Anda di halaman 1dari 13

HADITS STRATEGI DAN METODE DAKWAH

St. Nur Alfiana Wulandari ( F52718308 )


A. Pendahuluan

Segala persoalan bisa dilihat atau dipahami dari sudut pandang tertentu. Sudut
pandang inilah yang disebut pendekatan. Sebuah pendekatan melahirkan sebuah strategi
yaitu semua cara untuk mencapai tujuan yang di tetapkan, setiap strategi menggunakan
beberapa metode dan setiap metode membutuhkan teknik, yaitu cara yang lebih spesifik
dan lebih operasional. Selanjutnya setiap teknik membutuhkan taktik, yaitu cara yang
lebih spesifik lagi dari teknik dan masing-masing istilah tersebut harus bergerak sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan, ada ketentuan umum yang diikuti oleh semua istilah
dan ada pula ketentuan khusus yang berlaku untuk suatu istilah tertentu, ketentuan ini
dinamakan prinsip.

Di era perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir
masyarakat semakin kritis, terutama bagi golongan masyarakat terpelajar. Mereka
biasanya tidak tertarik pada ceramah-ceramah, atau pengajian-pengajian yang bersifat
umum yang cenderung klise, monoton, tidak rasional dan berulang-ulang, bersifat
indoktrinasi dan menggurui. Bahkan terkadang mereka mengkritik atau menentang
penjelasan-penjelasan tentang ajaran agama yang dalam anggapan mereka tidak rasional
atau tidak bisa dibuktikan secara rasinal atau ilmiah. Atas dasar fenomena tersebut maka
perlu adanya strategi dan metode dakwah sebelum disampaikan kepada mad’u.

Dakwah memerlukan strategi dan metode agar pesan yang dibawa tersampaikan
dengan baik. Strategi dan metode yang terkandung di dalam nash-nash dan hadits perlu
dikaji dan diterapkan di dalam aktifitas dakwah. Begitupun, secara historis da’i perlu
melihat perjuangan Rasul agar dakwah dapat diterima dengan baik. Adapun fokus
masalah dalam makalah ini adalah :

a. Bagaimana strategi dan metode dakwah itu?


b. Bagaimana penjelasan hadits terhadap strategi dan metode dakwah?

B. Pembahasan

1
1. Strategi Dakwah

Strategi berasal dari bahasa Yunani: Strategia yang berarti kepemimpinan atas
pasukan atau seni memimpin pasukan. Kata strategia bersumber dari kata strategos yang
berkembang dari dari kata stratos (tentara) dan kata agein (memimpin). Istilah strategi
dipakai dalam kontek militer sejak zaman kejayaan Yunan-Romawi sampai masa awal
industrialisasi. Kemudian istilah strategi meluas ke berbagai aspek kegiatan masyarakat,
termasuk dalam bidang komunikasi dan dakwah. Hal ini penting karena dakwah
bertujuan melakukan perubahan terencana dalam masyarakat.1

Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen


(management) untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut,
strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, melainkan
harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya.2

Strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain
untuk mencapai tujuan dakwah tertentu. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal
ini, yaitu:3
a. Strategi merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan dakwah) termasuk
penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan. Dengan
demikian, strategi merupakan proses penyusunan rencana kerja. Belum sampai pada
tindakan.
b. Strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan
penyusunan semua strategi adalah pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum
menentukan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas serta dapat diukur
keberasilannya.
Tujuan dakwah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tujuan utama (umum)
dan tujuan khusus (perantara). Tujuan utama merupakan garis pokok yang menjadi
arah semua kegiatan dakwah, yaitu perubahan sikap dan perilaku seseorang bukan
pekerjaan sederhana, oleh karena itu perlu tahap-tahap pencapaian. Tujuan pada

1
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 227
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 32
3
Moh.Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta: PT.Fajar Interpratama Mandiri, 2017), 299

2
setiap tahap itulah yang disebut tujuan perantara. Mitra dakwah yang telah memahami
pesan dakwah tidak selalu segera mengikuti pengalamannya. Dari aspek kognitif ke
psikolotorik seringkali melalui liku-liku kehidupan dan waktu yang panjang.
Dalam kegiatan komunikasi, strategi diartikan sebagai perencanaan (planning)
dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Ia tidak hanya berfungsi
sebagai peta jalanyang harus ditempuh, tetapi juga berisi taktik operasionalnya, ia
harus didukung teori karena teori merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman
yang sudah diuji kebenarannya.
Al Bayanuni mendefinisikan strategi dakwah (manahij al da’wah), sebagai
berikut:
“ketentuan-ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang telah dirumuskan
untuk ketentuan dakwah.”4
Selain membuat definisi, ia juga membagi strategi Dakwah dalam tiga bentuk
yaitu:

‫منا هج الد عوة‬


Strategi Dakwah

‫ا لمنهج ا لحسي‬ ‫ا لمنهج ا لعقلي‬ ‫ا لمنهج ا لعاطفي‬


Strategi Indriawi Strategi Rasional