agama

Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti


"tradisi" atau "A" berarti tidak; "GAMA" berarti kacau. Sehingga agama
berarti tidak kacau. Dapat juga diartikan suatu peraturan yang bertujuan
untuk mencapai kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu. Dilihat
dari sudut pandang kebudayaan, agama dapat berarti sebagai hasil dari
suatu kebudayaan, dengan kata lain agama diciptakan oleh manusia
dengan akal budinya serta dengan adanya kemajuan dan perkembangan
budaya tersebut serta peradabanya. Bentuk penyembahan Tuhan
terhadap umatnya seperti pujian, tarian, mantra, nyanyian dan yang
lainya, itu termasuk unsur kebudayaan. . Sedangkan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan.

Pengertian dan definisi agama menurut para ahli. Agama menurut


Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 9
manusia serta lingkungannya. Émile Durkheim mengatakan bahwa agama
adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan
keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang
sempurna kesuciannya.Sedangkan menurut Bahrun Rangkuti, seorang
muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis, mengatakan bahwa
definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A
(panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa
Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan,
cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan
pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa
Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut
Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din.

Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan


atau isi yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan
tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu
kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan
yang harus dipegang dan dipatuhi. Taj dab,dkk (1994:37) menyatakan
bahwa agama berasala dari kata a, berate tidak dan gama, berarti kacau,
kocar-kacir. Jadi, agama artinya tidak kacau, tidak kocar-kacir, dan/atau
teratur. Maka, istilah agama merupakan suatu kepercayaan yang
mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta
mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia.

Jadi, agama adalah jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia
dalam kehidupannya di dunia ini supaya lebih teratur dan mendatangkan
kesejahteraan dan keselamatan. Setelah agama Nasrani masuk ke
Indonesia, muncul istilah baru yang diidentikkan dengam istilah agama,
yaitu “religion” (bhs Inggris) yang berasal dari bahasa Latin yaitu dari
kata “relegere” yang artinya berpegang kepada norma-norma. Dalam
bahasa Indonesia kata religion dikenal dengan sebutan “religi” dibaca
reliji. Istilah ini erat kaitannya dengan sistem dan ruang lingkup agama
Nasrani yang menunjukkan hubungan tetap antara manusia dengan
Tuhan saja. Dalam Islam kata agama merupakan arti dari kata “ad- diin”
yang berarti pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan
hubungan manusia dengan manusia, termasuk dengan dirinya sendiri dan
alam lingkungan hidupnya (horisontal).

Menurut A.M. saefuddin (1987), menyatakan bahwa agama merupakan


kebutuhan manusia yang paling esensial yang besifat universal. Karena
itu, agama merupakan kesadaran spiritual yang di dalamnya ada satu
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 10
kenyataan di luar kenyataan yang nampak ini, yaitu bahwa manusia
selalu mengharap belas kasihan-Nya, bimbingan-Nya, serta belaian-Nya,
yang secara ontologis tidak bisa diingkari, walaupun oleh manusia yang
mengingkari agama (komunis) sekalipun.

Menurut Sutan Takdir Alisyahbana (1992), agama adalah suatu system


kelakuan dan perhubungan manusia yang pokok pada perhubungan
manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang tiada terhingga
luasnya, dan dengan demikian memberi arti kepada hidupnya dan kepada
alam semesta yang mengelilinginya.

Menurut Sidi Gazalba (1975), menyatakan bahwa religi (agama) adalah


kecendrungan rohani manusia, yang berhubungan dengan alam semesta,
nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat dari
semuanya itu.

Dari ketiga pendapat tersebut, kalau diteliti lebih mendalam, memiliki


titik persamaan. Semua menyakini bahwa agama merupakan kebutuhan
manusia yang paling esensial, adanya kesadaran di luar diri manusia yang
tidak dapat dijangkau olehnya, adanya kesabaran dalam diri manusia,
bahwa ada sesuatu yang dapat membimbing, mengarahkan, dan
mengasihi di luar jangkauanny.

2. Pengertian Agama Islam


Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan
bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim)
yang bermakna dasar “selamat” (Salama). Dari pengertian Islam secara
bahasa ini, dapat disimpulkan Islam adalah agama yang membawa
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat (alam kehidupan setelah
kematian).
Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum
Muslim/umat Islam) untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian,
antara lain tercermin dalam bacaan shalat --sebagai ibadah utama-- yakni
ucapan doa keselamatan "Assalamu'alaikum warohmatullah"
Sedangkan pengertian Islam menurut bahasa, kata Islam berasal dari
kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk
mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.

‫إإلسالم مصدر من أسلم يسلم ؤسالما‬


Ditinjau dari segi bahasanya, yang dikaitkan dengan asal katanya
(etimologis), Islam memiliki beberapa pengertian, sebagai berikut:
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 11
Islam berasal dari kata ‘salm’ (‫ )الس َّْلن‬yang berarti damai atau kedamaian.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

ُ ‫يع ْإل َعل‬


‫يم‬ ُ ‫إلسم‬ ْ ‫لس ْلم َف‬
َّ َ ُ ُ َّ ِ َّ ‫اج َن ْح َل َها َو َت َو َّك ْل َع ََل‬ َّ ُ َ َ ْ َ
ِ ِ ‫إَّلل ِؤنه هو‬ ِ ‫و ِإن جنحوإ ِل‬
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian (lis salm), maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 8:61). Al anfal

Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini
merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam
merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau
senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik
dan kekacauan.

ََ ُ َ ْ َ ْ َ ََ ََُْ َ ْ ُ ْ َ
َ
‫ي إقتتلوإ فأ ْص ِل ُحوإ َب ْين ُه َما ۖ ف ِإن َبغت ِؤ ْحدإه َما عَل‬ ‫َوإ ْن َط ِائ َف َت ِان ِمن إلمؤم ِن ن‬
ِ
َّ ْ َ ٰ َ َ ‫ْ ِ ُ ْ َ ٰ َ َ ُ َّ َ َ ْ ن َ ََّ ٰ َ ن‬
َ‫إَّلل ۚ َفإ ْن َف َاء ْت َف َأ ْصل ُحوإ َب ْي َن ُهما‬
ِ ِ ِ ‫ؼء ِؤَل أم ِر‬ ْ ‫إْلخرى ف َ ْق ِاتلوإ إل ِ يت تب ِ يغ حت ت ِ ي‬
ْ َ َّ ‫ب ْال َع ْدل َوأقس ُطوإ ۖ ؤ َّن‬
َ‫إَّلل ُُح ُّ إل ُمقسط ن‬
‫ي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. 49 :
9).al hujurat

Sebagai salah satu bukti Islam merupakan agama yang sangat


menjunjung tinggi perdamaian adalah Allah SWT melalui Al-Quran baru
mengizinkan atau memperbolehkan kaum Muslimin berperang jika
mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya.
ََ ْ ‫َل َن‬ َ َ َ َّ َّ َ ُ ُ ْ ُ َّ َ َ ُ َ َ ُ َ َّ َ
‫ْص ِه ْم لق ِدير‬
ِ ٰ ‫أُ ِذن ِلل ِذين ُقاتلون ِبأنهم ظ ِلموإ ۚ و ِإن إَّلل ع‬
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-
benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. 22 : 39). Al Hajj

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 12


Islam Berasal dari kata ‘aslama’ (ُ‫ )أ َ ْس َل َن‬yang berarti berserah diri atau
pasrah hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan
seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya
kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan
pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala
larangan-Nya.

ً َ َ َ ْ َ َّ َ َ َّ َ ْ ُ َ ُ َ َّ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َّ ً ُ َ ْ َ ْ َ َ
ۗ ‫َّلل وهو مح ِسن وإتبع ِملة ِؤبر ِإهيم ح ِنيفا‬
ِ ِ ‫ومن أحسن ِدينا ِممن أسلم وجهه‬
ً َ َ َ ْ ُ َّ َ َ َّ َ
‫يم خ ِليل‬ ‫وإتخذ إَّلل ِؤبر ِإه‬

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan
Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. 4 : 125) ad
dukhon

4. Kerangka Dasar Ajaran Islam

Islam pada hakikatnya adalah aturan atau undang – undang Allah yang
terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang meliputi perintah dan
larangan serta petunjuk supaya menjadi pedoman hidup dan kehidupan umat
manusia guna kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Secara umum aturan itu
dibagi menjadi 3 hal pokok, yaitu Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.

A. Aqidah
Aqidah adalah sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktivitas muslim.
Ajaran Islam berisikan tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini, dan
diimani oleh setiap muslim. Karena agama Islam bersumber kepada kepercayaan
dan keimanan kepada Allah swt, maka aqidah merupakan sistem kepercayaaan
yang mengikat manusia kepada Islam. Seorang manusia disebut muslim jika
dengan penuh kesadaran dan ketulusan bersedia terikat dengan sistem
kepercayaan Islam. Karena itu, aqidah merupakan ikatan dan simpul dasar dalam
Islam yang pertama dan utama.

Aqidah dibangun atas 6 dasar keimanan yang lazim disebut Rukun Iman.
Rukun iman meliputi : iman kepada Allah swt, para malaikat, kitab – kitab, para

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 13


Rasul, hari akhir, dan Qodlo dan Qodar. Allah berfirman dalam QS.An-Nisa ayat
136:
َُۡ ََ َ ٓ ‫ذ‬
َٰ َ ۡ َ ُ ‫لَع َر‬
َٰ ََ َ‫َذ‬ ‫ذ‬
َٰ َ ۡ َ ‫َ َٰٓ َ ُّ َ ذ َ َ َ ُ ٓ ْ َ ُ ْ ذ‬
ُ ‫ٱّلل ِ َو َر‬
ُۚ ‫و‬ ‫ت‬ ‫ق‬ َِ
ٌ ‫ل‬ ‫ُز‬ ‫أ‬ ‫ِي‬
‫ٱَّل‬ ‫ب‬
ِ ‫ِت‬
‫ه‬ ‫ٱى‬‫و‬ ‫ِۦ‬ ‫ِٔل‬
ِ ‫ش‬ ‫ل‬ ‫ز‬ ُ ‫ِي‬
‫ٱَّل‬ ‫ب‬ ِ ‫ِت‬
‫ه‬ ‫ٱى‬‫و‬ ‫ِۦ‬ ‫ِٔل‬
ِ ‫ش‬ ِ ‫يأحٓا ٱَّلِيَ ءأٌِا ءأٌِِا ة‬
‫ِيدا‬ َ ۡ ‫هخِِّۦ َو ُك ُختِِّۦ َو ُر ُشيِِّۦ َو‬
ً ‫ٱۡل ۡٔ ِم ٱٓأۡلخِر َف َل ۡد َض ذو َض َل َٰ َ اَل ةَػ‬ َ َ ََ ‫ََ َ ۡ ُۡ ذ‬
َٰٓ ٌ‫وٌَ يلفر ةِٱّلل ِ و‬
ِ ِ ‫لئ‬

artinya “ Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepaada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang diturunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-
Nya, Rasul-Nya, hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya”.

Berdasarkan 6 fondasi tersebut, maka keterikatan setiap muslim yang


semestinya ada pada jiwa setiap muslim adalah :

1. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir, mengandung syariat yang
menyempurnakan syariat – syariat yang diturunkan Allah sebelumnya.
2. Meyakini bahwa Islam adalah satu- satunya agama yang benar di sisi Allah.
Islam dating dengan membawa kebenarana yang bersifat absolute guna
menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selaras dengan fitrahnya.
3. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang universal serta berlaku untuk
semua manusioa dalam segala lapisan masyarakat dan sesuai dengasn
tuntutan budaya manusia
B. Syariáh
Komponen Islam yang kedua adalah syari’ah yang berisi peraturan dan
perundang- undangan yang mengatur aktifitas yang seharusnya dikerjakan
manusia. Syari’at adalah sistem nilai yang merupakan inti ajaran Islam.
Syari’ah aatau sistem nilai Islam yang diciptakan oleh Allah sendiri. Dalam
kaitan ini, Allah disebut Syaari atau pencipta hukum.

Sistem nilai Islam secara umum meliputi 2 bidang :

1) Syari’at yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah


(ibadah mahdah / khusus). Disebut ibadah mahdah karena sifatnya yang
khas dan sudah ditentukan secara pasti oleh Allah dan dicontohkan
secara rinci oleh Allah. Dalam konteks ini, syari’at berisikan ketentuan
tentang tata cara peribadatan manusia kepada Allah, seperti kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji.
2) Syari’at yang mengatur hubungan manusia secara horizontal dengan
sesama dan makhluk lainnya ( mu’amalah ). Mu’amalah meliputi
ketentuan perundang- undangan yang mengatur segala aktivitas hidup
manusia dalam pergaulan dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Adanya sistem mu’amalah ini membuktikan bahwa Islam tidak
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 14
meninggalkan urusan dunia, bahkan tidak pula melakukan pemisahan
terhadap persoalan dunia maupuu akhirat. Bagi Islam, ibadah yang
diwajibkan Allah atas hambanya bukan sekedar bersifat formal belaka,
melainkan disuruhnya agar semua aktivitas hidup dijalankan manusia
hendaknya bernilai ibadah. Ajaran ini sesuai dengan ajaran Islam tentang
tujuan diciptakannya manusia supaya beribadah. Allah berfirman dalam
QS. Adz-Zarariyat, ayat 56:
ُ ُ ۡ ‫ٱۡل ذَ َو ۡ َ ذ‬ۡ ُ َۡ َ ََ
ِ ‫ٱۡلنس إَِّل ِۡلَػتد‬
‫ون‬ ِ ِ ‫وٌا خيلج‬

Artinya : “Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya
beribadah kepada- Ku “

Hubungan horizontal ini disebut pula dengan ibadah gairu mahdah /


umum karena sifatnya umum, di mana Allah atau Rasul-Nya tidak
memerinci macam dan jenis perilakunya, tetapi hanya memberikan
prinsip dasarnya saja.

C. Akhlak.
Akhlaq merupakan komponen dasar Islam yang ketiga yang berisi
ajaran tentang perilaku atau sopan santun. Akhlaq maupun syari’ah pada
dasarnya membahas perilaku manusia, tetapi yang berbeda di antaranya
adalah obyek materia. Syari’ah melihat perbuatan manusia dari segi
hukum yaitu : wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan aklaq
melihat perbuatan manusia dari segi nilai / etika, yaitu perbuatan baik
ataupun buruk.

Akhlaq merupakan sistematika Islam, sebagai sistem, akhlaq


memiliki spektrum yang luas, mulai sikap terhadap dirinya, orang lain,
dan makhluk lain, serta terhadap Allah SWT.

5. Daftar Pustaka

Prof. Dr Azra Azyumardi. 2002, Buku Teks Pendidikan Agama Islam. Jakarta 18
Agustus 2002 Direktorat Perguruan Tinggi.

Mubarak, KH Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Yayasan Ukhuwah


Ihsaniah, Depok

6. Rangkuman

Kerangka dasar ajaran Islam merupakan dasar-dasar pokok ajaran Islam


yang membekali setiap orang untuk bisa mempelajari Islam yang lebih luas dan
mendalam. Memahami dan mengamalkan kerangka dasar ajaran Islam

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 15


merupakan keniscayaan bagi setiap Muslim yang menginginkan untuk menjadi
seorang Muslim yang kaffah. Tiga kerangka dasar Islam, yaitu aqidah, syariah,
dan akhlak, tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena itu, tidak dimungkinkan bagi
seorang Muslim memilih sebagiannya dan meninggalkan sebagiannya yang lain.

Sebagai generasi muda Islam yang masih memiliki waktu yang panjang,
hendaknya para mahasiswa Muslim menyadari hal tersebut, sehingga termotivasi
untuk mendalami ajaran Islam yang utuh dan bisa mengamalkan ajaran-ajaran
Islam dengan baik dan benar. Dengan bekal ajaran Islam yang cukup, diharapkan
aktivitas yang dilakukan, terutama aktivitas ibadah, menjadi berkualitas dan
dapat dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt. Untuk menghasilkan
akhlak atau karakter mulia – yang merupakan citacita setiap Muslim, juga salah
satu tujuan pendidikan nasional Indonesia – dalam konsep Islam harus dimulai
dari membangun fondasi yang kuat, yakni mendasari dengan akidah atau iman
yang kokoh. Dengan iman yang kokoh pasti akan tumbuh semangat yang tinggi
untuk melaksanakan seluruh aturan Allah baik yang ada dalam al-Quran maupun
Sunnah, baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah, dengan baik dan
penuh keikhlasan semata-mata karena Allah, tanpa ada tendensi lainnya. Jika
semua aturan Allah ditaati dan dilaksanakan pastilah akan terwujud akhlak atau
karakter mulia pada diri seseorang. Karena itu, pemahaman yang benar akan
konsep dasar Islam menjadi sangat penting untuk membangun komitmen moral
untuk melaksanakan seluruh ajaran Islam

7. Tes Formatif
1) Apa yang anda Fahami tentang kerangka dasar ajaran Islam.
2) Jelskan hubungan antara Syariah, Aqidah dan Akhlak dalam kehidupan
3) Sebutkan faktor-faktor yang melatar belakangi ketidak sesuaian ibadah
dengan realitas kehidupan.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 16


MODUL II

SUMBER AJARAN ISLAM

1. Al-Qur’an :
a. Pengertian Al-qur’an

Adapun kata Qur’an, dari segi isytiqaqnya (asal usul kata), terdapat
beberapa perbedaan pandangan dari para ulama. Antara lain, sebagaimana
yang diungkapkan oleh muhammad bin Muhammad Abu Syaibah (1992) dalam
kitab Al-Madkhal li Dirasah al-Qur’an al-Karim, sebagai berikut:

1. Qur’an adalah bentuk masdar dari qara’a , dengan demikian, kata Qur’an
berarti “bacaan”. Kemudian kata ini selanjutnya, sebagaimana bagi kitab
suci yang diturunkan oleh Allh swt. Kepada nabi Muhammad saw, pendapat
ini didasarkan pada firman Allah: Artinya “apabila kami telah seesai
membacanya maka ikutilah bacaannya. (QS. Al Qiyamah : 18). Antara lain
yang berpendapat demikian adalah al-Lihyan (w.215 H).
2. Qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u yang bermakna al-jam’u (kumpulan).
Selanjutnya digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw, alas an yang dikemukakan adalah karena Al-
Qur’an terdiri dari sekumpulan suruh dan ayat, memuat kisah-kisah,
perintah dan larangan, dan juga karena Al-Qur’an mengumpulkan inti sari
dari kitab- kitab yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini, antara lain
dikemukakan oleh al-Zujaj (w.311 H).
3. Kata al-Qur’an adalah ism alam, bahkan kata bentukkan dan sejak awal
digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi Muhammad saw, pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’y
(w.204 H).
Menurut Abu Syahbah, dari ketiga pendapat di atas, yang paling
tepat adalah pendapat yang pertama. yakni bahwa Al-Qur’an dari segi
isytiqaqnya, adalah bentuk masdar dari kata qara’a.
Sedangkan Al-Qur’an menurut istilah, antara lain, adalah: Firman
Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang memiliki
kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara
mutawatir, yang tertulis dalam mushhaf, dimulai dengan surah al-Fatihah
dan diakhiri dengan surah al-Nas. (Muhammad Abu Syahbah: 1992)
M. Qurais Shihab (1997) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai : “firman-

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 17


firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksinya
kepada Nabi Muhammad saw, dan diterima oleh ummat Islam secara
tawatur.
Maka dapat didefinisikan bahwa: Al-Qur’an adalah firman Allah swt
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat
Jibril a.s sesuai dengan redaksinya, yang memiliki kemukjizatan lafal, yang
tertulis dalam mushaf, dimulai dari suruh al-Fatihah sampai pada suruh
al-Nas, dan disampaikan secara mutawatir kepada umat Islam, dimana
membacanya dinilai sebagai ibadah.

b. Cara al-qur’an diwahyukan


Dalam istilah syara’, wahyu adalah kalam Allah ta’ala yang diturunkan
kepada seorang nabi. Definisi yang agak sedikit berbeda disampaikan oleh
Syaikh Muhammad Abduh dalam Risalah At-Tauhid, menurut beliau wahyu
adalah, “Pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan
disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik melalui
perantara ataupun tidak, melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau
tanpa suara sama sekali.
Ada dua cara Allah menyampaikan wahyu kepada para rasul-Nya, yaitu:

1. Tanpa melalui perantara.


Wahyu yang disampaikan tanpa perantara ada yang didapatkan
dari mimpi yang benar dalam tidur, ada juga kalam ilahi dari balik tabir
tanpa perantara. Tentang mimpi yang benar, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata:

Artinya: “Yang mula-mula terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat
mimpi, kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”
(muttafaq ‘alaih)

Dasar yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi
adalah wahyu yang wajib diikuti adalah mimpi Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam agar menyembelih putranya, Ismail ‘alaihis salam. Allah ta’ala
berfirman:

Artinya: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang
sangat sabar. Tatkala anak itu telah sampai pada umur sanggup
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,
maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia menjawab, ‘Wahai
ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 18


engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS.
Ash-Shaffatt [37]: 101-102)

Adapun wahyu yang disampaikan di balik tabir tanpa perantara,


itu terjadi pada Musa ‘alaihis salam. Allah ta’ala berfirman:
َ ََّ‫ا يم ىََّّْللت ى م مَّللُ َُّللا م‬
‫َكو‬ ‫ل‬
Artinya: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”
(QS. An-Nisaa [4]: 164)

Demikian pula, menurut pendapat yang paling shahih, Allah ta’ala


pun telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada malam isra’ mi’raj.

2. Melalui perantaraan Jibril, malaikat pembawa wahyu


Dengan cara inilah, Al-Qur’an Al-Karim diturunkan. Ada dua cara
penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Pertama, wahyu datang kepada Rasul dengan suara seperti
dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi
kesadaran, sehingga ia siap menerima wahyu tersebut. Cara ini yang
paling berat bagi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suara ini mungkin
berasal dari kepakan sayap malaikat, sebagaimana diisyaratkan oleh
hadits:

Artinya: “Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para


malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-
Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.”
(HR. Al-Bukhari)

Kedua, Jibril menjelma sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia.


Cara ini lebih ringan bagi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dua cara di atas disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam:

Artinya: “Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan


lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah
menyadari apa yang dikatakannya. Terkadang juga, malaikat menjelma
di hadapanku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku,
dan aku pun memahami apa yang dia katakan.” (Mabahits fi ‘Ulumil
Qur’an, karya Manna’ al-Qaththan).

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 19


c. Mengenal Asbab An- nuzul
1. Pengertian asbab An-nuzul

Kekeliruan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an adalah dikarenakan


tidak memahami asbabun nuzul ayat tersebut. Hal ini, misalnya, pernah
dialami oleh Khalifah Marwan bin Hakam dan ‘Utsman bin Mazd’un. Dalam
masyarakat Indonesia misalnya, ada sebagian masyarakat kita yang
memahami ungkapan yang sangat populer “fitnah itu lebih kejam dari
pembunuhan” berdasarkan ayat alFitnatu Asyaddu min al-Qatl, atau al-
Fitnatu Akbaru min al-Qatl yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 191
dan 217. Kesalahan itu terjadi, karena di samping memahami arti kata “al-
fitnah” dalam ayat itu semakna dengan arti fitnah dalam bahasa Indonesia,
juga disebabkan mengabaikan asbabun nuzul yang menjadi latar belakang
tuturnnya ayat tersebut

Oleh karena itu, sangat tepat apa yang pernah di kemukakan oleh al-
Wahidi an-Naisaburi bahwa “tidak mungkin bisa memahami suatu ayat
tertentu tanpa mengetahui latar belakang sejarah turunnya ayat tersebut”.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa “asbabun nuzul adalah bidang ilmu al-
Qur’an yang paling penting untuk dicermati dan diperhatikan, sebab
penafsiran dan pengungkapan maksud dari suatu ayat tidak akan dapat
dilakukan tanpa mengetahui kronologis yang menjadi penyebab turunnya
ayat tersebut”.

Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata“asbab”


dan “nuzul”, Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang
melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang
melatar belakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam
pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk
menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Alquran, seperti
halnya asbab al wurud secara khusus digunakan bagi sebab terjadinya
hadist. Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para
ulama, di antaranya:

1. Menurut Az-zarqoni: Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu


yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang
berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-shabuni: asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang
berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa
pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agama”.
3. Subhi shalih: asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 20


satu atau beberapa ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu
peristiwa, sebagai respon atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum
ketika peristiwa itu terjadi”.
4. Mana’al-Qaththan: asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya al-qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa
itu terjadi, baik berupa kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada
nabi”.
Hampir senada dengan definisi di atas, Dr. Dawud al-Aththar
mengemukakan pengertian asbabun nuzul, yaitu : “Asbab al-Nuzul adalah
sesuatu yang melatar belakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai
jawaban terhadap suatu pertanyaan atau menjelaskan hukum yang terdapat
dalam peristiwa tersebut.

Dari definisi asbabun nuzul yang dikemukakan di atas, dapat di tarik


suatu pengertian bahwa yang menjadi “asbab” itu adakalanya terjadi suatu
peristiwa yang membutuhkan penjelasan hukum, atau adanya suatu
pertanyaan yang di ajukan kepada Nabi saw, kemudian turun suatu ayat
untuk menjelaskan hukum dari peristiwa atau pertanyaan tersebut. Makna
peristiwa (waqi’ah) dalam definisi di atas dapat dipahami dalam bentuk
pertengkaran, kesalahan yang dilakukan, pujian atas suatu sikap dan
pemecahan masalah.

d. Tujuan Al-Qur'an diturunkan

Tujuan Al-Qur'an diturunkan adalah untuk menegakkan tata


masyarakat yang adil berdasarkan etika. Tujuan ini sejalan dengan
semangat dasar Al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Fazlur
Rahman (1994:34), yaitu semangat moral, yang menekankan monotheisme
serta keadilan sosial. Quraish Shihab mengemukakan tujuan dari Al-Qur'an
diturunkan yakni sebagai berikut:

a) Untuk membersihkan aka] dan menyucikan jiwa dari bentuk syirik serta
memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempuma bagi Tuhan
seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia
b) Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa
umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama
dalam pengabdian kepada Allah SWT dan pelaksanaan tugas
kekhalifahan.
c) Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bukan saja antar suku atau
bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dan akhirat,
natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 21
kebenaran, kesatuan kepribadian, manusia, kesatuan kernerdekaan dan
determinasi, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya
berada di bawah satu keesaan, yaitu keesaan Allah SWT.
d) Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerjasama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bemegara melalui musyawarah dan
mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
e) Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia,
dalam bidang sosial ekonomi, politik, dan juga agama.
f) Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok
kehidupan masyarakat manusia.
g) Untuk memberi jalan tengah antar falsafah monopoli kapitalisme dengan
falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummat wassathan yang
menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran.
h) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi. Guna menciptakan satu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan
paduan Nur Ilahi ( 1996: 12-13)

e. Keutamaan membaca Al-qurán

Al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman bagi setiap umat muslim, setiap


muslim dianjurkan untuk membacanya serta memahami isi dari kandungan
ayat tersebut. Maka dari itu perlu bagi kita untuk mempelajari Al-Qur’an,
baik belajar membaca, menulis maupun mempelajari isi dari kandungan Al-
Qur’an tersebut.
Bagi orang yang beriman, kecintaannya kepada Al-Qur’an akan
bertambah. Sebagai bukti cintanya, dia akan semakin bersemangat
membacanya setiap waktu, mempelajari isi kandungan dan memahaminya.
Selanjutnya, akan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari,
baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan lingkungan
sekitarnya.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 82:
ٗ ‫ني إ ذَّل َخ َص‬
َ ‫ ُّۡ ۡ َ ََ َ ُ ذ‬ٞ َۡ َ َ ٞٓ َ َ ُ َ َ ۡ ُۡ َ ََُُّ
‫ارا‬ ِ ٍِ ِ ‫ان ٌا ْٔ شِفاء ورۡحث ى ِيٍؤ ٌِِ ِني وَّل ي ِزيد ٱىظَٰي‬
ِ ‫نل ٌَِ ٱىلرء‬
ِ ‫وج‬
Artinya: “Dan kami turunkan dari Al-Qur‟an (sesuatu) yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang zalim
(Al-Qur‟an itu) hanya akan menambah kerugian…..

Dalam sebuah riwayat pernah diungkapkan bahwa pada suatu hari,


seseorang datang menghadap Ibnu Mas’ud r.a dan menceritakan
permasalahannya. “Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasihat yang dapat kujadikan

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 22


obat bagi jiwaku yang sedang gelisah,” keluhnya. Ibnu Mas’ud menjawab,
“Kalau penyakit itu yang menimpamu, bawalah hatimu mengunjungi tiga
tempat, yaitu tempat orang-orang membaca Al-Qur’an, bacalah Al-Qur’an, atau
dengarlah baik-baik orang yang membaca Al- Qur’an.
Rasulullah SAW pernah menyatakan keutamaan dan kelebihan membaca
Al-Qur’an dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Artinya: Dari Aisyah r.a berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
membaca Al-Qur‟an dan ia mahir maka nanti akan bersama-sama denganpara
malaikat yang mulia lagi taat. Sedang orang yang membaca Al-Qur‟an dan ia
merasa susah di dalam membacanya tetapi ia selalu berusaha maka ia
mendapat dua pahala

2. As-Sunnah (Hadist )
a. Pengertian As-sunnah
Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum Islam dikarenakan
kekuatan otoritatif yang dimilikinya. Posisi yang begitu penting meletakan
sunnah sebagai sumber yang harus dijadikan referensi dalam pengambilan
dan penetapan setiap keputusan Hukum, menurut Imam Syafii sunnah yang
valid hanya terdapat dalam teks hadist yang diperoleh melalui metode
transmisi periwayatan tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Dengan
batasan demikian berarti sunnah identik dengan hadist yaitu informasi
tentang Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu Yusuf al -qaradawi, seorang pemikir termuka yang berasal
dari mesir sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber dasar hukum Islam
yang kedua setelah al-qurán, secara sederhana ia menyatakan bahwa sunnah
berfungsi untuk menjelaskan maksud-maksud al-qurán, baik berupa
penegasan, pembatasan, atau penetapan Hukum baru. Sunnah yang
menentukan peran al-qurán, sedangkan al-qurán itu sendiri hanya dapat
difahami secara penuh dan dapat diaplikasikan secaara benar hanya karena
pertolongan Sunnah, namun dari berbagai peran tersebut harus pula
ditegaskan bahwa otoritas sunnah tidak boleh keluar dari lingkaran batas-
batas al-qurán itu sendiri.
Dari dua pendapat itu dapat ditarik suatu pengertian bahwa as-sunnah
adalah pensarah Al-Qur’an, karena Rasulullah bertugas menyampaikan Al-
Qur’an dan menjelaskan pengertiannya. Maka As-asunnah menerangkan
ma’na Al-Qur’an, adalah dengan cara:
1. Menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti
menerangkan waktu-waktu sembayang, bilangan raka’at, kaifiyat ruku’,
kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat, waktu-waktu memberikan zakat,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 23
macam-macamnya dan cara-cara mengerjakan haji. Karena inilah
Rasulullah s.a.w. bersabda: Artinya “ambillah olehmu dariku perbuatan-
perbuatan yang dikerjakan dalam ibadah haji”.
2. Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur’an seperti
mengharamkan kita menikahi seseorang wanita bersamaan dengan
menikahi saudaranya ayahnya, atau saudara ibunya, seperti
mengharamkan kita makan binatang-binatang yang bertaring.
3. Menerangkan ma’na lafad, contoh seperti mentafsirkan al maghdlubi
‘alaihim dengan orang yahudi dan mantafsirkan adldlallin, dengan orang
nasrani
Sunnah berdiri sebagai penjelas maksud al-Qur’an, penjamin makna al-
Qur’an dan pelengkap perintah-perintah yang ada dalam al-Qur’an, sehingga
al- Qur’an tidak bisa dipahami tanpa sunnah, Qur’an tidak bisa mandiri tanpa
sunnah. Misalnya al-Qur’an memberikan perintah-perintah umum, maka
sunnah menjelaskan maksudnya secara spesifik. Sunnah juga memberikan
informasi tambahan yang mutlak diperlukan dalam praktek peribadatan yang
tidak ada dalam al-Qur’an. Karena itu muncul anggapan bahwa, kebutuhan al-
Qur’an terhadap sunnah lebih besar daripada kebutuhan sunnah terhadap al-
Qur’an.(Dikutif dari tulisan Ahmad Rafiq dalam Studi Analisis atas al-Qur’an
dan as-Sunnah Antara Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta: UIN
Yogyakarta, 2011).

b. Bagian-bagian Sunnah

Dari pengertian yang dijelaskan diatas maka oleh para ahli usul membagi
sunnah itu kepada tiga yaitu :

1. Sunnah Qauliyyah (Perkataan Nabi) Yaitu Hadis-hadis Rasul Saw yang


beliau katakana dalam berbagai tujuan dan konreks yang memuat
berbagai maksud Syara'baik yang berkaitan dengan aqidah, akhlak,
maupun yang lainnya. Contoh Rasul Bersabda dalam Hadisnya sebagai
berikut : "Dari Ibnu Abbas, dari nabi Saw apabila seseorang kaum is
hendak hersetuhuh dengan isterinya bacalah Dengan mum Altah. Ya Tuhan
jauhkanlah syaitan clari pada kamu dari pada anak yang engkau
anugerahkan kepada kami, kalau terjadi anak dengan persetubuhan itu
niscaya syetun tidak akan memberi bahaya kepada anak itu menjadi anak
yan balk. Buchari".
2. Sunnah Fi'liyah (Perbuatan Nabi Saw) Segala perbuatan Rasul atau
pekerjaannya yang dipahami dan dilakuan nabi diikuti umatnya sampai
kepada kita. Salah satu contoh dari sunnah ini adalah : "Dari Aisyah Isteri
nabi Saw . sesungguhnya nabi Saw, apabila mandi karena Janaba
dimulainya membasuh kedua belah tangannya, lalu is berwudhu
sebagaiaman wudhunya untuk sembahyang, kemudian itu dimasukkan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 24
anak jarinya kedalam air dan digosokannya pangkal rambut kepalanya.
Kemudian dituangkannya keatas kepalanga tiga sauk air dengan kedua
belah tangannya, dan dituangkannya air kepada segenap tubuhnya".
3. Sunnah Tagririyah, Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau
mengemukakan suatu ucapan dihadapan nabi atau pada masa nabi, nabi
mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyangganya,
namun nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal ini merupakan
pengakuan dari nabi. Keadaan diam nabi itu dapat dibedakan dalam dua
bentuk: Pertama, nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci
dan dilarang oleh nabi. dalam hal ini kadang-kadang nabi mengetahi
bahwa sipelaku tarjih. Umpamanya pada suatu waktu nabi melipat kedua
tangannya dibawah dada pada waktu berdiri sedang shalat, dan pada
waktu lain meluruskan tangannya dibawah. Dalam hal ini tidak dapat
dikatakan ada pertentangan antara dua perbuatan nabi, sehingga
dikatakan bahwa perbuatan yang dilakukan beliau kemudian
membatalkan atau mensahkan apa yang dilakukan nabi sebelumnya. Bila
nabi melakukan suatu perbuatan yang bukan merupakan penjelasan
terhadap sebelumnya, tidak ada pula dalil yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu khusus untuk nabi, tetapi dapat diketahui sifat perbuatan
wajib, nadab atau mubah. Melalui penjelasan langsung dari nabi atau tidak
maka mayoritas ulama figih dan kalam sepakat mengatakan bahwa umat
dituntut mengikuti perbuatan itu baik yang berbentuk baik, nadab atau
ibadah. Kedua, bentuk perbuatan tersebut berlaku secara umum untuk
nabi sendiri maupun untuk umatnya. Perbuatan nabi yang dapat diketahui
merupakan penjelasan hukum untuk umat dan menjadi dalil hukum yang
harus dipatuhi oleh umat dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dart
ulama semua sepakat. Penjelasan dalam bentuk ini adalah yang
dikemukakan Nabi dengan ucapan yang jelas, seperti sabda Nabi :
"Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya sholat

c. Kedudukan Sunnah dalam Hukum Islam

As Sunnah adalah penafsiran terhadap ajaran al-Qur’an, ia merupakan


implementasi realistis serta ideal dalam Islam. Kepribadian Nabi Muhammad
SAW adalah merupakan pengejawantahan al-Qur’an dalam sebuah ajaran
Islam. Sebagaimana hal ini pernah disampaikan oleh Ummul Mukminin
‘Aisyah ra, tatkala ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw, beliau
menjawab; “Budi pekertinya adalah al-Qur’an.

As Sunnah, disamping sebagai penafsir terhadap ajaran al-Qur’an juga


berfungsi sebagai referensi dan sumber petunjuk kedua setelah al-Qur’an.
Petunjuk itu akan terus mengalir ke dalam lapagan syari’ah, hukum dan fikih
serta melandasi seluruh sektor kehidupan manusia.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 25
Ummat Islam telah sepakat menjadikan sunnah sebagai salah satu dasar
hukum untuk beramal (ibadah), karena sesuai dengan yang dikehendaki
Allah. Kesepakatan ummat Islam dalam mempercayai, menerima dan
mengamalkan segala ketentuan yag terkandung di dalam sunnah sudah
dilakukan sejak Rasulullah saw masih hidup. Sepeningggal beliau, semenjak
masa khulafa al Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang
mengingkarinya. Dalam lintasan sejarah Islam, banyak peristiwa yang
menunjukkan adanya kesepakatan untuk menggunakan sunnah Rasulullah
SAW sebagai sumber hukum Islam, salah satunya adalah apa yang
disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berikut ini :
“Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi Khalifah, ia pernah berkata; Saya
tidak akan meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan atau
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya”.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, kedudukan sunnah dari segi


statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam menempati posisi yang
sangat strategis setelah al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut
ini :

“Bahwasanya ketika Rasulullah saw hendak mengutus Muadz bin Jabal


ke Yaman, beliau bertanya kepada Muadz ‘Bagaimana engkau
memutuskan perkara jika diajukan kepadamu? Maka Muadz menjawab,
Aku akan memutuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an). Rasul
bertanya lagi; Apabila engkau tidakmenemukannya di dalam kitab
Allah? Muadz berkata; Aku akan memutuskannya dengan sunnah. Rasul
selanjutnya bertanya; Bagaimana jika engkau juga tidak
menemukannya didalam sunnah dan kitab Allah? Muadz menjawab;
Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku. Rasul saw menepuk
dada Muadz seraya berkata; Alhamdulillah atas taufiq yang
dianugerahkan oleh Allah kepada utusan Rasul-Nya”.

3. Ijtihad
1. Pengertian
Sebelum membahas fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam, kamu perlu
untuk mengetahu pengertian ijtihad terlebih dahulu. Kata Ijtihad sendiri berasal
dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang memiliki arti mengerahkan segala
kemmpuan yang ada pada diri dalam menanggung beban. Menurut bahasa,

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 26


ijtihad dapat di artikan dengan bersungguh-sungguh dalam mencurahkan semua
isi pikiran.
Sedangkan untuk pengertian ijtihad dilihat dari isitilah adalah mencurahkan
semua tenaga serta pikiran dan bersungguh-sungguh dalam menetapkan suatu
hukum. Maka dari itu tidak disebut ijtihad jika tidak adanya unsur kesulitan
pada suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad merupakan mencurahkan
semua kemampuan dalam mencari syariat dengan menggunakan metode
tertentu. Ijtihad sendiri dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga
setelah Al-Qur’an dan hadits. Ijtihad juga menjadi pemegang fungsi penting
dalam penetapan hukum Islam. Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut
dengan Mujtahid, dimana orang tersebut adalah orang yang ahli tentang Al-
quran dan hadits.
Demikian juga dilihat dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”,
penambahan hamzah dan ta’ pada kata “jahada” menjadi “ijtihada” pada wazan
ifta’ala, berarti usaha untuk lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya “kasaba”
menjadi “iktasaba” berati usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Dengan
demikian “ijtihada” berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya. Ijtihad
dalam pengertian lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang
dimilikinya.
Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam. Tetapi
pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun
terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad secara
etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah
“penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada
kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash
yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal
dengan maslahat.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum.
Dasar-dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’ an dan sunnah. Di
dalam ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt
dalam QS. al-Nisa’:105 sebagai berikut: Artinya: “Sesungguhnya kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat”. Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-
Rum: 21: Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Di kalangan ulama terjadi beberapa masalah mengenai ijtihad. Misalnya,
Imam Syafe’i menyamakan ijtihad dengan qiyas yakni dua nama tetapi
maksudnya satu. Dan tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan dan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 27
masalah mursalah. Sementara ulama lain memiliki pandangan lain yang lebih
luas tentang ijtihad, menurut mereka ijtihad itu mencakup pada ra’yu, qiyas dan
akal.
Pendapat tentang ra’yu tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang
mujtahid. Atau paling tidak mendekati hukum syariat tanpa melihat apakah hal
tersebut ada dasarnya maupun tidak.
Dengan berdasarkan itu, Ad-Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian
yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-
Muwafaqat, yaitu: pertama, ijithad al-batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan
hukum-hukum syara dari nash, 2) ijtihad al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
menggunakan metode qiyas, 3) ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah dengan
mengunaka ra’yu berdasar kaidah istishlah. Di samping itu, Muhammad Taqlyu
Al-Hakim menganggap bahwa penjabaran seperti di atas belumlah sempurna.
Sehingga ia membagi ijtihad menjadi dua: 1) ijtihad al-aqll, yaitu ijtihad yang
hujjahnya didasarkan pada akal dan tidak menggunakan dalil syara’, 2) ijtihad
syari’,yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara.

2. Metode Ijtihad
1. Ijma’

Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat


untuk melakukan suatu pekerjaan, atau membuat keputusan terhadap
suatu permasalahan. Dalam terminologi ushul fiqh, ijma’ dimaknai sebagai
suatu kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tertentu terhadap
masalah hukum syariah setelah meninggalnya Nabi saw. Apabila suatu
peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa tersebut
dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad,
dan mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari
peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’ Imam
al-Syaukani menyebutkan adanya tiga unsur dalam ijma’, antara lain:

a. Kesepakatan tersebut dilakukan oleh para ulama mujtahid dari kalangan


umat Islam dari seluruh penjuru dunia, tidak boleh ada yang tertinggal
satu orang pun.
b. Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw wafat.
c. Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan dalam masalah hukum
keagamaan.
Dari definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa suatu kesepakatan
tentang hukum dapat disebut sebagai ijma’ manakala memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 28
1) Kesepakatan tersebut dilakukan oleh para ulama mujtahid
Mengenai makna mujtahid ini para ulama berbeda pendapat dalam
hal redaksi pemaknaannya, namun memiliki kesamaan dalam
maknanya, yaitu seorang ulama yang memiliki kemampuan dalam
melakukan penggalian dan istinbath hukum berdasarkan dalil-dalil
syar’i yang ada. Beberapa pakar ushul fiqh kontemporer kemudian
mempertegas kriteria seorang mujtahid sebagai orang yang beragama
Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak yang baik, serta
mampu melakukan istinbath hukum dari al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam sejarah pembentukan hukum Islam, tidak banyak orang yang
dapat dikategorikan ke dalam kelompok mujtahid ini, mengingat
persyaratan menjadi seorang mujtahid sangatlah berat dan tidak
mudah dipenuhi. Di antara persyaratan bahwa seseorang dapat
disebut sebagai mujtahid di antaranya adalah ia harus menguasai dan
memahami dengan baik ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam al-
Qur’an, menguasai hadis-hadis yentang hukum beserta transmisi
periwayatannya, menguasai dengan baik ilmu ushul fiqh seperti
metode ijma’, qiyas, istihsan, istishab, maslahah mursalah, sad dzarai,
‘urf, dan sebagainya, juga menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an seperti
nasakh-mansukh dan sebagainya, menguasai ilmu maqashid al-
syariah dan bagian-bagiannya, serta menguasai ilmu bahasa Arab
beserta tata bahasanya secara baik. Apabila dilihat dari tingkatannya,
terdapat beberapa tingkatan mujtahid, yaitu:

A. Mujtahid mutlak, ialah orang yang telah memenuhi


persyaratanpersyaratan untuk melakukan ijtihad dan memberikan
fatwa dalam segala permasalahan hukum Islam tanpa terikat oleh
karakteristik ijtihad suatu mazhab tertentu. tingkatan ini adalah
tingkatan yang paling tinggi dan hanya para ulama pendiri mazhab
saja yang berada pada posisi tersebut.
B. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang telah memenuhi seluruh
persyaratan sebagai mujtahid, tetapi ia cenderung berafiliasi
dengan suatu mazhab tertetu dan mengikuti karakteristik ijtihad
mazhab tersebut dengan berpedoman pada metode ijtihad yang
ditetapkan oleh imam mazhabnya.
C. Mujtahid muqayyad, adalah orang yang memiliki kemampuan
memahami dalil-dalil syar’i, tetapi tidak mau keluar dari nalar
pemikiran hukum yang dikembangkan oleh mazhab yang ia anut,
mujtahid dalam tingkatan ini sebenarnya tidak pernah menggali
hukum terhadap permasalahan yang baru, tetapi hanya mengambil
hukum yang telah dirumuskan oleh mazhab yang ia ikuti untuk
menjawab permasalahan hukum yang muncul.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 29


Dari penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa
kesepakatan orang awam yang tidak memiliki kemampuan dalam
berijtihad atau orang yang belum mencapai derajat sebagai
mujtahid tidak dapat dikatakan sebagai ijma’, begitu pula
penolakkan mereka. Karena orang yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai mujtahid tidak memiliki keahlian memahami
hukum syariah, sehingga pendapatnya tidak dapat dianggap
sebagai ijma’, meskipun jumlah mereka sangatlah banyak. Dalam
hal ini para ulama ushul berpendapat bahwa apabila pada suatu
masa tidak didapati seorang pun yang dapat memenuhi
persyaratan sebagai mujtahid, maka dapat dipastikan tidak ada
ijma’ dalam masa tersebut. Apabila hanya ada satu atau beberapa
ulama yang dapat mencapai derajat mujtahid misalnya, apabila
kesepakatan tersebut dapat mewakili seluruh pendapat ulama
dengan derajat mujtahid pada masa tersebut, maka dapat disebut
ijma’ namun apabila kesepakatan tidak mewakili pandangan para
ulama mujtahid lainnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai ijma’.
Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa kesepakatan
sebagian ulama mujtahid atau sebagian besar dari mereka sudah
dapat dikatakan sebagai ijma’, tetapi pendapat tersebut adalah
pendapat yang lemah. Karena hakekat ijma’ menurut jumhur
ulama ushul fiqh adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada
masa tertentu.

2) Ijma’ dilakukan Setelah Nabi SAW Wafat


Pada masa Nabi saw masih hidup, umat Islam dapat menanyakan
semua permasalahan yang dihadapinya terkait hukum syariah secara
langsung kepada Nabi saw, kemudian Nabi menjawabnya
berdasarkan wahyu yang diturunkan kepada baliau. Karena itu pada
tersebut tidak ada ruang untuk ijma’ sebagai sumber hukum.
Sepeninggalnya beliau kemudian muncul permasalahanpermasalahan
baru yang tidak terdapat pada masa Nabi, sehingga untuk
memutuskan hukumnya mutlak diperlukan ijtihad dan ijma’ sebagai
salah satu metodenya. Misalnya tentang masalah kodifikasi al-Qur’an,
atau masalah penetapan status tanah daerah taklukan yang semakin
luas.

Pada masa tersebut khalifah biasa bermusyawarah dengan para


sahabat lainnya untuk bersama-sama memecahkan masalah yang
dihadapi. Berdasarkan realitas tersebut banyak ulama ushul fiqh yang
hanya mengakui bahwa ijma’ dalam Islam hanya terjadi pada zaman
sahabat, dan tidak pada zaman setelahnya. Karena menurut mereka
setelah masa sahabat ijma’ tidak mungkin dan tidak pernah terjadi.8
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 30
Adapun yang dimaksud dengan sahabat yang diakui ijma’-nya
sebagian ulama berpendapat bahwa mereka adalah para sahabat dari
golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Namun sebagian ulama lainnya
berpendapat bahwa yang lebih penting adalah mereka yang diakui
ijma’-nya yakni mereka yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid
yang terdiri dari sahabat-sahabat terkemuka yang sudah diakui
keilmuannya seperti Khulafa’u Rasyidin, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn
Mas’ud, dan lainnya. Karena mereka selain diakui keilmuannya, juga
diyakini sebagai sahabat-sahabat yang adil dan berhatihati dan tidak
mungkin bersepakat untuk melakukan kesalahan. Selain itu dalam
sejarah pensyariatan dapat diketahui bahwa Nabi saw senantiasa
mendiamkan dalam arti menyepakati perbuatan-perbuatan para
sahabat yang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan syariah
Islam. Menurut jumhur ulama, ijma’ yang diakui tidak hanya ijma’
yang dilakukan oleh para sahabat dan ahlul bait saja, tetapi setiap
masa dimana terdapat para ulama yang telah mencapai derajat
sebagai mujtahid, maka kesepakatan mereka hendaknya diakui
sebagai ijma’ dan dapat dijadikan sebagai rujukan hukum. Hal ini
karena setiap masa selalu ada masalah-masalah baru yang berbeda
dengan masa sebelumnya yang membutuhkan penyelesaian hukum.
Apabila ijma’ yang diakui hanya ijma’ sahabat, maka umat Islam
setelah masa sahabat akan kesulitan mencari rujukan hukum
terhadap masalah yang dihadapinya.

3) Kesepakatan Dalam Hukum Syariah


Ulama ushul fiqh mensyaratkan bahwa kesepakatan yang terjadi di
antara para ulama mujtahid haruslah tentang permasalahan hukum
syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum taklifi seperti
hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah, baik dalam
masalah ibadah maupun muamalah. Para ulama yang berpendapat
demikian di antaranya adalah al-Ghazali dalam kitabnya al-
Musytasyfa, al-Juwaini dalam kitabnya Warakat, serta Kamal bin
Hanbal dalam kitabnya al-Tahrir. Kesepakatan pandangan dalam
masalah sejarah, pembuktian dan kesaksian dalam peradilan,
masalah pandangan atau pilihan politik, atau masalah lainnya diluar
masalah hukum taklifi dalam hal ini tidak dapat dikategorikan
sebagai ijma’.

4) Kesepakatan Harus dilakukan Oleh Seluruh Mujtahid


Sesuatu disebut ijma’ apabila kesepakatan hukum tersebut
dilakukan oleh seluruh ulama mujtahid dari seluruh dunia, tidak ada
yang tertinggal satupun. Dalam hal ini seluruh ulama mujtahid harus
menyetujui hukum yang telah mereka putuskan dengan tanpa
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 31
memandang dari negara mana, bangsa serta golongan mazhab
apapun. Artinya, apabila kesepakatan hanya dilakukan oleh sebagian
mujtahid saja, sedangkan sebagian lainnya menentangnya, maka
tidak dapat dikatakan sebagai ijma’ dan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah syar’iyah. Misalnya kesepakatan hanya dilakukan oleh
para ulama mujtahid dari negara Arab Saudi saja, sedangkan tidak
disepakati oleh ulama mujtahid di Indonesia, maka hasil keputusan
tersebut bukan termasuk ijma’. Hal ini sejalan dengan kritik Ahmed
Abdullah Al-Naim terhadap konstruks ijma’ klasik yang dipahami
dalam perspektif ushul fiqh. Menurutnya pada masa sekarang
dimana berbagai sarana komunikasi dan transportasi modern telah
tersedia, tidak ada alasan bagi para mujtahid untuk mengalami
kesulitan dalam melakukan kesepakatan yang lingkupnya
internasional. Karena itu ijma’ pada zaman sekarang yang diakui
menurutnya haruslah ijma’ yang lingkupnya internasional, bukan
ijma’ dalam lingkup nasional atau bahkan hanya dalam satu
kelompok saja. AlNaim berpendapat bahwa ijma’ internasional dapat
dilakukan dengan adanya pertemuan dialog informal seperti Non-
Govermental Organization (NGO) Internasional antara para ulama
mujtahid dari seluruh negara di dunia tanpa memandang latar
belakangnya yang penting mereka memiliki kesamaan komitmen
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Konsep ijma’
dalam pandangan al-Naim juga menggugat pandangan bahwa
keputusan ijma’ terdahulu tidak dapat dihapus oleh ijma’ kemudian.
Selain itu ia juga menolak klaim ijma’ yang hanya berdasarkan pada
otoritas kepompok atau bangsa tertentu, lebih-lebih otoritas
perorangan dimana dalam suatu musyawarah ada orang yang
mendominasi pendapatnya dan ada orang yang hanya mengikuti
saja. Ijma’- ijma’ seperti itu tidak diakui sebagai ijma’ dalam
pandangan Abdullah alNaim.

a. Macam macam Ijma’

Menurut Abdul Wahab Khallaf , ijma’ bila dilihat dari cara mendapatkan
hukum melalui ijma’ , maka ijma’ itu ada dua macam: yaitu Ijma’ Sharih (The
real ijma’) dan Ijma’ Sukuti (The silent ijma’) Ijma’ Sharih ialah, setiap
mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang disepakati.
Menurut ulama jumhur.

Ijma’ sharih ini yang dapat dijadikan hujjah ( dalil hukum). Sedangkan
imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’ sharih yang dapat dijadikan hujjah
(dalil hukum), sehingga Imam Syafi’i mengatakan sebagai berikut: jika
engkau atau salah seorang ulama mengatakan,”hukum ini telah disepakati”,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 32
maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga megatakan seperti apa
yang engkau katakan.

Ijma’ Sukuti ialah, Sebagian mujtahid pada saat menampilkan


pendapatnya secara jelas mengenai suatu pristiwa dengan sistem fatwa atau
dalam majlis, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau
kementar, umatku tidak bersepakat terhadap sesuatu yang sesat, lalu Allah
mengabulkannya).

Syarat dan Rukun Ijma’ Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah
yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad, kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil
(berpendirian kuat terhadap agamanya), Mujtahid yang terlibat adalah yang
berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Keiga
syarat ini disepakati oleh seluruh ualama.

Menurut ulama ushul fiqh rukun ijma’ itu ada lima: pertama Yang terlibat
dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’adalah seluruh mujtahid,
kedua mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh
mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam,
keempat kesepakatan itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah
mereka mengemukan pandangannya, kelima hukum yang disepakati itu
adalah hukum syara’yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya dalam al-
qur’an ataupun dalam hadits Rasulullah SAW.

Macam-macam Ijma’ Menurut Abdul Wahab Khallaf , ijma’ bila dilihat


dari cara mendapatkan hukum melalui ijma’ , maka ijma’ itu ada dua macam:
yaitu Ijma’ Sharih (The real ijma’) dan Ijma’ Sukuti (The silent ijma’) Ijma’
Sharih ialah, setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua
yang disepakati. Menurut ulama jumhuR ijma’ sharih ini yang dapat dijadikan
hujjah ( dalil hukum). Sedangkan imam syafi’i juga sepakat bahwa ijma’
sharih yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), sehingga Imam Syafi’i
mengatakan sebagai berikut: jika engkau atau salah seorang ulama
mengatakan,”hukum ini telah disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang
engkau temui juga megatakan seperti apa yang engkau katakan”. Ijma’ Sukuti
ialah, sebagian mujtahid pada saat menampilkan pendapatnya secara jelas
mengenai suatu pristiwa dengan sistem fatwa atau dalam majlis, sedangkan
mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau kementar terhadap
pendapat tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat atau perbedaannya.

Tentang ijma’ sukuti ada tiga pendapat: Pertama, Menurut ulama jumhur
berpendapat ijma’ sukuti tidak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil, karena
menganggap tidak hanya sebagai pendapat ulama mujtahid saja. Kedua,
menurut ulama Hanafiyah Ijma’ Sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah ketika
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 33
telah ada ketetapan, bahwa seorang mujtahid yang diam ketika dihadapkan
kepadanya suatu kejadian, dan diutarakan pendapatnya mengenai peristiwa
tersebut, dan tidak ada kecurigaan bahwa diamnya mujtahid tersebut karena
takut, karena posisi diamnya seorang mujthid bearti dia sedang memberi
fatwa. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk,
Rajawali Press ,Jakarta, 1993, h.75), Ketiga menurut Abu Ali al-Jubba’i (tokoh
Muktazilah w.303 H) bahwa ijma’ sukuti dapat dikatakan ijma’, apabila
generasi mujtahid yang menyepakati hukum tersebut sudah habis. Karena
sikap diam mujtahid lain bersikap diam saja terhadap hukum yang disepakati
sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat, maka kemungkinan adanya
mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada lagi. Imam al’Amidi
(ahli ushul fiqh dari mazhab Syafi’y), Ibnu Hajib (ahli ushul fiqh dari mazhab
Maliki), dan Imam Abu bakar Muhammad bin Husein al-Karkhi (ahli ushul
fiqh dari mazhab Hanafi), berpendapat, bahwa kesepakatan seperti ini tidak
dikatakan ijma’, tetapi dapat dijadikan hujjah, dan sifat kehujjahannya juga
bersifat zanni.

Ijma’ ahli Madinah menurut pandangan Imam Malik dapat dijadikan dalil
atau argumentasi dalam berhujjah. Sedang sebagian mazhab Maliki telah
sepakat bahwa ijma’ penduduk Madinah yang dapat dijadikan hujjah ialah
ijma’ mereka terhadap masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Syu’bah ibn
Mughirah tentang kesepakatan mereka dalam memberikan harta pusaka
kepada nenek atau hadits Nabi tentang interpretasi terhadap saudara seayah
termasuk juga dalam kategori saudara dalam pengertian umum.

b. Contoh Ijma’ Masa Kini

Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi lagi,
karena pada waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara ijma’, pada
masa itu para ulama mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka
masih berdekatan, wilayah umat Islam atau negara belum begitu luas seperti
sekarang, dan masih memungkin masing-masing mujtahid dapat
memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang persoalan hukum
yang di ajukan kepada mereka. Ulama klasik seperti Imam as-Syafi’i, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauziah , (dari mazhab Hanbali), begitu juga
pandagan ulama yang sudah modern seperti Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Hudri Bek dan Fath adDuraini ( guru besar fiq dan Ushul Fiqh
dari Unversitas Suriah, Damacus, dan Wahbah az-Zuhaili, mereka
berpendapat tidak mungkin akan terjadi ijma’ seperti pada masa sahabat.
Maka persoalan isu-isu seperti keputusan anggota MPR RI, atau DPR RI
tentang Undang-undang atau keputusan kepala daerah seperti
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 34
Gubernur/Bupati/Walikota seperti PERDA tentang larang judi, minuman
keras dan sebagainya yang muncul pada zaman kotemporer atau globalisasi
tidak akan mungkin dapat mengakomodasi persoalan hukum baru, artinya
ijma’ tidak dapat diterapkan sebagai metode penetapan hukum baru pada era
sekarang. Mereka memberikan dasar pemikiran bahwa ijma dapat terjadi
karena mengharuskan semua mujtahid disemua negara harus hadir dan
memberikan respon pada persoalan yang diajukan kepada mereka, kemudian
persyaratan yang masuk dalam kategori mujtahid juga sangat ketat.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2)
kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat ini
disepakati oleh seluruh ulama.224 Sedangkan pada zaman sekarang sangat
sulit dan langka ulama yang menguasai semua bidang ke ilmuan apalagi yang
masuk dalam kategori mujtahid. Akan tetapi kalau kita melihat dari subtansi
dari tujuan ijma’ sebagai salah satu metode penetapan hukum, di karenakan
ada persoalan baru yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat,
sedangkan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan. Maka
perlu kita mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa Ijma’
akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada pemerintah,
karena pemerintah sebagai ulil Amri dapat mengetahui mujtahid-
mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan menentukan
mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia
Islam”.

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan


para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas
perintah/undangan kepala Negara, itulah yang mungkin terjadi sepanjang
masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar” Kalau
memperhatikan pengertian dari subtansi pengertian ijma’ tersebut, kemudian
didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidieqy, ada
kemungkinan bahwa Keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan kepala daerah
atau menghimpun berbagai macam fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari
berbagai lembaga seperti fatwa ulama NU dan fatwa ulama majlis Tarjih
Muhammadiyah dan Fatwa MUI, yang kebetulan subatansi dari isi fatwa
tersebut sama-sama menyatakan bahwa merokok itu haram karena merusak
kesehatan manusia.dapat dianggap sebagai ijma’, paling dapat kita sebut
sebagai ijma’ lokal.

Pada zaman sekarang, ada kemungkinan untuk menghimpun pendapat


para ulama atau mujtahid lokal maupun pendapat mujtahid seluruh dunia,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 35
tidak musti harus bertemu dalam satu majlis, akan tetapi dapat di akses
melalui teknologi Internet, atau melalui akun pecebook, atau akun Twitter.
Tetapi memberikan persoalan melalui media Internet dan mengharapkan
jawaban oleh orang yang berkualitas mujtahid tentu akan mengandung
beberapa kelemahan, karena pada media tersebut, kemungkinan orang yang
bukan ulama mujtahid juga dapat memberikan jawaban dan penipuan dalam
memberikan jawaban yang tidak di harapkan. Kelemahan selanjutnya media
internet belum ada ulama yang menggunakan, bahwa madia ini dapat
digunakan sebagai sarana untuk ijma’ ( kesepakatan Mujtahid)’ untuk
mengakses atau menghimpun) pendapat para mujtahid lakal maupun secara
internasional dari berbagai negara didunia

2. Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan.
Meng-qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu
terhadap sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, menurut ulama
usul fikih, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya
dengan sesuatu yang ada nas hukumnya karena adanya persamaan „illat
hukum.7Dalam redaksi yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum
dari peristiwa yang tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah
memiliki nas hukum, sebab adanya persamaan dalam „illat hukumnya.8
Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya
dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan „illat
hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum analogis
terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan „illat akan
melahirkan hukum yang sama pula. Oleh karenanya, sebagaimana yang
diungkapkan Abu Zahrah, asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah
secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang
membentuknya.
Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan antara
sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka
konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan. Qiyas merupakan
salah satu medote istinbāṭ yang dapat dipertanggungjawabkan karena ia
melalui penalaran yang disandarkan kepada nas. Ada beberapa ayat Al-
Qur‟an yang dijadikan landasan bagi berlakunya qiyas di dalam menggali
hukum, di antaranya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S An-Nisa‟ (4): 59)

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 36


Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah), tiada lain
adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan apa
sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh melalui pencarian „illat hukum yang merupakan tahapan dalam
melakukan qiyas.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di
atas sebagai dalil qiyas,yakni bahwa Allah SWT telah memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan permasalahan
yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka kepada Allah
dan Rasulullah jika mereka tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur‟an
maupun Sunnah. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan
permasalahan kepada Allah dan Rasul adalah mencakup semua cara dalam
mengembalikan permasalahan itu. Artinya, bahwa menyamakan peristiwa
yang tidak memiliki nas dengan peristiwa yang sudah ada nasnya
dikarenakan adanya kesamaan „illat, maka hal tersebut termasuk kategori
“mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya” sebagaimana
dalam kandungan ayat di atas. Selain al-Nisa‟ (4): 59, para ulama juga
menjadikan surat al-Hasyr (59): 2 sebagai salah satu landasan kehujjahan
qiyas.
Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah
yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan
Sunnah), karena adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara
kedua masalah itu.

Beberapa contoh tentang qiyas sebagai berikut :

Dalam surah Al-maidah ayat 90 terdapat larangan keras minum


khamar. Khamar minuman keras yang dibuat dari anggur. Mengapa
dilarang ? dan bagaimana bila minuman keras itu dibuat dari bahan lainnya,
seperti dari beras kentan, ketela dan sebagainya ? Dalam hal ini, kita perlu
meneliti illat hukumnya (sebab adanya larangan keras minuman itu) ialah
karena bisa memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu
unsur memabukkan itu diterdapat di semua minuman keras. Karena itu,
dengan qiyas, semua jenis minuman keras diharamkan.
Berdasarkan hadits Nabi, orang yang membunuh orang yang
mewariskan hartanya itu gugur hak warisnya. Illat hukumnya (sebabnya),
bahwa pembunuhannya di maksudkan untuk mempercepat hak warisnya.
Tetapi justru hak warisnya gugur, sebagai hukuman atas kejahatannya.
Demikian pula pembunuh orang orang yang memberi wasiat, gugur hak
wasiatnya, diqiyaskan dengan pembunuh orang yang mewariskan hartanya,
karena ada permaan illatnya.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 37
Berdasarkan Surah Al-Juma'ah ayat 9, jual beli dilarang pada waktu
sudah dikumandangkan adzan pada hari jumat, karena jual beli itu bisa
mengelahkan sholatnya. Hanya saja larangan ini tidak sampai ketingkatan
haram, tetapi makruh. Demikian pula semua kegiatan bisnis dan nonbisnis
diqiyaskan hukumnya dengan jual beli, karena sama-sama bisa
melengahkan sholat.
Pada ketiga contoh tersebut diatas, terdapat qiyas menurut istilah ushul
fiqhi, karena menyamakan suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya
dengan masalah yang telah ada nash hukumnya berdasarkan persamaan
illat hukumnya (motif hukumnya) yakni :
 Pada contoh pertama, semua jenis minuman keras mempunyai unsur
yang sama, ialah memabukkan dan merusak saraf otak/akal;
 Pada contoh kedua, kedua macam pembunuhan mempunyai motif yang
sama, ialah mempercepat waktu untuk menerima warisan;
 Pada contoh ketiga, semua kegiatan bisnis pada waktu adzan sholat
jum'at dapat melengahkan/melupakan orang dari sholat jum'at yang
wajib itu. Dari contoh-contoh qiyas di atas, dapatlah diketahui bahwa
qiyas itu mempunyai 4 (empat) rukun unsur, yaitu :
Ashl (pokok), ialah masalah yang telah ada nashnya mengenai
hukumnya. Ashl juga disebut maqis 'alaih (yang disamai) dan musyabbah
bih (yang diserupai). Far' (cabang), ialah masalah yang tidak ada nashnya
mengenai hukumnya. Far' juga disebut maqis (yang disamakan)
dan musyabbah (yang diserupakan). Hukum ashl (hukum pokok), ialah
hukum syara' yang telah ditetapkan nashnya untuk pokok dan dikehendaki
hukumnya berlaku juga untuk cabang.
Illat hukum, ialah yang menjadi motif (alasan) adanya ketentuan
hukum pada ashl, dan ingin dicari apakah illat hukum pada pokok itu juga
terdapat pada cabang. Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua yakni
ashl dan far' tidak ada syarat-syarat lainnya, kecuali bahwa masalah pokok
sudah ada kepastian hukumya dengan nash, dan far' (masalah cabang)
belum ada kepastian hukumnya baik dengan nash maupun dengan ijma'
dan juga tidak ada hambatan yang menghalangi persamaan hukumnya pada
masalah pokok dan cabang.
Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua, yakni ashl dan far'
tidak ada syarat-syarat lainnya, kecuali bahwa masalah pokok sudah ada
kepastian hukumnya dengan nash, dan far' (masalah cabang) belum ada
kepastian hukumnya baik dengan nash maupun dengan ijma', dan juga
tidak ada hambatan yang menghalangi dipersamakan hukumnya pada
masalah pokok dan cabang.
Mengenai rukun qiyas yang ketiga, yakni hukum ashl, maka untuk
berlakunya hukum pokok pada cabang ada syarat-syarat nya. Sebab tidak
setiap hukum syara' yang ditetapkan nash untuk suatu masalah itu bisa
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 38
diterapkan pada masalah lain dengan jalan qiyas, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
Hukum syara' pada pokok harus ditetapkan dengan nash Al-Qur'an atau
Sunnah. Karena itu, hukum syara' yang ditetapkan dengan jima', tidak atau
bisa diterapkan hukumnya pada masalah lain masih dipersoalkan ulama.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tidak bisa dipakai qiyas. Sebab hukum yang
berdasarkan ijma' itu belum tentu mempunyai landasan nash, sehingga
kalau tidak ada landasan nashnya, maka tak ada jalan untuk memahami illat
hukumnya, padahal illat hukum itu merupakan unsur yang sangat vital
untuk pemakaian qiyas. Tetapi menurut Asy Syaukani, pengarang kitab
Irsya dul Fahul, ijma' bisa menjadi landasan qiyas. Apakah hukum syara'
yang ditetapkan dengan jalan qiyas, bisa diterapkan pada masalah lain?
Tidak bisa sama sekali, dan mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Misalnya mengharamkan perasaan buah apel karena
menyamakannya dengan perasaan buah kurma. Qiyas macam ini tidak sah,
sebab kalau perasaan apel memang sama dengan perasaan kurma (sama-
sama mengandung unsur memabukkan dan merusak saraf otak), maka
tentunya perasaan apel itu sama dengan khamar(perasaan anggur) yang
keharamnya berdasarkan nash Al-Qur'an. Jadi, kalau mengharamkan
perasaan apel itu dengan diqiyaskan pada perasaan anggur, kalau benar-
benar sama mengandung unsur memabukkan dan merusak akal. Jika tidak
sama dengan khamar, maka tidak sama hukumnya.
Hukum syara' pada pokoknya harus bisa dijangkau oleh akal untuk
memahami illatnya. Sebab jika kita tidak bisa menangkap illatnya, kita tidak
bisa menggunakan qiyas, karena landasan qiyas adalah illat hukumnya yang
bisa kita tangkap. Sebenarnya semua hukum syara' disyariatkan atas dasar
kepentingan atau kemaslahatan manusia dan atas sebab-sebab yang
menjadi landasan adanya hukum-hukum syara' itu. Tiada suatu hukum
syara' yang disyariatkan dengan main-main tanpa ada illat/motif
hukumnya. Hanya saja hukum-hukum syara' itu ada yang bersifat ta'abbudi
atau tidak bisa dirasionalkan, dan ada pula hukum-hukum yang bisa
dirasionalkan. Sedangkan hukum-hukum yang bersifat ta'abbudi atau yang
tidak bisa dirasionalkan misalnya, ketentuan jumlah rakaat dalam sholat
lima waktu, ketentuan hukum had untuk tindak pidana, hukuman kaffarat.
Hukum syara' pada pokok-pokok harus bersifat umum, bukan
merupakan hal yang khusus atau pengecualian, misalnya larangan
mengawini istri Nabi setelah Nabi wafat. Dan kesaksian dalam peradilan
yang cukup seorang saksi saja, yakni sahabat Khuzaimah bin tsabit. Padahal
nash-nash Al-Qur'an dan sunnah menunjukkan bahwa wanita yang sudah
meninggal suaminya dan sudah habis masa iddahnya boleh dinikahi oleh
laki-laki lain. larangan menikahi istri Nabi merupakan hal yang khusus

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 39


untuk istri Nabi, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan selain istri-istri
Nabi.
3. Istihsan
Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari ‫ نسحتسا‬yang
berarti menganggap baik sesuatu. Atau mengira sesuatu itu baik. Abu
Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan
yaitu ‫ )نسحتسا‬astahsin) berarti saya menganggap baik. Arti lain dari
istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu.
Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya
seseorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi
ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan
menetapkan untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk
diamalkan.
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, ada beberapa definisi
yang dirumuskan oleh beberapa ahli ushul:
Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu: Beralih dari
penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya.
(qiyas pertama). Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat
kebiasaan karena suatu kemaslahatan. Ibnu Subki menjelaskan bahwa
definisi yang pertama tidak terjadi perdebatan karena yang terkuat di
antara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan definisi kedua ada pihak
yang menolaknya. Alasannya, apabila dapat dipastikan bahwa adat istiadat
itu baik karena berlaku seperti pada masa Nabi atau sesudahnya, dan
tanpa ada penolakan dari nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil
pendukungnya, baik dalam bentuk nash maupun ijma’.
Dalam bentuk seperti ini adat harus diamalkan secara pasti. Namun
bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip
oleh al-Sarkhasi ‫نعيا نيج حري م عيرش نعئنع ل ری دئ وي يار نعبئ غ وھ اھ ج عب نعل‬
‫ نننربي‬Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan
sesuatu yang syara' menyerahkannya kepada kita.
‫يي نعحي و ل ھت نعيي نعی عو نعاع دھھ ا ويي نيي عارويا نع ي لئ نعاع سلم نعور نجملي یل نا‬
‫ظ منللي لري وا نج ھا د رئ لا نعی عو نعاع لي نيررر ل نعرھظ يا نعيا نر لھ نعھ ن ش‬
Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka
sebelumm diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah
diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang
berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang
menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.
4. Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah
dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 40
mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak
kerusakan.1 Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata
salahu, yasluhu, salahan, ‫ يعتي‬, ‫ دلاي‬, ‫ اي‬artinya sesuatu yang baik, patut,
dan bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat
dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang
melarangnya.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah maslahah di
mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah,
juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau
pembatalannya. Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi
maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan
tujuan-tujuan syari’(dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya
tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari
segi redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada
hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum
dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun
al-Sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan
hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan
menghindari kerusakan.
Sumber asal dari metode maslahah mursalah adalah diambil dari al-
Qur’an maupun al-Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti pada ayat-ayat
berikut:

1. QS. Yunus: 57
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
(QS. Yunus: 57)
2. QS. Al-Baqarah: 220
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan
perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat
mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 220
Sedangkan nash dari al-Sunnah yang dipakai landasan dalam
mengistimbatkan hukum dengan metode maslahah mursalah adalah
Hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang
berbunyi :

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 41


Arinya: Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur
Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn
Abbas: Rasulullah SAW bersabda, “ tidak boleh membuat mazdarat
(bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada
orang lain”. (HR. Ibn Majjah)
Atas dasar al-Qur’an dan al-Sunnah di atas, maka menurut Syaih
Izzuddin bin Abdul Salam, bahwa maslahah fiqhiyyah hanya
dikembalikan kepada dua kaidah induk, yaitu: ‫ نف نعاءيسی‬. Menolak segala
yang rusak atau ‫ اش نعاليعي‬menarik segala yang bermasalah. Sementara
itu Prof. Dr. Hasbi Asy-Siddieqy mengatakan bahwa kaidah kully di atas,
pada perkembangan berikutnya dikembangkan menjadi beberapa kaidah
pula, diantaranya adalah:
a) Sesungguhnya kemazdaratan itu harus dihilangkan
b) Sesunggunhnya kemazdaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan
membuat kemazdaratan pula
c) Sesungguhnya menolak kemazdaratan harus didahulukan atas
menarik kemaslahatan
d) Sesungguhnya kemazdaratan yang khusus harus dipikul untuk
menolak kemazdaratan umum.
e) Sesungguhnya harus dikerjakan (dilakukan) kemazdaratan yang lebih
ringan dari kedua kemazdaratan.
f) Sesungguhnya segala yang darurat (yang terpaksa dilakukan)
membolehkan yang terlarang.
g) Sesungguhnya hajat itu di tempatkan di tempat darurat 8.
Sesungguhnya kepicikan itu harus dihilangkan
h) Sesungguhnya kesukaran itu mendatangkan sikap kemudahan
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan
hukum Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi
pertama harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam
nash (alQur’an dan al-Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi
kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu
berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi
pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam,
karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam
hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan
terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu
adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan maslahah
mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya

3. Daftar Pustaka
Dr. Dawud al-Aththar, Mujaz ‘Ulum al-Qur’an, alih bahasa oleh Afif Muhammad
dan Ahsin Muhammad (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994).
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 42
Jaluluddin as-Suyuti, Al-Itqan Fi Umu Al-Qur’an, (Kairo: Dar as-Salam, 2003),
jilid II, )
Ash Shieddieqy, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar ilmu Al-Qur'an, Bulan
Bintang, Jakarta, I 982
Hasbi Ash shiddieqiy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA, 2002).
Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al -Fiqh al - Islami, Juz I, al-Maktabah al-Assad, 2006.
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet.Ke-1, Jilid 2, Ictiar Baru
Van Hove, Jakarta, Ushul al-Fiqh, Multazam al-thobi’u wan-Nasru
Darul Fkr al-‘Araby, 1958.
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet.Ke-1, Jilid 2, Ictiar Baru
Van Hove, Jakarta, 1996, h .667).
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2011
Hasbi Ash-Shiddieqy T.M, Pengantar Hukum Islam, Cet. Ke-3, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983
Juhhaya s. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan,
Cet. Ke-2, 1994.
Sulaiman Andullah, Sumber hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Juz I, al-Maktabah al-
Assad, 2006
4. Rangkuman
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW). adapun sumber Hukum Islam yang mashur di sepakti
ulama :
Al-quran, As sunnah (hadist), Ijtihad ( ijma, qiyas, Maslahar mursalah)

5. Tes Formatif
1) Al quran adalah sumber hukum Islam yang utama, jelaskan bagaimana al
quran di wahyukan.
2) Jelaskan fungsi al quran diturunkan ke dunia
3) As Sunnah adalah sumber hukum islam kedua setelah al quran, apa yang ada
fahami tentang As sunnah
4) Ijtihad adalah sumber hukum islam ketiga setelah As sunnah, jelaskan
pengertian ijtihad dan apa saja metodologi ijtihad tersebut
5) Ijma adalah salah satu metode ijtihad, apa yang anda ketahui tentang Ijma
dan sebutkan ijma masa kini

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 43


MODUL III

KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM

1. Pengertian Kerangka Dasar

Kerangka dasar dapat diartikan sebagai garis besar suatu pembicaraan atau
rute perjalanan yang akan ditempuh atau bagian-bagian pokok yang menyangga
suatu bangunan (AS Hornby, 1987:804 dan John M. Echols dalam Hassan Shadily,
1987:255)Ajaran Islam ialah sekumpulan pesan ketuhanan yang diterima oleh
Nabi Muhammad SAW (571-632 M) untuk disampaikan kepada manusia sebagai
petunjuk perjalanan hidupnya semenjak lahir hingga mati (Syaltout, 1983:25).
Dengan demikian, pengertian kerangka dasar ajaran Islam adalah gambaran asli,
garis besar, rute perjalanan, atau bagian pokok dari pesan ketuhanan yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerangka memiliki beberapa arti, di


antaranya adalah garis besar dan rancangan (Tim Penyusun Kamus, 2001: 549).
Kerangka dasar berarti garis besar atau rancangan yang sifatnya mendasar.
Dengan demikian, kerangka dasar ajaran Islam maksudnya adalah garis besar
atau rancangan ajaran Islam yang sifatnya mendasar, atau yang mendasari semua
nilai dan konsep yang ada dalam ajaran Islam.

Kerangka dasar ajaran Islam sangat terkait erat dengan tujuan ajaran Islam.
Secara umum tujuan pengajaran Islam atau Pendidikan Agama Islam (PAI),
khususnya di perguruan tinggi adalah membina mahasiswa agar mampu
memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga
menjadi insan Muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak
mulia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kerangka dasar ajaran Islam
meliputi tiga konsep kajian pokok, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Tiga
kerangka dasar ajaran Islam ini sering juga disebut dengan tiga ruang lingkup
pokok ajaran Islam atau trilogi ajaran Islam.

Kalau dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar Islam di atas
berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga konsep
dasar Islam ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Umar Ibn
Khaththab. Hadis ini menceritakan dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi saw.
Jibril bertanya kepada Nabi tentang ketiga konsep tersebut, pertamatama tentang
konsep iman yang dijawab oleh Nabi dengan rukun iman yang enam, yaitu iman
kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan
Qadla dan Qadar-Nya. Jibril lalu bertanya tentang islam yang dijawab dengan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 44
rukun Islam yang lima, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu..

Kemudian Jibril bertanya tentang konsep ihsan yang dijawab dengan rukun
ihsan, yaitu menyembah (beribadah) kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan
jika tidak bisa melihat Allah, harus diyakini bahwa Dia selalu melihatnya.
Berdasarkan hadis di atas, dapat dipahami bahwa rukun atau kerangka dasar
ajaran Islam itu ada tiga, yaitu iman, islam, dan ihsan. Dari tiga konsep dasar ini
para ulama mengembangkannya menjadi tiga konsep kajian. Konsep iman
melahirkan konsep kajian aqidah; konsep islam melahirkan konsep kajian
syariah; dan konsep ihsan melahirkan konsep kajian akhlak. Penjelasan ketiga
konsep kajian ini dapat dilihat di bawah ini.

2. Akidah

Secara etimologis, aqidah berarti ikatan, sangkutan, keyakinan. Aqidah secara


teknis juga berarti keyakinan atau iman. Dengan demikian, aqidah merupakan asas
tempat mendirikan seluruh bangunan (ajaran) Islam dan menjadi sangkutan
semua hal dalam Islam. Aqidah juga merupakan sistem keyakinan Islam yang
mendasar seluruh aktivitas umat Islam dalam kehidupannya.

Aqidah atau sistem keyakinan Islam dibangun atas dasar enam keyakinan atau
yang biasa disebut dengan rukun iman yang enam. Adapun kata iman, secara
etimologis, berarti percaya atau membenarkan dengan hati. Sedang menurut
istilah syara’, iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lidah,
dan melakukan dengan anggota badan.

Dengan pengertian ini, berarti iman tidak hanya terkait dengan pembenaran
dengan hati atau sekedar meyakini adanya Allah saja, misalnya. Iman kepada Allah
berarti meyakini bahwa Allah itu ada; membuktikannya dengan ikrar syahadat
atau mengucapkan kalimat-kalimat dzikir kepada Allah; dan mengamalkan semua
perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Inilah makna iman yang sebenarnya, sehingga orang yang beriman berarti
orang yang hatinya mengakui adanya Allah (dzikir hati), lidahnya selalu
melafalkan kalimat-kalimat Allah (dzikir lisan), dan anggota badannya selalu
melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya (dzikir
perbuatan). Dari uraian di atas dapat juga dipahami bahwa iman tidak hanya
tertumpu pada ucapan lidah semata. Kalau iman hanya didasarkan pada ucapan
lidah semata, berarti iman yang setengah-setengah atau imannya orang munafiq
seperti yang ditegaskan al-Quran dalam surat al-Baqarah (2) ayat 8-9

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 45


ْ ُ َ َ َ ‫ُ َ َٰ ُ َ ذ َ َ ذ‬ َ ۡ ‫ٱّلل ِ َوب‬
َ ٌِِ ‫ٱۡل ۡٔ ِم ٱٓأۡلخِر َو ٌَا ًُْ ة ٍُ ۡؤ‬ ‫ذ‬ ‫َ َُ ُ َ َذ‬
‫ يخدِغٔن ٱّلل وٱَّلِيَ ءأٌِا‬٨ ‫ِني‬ ِ ِ ِ ِ ‫اس ٌَ حلٔل ءاٌِا ة‬ ِ ‫﴿ َوٌ ََِ ٱنلذ‬
َ ۡ ُ َ ٓ ‫َۡ ُ َ ذ‬
﴾٩ ‫َو ٌَا َي َدغٔن إَِّل أُف َص ُٓ ًۡ َو ٌَا يَش ُػ ُرون‬

Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan
hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya
menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” (QS. alBaqarah [2]: 8-9).

3. Syari’ah

Secara etimologis, syariah berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus
diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Orang-orang Arab
menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap
dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Adapun secara
terminologis syariah berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah
untuk kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-Quran maupun Sunnah Rasul
(Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131). Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah
sebagai aturan-aturan yang disyariatkan oleh Allah atau disayariatkan
pokokpokoknya agar manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan
dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama
manusia, dan alam semesta, serta dengan kehidupan (Syaltut, 1966: 12). Syaltut
menambahkan bahwa syariah merupakan cabang dari aqidah yang merupakan
pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak dapat
dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah,
sementara syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah
(Syaltut, 1966: 13).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kajian syariah tertumpu pada
masalah aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini
mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan
dalam berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan
manusia inilah yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang
pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan hubungan yang kedua disebut
muamalah. Ibadah mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah.
Dalam arti yang khusus (ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun Islam
yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadah (persaksian), mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bagi yang
mampu. Sedang muamalah bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas
manusia dalam berhubungan dengan sesamanya.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 46


Bentuk-bentuk hubungan itu bisa berupa hubungan perkawinan (munakahat),
pembagian warisan (mawaris), ekonomi (muamalah), pidana (jinayah), politik
(khilafah), hubungan internasional (siyar), dan peradilan (murafa’at). Dengan
demikian, jelaslah bahwa kajian syariah lebih tertumpu pada pengamalan konsep
dasar Islam yang termuat dalam aqidah. Pengamalan inilah yang dalam al-Quran
disebut dengan al-a’mal al-shalihah (amal-amal shalih). Untuk lebih memperdalam
kajian syariah ini para ulama mengembangkan suatu ilmu yang kemudian dikenal
dengan ilmu fikih atau fikih Islam.

Ilmu fikih ini mengkaji konsep-konsep syariah yang termuat dalam al-Quran
dan Sunnah dengan melalui ijtihad. Dengan ijtihad inilah syariah dikembangkan
lebih rinci dan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat manusia. Sebagaimana dalam kajian aqidah, kajian ilmu fikih ini juga
menimbulkan berbagai perbedaan yang kemudian dikenal dengan mazhab-
mazhab fikih. Jika aqidah merupakan konsep kajian terhadap iman, maka syariah
merupakan konsep kajian terhadap islam. Islam yang dimaksud di sini adalah
islam sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi saw. yang di riwayatkan oleh
Umat Ibn Khaththab sebagaimana yang diungkap di atas.

4. Akhlak

Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang juga
memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan
dari proses menerapkan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak merupakan
kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat.
Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri seseorang jika dia tidak
memiliki aqidah dan syariah yang baik. Akhir-akhir ini istilah akhlak lebih
didominasi istilah karakter yang sebenarnya memiliki esensi yang sama, yakni
sikap dan perilaku seseorang.

Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq (yang berarti tabiat,
perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi saw. Salah satunya
adalah.

Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya


aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad)

Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu
khuluq (QS. al-Qalam (68): 4).

﴾٤ ‫يم‬ َ ُ ُ َٰ َ ‫م ىَ َػ‬
َ ‫ذ‬
ٖ ِ‫َل خي ٍق غظ‬ ُ‫﴿ِإَو‬
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 47
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan
buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktekkan dalam perbuatan,
sedang yang buruk di benci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186). Dalam khazanah
perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak
adalah moral, etika, nilai, dan karakter. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan
budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178).
Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian
serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau
dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih
bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral
bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang (Muka Sa’id, 1980: 23-24). Etika memandang perilaku secara universal,
sedang moral memandangnya secara lokal.

Baik dan buruk akhlak manusia sangat tergantung pada tata nilai yang
dijadikan pijakannya. Abul A’la al-Maududi membagi sistem moralitas menjadi
dua. Pertama, sistem moral yang berdasar kepada kepercayaan kepada Tuhan dan
kehidupan setelah mati. Kedua, sistem moral yang tidak mempercayai Tuhan dan
timbul dari sumber-sumber sekuler (al-Maududi, 1971: 9). Sistem moral yang
berdasar pada gagasan keimanan pada Tuhan dan akhirat dapat ditemukan pada
sistem moral Islam. Hal ini karena Islam menghendaki dikembangkannya al-akhlaq
al-karimah yang pola perilakunya dilandasi dan mewujudkan nilai Iman, Islam, dan
Ihsan. Iman sebagai al-quwwah al-dakhiliyyah, kekuatan dari dalam yang
membimbing orang terus bermuraqabah (mendekatkan diri kepada Tuhan) dan
muhasabah terhadap perbuatan yang akan, sedang, dan sudah dikerjakan. Dan
ubudiyah adalah merupakan jalan untuk merealisasikan tujuan akhlak. Cara
pertama untuk merealisasikan akhlak bahkan hanya dengan mengikatkan jiwa
dengan ukuran-ukuran peribadatan kepada Allah. Akhlak tidak akan nampak
dalam perilaku tanpa mengikuti aturanaturan yang ditetapkan oleh Allah Swt.
(Hawa, 1977: 72).

5. Hubungan Antara Akidah, Syari’ah, dan Akhlak.


Aqidah, Syari’ah, dan Akhlaq pada dasarnya merupakan satu kesatuan
dalam ajaran Islam. ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa
dipisahkan.
Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen – elemen dasar
keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara
syari’ah sebagai sistem nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama.
Sdangkan akhlaq sebagai sistem etika menggambarkan arah dan tujuan yuang
hendak dicapai agama.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 48


Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut seyogyanya terintegrasi dalam
diri seorang muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat
sebuah pohon. Akarnya adalah aqidah, sementar batang, dahan, dan daunnya
adalah syari’ah, sedangkan buahnya adalah aqidah. Muslim yang baik adalah orang
yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan
syari’ah yang hanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar akhlaq yang terpuji
Atas dasar hubungan itu, maka Seseorang yang melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah , maka orang itu termasuk dalam kategori kafir.
Seseorang yang mengaku beraqidah, tetapi tidak mau melaksanakan syari’ah, maka
orang itu disebut fasik Seseorang yang mengaku beraqidah dan melaksanakan
syari’ah, tetapi dengan landasan aqidah yang tidak lurus, maka orang itu disebut
munafik Seseorang yang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah,
maka perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik.
Perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan nilai- nilai
kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar menurut Allah. Perbuatan baik
yang didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syari’ah
disebut sebagai amal sholeh. Oleh karena itu, dala Al-Qur’an kata amal sholeh selalu
diawali dengan kata iman, antar lain dalam QS. An-Nur, ayat 55.

6. Daftar Pustaka

Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1983.

Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah (1) (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967) Hlm. 28-29 7

Ibnu Taimiyah, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif,
1983).

Hasan Al-Bana, Aqidah Islam, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif, 1983) 8

Sayid Sabiq, Aqidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal Sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, Surabaya: 1996),

Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2004).

7. Latihan
1. Mahasiswa membuat makalah tentang Kerangka dasar ajaran Islam
2. Mahasiswa diskusi dengan tema kerangka dasar ajaran islam
8. Rangkuman.
Kerangka dasar ajaran Islam merupakan dasar-dasar pokok ajaran Islam yang
membekali setiap orang untuk bisa mempelajari Islam yang lebih luas dan
mendalam. Memahami dan mengamalkan kerangka dasar ajaran Islam merupakan

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 49


keniscayaan bagi setiap Muslim yangmenginginkan untuk menjadi seorang Muslim
yang kaffah. Tiga kerangka dasar Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak, tidak bisa
dipisah-pisahkan. Karena itu, tidak dimungkinkan bagi seorang Muslim memilih
sebagiannya dan meninggalkan sebagiannya yang lain. Sebagai generasi muda
Islam yang masih memiliki waktu yang panjang, hendaknya para mahasiswa
Muslim menyadari hal tersebut, sehingga termotivasi untuk mendalami ajaran
Islam yang utuh dan bisa mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan benar.
Dengan bekal ajaran Islam yang cukup, diharapkanaktivitas yang dilakukan,
terutama aktivitas ibadah, menjadi berkualitas dan dapat
dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt. Untuk menghasilkan akhlak atau
karakter mulia – yang merupakan cita-cita setiap Muslim, juga salah satu tujuan
pendidikan nasional Indonesia – dalam konsep Islam harus dimulai dari
membangun fondasi yang kuat, yakni mendasari dengan akidah atau iman yang
kokoh. Dengan iman yang kokoh pasti akan tumbuh semangat yang tinggi untuk
melaksanakan seluruh aturan Allah baik yang ada dalam al-Quran maupun Sunnah,
baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah, dengan baik dan penuh
keikhlasan semata-mata karena Allah, tanpa ada tendensi lainnya. Jika semua
aturan Allah ditaati dan dilaksanakan pastilah akan terwujud akhlak atau karakter
mulia pada diri seseorang. Karena itu, pemahaman yang benar akan konsep dasar
Islam menjadi sangat penting untuk membangun komitmen moral untuk
melaksanakan seluruh ajaran Islam.

9. Tes Formatif

1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan kerangka dasar ajaran Islam


2) Sebutkan dan jelaskan hadis Nabi saw. yang menjelaskan adanya tiga konsep
dasar Islam.
3) Diskusikan dengan teman Saudara, apa hubungan dari ketiga dasar ajaran
Islam dan bagaimana Saudara dapat mewujudkan karakter mulia dengan
mendasarkan pada konsep kerangka dasar ajaran Islam?

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 50


MODUL IV

KONSEP AKIDAH ISLAM

1. Pengertian aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata (‫( لری‬yang berarti ikatan atau bisa
dijabarkan dengan “ma ‘uqida ‘alaihi al-qalb wa al-dhamir”, yakni sesuatu yang
ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani) dan juga
berarti ma tadayyana bihi al-insan wa I’tiqadahu , yakni sesuatu yang dipercaya
dan diyakini (kebenarannya) oleh manusia. aqidah bermakna simpulan, yakni
kepercayaan yang tersimpul di hati. Aqidah secara bahasa ialah sesuatu yang
dipegang teguh dan terhujam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih dari
padanya.

Menurut istilah, aqidah dapat diartikan sebagai konsep dasar tentang


sesuatu yang harus diyakini, mengikat (‘aqada) dan menentukan ekspresi yang
lain dalam penghayatan agama. Dengan demikian, secara etimologis, aqidah
berarti kepercayaan atau keyakinan yang benar-benar menetap dan melekat
dalam hati manusia. Adapun aqidah menurut Syaikh Mahmoud Syaltout adalah
segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk
dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syak
wasangka dan tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan.

Ibnu Taimiyah menjelaskan makna aqidah sebagai ‘suatu perkara yang harus
dibenarkan dalam hati, dengannya jiwa menjadi tenang, sehingga jiwa itu
menjadi yakin serta mantap tanpa ada keraguan, kebimbangan dan keraguan.7
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun
pada orang yang menyakininya. Jika hal tersebut tidak sampai pada tingkat
keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena
orang itu mengikat hatinya di atas hal tersebut. Yunahar Ilyas menegaskan
keterkaitan yang tak terpisahkan antara aqidah, iman, dan tauhid,. Tauhid
merupakan tema sentral aqidah dan iman. Jadi teoritis aqidah juga diartikan
dengan iman, kepercayaan dan keyakinan

Esensi ajaran Islam adalah aqidah tauhid, tindakan pengesaan Tuhan


merupakan wujud aplikasi dari keyakinan yang tertanam kuat dalam hati
(aqidah). Tauhid memberikan identitas peradaban. Itulah sebabnya mengapa
kaum Muslimin mengembangkan ilmu tauhid dan menjadikan disipin ilmu
logika, epistemology, metafisika dan etika sebagai cabangnya.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 51


2. Ruang Lingkup Aqidah
Ruang lingkup ‘aqidah dapat diperinci sebagaimana yang dikenal sebagai
rukun iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat (termasuk didalamnya: jin,
setan, dan iblis), kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para utusan-Nya,
Nabi dan Rasul, hari akhir, dan takdir Allah.

1. Beriman Kepada Allah


Beriman kepada Allah mengandung pengertian percaya dan
meyakini akan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan terpuji. Dasar-dasar
kepercayaan ini digariskan-Nya melalui rasul-Nya, baik langsung dengan
wahyu atau dengan sabda rasul.

Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada)
yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari
sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Maha benar, Tempat bergantung para
makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), pencipta segala
makhluk, yang melakukan segala yang dikehendaki-Nya, dan mengerjakan
dalam kerajaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Beriman kepada Allah juga
bisa diartikan berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta
beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya, yaitu Tauhid Rububiyyah,
Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asma’ wa Sifat.

Iman kepada Allah mengandung empat unsur:

Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa


dibuktikan dengan pertama, adanya dalil fitrah, bahwa manusia mempunyai
fitrah mengimani adanya Tuhan tanpa harus didahului dengan berfikir dan
mempelajari sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu
pengaruh lain yang mengubah hatinya.Rasulullah bersabda:

Dari Abi Hurairah r.a berkata: Nabi saw bersabda “Setiap anak
terlahir dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang
ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 52


tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara binatang itu ada yang
cacat atau putus (telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)? Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (HR. Muslim
A. Mengimani sifat rububiyah Allah
Yaitu mengimani sepenuhnya bahwa Allahlah Rabb (Tuhan) yang Maha
Esa, yang tidak ada sekutu dan penolong baginya. Allah dzat yang
memiliki hak menciptakan, berkuasa, dan hak memerintah. Tidak ada
pencipta yang hakiki, tidak ada penguasa yang mutlak, serta tidak ada
yang berhak memerintah kecuali Allah.

B. Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)


Yaitu mengimani hanya Dia-lah sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-
Nya. mengesakan Allah melalui segala ibadah yang memang
disyari‟atkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali, maupun yang
lainnya.

Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa


dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman
Rasulullah juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani
tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan
mengatur segala urusan, tetapi mereka juga menyembah sesembahan
selain Allah. Allah berfirman didalam (Q.S. Yusuf/12: 106)

C. Mengimani Asma‟ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat)


Yaitu menetapkan apa-apa yang ditetapkan Allah untuk dzat-Nya yang
terdapat dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya baik itu berkenaan
dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah tanpa tahrif
(penyelewengan), ta’til (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana),
dan tamsil (pengumpamaan). Firman Allah didalam (Q.S. al-A’raf/7: 180)

Beriman kepada Allah merupakan ajaran pokok akidah dalam Islam,


yaitu mengesakan Allah bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah swt.
(tauhid). Ke-Esa-an Allah menurut al-Qur‟an berarti bahwa Allah itu satu
dalam diri-Nya (Dzat-Nya), satu dalam sifat-Nya, dan satu dalam
perbuatan-Nya.

Satu dalam diri-Nya berarti bahwa Allah itu tidak berbilang-bilang


atau lebih dari satu. Satu dalam sifat-Nya berarti bahwa tidak
seorangpun yang memiliki sifat Allah yang sangat sempurna. Dan satu

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 53


dalam perbuatan-Nya berarti bahwa tidak seorangpun yang dapat
mengerjakan sesuatu yang telah atau yang dikerjakan oleh Allah.

2. Beriman Kepada Malaikat Allah


Secara etimologis Malaikah (dalam bahasa Indonesia disebut Malaikat)
adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari masdar al-alukah artinya ar-
risalah: misi, pesan. Sedangkan secara terminologis malaikat adalah makhluk
ghaib yang diciptakan Allah swt dari cahaya dengan wujud dan sifat-sifat
tertentu dan senantiasa beribadah kepada Allah Swt.

Beriman kepada malaikat berarti percaya bahwa Allah mempunyai


makhluk yang dinamai “Malaikat” yang tidak pernah durhaka kepada-Nya
dan senantiasa taat menjalankan tugas yang dibebankan dengan
sebaikbaiknya.Diciptakan dari cahaya dan diberikan kekuatan untuk
mentaati dan melaksanakan perintah dengan sempurna. Rasulullah saw.
pernah bersabda

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Malaikat diciptakan


dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan
dari apa yang telah disifatkan kepada kalian. (HR. Muslim).

Beriman kepada malaikat mengandung empat unsur:

1. Mengimani wujud mereka, bahwa mereka benarbenar ada bukan hanya


khayalan, halusinasi, imajinasi, tokoh fiksi, atau dongeng belaka. Dan
mereka jumlahnya sangat banyak, dan tidak ada yang bisa menghitungnya
kecuali Allah. Seperti dalam kisah mi‟raj-nya Nabi Muhammad saw. bahwa
ketika itu Nabi diangkat ke Baitul Ma’mur di langit, tempat para malaikat
shalat setiap hari, jumlah mereka tidak kurang dari 70.000 malaikat. Setiap
selesai shalat mereka keluar dan tidak kembali lagi.
2. Mengimani nama-nama malaikat yang kita kenali, misalnya Jibril, Mikail,
Israfil, Maut. Adapun yang tidak diketahui namanya, kita mengimani
keberadaan mereka secara global. Dan penamaan ini harus sesuai dengan
dalil dari al-Quran dan Hadist Rasulullah yang shahih.
3. Mengimani sifat-sifat malaikat yang kita kenali, misalnya, memiliki sayap,
ada yang dua, tiga atau empat. Dan juga khususnya Malaikat Jibril,
sebagaimana yang pernah dilihat oleh Nabi saw. yang mempunyai 600
sayap yang menutupi seluruh ufuk semesta alam
4. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang
sudah kita ketahui, seperti membaca tasbih dan beribadah kepada Allah
swt. siang dan malam tanpa merasa lelah dan bosan. Dan di antara mereka
ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu, misalnya:
a) Malaikat Jibril bertugas untuk menyampaikan wahyu Allah kepada
para Nabi dan Rasul.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 54
b) Malaikat Mikail yang diserahi mengatur pembagian rezeki kepada
semua makhluk Allah.
c) Malaikat Isrofil yang diserahi tugas meniup sangkakala tatkala
terjadi peristiwa hari kiamat dan manusia dibangkitkan dari alam
kubur.
d) Malaikat Izrail yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa
seseorang.
e) Malaikat Ridwan dan Malik yang diserahi tugas menjaga Surga dan
Neraka.
f) Malaikat Rokib dan ‟Atid yang diserahi menjaga dan menulis semua
perbuatan manusia. Setiap orang yang dijaga oleh dua malaikat, yang
satu pada sisi kanan dan yang satunya lagi pada sisi kiri. Allah swt.
g) Malaikat Munkar dan Nakir yang diserahi tugas menanyai mayit,
yaitu apabila mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan
datanglah dua malaikat yang bertanya kepadanya tentang Rabb-nya,
agamanya dan Nabinya
3. Beriman Kepada Kitab-kitab Allah
Beriman kepada kitab Allah berarti meyakini bahwa Allah telah menurunkan
beberapa kitab-Nya kepada beberapa Rasul untuk menjadi pegangan dan
pedoman hidupnya guna mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, Allah
berfirman:
ََ َ ٓ ‫ذ‬
َٰ َ ۡ َ ُ ‫لَع َر‬
َٰ ََ َ‫ذ َذ‬
َٰ َ ۡ َ ‫َ َٰٓ َ ُّ َ ذ َ َ َ ُ ٓ ْ َ ُ ْ ذ‬
ُ ‫ٱّلل ِ َو َر‬
‫ُزل‬ ‫ب ٱَّلِي أ‬ ِ ‫ِت‬
‫ه‬ ‫ٱى‬‫و‬ ‫ِۦ‬ ‫ِٔل‬
ِ ‫ش‬ ‫ل‬ ‫ز‬ ُ ‫ِي‬‫ٱَّل‬ ‫ب‬ِ ‫ِت‬
‫ه‬ ‫ٱى‬‫و‬ ‫ِۦ‬ ‫ِٔل‬
ِ ‫ش‬ ِ ‫يأحٓا ٱَّلِيَ ءأٌِا ءأٌِِا ة‬
ً ‫هخِّۦ َو ُك ُختِّۦ َو ُر ُشيِّۦ َو ۡٱۡلَ ۡٔ ِم ٱٓأۡلخِر َف َل ۡد َض ذو َض َل َٰ َ اَل ةَػ‬
‫ِيدا‬
َ َ ََ ‫َُۡ ََ َ ۡ ُ ۡ ذ‬
َٰٓ ٌ‫ٌَِ قتو ُۚ وٌَ يلفر ةِٱّلل ِ و‬
ِ ِ ِ ِ ِ ‫لئ‬
١٣٦

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah


dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul- rasul-Nya, dan hari Kemudian,
maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Q.S. an-Nisa 4:
136)

Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah sesuai dengan jumlah rasul-Nya.


Hanya di dalam al-Qur‟an dan Hadits tidak disebutkan secara jelas
semua nama kitab Allah dan jumlahnya yang diturunkan kepada rasul.
Yang disebut namanya secara jelas dalam al-Qur‟an ada empat buah
yaitu:
1) Taurat, yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Firman Allah:
Artinya :Dan Sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat)
kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 55
menyertai Dia sebagai wazir (pembantu). (Q.S. al-Furqan 25: 35)
2) Zabur, yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s. firman Allah:

Artinya : Dan Tuhan-mu lebih mengetahui siapa yang (ada) di langit dan
di bumi. Dan Sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu
atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (Q.S. al-
Isra: 55)
3) Injil, yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s. Firman Allah
ُُ َ ۡ‫يو َو َج َػي‬ َ ۡ ُ ََۡ ََ َََۡ ۡ َ َِ‫لَع َء َاثَٰرًِْ ة ُر ُشي َِِا َو َق ذف ۡي‬ َٰٓ ََ َۡ ‫ُ ذ َذ‬
‫ٔب‬
ِ ‫ي‬ ‫ك‬ ‫ِف‬ِ ‫ا‬ ِ َۖ ‫جن‬
ِ ‫ٱۡل‬
ِ َّٰ ‫ن‬‫ي‬ ‫ات‬ ‫ء‬‫و‬ ً ‫ي‬ ‫ر‬ ‫م‬ َ
ِ ‫ٱة‬ ‫ِيَس‬ ‫ػ‬ ِ ‫ة‬ ‫ا‬ ِ ِ ‫ثً قفيِا‬
َ ‫ذ‬ ۡ َٓ ‫ذ‬ َ َ َ َ ُ ً ۡ َٗۡ َ َ ََٗۡ ُ ُ َ‫ذ َ ذ‬
‫ۡحث ُۚ َو َرْ َتاج ذِيث ۡٱب َخ َدغْٔا ٌَا ن َخ ۡت َنَٰ َٓا غي ۡي ِٓ ًۡ إَِّل ٱةۡخ ِغا َء رِض َن َٰ ِن ٱّلل ِ ف ٍَا‬ ‫ٱَّلِيَ ٱتتػٔه رأفث ور‬
َ ُ َ ۡ َ ُ َ ۡ ْ َ ‫فٔاحَ ۡي َِا ذٱَّل‬
َ َ َۖ ‫َر َغ ۡٔ َْا َح ذق ر ََعيَخ َِٓا‬
٢٧ ‫ ٌِِّ ُٓ ًۡ َٰٰصِ لٔن‬ٞٞ ِ ‫ِيَ َء َاٌ ُِٔا ٌِِ ُٓ ًۡ أ ۡج َرْ ًَۡۖ َوكي‬ ِ

Artinya: Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul


Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam. Dan Kami berikan
kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang
mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan
rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi
(mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di
antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
(Q.S. al-Hadid/57: 27)

4) Al-Qur‟an, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Firman Allah

ِ ِْ َ‫نل اَإ ِ رن انإ اُِ ر َِإِ نَو ر‬


‫إَّ نل اَإ َِّاَإ ِ ح ِن نَ اَّنِإ‬

Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan


sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. al-Hijr/15: 9)

4. Beriman Kepada Rasul-rasul Allah


Iman kepada rasul berarti meyakini bahwa Allah telah memilih di antara
manusia, beberapa orang yang bertindak sebagai utusan Allah (rasul) yang
di tugaskan untuk menyampaikan segala wahyu yang diterima dari Allah
melalui malaikat Jibril, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus, serta
membimbing umatnya ke jalan yang benar agar selamat di dunia dan
akhirat
Pengertian rasul dan nabi berbeda. Rasul adalah manusia pilihan yang
diberi wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri dan mempunyai kewajiban

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 56


untuk menyampaikan kepada umatnya. Sedangkan Nabi adalah manusia
pilihan yang diberi wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri tetapi tidak
wajib menyampaikan pada umatnya. Dengan demikian seorang rasul pasti
nabi tetapi nabi belum tentu rasul. Meskipun demikian kita wajib meyakini
keduanya.50 Firman Allah:
‫دإَِا‬
‫اإ‬ ‫إَِّ رع ِ نأاَّ وًل إِ ح ا‬
ِ َِ ‫رةاَُِّ إِّإ ِل نن ر افاإ ان رن إ‬ ِ ‫َّا إب ِ نن إِ رجأا اَّ وًل ا‬
ِ َِ‫إ‬ ‫نإَّ ِ ِٱ ر إأِ ِنر َِإلننإ اَ ونف إب ا ان َّٰغ ا‬
‫إْٱا و‬ ِ َُّ‫ج ِ ر‬
ِ ‫ُإ‬‫إَّنن ر افاإ ان رن إ ِن اٱ ر‬
ِ
‫إِ ان َِ نَوأنُنِإ‬‫ر‬ ‫ا‬ ِ‫إ ح‬
‫ج نٱأِغ‬ ِ‫إ ََِن‬ ِ َُِ ‫إ‬
ْ‫ر‬ ‫و‬ ‫ا‬
‫إ ِل۟ اًَّْل‬ ْ ‫إَِ رْ ن‬ ِ ‫ر‬ ‫إلنن‬ ‫و‬ ‫إلِٱ ا‬
‫نًَُّْل‬ ‫ن ح ِ ِغاإم‬
‫ِ ا‬

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap- tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". Maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Q.S. an-Nahl 6: 36)

5. Beriman Kepada Hari Akhir


Beriman kepada hari akhir adalah percaya bahwa sesudah kehidupan
ini berakhir masih ada kehidupan yang kekal yaitu hari akhir, termasuk
semua proses dan peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari
kehancuran alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh
kehidupan (qiyamah), kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur
(ba’as|), dikumpulkannya seluruh umat manusia di padang Mahsyar (hasyr),
perhitungan seluruh amal perbuatan manusia di dunia (hisab),
penimbangan amal perbuatan tersebut untuk mengetahui perbandingan
amal baik dan amal buruk (wazn), sampai kepada pembalasan dengan
surga atau neraka (jaza).
Firman Allah:
َ ُ َ َ ُ ُٓ ُٓ َ
٦ ‫ِلِ ُِذ َِر ك ۡٔ ٌٗا ذٌا أُذ َِر َءاةَاؤْ ًۡ ف ُٓ ًۡ غَٰفِئن‬

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan


apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan
segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata ( Qs Yasin ayat
6)

6. Beriman Kepada Qadla dan Qadar


Secara etimologis, qadha’ bentuk mashdar dari qadha yang berarti
kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini qadha’ adalah kehendak atau
ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu. Sedangkan qadar bentuk
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 57
mashdar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan. Yaitu aturan atau
ketentuan Allah terhadap segala sesuatu.

Beriman kepada qadha’ dan qadar yaitu percaya bahwa segala


ketentuan, undang-undang, peraturan, dan huku ditetapkan pasti oleh Allah
untuk segala yang ada, yang mengikat antara sebab dan akibat atas segala
sesuatu yang terjadi. Firman Allah

Artinya : Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,
maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang
ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya
sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

7. Pengaruh Aqidah Dalam Kehidupan


Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang
hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka,
sumber ajaran aqidah Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Karena, tidak ada yang
lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu
tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.

Sebenarnya setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wata’ala di


atas fitrah keimanan. Berkaitan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. Al Α’raf:
172 yang artinya, "Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab,
‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani
Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).” Q.S. Al-Hasyr ayat
23-24, Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha
Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang
Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih
kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.

Aqidah yang benar akan membuat jiwa tenteram, dan menyelamatkan


manusia dari kesesatan dan kemusyrikan. Selain itu, aqidah juga berpengaruh
dalam membentuk sikap dan perilaku anak. Jika tauhid tertanam dengan kuat, ia
akan menjadi sebuah kekuatan batin yang tangguh. Sehingga melahirkan sikap

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 58


positif. Optimisme akan lahir menyingkirkan rasa kekhawatiran dan ketakutan
kepada selain Allah. Sikap yang positif dan perilaku positif akan bermanfaat
untuk diri sendiri dan orang lain.

Iman merupakan verbalisasi keyakinan, pernyataan merupakan argumentasi


eksplisitnya dan aplikasi praktis adalah tindakan lahir dari hal yang disebut iman.
Mu’tazilah misalnya, menjadikan iman sebagai sesuatu yang didengar karena
ketaatan dan kebahagiaan. Mereka mengatakan bahwa iman merupakan sebutan
dari pembenaran hati, ikrar lisan, dan tindakan anggota- anggota badan dalam
pengertian menjalankan kewajiban- kewajiban dan menjauhi larangan-larangan.
Argumentasi yang menarik adalah bahwa tindakan wajib adalah agama. Agama
adalah Islam dan Islam adalah iman. Sehingga dapat dipahami bahwa
penghayatan yang ideal terhadap agama Islam adalah bagaimana seseorang
mampu menjadikan integrasi dan interkoneksi antara iman, Islam dan
diaplikasikan secara jujur (ihsan) dalam kehidupan. Sebab ihsan menuntut
adanya motivasi iman dan Islam secara benar dalam diri.

Rasulullah Saw mengajarkan di dalam hadits ini dasar-dasar 'aqidah, yaitu


tempat meminta hanya kepada Allah Swt. Tempat mengadu hanya Allah Swt.
Manusia tidak pantas mengadukan masalahnya kepada manusia apalagi kepada
Jin, sementara ia tidak mengadu kepada Zat Yang Menciptakannya. Manusia tak
layak meminta bantuan kepada makhluk Allah, apalagi kepada musuh Allah
seperti syaitan, padahal kepada Allah ia tidak meminta bantuan. Inilah pelajaran
penting dalam aqidah. Riwayat lain mengenai hadits ini memberikan tambahan
penjelasan bahwa hidup ini ibarat berlayar di lautan, kadang airnya tenang,
kadang ombaknya besar. Juga ibarat mendaki gunung. Berjalan di gunung tidak
selamanya mendaki dan tidak selamanya menurun. Ada waktunya mendaki dan
ada waktunya menurun. Hidup ini tidak kekal. Kesusahan tidak terus menerus.
Kesenangan juga tidak selamanya. Oleh karenanya Nabi Saw mengajarkan bahwa
kemenangan didapat melalui kesabaran. Di waktu susah, manusia perlu sabar,
karena kesusahan itu sementara, tidak bertahan selamanya. Maka berkat
kesabaran, Allah SWT akan menurunkan bantuan dan pertolongan. Setelah
kesulitan, timbullah kemudahan. Bahkan di dalam riwayat tersebut disebutkan,
bahwa kemenangan sering didahului oleh penderitaan. Orang yang ingin berhasil
dan sukses mencapai cita- citanya, harus berjuang menapaki jalan kesuksesan itu
dengan segala kepahitan dan penderitaan. Bila bersabar dalam kepahitan itu,
maka di depannya kesuksesan telah menunggu. Tetapi bila ia tidak sabar dan
mundur dari jalannya, ia akan gagal untuk meraih cita-citanya.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 59


8. Daftar Pustaka

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu


Tauhid/Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Astuti, (Bandung: Pustaka, 1982).

Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1983.

Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah (1) (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967) Hlm. 28-29 7

Ibnu Taimiyah, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif,
1983).

Hasan Al-Bana, Aqidah Islam, Terj. (Bandung: Al-Ma’arif, 1983) 8

Sayid Sabiq, Aqidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal Sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, Surabaya: 1996),

Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2004).

9. Latihan

Mahasiswa menyusun poster dengan judul aqidah Islam untuk di presentasikan di


depan kelas.
10. Rangkuman

Aqidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:
1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia
adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah
haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.
2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya
hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini,
adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang
dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah
dan khurafat.
3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang
dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin
dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur.
Hakim yang Membuat tasyri. Oleh karena itu hatinya menerima takdir,
dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah
kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di antara dasar
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 60
akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung mengikuti jalan
mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan
kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala
serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari
siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta
balasan terhadap seluruh perbuatan.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 61


MODUL V

KONSEP IBADAH ISLAM

1. Pengertian Ibadah

Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu ‫ عبد يعبد عبادة‬yang
artinya melayani, patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis adalah sebutan
yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin1.

Ibadah pada hakekatnya adalah sikap tunduk semata-mata mengagungkan


Dzat yang disembah.Abu A‟la Al-Maududi menyatakan bahwa ibadah dari akar
kata“Abd” yang artinya pelayan dan budak.Jadi hakekat ibadah adalah
penghambaan dan perbudakan. Sedangkan dalam arti etimologi adalah
penghambaan dan perbudakan, dan arti terminologinya adalah usaha mengikuti
hukum-hukum dan aturan-aturan Allah dalam menjalankan kehidupan yang
sesuai dengan perintah-perinyah-Nya, mulai akil baligh sampai meninggal dunia.
Indikasi ibadah adalah kesetiaan, kepatuhan dan penghormatan serta
penghargaan kepada Allah SWT serta dilakukan tanpa adanya batasan waktu.

Ibadah merupakan bentuk integral dari syari‟at, sehingga apapun ibadah


yang dilakukan oleh manusia harus bersumber dari syari‟at Allah SWT, semua
tindakan ibadah yang tidak didasari oleh syari‟at islam maka hukumnya bid‟ah.
dan ibadah tidak hanya sebatas menjalankan rukun islam saja, tetapi ibadah juga
berlaku bagi semua aktivitas duniawi yang didasari dengan rasa ikhlas untuk
mencapai ridho Allah SWT. Ibadah adalah buah dari keimanan kepada Allah,
dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

Seseorang yang beriman menyakini bahwa adanya segala yang


ada dalam sifat-sifat kesempurnaan Allah, maka dia akan menyembah Allah. Ibadah
juga diartikan tunduk dan berhina diri kepada Allah SWT yang disebabkan karena
kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, yang menumbuhkan, yang
mengembangkan, yang menjaga dan memelihara serta yang membawanya dari
suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Ibadah itu timbul dari perasaan tauhid,
maka orang yang suka memikirkan keadaan alam, memperhatikan perjalanan
bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan
mau memperhatikan dirinya sendiri, Maka akan timbul dalam sanubarinya
perasaan bersyukur dan berhutang budi kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa, Maha
Pengasih dan Maha Mengetahui.

Maka perasaan inilah yang menggerakkan bibir seseorang selalu bersyukur


Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 62
dan memuji Allah SWT, serta mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan
berhina diri kepada Allah SWT.Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berfikir,
dan tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya, sebab
itulah maka tiap-tiap agama disyari‟atkan bermacam-macam ibadah, agar dapat
meng- ingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.

Dari keterangan diatas maka jelaslah bahwa tauhid dan ibadah itu tidak bisa
dipisahkan, keduanya saling mempengaruhi,dengan arti: tauhid menumbuhkan
ibadah dan ibadah memupuk tauhid.
2. Macam-macam Ibadah
Menurut Siti Musdiah Mulia dalam bukunya menyelami seluk beluk ibadah
dalam islam, secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam:

1. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (ibadah yang ketentuannya


pasti) yakni, ibadah yang ketentuan dan pelaksanaan nya telah ditetapkan
oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT. seperti shalat, puasa,
zakat dan haji
2. Ibadah ‘ammah (umum), yakni semua perbuatan yang mendatangkan
kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. seperti
minum, makan, dan bekerja mencari nafkah
Pengaturan hubungan manusia dengan Allah telah diatur dengan secukupnya,
sehingga tidak mungkin berubah sepanjang masa. Hubungan manusia dengan Allah
merupakan ibadah yang langsung dan sering disebut dengan ‘Ibadah Mahdhah
penggunaan istilah bidang ‘Ibadah Mahdhah dan bidang ‘Ibadah Ghairu Mahdhah
atau bidang ‘Ibadah dan bidang Muamalah, tidaklah dimaksudkan untuk
memisahkan kedua bidang tersebut, tetapi hanya membedakan yang diperlukan
dalam sistematika pembahasan ilmu.

3. Tujuan
A. Tujuan Ibadah
Makna sesungguhnya dalam ibadah ketika seseorang diciptakan maka
tidak semata- mata ada di dunia ini tanpa ada tujuan di balik penciptaannya
tersebut Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk
Allah SWT. yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada- Nya. Hal ini
seperti firman Allah SWT. dalam QS Al- Dzariyat [51]:56:

‫َّ ج َ اج عَو قيلل ای ام َا‬ َ ‫ِ نعل َإ اا قم ل‬


‫نْل ال ق‬ ‫قم قو ي قُ ا قر ل ا‬
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.

Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup


mendiami dunia ini dan mengalami kematian tanpa adanya pertanggung

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 63


jawaban kepada pencipta, melainkan manusia diciptakan oleh Allah SWT.
untuk mengabdi kepada-Nya. Dijelaskan pula dalam QS Al Bayyinah [98]: 5:
‫إَُّاٱنُ ان و‬ ‫إَّ ِنَ ۟ إب ا نن اْ َّ۟ وًل إ نل اا إ نُِ ر أا و‬ ‫ًَّل إِ اَُ حَِّاِإم ح‬
‫ِإَُّاور ا و‬
‫ًَّلإ‬ ِ ‫ُُنِ إ َِّا إِ ونُنِ إ ان ََِِ ۟ ِا‬
‫إَِ إ ان رِ ن ن‬
ِ ‫اًَّل ا‬ ِ ‫إََِّ نةِ إ نُناإ‬
ِ ِ ‫ُ ِ حَّا‬
‫ِ ا‬
‫ِ ر ٱُِون ِن نإغ‬
artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.

Serta masih banyak lagi ayat yang menjelaskan bahwasanya tujuan utama
manusia diciptakan di bumi ini untuk beribadah hanya kepada Allah
sedangkan tujuan yang lain adalah sebagai pelengkap atas tujuan utama diatas.
Lalu apabila tujuan manusia untuk beribadah kepada Allah semata, bagaimana
manusia dapat menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial.

Ibadah tidak hanya terbatas kepada sholat, puasa ataupun membaca Al


qur’an tetapi ibadah juga berarti segala sesuatu yang disukai Allah dan yang
diridlai- Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang- terangan
maupun diam- diam Pada dasarnya, tujuan akal dan pikiran adalah baik dan
benar. Akan tetapi sebelum jalan akan dan fikiran itu diarahkan dengan baik,
kebenaran dan kehendaknya itu belum tentu baik dan benar menurut Allah.
Oleh sebab itulah manusia diberi beban atau taklif, yaitu perintah- perintah
dan larangan- larangan menurut agama Allah SWT, yaitu agama Islam.
Gunanya ialah untuk memperbaiki jalan akal pikirannya.

Adapun disampin keterangan diatas secara ringkas tujuan ibadah dalam


Islam yaitu; (a) Untuk memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah.
(b) Untuk menguatkan karakter, mendisiplinkan diri dan peranannya sebagai
wakil dan hamba yang dipercaya Allah di bumi. (c) Untuk memperkuat tali
persaudaraan dan kasih sayang diantara sesama muslim. (d) Di samping
latihan spiritual, juga merupakan latihan moral

B. Syarat Ibadah
Ibadah merupakan perkara yang sakral. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah
pun yang disyariatkan kecuali berdasarkan al- Qur’an dan sunnah. Semua
bentuk ibadah harus memiliki dasar apabila ingin melaksanakannya karena
apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah, sebagaimana yang telah diketahui
bahwa setiap bid’ah adalah sesat sehingga mana mungkin kita melaksanakan
ibadah apabila tidak ada pedomannya? Sudah jelas, ibadah tersebut akan
ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan dari Allah maupun Rasul Nya.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 64


Menurut Syaikh Dr.shalih bin Fauzan bin Abdulah, “ amalnya ditolak dan tidak
diterima, bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat,
bukan taat”.
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar
terkecuali dengan ada syarat:
a) Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan mengharap
pemberian dari Allah, tetapi semata- mata karena perintah dan ridha-
Nya. Juga bukan karena mengharapkan surga bukan pula takut kepada
neraka karena surga dan neraka itu tdak dapat menyenangkan atau
menyiksa tanpa seizin Allah.
b) Meninggalkan riya’, artinya beribadah bukan karena malu kepada
manusia atau supaya dilihat orang lain
c) Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Tuhan itu selalu melihat dan ada
disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada- Nya.
d) Jangan keluar dari waktu nya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu
tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu

4. Daftar Pustaka
Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2008.
Ibnu Mas’ud dan Zaenal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i, ( Bandung: cv Pustaka
Setia, 2007),
Abdurrahman, Fadh bin Sulaiman al-Rumi. 1992. Konsep Salat Menurut al-
Qur’an, Telaah Kritis Tentang Fiqh Salat, Alih Bahasa Abdullah
Abbas, Firdaus, Jakarta
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1954. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra

5. Latihan
1) Mahasiswa menyusun soal jawab sebanyak 20 butir dengan tema Ibadah
2) Mahasiswa menganalisis praktik ibadah di lingkungannya kemudian
diperbandingkan dengan konsep ibadah secara konseptual.

6. Rangkuman
Ibadah dapat dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus. Ibadah umum
artinya segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan ibadah yang khusus
merupakan apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perincian-Nya, tingkah laku
dan dengan cara-cara tertentu. Dari uraian tersebut makna ibadah dapat dipahami
sebagai taat yang disertai ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT., dengan
menjalankan segala yang dicintai dan diridhai-Nya, melalui perkataan maupun
perbuatan, baik yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat batiniah. Sedang ritual
adalah perilaku yang diatur secara ketat yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukan maupun maknanya
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 65
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pelaksanaan ibadah ritual berpengaruh
terhadap akhlak karimah, karena ibadah yang baik tanpa akhlak yang mulia ibadah
itu tidak akan berguna. Dan sebaliknya, akhlak yang baik tanpa pengamalan ibadah
belum bisa dikatakan iman yang sempurna. Ibadah ritual merupakan ibadah yang
dengannya seorang hamba berhubungan langsung dengan Allah.
Disamping itu tata cara ibadah ritual telah diatur secara terperinci dalam al-
Quran maupun Sunnah Nabi, yang tercakup dalam ibadah ritual ini, misalnya shalat
dan puasa. Selain merupakan kewajiban, ibadah adalah sarana yang efektif untuk
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Akhlak adalah suatu kekuatan yang timbul
dari dalam jiwa atau diri yang tercermin dari tingkah laku lahir tanpa memerlukan
pertimbangan terlebih dahulu, yang dalam pelaksanaannya sudah menjadi
kebiasaan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut agama dan akal maka itu
disebut akhlak yang baik, dan begitu pula sebaliknya.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang sangat
penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Sebab
jatuh bangunya suatu bangsa akan tergantung pada bagaimana akhlak warganya.
Seorang yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak. Kewajiban terhadap
dirinya sendiri, terhadap Tuhannya, terhadap manusia maupun terhadap alam
sekitarnya.

7. Tes Formatif
1. Mahasiswa memberikan contoh Ibadah
2. Mahasiswa Berpraktek Ibadah
3. Mahasiswa mampu memahami jenis jenis ibadah

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 66


MODUL VI

KONSEP AKHLAK ISLAM

6. Pengertian Akhlak
Pembahasan tentang akhlak selalu menarik karena sangat berkaitan dengan
kepribadian seseorang, dan para ulama banyak menyebutkan pentingnya
mempelajari akhlak sebelum mempelajari yang lainnya. Maka dalam kehidupan
seseorang dimulai dari masa kecil, ia belajar akhlak dari lingkungan keluarganya,
melakukan pengamatan sederhana terhadap orang-orang disekitarnya yang
secara simultan membentuk pola akhlak dalam kepribadian dan pemahamannya.
6.1. Pengertian Akhlak Secara Etimologis

Pengertian akhlak secara etimologis atau bahasa, berasal dari bahasa Arab
jama‘ dari bentuk mufradnya khuluqun (‫ )خلق‬yang diartikan: budi pekerti,
perangai, tingkah laku, karakter atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-
segi persesuaian dengan perkataan Khalqun (‫ )خلق‬yang berarti kejadian,
serta erat hubungannya dengan Khaliq (‫( )خالق‬yang berarti pencipta dan
Makhluk (‫ )مخلوق‬yang berarti diciptakan.
Dalam pengertian sehari-hari di Indonesia, akhlak umumnya disamakan
artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, dan sopan santun, bahkan dalam
masyarakat ada simplifikasi atau penyederhanaan makna akhlak yang
cenderung diartikan sebagai sesuatu yang positif. Masyarakat mengenal
manusia yang baik dengan sebutan manusia yang berakhlak, sedangkan
manusia yang tidak baik dilabeli manusia yang tidak berakhlak.
Akhlak jika dijabarkan dalam konteks kebahasaan yang lebih luas, maka
setidaknya ada empat makna, pertama akhlak diartikan sebagai ilmu tentang
kebiasaan. Arti ini mengikuti pendapat dari para filusuf Yunani, definisi ini
membatasi ruang lingkup ilmu akhlak yang terbatas pada perbuatan manusia
yang sesuai dengan kehendaknya yang menjadi kebiasaan dan tradisi, makna ini
mendapat kritik dari pemerhati tentang akhlak dengan menyebut bahwa ilmu
akhlak seharusnya lebih luas daripada itu, di dalamnya juga meliputi petunjuk
yang benar untuk perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk serta perintah
untuk berpegang teguh pada tradisi dan kebiasaan yang benar.
Kedua, akhlak diartikan sebagai ilmu tentang manusia. Ini adalah
argumentasi dari seorang penulis berkebangsaan Prancis. Berbeda dengan
definisi pertama yang membatasi ruang lingkup akhlak, maka definisi yang
kedua ini justru lebih luas cakupannya karena dalam definisi ini meliputi segala
sesuatu yang berhubungan dengan manusia dari berbagai macam ilmu dan
pengetahuan mulai dari ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu logika, sejarah dan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 67
segala macam ilmu yang berada di sekitar manusia.
Ketiga menjelaskan akhlak sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Akhlak
juga diartikan sebagai studi tentang wajib dan kewajiban. Pengertian ini terlalu
ringkas karena mengabaikan sisi yang terpenting dari aspek ilmu yaitu nilai-
nilai dari perbuatan manusia yang berubah nilai baik dan buruk.
Keempat, akhlak didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan atau sifat-
sifat yang utama dan bagaimana cara agar manusia senantiasa menghiasi diri
dengan keutamaan tersebut, dan Ilmu yang membahas tentang keburukan-
keburukan dan bagaimana cara menjaga diri agar menjauhi dari perbuatan
buruk tersebut. Ini adalah pengertian menurut al-Bustani yang dalam
definisinya itu membatasi pada bagaimana manusia menghiasi diri dengan
sifat-sifat utama serta menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dan tercela serta
menerangkan contoh-contoh metode untuk mencapai hal tersebut.
Beberapa kalangan pengkaji etika maupun akhlak seperti Prof.
Poedjawiyatna mengklasifikasi beberapa ukuran baik dan buruk dalam diri
manusia dengan menggunakan beberapa pendekataan, seperti teori hedonisme,
utilitarisme, vitalisme, sosialisme, religeosisme dan humanisme, dengan uraian
sebagai berikut;
1) Hedonisme, yaitu sebuah aliran klasik dari Yunani yang menyatakan
bahwa ukuran tindakan kebaikan adalah done, yakni kenikmatan dan
kepuasan rasa. Tokoh utama pandangan ini adalah S. Freud.
2) Utilitarisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa yang baik adalah
yang berguna. Karena ini jika berbuatan itu dilakukan atas diri
sendiri maka itu disebut individual, dan jika terhadap kepentingan
orang banyak disebut sosial.
3) Vatalisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa ukuran perbuatan
baik itu adalah kekuatan dan kekuasaan. Bahwa yang baik adalah
mencermikan kekuatan dalam hidup manusia.
4) Sosialisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa baik nya sesuatu
ditentukan oleh masyarakat. Jadi, masyarakatlah yang menentukan
baik dan buruknya tindakan seseorang bagi anggotanya.
5) Religiosisme, aliran yang mengatakan bahwa baik dan buruk itu
adalah sesuai dengan kehendak Tuhan. Lantas, manakah yang
menjadi kehendak Tuhan itu?, ini adalah tugas para theolog dalam
memberikan gambaran.
6) Humanisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa baik dan
buruknya sesuatu itu adalah sesuai dengan kodrat manusia itu
sendiri, atau kemanusiaannya.
Dari sejumlah aliran dalam mengukur baik buruknya sesuatu, bagi Islam
tentu saja memiliki konsep tersendiri tentang akhlak. Islam berpandangan
bahwa baik dan buruk itu adalah sesuai dengan kehendak Allah SWT., kehendak
Allah SWT tentu saja adalah yang termaktub di dalam al-Qur‘an dan ajaran
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 68
praktis para RosulNya, khususnya terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. Lebih dari itu, pemahaman tentang kebaikan dan keburukan,
atau yang dikehendaki oleh Allah SWT. dan yang tidak dikehendaki-Nya dapat
pula diperoleh melalui akal, jiwa dan hati yang jernih dengan petunjuk para
ulama’.

6.2. Pengertian Akhlak Secara Istilah

Menurut istilah ada beberapa pengertian tentang akhlak. Pertama, adalah


kemampuan yang menimbulkan pekerjaan-pekerjaan dengan mudah tanpa
harus berfikir dan terbebani (al-abd, Nd)
Definisi kedua akhlak adalah kumpulan dari makna-makna dan sifat-sifat
yang bersemayam di dalam jiwa yang darinya perbuatan seseorang menjadi
baik atau buruk (al-Kharaiti, 14).
Definisi yang ketiga akhlaq adalah perumpamaan dari kondisi jiwa yang
bersih yang memunculkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran. Jika keadaan jiwa itu menimbulkan perbuatan yang baik
secara akal maupun syariat dengan mudah maka akhlak itu disebut dengan
akhlak yang baik, dan jika yang muncul adalah perbuatan yang jelek maka
disebut dengan akhlak yang buruk.
Akhlak juga diartikan sebagai perilaku manusia sebagaimana mestinya
sesuai dengan teladan yang baik sehingga akal manusia condong untuk
mengikutinya bukan sebagai tujuan tetapi karena itu wajib.
Kemudian komentar dari Ibnu Athir dalam bukunya Annihayah
menerangkan:
“Hakikat makna khuluq itu adalah gambaran batin manusia (yaitu jiwa
dan sifat- sifatnya), sedang khalqun merupakan gambaran bentuk luarnya (raut
muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan sikap dan perbuatan hamba)”.

Identik dengan pendapat Ibnu Athir ini, adalah Imam Al-Ghazali yang
menyatakan.bahwa: “Bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan
khuluqnya, berarti si A baik sifa-sifat lahiriahnya dan sifat-sifat batiniahnya”.
Seorang pakar ilmu akhlak Abd. Hamid Yunus di dalam kitabnya menyatakanُ:
“Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik”, memahami ungkapan tersebut
bisa dimengerti sifat/potensi yang dibawa setiap manusia sejak lahir: artinya,
potensi tersebut sangat bergantung dari cara pembinaan, latihan/pembiasaan
dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya posotif, outputnya adalah akhlak
mulia; sebaliknya apabila pembinaaannya negatif, yang terbentuk adalah akhlak
mazmumah (tercela). Lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi negara
sangat mempengruhi akhlah seseorang sebagai individu dan warga negara,
karena secara potensial dan aktual Allah telah membentangkan jalan yang
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 69
benar dan jalan yang salah.

Firman Allah surat Al-Syam: 8


َ ْ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َْ َ
‫ورها َوتق َوإها‬ ‫فألهمها فج‬
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”.

Berikut ini dikemukakan defenisi akhlak menurut beberapa pakar sebagai


berikut:
1) Ibn Miskawaih (w 421H/1030M) pakar ilmu Akhlak: “Keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan- perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran (lebih dulu)
2) Imam Al-Ghazali (1015-1111M) yang dijuluki ulama’ Hujjatul Islam/Pembela
Islam : “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan
pertimbanganpikiran (lebih dulu)”.
3) Ahmad Amin : “Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak
ialah kehendak yang dibiasakan( karakter). Artinya, kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”.

Betapapun semua definisi akhlak diatas berbeda kata-kata, namun tidak


berjauhan maksudnya, bahkan artinya berdekatan satu dengan yang lain. Sehingga
Prof. K.H. Farid Ma‘ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai
berikut:
“Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena
kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.

Pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M. Abdullah Darroz,
mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:
“Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan
kehendak yang berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak
yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pilihan yang jahat (dalam hal
akhlak yang jahat)”.

Sesungguhnya akhlak mempunyai peran yang penting dalam perilaku manusia


dan apa yang dimunculkannya. Perilaku manusia sesuai dengan apa yang
bersemayam di dasar jiwanya dari nilai-nilai dan sifat-sifat. Oleh karena itu,
perbuatan-perbuatan manusia selalu berhubungan dengan jiwanya, artinya adalah
bahwa baiknya perbuatan seseorang itu dikarenakan karena baiknya akhlak orang
tersebut.
Oleh karena itu metode yang paling tepat untuk memperbaiki perilaku
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 70
manusia adalah dengan memperbaiki jiwa-jiwa dan mensucikannya serta
menanamkan akhlak akhlak yang utama, bahkan agama Islam sudah menjelaskan
bahwa perubahan keadaan seseorang itu mengikuti perubahan jiwanya Allah
berkata dalam Surat Ar Radu ayat 11.
َ َ َ َّ َّ َّ ْ َ ْ ُ َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ‫ْ َ ْ ن‬ َ ‫َل ُه ُم َع ِّق‬
‫إَّلل َل ُُغ ِّ ُّي َما‬ ‫إَّلل ۗ ِؤن‬
ِ ‫ي ُ َدُ ِه و ِمن خل ِف َِه ُحفظونه ِمن أم ِر‬ ِ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫م‬ ِ ‫ات‬ ‫ب‬
ْ‫وءإ َف َل َم َر َّد َل ُه ۚ َو َما َل ُه ْم م ْن ُدونه من‬ ُ َّ ‫ب َق ْوم َح ََّ ٰت ُُ َغ ِّ ُّيوإ َما بأ ْن ُفسه ْم ۗ َوإ َذإ أ َر َإد‬
ً ‫إَّلل ب َق ْوم ُس‬
ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
‫َو ٍإل‬
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali- kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Akhlak yang terpuji merupakan kebutuhan primer dari suatu masyarakat.


Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa yang kuat dan maju adalah bangsa yang
memiliki akhlak yang baik, maka bagi bangsa yang beragama maka urgensi
pembentukan akhlak/moral (akhlak secara lebih luas juga dimaknai sebagai sistem
moral) yang baik adalah suatu kebutuhan jangka panjang yang mendesak untuk
dilaksanakan, mengabaikan pembinaan/pendidikan akhlak hanya akan melahirkan
generasi yang rusak dan merusak.

7. Sumber dan Ruang Lingkup Akhlak Islam


7.1. Sumber Akhlak Islam
Agama Islam sebagai agama yang telah disempurnakan Allah telah memberikan
petunjuk bagi Umat Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist/Sunnah
Rosululloh SAW, termasuk diantaranya mengenai akhlak, jadi Al-Qur’an dan
Hadist/Sunnah Rosululloh SAW juga menjadi sumber akhlak Islam. Baik dan buruk
dalam akhlak Islam ukurannya adalah baik dan buruk menurut kedua sumber itu,
bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia yang cenderung subjektif. Seseorang
mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya
baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang
lain bisa saja menyebutnya baik.
Ulama’ tidak ada khilaf/perbedaan pendapat bahwa kedua sumber pokok akhlak
islam itu (al-Quran dan Hadist/Sunnah) sebagai dalil naqli yang sangat mendasar.
Melalui kedua sumber inilah kita dapat memahami bahwa sifat sabar, tawakkal,
syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya,
kita juga memahami bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad
merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai nilai
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 71
dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan nilai yang berbeda-
beda. Namun demikian, Islam tidak menafikan adanya standar lain selain al-Quran
dan Sunnah untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia.
Selain Al-Qur’an dan Hadist/Sunnah Rosululloh SAW, standar tambahan yang
dapat dijadikan sumber untuk menentukan baik dan buruk adalah akal dan nurani
manusia serta pandangan umum masyarakat yang bersifat universal. Islam adalah
agama yang sangat mementingkan Akhlak dari pada masalah-masalah lain, karena
misi kenabian Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan Akhlak.
َ ُ َّ ُ َ ‫ََ ْ َ َ َُْ ن‬
‫إَّلل أ ْس َوة َح َسنة‬
ِ ‫ول‬ ِ ‫لقد كان لكم ِ يػ رس‬
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu..” (QS Al-Ahzab [33]: 21)

َ َْْ َ َُ ُ ْ َّ
‫ِؤن َما ُب ِعثت ِْلت ِّم َم َص ِالح إْلخل ِق‬
Artinya: “Sesungguhnya aku (Rasulullah ‫ )ﷺ‬diutus untuk menyempurnakan akhlaq
yang baik.” (HR. Ahmad 2/381)

Manusia dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk,
sebab Allah memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid. Allah Swt.
berfirman:
َ ُ َ ُ ُ ََ ُ َْ َ ُ َ َْ َ ُ َ ‫َ ْ ََ َ َ َ ْ َن‬
ُ ‫آد َم م ْن ُظ‬
ۛ ‫ور ِه ْم ذ ِّرَّيت ُه ْم َوأش َهده ْم َع َٰل أنف ِس ِه ْم أل ْست ِب َر ِّبك ْم ۖ قالوإ َب َٰل‬
ِ ُ َّ ِ ْ ‫و ِإذ أ َخذ َ رب َك ِ ُمن ب ِ يت‬
‫ه‬
َ َ
َ‫َشه ْدنا ۛ أ ْن ت ُقولوإ َي ْو َم إلق َي َامة ؤنا ك َّنا عن ه ٰ ذإ غافل ن‬
َ ْ َ
‫ي‬ ِِ ِ ِ ِ ِ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.” (QS. al-A’raf: 172).
Prinsip Akhlak dalam Islam terletak pada Moral Force. Moral Force Akhlak Islam
adalah terletak pada iman sebagai Internal Power yang dimiliki oleh setiap orang
mukmin yang berfungsi sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya
kehendak untuk merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa, dan tata karya yang
kongkret. Dalam hubungan ini Rosulullah SAW, bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan
sebaik-baik diantara kamu ialah yang paling baik kepada istrinya”
Selain itu, yang menjadi dasar pijakan Akhlak adalah Iman, Islam, dan Islam. Al-
Qur’an menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki
akhlak yang mulia yang dimisalkan seperti pohon iman yang indah, hal ini dapat
dilihat pada surat Ibrahim ayat 24-27, yang berbunyi:
َّ َ َّ َ َ ۡ َ ۡ ُ َّ ُ ۡ‫ن ۡ َ ِّ َ َ َ ن‬ ُ ُ َٓ ۡ ُ
َّ ‫ڪ َل َها ُك‬ ٓ َ َّ ‫َ َ ۡ ُ َ ن‬
‫اِ ل َعل ُه ۡم‬ ‫لن‬ ‫ل‬ِ ‫ال‬ ‫ث‬ ‫م‬ ‫ئْل‬ ‫ئَّلل‬ ُ ‫ْص‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ا‬ۗ ‫ه‬ ‫ب‬‫ر‬ ‫ن‬ ِ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ح‬ِ ‫ل‬ ‫أ‬ ‫ت‬ ‫ؤ‬ ‫ت‬ ) ٤٢ ( ‫ء‬ِ ‫ا‬ ‫وفرعها ِػ ئلسم‬
ُ ِّ َ ُ ٍ۬ َ َ ِ ََ َ ۡ َ ۡ ۡ َ ِ ۡ َّ ُ ۡ َ ِ ِ َ ِۭ ِ َ َ َ َ ٍ۬ َ َ ِ َ َ ُ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َ
‫) يثبت‬٤٤( ‫ض ما لها ِمن قرإر‬ ِ ‫ر‬ ‫ئْل‬ ‫ق‬ِ ‫و‬ ‫ف‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫ت‬ ‫ث‬ ‫ت‬ ‫ئج‬ ‫ة‬
ٍ ‫يث‬ ‫ب‬ ‫خ‬
ِ ٍ ‫ة‬‫ر‬ ‫ج‬ ‫ش‬ ‫ك‬ ‫ة‬ ٍ ‫يث‬ ‫ب‬
ِ ‫خ‬ ‫ة‬ٍ ‫م‬ ‫ل‬ِ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ث‬ ‫م‬‫و‬ ) ٤٣ ( ‫ون‬‫يتذڪر‬

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 72


ٓ َ َ ُ َّ ۡ َ‫َّ ُ َّ ٰ ن‬ َۡ ‫ۡ ن‬ ۡ ‫ن‬ َّ َۡ ْ ُ َ ‫ئَّلل َّئلذ‬
ُ َّ
‫يۚ َو َيف َع ُل ئَّلل َما يشا ُء‬ ‫ين َء َإمنوإ ِبٱلق ۡو ِل ئلث ِاب ِت ِػ ئل َح َي ٰو ِة ئلدن َيا َو ِػ ئْل ِخ َر ِةۖ َو ُي ِِل ئَّلل ئلظ ِل ِم‬ ِ
)٤٥(
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan
Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”.
Ayat diatas memberi pelajaran bahwa ciri khas orang yang beriman adalah indah
perangainya dan santun tutur katanya, tegar dan teguh pendirian (tidak terombang
ambing), mengayomi atau melindungi sesama, mengerjakan buah amal yang dapat
dinikmati oleh lingkungan. Namun disisi lain, sebenarnya masih banyak teori-teori
yang berbicara mengenai dasar-dasar akhlak dengan menafikan pemikiran Islam,
seperti relativisme akhlak. Yang mana berkat pembuktian realisme, maka
kemutlakan akhlak adalah pendapat yang sahih dan relativisme akhlak tidak dapat
diterima.

7.2. Ruang Lingkup Akhlak

Konsep akhlak dalam agama Islam tidak dapat disamakan persis dengan etika.
Etika sebagai konsep dibatasi oleh sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan
hal tersebut belum tentu terjadi pada lingkungan masyarakat yang lainnya. Etika juga
sering hanya dikaitkan dengan perilaku hubungan lahiriah. Misalnya, etika berbicara
antara orang pesisir, orang pegunungan dan orang keraton akan berbeda, dan
sebagainya.
Akhlak memiliki makna yang lebih luas, karena akhlak tidak hanya bersangkutan
dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan dengan batiniah maupun pikiran. Akhlak
menyangkut berbagai aspek diantaranya adalah hubungan manusia terhadap Allah
dan hubungan manusia dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT (manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa).
Berikut ruang lingkup akhlak dalam Islam:
1). Akhlak terhadap Allah
Pemaknaan akhlaq kepada Allah dapat ditafsirkan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
kepada Tuhan sebagai Khaliq. Sehingga akhlaq kepada Allah dapat diartikan
sebagai segala sikap atau perbuatan manusia yang dilakukan tanpa dengan
berpikir lagi (spontan) yang memang seharusnya ada pada diri manusia
(sebagai hamba) kepada Allah SWT sebagai Tuhan.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 73
Argumentasi keharusan manusia berakhlak kepada Allah SWT
sebagai Tuhan, dapat ditemukan dalam dalil naqli kitab suci Al-Qur’an.
a) Allah SWT-lah yang mencipatakan manusia. Dia yang menciptakan
manusia dari air yang ditumpahkan keluar dari tulang punggung dan
tulang rusuk hal ini sebagai mana di firmankan oleh Allah SWT dalam
surat at-Thariq ayat 5-7 yang artinya: “Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia tercipta dari air yang
terpancar dari tulang sulbi dan tulang dada.” (at-Tariq: 5-7)
b) Allah SWT-lah hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan
sempurna kepada manusia. Firman Allah SWT dalam surah an-Nahl ayat
78 yang artinya: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS an-Nahl :
78)
c) Allah SWT-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan
yang berasal dari tumbuh- tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
lainnya. Firman Allah SWT dalam surah al- Jatsiyah ayat 12-13 yang
artinya “Allah SWT-lah yang menundukkan lautan untuk kamu supaya
kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu
dapat mencari sebagian dari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kamu yang berpikir.” (QS al-Jatsiyah : 12-13)
d) Allah SWT-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan, daratan dan lautan. Firman Allah SWT dalam surah Al-
Israa‟ ayat 70 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak cucu Adam, Kami angkut mereka dari daratan dan lautan,
Kami beri mereka dari rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan.” (QS al-Israa‟: 70)
Adapun akhlak kepada Allah itu antara lain:

 Taqwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.


 Cinta dan selalu mengharap ridlo kepada Allah SWT
 Ikhlas kepada Allah SWT dalam setiap amal ibadah
 Khauf (takut) dan raja’ (penuh harap) terhadap Allah SWT
 Bersyukrur terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT
 Muraqobah, selalu merasa diawasi oleh Allah SWT
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 74
 Taubat kepada Allah SWT setiap melakukan dosa

 Berbaik sangka kepada Allah SWT


 Bertawakal kepada Allah SWT

 Senantiasa mengingat Allah SWT dengan banyak berdzikir


 Memikirkan keindahan ciptaan Allah SWT

 Melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah SWT


 Menjauhi apa yang dilarang Allah SWT.

2). Akhlak kepada Rosululloh Muhammad SAW


Berakhlak kepada Rasulullah SAW dapat diartikan suatu sikap yang harus
dilakukan manusia kepada Rasulullah SAW sebagai rasa terima kasih atas
perjuangannya membawa umat manusia kejalan yang benar.
Berakhlak kepada Rasulullah SAW perlu dilakukan atas dasar pemikiran
sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW sangat besar jasanya dalam menyelamatkan kehidupan
manusia dari kehancuran, menghantarkan umat keluar dari masa jahiliah
menuju cahaya Islam. Berkenaan dengan tugas ini, beliau telah
mengalami penderitaan lahir batin, namun semua itu diterima dengan
ridha.
b. Rasulullah SAW sangat berjasa dalam membina akhlak yang mulia.
Pembinaan ini dilakukan dengan memberikan contoh tauladan yang baik.
Allah berfirman:
َ ُ َّ ُ َ ‫ََ ْ َ َ َُْ ن‬
﴾ ٤٢ُ‫إَّلل أ ْس َوة َح َسنة ﴿إالحزإ‬
ِ ‫ول‬ ِ ‫لقد كان لكم ِ يػ رس‬
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW itu suri
teladan yang baik. (QS Al-Ahzab:21)

c. Rasulullah SAW berjasa dalam mejelaskan al-Qur’an kepada manusia,


sehingga menjadi jelas dan mudah dilaksanakan. Penjelasan itu terdapat
dalam haditsnya, Firman Allah SWT:
َ ْ ِّ ِّ َ ُ َ ً ُ َ َ‫َ َ َ ن ْ ُ ِّ ِّ ن‬
َ ‫وال ِّم ْن ُه ْم َي ْت ُلو َع َل ْيه ْم‬ َّ َ ُ
َُ ‫يه ْم َو ُي َعل ُم ُه ُم إل ِكتا‬
ِ َ ‫ك‬ ‫ز‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ه‬ ِ ‫ات‬
ِ ُ‫آ‬ ِ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫إْل‬ ‫ػ‬‫ِي‬ ‫ث‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
ِ ‫إل‬ ‫هو‬
َ ‫ن‬ َ ُ ْ َ
‫وإل ِحكمة وإن كانوإ ِمن قبل ل ِؼ ضل ٍل مب ن‬ ُ َ َ َ َ ْ ْ َ
﴾٤ ‫ي ﴿ألجمعة‬ ِ ‫ي‬ ِ

Artinya: Dialah yang mengutus kepada kamu yang buta huruf seorang
Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 75


Dan sesungguhnya, mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata. (QS Al-Jumu’ah:2).
d. Rasulullah SAW telah mewariskan hadits yang penuh dengan ajaran yang
sangat mulia dalam berbagai bidang kehidupan.
e. Rasulullah SAW telah memberikan contoh modek masyarakat yang sesuai
dengan tuntunan agama, yaitu masyarakat yang beliau bangun di
Madinah.

Akhlak kepada Rasulullah SAW dapat diwujudkan dalam beberapa cara,


mengingat sosok Rosululloh SAW sudah wafat secara dhohiriyah, maka beberapa
panduan mencintai Rosul berikut dapat dijaduan acuan:
1. Mengikuti dan menaati Rasulullah Muhammad SAW
Mengikuti dan menaati Rasul merupakan sesuatu kewajiban bagi orang-
orang yang beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian penting
dari akhlak kepada Rasul, bahkan Allah SWT akan menempatkan orang
yang mentaati Allah dan Rasul ke dalam derajat yang tinggi dan mulia, ini
adalah keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada orang yang
memiliki akhlak taat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
َ‫إلص ِّدُق ن‬
‫ي‬ ِّ ‫ي َو‬ َّ َ ِّ
َ‫إلنب ِّي ن‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ُ ّ ‫ين َأ ْن َع َم‬
ْ ‫إَّلل َع َل‬ َ ‫ول َف ُأ ْو َل ئ َك َم َع َّإلذ‬
َ ‫إلر ُس‬ َ ّ ‫َو َمن ُُطع‬
َّ ‫إَّلل َو‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ً َ َ َ ُ َ ُ َ َ َ‫ن‬ َّ َ َ َ َ
﴾٤٧ ‫وإلشهدإء وإلص ِال ِحي وحسن أول ِئك ر ِفيقا ﴿ألنسا‬
Artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu Nabi-nabi, orang-orang yang benar, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya
(QS An-Nisaa:69).
Disamping itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul SAW
Allah SWT akan mencintai kita yang membuat kita begitu mudah
mendapatkan ampunan dari Allah manakala kita melakukan kesalahan,
Allah berfirman:
ُ َ ُ ّ َ ْ ُ َ ُ ُ ْ ُ َ ْ ْ َ َ ُ ّ ُ ُ ْ ْ ُ ‫َ ّ َ َ َّ ُ ن‬ ُ ُْ ُ ْ ‫ُق‬
‫إَّلل غفور َّر ِحيم‬‫وت ُح ِببكم إَّلل ويغ ِفر لكم ذنوبكم و‬ ‫ع‬
‫ِ ِي‬ ‫ب‬ ‫ات‬ ‫ف‬ ‫إَّلل‬ ‫ون‬ ‫ب‬ ‫ح‬ِ ‫ت‬ ‫م‬ ‫نت‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ؤ‬ِ ‫ل‬
﴾ ١٢‫﴿إإلمرإن‬
Artinya: Katakanlah: “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Ali Imran:31)

Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah SAW diutus memang
untuk ditaati, Allah SWT berfirman:
ّ ْ َ َ َّ ُ ‫َو َما َأ ْر َس ْل َنا من َّر‬
ِ ‫ول ِؤال ِل ُيطاع ِب ِإذ ِن‬
﴾٤٢ ‫إَّلل ﴿ألنسا‬ ٍ ‫س‬ ِ
Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati
dengan izin Allah (QS An-Nisaa:64).

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 76


Manakala manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada
Rasul dengan mentaatinya, maka ketaatan itu berarti telah disamakan
dengan ketaatan kepada Allah SWT. Dengan demikian, ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh
dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman:
ّ ً َ َ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ّ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َّ
﴾٦٨ ‫ول فقد أطاع إَّلل َو َمن ت َوَل ف َما أ ْر َسلناك عل ْي ِه ْم َح ِفيظا ﴿ألنسا‬ ‫َّم ْن ُُ ِط ِع إلرس‬
Artinya: Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS An-
Nisaa:80).

Tunduk dan patuh kepada ajaran yang disampaikan Rasul. Allah


berfirman
ّ َ ‫إلر ُس‬
﴾٣٢ ‫ول ﴿ألنور‬ ُ ‫إَّلل َو َأط‬
َّ ‫يعوإ‬ َ َّ
‫وإ‬ ُ ‫ُق ْل َأط‬
‫يع‬
ِ ِ
Artinya: Katakanlah: "Ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul.
(QS An-Nur 54).

2. Mencintai dan memuliakan Rasulullah SAW


Keharusan yang harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada
Rasul adalah mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah SWT.
Penegasan bahwa urutan kecintaan kepada Rasul setelah kecintaan
kepada Allah disebutkan dalam firman Allah

َ ُْ َْ َ ُُ ُ ُ َ َْ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َْ َ ْ ُ ُ َ َ َ ُ
‫إجك ْم َو َع ِش َّيتك ْم َوأ ْم َوإل إق َّيفت ُموها َو ِت َج َارة‬ ‫ق ْل ِؤن كان آباؤكم وأبن ؤكم و ِإخوإنكم وأزو‬
ّ َ ِّ ُ ْ َ َّ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ
‫ول ِه َو ِج َه ٍاد ِ ن يػ َس ِب ِيل ِه‬
ِ ْ‫س‬ُ ‫إَّلل َو َر‬
ِ ‫تخشون كسادها ومس ِاكن ترضونها أح ُّ ِؤليكم من‬
﴾٤٢﴿ ‫ي‬
َ ْ َ
َ‫إَّلل ال َي ْهدي إلق ْو َم إلفاسق ن‬ َ ُ ّ ‫إَّلل ب َأ ْمره َو‬
ُ ّ ‫وإ َح ََّت َُ ْأ َ َت‬
ْ ُ َّ َ َ َ
‫فّيبص‬
ِ ِ ِ ِِ ِ ‫ِي‬
Artinya: Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dasn
(dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik (QS 9:24).

Mencintai ajaran yang di bawanya Nabi Muhammad SAW, dengan


diwujudkan dalam segala tindakan dhahir dan bathin, kecintaan pada
Rosul (dan ajarannya) harus lebih utama daripada kecintaan pada
manusia lainnya. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dijumpai dalam
kitab Mukhtashar Syarah Shahih al-Bukhari
‫ مختْص رشح صحيح إلبخاري‬Bab 8 tentang Mencintai Rosululloh termasuk

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 77


َ ‫عل ْيه وسل َم من‬ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ َّ َ ُ َّ ُ ُ َ
cabang iman ‫ان‬ِ ‫إإلُم‬
ِ ِ ِ ِ ‫باُ ح ُّ إلرس‬, matan hadist
‫ول صَل إَّلل‬
tersebut adalah sebagai berikut:
َ ُ َ َ َْ َ َ ِّ َ َ َ َّ َ ‫ َأ ْخ َ َّيَنا ُش َع ْي ُّ َق‬:‫ال‬
َ ‫َح َّد َث َنا َأ ُبو ْإل َي َمان َق‬
‫ ع ْن أ َِ يت ه َر ْي َرة‬, ‫ ع ِن إْلع َر ِج‬, ‫ َحدثنا أ ُبو إلزن ِاد‬:‫ال‬ َ ِ
ُ‫ َف َو َّإلذي َن ْفس ب َيده َال ُي ْؤمن‬:‫ال‬ ُ َّ َّ َ َّ َ ُ َ َّ َ ُ ْ َ ُ َّ َ ‫َ ن‬
َ ‫إَّلل َع َل ْيه َو َس َّل َم َق‬
َِ ِِ ِ ‫ِ ي‬ ِ ِ ‫إَّلل صَل‬ ِ ‫ أن رسول‬, ‫ض إَّلل عنه‬ ‫رِ ي‬
َ َ َ ْ ْ َ َّ َ َ َ ُ َ ََّ َ ْ ُ ُ َ َ
‫أحدكم حت أكون أح ُّ ِؤلي ِه ِمن و ِإل ِد ِه وول ِد ِه‬
Artinya: Abul Yaman meriwayatkan kepada kami, ia berkata : Syu’aib
mengabarkan kepada kami, ia berkata : Abuz Zunad meriwayatkan
kepada kami, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallalahu’alaihi wa sallam bersabda : “Demi
Allah yang jiwa ku berada ditangan-Nya. Tidak beriman salah seorang
dari kalian sampai aku lebih ia cintai nya daripada orangtua dan anak nya
sendiri.” (H.R. Bukhari).

3. Mengucapkan sholawat dan salam kepada Rasulullah SAW


Mengucapkan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
sebagai tanda ucapan terimakasih dan sukses dalam perjuangannya.
Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a,
istighfar dan rahmah. Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti
Allah memberi ampunan dan rahmat kepada Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW dalam sabdanya menyatakan sebagai berikut:
َّ َ ‫ َف َلم ُُ َص ِّل‬،‫يل َم ْن ُذ ِك ْر ُت ِع ْن َد ُه‬
‫عَل‬ ُ ‫ْإلبخ‬
ِ
‫ي‬
Artinya: Orang yang kikir ialah orang yang menyebut namaku didekatnya,
tetapi ia tidak bersholawat kepadaku. (H.R Ahmad ).
ً ْ‫هللا َع َل ْي ِه ب َها َع ر‬
‫شإ‬ ُ ‫ال ًة َص ََّل‬
َ َ َّ َ َ َّ َ ْ َ
‫من صَل ع يَل ص‬
ِ
Artinya: Siapa yang bersholawat kepadaku satu kali, Allah akan
bersholawat kepadanya sepuluh kali sholawat. (HR Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Nasa’i).
ًَ َّ ‫يامة َأ ْك ََ ُّي ُهم َع‬
‫َل َصالة‬ ‫ق‬
ْ َ ْ
‫إل‬ ‫م‬‫يو‬ ‫ت‬ ِ‫ا‬
َّ
‫إلن‬ ‫َل‬ ‫و‬ْ ‫ َأ‬:‫ال‬
َ ‫إَّلل ﷺ َق‬
َّ ُ َّ
ِ ‫ود أن رسول‬ ُ ْ
‫ي‬ ِ ِ ‫ِ َِ ي‬ ٍ ‫وعن إبن مسع‬
Artinya: "Manusia yang paling berhak bersamaku pada hari kiamat ialah yang
paling banyak membaca shalawat kepadaku." (HR Tirmidzi).

4. Mencontoh akhlak Rasulullah SAW.


Jika Rasulullah SAW bersikap kasih sayang keras dalam
mempertahankan prinsip, dan seterusnya maka manusia juga harus
demikian. Allah berfirman:
ً ً َّ ُ َ َ َّ ُ ْ َ َّ َ ُ َ ‫إَّلل َو َّإلذ‬
َّ ُ ُ َّ
‫ين َم َعه أ ِشدإء َعَل إلكف ِار ُر َح َماء َب ْين ُه ْم ت َرإه ْم ُركعا ُس َّجدإ‬ ِ
َ
ِ ‫مح َّمد رسول‬
ً ْ َّ َ ِّ ً ْ َ َ ُ َ ْ َ
﴾ ٤٧ ‫إَّلل َو ِرض َوإنا ﴿إلفتح‬ ِ ‫يبتغون فِال من‬
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 78
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.(QS Al-Fath:29).

5. Melanjutkan Misi Rasulullah SAW.


Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam.
Tugas yang mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena
Rasul telah wafat dan Allah tidak akan mengutus lagi seorang Rasul.
Meskipun demikian, menyampaikan nilai-nilai harus dengan kehati-
hatian agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada
dari Rasulullah SAW. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini
ditegaskan oleh Rasul SAW:
Artinya : “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, dan berceritalah
tentang Bani Israil tidak ada larangan. Barangsiapa berdusta atas (nama)
ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya
di neraka.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).

6. Menghormati Pewaris Rasul


Berupaya menjaga nama baiknya dari penghinaan dan cemoohan yang
orang-orang yang tidak suka padanya. Berakhlak baik kepada Rasulullah
SAW juga berarti harus menghormati para pewarisnya, yakni para ulama
yang konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni
yang takut kepada Allah SWT dengan sebab ilmu yang dimilikinya.
َُ َ َّ ‫إَّلل م ْن ع َباده ْإل ُع َل َماء ؤ َّن‬
﴾٤٦﴿ ‫إَّلل َع ِزيز غفور‬ َ َّ ‫ؤ َّن َما َُ ْخ رَس‬
ِ ِِ ِ ِ ِ
Artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-
Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun (QS Faathir:28).

Kedudukan ulama sebagai pewaris Nabi dinyatakan oleh Rasulullah SAW


:
Artinya :“Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya
Nabi tidak tidak mewariskan uang dinar atau dirham, sesungguhnya Nabi
hanya mewariskan ilmui kepada mereka, maka barangsiapa yang telah
mendapatkannya berarti telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi).

Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama
seharusnya tidak hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam,
tapi juga memiliki sikap dan kepribadian sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 79
Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang
luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu
bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk
menghormatinya.

7. Memegang teguh Al-Qur’an dan Sunnah/Hadist


Berakhlak terhadap Nabi Muhammad juga dimaknai bahwa Umat Islam
harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits) agar tidak
sesat, beliau bersabda: “Aku tinggalkan kepadamu dua pusaka, kamu
tidak akan tersesat selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan sunnahku.” (HR. Hakim).

3). Akhlak terhadap Manusia


Banyak sekali rincian tentang perlakuan terhadap sesama manusia.
Petunjuk mengenai hal itu tidak hanya berbentuk larangan melakukan
hal-hal yang negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau
mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga menyakiti hati
dengan jalan menceritakan aib sesama.
Di sisi lain, manusia juga didudukkan secara wajar. Karena nabi
dinyatakan sebagai manusia seperti manusia lain, namun dinyatakan
pula beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu Illahi. Atas dasar itu
beliau memperoleh penghormatan melebihi manusia lainnya.
Akhlak terhadap manusia dibagi menjadi 3 bagian:
a. Akhlak terhadap Diri Sendiri
Akhlak ini merupakan bentuk kesadaran perlakukan
terhadap diri sendiri, memelihara kesucian diri baik lahir maupun
batin. Orang yang dapat memelihara dirinya dengan baik akan
selalu berupaya untuk berpenampilan sebaik-baiknya di hadapan
Allah, khususnya, dan di hadapan manusia pada umumnya dengan
memperhatikan bagaimana tingkah lakunya, bagaimana
penampilan fisiknya, dan bagaimana pakaian yang dipakainya.
Pemeliharaan kesucian diri seseorang tidak hanya terbatas pada
hal yang bersifat fisik (lahir) tetapi juga pemeliharaan yang
bersifat nonfisik (batin). Yang pertama harus diperhatikan dalam
hal pemeliharaan nonfisik adalah membekali akal dengan berbagai
ilmu yang mendukungnya untuk dapat melakukan berbagai
aktivitas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Bentuk lain dari akhlak mulia terhadap diri sendiri adalah
wara’ dan zuhud. Menurut al-Jarjani (1988: 252) wara’ berarti
menjauhkan hal-hal yang syubhat (hal-hal yang belum jelas halal
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 80
dan haramnya) karena khawatir akan jatuh ke dalam hal-hal yang
diharamkan. Sedangkan zuhud berarti membatasi ambisi-ambisi
duniawi, syukur terhadap setiap anugerah, dan menghindari apa
yang telah diharamkan oleh Allah Swt. (Sultani, 2004: 213).
Masih banyak bentuk akhlak mulia yang lain yang harus
dilakukan oleh seseorang sebagai bukti kewajiban terhadap dirinya.
Di antara bentuk-bentuknya yang lain adalah 1) istiqamah
(konsisten), 2) amanah (terpercaya), 3) shiddiq (jujur), 4) menepati
janji, 5) adil, 6) tawadlu’ (rendah hati), 7) malu (berbuat jelek), 8)
pemaaf, 9) berhati lembut, 10) setia, 11) kerja keras, 12) tekun, 13)
ulet, 14) teliti, 15) disiplin, 16) berinisiatif, 17) percara diri, dan
18) berpikir positif. Sikap dan perilaku mulia seperti ini harus
diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga
terwujud pribadi yang berkarakter yang dapat menampilkan dirinya
dengan kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah
masyarakat.

b. Akhlak terhadap Keluarga


Setelah memahami akhlak terhadap diri sendiri, berikutnya
setiap Muslim harus memiliki akhlak mulia dalam lingkungan
keluarganya. Pembinaan akhlak mulia dalam lingkungan keluarga
meliputi hubungan seseorang dengan orang tuanya, termasuk
dengan guru-gurunya, hubungannya dengan orang yang lebih tua
atau dengan yang lebih muda, hubungan dengan teman sebayanya,
dengan lawan jenisnya, dan dengan suami atau isterinya serta
dengan anak-anaknya.
Menjalin hubungan dengan orang tua atau guru memiliki
kedudukan yang sangat istimewa dalam pembinaan akhlak mulia
di lingkungan keluarga. Guru juga bisa dikategorikan sebagai
orang tua kita. Orang tua nomor satu adalah orang tua yang
melahirkan kita dan orang tua kedua adalah orang tua yang
memberikan kepandaian kepada kita. Islam menetapkan bahwa
berbuat baik kepada kedua orang tua (birr al-walidain) adalah
wajib dan merupakan amalan utama (QS. al-Isra’ (17): 23-24 dan
HR. al-Bukhari dan Muslim). Berakhlak mulia dengan kepada
orang tua bisa dilakukan di antaranya dengan 1) mengikuti
keinginan dan saran kedua orang tua dalam berbagai aspek
kehidupan; 2) menghormati dan memuliakan kedua orang tua
dengan penuh rasa terima kasih dan kasih sayang atas jasa-jasa
keduanya; 3) membantu kedua orang tua secara fisik dan
material; 4) mendoakan kedua orang tua agar selalu mendapatkan
ampunan, rahmat, dan karunia dari Allah (QS. al-Isra’ (17): 24);
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 81
dan 5) jika kedua orang tua telah meninggal, maka yang harus
dilakukan adalah mengurus jenazahnya dengan sebaik-baiknya,
melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiatnya,
meneruskan silaturrahim yang dibina orang tua di waktu
hidupnya, memuliakan sahabat-sahabatnya, dan mendoakannya.
Jadi, kita wajib berbuat baik kepada kedua orang tua kita (birr al-
walidain) dan jangan sekali-kali kita durhaka kepada keduanya.
Hal yang hampir sama juga harus kita lakukan terhadap guru-guru
kita.
Untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang lebih
tua, yang kita lakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang kita
lakukan terhadap kedua orang tua dan guru, selama orang yang
lebih tua itu patut untuk diperlakukan seperti itu. Jika mereka
adalah saudara kita, maka kita harus memberikan penghormatan
yang sebaik-baiknya, apalagi jika mereka adalah saudara dari
bapak atau ibu kita. Ketika kedua orang tua kita sudah meninggal,
mereka dapat mengganti kedudukan kedua orang tua kita. Jika
mereka itu bukan saudara kita, maka kita tetap harus
menghormatinya, selama mereka layak untuk dihormati. Sedang
dengan orang-orang yang lebih muda, jika mereka saudara kita,
kita harus memberikan kasih sayang kita yang sepenuhnya
dengan ikut merawat mereka, membimbing, mendidik, dan
membantu mereka jika mereka membutuhkan bantuan kita. Jika
mereka bukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi mereka
dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka, jangan
sekali-kali kita menyakiti mereka dan melakukan sesuatu yang
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik dari
segi fisik maupun mental atau kejiwaan mereka.
Berkaitan dengan hubungan bersama teman-teman sebaya
kita harus dapat bergaul dengan sebaik-baiknya. Mereka ini
adalah orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan kita dan
menemani kita baik di kala suka maupun di kala duka. Yang dapat
kita lakukan misalnya adalah saling memberi salam setiap
bertemu dan berpisah dengan mereka dan dilanjutkan saling
berjabat tangan, kecuali jika mereka itu lawan jenis kita, saling
menyambung tali silaturrahim dengan mereka, saling memahami
kelebihan dan kekurangan serta kekuatan dan kelemahan masing-
masing, sehingga segala macam bentuk kesalahfahaman dapat
dihindari, saling tolong-menolong, bersikap rendah hati dan tidak
boleh bersikap sombong kepada mereka, saling mengasihi dengan
mereka, memberi perhatian terhadap keadaan mereka, selalu
membantu keperluan mereka, apalagi jika mereka meminta kita
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 82
untuk membantu, ikut menjaga mereka dari gangguan orang lain,
saling memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran,
mendamaikan mereka bila berselisih, dan saling mendoakan
dengan kebaikan.
Terkait dengan akhlak terhadap orang-orang yang menjadi
lawan jenis kita, Islam memberikan aturan khusus yang harus kita
pegangi dalam rangka bergaul dengan mereka. Di antara
ketentuan itu adalah 1) Tidak melakukan khalwat, yaitu berdua-
duaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak
mempunyai hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa
ada orang ketiga; 2) tidak melakukan jabat tangan, kecuali
terhadap suami atau isterinya, atau terhadap mahramnya, atau
jika ada kondisi darurat harus bersalaman maka menjaga diri dari
lahirnya nafsu syahwat dan kemungkinan munculnya fitnah; 3)
mengurangi pandangan mata, kecuali yang memang benar-benar
perlu; 4) tidak boleh menampakkan aurat di hadapan lawan
jenisnya dan juga tidak boleh saling melihat aurat satu sama lain;
dan 5) tidak melakukan hal-hal yang menjurus kepada perzinaan,
seperti bergandengan tangan, berciuman, berpelukan, dan yang
sejenisnya. Hubungan antar lawan jenis ini menjadi berubah
ketentuannya ketika keduanya sudah menjalin hubungan
pernikahan (sudah menjadi suami-isteri). Hubungan antara
keduanya yang semula haram menjadi halal, bahkan bisa bernilai
ibadah. Keduanya menjadi satu kesatuan dalam keluarga yang
bersama-sama bertanggung jawab membawa keutuhan keluarga,
termasuk anak-anak mereka. Kewajiban keduanya selaku orang
tua terhadap anaknya, di samping memberikan kasih sayang
kepadanya, juga harus melindunginya, merawatnya , dan
mendidiknya hingga menjadi manusia dewasa yang utuh
kepribadiannya dan siap membina rumah tangga.
c. Akhlak terhadap Masyarakat
Salah satu sikap penting yang harus ditanamkan dalam diri
setiap Muslim adalah sikap menghormati dan menghargai orang
lain. Orang lain bisa diartikan sebagai orang yang selain dirinya,
baik keluarganya maupun di luar keluarganya. Orang lain juga bisa
diartikan orang yang bukan termasuk dalam keluarganya, bisa
temannya, tetangganya, atau orang yang selain keduanya. Dalam
konteks beragama, orang lain bisa juga diartikan orang yang tidak
seiman dengan kita, atau orang yang tidak memeluk agama Islam.
Terhadap orang lain yang seiman (sesama Muslim), kita
harus membina tali silaturrahim dan memenuhi hak-haknya
seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi Saw. Dalam salah satu
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 83
haditsnya, Nabi Saw. menyebutkan adanya lima hak seorang
Muslim terhadap Muslim lainnya, yaitu 1) apabila bertemu,
berilah salam kepadanya, 2) mengunjunginya, apabila ia (Muslim
lain) sedang sakit, 3) mengantarkan jenazahnya, apabila ia
meninggal dunia, 4) memenuhi undangannya, apabila ia
mengundang, dan 5) mendoakannya, apabila ia bersin (HR. al-
Bukhari dan Muslim). Terhadap suami atau isteri dan anak-anak
kita, kita harus saling menjalin hubungan kasih sayang demi
ketenteraman keluarga kita. Terhadap tetangga, kita harus selalu
berbuat baik. Jangan sampai kita menyakiti tetangga kita (HR. al-
Bukhari). Terhadap tamu, kita harus memuliakan dan
menghormatinya. Nabi memerintahkan kepada kita agar selalu
memuliakan tamu (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan segera
menyambut kedatangannya serta mengantarkan kepergiannya.
Terhadap orang alim (ulama) dan cendekiawan, kita harus
menghormati keluasan ilmunya dan berusaha untuk selalu
bergaul dan mendekatinya. Terhadap para pemimpin, kita harus
menaati mereka selama tidak menyimpang dari aturan agama.
Menaati pemimpin yang benar berarti menaati Allah Swt. (HR. al-
Bukhari dan Muslim). Jika mampu kita harus memberikan saran
dan nasehat yang baik kepada mereka demi kemajuan yang
dipimpinnya.
Adapun terhadap orang-orang yang lemah, seperti fakir
miskin dan anak yatim, kita harus berbuat baik dengan
menyantuni mereka, memberikan makanan dan pakaian kepada
mereka, dan melindungi mereka dari gangguan yang
membahayakan mereka. Jangan sekali-kali kita berlaku sewenang-
wenang kepada anak yatim dan menghardik orang yang minta-
minta (QS. al-Dluha (93): 9-10).
Terhadap mereka yang tidak seiman, Islam memberikan
beberapa batasan khusus seperti tidak boleh mengadakan
hubungan perkawinan dengan mereka, tidak memberi salam
kepada mereka, dan tidak meniru cara-cara mereka. Ukuran
hubungan dengan mereka yang tidak seiman adalah selama tidak
masuk pada ranah aqidah dan syariah. Di luar kedua hal ini, Islam
tidak melarang kita berhubungan dengan mereka. Terhadap
mereka yang mengancam agama kita, kita harus berbuat tegas
(QS. al-Mumtahanah (60): 9). Dan jika mereka berkhianat, kita pun
harus memerangi mereka (QS. al-Anfal (8): 56-57).
Itulah beberapa cara dalam rangka membina akhlak mulia
di tengah-tengah masyarakat secara umum. Secara khusus
bentuk-bentuk akhlak mulia di masyarakat ini dapat dilakukan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 84
dengan cara 1) menyayangi yang lemah; 2) menyayangi anak
yatim; 3) suka menolong; 4) bersijap pemurah dan dermawan; 5)
melakukan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar); 6) menaati ulama dan
ulil amri; 7) bersikap toleran; dan 8) sopan dalam bepergian,
dalam berkendaraan, dalam bertamu dan menerima tamu, dalam
bertetangga, dalam makan dan minum, dan dalam berpakaian.

4). Akhlak terhadap lingkungan


Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun
benda-benda tak bernyawa. Dasar yang digunakan sebagai pedoman
akhlak terhadap lingkungan adalah tugas kekhalifahannya di bumi yang
mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan agar
setiap makhluk mencapai tujuan pencitaannya.
Dalam pandangan konsep akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar,
karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk
mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk
mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap
semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan
manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan,
bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus
dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan oleh Allah untuk
mengelola bumi dan mengelola alam semesta ini. Manusia diturunkan ke
bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh
karena itu, manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam
sekitarnya, yakni melestarikannya dengan baik. Ada kewajiban manusia
untuk berakhlak kepada alam sekitarnya. Ini didasarkan kepada hal-hal
sebagi berikut :
1. bahwa manusia hidup dan mati berada di alam, yaitu bumi;
2. bahwa alam merupakan salah satu hal pokok yang
dibicarakan oleh al quran;
3. bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga
pelestarian alam yang bersifat umum dan yang khusus;
4. bahwa Allah memerintahkan kepadaa manusia untuk
mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, agar
kehidupannya menjadi makmur;
5. manusia berkewajiban mewujudkan mewujudkan
kemakmuran dan kebahagiaan di muka bumi.
Manusia wajib bertanggung jawab terhadap kelestarian alam atau
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 85
kerusakannya, karena sangat memengaruhi kehidupan manusia. Alam
yang masih lestari pasti dapat memberi hidup dan kemakmuran bagi
manusia di bumi. Tetapi apabila alam sudah rusak maka kehidupan
manusia menjadi sulit, rezeki sempit dan dapat membawa kepada
kesengsaraan. Pelestarian alam ini wajib dilaksanakan oleh semua
lapisan masyarakat, bangsa dan negara.
Berakhlak dengan lingkungan sekitarnya dapat dilakukan manusia
dengan cara melestarikan alam sekitarnya sebagai berikut :
1. melarang penebangan pohon-pohon secara liar
2. melarang perburuan binatang secara liar
3. melakukan reboisasi
4. mengendalikan erosi
5. membuat cagar alam dan suaka margasatwa
6. melarang membuang sampah sembarangan
7. merawat fasilitas umum dengan baik
8. menetapkan tata guna lahan yang lebih sesuai
9. memberikan pengertian yang baik tentang lingkungan kepada
seluruh lapisan masyarakat
10. memberikan sanksi-sanksi tertentu bagi pelanggar-
pelanggarnya.
Manusia di bumi sebagai khalifah, mempunyai tugas dan kewajiban
terhadap alam sekitarnya, yakni melestarikan dan memeliharanya
dengan baik.
Allah berfirman :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.(QS. Al
Qashash[28] :77)

Adapun akhlak manusia terhadap lingkungan atau alam yang wajib


dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1) Memerhatikan dan merenungkan penciptaan alam. Allah berfirman
:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
(QS. Ali Imran[3] : 190)

2) Memanfaatkan alam beserta isinya, karena Allah ciptakan alam dan


isinya ini untuk manusia. Allah berfirman :
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 86
“Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui”.(QS. Al Baqarah[2] : 22)

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(QS Al Baqarah[2] : 29)
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan
dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian
kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman
di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. (QS. Al
Baqarah[2] : 36)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu”.(QS. Al Baqarah[2] : 168)

8. Pembagian Akhlak dalam Islam


Dualisme bentuk akhlak yaitu akhlak yang baik dan akhlak yang buruk
membawa konsekwensi yang berbeda bagi pelakunya. Masing-masing perbuatan
akhlak manusia akan mendapatkan balasannya baik atau buruk. Sebagaimana
dijelaskan diatas akhlak seseorang dibagi menjadi tiga, akhlak terhadap Allah,
terhadap diri sendiri dan masyarakat. Maka balasan dari akhlak juga dari tiga ini.
Balasan dari Allah untuk akhlak manusia berupa pahala untuk orang yang
berakhlak baik dan hukuman bagi yang berakhlak buruk, balasannya bisa di
dunia atau kelak di akhirat. Bagi diri sendiri maka balasan dari akhlak seseorang
adalah situasi hatinya setelah melakukan sesuatu perbuatan jika perbuatan dan
akhalaknya baik hatinya merasa tenang dan nyaman, dan sebaliknya keadaan dan
perasaan hatinya buruk dan tidak baik jika perbuatan dan akhlaknya jelek.
Sedangkan balasan dari masyarakat adalah berupa sanksi sosial sesuai dengan
aturan yang berlaku didalam masyarakat.
Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut
sudut pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya. Dari segi
sifatnya, akhlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang baik,
atau disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua,
akhlak yang buruk atau akhlak madzmumah.
a. Akhlak Mahmudah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 87
Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda
keimanan seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari
sifat-sifat yang terpuji pula. Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta
kepada Allah, cinta kepda rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha
Allah, tawadhu‘, taat dan patuh kepada Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat
Allah, bersabar atas segala musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur,
menepati janji, qana‘ah, khusyu dalam beribadah kepada Allah, mampu
mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang lain, menghormati orang
lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum yang lemah, rajin
belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi binatang, dan menjaga kelestarian
alam. Selain itu terdapat pula sikap untuk menilai orang lain yang disebut dengan
husnuzzan. Husnuzzan artinya berprasangka baik. Sedangkan huznuzhan kepada
Allah SWT mengandung arti selalu berprasangka baik kepada Allah SWT, karena
Allah SWT terhadap hambanya seperti yang hambanya sangkakan kepadanya,
kalau seorang hamba berprasangka buruk kepada Allah SWT maka buruklah
prasangka Allah kepada orang tersebut, jika baik prasangka hamban kepadanya
maka baik pulalah prasangka Allah kepada orang tersebut.
Apabila kita melihat isyarat ayat al-Quran, terdapat isyarat tentang adanya
hirarki atau tingkatan akhlak mahmudah, yaitu:
1)Tingkat Hasanah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkatan yang
paling rendah. Bentuk kongkritnya menjawab salam dengan redaksi yang sama
dengan yang diucapkan oleh pemberi salam. Misalnya, ketika seseorang
mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu‟alaikum, dijawab
dengan ucapan―wa’alikumussalam.
2)Tingkat Karimah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang
lebih tinggi dari tingkat hasanah. Bentuk kongkritnya menjawab salam dengan
redaksi yang lebih panjang dari yang diucapkan pemberi salam. Misalnya, ketika
seseorang mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu‟alaikum‖, dijawab
dengan ucapan ―wa‟alikumussalam warohmatullah wabarokatuh.‖
3)Tingkat Azhimah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang
paling tinggi. Bentuk kongkritnya yaitu membalas keburukan dengan kebaikan.
Hal ini memang tidak mudah. Rasulullah SAW adalah personifikasi orang yang
mampu mempraktekkan tingkatan ini. Makanya Rasul disebut orang yang
memiliki akhlak mulia dengan tingkat ini. Hal ini diisyaratkan dalam Q.S. al-
Qalam [68]: 4 berikut ini:
Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung
Hirarki akhlak mahmudah tingkat hasanah dan karimah dalam al-Quran
diisyaratkan oleh Q.S. al-Nisa [4]: 86 berikut ini:
Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu”.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 88
b. Akhlak Madzmumah
Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat
yang merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia. Sifat yang
termasuk akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan dengan
akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur,
riya, dengki, bohong, menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak,
fitnah, qati‘urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, putus asa, kotor,mencemari
lingkungan, dan merusak alam.
Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin senantiasa menghiasi dirinya
dengan akhlak yang terpuji dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya yang
demikian ini sudah diajarkan oleh Allah melalui Al-quran untuk hidup dalam
tuntunan Ilahi. Quraish Shihab menjelaskan tentang hal ini dalam menafsirkan Al
Quran surat Al Anfal ayat 34 yang berbunyi: ―Hai orang-orang beriman
berkenan lah Allah dan Rasul apabila Dia menyeru kamu kepada apa yang
menghidupkan kamu.
Menurut Quraish Shihab kata menghidupkan kamu dalam surat Al Anfal
ayat 34 tersebut mengandung arti bahwa Allah menganugerahi manusia apa yang
berpotensi mencapai kesempurnaannya. Seperti pencerahan akalnya, keyakinan
yang benar, budi pekerti yang luhur. petunjuk menyangkut kegiatan positif serta
perbaikan individu dan masyarakat. (Shihab, 2018: 68-69).
Sebagaimana akhlak terpuji, akhlak tercela juga dapat dikatakan memiliki
tingkatan, walaupun tidak secara tegas diisyaratkan dalam teks al-Quran atau
hadits. Kata-kata hûban kabîra yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa {4]: 2 yang
ditafsirkan dengan dzanban, azhî mâ (dosa besar) atau kata-kata lain yang
semakna dengannya, atau istilah min al-kabâir dalam hadits nabi menunjukkan
adanya tingkatan dosa besar.
Beberapa contoh dosa besar yang dijelaskan dalam al-Quran dan hadits
diantaranya: syirik, menyakiti kedua orang tua, memakan harta riba,
mengkonsumsi minuman keras (khamr), membunuh jiwa bukan karena alasan
yang benar, dan lain. Mafhum mukhalafah dari adanya dosa besar adalah ada
yang disebut dosa kecil, walaupun dalam teks al-Quran tidak ada istilah dzanban
shagîra. Seorang muslim dituntut menjauhi dosa besar dan kecil. Ketika
melakukan dosa besar segera bertaubat kepada Allah, dan diusahakan sekua
mungkin mengerjakan dosa kecil. Dalam sebuah keterangan dijelaskan:
Artinya: “Tidak ada (disebut) dosa kecil kalau dikerjakan terus menerus
(akhirnya menjadi besar juga), dan tidak ada dosa besar kalau diiringi istighfar/
tobat (akhirnya akan terhapus juga)”.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 89


9. Konsep Pembentukan Akhlak sebagai Karakter Islami
Membahas tentang persesuaian akhlak dan karakter, Abuddin Nata
menyebutkan lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu pertama,
akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa
seseorang; kedua, perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan
dengan tanpa pemikiran; ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan tanpa
paksaan dan tanpa ada unsur sandiwara; keempat, akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan untuk meninggikan kalimat Allah.
Dengan demikian, karakter Islami adalah prilaku, sifat, tabiat, akhlak yang
dilandasi oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Quran dan Hadis Nabi
SAW. Karakter Islami ini intinya adalah akhlaq al-karimah. Akhlaq al-karimah
adalah suatu sifat, tabiat dan prilaku yang menunjukan adanya hubungan baik
dengan Allah (Khaliq) dan sesama makhluk yang didasari oleh nilai-nilai Islam. Di
antara contoh akhlaq al- karimah, yang berhubungan dengan Allah, adalah Iman
dan cinta kepada Allah, taat, patuh, tawakkal, syukur, ridha/ikhlas, tobat, cinta
damai. (H.R. Muslim No. 4634, 4638, 4640), bersahabat/komunikatif (H.R.
Muslim No. 4621, 4623,4624,4625, 4627, dan lain-lain), peduli sosial (H.R.
Muslim No. 4660,4661, 4677, 4756, 4761, dan lain-lain), sabar (H.R. Muslim No.
4673, 4722, 4725, 4770), peduli lingkungan (H.R. Muslim No. 4699, 4736, 4742,
dan lain-lain), kejujuran (H.R. Muslim No. 4714, 4717, 4718, dan lain-lain),
religiusitas (H.R. Muslim No. 4753, 4772, 4691), rendah hati (H.R. Muslim No.
4752, 4754, 4755), menghargai prestasi (H.R. Muslim No. 4651, 4780), rasa ingin
tahu (H.R. Muslim No. 4632, 4768), toleransi (H.R. Muslim No. 4629), semangat
kebangsaan (H.R. Muslim No. 4681).
Dengan demikian, pembentukan karakter Islami merupakan upaya yang
terencana dan sistematis untuk menjadikan seseorang mengenal, peduli dan
menginternalisasikan nilai-nilai Islam sehingga seseorang tersebut berprilaku
sebagai insan kamil.
Pembinaan terhadap karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pada
pembinaan terhadap moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, menanamkan kebiasaan tentang yang
baik, sehingga anak menjadi paham, mampu merasakan dan mau melakukan
yang baik.

Pola Rasulullah dalam Pembentukan Karakter Islami

Sejarah telah mencatat keberhasilan pola tarbiyah Rasulullah dalam


mengubah tradisi ke-jahiliyah-an kepada tradisi Islam dan merupakan prestasi
yang paling cemerlang yang pernah terjadi di muka bumi dalam bidang
pendidikan. Gambaran keberhasilan beliau sebagaimana diungkapkan oleh
Sofyan Sauri adalah bahwa Rasulullah SAW berhasil mendidik sahabatnya
menjadi masyarakat yang berkualitas dan berkarakter, sehingga mereka rindu
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 90
kepada kebenaran, semangat menuntut ilmu, merasa mulia degan Islam,
sederhana dalam bersikap, di malam hari mereka menangis ber-taqarrub kepada
Allah SWT, di siang hari berjihad melawan kemusyrikan, kekafiran dan
kezaliman, memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan terhadap kaum
muslimin, serta menebarkan kasih sayang dengan cara menghilangkan beban-
beban mereka.11
Rasulullah SAW berhasil membuat kaum muslimin saling mengasihi dan
saling mencintai sesama mereka, sebagaimana diungkapkan oleh Allah SWT
dalam al-Quran di dalam surat al-Hasyr ayat 9, yang artinya adalah: “Orang-orang
yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum
kedatangan mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai orang-orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirrin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Rasulullah SAW mampu menanamkan karakter dan sifat jujur pada diri Abu
Bakar, karakter bertanggung jawab dan peduli terhadap masyarakat pada diri
Umar bin Khaththab, karakter peduli sosial yang terdapat pada diri Usman bin
‘Affan, karakter cinta ilmu, patuh dan taat yang telah mengkristal dalam diri Ali
bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat lainnya.
Setelah mencermati keberhasilan Rasulullah SAW dalam melakukan
pendidikan karakter para sahabatnya, maka timbul pertanyaan bagaimana pola
yang digunakan Nabi SAW dalam membentuk karakter sahabat-sahabatnya
hingga menjadi generasi unggul dalam berbagai karakter Islami? Berikut ini
penulis mencoba untuk mengemukakan beberapa pola pembentukan karakter
sahabat, yaitu:
1. Berawal dari pendidik yang berkarakter
Secara bahasa, pendidik adalah “orang yang mendidik.” Dalam bahasa
Inggris, terdapat beberapa kata yang memiliki arti yang berdekatan dengan
pendidik, yaitu teacher dan tutor. Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz,
mudarris, mu’allim, dan muaddib. Beberapa istilah ini secara keseluruhan
mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, ketrampilan atau
pengalaman kepada orang lain.
Dalam perspektif Islam, pendidik menempati posisi yang sangat penting
dalam proses pendidikan atau pembentukan karakter Islami, baik pendidik dalam
makna orangtua, guru maupun masyarakat. Dialah yang bertanggungjawab
terhadap perkembangan anak didiknya. Potensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang terdapat pada anak didik harus diperhatikan
perkembangannya agar tujuan pendidikan/ pembentukan karakter dapat
tercapai seperti yang diharapkan. Adapun para pendidik menurut al-Qur`an dan
Hadis adalah Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, para orang tua dan orang lain.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 91
Dalam pembentukan karakter Islami pada anak di dalam keluarga, orang
tua merupakan faktor yang sangat fundamen/mendasar. Orangtua adalah
pembina kepribadian dan karakter anak yang utama dan pertama. Orangtua juga
sebagai perawat kejiwaan anak, karena itu orang tua yang bisa membentuk
karakter baik pada seorang anak adalah orangtua yang berkarakter. Bagaimana
mungkin melahirkan anak yang berkarakter jika orangtuanya tidak berkarakter.
Seperti kata pepatah Arab: “Orang yang tak punya tidak akan pernah memberi.”
Pendidik yang berkarakter akan melahirkan anak yang berkarakter”.
Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan bahwa pembentukan karakter
Islami sudah dimulai sejak pemilihan jodoh calon orang tua sang anak yang akan
dilahirkannya. Sebagaimana dalam hadis yang artinya: “Perempuan dinikahi
karena empat hal, yaitu karena hartanya, nasabnya, kecantikan dan agamanya.
Maka pilihlah karena agamanya.”
Kenapa harus memilih yang beragama? Karena agama akan menjadi
panutan mereka dalam berumah tangga dan dalam menjalani kehidupan dunia.
Dengan demikian, alasan pemilihan tersebut bukan hanya untuk kepentingan
pasangan yang menikah tapi justru karena untuk calon anaknya yang akan
dilahirkan di masa yang akan datang. Makanya salah satu kewajiban orangtua
terhadap anaknya adalah mencarikan jodoh anaknya dengan orang yang baik
agamanya. Dan ini bentuk persiapan orangtua terhadap calon cucunya nanti.
Rasulullah SAW berhasil membentuk karakter sahabat karena beliau adalah
pribadi yang berkarakter, pendidik yang profesional. Sebagai pribadi yang
berkarakter, Rasulullah SAW selalu menampilkan sifat lemah lembut, peduli,
tegas, kerja keras, mau berbagi, konsisten, sehingga sahabat sangat mencintai dan
merindukannya. Sebagai seorang pendidik profesional, Nabi SAW tampil sebagai
guru yang menguasai banyak disiplin ilmu. Ia mengajarkan al-Qur`an secara
langsung kepada para pengikutnya, serta membimbingnya agar hidup pada jalan
yang benar sesuai dengan ajaran al-Qur`an, ia mengangkat dirinya sebagai guru
pada geneologi dan ilmu alat bunyi. Di samping itu, Rasulullah SAW juga tampil
sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam memecahkan masalah (problem
solver), seperti masalah kemasyarakatan, sosial, keagamaan dan sebagainya yang
muncul di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan petunjuk Allah dalam al-
Qur`an adalah pendidik yang berkarakter atau dikenal dengan istilah uswatun
hasanah/contoh tauladan yang baik, sebagaimana yang telah diungkapkanNya
dalam al- Qur`an. Allah SWT telah memilihnya menjadi nabi dan contoh tauladan
yang baik bagi umatnya, karena itu Allah SWT telah mempersiapkannya menjadi
sosok yang baik.
2. Berbasis Agama
Pembentukan karakter Islami tidak bisa dipisahkan dengan proses
pendidikan Islam pada seseorang, pendidikan Islam disini dimaknai bukan
terbatas pada lembaga pendidikan agama, namun siapapun orang baik dia sedang
menempuh pendidikan formal di instansi agama maupun yang telah selesai dari
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 92
pendidikan formal, diwajibkan dalam Islam untuk terus meningkatkan
pemahamannya tentang agama islam. Jadi meskipun belajar di Perguruan Tinggi
Umum, seorang mahasiswa tetap harus meluangkan waktu untuk belajar agama,
bisa di masjid atau majlis-majlis taklim. Adapun prinsip terbventuknya karakter
Islami, adalah:
a. Menjadikan Allah SWT sebagai tujuan
b. Memperhatikan perkembangan akal/rasional
c. Memperhatikan perkembangan kecerdasan emosional
d. Melalui keteladan dan pembiasaan.

3. Berbasis Masjid
Untuk melaksanakan fungsi utamanya sebagai pendidik, Rasulullah SAW
telah membuat kebijakan yang sangat penting dalam bidang pendidikan.
Kebijakan pertama yang diambil beliau adalah membangun masjid di Quba dan
dilanjutkan dengan membangun masjid Nabawi di Madinah. Masjid digunakan
sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah, pembinaan moral, spritual,
mengajarkan agama kepada kaum Muhajirin dan Anshor, membina sikap
kebangsaan. Dengan kata lain, masjid telah digunakan oleh Rasulullah SAW
sebagai tempat yang paling efektif dalam menyusun dan menghimpun potensi
umat Islam.
Adapun Fungsi masjid pada masa Nabi SAW adalah: (1) masjid sebagai
pusat ibadah mahdhah, seperti sholat, zikir, dan baca al-Qur`an; (2) masjid
sebagai tempat pengobatan korban perang/poliklinik; (3) masjid sebagai tempat
mengatur strategi perang; (4) masjid pusat untuk mendamaikan seseorang atau
kelompok yang sedang berbantah-bantahan; (5) masjid tempat menyambut
tamu; (6) masjid tempat proses belajar mengajar, pendidikan kepribadian dalam
bentuk qauli dan fi’liy; (7) masjid tempat menahan tawanan perang; dan (8)
masjid tempat konsultasi masalah ekonomi, sosial.
Maka pembentukan karakter islami di perguruan tinggi, tidak bisa
dijauhkan dari Masjid Kampus. Mahasiswa dan semua sivitas akademika harus
menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan karakter islami. Pimpinan
perguruan tingi, dosen, mahasiswa, dan karyawan menjadi orang-orang
pemakmur masjid kampus dan juga masjid-masjid dilingkungannya masing-
masing.

10. Shiroh Keteladanan Akhlak Para Nabi

Mari kita lihat bagaimana shiroh tentang akhlaknya orang-orang yang


dicatat dalam kitab suci Al- Qur’an untuk memberi wawasan tentang Akhlak
kepada kita.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 93


1) Nabi Ibrahim a.s.
Nabi Ibrahim a.s. adalah moyangnya Monotheisme, yang
membawa dan menyebarkan ajaran tauhid kepada umat manusia.Ia
adalah orang berani menanggung resiko dalam menghadapi kezaliman.
Ia pernah menghancurkan patung-patung yang menjadi Tuhan Raja
Namruz dan para pengikutnya, sehingga ia dibakar hidup-hidup.
Resiko perjuangan ditanggung sendiri oleh Nabi Ibrahim
sehingga menjadi kemusyrikan merupakan simbol penting dalam
ajaran tauhid. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya pantang untung
berlaku syirik kepada allah SWT.
Nabi Ibrahim a.s. diuji oleh Allah SWT dengan ujian yang sangat berat.
Ia harus meninggalkan istrinya Siti Hajar dan bayi mungil Ismail di padang
yang tandus, tetapi istrinya menerima ujian itu dengan tabah. Lalu, Ibrahim
diuji untuk menyembelih Ismail, dan Ismail pun menerimanya dengan ikhlas.
Semua ujian dari Allah SWT. Dilaksanakan dengan ikhlas, hingga
akhirnya Nabi Ibrahim a.s. membangun Ka’bah yang sekarang menjadi kiblat
seluruh umat Islam. Seluruh akhlak Nabi Ibraahim a.s. merupakan teladan
bagi umat manusia, sehingga kemusliman seseorang belum sempurna apabila
belum menerima secara ikhlas semua ujian Allah SWT, baik ujian kebagiaan
maupun ujian penderitaan.

2) Nabi Nuh a.s.


Ujian Nabi Nuh a.s. cukup berat karena ia harus menghadapi
kekufuran anaknya sendiri, yaitu Kan’an. Ia tidak putus asa mengajak dan
menasehati anaknya, meskipun akhirnya anaknya mati tenggelam terbawa
arus banjir yang luar biasa. Kisah itu adalah teladan bagi kita sebagai orang
tua, untuk terus membimbing anak, dan sebaliknya anak yang membimbing
orang tua agar bersama-sama masuk surga.
3) Nabi Luth a.s.
Nabi Luth a.s. menghadapi ujian yang sangat berat karena umat
memiliki penyimpangan seksual, Homoseksual dan lesbian dipraktekkan
secara terang-terangan oleh masyarakat, bahkan istrinya sendiri seorang
lesbian. Nasehat Nabi Luth a.s. tidak diindahkan, dan ia pun meninggalkan
tugas dakwahnya dalam keadaan umat manusia yang masih dalam kesesatan.
4) Nabi Ayyub a.s.
Nabi Ayyub a.s. adalah Nabi yang sangat sabar karena ia diberi
penyakit kulit yang cukup lama. Istrinya pun merawat dengan sabar, hingga
ia pun harus menjual rambutnya untuk membeli makanan dan obat untuk
suaminya. Istrinya pernah menyarankan agar Nabi Ayyub a.s. meminta
kepada Allah SWT untuk mencabut penyakitnya, tetapi ia merasa malu
karena kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT masih terlampau
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 94
besar dibandingkan dengan penyakit yang sedang dideritanya.
Istrinya tanpa henti meminta Nabi Ayyub a.s. berdoa agar terbebas
dari penyakitnya. Lalu ia pun pasrah dan berdoa kepada Allah SWT, agar
doanya dikabulkan dan ia diperintahkan untuk menginjakkan kakinya, lalu
keluar air. Setelah mandi dengan air itu, Nabi Ayyub a.s. terbebas dari
penyakitnya yang dideritanya.

5) Nabi Musa a.s.


Nabi Musa a.s. adalah seorang nabi yang sejak bayi telah dibuang oleh
ibunya karena pada masa itu, jika ada seorang bayi laki-laki yang lahir,
kemudian Fir’aun mengetahuinya ia akan segera membunuhnya. Ibunya ingin
menyelamatkan Musa dengan cara memasukkan bayinya ke dalam keranjang
dan membiarkan terombang ambing di atas sungai, hingga akhirnya
ditemukan oleh istri Fir’aun yang sedang mandi. Kemudian Fir’aun menyerah
pada rayuan istrinya, sehingga Musa dijadikan anak angkat. Musa tumbuh
menjadi pemuda yang gagah, kuat, dan pemberani. Keberanian Musa semakin
kuat karena Allah SWT mengangkatnya menjadi Nabi dan Rasul. Kekuatannya
digunakan untuk melawan Fir’aun dan pengikutnya.
Sesungguhnya, akhlak Nabi Musa a.s. sangat penting untuk ditiru, bagi
penguasa hendaknya menjadikan kekuatannya untuk membasmi
kemungkaran dan kemaksiatan, bukan sebaliknya, yaitu digunakan untuk
mendirikan pusat-pusat kejahatan, dan pembela kezaliman.
6) Nabi Isa a.s.
Nabi Isa a.s. adalah Nabi yang penuh rasa cinta kasih kepada ummatnya.
Keahliannya digunakan untuk mengobati orang-orang yang sakit dan
membela orang- orang miskin. Hendaknya akhlak Nabi Isa a.s. ditiru oleh para
dokter dan ahli kesehatan, juga oleh orang-orang yang kaya untuk membantu
ekonomi orang-orang yang fakir dan miskin.
7) Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir, suka dukanya
sangat banyak. Sejak kecil beliau sudah yatim piatu. Akhlaknya dipuji oleh
semua orang, termasuk orang-orang kafir Quraisy. Beliau dijuluki sebagai al-
Amin, yaitu orang yang jujur dan terpercaya. Nabi Muhammad adalah
penyebar kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Beliau sangat pemaaf
meskipun kepada orang yang telah menyakitinya. Bahkan beliau menengok
orang yang setiap hari meludahinya.
Beliau pun orang yang tegas kepada orang kafir. Beliau menolak
melakukan pengkhianatan kepada Allah SWT. Meskipun diberi harta yang
berlimpah. Akhlak Nabi Muhammad SAW, sebagai ayah dari anak-anaknya,
suami dari istri-istrinya, komandan perang, mubaligh, imam, hakim, pedagang,
petani, pengembala, dan sebagainya merupakan akhlak yang pantas

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 95


diteladani.
Dalam 100 tokoh yang terkemuka di dunia, Nabi Muhammad SAW,
menduduki peringkat pertama, sebagai orang yang paling berpengaruh di
dunia. Beliau peletak dasar negara modern di Madinah yang merumuskan
perjanjian yang adil dan demokratis di tengah-tengah masyarakat sukuistik
dan pemeluk Yahudi dan Nasrani. Sebagai politisi, beliau sangat dikagumi oleh
para raja dan penguasa yang kafir. Beliau adalah pembela kaum kafir miskin
yang memilih hidup dalam kefakiran dan kemiskinan. 3 Itulah uraian akhlak
para Nabi dan Rasulullah SAW.
Allah SWT berfirman dalam Al- Qur’an surat Al- Hadid: 25, Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-
bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal
Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa”

Latihan Penguatan Pemahaman Materi.

Jawablah pertanyaan berikut dengan benar!

1. Jelaskan pengertian Akhlak secara etimologi, dan terminology dalam konsepsi


Agama Islam!
2. Jelaskan argumentasi dasar akhlak Islam sesuai literatur, dan apa yang bisa anda
simpulkan dari argumentasi tersebut!
3. Jelaskan argumentasi bagaimana berakhlak kepada Allah SWT, dan Akhlak
kepada Rosululloh!
4. Bagaimana Islam mengajarkan untuk berakhlak kepada sesama manusia dan
lingkungan tempat tinggalnya, juga sebutkan dalil-dalil naqlinya sebagai dasar
membangun argumentasi?
5. Jelaskan pembagian akhlak dalam study Islam?
6. Jelaskan bagaimana proses pembentukan karakter dalam konsep akhlak Islam?
7. Anda sudah mengetahui shiroh akhlak Nabi dari modul ini, sekarang paparkan
contoh keteladanan era setelah Nabi Muhammad SAW yang menurut anda sangat
layak diteladani (cukup 2 tokoh Islam saja)?

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 96


Daftar Pustaka

 Ahmad Saebani, dkk. Ilmu Akhlak. Cet.I (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
 Ilyas, Yunahar. 2005. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengalaman Islam (LPPI).
 Lahiji, Syehk ZA Qurbani, 2011, Risakah Sang Imam (Ajaran Etika Ali Bin Abi
Thalib), Al-Huda: Jakarta.
 Marjuki, 2009, Akhlak Mulia (Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika Dalam
Islam), Debut Wahana Press: Yogyakarta.
 Misbah, Mujtaba, 2008, Daur Ulang Jiwa, Al-Huda: Jakarta.
 Muslim Nurdin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: CV Alfabeta, 1995)
 Zahruddin AR, Hasanuddin sinaga. Pengantar Studi Akhlak PT Grafindo Persada,
Jakarta, 2004

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 97


MODUL VII

KONSEP MUAMALAH DALAM ISLAM

5. Pengertian Muamalah
Kajian tentang muamalah dalam Islam merupakan hal penting, ini
menunjukkan bahwa agama Islam tidak hanya mengatur tentang hubungan
Makhluk dengan Sang Khaliq, namun juga mengatur hubungan sesama manusia
guna menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan menjaga hak dan
kewajiban sesama manusia. Pengaturan kehidupan antar manusia ini sangat
dibutuhkan karena manusia merupakan makhluk yang dibelaki akal dan nafsu, jika
tanpa pengaturan dalam kehidupan antar manusia, maka bisa jadi yang terjadi
adalah kekacauan relasi manusia karena masing-masing manusia mengedepankan
nafsu dibanding akalnya, hadirnya Islam untuk memberikan jaminan bahwa ada
aturan yang harus diikuti oleh manusia dalam membangun relasinya dengan
manusia lainnya.
Muamalah secara harfiah/bahasa berarti “pergaulan” atau hubungan antar
manusia sebagai ciptaan Allah SWT, dalam pengertian harfiah yang bersifat umum
ini, muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar peribadahan.
Sedangkan muamalah secara terminology/istilah dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pengertian muamalah dalam arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya
menjadi sebab suksesnya urusan ukhrawy”. Menurut Muhammad Yusuf Musa yang
dikutip Abdul Majjid : “Muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus
diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia”. “Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan”. Jadi,
pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum- hukum) Allah
untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit, didefinisikan oleh para
ulama Hudhari Beik yang dikutip oleh Hendi Suhendi, “muamalah adalah semua
akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”. Menurut Rasyid
Ridda, “muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang telah ditentukan”.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian muamalah dalam arti
sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya
dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia
wajib mentaati-Nya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 98


manusia, dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian,
warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama
yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan
antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian,
dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
Guna menambah khasanah pemahaman tentang muamalah, dalam islam juga
dikenal adanya Fiqh Muamalah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah al-
Sattar Fathullah Said yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu“hukum- hukum yang
berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan,
misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerja sama dagang,
perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa”, define
lainnya sebagai berikut:
Fiqh Muamalah menurut para ahli dalam arti luas:

1. Menurut Ad-Dimyati, fiqh muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan


duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
2. Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan
hukum mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk titipan
dan pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat
pengadilan, bahkan soal distribusi harta waris.
3. Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum
mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat,
dan bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan
satu sama lain.
4. H. Lammens, S.J., guru besar bidang bahasa Arab di Universitas Joseph,
Beirut sebagaimana dikutip dalm buku Pengantar Fiqh Mu’amalah karya
Masduha Abdurrahman, memaknai fiqh sama dengan syari’ah. Fiqh,
secara bahasa menurut Lammens adalah wisdom (hukum). Dalam
pemahamannya, fiqh adalah rerum divinarum atque humanarum notitia
(pengetahuan dan batasan-batasan lembaga dan hukum baik dimensi
ketuhanan maupun dimensi manusia).
5. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqh dengan pengetahuan tentang
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diusahakan
dari dalil-dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.

6. Dasar dan Ruang Lingkup Muamalah


6.1. Dasar Muamalah dalam Islam
Dasar dari pengamalan muamalah dalam Islam secara umum berasal dari tiga
dasar sumber utama, yaitu Al Quran dan Hadits, dan ijtihad.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 99
1). Al Qur’an
Seperti yang telah diketahui bahwa Al Qur’an merupakan referensi
utama yang memuat pedoman dasar bagi umat manusia. Khususnya dalam
menemukan dan menarik suatu perkara dalam kehidupan. Sudah seharusnya
setiap muslim selaluberpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di
dalam Al Qur’an sebagai petunjuk agar menjadi manusia yang taat kepada
Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya. Ayat tentang muamalah antara lain, QS An Nisa’ Ayat 58 yang
artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat
QS Al Muthaffifin ayat 1-6 yang artinya :
1). Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang),
2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi, 3) dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang
lain), mereka mengurangi, 4) Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5) pada suatu hari yang besar, 6)
(yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh
alam.“
QS Ali Imran ayat 3 yang artinya :
Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu mendapat
keberuntungan.
2). Hadits
Seperti yang telah diketahui bahwa Hadits merupakan sumber hukum
bagi umat Islam yang kedua setelah Al Qur’an. yang digunakan oleh umat Islam
sebagai panduan dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas, baik yang
berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan
(sabda), perbuatan, maupun ketetapan yang dijadikan sebagai landasan
syari’at Islam. Hadits tentang muamalah antara lain :
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu,
maka Allah mengharamkan pula hasil penjualannya” (HR. Abu Daud)
“Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali
dengan keridhoan darinya” (HR al-Baihaqi).
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : Riba itu terdiri
73 pintu. Yang paling ringan diantarannya adalah seperti seseorang laki-laki
yang berzina dengan ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak
kehormatan seorang muslim. (HR. Ibnu Majah).
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 100
3). Ijtihad
Sumber hukum yang ketiga setelah Al Qur’an dan hadits adalah ijtihad,
yaitu proses menetapkan suatu perkara baru dengan akal sehat dan
pertimbangan yang matang, dimana perkara tersebut tidak dibahas dalam Al
Qur’an dan hadits.
Ijtihad merupakan sumber yang sering digunakan dalam perkembangan fiqih
muamalah sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits.
6.2. Ruang Lingkup Muamalah
Muamalah memiliki ruang lingkup yang dibagi menjadi 2 yaitu Al- Muamalah
Al-Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah.
1). Al-Muamalah Al-Adabiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda yang
bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban. Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat
Adabiyah mencangkup beberapa hal berikut ini:
a. Ijab Qabul
b. Saling meridhai
c. Tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak
d. Hak dan kewajiban
e. Kejujuran pedagang
f. Penipuan
g. Pemalsuan
h. Penimbunan
i. Segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya
dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

2). Al-Muamalah Al-Madiyah


Yaitu muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian para ulama
berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah muamalah yang bersifat
kebendaan karena objek fiqh muamalah adalah benda yang halal, haram, dan
syubhat untuk diperjual belikan. Benda-benda yang memadharatkan, benda-
benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dan beberapa segi
lainnya. Beberapa hal yang termasuk ke dalam ruang lingkup muamalah yang
bersifat Madiyah adalah sebagai berikut:
a. Jual beli (al-Bai’ al-Tijarah) merupakan tindakan atau transaksi yang telah
disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam islam.
b. Gadai (al-Rahn) yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai
harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga
memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 101


c. Jaminan dan tanggungan (Kafalan dan Dhaman) diartikan menanggung
atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung
perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi
terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal
tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih
(utang). Sedangkan dhaman berarti menanggung hutang orang yang
berhutang.
d. Pemindahan hutang (Hiwalah) berarti pengalihan, pemindahan.
Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak
pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari
atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga
berhutang kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu
dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun tidak.
e. Jatuh bangkrut (Taflis) adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh
kekayaannya habis.
f. Perseroan atau perkongsian (al-Syirkah) dibangun atas prinsip perwakilan
dan kepercayaan, karena masing-masing pihak yang telah menanamkan
modalnya dalam bentuk saham kepada perseroan, berarti telah
memberikan kepercayaan kepada perseroan untuk mengelola saham
tersebut.
g. Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah-
masalah baru lainnya.

Ruang Lingkup Muamalah Berdasarkan Tujuan

Perlu diketahui bahwa ruang lingkup muamalah juga mencakup seluruh


aspek kehidupan manusia seperti bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, berdasarkan tujuannya, muamalah dalam Islam
memiliki ruang lingkup yang meliputi :

a. Hukum Keluarga (Ahkam Al Ahwal Al-Syakhiyyah)


Merupakan hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan
pembentukannya yang bertujuan untuk membangun dan memelihara
keluarga sebagai bagian terkecil. Meliputi hukum tentang hak maupun
kewajiban suami, istri, dan anak serta hubungan keluarga satu dengan
lainnya

b. Hukum Perdata (Al Ahkam Al Maliyah)


Merupakan hukum yang mengatur hubungan individu-individu dalam
bermuamalah serta bentuk-bentuk hubungannya, seperti jual beli, sewa-
menyewa, hutang piutang, perjanjian, perserikatan dan lain sebagainya.
Jadi hukum perdata berkaitan dengan kekayaan dan hak-hak atas
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 102
pemeliharaannya sehingga tercipta hubungan yang harmonis di dalam
masyarakat.

c. Hukum Pidana (Al-Ahkam Al-Jinaiyyah)


Merupakan hukum yang berkaitan dengan segala bentuk kejahatan,
pelanggaran hukum dan ketentuan sanksi-sanksi hukumnya. Tujuannya
adalah untuk menjaga ketentraman dan keamanan hidup umat manusia
termasuk harta kekayaannya, kehormatannya, dan membatasi hubungan
antara pelaku tindak pidana kejahatan dengan masyarakat maupun
korban.

d. Hukum Acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at)


Definisi hukum acara adalah hukum yang berkaitan dengan sumpah,
persaksian, tata cara mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang
terbukti bersalah, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada
hukum ini bertujuan untuk mengatur dan merealisasikan keadilan di
dalam kehidupan masyarakat.

e. Hukum Perundang-Undangan (Al-Ahkam Al-Dusturiyyah)


Merupakan hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan yang
berlaku untuk membatasi hubungan hakim dengan terhukum serta
menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.

f. Hukum Kenegaraan (Al-Ahkam Al-Duwaliyyah)


Merupakan hukum yang berkaitan dengan hubungan antara penguasa
(pemerintah) dengan rakyatnya, hubungan antar kelompok masyarakat
dalam suatu negara maupun antar negara. Hukum ini bertujuan untuk
mengatur mengatur hubungan di antara umat Islam dengan yang lainnya
yang ada dalam suatu Negara, hubungan pemerintah dan rakyatnya serta
hubungan yang terjadi antar negara pada masa damai dan masa perang.

g. Hukum Keuangan dan Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wa Al-


Maliyyah)
Merupakan hukum yang berkaitan dengan hak-hak dari fakir miskin di
dalam harta orang kaya, mengatur sumber keuangan negara,
pendistribusian serta permasalahan pembelanjaan negara dalam rangka
untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 103


7. Prinsip dan Kaidah Muamalah
7.1. Prinsip-prinsip dalam Muamalah
Konsep muamalah dalam Islam mengatur hubungan antar manusia dengan
manusia lain yang sasarannya adalah harta benda, dalam kajian muamalah maka
harus memperhatikan prinsip-prinsip untuk dijadikan acuan dan pedoman untuk
mengatur kegiatan muamalah.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Muamalah adalah Urusan Duniawi maksudnya adalah urusan muamalah
berbeda dengan ibadah di mana dalam ibadah semua perbuatan dilarang
kecuali yang diperintahkan sedangkan dalam muamalah semua boleh
dilakukan kecuali yang dilarang, oleh karena itu semua bentuk transaksi dan
akad muamalah boleh dilakukan oleh manusia asal tidak bertentangan
dengan ketentuan syara’.
b. Mumalah Harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua Belah
Pihak artinya dasar dari bermuamalah adalah kerelaan dari kedua belah pihak
bagaimana pun bentuk akad dan transaksi muamalah selama kedua belah
pihak rela dan sepakat serta tidak melanggar ketentuaan syara’ itu
diperbolehkan.
c. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum maksudnya dalam bermuamalah
setiap daerah atau kelompok mempunyai kebiasaan yang dilakukan secara
turun temurun dan bertahun-tahun yang selanjutnya menjadi adat kebiasaan
dalam bermuamalah jika adat dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan
syara’ dan diakui oleh masyarakat maka hal itu sah dijadikan sebagai dasar
hukum.
d. Tidak Boleh Merugikan Orang Lain dan Diri Sendiri maksudnya tujuan
bermuamalah adalah mencari keuntungan yang tidak merugikan orang lain,
maka dari itu dalam bermuamalah haruslah sama-sama menguntungkan
kedua belah pihak yang terlibat.
Selanjutnya dalam muamalah juga dikenal adanya prinsip-prinsip khusus
muamalah yang dibagi menjadi dua, yaitu yang diperintahkan dan yang dilarang.
Adapun yang diperintahkan dalam muamalah terdapat tiga prinsip, yaitu :

o Objek transaksi harus yang halal, artinya dilarang melakukan aktivitas


ekonomi atau bisnis terkait yang haram.
o Adanya keridhaan semua pihak terkait muamalah tersebut, tanpa ada
paksaan.
o Pengelolaan dana / aset yang amanah dan jujur.

Sedangkan yang dilarang dalam muamalah antara lain :

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 104


o Riba, merupakan setiap tambahan / manfaat yang berasal dari kelebihan
nilai pokok pinjaman yang diberikan peminjam. Riba juga sebagai suatu
kegiatan yang menimbulkan eksploitasi dan ketidakadilan yang secara
ekonomi menimbulkan dampak sangat merugikan masyarakat
o Gharar, adalah mengandung ketidakjelasan, spekulasi, taruhan, bahaya,
cenderung pada kerusakan.
o Tadlis (penipuan), misalnya penipuan dalam transaksi jual beli dengan
menyembunyikan atas adanya kecacatan barang yang diperjualbelikan.
o Berakad dengan orang-orang yang tidak cakap dalam hokum, seperti orang
gila, anak kecil, terpaksa, dan lain sebagainya.

7.2. Kaidah-kaidah dalam Muamalah


ُ َ َْ
Secara bahasa kaidah diambil dari bahasa Arab ‫اعدة‬
ِ ‫ إلق‬yang artinya
adalah pondasi atau dasar. Adapun secara istilah, kaidah adalah sebuah
hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum
dan masalah yang masuk dalam cakupan pembahasannya. Pemaknaan secara
istilah juga berarti mengetahui hukum-hukum syar’i yang berhubungan
dengan amal perbuatan hamba berdasarkan pada dalil-dalilnya secara
terperinci.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa kaidah adalah hukum atau pondasi yang
bersifat umum yang bisa untuk memahami permasalahan yang tercakup
dalam pembahasannya.

Faidah Kaidah
1). Sebuah kaidah fiqih bisa digunakan untuk mengetahui banyak
permasalahan fiqih yang tercakup dalam pembahasannya. Dan ini akan sangat
memudahkan seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum fiqih
tanpa harus menghafal sebuah permasalahan satu persatu.
Imam Al-Qarrafi berkata: “Barangsiapa yang menguasai fiqih lewat
penguasaan kaidah-kaidahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua
permasalahannya satu persatu karena sudah tercakup dalam keumuman
kaidah tersebut.” (Lihat Al-Furuq Al-Qarrafi 2/115)
2). Penguasaan kaidah akan sangat membantu seseorang dalam memberikan
sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya
dengan cara yang mudah.

Sumber Kaidah
1. Kaidah yang teksnya terambil langsung dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Kaidah yang teksnya tidak diambil langsung dari nash Al-Qur’an dan As-
Sunnah, namun kandungannya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kaidah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 105
yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan biasanya didasarkan atas
sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum) atau dengan
melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada
maqashid syar’iyyah (maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i) atau yang
lainnya.

Berikut ini disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang


muamalah. Di antara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah sebagai
berikut:
َ َ َ ْ َ َّ ُ َ ْ َ َّ ُ َ َ ََ َ ُ ‫َ ْ ُ ن‬
1. ‫َل ت ْح ِر ْي ِم َها‬ ‫إإلباحة إال أن ُد ل د ِليل ع‬
ِ ِ ‫ْلصل ِ يػ إلمعام‬
‫ة‬‫ل‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama
(mudharabahatau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-
tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain :
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan
kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”.

ُ َّ ُ
2. ‫لّي َماه ِباإت َعا ق ِد‬
ََ ُ ُ َ َََ ْ َ
‫إلمت َع ِاقد ين ونت ْيجته َما ؤ َ ن‬ َ َ ْ
َ ‫إْلص ُل ػ‬
ُ ‫إلعقد ر نض‬ ‫ن‬ ْ َ
ِ ِ ‫ِ ِ ي‬ ‫ِي‬
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam melakukan transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena
itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah
pihak. Artinya tidak sah suatu akad apabila suatu pihak dalam keadaan
terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi padaa waktu akad
sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu,
artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti
pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya
terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
ْ َ
3. ‫ّي ِه ِبال ِؤذ ِن ِه‬
َْ ْ َّ‫َ ن‬ َ ََ َْ
ُ ََ ُ َ َ
ِ ‫ال ُجور ِْلح ِد أن يتْصف ِ يػ ِمل ِك غ‬
“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain
tanpa izin si pemilik harta”.
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual
atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak
ada hak orang lain pada barang yang dijual.

ََ ُ ََْ َ ُ
4. ‫إإل َجازة‬ َ
ِ ‫لبا ِطل ال ُقبل‬
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 106
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena diblehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah
terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima
oleh salah satu pihak. Contohnya, Bank Syariah tidak boleh melakukan akad
dengan lembaga keuangan lainnya yang menggunakan sistem bunga,
meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga telah
dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila
lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan
pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan
sitem bunga.

َ َ َ َ َ َ
َّ ‫إإلجازة إلالحقة كالو كالة‬ َُ َ
5. ‫إلس ِابق ِة‬ ِ ِ ِ ِ ِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang
telah dilakukan lebih dahulu”.
Seperti telah dikemukakan kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak
boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak
hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta
mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi
dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.

6. ‫ان‬ َ َ ْ َ َ ُ
َ ُ َّ َ َْ
ِ ‫إْلجر وإلِمان ال ُجت ِمع‬
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak
berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhanan atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah
mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran
atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di
pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah Pasal 416)
Contoh, seorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa
keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-
barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka,
si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar
sewaannya. (Majalah Ahkam al-adliyah Pasal 550)

َ َّ َ ُ َ
7. ‫ان‬ ِ ‫إلجرإج ِبالِم‬
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda
maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang
mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 107


Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan
cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi.
Sebab, pengguanaan binatang tadi sudah menajadi hak pembeli.

َْ ُ َ
8. ‫لغ ْرم ِبالغن ِم‬
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalh bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus
menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada
keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya,
seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang
dan risiko ongkos-ongkos pengembaliaannya. Berbeda dengan ongkos
mengangkut dan pemeliharaan barang, dibebankan kepada pemilik barang.

َ ََ ُ‫ْ ئ‬ َ ‫ن‬ ََ َّ ََ َ
9. ‫اػ ض ْم ِن ِه‬
‫ِؤذإ بطل إلشت بطل م ِ ي‬
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli
telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua
belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hal pembeli terhadap barang
menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya,
si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus
mengembalikan harga barangnya.

َ َ
10. ‫العق ِد عَل َمن ِاف ِعها‬
ََ ْ
َ ‫إلعقد عَل إْلع َيان ك‬
َ َ َْ ََ ُ ْ
ِ
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap
manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang,
objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari
akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti
rukun dan syaratnya sama.

ُ َ َّ َ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َْ َ ُ
11. ‫ات فال ُ ِصح ت ْو ِق ْيته‬ َ ُ ُ ْ َ
ِ ‫ود إلمعاوض‬
ِ ‫كل ماُ ِصح تأ ِبيده ِمن إلعق‬
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-
masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di
pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak
terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah
apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya.
Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 108
َ َْ ْ ‫ن‬ْ َ َّ َ
12. ‫اطل‬ِ ‫إْلم ُر ِبالتْص ِف ِ يػ ِمل ِك إلغ ِّي ب‬
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah
batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk
bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap
miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga
keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang
dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga
bisa masuk dalam kaidah fiqih siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan
memerintah dari atasan kepada bawahannya.

ْ َ َّ َّ ََ
13. ‫ض‬
ِ ‫الي ِتم إلت َّيعث ِؤال ِبالقب‬
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata
seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan
barangnya dilaksanakan.

َ َّ ‫ََ ن‬َ َّ ُ َ
14. ‫ان‬
ِ ‫اػ إلِم‬
‫ع ين ِ ي‬ ِ ْ ‫إلجوإز ر‬
‫إلش ي‬
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan
ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik
melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi.
Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian
binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga
tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di
tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.

َ ّ َ َّ ََ َ ْ
ْ ‫الي ن نّيع ر‬
15. ‫شء ِمن ُ ٍد أح ٍد ِؤال ِبحق ث ِاب ِت‬
َ ُ َْ َُ
‫ي‬
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar
ketentuan hukum yang telah tetap.”

ُ ْ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ
16. ‫ول ج ِائز أن ُك ْون ق ِبلت‬ ُ
ٍ ‫كل ق ب‬
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli,
sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah
terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti
saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan
“saya terima”.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 109


َ َُ ُ َ َْ ْ
17. ‫إلعق ِد أو ِمن ُمقتِاه فه َو ج ِائز‬
َْ
َ ‫شط كان من َمصلحة‬ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ ُ
ِ ِ ٍ ْ ‫كل ر‬
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,
maka syarat tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila
barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai
berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di
notaris.

ُُ َ َّ َ ُ ْ
َّ ‫كل َماصح‬ َّ َ ُ
18. ‫إلرهن ِب ِه صح ض َما نه‬
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”

ُُْ َ َ ُ َ َ َ
19. ‫َماجاز ب ْي ُعه جاز َرهنه‬
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh
disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.

َ َُ ً َْ َ
20. ‫كل ق ْرض ج َّر َمنف َعة فه َو ِربا‬
َ ُ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama
dengan riba.”

8. Relasi Muamalah dan Kehidupan Sosial


Kehidupan sosial kemasyarakatan menunjukkan keniscayaan hubungan
antar umat manusia, baik itu bernilai profit maupun non profit/sosial. Islam sebagai
agama yang paripurna/sempurna, tidak hanya menekankan pada ajaran tentang
relasi vertikal manusia dengan Tuhan (Allah SWT), namun juga memberi perhatian
tentang relasi horizontal antar manusia. Bahkan agama Islam melalui hadist Nabi
Muhammad SAW menyebutkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling
banyak bermanfaat bagi manusia yang lainnya, hadist ini sangat relevan ( ‫الناس‬ ُ ‫َخ ْ ر‬
‫ي‬
ِ
َّ ُُ َ َ
‫اس‬
ِ ‫لن‬ ‫ل‬ِ ‫)أنفع‬.
‫م‬‫ه‬
Kaitan dengan konsep muamalah dan relasi sosial, dapat disimpulkan bahwa
Islam mendorong umatnya untuk memiliki kesalehan sosial disamping kesalehan
ibadah, bahkan dalam konsep muamalah kita diajari memperluas
cakrawala/perspektif tentang ibadah yang berkorelasi dengan pahala dari Allah SWT.
Dalam konsep muamalah Islam, umat yang mengikuti ketentuan muamalah sesuai
syariat Islam maka dia juga sedang beribadah grairu mahgdoh, yang berarti
berpotensi mendapatkan pahala dan kemulyaan dari Allah SWT. Untuk semakin
menunjukan relasi muamalah dengan relasi sosial, berikut dikemukanan 5
argumentasi.

Pertama, dalam al-Qur’an atau kitab-kitab Hadist, proporsi terbesar kedua


sumber Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khumaini
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 110
dalam bukunya yang dikutib Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan
ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu
berbanding seratus, untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah
sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah
adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek (tentu bukan ditinggalkan),
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran
lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang
dilakukan secara berjama’ah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang
dikerjakan sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusan)-
nya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa
tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya adalah dalam bentuk
memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan
Ramadhan maka tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam
hubungan ini, misalnya kita dapat membaca hadis yang artinya sebagai berikut.
”Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus
menerus shalat malam dan terus menerus berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa argumentasi diatas, kita dapat mengetahui bahwa Islam sangat
memperhatikan kehidupan sosial, dan tentu menghendaki tatanan sosial yang
teratur, tertib, saling menghormati, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya,
dengan kata lain orang yang menerapkan konsep muamalah dalam kehidupan
sosialnya, maka sejatinya dia sedang ikut mewujudkan tatanan kehidupan yang baik.

9. Latihan Soal
1. Jelaskan Pengertian muamalah dalam konsep Islam?
2. Jelaskan pemahaman terhadap dasar muamalah dalam Islam pada Al-Qur'an,
Hadist, dan Ijtihad ulama'!
3. Jelaskan tentang Al- Muamalah Al-Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah
dalam konsep Muamalah Islam!
4. Jelaskan ruang lingkup muamalah berdasarkan tujuannya!
5. Jelaskan prinsip-prinsip muamalah yang harus dijadikan acuan dalam
bermuamalah?
6. Jelaskan 3 kaidah dalam bidang muamalah yang paling anda fahami?
7. Jelaskan relasi muamalah dengan kehidupan sosial dalam konsep Islam?

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 111


8. Coba diskripsikan satu kasus muamalah dan penyelesaiannya menggunakan
konsepsi muamalah dalam Islam?

10. Daftar Pustaka


 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2010
 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010)
 al-Bukhari, Muhammad ibn Isma`il Abu Abdillah, 1987, al-Jami` al-
Shahih al- Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsir.
 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993)
 Djazuli.A, Kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, Jakarta : Kencana, 2007
 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Pesada, 2002)

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 112


MODUL VIII

KONSEP PERTANAHAN DALAM ISLAM

5. Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama langit yang satu-satunya membahas tentang
segala hal secara sempurna termasuk membahas tentang pertanahan, segala
sesuatu yang ada dilangit dan bumi ternasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah
SWT. Sebagai pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) kemudian
Allah SWT memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik
Allah ini sesuai dengan syariatNya. Asal usul kepemilikan (aslul milki) adalah
milik Allah SWT, dan bahwa manusia tidak mempunyai hak kecuali
memanfaatkan (tasarruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Konsekuensi
dalam tataran fikih atau hukum, maka setiap kebijakan atau ijtihad dibidang
pertanahan hendaklah dilaksanakan dengan mengaplikasikan hukum-hukum
Allah SWT kedalam kebijakan tersebut.
Tanah tidak dipungkiri merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
penting dan harus dimanfaatkan secara optimal. Setiap jenis tanah selain
mempunyai zat yakni tanah, yaitu tanah itu sendiri, juga mempunyai manfaat
tertentu misalnya untuk pertanian, perumahan atau industri. Islam
memperbolehkan seseorang memiliki tanah dan memanfaatkannya dengan
tujuan yang baik, bukan tujuan merusak. Kalau dicermati nas-nas syara’ yang
berkaitan dengan kepemilikan tanah, maka ditemukan ketentuan hukum tentang
tanah berbeda dengan kepemilikan benda-benda lainnya, di dalam al-Quran
sebagai sumber hukum Islam banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara
tentang bumi/tanah sebagai karunia Allah Swt kepada manusia sebagai khalifah
di bumi.
Ada tiga kata yang disebutkan Allah Swt tentang tanah di dalam Alquran, di
samping kata al-ardhu kata yang juga banyak disinggung adalah al-thin
kemudian kata al-turab yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti tanah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kata-kata al-ardhu
disebutkan oleh al-Quran, antara lain Al-Mulk:16, Al-Hajj:5, Thaahaa:4, Saba':9,
Nuh:19, Thaahaa:53, Al-Mursalaat:25, An-Naba:6, Abasa:26, Faathir:9, Al-
Anbiyaa':44, Al-Mulk:15, Al-Qashash:81, Al-Jaatsiyah:5, Al-Ankabuut:63, An-
Naml:61, Ar-Ruum:9, Al-Qamar:12, Ar-Ruum:24, Fush-Shilat:9, Ghafir:64, Az-
Zumar:74, Ar-Ruum:50, Az-Zukhruf:10, Al-Hadiid:17, Ar-Ruum:19, Fush-
Shilat:39, Al-Anbiyaa':105, Al-Ankabuut:40, Maryam:40, Al-Isra:37, Ibrahim:14,
Al-A'raaf:128, Yusuf:80, Arraad:3, An-Nahl:65, Al-Baqarah:164, An-Nahl:45, Al-
Baqarah:71, Al-Maidah:21, Al-A'raaf:100, Al-Baqarah:22, Al-Isra:104, Al-Kahfi:47,

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 113


Arraad:41, Yunus:24, Al-Waqi'a:4, Al-Haaqqah:14, Al-Mu'minuun:84, Arraad:31,
At-Taubah:118, Qaaf:4, At-Taubah:25, Ibrahim:48, An-Nisa:42, Qaaf:44,
YaaSiin:33, Al-Inshiqaaq:3, Az-Zalzalah:2, Al-Fajr:21, Al-Baqarah:61, Az-
Zumar:69, Al-Muzzammil:14, Az-Zalzalah:1, Al-Baqarah:251, Maryam:90,
YaaSiin:36, Al-Hajj:63 dan lainnya, coba kita perhatikan lafadz beberapa ayat
berikut:
ۡ َ ِّ ٗ َ ٓ َ َ ٰ َ ‫ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ٓۚ َّ ن‬ َ ۡ َ َ ٗ ٓ َ ٓ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ
‫وئَّلل أنزل ِمن ئلسما ِء ماء فأحيا ِب ِه ئْلرض بعد مو ِتها ِؤن ِ يػ ذ ِلك ْلُة لقو ٖم‬
َ
٤٣ ‫َي ۡس َم ُعون‬
Artinya: Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu
dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang mendengarkan (pelajaran) QS. Al-Nahl: 16/65
َ َ ۡ َ َ ٗ ٓ َ ٓ َ َّ َ َ َ َ َ ٗ ٓ َ َ ٓ َ َّ َ ٗ ٰ َ َ ۡ َ ۡ ُ ُ َ َ َ َ َّ
‫ئل ِذي جعل لكم ئْلرض ِفرشا وئلسماء ِبناء وأنزل ِمن ئلسما ِء ماء فأخرج ِب ِهۦ‬
َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ٗ َ َ َّ ْ ُ َ ۡ َ َ َ ۖ ۡ ُ َّ ٗ ۡ َّ َ
٤٤ ‫َّلل أندإدإ وأنتم تعلمون‬ ِ ِ ‫ِمن ئلث َم َ ٰر ِت ِرزقا لكم فل تجعلوإ‬
Artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqoroh: 22)

Kata al-ardhu menggunakan susunan suku kata/huruf (alif, lam, dan ra’),
susunan suku kata ini jika diperluas padanannya maka disebutkan sebanyak 461
kali dalam Al-Qur’an. Banyaknya penyebutan kata tersebut menjadi tanda bahwa
hal-ihwal tanah tidak asing dalam pembahasan Al-Qur’an, bagi umat Islam dan
khususnya bagi mereka yang menekuni profesi yang berkaitan dengan tanah
maka ini harus menjadi pelajaran untuk semakin meningkatkan keimanannya.
Kata berikutnya adalah al-thin yang juga diartikan sebagai tanah, terdapat
dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra:61, Adz-Dzaariyaat:33, Shaad:76, Al-An'aam:2, Al-
A'raaf:12, Al-Mu'minuun:12, Shaad:71, As-Sajdah:7, Ash-Shaafaat:11, Al-
Qashash:38, Al-Maidah:110, dan Ali-Imran:49.
ُ َ ُ ُ ۡ َ ِّ َ ُ ُ ُ ۡ ۡ َ ِّ َ َ َٓ ۡ ٓ ‫َ َ ُ ً َ ٰ َ ن‬
‫ُل أ ن يت قد ِجئتكم ِب َاُ ٖة ِّمن َّ ِّربك ۡم أ ن ي ٓت أخلق لكم ِّم َن‬ ‫شء‬ ِ ٰ َ ‫وَل ِؤَل ب ِ يت ِؤ‬ ‫ورس‬
َ ۡ َ ۡ ُ ۖ
َ ‫ئَّلل َوأ ۡبر ُ ئْل ۡك َم َه َوئْل ۡب َر‬َّ ۡ َ ۡ َ ُ ُ َ َ ُ ُ َ َّ
ۡ ‫ئلط‬ َ
ۡ ‫ي ك َه‬ ِّ
ِ ‫ن‬ِ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ب‬ ‫إ‬
‫ّي‬ ‫ط‬ ‫ون‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫يه‬
ِ ‫ف‬ِ ‫نف‬ ‫أ‬ ‫ف‬ ‫ّي‬ ‫ة‬ ِ ‫ي‬ ‫ئلط ن‬
ِِ ِ ۡ
ِ
‫َّ ۖ َ ُ َ ِّ ُ ُ َ َ ۡ ُ ُ َ َ َ َ َّ ُ َ ن ُ ُ ُ ۡ ۚ َّ ن‬ َٰ ۡ َ ۡ ِ ۡ ُ َ
‫وتكم ِؤن ِ يػ‬ ِ ‫ئَّلل ۡوأنبئكم ِبما تأ كلون وما تد ِخرون ِ يػ بي‬ ِ ‫ح ئلموت ِب ِإذ ِن‬ ‫َوأ ِي‬
ُ ُ
َ‫ذ ٰ ل َك ْل َُة لك ۡم ؤن ك ُنتم مؤمن ن‬ َّ ٗ ٓ َ
٢٧ ‫ي‬ ِ ِ ِ ِ
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 114
Artinya: Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):
"Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu
tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari
tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi
seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang
buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan
kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.
(QS. Ali-Imran: 49)

َ َ َ ُ َ ُۖ ُ َ َ ۖ ٗ َ ٓ َ‫ُ َّ َ ن‬
‫ُه َو َّئل ِذي َخ َل َق ُكم ِّمن ِط ن‬
٢ ‫ل م َس ىًّم ِعندهۥ ث َّم أنت ۡم ت ۡم ُّيون‬ٞ ‫ض أ َجل َوأ َج‬
ٰ ‫ي ثم ق‬ ٖ
Artinya : Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya
ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang
Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang
berbangkit itu) (QS. Al-An’am: 2)

Al-Qur’an menyebutkan tiga fariasi penyebutan, Thiinan – Thiinin –AtThiin, ini


diartikan tanah juga, disebutkan sebanyak 12 kali dalam Al-Qur’an. Allah SWT
adalah sebaik-baik penyusun kalimat, dan wahyuNYA yang terdapat dalam Al-
Qur’an menyebut arti tanah dengan beberapa kata berbeda menunjukkan
keagungan dan kebesaran Allah terkait pembahasannya tentang tanah.

Selanjutnya kata tanah yang menggunakan kata-kata al-turab terdapat dalam


Al-Qur’an surat Ash-Shaafaat:53, Al-Mu'minuun:82, Al-Mu'minuun:35, Ash-
Shaafaat:16, Qaaf:3, Al-Waqi'a:47, Al-Baqarah:264, Faathir:11, Ar-Ruum:20, Al-
Hajj:5, Ghafir:67, Al-Kahfi:37, Ali-Imran:59, An-Naml:67, Arraad:5, An-Naba:40,
Al-Balad:16, At-Taariq:7, An-Nahl:59. Contoh lafadz ayat yang terkait penyebutan
tanah dengan kata al-turab adalah sebagai berikut:
َ ُ َ َ َّ َ ً ٰ َ َ ٗ َ ُ َّ ُ َ َ ۡ َ َ
٥٣ ‫أ ِءذإ ِمتنا وكنا ترإبا و ِعظ ما أ ِءنا لم ِدينون‬
Artinya: Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang
belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan)
untuk diberi pembalasan?. (QS. Ash-Shaafaat: 53)

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 115


َ ُ ‫ َ َ ر‬ٞ َ‫َ ۡ َ َ ٰ ٓ َ ۡ َ َ َ ُ ِّ ُ َ ُ َّ َ ٓ َ ُ َ ر‬
٢٠ ‫إُ ثم ِؤذإ أنتم بش تنت ِشون‬ ٖ ‫و ِمن ءإي ِت ِهۦ أن خلقكم من تر‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang
berkembang biak. (QS. Ar-Ruum:20)
Penggunaan kata al-turab ini disebutkan sebanyak 19 kali dalam Al-Qur’an,
dengan berbagai redaksi.

6. Ruang Lingkup Pertanahan dalam Studi Islam


6.1. Kesejarahan Pertanahan dalam Islam
Pada zaman Rosulullah SAW, kebijakan pertanahan telah mendapatkan
perhatian yang serius, terbukti ada banyak riwayat yang menyebutkan
adanya pengaturan pertanahan oleh Nabi guna menciptakan kesejahteraan
masyarakat dan tidak terjadinya monopoli kepemilikan tanah yang hanya
berpusat pada segelintir orang. Rosul sangat memahami bahwa tanah sebagai
sumber produksi vital dalam ekonomi dapat berkolerasi pada kesejahteraan
umat, maka Rosulpun mengidentifikasi terhadap umat Islam yang tidak atau
berkekurangan dalam pemilikan tanah untuk kemudian diberikan tanah oleh
negara.
Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal menceritakan sejarah Nabi
mendistribusikan tanah kepada beberapa sahabat, yaitu Ibnu Sirin pernah
mengatakan bahwa Rasulullah telah mengapling tanah kepada seorang lelaki
dari kalangan Anshar yang bernama Sulaith, selanjutnya juga pemberian
tanah kepada Zubair ra sebagaimana hadist yang disampaikan dari Asma’
binti Abu Bakar ra bahwa Rasulullah saw telah memberikan kapling tanah
kepada Az-Zubair ra di Khaibar, yang di dalamnya terdapat pepohonan dan
kebun kurma. Begitupun juga terhadap Abu Tsalabah al-Khusyani ra,
Rasulullah SAW memberikan tanah kepadanya dengan menyertainya surat
pengkaplingan tanah.
Kebijakan pemberian tanah juga dilakukan Nabi Muhammad SAW
kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Seperti yang dilakukan
Rasulullah terhadap pemuka Bani Hanifah, Mujja’ah Al-Yamamah. Kepadanya
Rasulullah saw menulis sebuah Surat keterangan pemberian tanah, yang
berbunyi:

“Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha


Penyayang. Ini adalah surat keterangan yang telah ditulis
Muhammad Rasulullah kepada Mujja’ah bin Murarah bin Sulma.
Sesungguhnya aku telah memberikan sekapling tanah
kepadamu di Daerah Ghaurah, Ghurabah, dan Hubul. Barang
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 116
siapa yang mempersoalkan masalah ini kepadamu, maka
datanglah menghadap kepadaku”.

Berdasarkan pada beberapa riwayat tersebut, menunjukkan bahwa ada


jejak kesejarahan bahwa Rasulullah SAW melakukan kebijakan atas kondisi
umat Islam yang tidak memiliki tanah dengan memberinya tanah, ini
dimaksudkan agar dengan tanah tersebut mereka dapat tinggal dan
mengolahnya untuk kehidupannya yang lebih baik. Sedangkan bagi orang-
orang yang baru masuk Islam, Nabi Muhammad SAW melakukannya sebagai
upaya agar menguatkan hati dan keimanan mereka pada Islam, karena mualaf
adalah golongan yang rentan baik dari segi iman maupun ekonomi.
Dalam konteks pertanahan yang lain, juga ditemukan riwayat bahwa
Rosululloh menetapkan tanah yang peruntukannya untuk negara/umum
yang dikenal dengan hima. Penetapan kebijakan hima dimaksudkan untuk
menjaga kestabilan dan sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan
umum/masyarakat luas, ini sangat berbeda dengan zaman sebelumnya yang
cenderung penguasaan ekonomi disentralkan bagi kelompok elit pejabat.
Rosul juga mengenalkan konsep dasar tentang penggunaan tanah mati
(mawat), yang dikelola oleh sahabat dan bisa bermanfaat untuk menunjang
kehidupan ekonomi.
Selepas Rosullulloh SAW meninggal, kebijakan pertanahan dilanjutkan
oleh Khulafaurrasidin, yaitu Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin
Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra karomallohu wajhah. Pada masa Khalifah
Abu Bakar ra, terjadi beberapa kali peristiwa memberian tanah kepada umat
Islam bernama Thalhah bin Ubaidillah ra, dan Uyainah bin Hisn, keduanya
diberikan surat pemberian hak atas tanah tertentu, namun kemudian
kebijakan Abu Bakar ra ini ditentang oleh sahabat Umar bin Khattab ra
dengan sikap penolakannya untuk memberikan stempel pada surat khalifah,
dengan alasan bahwa pemberian tanah tersebut mencederai keadilan
masyarakat luas, yang seharusnya tanah tersebut dikelola dengan konsep
hima sehingga masyarakat luas mendapat kemanfaatan dari tanah itu.
Khalifah Abu Bakar sangat terkenal memiliki sikap terbuka terhadap segala
kritik, termasuk menerima kritik dari Umar bin Khattab, dan kemudian
membatalkan rencana pemberian tanah kapling untuk Thalhah bin Ubaidillah
ra, dan Uyainah bin Hisn, selanjutnya Abu Bakar ra menetapkan tanah itu
sebagai tanah hima yang pengelolaannya oleh negara dan digunakan sebesar-
besarnya untuk kesejahteraan bersama masyarakat.
Masa Khalifah Umar bin Khattab ra, Islam mengalami perkembangan
yang luar biasa, banyak daerah-daerah jazirah arab yang ditaklukan, hal ini
memunculkan perdebatan tentang status tanah wilayah yang berhasil
ditaklukan. Para sahabat terbelah pendapatnya tentang tanah ini, sebagian
menghendaki tanah-tanah hasil penaklukan dibagikan kepada para mujahid,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 117
sedangkan khalifah Umar bin Khattab lebih condong untuk menjadikan
tanah-tanah hasil penaklukan sebagai tanah negara/hima yang
pemanfaatannya untuk umum. Selain pertimbangan kemanfaatan untuk
umum, juga dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah hanya kepada segelintir orang. Setelah mengalami proses
musyawarah, maka diputuskan tanah hasil penaklukan dikuasai negara untuk
kepentingan umat secara umum. Dari riwayat tersebut, menunjukkan
semangat keadilan dalam lingkup pertanahan tetap dijaga dan dilestarikan
sebagaimana Sunnah Rosululloh dalam pengelolaan tanah. Pada masa Umar
bin Khattab ini juga ririwayatkan ada beberapa konflik pengelolaan lahan, ini
tergambar dari penjelasan seorang mujahid bernama Abu Ubaid ketika
mendiskripsikan konflik pengelolaan tanah mati/mawat, dimana ada sahabat
yang mengelola tanah mati, dikemudian hari ada seorang yang datang dan
mengaku sebagai pemilik tanah mati tersebut, sehingga hal tersebut diadukan
pada khalifah untuk mendapat keadilan. Mencermati beberapa konflik
pertanahan tanah mati, maka Umar bin Khattab membuat sejumlah norma.
Umar bin Khattab ra menghimbau kaum muslimin untuk menghidupkan
lahan mati atau menggarap lahan tidur sebagai cara mendapatkan hak milik,
dengan rujukan hadist Nabi Muhammad SAW “Barang siapa yang menggarap
tanah mati yang tidak dimiliki seseorang, maka dia lebih berhak untuknya”
(HR. Bukhari). Setelah seseorang menghidupkan lahan mati, maka Umar bin
Khattab ra menjaga agar sengketa tidak terjadi lagi di kemudian hari dengan
memberikan syarat-syarat dalam pengaplingan tanah. Syaratnya adalah
bahwa lahan tersebut bukanlah milik seseorang. Beliau mengatakan “Barang
siapa yang menggarap lahan tidur yang bukan milik seorang muslim atau kafir
dzimmi, maka itu menjadi miliknya”. Umar bin Khattab ra juga memberikan
tempo kepada orang yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun; jika
dalam tempo tersebut tidak dikelola, maka akan menjadi milik orang yang
mengelolanya.
Selanjutnya masa khalifah Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib,
serta masa kekhalifahan setelahnya juga ada beberapa catatan tentang jejak-
jejak kebijakan pertanahan yang tidak dijabarkan disini, diharapkan para
mahasiswa bisa memperkaya kesejarahan pertanahan dalam islam dengan
mempelajari literatur-literatur lainnya.

6.2. Konsepsi Pertanahan dalam Islam


a. Jenis Tanah dalam Islam
Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah
usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-
kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah Usyriah adalah objek tanah dari suatu negeri yang penduduknya
masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 118
Munawwarah, Indonesia, dll. Termasuk tanah usyriah adalah seluruh
Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah,
juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat).
(Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).
Tanah usyriah adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah),
maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh
memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan
sebagainya. Tanah usyriyah yang berbentuk tanah pertanian akan
dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh
(10%) jika diairi dengan air hujan (tadah hujan), sedangkan tanah
pertanian yang diairi dengan irigasi buatan, maka zakatnya 5%. Namun
jika tanah pertanian ini tidak ditanami, maka tidak terkena kewajiban
zakatnya. Sabda Nabi SAW, "Pada tanah yang diairi sungai dan hujan
zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya
setengah dari sepersepuluh." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Tanah usyriah yang tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya
berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika
tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. (Al-
Nabhani, ibid., Juz II hal. 240). Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang
non muslim (kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab
non muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-
Amwal, hal. 48). Namun demikian, dianjurkan bagi penjual tanah agar
menanyakan maksud kegunaan tanah selanjutnya, hal ini untuk
menghindari penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin
melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir
kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-
shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II
hal. 248). Tanah kharajiyah zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum
muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum
muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara.
Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah
kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meskipun tanah-
tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan,
namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh
diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh
diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al-Nabhani, Muqaddimah Ad-
Dustur, hal. 303).
Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena
kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil
negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan
sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 119
dipungut. Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb),
kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak
gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non
muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap
memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang
meski pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani,
ibid., Juz II hal. 245). Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan
perdamaian (al-shulhu), maka ada dua kemungkinan : (1) jika
perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin,
kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau
tanahnya dijual kepada muslim. (2) jika perdamaian itu menetapkan
tanah itu menjadi milik mereka (non muslim), kedudukan kharaj sama
dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau
tanahnya dijual kepada muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).
Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian,
misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak
terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat
(usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban
zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247). Namun kadang
kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah.
Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan
terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena
zakat/usyr). Dalam kondisi ini, kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah
pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib
dikeluarkan.

b. Hak Kepemilikan Tanah


Dalam Al-Quran, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik
Allah SWT. Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. Yang
tidak terikat dan bersifat universal, sama halnya air, udara, sinar
matahari dan lain-lain; semuanya diperuntukkan untuk dimanfaatkan
oleh umum dan berguna bagi seluruh umat. Berpegang Al-Qur’an, serta
tindakan Nabi ketika beliau memutuskan untuk membangun masjid
Quba, yaitu membayar harga tanah sesuai standar, kendatipun pemilik
tanah itu rela memberikannya dengan cuma-cuma. Semua itu
menunjukkan pengakuan kepemilikan pribadi atas tanah (tanah diakui
negara dengan persertifikatan seperti kita kenal sekarang). Tanah itu
merupakan pemberian Allah secara cuma-cuma, jauh dari kekuasaan
manusia untuk menambahkan apapun di dalamnya.
Karena tanah merupakan faktor penting dalam hal produksi, maka
masalah kepemilikannya harus ditentukan berdasarkan cara yang
berbeda dari faktor-faktor produksi lainnya. Jika tanah tidak
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 120
dimanfaatkan sebaik-baiknya atau tidak tergarap selama bertahun-
tahun, hal ini akan merugikan masyarakat, maka negara tidak pernah
mentolerirnya. Oleh karena itu, jika ada pemegang tanah
menyalahgunakan hak kepemilikannya, maka negara berhak memaksa
untuk memanfaatkan tanahnya secara layak atau mengambil tanah
tersebut darinya dan menyerahkan kepada orang lain yang dapat
memanfaatkannya secara lebih baik sehingga menguntungkan
masyarakat.
Dari sana tampak betapa otoritas negara dalam kebijakan
pertanahan cukup strategis dalam rangka menghindari sistem
feodalisme atau sistem tuan tanah dan konsentrasi kekayaan di tangan
segelintir orang. Apa yang dilakukan khalifah umar dalam me-land-
reform atau menasionalisasikan tanah-tanah kaum feodal dan
mendistribusikannya pada kalangan miskin adalah sebuah contoh yang
baik. Mengingat tanah itu sifatnya terbatas dan tidak dapat
dikembangkan seperti faktor produksi lainnya, maka regulasi
tentangnya perlu diatur secara khusus.
Pengaturan soal kepemilikan dan hak-hak lain atas tanah, seperti
hak pakai, hak guna bangunan dan sebagainya, menjadi sangat penting.
Secara rinci, jika dilihat dari subyek penguasanya, tanah itu bisa dibagi
dua, yaitu tanah yang ada dalam penguasaan pemerintah, dan tanah yang
ada dalam penguasaan perorangan/badan. Sejalan dengan firman dalam
surat Yunus ayat 9, dimana inti ayat ini berjalan berkelindan dengan
bunyi UUD-45 pasal 28 yang menyatakan bahwa pada dasarnya seluruh
tanah/bumi ada dalam penguasaan negara/pemerintah sebagai
pembawa mandat kemaslahatan umum, kecuali yang secara sah telah
menjadi milik atau ada dalam penguasaan perorangan/badan hukum.
Sedangkan tanah yang ada dalam penguasaan perorangan/ badan.
Ada dua hak atas tanah jika dilihat dari hubungannya dengan
seseorang/badah hukum, yaitu: hubungan hak kepemilikan (haq al-
milkiyah), dan Hubungan hak guna atau pemanfaatan (haq al-istighlal).

Hubungan Hak Kepemilikan


Hak kepemilikan ini dapat diperoleh dengan cara-cara sebagai
berikut: pertama, Membuka Lahan Baru (Ihya al-Mawat), Para ulama
berbeda pendapat dalam cara pengolahannya. Menurut ulama Hanafiyah
dan Malikiyah adalah dengan cara menggarapnya sebagai lahan
pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya,
mencangkul lahan untuk pertanian, membuat saluran irigasi baik dengan
menggali sumur maupun dengan mencari sumber air lainnya,
menanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan
serta memagarinya. Lalu menurut ulama Shafiiyah menyatakan bahwa
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 121
cara untuk mengolah lahan kosong yang tidak dimiliki seseorang
dikembalikan pada adat istiadat yang berlaku di daerah itu. Jika lahan itu
dimaksudkan untuk tempat tinggal maka lahan itu perlu dipagar dan
membangun rumah di atasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian, maka
lahannya diolah, irigasinya dibuat, baik dengan menggali sumur maupun
mengambil air dari sungai dan menanami lahan itu dengan tanaman
produktif sesuai dengan keinginannya. Dan menurut ulama Hanabilah
bahwa ihya al-mawat itu cukup dilakukan dengan memagar sekeliling
lahan yang ingin digarap, baik untuk pertanian, tempat pengembalaan
maupun untuk perumahan. Ulama fikih lain menyatakan bahwa ihya al-
Mawat tidak cukup hanya dengan memagar sebidang tanah tanpa
menggarapnya jadi lahan pertanian atau perumahan. Imam al-Kasani,
BadaI al-Fawaid, jilid VI, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 194.; Ibnu Qudamah,
Al-Mughni, jilid V, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, tt), h. 514.
Tanah mati adalah istilah bagi tanah yang tidak ada pemiliknya dan
tidak dimanfaatkan oleh satu orangpun. Sedangkan yang dimaksud
dengan menghidupkannya adalah memanfaatkan tanah itu, baik dengan
menanaminya maupun dengan mendirikan bangunan di atasnya. Kedua
hadis ini menunjukkan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan
kosong, belum dimiliki orang lain, kemudian menggarap lahan itu,
mengairinya, menanam tumbuh-tumbuhan di atasnya dan memagarnya,
maka lahan itu menjadi miliknya. Kedua hadis itu juga memotifasi umat
Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadi lahan produktif, sehingga
karunia yang diturunkan Allah dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa pada saat Umar menjadi
Khalifah, ia mendapati sebagian orang yang berlebihan dalam
memanfaatkan fasilitas ini. Mereka membuat batas-batas tanah dengan
memasang batu-batu dan pagar di atas tanah tersebut untuk mencegah
orang lain memilikinya, namun mereka sendiri tidak memanfaatkan
tanah tersebut sehingga tidak terawat selama bertahun-tahun. Hal ini
jelas bertentangan dengan maksud Rasulullah ketika membolehkan Ihya
al-Mawat. Sebab tujuan dari aktivitas ini adalah mendorong
produktivitas tanah, baik untuk mengembangkan sektor pertanian
maupun sektor-sektor perekonomian yang lain, seperti pembangunan
fasilitas pemukinan maupun perdagangan. Dalam hal ini Umar
memberikan batasan waktu tiga tahun kepada pemiliknya untuk segera
mengelola tanahnya, namun jika lebih dari tiga tahun tanah tersebut
tidak dikelola, maka pemiliknya dinyatakan tidak berhak lagi atas tanah
tersebut. Dasar penetapan waktu tiga tahun adalah berdasarkan
perhitungan rasional bagi seseorang untuk menghidupkan tanahnya

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 122


ataupun mempersiapkan segala sesuatu untuk mengelolahnya, terutama
jika tanah itu terletak jauh dari tempat tinggal pemiliknya.
Selanjutnya, adanya kebijakan pembatasan waktu yang ditetapkan
oleh Umar juga atas dasar kemaslahatan masyarakat. Umar menyadari
sepenuhnya bahwa tanah adalah karunia Allah yang harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Tanah tidak boleh
dibiarkan tak terawat karena hal itu merupakan perbuatan yang mubazir
dan dipandang sebagai bentuk penyia-nyiaan terhadap karunia Allah
SWT. Disamping itu, mengingat kondisi tanah Arab yang pada umumnya
berupa padang pasir tandus dan tidak bisa ditanami, maka pengabaian
terhadap tanah yang potensial untuk pertanian dapat mengurangi hasil
produksi pertanian masyarakat secara keseluruhan. Dan lebih dari pada
itu, tanah subur yang dibiarkan tidak dikelola akan berkurang tingkat
kesuburannya dan bahkan dapat berubah menjadi tanah yang gersang
sehingga kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Atas pertimbangan
ini, kebijakan pembatasan waktu yang ditetapkan oleh Umar terhadap
tanah yang tidak dikelola menjadi sangat mudah untuk difahami. Ini
terbukti, tak seorangpun diantara para sahabat yang mengingkarinya
sehingga telah menjadi ijma sahabat. Namun pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Talib dan Muawiyah batas waktu tersebut dikurangi
menjadi dua tahun karena pertimbangan kepentingan umum. Ini
sebagaimana yang dilakukan Ziyad bin Abu Safyan, Gubernur irak.
Kedua, Pemilikan tanah melalui jual-beli (iwadl, tukar menukar).
Dalam hal ini, maka proses jual-beli atau tukar menukar (iwadl) harus
dijalankan berdasarkan prinsip dasar jual beli, yakni “tardlin” (prinsip
kesukarelaan dari Kedua belah pihak). Dalam al-Qur‘an dikatakan, “Ya
ayyuha al-ladzna man l takul amwlakum baynakum bi al-bathil illa
antakna tijratan ‘an tardlin minkum.. Wahai orang yang beriman,
janganlah kalian makan harta sesamamu dengan cara yang tidak benar,
kecuali melalui jalan jual-beli berdasarkan suka-sama suka di antara
kamu..” Al-Nisa [4]: 28). Artinya, pihak pembeli harus suka dengan
barangnya, dan pihak penjual suka dengan harganya. Praktek-praktek
penggusuran (jual beli paksa) yang selama ini terjadi atas tanah rakyat
oleh penguasa/pengusaha secara prinsip tidak dapat diterima.
Ketiga, pemilikan dengan cara perwarisan (mirts). Yakni, pemilikan
yang terjadi karena peralihan hak dari seseorang yang meninggal dunia
kepada pihak-pihak tertentu dikarenakan adanya hubungan kekerabatan
(nasab). Pemilikan melalui cara ini dalam Syari‘at Islam telah diatur
sedemikian rinci, baik menyangkut siapa- siapa yang berhak mewarisi,
berapa bagian masing-masing ahli waris, syarat-syarat perwarisan, dan
hambatan-hambatannya. Sehingga adanya sistem Zamindari atau tuan

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 123


tanah itu tidak akan pernah dapat dijadikan patokan dalam masyarakat
Islam.
Keempat, pemilikan melalui pemberian (hibah atau hadiah). Dalam
hal ini, siapa yang memberi dan yang menerima, serta apa yang
diberikan dan berapa, tidak diatur, kecuali bahwa: a) yang bersangkutan
(pemberi maupun menerima) telah memenuhi syarat sebagai pelaku
kontrak (dewasa, cakap, dan tidak terpaksa), atau dilakukan ooleh wali
atas namanya. Dan, b) akad hibah yang dilakukan ppada ssaat sakit tidak
boleh melebihi 1/3 dari keseluruhan harta yang dimiliki.

Hubungan Hak Guna atau Pemanfaatan (Haq al-Istighlal)


Haq al-istighlal atau hak pemanfaatan (haq al-intifa‘) adalah hak
yang diberikan oleh negara/pemerintah bukan atas dzatnya tanah/bumi
itu sendiri melainkan pada pemanfaatannya belaka. Hak ini didapat
melalui cara-cara: pertama, tahjir. Tahjr adalah pengkaplingan
terhadap tanah bebas yang belum menjadi milik seseorang/badan.
Berbeda dengan Imam-Imam yang lain yang memberikan hak
kepemilikan dari proses tahjr ini, menurut Imam Maliki tahjr hanya
memberikan hak pemanfaatan (haq al-intifa’) atau hak guna (haq al-
istighll). Dasarnya adalah Hadist Nabi bahwa jika sampai tiga tahun
tanah tahjr tersebut tidak dimanfaatkan sebagaimana lazimnya, maka
pemerintah dapat mencabutnya kembali dari si pengkapling.
Kedua, Iqtha‘. Iqtha yang disebut juga tanah hadiah, adalah sistem
hak pakai yang asal-usulnya dapat ditelusuri pada zaman Nabi
Muhammad. Sistem ini mempunyai implikasi yang serius terhadap
sistem tanah di Arab, karena kehidupan orang-orang Badui yang
berpindah-pindah itu menyebabkan mereka tidak mengetahui hak
pemilikan tanah oleh seseorang. Iqta mempunyai ragam makna,
diantaranya seperti ungkapan Al- Shaukani yaitu ketetapan pemerintah
tentang penentuan lahan kepada seseorang yang dianggap cakap untuk
menggarap lahan tersebut, sebagaimana yang dilakukan Nabi
Muhammad dalam meng- Iqta tanah kepada orang-orang Badui untuk
menghidupi kehidupan mereka yang telah meninggalkan keluarga,
kerabat juga harta benda mereka.
Adapun bentuk hadiah atau bantuan ini diberikan kepada dua
kelompok berdasarkan kondisinya. Pertama, diberikan kepada orang-
orang yang mampu mengolah tanah itu sendiri untuk memperbaiki
kehidupan mereka. Kedua kepada orang-orang yang berkerja sebagai
pengabdi masyarakat sehingga tidak dapat mengolah tanah itu sendiri.
Mereka menyuruh orang lain mengolahnya dan membagi hasil maupun
pendapatannya kepada orang-orang tersebut.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 124


Berdasarkan penelitian hadis dan pernyataan sejarah, ada tiga
kategori tanah yang dijadikan Iqta yaitu: (1) Tanah Tandus, yaitu
tanah-tanah yang tidak pernah diolah dan diperbaiki sebelumnya.
Karena ketandusannya belum pernah orang berani memperbaikinya.
Khalifah membagi-bagikan tanah ini dikalangan orang-orang yang
menbutuhkannya agar supaya mereka mau memperbaiki tanah-tanah
tersebut dan mengolahnya. Tanah semacam inilah yang diberikan
kepada Zubair di Naqbal.24 (2) Tanah-tanah tidak terpakai. Tanah-
tanah yang tidak dimanfaatkan adalah tanah yang dapat diolah tapi
karena suatu hal seperti sulitnya irigasi, tanah tersebut tidak diolah.
Sehingga tanah tersebut bisa di hadiakan pada perorangan. Ini
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau memberikan tanah pada
Wali Aqiq agar dikelolahnya. (3) Tanah negara, yang dimaksud disini
adalah tanah yang berasal dari wilayah taklukkan oleh para Khalifah,
antara lain: tanah-tanah yang pemiliknya gugur dimedan perang, tanah
dari orang- orang yang melarikan diri dalam masa pertempuran dan
lain-lain. Dari sini Imam Abu yusuf berpendapat bahwa kedudukan
tanah-tanah ini sama seperti tanah yang tidak mempunyai pemilik dan
tidak ada yang menempatinya. Ini terbukti bahwa pada masa awal
pemerintahan Khalifah, dalam memberikan iqta tanah yang tidak
berpenghuni tak satupun ahli waris yang menuntutnya, juga tidak ada
tanda-tanda perbaikan serta secara undang-undang tidak boleh
diberikan kepada seseorang (karena kegunaannya berstatus umum).
Seperti padang rumput, hutan, danau dan lain sebagainya.
Adapun macam-macam iqta menurut ulama fikih ada tiga yaitu:
(a) Iqta al-Mawat. Para ulama fikih menetapkan bahwa pemerintah
dibolehkan untuk menentukan dan menyerahkan sebidang tanah untuk
digarap. Tujuannya adalah agar lahan ini menjadi lahan produktif dan
masyarakat terbantu. Alasannya adalah hadis-hadis Nabi SAW. Dan
perbuatan para sahabat. Contohnya penyerahan tanah oleh Rasulullah
kepada Bilal ibn Harith, Wail ibn Hajar, Abu Bakar, Umar Usman dan
sahabat-sahabat lainnya. (b) Iqta al-Irfaq (Iqta al-Amir), menurut
ulama shafiiyah dan Hanabilah bahwa pemerintah boleh menetapkan
lahan tertentu untuk pekarangan masjid, tempat-tempat istirahat dan
jalan, dengan status hak pemanfaatan saja, bukan hak milik. Sehingga
bila sewaktu-waktu pemerintah memintah kembali tanah tersebut tidak
merugikan si pengguna. Contoh di Indonesia adalah adanya lahan- lahan
yang digarap oleh transmigran di berbagai wilayah Indonesia. Para
transmigran dapat menggarap lahan yang ditentukan pemerintah untuk
mereka selama mereka masih bertahan di daerah tersebut. (c) Iqta al-
Maadin. Ini berhubungan dengan barang-barang tambang. Sehingga

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 125


untuk membahas bab ini, ulama fikih pun banyak pendapat mengenai al-
Maadin.
Ketiga, irtifak. Hak irtifaq adalah hak untuk ikut mendapatkan manfaat
dari tanah, terutama yang diperuntukkan bagi keperluan bersama,
seperti jalan, aliran sungai atau jalur-jalur hijau, cagar alam, dan
sebagainya. Hak ini berlaku umum dan pemanfatannya tidak boleh
mengganggu keutuhan tanah itu sendiri dan kemaslahatan yang
dibutuhkan oleh orang banyak.
Keempat, hima. Hima hak atas tanah yang diperuntukkan secara
kolektif untuk satu suku atau lebih untuk dikelola atau untuk kebutuhan
yang lain. Pemilikan tanah pribadi merupakan sesuatu yang tidak
dikenal dikalangan orang Badui. Hak terbatas orang Badui atas tanah
mungkin merupakan asal usul perkembangan cadangan kolektif yang
haknya dibuat mutlak. Sedangkan suku yang lainnya berkewajiban untuk
tidak mengganggu hak itu. Dasar Hima biasanya makanan ternak atau
air. Biasanya dalam Hima terdapat satu atau lebih mata air. Sifatnya yang
nomadik tampak jelas dari kenyataan bahwa biasanya tanah itu
dibiarkan tidak digarap. Pada mulanya hak istimewa Hima tidak bersifat
tetap, tetapi kemudian jika ia tetap dalam pemilikan suatu suku selama
masa yang lebih lama, maka akan menjadi milik mereka. Seringkali Hima
yang luas menjadi milik beberapa suku. Kemudian sistem ini juga
membayar ushr al-zakat berdasarkan hasil yang didapatkan. Jika ushr al-
zakat ini tidak dibayar maka hak atas Hima dicabut dan orang lain
berhak menempati tanah tersebut. Pemerintah juga mempunyai Hima
sendiri. Kadang-kadang pemerintah mengambil Hima yang diperlukan
untuk kemiliteran atau untuk digunakan rakyat banyak.
c. Tanah Tambang dalam Islam
Tanah yang di dalamnya ada kekayaan alam berupa hasil tambang,
misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua)
pengaturan atas tanah tambang tersebut: (1) tanah itu tetap menjadi
milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit. (2) tanah itu menjadi
milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang
kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan
tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya
mempunyai kapasitas produksinya sedikit. Nabi SAW suatu saat pernah
memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal.
Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak,
maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal.
(HR Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar
kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak
boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta). (Al-Nabhani).
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 126
7. Aparatur Pertanahan dalam Islam
Memperhatikan bahwa sektor pertanahan adalah hal yang penting untuk
mengelola tanah sebagai sumber ekonomi dan penghidupan, maka aparatur
pertanahan yang saat ini mendapat mandat sebagai petugas urusan pertanahan
di masyarakat harus dapat menciptakan keadilan bidang pertanahan dan
membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya terkait pertanahan.
Islam tidak menghendaki para aparatur pertanahan yang menjalankan tugas
secara curang, jahil, dan zalim, contoh dengan melakukan pengukuran bidang
tanah yang tidak sesuai. Hadist dari Nabi Muhammad SAW, memberikan
ancaman bagi siapa saja yang melakukan tindakan mengambil tanah orang untuk
kepentingan pribadinya.

َ َ ْ َّ َ ُ ْ َّ ْ َ ْ َ َّ َ ُ َ ْ ‫ْ ُ َ ْ َ َّ َ َ ُ َ ْ َ ْ ن‬ َ ‫َح َّد َث َنا َع ْب ُد ْإل‬


‫يل ع ْن‬ ‫ق‬ِ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫د‬
ِ
ٍ ُ ْ ِ َ َ ِ َ َّ ‫م‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫إَّلل‬
ِ ‫د‬
ِ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫د‬ٍ ‫م‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫إب‬ ‫ت‬ ‫ِي‬ ‫ع‬ ُ ‫ّي‬ ‫ه‬ ‫ز‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ث‬ ‫د‬ ‫ح‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ِ ‫م‬
َْ
‫ول ِعند‬ ‫ل‬
ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ ِّ َّ ْ َ ِّ َ ْ َ ْ
‫غ‬ ‫إل‬ ‫م‬ ‫ظ‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫إَّلل‬ ‫َل‬ ‫ص‬ ‫ت‬ ‫إلن‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ‫ش‬ ‫إْل‬ ‫ك‬ ‫ال‬ ‫م‬َ ‫َع َطاء ْبن َي َسار َع ْن َأت‬
ِ ِ َ
َ ْ ‫َ ُ ِ َ َّ ُ َ ْ ن ِ ي َ َ ْ ن‬ ٍ ِ َ ْ ْ ‫َِ ي‬ ِ ِ
ْ‫إلدإر َف َي ْق َتط ُع َأ َح ُد ُه َما من‬
َّ ‫َ ْ ن‬
‫ض أو ِ يػ‬ ْ ْ َ َّ َ َ َّ َ َّ
ِ ِ ِ ِْ ‫ي َجاري ِن ِ ي َػ إْلر‬ ِ ‫ض ت ِجد َون إلرجل‬ ِ ‫إَّلل عز وجل ِذرإع ِم َن ْإْلر‬ ِ
َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ ِّ ُ
‫احب ِه ِذرإعا ؤذإ إقتطعه طوقه ِمن سبع أر ِض ن‬ ُ َ َ َ ً َ َ ِّ َ
‫ي ِؤَل يو ِم إل ِقيام ِة‬ ِ ِ ِ ِ ‫ص‬ ‫ظ‬ ‫ح‬

Artinya: “Pengkhianatan terbesar disisi Allah AzzaWaJalla adl satu dzira' (hasta)
tanah, kalian lihat dua orang bertetangga disuatu tempat atau di suatu rumah lalu
salah satunya meyerobot bagian temannya, padahal bila ia menyerobotnya maka
ia akan dikalungi tujuh bumi hingga hari kiamat. “(HR. Ahmad)

Dalil di atas memberikan gambaran betapa Allah SWT sangat tidak


menyukai perilaku curang terkait hak luasan tanah, baik dilakukan oleh
masyarakat secara langsung maupun oleh aparatur pertanahan yang berwenang
memberi legalisasi sertipikat tanah. Aparatur pertanahan selain menjalankan
tugas-tugas kedinasan, harus mampu memberikan pencerahan kepada
masyarakat terkait aspek pertanahan.

Latihan

1. Jelaskan berbagai redaksi yang pakai dalam Al-Qur'an untuk menyebut


pembahasan tentang tanah?
2. Konteks kesejarahan Islam, menunjukan ada jejak perhatian Islam terhadap
problematika pertanahan, apa yang saudara fahami tentang pertanahan
dalam dimensi kesejarahan Islam?
3. Jelaskan konsepsi tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan tanah kharajiyah
(al-ardhu al-kharajiyah) dalam konsep pertanahan Islam?
4. Jelaskan konsep hak kepemilikan tanah sesuai ajaran Agama Islam?

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 127


5. Jelaskan empat cara yang dikenal dalam studi pertanahan dalam Islam,
terkait cara kepemilikan tanah!
6. Jelaskan Haq al-istighlal atau hak pemanfaatan (haq al-intifa‘) dalam
pertanahan Islam?
7. Jelaskan macam-macam iqta menurut ulama fikih terkait aspek pertanahan
dalam konsep Islam?

Daftar Pustaka

Berbagai Jurnal, Buku, dan Referensi lainnya yang relevan dengan tema
pembahasan.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 128


MODUL IX

KONSEPSI BEKERJA DALAM ISLAM

5. Pendahuluan
Pembahasan tentang kerja, dalam al-Qur’ān digunakan beberapa istilah
yang berarti kerja: ‘amal (kerja), kasb (pendapatan), sakhkhara (untuk
mempekerjakan atau menggunakan), ajr (upah atau penghargaan), ibtighā’a fadl
Allah (mencari keutamaan Allah) (Al-Fārūqī dkk., 1995: 93). Sedangkan dalam
hadist Nabi SAW banyak menyebut kata amal dengan arti kerajinan tangan atau
perbuatan jasmaniah pada umumnya, dan dalam ayat al-Qur’ān banyak
penggunaan kata “iman” diikuti dengan kata “amal shaleh” yang berarti bahwa
iman yang tertanam dalam hati hanya akan berarti apabila membuahkan
perbuatan lahiriah yang nyata sesuai dengan tuntunan iman itu sendiri.
Ulama kontemporer Yusuf Qardhawi memaknai kerja adalah segala usaha
maksimal yang dilakukan manusia, baik melalui gerak tubuh ataupun akal untuk
menambah kekayaan, baik dilakukan secara perorangan ataupun secara kolektif,
baik untuk pribadi maupun untuk orang lain (Qardhawi, 1997: 104). Oleh sebab
itu pekerja dapat dikelompokan menjadi dua, pekerja khas dan musytarak.
Pekerja khas (pekerja tetap) adalah seorang yang bekerja pada satu majikan
dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh bekerja pada pihak lain. Sedangkan
pekerja musytarak (pekerja serabutan) adalah orang yang bekerja pada
beberapa majikan dan bebas untuk bekerja dengan siapa saja (Al-Zuhailī, t.th.,
juz. V: 3845).
Selain itu pekerjaan pejabat negara atau aparatur sipil negara juga
termasuk ’amal. Ibnu Taimiyah meriwayatkan pada suatu waktu seorang ulama
besar bernama Abu Muslim Al-Khaulani masuk ke tempat Khalifah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan mengucapkan “assalamu’alaika ayyuha al-ajīr”. Mendengar ucapan
salam tersebut orang disekitar memperingatkannya agar mengucapkan “ayyuha
al-amīru”. Namun teguran tersebut tidak merubah pendirian Abu Muslim, sebab
ia berpendapat bahwa kepala negara sekalipun termasuk ajīr, orang yang bekerja
untuk kepentingan orang lain dengan mendapatkan imbalan upah (Ibnu
Taimiyah, 1419H: 11).
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari
rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang
maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tidak mengenal lelah, tetapi
kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur
kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta
negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 129


menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat
maupun negara tanpa menyusahkan dan menjadi beban bagi orang lain.
Adapun kerja atau amal dalam pengertian yang khusus yaitu melakukan
pekerjaan atau usaha yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak
bagi proses seluruh kegiatan ekonomi. Kerja dalam makna yang khusus menurut
Islam terbagi menjadi kerja yang bercorak jasmani (fisikal) dan kerja yang
bercorak aqli/fikiran (mental). ini mengindikasikan bahwa kerja dalam Islam
meliputi segala bidang ekonomi yang dibolehkan oleh syarak sebagai balasan
dari upah atau bayaran, baik kerja itu bercorak jasmani (fisikal) seperti buruh,
pertanian, pertukangan dan sebagainya atau kerja bercorak aqli (mental) seperti
pegawai negeri, guru/dosen dan sebagainya sebagaimana dalam hadiś Rosulullah
SAW: ”Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu makanan,
selain makanan dari hasil usahanya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud
as, selalu makan dari hasil usahanya”(Abi Abdillaht.th, juz. II: 6).
Dengan demikian kerja dan amal sesungguhnya mempunyai terjemahan
yang sama meskipun masyarakat mengenalnya dari sudut yang berbeda. Amal
seringkali diberi makna pada tindakan atau kerja kebajikan; sedangkan kerja
dikategorikan pada tindakan manusia yang menghasilkan upah atau gaji dalam
bentuk uang maupun material dan sebagainya yang bersifat ekonomi untuk
menjaga kelangsungan hidup bagi diri sendiri atau orang-orang yang di bawah
tanggungjawabnya.

6. Hakikat dan Prinsip Bekerja Dalam Islam


Bekerja dalam Islam merupakan hal yang mulia, ini merupakan kegiatan
yang dilakuka manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuhan
menciptakan alam dan seisinya bagi manusia, sebagian besar masih merupakan
bahan atau belum jadi. Meskipun ada yang ditemukan sudah siap pakai, namun
barang tersebut harus diolah kembali secara lebih baik untuk memenuhi
kebutuhan yang diinginkan, maka kerja sebagai ikhtiar merupakan keniscayaan.

Dalam Islam, bekerja dapat diartikan sebagai berikut:

a. Bekerja sebagai peneguhan eksistensi kekhalifahan.


Ketika manusia diberikan mandat oleh Allah SWT untuk mengatur dan
mengelola bumi, maka dapat dipahami bahwa manusia harus bekerja.
Ketika manusia tidak bekerja, berarti manusia telah mengkhianati
eksistensi kekhalifahan dirinya yang dipercayakan Rabb kepadanya.
b. Bekerja merupakan kewajiban.
Bekerja merupakan kewajiban karena dengan bekerja manusia dapat
melakukan kegiatan ibadah. Dengan bekerja, manusia dapat membangun
mushola, menyediakan peralatan ibadah serta dengan bekerja pula
manusia dapat melakukan perintah ibadah seperti zakat, infaq, shadaqah
dan menyantuni anak yatim dan orang miskin. Dalam konteks tersebut,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 130
bekerja menjadi wajib karena bekerja menjadi sarana terpenuhinya
kewajiban-kewajiban ritual agama, sebagaimana kaidah dalam ushul fiqh:
“Jika sesuatu tidak menjadi sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka
sesuatu itu menjadi wajib diadakan”.
c. Bekerja adalah ibadah.
Bekerja bukan hanya mengandung manfaat sosial, tetapi juga bernilai
ritual. Allah SWT sangat menghendaki kemaslahatan sosial/ummatan
maslahah. Menurut As-Syaithibi dalam kitab Al-Muwafaqat, mengatakan
bahwa maksud ditetapkannya syari’at adalah kemaslahatan manusia.
Semua kegiatan yang mengandung kemaslahatan manusia berarti telah
sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT. Oleh karena itu, bekerja,
sama artinya dengan memenuhi keinginan Rabb, itu berarti termasuk
ibadah yang mempunyai konsekuensi mendatangkan pahala.
d. Bekerja berarti berjuang (Jihad).
Bekerja adalah perjuangan manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Perjuangan membutuhkan pengorbanan. Rasulullah SAW menjawab,

.
Artinya: “Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang
masih kecil, maka ia (Jihad) fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk
mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia maka ia
(Jihad) fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencukupi kebutuhannya
sendiri agar terjaga kehormatannya, maka ia (Jihad) fi sabilillah. Tetapi
jika ia keluar karena riya’ (pamer pekerjaannya) dan kesombongan maka
ia di (Jihad) jalan syaithan”. [HR. Thabrani]

Kekayaan menurut Islam di dalamnya terkandung kemuliaan, karena


dengan kekayaan manusia mempunyai kesempatan untuk dapat membantu
orang lemah. Kemiskinan menurut Islam dianggap sebagai kenistaan, karena
seseorang yang miskin bukan hanya tidak dapat membantu orang lain tetapi juga
bisa jadi merepotkan orang lain. Bahkan lebih parah lagi dapat menjadikan
seseorang terjerumus dalam kekafiran.

Namun yang dimaksud kemiskinan disini adalah kemiskinan yang


disebabkan karena factor cultural, dimana manusia secara sadar bermalas-
malasan untuk bekerja. Kemiskinan yang muncul secara internal, atas
kemauannya sendiri. Bukan kemiskinan structural yang diakibatkan oleh factor
eksternal. Kemiskinan eksternal dapat disebabkan oleh kebijakan negara yang
tidak memihak gologan lemah atau karena tindakan korup para penyelenggara
pemerintahan.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 131


Dalil-dalil mengenai Bekerja dalam Islam

1. QS. Al-Jumu’ah: 10

ُ ‫ذ َ ۡ ُ ُ ْ ذَ َ ٗ ذ ذ‬ ۡ َ ْ ُ َۡ ْ ُ َ َ ُ َٰ َ ‫ذ‬ ُ َ َ
ًۡ ‫ا ى َػيل‬ٞ ِ ‫ۡرض َوٱ ۡب َخغٔا ٌَِ فض ِو ٱّلل ِ وٱذنروا ٱّلل ني‬
ِ ‫ِشوا ِِف ٱۡل‬
ِ ‫فٱُت‬ ‫ج ٱلصئة‬ ِ ‫ض َي‬ ِ ‫فإِذا ك‬
َ ُۡ
٪ ‫تفي ُِحٔن‬

Artinya: apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.

Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan salat
Jumat boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha
mencari rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat.
Hendaklah mengingat Allah sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan
usahanya dengan menghindarkan diri dari kecurangan, penyelewengan dan lain-
lainnya, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, yang tersembunyi apalagi
yang nampak nyata.

7. QS. Al-Qashas: 77
َ َ َ ُ‫َ َ ٓ َ ۡ َ َ ذ‬ َ ۡ َ َ َ َ َ ََ ََ ُ‫مٱ ذ‬َ َٰ َ َ ٓ َ
‫ّلل إِۡلۡمَۖ َوَّل‬‫يتم ٌ ََِ ٱ ُّدلج َيا َۖ َوأ ۡحصِ َ نٍا أحصَ ٱ‬ ‫ّلل ٱ ذدل َار ٱٓأۡلخِرة َۖ وَّل حنس ُ ِص‬ ‫َوٱ ۡب َخؼِ فِيٍا ءاحى‬
ۡ ُ ۡ ُّ ُ َ َ ‫ذ ذ‬ َۡ َ َۡ َ
َ
٧٧ َ‫ۡرض إِن ٱّلل َّل ُيِب ٱلٍفصِ دِي‬ ِ ‫ت ۡتؼِ ٱىف َصاد ِِف ٱۡل‬

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan empat macam nasihat dan
petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya, namun begitu nasihat dan
petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai pengikut Rasulullah
s.a.w. Karena Al-Quran adalah petunjuk yang sempurna untuk ummat beliau
s.a.w. Barangsiapa mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 132


8. QS. Al-Baqarah: 201
ُ َُ ‫َ ُۡ ذ‬
َ ‫ٔل َر ذب َِا ٓ َءاح َِِا ِف ٱ ُّدل ۡج َيا َح َص َِ ٗث َوِف ٱٓأۡلخ َِرة ِ َح َص َِ ٗث َوك َِِا َغ َذ‬
٢٠١ ِ‫اب ٱنلذار‬ ِ ِ ‫وًٌِِٓ ٌَ حل‬

Artinya: Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab
neraka”.

9. QS. Al-Hadiid: 25
َ َ َ ۡ َ َ َٰ َ ۡ ُ ُ َ َ َ ۡ َ َ َ َٰ َ ّ َ ۡ َ َ ُ ُ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ
َ ۡ ‫ُز ۡنلَا ٱ‬
َ ‫ۡلد‬
‫ِيد‬ َ ‫اس ةٱىۡل ِۡص ِط َوأ‬ ُ ‫ٔم ٱنلذ‬َ ‫ان ِۡلَ ُل‬ ‫ج وأُزنلا ٌػًٓ ٱىهِتب وٱل ٍِزي‬ ِ ‫ىلد أرشيِا رشيِا ة ِٱۡليِن‬
ِ
ٞ ‫ّلل كَٔ ٌّي َغز‬ َ ‫ُِصهُۥ َو ُر ُشيَ ُّۥ ةٱىۡ َغ ۡيب إ ذن ٱ ذ‬ ُ ‫اس َو ِۡلَ ۡػيَ ًَ ٱ ذ‬
ُ ُ َ‫ّلل ٌََ ي‬ ‫ َ َ َ َٰ ُ ذ‬ٞ َ ٞ ۡ َ
٢٥ ‫يز‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ‫ِي‬ ‫فِيِّ ةأس شدِيد وٌنفِع ل‬

Artinya: Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti


yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai
kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.

10. QS. An-Nur: 37


ُ ‫ٔن يَ ۡٔ ٌٗا َت َخ َليذ‬
َ ُ َ َ َٰ َ ‫َ ٓ ذ‬ َ ‫ذ‬ َ ۡ َ ۡ ‫ ذ‬ٞ
ِّ‫ب فِي‬ ‫لصي َٰٔة ِ ِإَويخاءِ ٱلزنٔة ِ َياف‬ ِ ‫ َوَّل َب ۡي ٌع َغَ ذِن ِر ٱ ذّللِ ِإَوك‬ٞ ‫رِ َجال َّل حُي ِٓي ِٓ ًۡ ح َِجَٰ َرة‬
‫ام ٱ‬
َ َۡ ُ ُ ُۡ
٣٧ ‫ٔب َوٱۡلةۡص َٰ ُر‬ ‫ٱىلي‬

Artinya: Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari
mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut
kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).

11. HR. Khathib, “Tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya, dan meninggalkan
akhirat untuk dunianya, serta tidak menjadi beban orang lain”.

12. HR. Bukhari, “Perintah berusaha dengan tangannya sendiri (bekerja);


sesungguhnya Nabi Daud memakan dari hasil usaha tangannya sendiri”.

13. HR. Thabrani, “Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang
lain”.

14. HR. Ahmad, “Sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang bekerja. Barang
siapa yang bekerja keras, mencari nafkah yang halal untuk keluarganya, maka
sama seperti mujahid di jalan Allah”.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 133


11. Pedoman Bekerja Sesuai Syariat Islam
Pondasi atau iktikat kerja disebut sebagai niat, hal ini yang akan
membedakan suatu tindakan itu berupa kebajikan atau tidak. Ditegaskan bahwa
merupakan satu kewajiban kepada setiap manusia untuk melakukan yang terbaik
dalam memikul amanah dan tanggungjawab karena Allah tidak akan
memberatkan seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya (QS.
Al-Baqarah (2): 286). Dan oleh sebab itu setiap manusia dikaruniai suatu
kelebihan dan untuk itu dia akan dimudahkan mengerjakan apa yang telah
diketahuinya.
Manusia adalah makhluk yang bekerja (homo faber), bahkan manusia tidak
akan mendapatkan suatu apa pun kecuali apa yang diusahakannya. Sehingga
tidak mengherankan jika sering didengar bahwa masuk surga atau neraka sangat
ditentukan oleh perbuatan seseorang (tentunya dengan izin dari Allah SWT),
pekerjaan atau usahanya ketika hidup di dunia. Yang ditekankan supaya manusia
bekerja atau berusaha untuk kebaikan serta dengan cara yang baik, sebab orang
yang beriman dan bekerja dengan baik maka Allah akan memberi kehidupan
yang baik pula.
Melalui kerja manusia menyatakan eksistensi dirinya dalam kehidupan
bermasyarakat. Bekerja pada dasarnya merupakan realitas fundamental bagi
manusia dan karenanya menjadi hakikat kodrat yang selalu terbawa dalam setiap
jenjang perkembangan kemanusiaannya, sebab dengan kerja manusia dapat
melaksanakan pembangunan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai
cermin pelaksanaan perintah agama (Asy’arie, 1997: 40), dengan memberi
berbagai kemudahan hidup dan jalan-jalan mendapatkan rezeki di bumi yang
penuh dengan segala nikmat ini sebagaimana dalam firman_Nya: “Dialah yang
telah menciptakan bumi dan isinya agar selalu tunduk patuh, pergilah ke segala
penjuru bumi dan makanlah rezeki_Nya. Hanya kepada_Nya tempat kembali” (QS.
Al-Mulk (67): 15) Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman: ”Bila salat telah
dilaksanakan secara sempurna, berpencarlah kamu di bumi carilah limpahan
karunia Allah, dan zikirlah kepada_Nya banyak-banyak agar kamu sekalian
berhasil” (QS. Al-Jumu’ah (62): 10).
Ayat-ayat al-Qur’ān tentang kerja menyeru umat Islam untuk giat bekerja
dan berpenghasilan agar mampu meraih kesejahteraan, memenuhi kebutuhan
diri dan keluarga, serta masyarakat. Bekerja adalah kodrat hidup baik kehidupan
spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial
dalam berbagai bidang. Karenanya bekerja dan berusaha merupakan hal yang
mutlak bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan Islam menilainya sebagai
salah satu macam ibadah yang berpahala dengan tidak menentukan macam kerja
dan usaha yang dinyatakan lebih utama dari yang lain.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 134


Disamping itu kerja merupakan fitrah dan sekaligus merupakan salah satu
identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip tauhid
bukan saja menunjukan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggihkan
martabat dirinya sebagai abdullah (hambah Allah) yang mengelola seluruh alam
sebagai bentuk dari cara dirinya mensyukuri kenikmatan yang telah diberikan
Allah kepadanya (Tasmara, 1995: 2). Salah satu ulama Islam, Imam Hasan Al-
Bashri, suatu hari pernah ditanya rahasia di balik keistimewaannya. Beliau
menyebutkan empat hal sebagai jawaban: "Pertama, saya percaya bahwa rezeki
saya tidak akan pernah dibajak oleh siapa saja, jadi saya bekerja untuk mencapai
itu. Kedua, aku tahu bahwa suatu karya yang merupakan tambang harus
dilakukan oleh saya, jadi saya tidak mengurangi usaha saya dalam melakukan itu.
Ketiga, saya percaya bahwa Tuhan saya adalah omnipresent (menonton saya),
jadi saya tidak seperti Dia melihat saya melakukan dosa. Keempat, saya tahu
bahwa kematian adalah suatu tempat kembali saya, jadi saya mempersiapkan
untuk itu (melalui perbuatan baik)".
Kerja juga merupakan salah satu sebab atau sarana syar’i untuk memiliki
harta secara individual. Telah nyata bahwa komitmen Islam sangat menekankan
keharusan bekerja bagi manusia di bumi dalam rangka mencari rezeki yang
diberikan Allah supaya manusia dalam konteks melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah di muka bumi untuk beribadah kepada Allah (Muslich, 2004: 48),
sebagaimana tergambar dalam sabda Rosulullah SAW: “Barang siapa merasa letih
di malam hari karena bekerja dengan tangannya, maka malam itu ia memperoleh
ampunan Allah” (Mursi, 1997: 10).
Di sinilah Islam memberi petunjuk kepada umat muslim bahwa kerja adalah
bentuk bangunan relasi sosial antar manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, keluarga serta masyarakat disekitarnya dan sekaligus bentuk ideal dari
pengabdian diri kepada Allah. Setiap manusia, tanpa terkecuali, telah ditentukan
pekerjaan yang dapat dikerjakan dan sekaligus memberikan tanggungjawab
untuk memeliharanya dengan benar sesuai ketentuan syara’. Bagi mereka yang
beriman dan bekerja baik akan diberi hayatan thayyibah (penghidupan yang
baik) dan mendapat kesempatan untuk bertemu denganNya (QS. Al- Kahfi (18):
110).
Jadi dalam konsepsi Islam kerja merupakan suatu kewajiban agama yang
menyeluruh atas setiap muslim (bersifat individual / fardhu ’ain) yang mampu
bekerja untuk mencapai kebahagiaan individu, keluarga dan masyarakat. Oleh
karena itulah iman senantiasa dikaitkan oleh al-Qur’ān dengan amal soleh atau
perbuatan baik. Ini mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah akidah yang mesti
diamalkan dan amalan yang mesti berakidah secara tidak terpisah (terintegrasi),
sebagaimana dimaksud dalam firman Allah: "Demi masa, sesungguh manusia
pasti akan rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh" (QS. Al-
‘Ashr (103): 1-3).

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 135


Kewajiban bekerja dalam Islam tersebut tidak hanya khusus untuk kaum
pria saja tetapi juga kepada kaum wanita (muslimah) sebagaimana pada suatu
ketika Rasulullah SAW mengangkat dan mencium tangan seorang lelaki yang
sedang bekerja keras, lantas beliau bersabda: “Bekerja keras dalam usaha
mencari nafkah yang halal adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah”. Islam
membolehkan wanita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan syari’at dan
dijalankan dengan baik, serta tidak bertentangan dengan tabiatnya sebagai
wanita. Pada zaman Rosulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, wanita aktif di berbagai
bidang, misalnya berdagang, mengajar, mengobati pasien, atau bahkan ikut
perang (mengobati prajurit yang terluka). Di antara mereka ada yang diabadikan
kepahlawanannya, seperti Umayyah putri Qais al-Ghifari yang pernah
dianugerahi kalung penghargaan dari Rosulullah karena jasanya dalam perang
Khaibar (Mursi, 1997: 156).
Islam telah membuka bebagai lapangan kerja bagi umatnya agar mereka
dapat memilih yang sesuai dengan keahlian, kemampuan, pengalaman dan
kesenangannya. Manusia tidak dipaksakan untuk memilih pekerjaan tertentu,
kecuali apabila pekerjaan tersebut akan mendatangkan kemaslahatan umum.
Sekalipun Islam memberi kebebasan memilih lapangan kerja, bila ternyata akan
membawa bahaya baik terhadap individu maupun umum, moral maupun
material, maka lapangan kerja jenis ini diharamkan oleh Islam (al-Qordawy,
1996: 52).
Dengan demikian Islam sangat mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk
mencari rezeki dan pendapatan bagi kelangsungan hidupnya dengan berbagai
kemudahan hidup dan jalan-jalan mendapatkan rezeki di bumi yang penuh
dengan nikmat Allah ini. Namun Islam memerintahkan pekerja muslim agar
supaya tidak melakukan kontrak kerja untuk kemaksiatan, dan mendorong
bekerja pada lingkungan yang dihalalkan saja serta tidak melewati batas (Al-
Dzuhailī, al-Fiqhu., V: 3817). Mencari rezeki dan bekerja pada lingkungan yang
halal merupakan usaha untuk memelihara maru’ah (harga diri) dan kehormatan
manusia itu sendiri, dengan begitu kerja apa saja selagi halal adalah baik dan
terhormat menurut Islam (Basyir, 1987: 29). Allah SWT berfirman: "Wahai
sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di muka bumi yang halal lagi baik"
dan Rosulullah SAW besabda: "Mencari (rezeki) yang halal adalah wajib setelah
kewajiban (yang lain)." (QS. Al-Baqarah (2): 168).
Jadi seorang muslim dilarang terlibat dalam perusahaan yang memproduksi
barang-barang terlarang, seperti poppy yang diperoleh dari buah opium ataupun
heroin, sabu-sabu, ganja dll. Jika terlibat dalam usaha tersebut dan barangnya
dipergunakan oleh ribuan atau bahkan jutaan orang, maka ia mendapat dosa dari
mereka karena telah mempermudah jalan orang lain untuk berbuat dosa sesuai
dengan sabda Rosulullah SAW: “Barangsiapa dalam Islam melestarikan tradisi
yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang melaksanakan, sesudahnya
tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. Karena itulah bagi setiap
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 136
muslim yang akan melakukan kegiatan bekerja diharuskan memperhatikan tujuh
faktor penting sebagai berikut:
1. Menanamkan niat yang baik dan akidah dalam memulai pekerjaan
2. Berniat melaksanakan salah satu fardlu kifayah di dalam pekerjaannya
3. Tidak menjadikan dunia menghalangi akhirat
4. Selalu ingat kepada Allah meskipun sibuk dalam urusan pekerjaan
5. Jangan terlalu serakah dalam mencari rezeki
6. Tidak hanya mencegah sesuatu yang haram, namun berhati-hati pula
terhadap sesuatu yang bersifat syubhat
7. Hendaknya berhati-hati dalam bergaul, karena jika salah bergaul akan
merugikan diri sendiri (Al-Qalami 2003: 129).
Menurut Imam Nawawi “pekerjaan paling baik adalah pekerjaan yang
dikerjakan dengan tangan sendiri”. Jika pekerjaan adalah pertanian, maka
pertanian merupakan pekerjaan paling baik karena dihasilkan dari tangannya
sendiri, di dalamnya terdapat unsur tawakkal serta kemanfaatan yang dapat
dirasakan manusia dan hewan yang ada di sekitarnya. Ibnu Mundzir berpendapat
“pekerjaan paling utama yang dihasilkan dengan jerih payah sendiri adalah jika
pekerjaan itu dilakukan dengan ikhlas” sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
“sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan jerih payah seorang pekerja jika
dilakukan dengan ikhlas” (al-Asqalani, t.th. Juz. IV: 304).
Oleh karena itu pribadi muslim yang malas kerja, menganggur dan
meminta-minta atau mengharapkan pertolongan orang lain dicela oleh Islam
karena hal tersebut akan merendahkan harga dirinya, dan al- Qur’ān menganggap
perbuatan tersebut sebagai manifestasi dari kurangnya iman dan
ketidakpercayaan (Tasmara, 1995: 6). Dalam sebuah hadiś Rosulullah bersabdah:
“Sesungguhnya seseorang di antara kamu yang berpagi-pagi dalam mencari
rejeki, memikul kayu kemudian bersedekah sebagian darinya dan mencukupkan
diri dari (meminta-minta) kepada orang lain, adalah lebih baik ketimbang
meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin diberi atau ditolak” (al-Bukhori,
Al-Bukhori, t.th. juz. II: 54).
Rasulullah sering mengarahkan orang yang datang meminta supaya mereka
bekerja, umpamanya suatu ketika seorang fakir datang meminta-minta kepada
Rosulullah lalu beliau bertanya: "Adakah anda memiliki sesuatu?" "Tidak", kata
lelaki itu. Baginda bertanya lagi dengan bersungguh-sungguh, lalu lelaki itu
menjawab: "Saya ada sehelai hamparan yang separuhnya kami jadikan alas
duduk dan separuhnya lagi kami buat selimut dan ada sebuah mangkuk yang
kami gunakan untuk minum". Maka Rosulullah bersabda kepadanya: "Bawakan
kedua benda itu kepada saya". Lalu dibawanya kedua barang itu, kemudian
Rosulullah tunjukkan barang tersebut kepada orang yang berada di sisi
Rosulullah kalau ada siapa yang hendak membelinya. Akhirnya Rosullullah dapat
menjual barang tersebut dengan harga dua dirham dan uang tersebut diberikan
kepada lelaki itu sambil berkata: "Belilah makanan untuk keluargamu dengan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 137
satu dirham dan satu dirham lagi belikanlah sebilah kapak". Kemudian Rosulullah
SAW. meminta lelaki itu datang lagi, lalu lelaki itupun datang dan Rosul telah
membubuhkan hulu kapak itu dan menyuruh lelaki itu pergi mencari kayu api
sambil baginda mengatakan kepada lelaki itu supaya lelaki itu tidak akan
berjumpa lagi dalam 15 hari. Lelaki itu pergi dan kembali lagi selepas 15 hari
sambil membawa 10 dirham, lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, Allah telah
memberkati saya pada kerja yang telah tuan perintahkan kepada saya." Maka
baginda Rasulullah SAW bersabda: "Itu adalah lebih baik daripada anda datang
pada hari kiamat kelak sedang pada muka anda bertanda karena meminta-
minta”.
Berdasarkan hadiś di atas, para ulama membuat kesimpulan bahwa
larangan bermalas-malasan, meminta-minta atau mengharap bantuan dari orang
lain bukanlah sekadar perintah bersifat akhlak saja bahkan orang yang
menjadikan meminta-minta sebagai "profesi" hendaklah dikenakan hukuman
yang pantas, karena mereka telah merendahkan harkat martabat mereka sendiri
dengan meminta dan mengemis, dan di hari kiamat kelak mereka akan datang
dalam bentuk seperti wajah tanpa daging sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Seorang yang selalu meminta-minta kepada orang banyak, nanti dia datang di
hari kiamat dengan wajah yang tidak berdaging (karena hinanya)”.
Dalam bekerja niat seorang muslim merupakan hal yang sangat penting,
termasuk semua aktifitas yang dilakukannya. Niat merupakan tekat hati untuk
melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata
kepada Allah, sekaligus merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
keabsahan suatu ibadah dan bagi keabsahan beberapa jenis muamalah
(Ensiklopedi Hukum Islam, 2001, IV:1325, artikel "Niat"). Dalam satu hadiś yang
diriwayatkan oleh Umar r.a., Rosulullah bersabda: ”Bahwa setiap amal itu
bergantung pada niat, dan setiap individu dihitung berdasarkan apa yang
diniatkannya…”(at-Tirmizi, juz. III: 162, Hadiś No. 1851). Dalam riwayat lain,
Rasulullah SAW bersabda: ”Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang
berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan
ilmu mereka. Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali
mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam
keadaan bahaya yang amat besar…”.
Kedua hadiś diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat suci yang disertai
dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan
seorang muslim. Alangkah baiknya dan sudah seharusnya mulai saat ini umat
Islam dapat bergerak, beraktifitas dan bekerja dengan tekun dan mempunyai
tujuan yang satu, yaitu ”mardatillah” (menggapai keridhaan Allah), dan itulah
yang dicari dalam semua urusan pribadi muslim. Dari situ akan lahir nilai
keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan
rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah SWT.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 138


Ini berarti bahwa manusia memiliki dua jenis orang dalam bekerja pada
saat yang sama dan di tempat yang sama, satu dengan maksud untuk mencari
pengampunan Allah dan untuk meminta pahala Allah SWT, sedangkan yang lain
dengan maksud untuk menunjukkan kepada pimpinannya bahwa dia bekerja
atau melakukan sesuatu dengan baik sehingga akan memberi kenaikan gaji
kepadanya. Yang satu beramal dengan amalnya ahli neraka dan yang lain beramal
dengan amalnya ahli surga dikarenakan niat mereka, meskipun pekerjaan,
tindakan dan perbuatan yang mereka lakukan sama persis.
Islam menetapkan dan menganjurkan kebebasan dalam mencari rezeki
serta kebebasan untuk membina kekayaan. Setiap muslim diwajibkan melakukan
pekerjaan yang memberi hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Setiap muslim bebas memilih pekerjaan yang hendak dilakukan, tentunya sesuai
dengan hasrat dan bakatnya (Al- Arabi, 1979: 24). Namun Islam tidak mendorong
umatnya hanya sekedar bekerja saja, tetapi juga memerintahkan agar bekerja
dengan tekun dan baik, dalam pengertian bekerja sungguh-sungguh dengan
didukung pengetahuan dan skill yang optimal serta menyelesaikan dengan
sempurna.
Bekerja dengan sungguh-sungguh (jiddiyah) adalah lawan dari main-main
dan menyepelekan, lemah dan lambat serta bermalas-malasan dalam
menyelesaikan tugas atau kewajiban. Semangat jiddiyah berarti mendorong
seorang muslim harus melaksanakan tugas, kewajiban dan perannya dengan
segera, kuat dan tekad yang mambaja (azzam), tahan banting dan kontinu
(istiqamah), mengerahkan segala potensi yang dimiliki, serta mampu mengatasi
semua rintangan dan alas an (Masykur, 2007: 168).
Kemantapan (itqan atau perfectness) dalam bekerja tersebut hanya dapat
dilakukan apabila seseorang dalam menunaikannya dengan rasa amanah dan
ikhlas karena semata-mata mengharapkan keridhoan Allah, sebab amanat dan
ikhlas inilah poin paling utama yang wajib menjadi ciri khas pekerja muslim.
Seorang pekerja muslim harus mendahulukan harapannya kepada ridho Allah
sebelum pada keuntungan dunia, dan dengan demikian ia akan bekerja dengan
sebaik-baiknya di kala sempit maupun senggang. Allah berfirman: ”Dan di antara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah;
dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS Al-Baqarah (2): 207).
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan
(Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami. Rahmat Allah telah
dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar
ideal secara teknis. Untuk itu diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah
atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah
dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya
besar untuk masyarakat, dan karena itu melepas atau menelantarkan
keterampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 139
penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas tetapi
berkualitas, daripada output yang banyak tetapi kurang bermutu.
Selain itu umat manusia juga diperintahkan untuk bekerja keras (istifragh
ma fi al-wus’i), yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada
dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik dengan motivasi mendapatkan
pahala dan pertolongan dari Allah, dalam penekanan bahwa pekerjaan tersebut
dilakukan dengan cara benar dan baik. Istifragh ma fil wus’i dapat juga diartikan
sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya, sebab Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum
taskhir, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia, tinggal
peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendayagunakannya secara
optimal dalam rangka melaksanakan apa-apa yang ridhai Allah SWT. Rosulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah senang jika seorang diantara kamu
mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan tekun” (Mursi, 1997: 38).
Jadi kerja yang dilakukan dengan baik dan benar, penuh kesungguhan,
perfect, serta istifragh ma fil wus’i dan tujuan akhirnya adalah karena mengharap
ridho Allah (lillahi ta’aala) tidak hanya mendapatkan harta yang berupa materil
saja tetapi akan memperoleh harta yang berupa Inmateril (pahala, ampunan dan
kesempatan bertemu Allah) sebagaimana sabda Rosulullah SAW: “Barangsiapa
mencari dunia dengan halal, menjaga diri dari minta-minta, berusaha untuk
keluarganya dan belas kasih kepada tetangganya, maka ia bertemu Allah dengan
wajah seperti bulan purnama” (Al-Qalami 2003: 126).
Oleh sebeb itu apabila ada umat muslim yang mengabaikan kewajiban
mencari nafkah padahal memiliki kemampuan untuk bekerja, maka negara
(pemerintah) berkewajiban memaksanya untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Memang Islam sangat memperhatikan kecendrungan pembawaan bakat serta
memberikan kebebasan kepada setiap umat untuk memilih lapangan pekerjaan
yang disenangi, dan tidak terdapat satupun dalil al-Qur’ān dan hadiś yang
menunjukan bahwa negara yang menentukan pembagian lapangan kerja
dikalangan rakyat. Tetapi berdasarkan mashlahah al-mursalah dalam keadaan
tertentu, sebagai pengecualian, pemerintah dibenarkan memaksa warga untuk
bekerja pada lapangan tertentu, seperti wajib bakti pada masyarakat bagi para
dokter yang baru saja menyelesaikan studi dan sebagainya (Basyir, 1987: 38).
Berkenangan dengan keahlian pekerja, tidak dapat disangkal bahwa
manusia memiliki perbedaan pembawaan bakat kodrati dalam berbagai hal
antara lain daya dan kemampuan kerja. Karenanya sangat dimungkinkan adanya
pembagian kerja (spesialisasi pekerjaan) atas perbedaan daya dan kemampuan
kerja yang dimiliki oleh para pekerja. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah
SAW:“Sesungguhnya Allah senang jika seorang di antara kamu mengerjakan
suatu pekerjaan yang dilakukan secara profesional”.
Spesialisasi dalam berbagai lapangan kerja ini guna melayani berbagai
macam kebutuhan hidup manusia dan sekaligus merupakan hal yang dapat
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 140
dikategorikan dalam hukum fardhu kifayah atau kewajiban kemasyarakatan
(Basyir, 1987: 39). Apabila dihubungkan dengan kaharusan bekerjasama
kemanusiaan, maka akan diperoleh bahwa dorongan spesialisasi bekerja tersebut
hendaklah atas dasar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup umat yang
beraneka ragam bentuk dan macamnya dalam rangka memenuhi perintah
mewujudkan kerjasama kemanusiaan dan dengan demikian akan bernilai
keagamaan, bukan semata-mata untuk mendapatkan penghasilan duniawi belaka
(Basyir, 1987: 41).
Realita yang terjadi sekarang ini, umat muslim dihadapkan pada
diskriminasi pekerja menurut ras dan gender serta perubahan pandangan
tentang fungsi dan status para pekerja dalam dunia kerja, dimana pekerja sering
ditempatkan sebagai pihak yang selalu membutuhkan dan harus menerima
putusan pengusaha apa adanya. Bagaimanapun keadaannya, Islam sangat tidak
mengakui adanya diskriminasi pekerja dan dalam banyak ayat al-Qur’ān
menegaskan bahwa kewajiban bekerja berlaku bagi laki-laki dan perempuan,
kewajiban berbuat adil serta melarang tindakan yang bersifat eksploitatif
terhadap pihak lain.
Sangat menarik apa yang disampaikan Umar bin Khattab berkenaan dengan
hal tersebut: “Janganlah kamu bebani buruh/pekerja perempuan di luar batas
kemampuannya dalam usahanya mencari penghidupan karena bila kamu lakukan
hal itu terhadapnya, ia mungkin akan melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan moral. Perlakukanlah pegawai-pegawaimu dengan penuh
pertimbangan (adil), niscaya Allah akan berlaku penuh pertimbangan (adil)
terhadapmu. Kamu wajib memberi mereka makanan yang baik dan halal”.
Dengan adanya larangan praktek eksploitasi pekerja oleh majikan ini tidak
berarti Islam memerintahkan penghapusan masyarakat borjuis dan menciptakan
masyarakat tanpa kelas. Islam mengakui adanya perbedaan kemampuan dan
bakat yang dimiliki tiap-tiap orang yang mengakibatkan perbedaan pendapatan
dan imbalan material (QS Al-Nisa (4): 33). Dengan kata lain, asas personalitas
dalam etika kerja Islam dibangun atas semangat tauhid. Hubungan antara
manusia sebagai pencari dan penerima rezeki yang disediakan Allah adalah kerja
yang mana setiap orang memiliki akses terhadap sumber rezeki itu. Hanya saja
yang membedakan manusia satu dengan lainnya adalah kemampuan, keahlian,
dan kemauan untuk meraih rezeki yang telah disediakan oleh Allah. Oleh karena
itu kedudukan pekerja sangat bergantung kepada nilai kerjanya yang ditentukan
oleh penghasilan atau keuntungan dari hasil kerja. Untuk menumbuhkan
hubungan yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja, ekonomi Islam telah
menggariskan dua prinsip dasar normatif yaitu para pekerja harus setia serta
melakukan pekerjaannya dengan baik; dan sebaliknya para pengusaha harus
membayar penuh upah pekerja atas jasa dan pelayanannya.
Tegasnya ekonomi Islam sangat memperhatikan fungsi keadilan serta
mengaitkannya dalam pembagian kekayaan dan pendapatan, sehingga setiap
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 141
pekerja berhak mendapatkan tingkat hidup yang layak dan manusiawi. Karena
itulah, menurut M. Umar Chapra, Islam menempatkan posisi yang seimbang
antara bawahan dengan atasan sebagai berikut:
1. Islam memandang pekerja pada penggunaan jasanya di luar
pertimbangan keuangan;
2. Pekerja tidak secara mutlak bebas berbuat apa saja yang
dikehendakinya, karena ia harus bertanggung jawab kepada majikan;
3. Majikan memberikan sistem upah yang pantas untuk memenuhi
kehidupan pekerja;
4. Majikan harus menyediakan asuransi wajib untuk menanggulangi
pengangguran, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua, dan hak-hak
pekerja lainnya.
Melalui pendekatan ini baik pekerja maupun majikan sama-sama tidak
diistimewakan, keduanya tetap berkedudukan sebagai makhluk yang
berkewajiban sekaligus berhak memperoleh rezeki sesuai dengan peran dan
fungsinya masing-masing. Sebab yang ditekankan kepada umat manusia adalah
sikap ta'awwun (tolong-menolong) dan keberadilan (laa tazhlimuuna walaa
tuzhlamuun / tidak dirugikan dan juga tidak merugikan orang lain). Dalam istilah
lain, Islam mengakui bahwa pengusaha dan pekerja adalah mitra dalam produksi
(partnership) dengan kedudukan yang seimbang karena pada dasarnya manusia
adalah sama.
Islam telah mengatur hubungan antara pekerja dan perusahaan dengan
aturan yang insani dan adil. Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Ayatollah Al-
Udzma Khamenei mengatakan: "Dalam dua sistem Kapitalisme dan Komunisme,
hubungan pekerja dan perusahaan adalah hubungan permusuhan. Tetapi tidak
demikian dalam Islam. Islam mengajarkan bahwa hubungan antara pekerja dan
perusahaan adalah hubungan kerjasama (partnership). Tidak ada eksploitasi di
sini. Masing-masing pihak memiliki hak yang harus dihormati oleh pihak lain”.
Lebih dari itu Islam menghendaki majikan tidak melakukan pemerasan
terhadap tenaga pekerja diluar batas kemampuan yang mereka miliki,
memperlakukan mereka seperti keluarga sendiri, sehingga menuntut agar
memperlakukan pekerja dengan hormat, manusiawi, kasih sayang serta
kesejahteraan mereka harus benar-benar terjamin sebagaimana yang tertera
dalam sabda Rosulullah SAW: ”Kewajiban para majikan hanya menerima
pekerjaan yang mudah dilakukan oleh para karyawannya. Janganlah
mempekerjakan mereka sedemikian rupa sehingga berakibat buruk bagi
kesehatannya” (Mannan, 1997: 116). Rosulullah SAW. juga bersabda dalam hadiś
yang lain: “Wahai Aba Zarrin, engkau seorang yang berakhlak jahiliyah. Mereka
itu (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka
di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah
asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri)
dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 142
membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu
membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka
(mengerjakannya)” (Muslim, Shahih., juz. II: 88, Hadis No. 1661).
Dengan demikian, bekerja merupakan kewajiban bagi setiap manusia yang
secara fisik punya kemampuan supaya memperoleh sarana kehidupan yang
cukup sehingga tidak menjadi beban bagi pihak lain. Bekerja dengan tekun dan
ulet akan membentuk seseorang manjadi manusia yang hidup berkecukupan.
Bekerja merupakan ikhtiyar yang wajib bagi setiap muslim dengan keharusan
memilih pekerjaan yang halal dan dapat digunakan untuk mencukupi sarana
kehidupan sesuai dengan kodrat manusia yang memerlukan sarana dan
prasarana dalam kehidupannya. Dan oleh karena itu bekerja dengan sarana dan
cara prilaku yang benar dan baik serta mendatangkan manfaat bagi diri pekerja,
keluarga dan masyarakat disekitarnya dapat dinyatakan sebagai aktivitas yang
bernilai ibadah muamalah yang berkategori jihat fii sabilillah (berjuang dijalan
Allah).
Disamping itu Islam juga memerintahkan agar tidak ada diskriminasi dalam
imbalan kerja (upah) yang akan diterima pekeja. Rosulullah umpamanya
membedakan pemberian di antara kaum muslimin mengikuti perbedaan
keperluan dan tanggungjawab sebagaiman diriwayatkan oleh ‘Auf ibn Malik,
Rasulullah apabila mendapat harta rampasan (al-fai’), Beliau memberi dua bagian
untuk orang yang sudah menikah dan satu bagian kepada yang masih
bujang/belum menikah. Bahkan dalam hadiś lain Rasulullah pernah memberi
satu bagian untuk penunggang kuda dan dua bagian untuk kudanya sebab belanja
untuk perawatan kuda lebih banyak daripada pemiliknya. Khalifah Umar al-
Khattab juga mempergunakan formula yang sama dalam pembagian harta fai’
sebagaimana dikatakannya “sebagian orang dinilai daripada prestasinya dan
sebagian orang yang lain dilihat daripada keperluannya”.
12. Aparatur Religius dan Profesional
12.1. Religiusitas dalam Bekerja
Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik
penciptaan, diberi fitrah naluri religiusitas, yaitu naluri untuk
berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh
kejelasan tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidup
sendiri. Karena itu setiap manusia dalam lingkup yang lebih besar,
masyarakat pasti memiliki keinsyafan tentang apa yang dianggap “makna
hidup”.
Agama sebagai sistem keyakinan menyediakan konsep tentang hakikat
dan makna hidup itu, tetapi ia tidak terdapat pada segi-segi formalitas atau
bentuk lahiriah keagamaan. Ia berada dibaliknya. Karena itu formalitas harus
“ditembus” batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Kemampuan melampaui
segi-segi itu (niscaya) akan berdampak pada tumbuhnya sikap-sikap religius

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 143


individu maupun masyarakat yang lebih sejalan dengan makna dan maksud
hakiki ajaran agama.
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktifitas
lain yang didorong oleh kekuatan spiritual. Bukan hanya yang berkaitan
dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang
tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan
seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan demikian,
agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.
Religiusitas lebih melihat aspek yang didalam lubuk hati, getaran hati
nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitas jiwa, “du couer” dalam arti Pascal, yakni citarasa
yang mencakup totalitas (termasuk ratio dan rasa manusiawi) ke dalam si
pribadi manusia. Religiusitas menurut Suhardiyanto (2001) adalah hubungan
pribadi dengan pribadi ilahi Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha
Penyayang (Tuhan) yang berkonsekuensi hasrat untuk berkenan kepada
pribadi yang ilahi itu dengan melaksanakan kehendak-Nya dan menjauhi yang
tidak dikehendakinya (larangannya) (Suhardiyanto, 2001, 1), atau dalam
konseptualisasi Islam disebut pribadi yang bertaqwa.
Menurut Glock & Stark (1994) seperti ditulis oleh Djamaluddin Ancok
konsep religiusitas adalah rumusan brilian. Konsep tersebut mencoba melihat
keberagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tetapi
mencoba memperhatikan segala dimensi. Keberagamaan dalam Islam bukan
hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-
aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem yang menyeluruh, Islam mendorong
pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Ada lima dimensi
keberagamaan sesorang yang dapat diukur untuk mengetahui apakah
seseorang tersebut religius atau tidak, yaitu, dimensi keyakinan, dimensi
praktek agama (ritual dan ketaatan), dimensi pengalaman, dimensi
pengetahuan agama, dimensi pengamalan atau konsekuensi. (Ancok, 1994,
76)
Konsep religiusitas dalam Islam merupakan esensi keberagamaan terkait
ketauhidan atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai
Yang Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang Ada.
Tidak ada satu pun perintah dalam islam yang bisa dilepaskan dari Tauhid.
Seperti dikatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi yang dikutip Djamaluddin bahwa,
kewajiban untuk menyembah Tuhan, mematuhi perintah-perintah-Nya, dan
menjauhi larangan-larangan-Nya, akan hancur begitu Tauhid dilanggar
(Ancok, 1994, 79). Ini artinya bahwa tauhid adalah intisari Islam, dan suatu
tindakan tak dapat disebut sebagai bernilai Islam tanpa dilandasi oleh
kepercayaan kepada Allah. Selain tauhid atau akidah, pokok pondasi Islam
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 144
adalah Syariah dan Akhlaq. Dimana ketiga bagian tersebut antara satu dengan
yang lainnya saling berhubungan.
Sehingga kalau melihat konsep religiusitas versi Glock & Stark, walau
tidak sepenuhnya sama, maka dimensi keyakinan (ideological) dapat
disejajarkan dengan akidah, yang menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan
Muslim terhadap ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang
bersifat fundamental dan dogmatik. Seperti keyakinan mengenai Allah, para
malaikat, Nabi/Rasul, kitab- kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan
qadar. Sedang praktik agama (ritual) disejajarkan dengan syari’ah, yang
menunjukkan seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan
kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana dianjurkan oleh agamanya. Seperti,
sholat, puasa, zakat, haji, membaca qur’an, doa, zikir, ibadah qurban, iktikaf di
masjid di bulan puasa, dan lain-lain. Dimensi pengamalan (konsekuensial)
disejajarkan dengan akhlaq, yang menunjuk pada seberapa tingkatan Muslim
berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana
individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam
ajaran islam dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama,
berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain,
menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga
lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak
menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan,
mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup
sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.
Dimensi pengetahuan (ilmu) menunjuk pada seberapa tingkat
pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran agamanya, terutama
mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam
kitab sucinya. Dalam islam dimensi ini meliputi pengetahuan tentang isi al-
qur’an, pokok ajaran islam, hukum islam, sejarah islam, dan lain sebagainya.
Dan untuk dimensi pengalaman atau penghayatan (experiensial) menunjuk
pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam merasakan dan mengalami
perasaan-perasaan dan pengalaman religius. Dalam islam dimensi ini
terwujud dalam perasaan dekat dengan Allah, perasaan doa-doanya sering
terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan
bertawakkal, perasaan khusuk ketika melaksanakan sholat, perasaan tergetar
ketika mendengar adzan atau ayat-ayat al- qur’an, perasaan syukur kepada
Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
Maka dapar disimpulkan bahwa religiusitas dalam bekerja ialah
kemampuan memilih yang baik di dalam situasi yang serba terbuka dalam
beraktifitas mencari rejeki. Setiap kali manusia akan melakukan sesuatu,
maka ia akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi untuk
menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada. Religiusitas juga
dimaknai sebagai upaya transformasi nilai menjadi realitas empiris dalam
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 145
proses cukup panjang yang berawal dari tumbuhnya kesadaran iman sampai
terjadinya amal dalam kehidupan.
Agama lebih menitikberatkan pada kelembagaan yang mengatur tata
cara penyembahan manusia kepada penciptanya dan mengarah pada aspek
kuantitas, sedangkan religiusitas lebih menekankan pada kualitas manusia
beragama. Agama dan religiusitas merupakan kesatuan yang saling
mendukung dan melengkapi, karena keduanya merupakan konsekuensi logis
kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu
kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat. Penjelasan ini tidak
jauh berbeda dengan yang dikemukakan Glock dan Stark yang memahami
religiusitas sebagai percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan
dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang
beragama menjadi semakin inten. Semakin orang religius, hidup orang itu
semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri, termasuk
dalam aspek pekerjaan. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak bisa
dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus
terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiusitas sebagai inti
kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk
hati dan getaran murni pribadi.
Secara operasional religiusitas dalam bekerja didefinisikan sebagai
praktik bekerja berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk
perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya
sebagai pandangan hidup dalam menjalankan pekerjaan. Religiusitas dalam
bentuknya dapat dinilai dari bagaimana sikap seseorang dalam melaksanakan
perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya. Dengan pemaknaan
tersebut, religiusitas bisa dipahami sebagai potensi diri seseorang yang
membuatnya mampu menghadirkan wajah agama dalam menjalani amanah
pekerjaan.
Meminjam konsep Abu Hanifah, religiusitas harus merupakan kesatuan
utuh antara iman dengan Islam. Artinya, religiusitas jika diamati dari sisi
internal adalah iman dan dari sisi eksternalnya adalah Islam. Sebagai suatu
fenomena sosial, rumusan ini sejalan dengan pendapat Joachim Wach bahwa
pengalaman beragama terdiri atas respons terhadap ajaran dalam bentuk
pikiran, perbuatan serta pengungkapannya dalam kehidupan kelompok.

12.2. Profesionalitas Bekerja dalam Islam


Agama Islam memandang profesionalitas semakna dengan ihsan dan
itqon yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ajaran Islam memotivasi umat
Islam untuk kerja yang professional dalam berbagai sisi kehidupan dan
berbagai sarana kerja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 146


“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang jika melakukan sesuatu
dengan cara professional”. (HR. Abu Hurairah)
Seorang pekerja yang ikhlas dan profesional adalah ciri insan yang cerdas dan
ahli dalam melakukan sesuatu dan ahli dalam pekerjaannya, mampu
menunaikan tugas yang diberikan kepadanya secara professional dan
sempurna, dan diiringi adanya perasaan selalu diawasi oleh Allah dalam
setiap pekerjaannya, semangat yang penuh dalam meraih keridhaan Allah
dibalik pekerjaannya.
Model pegawai atau aparatur seperti tidak membutuhkan adanya
pengawasan dari manusia; berbeda dengan orang yang melakukan pekerjaan
karena takut manusia, sehingga akan menghilangkan berbagai sarana yang
ada, melakukan penipuan terhadap apa yang dapat dilakukan. Adapun
pegawai yang mukhlis, yang bekerja dibawah perasaan adanya pengawasan
oleh Dzat yang tidak pernah lengah sedikitpun, dan tidak ada yang
tersembunyi atas apa yang tersembunyi di dalam bumi dan di langit. Islam
tidak hanya melahirkan manusia yang sukses dari sudut pengamalan agama
saja tetapi Juga Ingin melahirkan kesuksesan dalam kehidupan di dunia dan
akhirat. Diantara etika kerja menurut Islam yang apabila diterapkan maka
akan menghasilkan kinerja yang baik, yakni Kerja adalah Ibadah. orang yang
mampu menjaga kehormatannya dalam bekerja terutama secara moral dan
profesional, akan diberi kehormatan lebih tinggi lagi dalam bentuk jabatan
dan pangkat yang lebih tinggi, disegani dan statusnya dalam masyarakat
sangat dihormati.
Masalah profesionalisme ini juga sangat terkait dengan hak-hak
pegawai dalam Islam. Jika Allah telah mewajibkan kepada pegawai untuk
bekerja dengan cara yang itqon (professional) dan cakap di dalamnya; maka
baginya memiliki hak, sehingga menjadikan dirinya memiliki kehidupan yang
mulia, kokoh dan kuat. Dan diantara hak-haknya adalah: Tidak membebani
pegawai dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan.. dan tidak
memposisikannya pada pekerjaan yang berat yang tidak mampu
dilaksanakan; dan jika kita ingin memberikan pekerjaan yang berat maka
hendaknya kita membantunya dengan diri kita atau mencarikan orang lain
untuk dapat membantunya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan janganlah kalian membebani mereka dengan apa yang mereka tidak
sanggup, namun jika kalian terpaksa membebaninya maka bantulah mereka”.
(HR. Bukhari)
Dalam menyikapi beragam musibah dan problem kemasyarakatan,
umat Islam juga bukanlah umat yang melakukan arogansi penyelesaian,
sehingga menghadapi kondisi dengan melakukan pengrusakan atau berdiam
diri; sebagai reaksi terhadap apa yang terjadi, namun kita adalah kaum yang
memandang permasalahan dengan pandangan yang komprehensif dan
mendalam serta cermat, lalu mengembalikannya pada dasar yang kokoh
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 147
untuk bisa jadikan sandaran dan terfokus, dan hal tersebut tidak terwujud
kecuali dari “Nizham Islam” yang menyeluruh dan mendetail, yang
didalamnya terdapat kebaikan yang banyak.
Memang demikianlah dalam semua hal saat ini harus diserahkan ke orang-
orang yang kompeten. Tidak hanya kompeten secara teknis tapi juga punya
kemampuan memilih orang-orang yang kompeten sehingga keselamatan
masyarakat terjaga. Mampu memilih “the man behind the gun”.
Aspek profesionalitas ini sangat penting bagi seorang pegawai atau
aparatur. Maksudnya adalah kemampuan untuk memahami dan
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prinsipnya (keahlian). Pekerja tidak
cukup hanya dengan memegang teguh sifat-sifat amanah, kuat, berakhlaq dan
bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan menguasai benar
pekerjaannnya. Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mempekerjakan
orang dan beliau memilih dari mereka orang-orang yang profesional dalam
bidangnya. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
“Bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Jadi tanpa adanya profesionalisme atau keahlian, suatu usaha akan
mengalami kerusakan dan kebangkrutan. Juga menyebabkan menurunnya
kualitas dan kuantitas produksi, bahkan sampai pada kesemrawutan
manajemen, serta kerusakan alat-alat produktivitas. Hal-hal ini tentunya jelas
akan menyebabkan juga terjadinya kebangkrutan total yang tidak diinginkan.

Pekerjaan Berlandaskan Takwa


Al-Quran banyak sekali mengajarkan kita agar takwa dalam setiap
perkara dan pekerjaan. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menyeru kepada
orang-orang mukmin dengan nada panggilan seperti “Wahai orang-orang
yang beriman,” biasanya diikuti oleh ayat yang berorientasi pada kerja dengan
muatan ketakwaan. Di antaranya, “keluarkanlah sebahagian dari apa yang
telah Kami anugerahkan kepadamu.” “Janganlah kamu ikuti/ rusak sedekah-
sedekah (yang telah kamu keluarkan) dengan olokan-olokan dan kata-kata
yang menyakitkan.” “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah.”
“…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2] :
197).
Kerja mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan didalamnya,
oleh karena kerja merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala
dan siksa. Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari
pekerjaan yang mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar memperoleh upah
dan imbalan, karena tujuan utama kerja adalah demi memperoleh keridhaan

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 148


Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus berkhidmat kepada umat. Etika bekerja
yang disertai dengan ketakwaan merupakan tuntunan Islam.

Setelah itu Tawakkal


Sebagai manusia, kita dibatasi untuk tidak bisa ‘mengintip’ masa depan,
kita hanya bisa mengambil ibroh dari kejadian yang sudah berlalu. Namun
hebatnya, kita bisa meminta petunjuk kepada Yang Menguasai peta masa
depan, dan ini kadang di lupakan oleh sebagian besar manusia. kepercayaan
diri yang berlebihan membuat kita secara berani menentukan pilihan hidup
tanpa konsultasi dulu kepada yang menguasai masa depan. Ketika akhirnya
kita gagal barulah kita tersadar, ternyata kita salah, barulah kita menangisi
kebodohan dan kesombongan kita.
Sertakan selalu Allah dalam setiap pengambilan keputusan, pasrahkan
kepada-Nya, mintalah petunjuk, langkah terbaik yang harus kita ambil,
setelah itu marilah kita lihat hasil ketawakalan kita. Sebagaimana yang kita
katakan tadi bahwa bukan berarti tawakal kalau kita hanya meminta tanpa
ikhtiar yang profesional.Ingat bagaimana Rasulullah menegur sahabatnya
yang meninggalkan kudanya tanpa di ikat?, sang sahabat menjawab bahwa
dia tawakal…, lalu Rasulullah menjawab, “ikatlah dulu kudamu itu barulah
engkau tawakal kepada Allah”.

Jangan Lupa Berdoa


‘ud uuni astajib lakum’, artinya mintalah kepada-Ku, maka akan Aku
kabulkan. setelah kita mengerjakan semua keinginan-Nya, kemudian kita
secara maksimal berusaha, lalu tinggal satu lagi yang harus kita lakukan, yaitu
berdoa. Berdoa berarti kita menggantungkan asa kita kepada yang Maha
Mengatur, mau bagaimana akhir dari ikhtiar, bisnis atau apapun urusan kita
terserah kepada Dia saja.
Kalau memang Dia memberikan seperti harap kita, maka bersyukurlah,
namun jika tidak sesuai dengan keinginan, maka bersabarlah biasanya hanya
masalah waktu saja, kalau memang tidak juga kesampaian maka ingatlah
bahwa apa yang kita anggap baik belum tentu baik di mata Allah, dan
kadangkala apa yang kita anggap tidak baik, menurut pandangan Allah itu
baik.

Latihan

Buatkan poster kreatif dengan tema mengkampanyekan Bekerja Sesuai Syariat


Islam.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 149


MODUL X

KONSEP ANTI KORUPSI DALAM ISLAM

5. Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Islam mengatur semua
aspek hidup dan kehidupan manusia baik secara pribadi, sosial, berbangsa dan
bernegara. Islam mengabarkan tuntunan aspek duniawi dan ukhrawi (akhirat),
baik kabar gembira berupa pahala maupun peringatan/kabar buruk berupa
ancaman/siksaan. Tujuan akhir ajaran Islam adalah membawa setiap
pemeluknya mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dengan jalan
melakukan segala yang bermanfaat dan mencegah segala hal yang merugikan
atau mudarat. Untuk mencapai tujuan itulah maka syariat Islam berperan sebagai
pedoman hidup.
Seperti diungkapkan dalam kitab suci Al Qurán:
ٞ َََۡ َُٗ ُ ّ ‫ ّ ذ‬ٞ َ ۡ ‫َ َٰٓ َ ُّ َ ذ ُ َ ۡ َ ٓ َ ۡ ُ ذ‬
ُّ ‫ ل ّ ٍَِا ِف ٱ‬ٞ ‫ل ًۡ َوش َِفآء‬
‫لص ُدورِ وْدى ورۡحث‬ ِ ِ ‫يأحٓا ٱنلاس كد جاءحلً ٌٔغِظث ٌَِ رب‬
َ ٌِِ ‫ىّ ِيۡ ٍُ ۡؤ‬
٥٧ ‫ِني‬
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS
Yunus (10): 57).
Pemahaman hikmah syariah, atau Maqaashid Al-Syarii’ah kajian Dr. H. Harun
al-Rasyid, S.H. M.Hum, CFE, hadirnya syariat Islam pada dasarnya adalah untuk
memelihara dan melindungi enam hal pokok, yakni:
1) Agama, karena agama adalah pedoman hidup yang mencakup akidah
dan syariat, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia,
2) Jiwa, karena Islam mengakui hak hidup setiap manusia secara
mendalam dan melarang penghilangan jiwa,
3) Akal, karena keberadaan akal-lah yang membedakan manusia dari
binatang dan dengan akal manusia bisa memperbaiki diri dan
memilih jalan hidup mendapat pahala atau siksa,
4) Keturunan, karena anak keturunan adalah upaya manusia
memelihara kemurnian darah dan kelanjutan kehidupannya,
5) Harta benda, karena Islam mengakui dorongan hidup manusia
mencari harta benda demi pemenuhan kebutuhan sehingga perlu
diatur agar tidak bentrok, dan
6) Kehormatan diri, karena martabat manusia dalam Islam dianggap
lebih berharga dan mulia dari harta benda.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 150
Dari keenam hal pokok di atas, memelihara dan melindungi harta benda
adalah hal yang paling bersifat keduniawian. Islam memperhatikan naluri
kepemilikan harta benda sebagai sesuatu yang sangat kodrati. Manusia
melakukan dorongan ini tak hanya demi memenuhi kebutuhan dasar sandang,
pangan dan papan, tapi juga sekaligus mengangkat martabat dan status sosialnya
di tengah masyarakat. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa
yang diinginkan berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda
yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik” (QS Ali Imran:14)
Melalui syariat, Allah SWT mengakui dorongan kodrati tersebut sambil
membekalinya dengan rambu-rambu kuat agar manusia mampu mengendalikan
dan membatasi perilaku yang menyimpang. Manusia juga harus mengumpulkan
harta dengan cara halal, dan daripadanya dikeluarkan hak Allah dan manusia
lain, serta digunakan untuk hal-hal yang halal.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu… (QS an-Nisa (4): 29)
Berikut sejumlah konsep harta dalam pandangan Islam
1) Pemilik hakiki atas segala harta yang ada di muka bumi adalah Allah SWT.
Kepemilikan manusia bersifat nisbi, relatif sebatas melaksanakan amanah
untuk mengelola.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS Al-Hadid
(57):7).
2) Harta-harta yang dikuasakan Allah kepada manusia memiliki beberapa fungsi,
yakni:
a. Harta sebagai amanah titipan Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
b. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan6. Sebagai
perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan,
serta kebanggaan diri.
c. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan
dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak8.
d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia melalui zakat, infak
dan sedekah.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 151


3) Untuk dapat memiliki harta, maka manusia dapat mengupayakan mata
pencaharian yang halal sesuai dengan aturan-Nya. Sebagaimana pernah
diriwayatkan hadits:
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa
yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya, maka
sama dengan mujahid di jalan Allah” (HR.Ahmad).
4) Dalam berusaha memperoleh harta benda, maka dilarang mencari harta,
berusaha atau bekerja yang melupakan mati10, melupakan mengingat
Allah11, melupakan shalat dan zakat12, dan memusatkan kekayaan hanya
pada sekelompok orang kaya saja13.
5) Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba,
perjudian, jual beli barang yang haram, mencuri merampok, curang dalam
takaran dan timbangan, melalui cara-cara yang batil dan merugikan, dan
melalui suap menyuap.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah berkata:
“Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal,
usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa digunakan,
hartanya darimana didapatkan dan untuk apa digunakan, serta ilmunya
untuk apa digunakan.”
Secara tekstual maupun substantif, Islam telah memberi rambu- rambu yang
keras untuk mencegah korupsi maupun menegakkan hukum dalam kasus
korupsi, tanpa pilih kasih. Rasulullah SAW bahkan memberi contoh yang sangat
tegas seperti dikisahkan bahwa pada saat terjadi peristiwa pencurian oleh
Fatimah, seorang wanita dari keluarga yang terpandang. Pihak keluarga
berusaha menutupi perbuatannya dengan mendekati sahabat kesayangan nabi
untuk meminta keringanan hukuman atas peristiwa tersebut. Namun Nabi
Muhammad SAW bersabda:
“Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fatimah putri
Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” Diriwayatkan oleh al-
Bukhari dan Muslim.
Kisah lain yang tak kalah menarik adalah di masa Kekhalifahan Umar Ibn
Khathab R.A., yang melakukan inspeksi ke pasar untuk memeriksa apakah para
pedagang bertindak jujur dalam menjual dagangannya dan. Umar Ibn Khathab
menjumpai beberapa hal sebagai berikut:
a. Beberapa sahabat yang ditunjuk menjadi pegawai/ aparatur masih
melakukan usaha transaksi perdagangan di pasar, padahal mereka sudah
menerima upah. Kemudian Khalifah Umar RA, mengumpulkan mereka
dan melarang melakukan jual beli karena mereka telah diamanahi
urusan melayani umat dan digaji oleh negara. Juga para pejabat negara
waktu itu diperintahkan menghitung kenaikan harta benda yang mereka
miliki, jika dirasa terdapat kenaikan yang tidak wajar dibandingkan

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 152


dengan usahanya, maka kelebihan harta tersebut disita untuk baitul
maal (kas negara).
b. Abdullah Ibn Umar, putra Khalifah Umar RA terlihat di pasar dengan
hewan ternak yang dimilikinya lebih baik dan lebih gemuk dari yang lain.
Ketika Khalifah Umar RA memanggil putranya untuk memastikan,
Abdullah mengatakan hewan ternak itu dibelinya dengan harga wajar,
lalu digembalakan bersama hewan ternak lain di lapangan penggembala
bersama. Namun Khalifah Umar punya alasan mengapa hewan ternak
milik Abdullah lebih gemuk, yakni karena warga memberi tempat dan
waktu yang lebih leluasa bagi hewan ternak Abdullah karena ia anak
Kholifah. Kemudian Kholifah meminta Abdullah menghitung keuntungan
yang wajar dari hewan ternaknya, kelebihannya diambil untuk baitul
maal.
Tindakan Khalifah Umar RA tersebut di atas, kini dikenal dengan upaya
mencegah konflik kepentingan dalam pengadaan dan Pelaporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN). Prof. DR. Hamka antara lain menyampaikan
judul korupsi dalam mengomentari tafsir Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 161:
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka
pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,
Kemudian tiap- tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali-‘Imran [3] :
161)
Melihat dan menilik pelaksanaan Umar bin Khathab dan Umar bin Abdul Aziz
ini (yakni hadiah pun harus dikembalikan), nyatalah bahwa komisi yang diterima
oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu
penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa
halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa
halus iman dan Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu
Negara, bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan ummat. (Prof Dr Hamka,
Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, juzu’ IV, halaman
143)
Demikian juga Imam Ibnu Katsir memberikan penjelasan atas tafsir ayat
tersebut dengan hadits berikut:
Dari Abi Malik Al-Asyja’i dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda: “Ghulul (pengkhianatan/ korupsi) yang paling besar di
sisi Allah adalah korupsi sehasta tanah, kalian temukan dua lelaki
bertetangga dalam hal tanah atau rumah, lalu salah seorang dari
keduanya mengambil sehasta tanah dari bagian pemiliknya. Jika ia
mengambilnya maka akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi
pada hari Qiyamat. (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahihut Targhiib wt Tarhiib II/ 380 nomor 1869)
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 153
Berdasarkan keterangan Al Qur’an, Al Hadits maupun kisah tersebut
menunjukkan bahwa Islam sangat memberikan perhatian terhadap kepemilikan
harta, mencegah dan melarang terjadinya kecurangan dalam memiliki harta, baik
dari cara memperolehnya maupun aspek peruntukkannya. Ini menunjukkan
bahwa ajaran Islam sangat preventif bterhadap perilaku koruptif. Meski para
ulama berbeda pendapat tentang definisi, istilah, pengertian, pengklasifikasian
jenis maupun proses pemidanaannya, namun para ulama sepakat bahwa
perbuatan korupsi itu termasuk perbuatan haram dan dilaknat Allah.
Firman Allah SWT
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain
di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui” (QS. Al-Ba-qarah [2]: 188).

Sayyid Husain al-Alatas menyimpulkan bahwa korupsi tidak akan lepas


dari beberapa ciri khususnya, yaitu: (a) suatu pengkhianatan terhadap
kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintahan, lembaga swasta
atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum
untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan
lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan
bersama, (g) terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki
keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (g) adanya
usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum,
(i) menunjukkan fungsi ganda pada setiap individu yang melakukan korupsi.

6. Konsep Hadiah (Ghulul) dan Gratifikasi


Secara bahasa, ghulûl diartikan sebagai: menggelapkan. Secara etimologis,
“hadiah” berasal dari bahasa Arab yang artinya “pemberian” atau “suguhan.”
Dalam terminologi fiqh lintas madzhab (fiqh muqaranah), hadiah diartikan secara
beragam. Dr. Abdurrahim ibn Ibrahim al-Hasyim merangkum perbedaan definisi
di atas sbb:Pemberian barang/benda dari seseorang semasa hidupnya kepada
orang lain, dari harta yang dimilikinya secara fisik (bukan dimiliki manfaatannya
saja), sebagai penghormatan atau memuliakan si penerima, tanpa syarat dan
tanpa mengharap balasan.
Dari pengertian ini, terdapat dua kalimat yang disepakati semua mazhab fiqh,
yaitu: tanpa syarat dan tanpa mengharap balasan. Maksudnya, tanpa syarat harus
membalas dengan hadiah serupa, tanpa syarat harus mengerjakan atau
meningggalkan sesuatu, bahkan tanpa mengharap apapun dari si penerima. Ini
pengertian hadiah secara umum dalam kitab-kitab tafsir, hadits, dan fiqh. Ada
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 154
pula hadiah dengan pengertian khusus. Yakni hadiah yang diberikan karena
unsur jabatan. Hadiah dengan pengertian khusus ini dinamakan ghulûl harta
rampasan perang sebelum dibagi. Kemudian secara istilah, ghulûl dimaknai
sebagai: penggelapan yang dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara negara,
dengan melanggar amanah atau pemberian hadiah kepada pejabat/pegawai, di
mana pemberian tersebut terindikasi kuat terkait dengan jabatan si penerima.
Baik jumlahnya besar atau kecil, dengan alasan uang lelah atau kenang-kenangan,
baik diminta atau tidak, baik ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Ghulûl dalam pengertian kedua ini merujuk pada hadis riwayat Ahmad bin
Hanbal: (Hadiah yang diberikan kepada pegawai negeri adalah ghulûl), juga
riwayat Al-Baihaqi dan at-Thabrani: Hadiah yang diberikan kepada pejabat
negara adalah ghulul. Dari sini dapat dipahami, jika pemberian dilakukan dengan
motif pahala dan penghormatan, itu temasuk hadiah murni. Jika motivasinya
adalah kedekatan dengan si penerima dan kemudahan dalam urusan-urusan yang
terkait dengan jabatannya, itu termasuk ghulûl yang diharamkan. Ghulûl dalam
pengertian terakhir ini mirip pengertian gratifikasi masa kini.
Dalam sejarah Islam, praktik pemberian hadiah kepada pejabat/pegawai—
dalam pengertian ghulûl —, pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Dalam
hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim dikisahkan, Rasulullah SAW
mengangkat beberapa pegawai yang ditugaskan untuk menarik dan
mendistribusikan zakat. Salah seorang pegawai tersebut bernama Ibnu al-
Lutbiyah26 dari Bani al-Azdi. Suatu hari, Ibnu al-Lutbiyah menghadap Rasulullah
SAW sambil membawa harta zakat yang dipungutnya. “Ini (zakat) untuk kalian
dan ini hadiah yang diberikan (para pembayar zakat) untukku,” ucap Ibnu al-
Lutbiyah sambil menunjukkan barangnya. Nabi SAW langsung berdiri dan
bersabda: “Seandainya engkau duduk-duduk saja di rumah ayah atau ibumu
sambil menunggu (datangnya hadiah), apakah engkau akan diberi hadiah?!”
Kemudian, seusai shalat jamaah, Nabi SAW naik ke atas mimbar dan kembali
mengeluarkan statemen terkait kasus Ibnu al-Lutbiyah: “Jika seorang pegawai
diserahi tugas (oleh Negara) kemudian datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini
hadiah itu di lehernya. Jika (hadiah yang diterima) berupa unta, ia akan bersuara.
Jika berupa lembu, ia akan menguak. Dan jika berupa kambing, ia akan
mengembik. (Saksikankanlah) bukankah aku (Muhammad SAW) telah
menyampaikan (kebenaran)?.”
Shiroh yang disebutkan dalam hadist diatas adalah sangat populer dalam
masalah gratifikasi. Hampir semua ulama hadis pernah meriwayatkan hadis ini.
Kesimpulannya, Nabi SAW melarang keras pegawai menerima hadiah dari para
wajib zakat (atau wajib pajak dalam kasus Indonesia). Sebab, pegawai negeri
sudah mendapat gaji dan fasilitas negara. Jika Ibnu al-Lutbiyah bukan pegawai
negeri (diumpamakan seperti orang yang duduk- duduk di rumah), tentu dia
tidak akan diberi hadiah. Berarti, jabatan Ibnu al-Lutbiyah -lah yang menjadi
penyebab orang lain memberikan hadiah kepadanya. Karena itu, dalam hadis lain
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 155
Nabi SAW menegaskan: “Barangsiapa diangkat sebagai pegawai dan telah
mendapat gaji, maka apa yang diambil selain dari gaji itu adalah ghulul” (HR. Abu
Daud, al-Hakim, Ibn Huzaimah).
Pejabat atau pegawai negeri, ketika ditunjuk untuk mengemban tugas
tertentu, dia harus menjalankan tugas apa adanya, ini merupakan prinsip hukum
Islam. Jika dia menerima hadiah atau hadiah untukku, mengapa ia tidak duduk-
duduk saja di rumah ayah atau ibunya, sambil menunggu apakah ia akan diberi
hadiah atau tidak? Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan- Nya, tidaklah
seorang pegawai menerima sesuatu (hadiah), melainkan ia akan datang di hari
kiamat sambil memikul beban pemberian di luar gaji, di mana hadiah tersebut
patut diduga berkaitan erat dengan jabatannya, berarti dia telah berkhianat atas
tugas dan jabatannya.
Status hukum menerima gratifikasi, mengutip An- Nawawi (631 H–676 H) dalam
Syarah Muslim, adalah haram dan termasuk dosa besar, meskipun nominalnya
terbilang kecil. Hal ini sesuai pesan implisit hadis yang mengisahkan seorang
hamba sahaya bernama Rifa’ah bin Zaid, yang terkena anak panah saat berdiri
untuk melepaskan pelana kuda Rasulullah SAW. Para shahabat menyebutnya
mati syahid, tapi Nabi SAW menolak: “Tidak! Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada
di tangan-Nya, sesungguhnya sehelai kain yang diambilnya dari ghanimah perang
Khaibar, akan menyalakan api Neraka baginya.”

Hukum Ghulûl
Sejumlah kisah di atas menggambarkan bahwa Islam sangat menentang
gratifikasi, atau praktik pemberian hadiah yang terkait jabatan. Demikian
menentangnya, sejumlah ulama klasik sampai menulis bab khusus tentang
gratifikasi di dalam kitab-kitab mereka. Contohnya Al-Bukhari dalam kitab al-
Jami’ as-Shahih menulis: “Bab Hadiah untuk Pegawai” dan “Bab Orang yang
Dilarang Menerima Hadiah karena Sebab Tertentu.” Kemudian Imam Muslim
dalam kitab al-Imarah (Pemerintahan) juga membuat bab khusus “Bab Hadiah
bagi Para Pegawai,” yang oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
dinamakan: “Bab Haramnya Hadiah bagi Pegawai.” dan masih banyak lagi.
Mengenai hadiah yang diberikan BUKAN karena faktor jabatan, seperti
pejabat/pegawai yang biasa menerima hadiah dari teman atau kerabat sejak
sebelum menjadi pejabat/pegawai, atau nilainya tidak meningkat secara
signifikan dibandingkan pemberian-pemberian sebelumnya, maka dalam Islam
tidak dinamakan ghulûl/gratifikasi. Itu bisa termasuk shadaqah jika diniati ingin
mendapat pahala, atau temasuk hadiah jika diniati ingin mendapat pahala dan
memuliakan.
Ketentuan yang sama berlaku bagi hakim. Hakim tidak boleh menerima
hadiah dari orang yang belum pernah memberikan hadiah kepadanya sebelum
menjabat. Dia juga dilarang menerima pemberian yang jumlahnya meningkat dari
pada pemberian sebelumnya. Ini prinsip umum dalam fiqh jinayah (pidana
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 156
Islam). Hakim hanya boleh menerima hadiah atau pemberian dari keluarga atau
sahabat dekat, dimana si keluarga atau si sahabat tidak sedang berperkara dan
memang sudah terbiasa memberi hadiah sejak sebelum dirinya menjadi hakim.
Dari paparan di atas, hukum pemberian hadiah kepada pejabat/ pegawai dapat
dipilah sbb:
1) Haram bagi pemberi dan penerima. Yakni suap (risywah), pungli (sukht),
dan yang sejenis.
2) Boleh bagi pemberi, haram bagi penerima. Yakni hadiah kepada
pejabat/pegawai/hakim tanpa syarat, tapi pemberinya terpaksa
memberi untuk mengamankan diri dari perilaku penguasa, atau sekedar
untuk menghormati kedudukan si pejabat/ pegawai. Pihak pemberi
hadiah tidak berdosa, sedangkan pihak penerima hadiah (pejabat)
berdosa besar karena dianggap menerima gratifikasi atau bahkan
melakukan pemerasan.
3) Boleh bagi pemberi dan penerima. Seperti hadiah kepada
pejabat/pegawai dari kerabat/sahabat yang sudah terbiasa memberi
hadiah sejak sebelum dirinya menjadi pelayan publik, dan kadar hadiah
tidak melebihi kebiasaan sebelum dia menjadi pejabat/ pegawai.
Persoalannya, budaya nepotisme dan politik dinasti di Indonesia sudah
menggurita, sehingga sahabat atau keluarga pejabat justru sering memanfaatkan
kesempatan memberi hadiah untuk memperoleh kemudahan, baik dalam
masalah perizinan, pengurusan akta, pengadaan barang/jasa, dan sebagainya.
Sehingga, pada saat tender, misalnya, sahabat atau keluarga yang pernah
memberikan gratifikasi otomatis akan memiliki “posisi khusus” di mata si
penerimanya, bandingkan peserta tender lainnya. Inilah yang dimaksud oleh
Umar bin Abdil Aziz ra: ”Hadiah pada zaman Nabi SAW adalah hadiah, sedangkan
hadiah hari ini (hakikatnya) adalah suap.” Dan, kondisi kita sekarang ini
sebenarnya sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW 15 abad yang lalu. Beliau
bersabda: Kelak akan datang suatu masa, di mana sejumlah pemerintahan
menghalalkan arak dengan “bungkus” bir, menerima pemberian kecil dengan
alasan sedekah, membolehkan suap dengan “bungkus” hadiah, dan membunuh
dengan alasan memberi peringatan. Mereka memerangi bangsa-bangsa merdeka
untuk menguasai, sehingga (akibatnya) dosa mereka semakin bertambah. Maka,
salah satu solusi yang ditawarkan Islam ialah sadd ad-dari’ah, Yakni upaya
preventif untuk mencegah timbulnya dampak negatif di belakang hari. Jika suatu
perbuatan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) di belakang
hari, maka perbuatan tersebut harus dilarang secara total. Kaidah sadd ad-dari’ah
merupakan salah satu prinsip hukum Islam yang bertujuan mewujudkan
kemaslahatan umum dan menghindari kerusakan (jalbul mashalih wa dar’ul
mafasid).
Karena itu, jika hadiah dari keluarga atau teman dekat pejabat/pegawai
diduga keras akan menjurus pada gratifikasi, maka ia harus dilarang secara total.
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 157
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 12 B Undang-Undang 20/2001, yang
menyebutkan bahwa gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan
dengan tugas atau kewajibannya. KPK menghimbau terhadap pegawai negeri
atau penyelenggara negara wajib menolak pemberian terkait jabatan dan
berlawanan dengan tugas atau kewajibannya, jika terpaksa menerima segera
melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK. Sebab, jabatan atau kekuasaan
memiliki efek magnetis; ia dapat menarik hal- hal yang sebelumnya tidak bisa
ditarik. Hadiah kepada pejabat di masa sekarang, sangat rentan mempengaruhi
sikap si pejabat dalam mengambil keputusan.
Pandangan lain yang paralel dengan pemikiran tersebut adalah: “Adapun
hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan
simpati. Jika hadiah diberikan oleh orang yang tidak biasa memberi kepada
seseorang sebelum ia memangku suatu jabatan, maka hukumnya haram. Namun,
jika hadiah diterima dari orang yang sudah terbiasa memberi hadiah kepadanya
sebelum ia mendapatkan jabatan, maka jika ia memberi lebih (dari biasanya),
maka statusnya sama dengan jika si pemberi tidak terbiasa memberi hadiah
kepadanya. Yakni, haram. Namun, jika tidak lebih dari ukuran yang biasa
diberikan, maka jika ia memiliki lawan sengketa, hukumnya juga tidak boleh. Jika
ia tidak memiliki lawan sengketa (pada suatu kasus), maka ia boleh mengambil
hadiah sebatas ukuran yang biasa diterimanya sebelum menjabat. Lebih utama,
tidak mengambil hadiah tersebut. Hukum larangan kepada seseorang hakim
untuk mengambil hadiah lebih kuat dari pejabat lain. Karena hakim adalah wakil
dari syara’, maka sudah seharusnya bila ia berjalan sesuai dengan hukum syara’.

Konsekuensi Hukum
Konsekuensi hukum bagi penerima gratifikasi dalam fiqh jinayah adalah
wajib mengembalikan hadiah yang diterima, atau menyerahkan kepada negara,
atau memilikinya dengan izin pemerintah. Jika salah satunya tidak dilakukan,
maka penerima gratifikasi diancam hukuman/sanksi pidana. Pemerintah berhak
mengatur bentuk hukuman atau sanksi bagi penerima gratifikasi yang melanggar
ketentuan perundang-undangan. Hal ini sesuai prinsip hukum Islam, bahwa
bentuk sanksi yang tidak ditetapkan secara langsung dalam Al-Qur’an atau Hadits
(ta’zir), ketentuannya diserahkan kepada pihak berwenang. Maka KPK
mendorong aparatur sipil negara untuk menolak pemberian terkait jabatan. Jika
terlanjur diterima, maka pemberian itu wajib dilaporkan ke KPK maksimal 30
hari setelah diterima untuk ditentukan, apakah pemberian itu diizinkan diterima
secara pribadi atau diserahkan ke negara.
Selain konsekuensi hukum duniawi, pelaku gratifikasi dalam Islam juga
diancam hukuman akhirat, jika dia tidak mengembalikan hadiah yang
diterimanya. Ini perbedaan paling mendasar antara UU Tipikor dengan ketentuan
syariat Islam. Namun, meski sanksi yang bersifat ukhrawi tidak tercantum,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 158
pelaksanaan sanksi dalam UU Tipikor telah memenuhi prinsip- prinsip ta’zir
dalam syariat Islam, sehingga pelaku gratifikasi yang beragama Islam, dapat
menghapus dosa-dosanya dengan cara menjalani hukuman yang ditetapkan
pengadilan. Jika tidak demikian, dosa-dosanya tidak akan terampuni. Hal ini
didasarkan hadis yang mengisahkan perjalanan Rasulullah SAW ke
perkampungan Bani al-Asyhal. Rasulullah bersilaturrahim dengan penduduk Bani
Asyhad, ditemani seorang shahabat bernama Abu Rafi’. Ketika pulang, keduanya
tampak tergesa-gesa karena waktu Maghrib segera tiba. Di tengah perjalanan,
saat melewati pekuburan Baqi’, tiba-tiba Nabi SAW berseru: “Waduh, celaka…
Waduh, celaka….!” Abu Rafi’ pun menghentikan langkahnya. “Apa yang terjadi
padamu?” tanya Rasulullah SAW. “Ayo jalan!” ajak beliau. Abu Rafi’ lalu
menjelaskan bahwa dirinya berhenti karena mengira dialah yang akan celaka.
“Tidak!” jawab Rasulullah SAW. “(Tadi) aku melewati kuburan si Fulan. Dia
pernah kutunjuk sebagai pegawai pemungut zakat di sebuah perkampungan. Di
sana dia menerima (hadiah) mantel yang terbuat dari bulu harimau. Sekarang (di
dalam kuburnya), dia memakai mantel yang terbuat dari api neraka.”.

7. Konsep Risywah (Suap) dan Khianat


Risywah adalah istilah syar‟i yang dikenal di dalam syariat. Para ulama
telah mendefinisikan risywah baik secara etimologi maupun terminologi. Secara
rinci definisi risywah adalah sebagai berikut: Suap-menyuap dalam bahasa Arab
disebut dengan risywah. Didalam Lisan al-Arab Ibnu Mandzur menyebutkan
perkataan Abul Abbas berkaitan dengan asal kata risywah.
“Kata Rusywah / Risywah diambil dari konteks anak burung yang
menjulurkan kepalanya ke dalam mulut induknya seraya meminta makanan
yang berada di paruh induknya untuk disuapkan.”
Adapun di dalam Mu’jam al Wasith disebutkan bahwa kalimat risywah
berasal dari kata yang bermakna : “Seutas tali atau tali ember dan semacamnya”,
“Apa saja yang diberikan (baik uang maupun hadiah) untuk mendapatkan suatu
manfaat atau segala pemberian yang bertujuan untuk mengukuhkan sesuatu yang
batil dan membatilkan suatu yang haq”
Ibnu Hajar alAsqalani didalam kitabnya Fath al Baari telah menukil
perkataan Ibnu alArabi ketika menjelaskan tentang makna risywah sebagai
berikut:
“Risywah atau suap-menyuap yaitu suatu harta yang diberikan untuk
membeli kehormatan/kekuasaan bagi yang memilikinya guna
menolong/melegalkan sesuatu yang sebenarnya tidak halal.”
Menurut Abdullah Ibn Abdul Muhsin, risywah ialah sesuatu yang diberikan
kepada hakim atau orang yang mempunyai wewenang memutuskan sesuatu
supaya orang yang memberi mendapatkan kepastian hukum atau mendapatkan
keinginannya. Risywah juga dipahami oleh ulama sebagai pemberian sesuatu
yang menjadi alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun menurut MUI
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 159
suap (risywah) adalah pemberian yang diberikan oleh seorang kepada orang lain
(pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar
menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Jadi, dari berbagai
definisi diatas dapat kita simpulkan tentang definisi risywah secara terminologis
yaitu: Suatu pemberian baik berupa harta maupun benda lainnya kepada pemilik
jabatan atau pemegang kebijakan/kekuasaan guna menghalalkan (atau
melancarkan) yang batil dan membatilkan yang hak atau mendapatkan manfaat
dari jalan yang tidak ilegal.
Korelasi makna risywah secara etimologi dan terminologi, jika kita telaah
lebih dalam tentang makna risywah secara bahasa dan istilah, maka kita dapati
korelasi antara kedua makna tersebut. Pada dasarnya asal penggunaan kata
adalah sesuai dengan makna bahasa kemudian berkembang dalam kehidupan
keseharian. Secara bahasa asal kata risywah yang pertama adalah: “Anak burung
yang menjulurkan kepalanya ke dalam paruh induknya seraya meminta agar
makanan yang berada dalam paruh induknya disuapkan untuknya.‟ Hal ini
merupakan gambaran nyata bagi orang yang menerima suap. Ia ibarat seekor
anak burung yang kecil dan lemah serta tidak mampu mencari sesuap makanan
sendiri kecuali harus disuapi oleh induknya. Seandainya orang yang melakukan
suap tahu bahwa apa yang dikeluarkan dari paruh tersebut ibarat muntahan
tentunya dia akan merasa jijik. Jadi, adakah yang lebih lemah jiwanya dari
seseorang yang menerima suap berupa muntahan dari kantong saudaranya yang
sebenarnya tidak halal baginya.
Adapun makna risywah, “Yaitu tali timba yang digunakan untuk
mengambil air dari dalam sumur yang dalam.” Hal tersebut ibarat seorang yang
menyuap untuk mencapai tujuannya. Ia rela menjulurkan berbagai cara untuk
mencapai tujuannya seperti seorang yang menjulurkan tali timba untuk
memperoleh air dalam sumur.

Pandangan Al Qur’an Tentang Risywah

Risywah merupakan kejahatan yang dilarang dalam Islam begitu juga


tindakan tercela dalam kehidupan manusia. Dikatakan kejahatan karena memang
di dalam prakteknya sarat dengan manipulasi dan kezhaliman terhadap sesama.
Di dalam al Qur‟an terdapat empat ayat yang berkaitan langsung dengan risywah.
Rincian dari ayat tersebut yaitu satu ayat terdapat di surat Al-Baqarah dan tiga
ayat terdapat di surat Al-Maidah. Berikut ini adalah ayatayat tentang risywah
beserta penjelasannya.
a. Surat al Baqarah ayat ke-188.
َ ٗ َ ْ ُ ُ ۡ ‫َ ُ ۡ ُ ْ َ ٓ َ ُۡ ذ‬ ۡ ُ َ ۡ َ ُ َ َٰ َ ۡ َ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ َ َ
ِ ‫ۡلَّك ِم ِلِ َأكئا ف ِريلا ٌّ َِۡ أ ٌۡ َن َٰ ِل ٱنلذ‬
‫اس‬ َٰ َ ‫لً ة ِٱى‬
‫ب ِط ِو وحدلٔا ةِٓا إَِل ٱ‬ ِ‫وَّل حأكئا أٌنىلً ةي‬
َ َ َ ُ ََ ۡ ۡ
١٨٨ ‫ُخ ًۡ ت ۡػي ٍُٔن‬ ‫ة ِٱ ِۡلث ًِ وأ‬

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 160


“Janganlah sebagian kalian memakan harta sebahagian yang lain di antara
kalian dengan jalan yang batil dan janganlah kalian membawa urusan harta itu
kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kalian mengetahui.” (QS.
AlBaqarah: 188)
Imam Ibnu Jarir ath Thabari begitu juga imam Ibnu Katsir dalam kitab
mereka menjelaskan asbabun nuzul ayat tersebut yaitu: “Ayat yang mulia ini
turun pada seorang laki-laki yang memiliki harta dan bersengketa dalam masalah
harta tersebut dengan orang lain sedangkan dia tidak memiliki bukti yang otentik
bahwa harta tersebut adalah miliknya, maka pihak lawannya mengingkarinya dan
pada akhirnya ia membawa persengketaan tersebut kepada para hakim dan
diapun mengetahui bahwa kebenaran bersamanya dan dia juga faham bahwa
(pihak lawannya) berdosa lantaran memakan harta yang haram.”
Adapun Imam al Qurtubi, beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini
bahwa “Abdan Ibnu Asywa al Hadrami dan Imru Qais terlibat dalam suatu
sengketa tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti, maka
Rosululloh saw menyuruh Imru Qais yang saat itu sebagai terdakwa yang ingkar
untuk bersumpah. Ketika Imru Qais hendak melaksanakan sumpahnya maka
turunlah ayat yang mulia ini”.
Imam asy Syaukani dalam Fath al Qadir11 menjelaskan: “Ayat ini bersifat
umum untuk seluruh umat, begitu juga berlaku larangan memakan yang haram
dari semua jenis harta. Tidaklah dikecualikan dari larangan di atas selain yang
dikhususkan oleh dalil tentang bolehnya memakan harta tersebut. Jika ada dalil
yang menafikan larangan, maka dia tidak termasuk megambil dengan cara yang
batil akan tetapi dengan cara yang hak. Ia memakan harta tersebut dengan cara
yang halal bukan yang haram kendati pemiliknya tidak rela seperti dalam kasus
pengadilan pelunasan hutang ketika sang pengutang tidak mau membayarnya
kemudian dipaksa membayarnya. Begitu juga penyerahan harta wajib zakat dan
nafkah seseorang yang diwajibkan secara syar‟i. Pada intinya, harta yang
diharamkan oleh syariahuntuk diambil dari pemiliknya maka hal tersebut
termasuk memakan harta dengan cara yang batil walaupun pemiliknya rela.”
Menurut Imam al Qurtubi ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt
melarang makan harta orang lain dengan jalan yang batil. Termasuk di dalam
larangan ini adalah larangan makan hasil judi, tipuan, rampasan, dan paksaan
untuk mengambil hak orang lain yang tidak atas kerelaan pemiliknya, atau yang
di haramkan oleh syariat meskipun atas kerelaan pemiliknya, seperti
pemberian/imbalan dalam perbuatan zina, atau perbuatan zhalim, hasil tenung,
harga minuman yang memabukkan (MIRAS), harga penjualan babi dan lain-lain.
Menurut imam al Maraghi bahwa larangan Allah dalam ayat ini (janganlah
kamu makan harta diantara kamu) maksudnya adalah janganlah sebagian dari
kalian memakan harta sebagian yang lainnya. Menghormati harta orang lain
selainmu berarti menghormati dan menjaga haratamu. Sama halnya dengan
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 161
merusak harta orang lain adalah sebagai tindak pidana terhadap masyarakat
(umat) yang mana engkau adalah salah satu dari anggota masyarakat itu. Selain
itu banyak hal yang dilarang dalam ayat ini seperti memakan riba karena riba
adalah memakan harta orang lain tanpa imbalan dari pemilik harta yang
memberikannya. Termasuk yang juga dilarang adalah harta yang diberikan
kepada hakim(pejabat) sebagai suap dan lain-lain.

b. Surat al Maidah ayat ke-42.


َۡ ۡ ۡ َ َ ُ َ َ ُٓ َ َ َ ُ َٰ ‫َ ذ‬ َ ۡ َ ُ َٰ ‫َ ذ‬
‫وك فٱ ۡحلً ةَ ۡي َِ ُٓ ًۡ أ ۡو أغ ِرض خِ ُٓ ًَۡۖ ِإَون‬ ‫ج فإِن جاء‬ ۡ ُّ ‫ٔن ل‬
ِ ‫ِيصح‬ ‫ِب أكي‬ ِ ‫ذ‬ ‫ه‬ ‫شمػٔن ل ِي‬
ُّ ‫ّلل ُُي‬
‫ِب‬ َ ‫لً ةَ ۡي َِ ًُٓ ةٱىۡل ِۡص ِط إ ذن ٱ ذ‬ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ ۡ ٗ ۡ َ َ ُّ ُ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ۡ ُ
‫وك شئا َۖ ِإَون حهٍج فٱح‬ ‫تػ ِرض خًِٓ فيَ يُض‬
ِ ِ
٤٢ ‫ني‬ َ ‫ٱل ۡ ٍُ ۡل ط‬
ِ ِ‫ص‬
Imam ath Thabari dalam tafsirnya14 menyebutkan riwayat dari Qotadah
berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini, yaitu: “Bahwasanya ayat ini turun
berkaitan dengan para hakim kaum Yahudi yang senantiasa mendengarkan
kedustaan serta menerima uang suap.” Dalam menafsirkan ayat ini Imam ath
Thabari berkata, ”Allah SWT berkata dalam ayat ini seraya menjelaskan bahwa
yang demikian itu adalah sifat-sifat orang Yahudi yang Aku (Allah swt) sifatkan
padamu wahai Muhammad saw. Sifat mereka senantiasa banyak mendengar
perkataan batil dan dusta. Di antara mereka saling berkata, “Muhammad saw
seorang pendusta dan bukanlah seorang nabi. Diantara mereka ada yang berkata
seraya berdusta, “Sesungguhnya hukum pezina yang telah menikah (muhsan) di
dalam Taurat adalah dicambuk dan tahmim (bukan dirajam), dan selainnya dari
kedustaan dan mereka menerima risywah dari hal tersebut.” Secara detail Imam
athThabari menjelaskan ada sekitar 14 riwayat yang salah satunya dari imam
Mujahid ketika menjelaskan makna ayat tersebut. Tidak lain makna dari ayat
tersebut adalah risywah.
Selain itu, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata; “Banyak memakan
harta “suht”maksudnya adalah harta yang haram yaitu risywah” Imam al Qurtubi
menyebutkan ada dua alasan mengapa harta haram seperti risywah disebut
dengan “Suht”. Pertama, dinamakan harta haram “Suht” karena menghilangkan
dan menghancur ketaatan. Kedua, dinamakan harta haram “Suht” karena
menghilangkan kehormatan.
Dari dua alasan tersebut, alasan pertamalah yang cenderung dipilih Imam
Qurthubi karena dengan hilangnya agama, maka hilang pula kehormatan
seseorang. Setelah menyebutkan alasan itu beliau menukil hadits dan atsar
tentang risywah berikut ini.
“Setiap daging yang tumbuh dari harta “suht” maka api neraka lebih layak
baginya. Para sahabat bertanya; Wahai Rosululloh SAW apakah yang dimaksud
dengan “suht”? Rosululloh saw menjawab, “Suht” yaitu suap menyuap dalam
perkara hukum. Ibnu Mas‟ud raodhiyallahu anhu berkata bahwa yang dimaksud
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 162
dengan “suht‟ yaitu seseorang memutuskan suatu perkara bagi saudaranya
kemudian memberinya hadiah dan diterimalah hadiah tersebut”

c. Surat al Maidah ayat ke-62 dan ayat ke-63.


ْ ُ َ َ َ ۡ َ َ ۡ ُّ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ۡ َ ُ َٰ َ ُ ۡ ُ ۡ ّ ٗ َ َٰ َ َ َ
‫ج ۡلِئس ٌا َكُٔا‬ ُۚ ‫س ِرغٔن ِِف ٱ ِۡلث ًِ وٱىػدو َٰ ِن وأكي ِ ًِٓ ٱلصح‬ ‫ا ًٌِِٓ ي‬ٞ ِ ‫وحرى ني‬
ۡ َ َ ۡ ُّ ُ ۡ َ َ َ ۡ ۡ ُ ۡ َ َ ُ َ ۡ َ ۡ َ َ ُّ َٰ ‫َ ۡ َ َ ۡ َ َٰ ُ ُ ذ ذ‬ َ ََُۡ
‫ج ۡلِئ َس‬
ُۚ ‫ لَّٔل حِٓىًٓ ٱلربِ ِئن وٱۡلحتار غَ كٔل ِ ًِٓ ٱ ِۡلثً وأكي ِ ًِٓ ٱلصح‬٦٢ ‫حػٍئن‬
َ ْ ُ َ
٦٣ ‫ٌَا َكُٔا يَ ۡص َِ ُػٔن‬
“Engkau akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi)
bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya
amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim
mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan
Perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa
yang telah mereka kerjakan itu. (QS. al Maidah: 62-63)
Beberapa kitab tafsir, secara eksplisit (mantuq) para mufasir tidak
menyebutkan sebab turunnya ayat yang mulia ini. Namun demikian, secara
implisit (mafhum) mereka menyebutkan bahwa ayat tersebut turun kepada kaum
Yahudi yang terbiasa berbuat risywah dalam kehidupan mereka. Imam Ibnu
Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dalam menafsirkan
ayat ini bahwa beliau berkata,“Tidak ada di dalam al Qur‟an suatu ayat yang lebih
dahsyat mencela kaum Yahudi selain ayat tersebut.”
Ibnu Jarir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa orang-orang Yahudi yang
disifatkan Allah didalam ayat ini yaitu kebanyakan mereka saling berlomba-
lomba dalam bermaksiat kepada Allah dan menyelisihi perintah-Nya. Begitu juga
melanggar batasan-batasan Allah dalam permasalahan halal dan haram seperti
dalam memakan “suht” itulah harta yang mereka ambil dari manusia atas
persoalan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah. Dari uraian pendapat
para mufasirin maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa Allah mengharamkan
risywah karena perbuatan tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi
yang gemar menzhalimi saudaranya. Surat al Baqarah ayat ke-188 Allah melarang
memakan harta dengan cara batil atau haram apapun caranya. Namun, di ayat
tersebut terdapat qarinah (bukti yang menguatkan) bahwa yang dimaksudkan
adalah risywah. Larangan tersebut diperkuat dengan ayat ke-42, 63, dan 63 dari
surat alMaidah yang merupakan celaan yang amat buruk bagi orang-orang
Yahudi karena melakukan risywah. Dari data tersebut maka jelas sekali
pandangan al Qur‟an bahwa risywah merupakan kejahatan publik yang
diharamkan oleh Allah dan merupakan kebiasaan orang-orang kafir dari
kalangan Yahudi.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 163


Pandangan Hadits Tentang Risywah
Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang keharaman
risywah. Imam atTirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya.
“ Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu berkata; Rosululloh saw melaknat
orang yang menyuap dan yang menerimanya dalam masalah hukum.”
Hadits tersebut juga dinukil oleh Imam al Hakim dalam kitab beliau al
Mustadrak dengan tanpa menyebutkan lafadz .
“Dari Abu Zur’ah dari Tsauban berkata: Rosululloh saw melaknat orang
yang menyuap dan yang menerima suap serta perantara keduanya.‟
Dari hadits-hadits tersebut jelas sekali bahwa Rosulullah saw tidak hanya
melaknat orang yang melakukan risywah atau suap saja, celaan juga dialamatkan
bagi orang yang menerima risywah. Jadi, jelas sekali bahwa hukum risywah
adalah haram baik bagi orang yang memberikan maupun menerimanya.

Pandangan Ijma’ Ulama Tentang Risywah.


Banyak sekali dalil ijma‟ yang menyebutkan bahwa risywah adalah haram
secara ijma’. Imam alQurtubi ketika menafsirkan surat alMaidah ayat 42 berkata;
“Tidak ada perbedaan hukum dikalangan para salaf bahwa melakukan risywah
untuk menolak yang haq atau dalam perkara yang dilarang merupakan riyswah
(suht) yang haram.”
Di dalam kitab Nihayatul Muhtaj, Imam ar Ramli yang dijuluki sebagai asy
Syafi’i ash shoghir/imam syaf‟i kecil menjelaskan akan hal ini. “Kapan saja
seseorang mencurahkan harta untuk berhukum dengan yang tidak haq atau
menolak berhukum dengan yang haq maka ia telah berbuat risywah yang
diharamkan secara ijma‟.
Hamd bin Abdurrohman alJunaidil dalam bukunya juga menjelaskan akan
haramnya riswah secara ijma’, “Para sahabat, tabiin begitu juga dengan para
ulama umat telah bersepakat atas haramnya risywah dengan segala bentuknya.
Banyak nash yang menjelaskan tentang implementasi dan interpretasi apa yang
terdapat dalam al Qur‟an dan sunnah serta berusaha menjauhinya semaksimal
mungkin.”
Selain berbagai nukilan diatas, Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy
ia berkata, “Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa
saja) maka hukumnya haram tanpa ada selisih pendapat di kalangan ulama”.
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar23 menukil perkataan Ibnu
Ruslan tentang kesepakatan haramnya risywah, “Ibnu Ruslan berkata dalam
Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan
para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai
Ijma‟.
Imam ash-Shan‟ani dalam Subul as Assalam juga berkata, “Suap-menyuap
itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang
menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Janganlah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 164
sebagian kalian memakan harta sebahagian yang lain di antara kalian dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [QS. Al-Baqarah:
188].”

Macam-Macam Bentuk Risywah


Risywah memiliki banyak macam sebagaimana dijelaskan para ulama
seperti Ibnu Abidin ketika mengutip kitab al-Fath, ia mengemukakan empat
macam bentuk risywah, yaitu:
1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang
memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan
dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun
keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.(haram bagi yang
memberi dan menerima)
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa
menolak kemudaratan dan mengambil manfaat. Risywah ini haram bagi yang
mengambilnya saja. Sebagai helah risywah, ini dapat dianggap upah bagi orang
yang berurusan dengan pemerintah, pemberian tersebut digunakan untuk urusan
seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk
menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya
adalah kezhaliman. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu
sebagai hadiah untuk menahan kezhaliman dan sebagai upah dalam
menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun, bila tidak disyaratkan,
sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan
kepada penguasa, maka menurut ulama tidak apa-apa (laba`sa). Kalau seseorang
melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketamakannya,
maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana
yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud rdh.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang
memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan
karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak
boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.

Faktor-Faktor Pendorong Risywah.


Banyak sekali faktor pendorong terjadinya risywah diantaranya sebagai
berikut.
1. Dha’ful iman/lemahnya iman.
Risywah sangat erat berhubungan dengan mentalitas iman yang rendah.
Praktek suap sejatinya merupakan refleksi dari lemahnya keimanan dalam diri
seseorang. Tidak mungkin orang yang imannya kuat menempuh jalan risywah
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 165
karena hal tersebut suatu pelanggaran syariat yang akan berimplikasi pada siksa
di akhirat.
2. Adamu al muraqabatillah/tidak merasa di awasi oleh Allah SWT.
Orang yang melakukan risywah tidak merasa bahwa perbuatannya
diawasi oleh Allah SWT. Dia tidak merasa bahwa Allah SWT memiliki malaikat
yang mencatat amal setiap hamba. Seandainya dia bisa aman dan lepas dari
pengawasan manusia dan pengadilannya, maka tidak akan mungkin lepas dari
pengadilan dan pengawasan Allah.
3. Tamak dan Serakah.
Suap-menyuap merupakan gambaran keserakahan manusia. Sikap
tersebut merupakan bentuk ketidak qana’ahan dengan apa yang ditaqdirkan oleh
Allah atas dirinya. Seolah orang yang melakukan risywah tidak percaya bahwa
Allah SWT adalah penentu segala sesuatu. Seandainya ia melakukan risywah
namun Allah SWT berkehendak lain atas perkaranya maka hal tersebut sangatlah
mudah. Disebabkan faktor tamak dan serakah risywah merajalela di masyarakat
kita.
4. Malas berusaha.
Orang yang melakukan risywah ingin segala masalahnya tuntas secepat
kilat apapun jalannya. Norma-norma hukum tidak lagi diindahkan untuk
mencapai tujuannya. Banyak orang berfikir yang penting urusan selesai tanpa
ditinjau dengan cara Islami atau tidakkah

Pengertian Khianat (Mengingkari Kepercayaan)

Khianat dapat diartikan sebagai “seseorang yang melanggar atau


mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam bentuk pembatalan sepihak
dalam perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah utang-piutang atau
masalah muamalah secara umum.” Dalam buku “Korupsi dalam Hukum Pidana
Islam” Dr. H.M Nurul Irfan M.Ag mengungkapkan, bahwa dari enam jenis tindakan
terkait korupsi dalam hukum pidana Islam atau fiqh jinayah, ada tiga yang paling
sesuai dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini dimana
khianat menempati urutan teratas sebanyak 21 kali, disusul risywah sebanyak 12
kali dan ghulul sebanyak dua kali. Artinya, “seorang koruptor yang melanggar
pasal mana pun di antara sekian banyak pasal, pada hakikatnya ia telah
berkhianat. Sebab, ia telah melanggar sumpah jabatan, baik sumpah sebagai
Pegawai Negeri Sipil maupun sebagai pejabat.”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui (QS. Al Anfaal: 27).”

Dan berikut beberapa hadits yang mengungkapkan tentang perilaku


khianat:
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 166
“Rasulullah SAW bersabda, tidak (sempurna) seseorang yang tidak ada
amanah padanya; dan tidak (sempurna) agama seseorang yang tidak menepati
janji (H.R. Imam Ahmad).”
“Khianat adalah menentang kebenaran dengan cara melanggar janji dalam
ketersembunyian. Lawan dari khianat adalah amanat.”
“Khianat adalah mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam
kumpulan harta bendanya.”
“Khianat adalah jika seseorang dipercaya untuk mengolah suatu harta,
baik dengan cara meminjamkan maupun menitipkan. Kemudian ia mengambilnya
dan mengaku bahwa harta titipan itu hilang, atau ia mengelak tentang adanya
akad menitipkan atau meminjamkan.”
Sebuah atsar meriwayatkan dari Ibnu Masúd ra, berkata:
“Termasuk harta haram adalah jika kamu mengusahakan suatu kebutuhan
untuk orang lain dan kamu berhasil memenuhinya lalu dia memberimu hadiah
dan kamu menerimanya.”

Pembalikan beban pembuktian


Sebuah riwayat lain mengutarakan pentingnya bagi pejabat negara
untuk membuktikan darimana ia mendapat kekayaannya. Artinya, setiap saat ia
bisa diminta pertanggunganjawab terhadap harta benda yang ia miliki. Dalam
dunia modern saat ini, hal tersebut dikenal dengan prinsip pembuktian terbalik.
“Tanpa ada yang menentang, Umar dan Ibn Mas’ud pernah mewajibkan
hadd disebabkan bau khamr dari mulut seseorang, atau dari muntahan khamr-
nya, dengan berdasar qarinah dhahir. Para ulama dan khalifah selalu
memutuskan hukum potong tangan bila barang curian ada di tangan tersangka.
Qarinah ini dinilai lebih kuat dari pada bukti dan pengakuan tersangka. Sebab,
keduanya merupakan berita yang mungkin benar dan tidak. Sementara adanya
barang curian di tangan tersangka merupakan bukti kuat yang tidak samar lagi.”
Seperti dikutip dalam buku Jihad NU Melawan Korupsi, penetapan hukum
tersebut di atas lebih dikarenakan orang itu tak bisa membuktikan sebaliknya,
bahwa dirinya bukan peminum khamr atau pencuri barang tersebut. “Dengan
mengacu kepada dua hal itu, jika ada pejabat yang memiliki kekayaan yang tidak
wajar, negara berhak meminta pejabat itu membuktikan bahwa kekayaannya
diperoleh dengan cara benar”.
Sebuah atsar meriwayatkan dari Ibnu Masúd ra, berkata, “Termasuk harta
haram adalah jika kamu mengusahakan suatu kebutuhan untuk orang lain dan
kamu berhasil memenuhinya lalu dia memberimu hadiah dan kamu menerimanya.”

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 167


8. Solusi Melawan Korupsi
Bagaimana Islam bisa memberikan solusi terhadap permasalahan tindakan
korupsi, yang sudah mengakar ke seluruh sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara? Ada beberapa hal yang dapat dijadikan jalan keluar terhadap
permasalahan ini.

Pertama, Mengingatkan kembali bahwa kita semua akan mati dan ada
kehidupan setelah mati.
Jika kita semua meyakini ada kehidupan setelah mati, semestinya kita semua
akan berhati-hati dalam menjalankan hidup dan kehidupan di dunia ini. Semua
perbuatan baik maupun buruk, termasuk amanah berupa jabatan pasti akan
dipertanggungjawabkan di sisi-Nya. Sebab manusia adalah makluk yang
bertanggung jawab, berasal dari Allah, menjadi wakil Allah di muka bumi
(kholifah fil ‘ardli) dan akhirnya akan kembali kepada Allah. Jika semua kita ingat
dan sadar bahwa hidup di dunia ini sementara, kita akan kembali menuju hidup
yang abadi setelah mati, maka hanya satu kata, ‘hati-hati.” Sebagaimana firman
Allah SWT:
“Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrahpun, niscaya ia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa berbuat keburukan seberat zarrahlpun, niscaya ia
akan melihat (balasan)nya”. (QS Al Zalzalah:7-8)
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepadaNYa kamu menyembah.” (QS Al Baqorah:172)

Kedua, Membentengi diri, keluarga dan masyarakat dengan ketaqwaan,


agar tidak terlibat dalam suap dan korupsi.
Bertaqwa bermakna menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-
Nya, intinya adalah hati-hati. Mari berhati-hati menjaga rizqi yang diperoleh agar
halal dan berkah, karena rezeki yang haram akan menghalangi doa, sedangkan
rezeki yang halal akan memberikan keberkahan.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil.” (QS. An- Nisa : 29)
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW memperingatkan tentang sesuatu yang
haram menghalangi do’a, sebagai berikut: Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha baik dan tidak menerima kecuali yang
baik.” Dia (Allah) memerintahkan orang-orang Mukmin sama seperti yang
diperintahkan kepada para Rasul. Allah SWT berfirman: “Hai para Rasul,
makanlah makanan yang baik, dan kerjakanlah amal shalih.” (QS. Al-Mu’minun:
51)

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 168


Dia juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang
baik yang Kami berikan kepada kalian.” (QS. Al- Baqarah: 172).
“Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan
jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menengadahkan kedua tangannya ke
langit (seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya Rabb.’ Sedangkan makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan barang yang
haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim)

Ketiga, Melakukan perbaikan sistem pemerintahan (ishlahuh hukumah) &


penegakan supremasi hukum.
Agar tidak ada kesempatan dan ruang bagi para pejabat publik untuk menerima
suap maupun melakukan korupsi. Islam sudah membuktikan melakukan rekam
jejak, pengawasan-pengawasan dan penegakan hukum.
Adalah Khalifah Umar Ibn Khatthab RA yang kembali menerapkan proses
pemeriksaan harta kepada lingkungannya. Proses ini tak ubahnya Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di masa kini.
Saat itu Khalifah Umar bersikukuh melakukan penyelidikan kepada Abu
Hurairah. Beliau adalah sahabat Rasulullah SAW, seorang sahabat yang paling
banyak menghafal hadits Rasulullah dan dikenal shalih dan amanah. Akan tetapi,
ketika Khalifah Umar melihat perkembangan hartanya yang tidak normal,
Khalifah tetap melakukan pemeriksaan. Abu Hurairah diberi sanksi awal berupa
pemecatan/diberhentikan langsung, kemudian hartanya ditarik dan dimasukkan
ke kas baitul maal, setelah itu baru diselidiki ulang. Walhasil, setelah diselidiki
kembali, ternyata memang Abu Hurairah adalah orang yang saleh dan tidak
melakukan tindak kecurangan korupsi tersebut. [Al Mustadrak Ash Shahihain juz
2 no 3327]
Rasulullah SAW, sebagai Pemimpin dan teladan umat telah memberi contoh
nyata. Rasulullah SAW menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu, walau
terhadap keluarganya sendiri. Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin
Rumh] telah mengabarkan kepada kami [Al Laits] dari [Ibnu Syihab] dari
[‘Urwah] dari [‘Aisyah], bahwa orang-orang Quraisy merasa kebingungan dengan
masalah seorang wanita Makhzumiyah yang ketahuan mencuri, lalu mereka
berkata, “Siapakah yang kiranya berani membicarakan hal ini kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam?” Maka mereka mengusulkan, “Tidak ada yang berani
melakukan hal ini kecuali Usamah, seorang yang dicintai oleh Rasulullah SAW.”
Sesaat kemudian, Usamah mengadukan hal itu kepada beliau, maka Rasulullah
SAW bersabda: “Apakah kamu hendak memberi Syafa’at (keringanan) dalam
hukum dari hukum-hukum Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah,
sabdanya: “Wahai sekalian manusia, hanyasanya yang membinasakan orang-
orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mereka mencuri,
mereka membiarkannya (tidak menghukum), sementara jika orang-orang yang
rendahan dari mereka mencuri mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah,
Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 169
sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan
memotong tangannya.” Dan dalam hadits Ibnu Rumh disebutkan, “Hanyasanya
yang menyebabkan kebinasaan orang- orang sebelum kalian.”

Keempat, bagi para dai, para penyeru kebaikan, para pemegang kekuasaan
hendaklah lebih giat untuk memberi keteladan, menjadi contoh hidup orang
beriman dan berkepribadian baik/ Islami (shakhsiyah Islamiyah), terutama
sikap kesederhanaan (zuhud terhadap dunia), sehingga memberikan energi
positif dan menginspirasi terwujudnya masyarakat yang baik/Islami
(mujtama’ muslim).
Dengan izin Allah SWT, tauladan seperti ini pada akhirnya akan mengantarkan
negeri ini menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
dipenuhi keberkahan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Sebagaimana firman Allah SWT:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (QS. Al- A’raf : 96)
Sikap kesederhanaan akan memberikan energi positif berupa kesyukuran dan
menumbuhkan rasa empati yang dalam terhadap kepedulian. Sementara sikap
bermewah-mewah dan konsumtif akan mematikan hati dan kewaspadaan atas
harta yang diperolehnya halal atau haram.

Daftar Pustaka

1. Buku Pegangan anti korupsi bagi Umat Islam


2. Jurnal dari berbagai sumber yang membahas tentang konsep anti korupsi
dalam Islam.

Latihan

Buatlah karya tulis popular atau makalah yang membahas salah satu persoalan
korupsi yang bersumber dari banyaknya pemberitahuan, dianalisis
menggunakan konsepsi anti korupsi dalam Islam, dan tuliskan gagasanmu untuk
menerapkan pencegahan korupsi di Kementerian ATR/BPN.

Modul MK. Pend Agama Islam_D4 STPN | 170

Anda mungkin juga menyukai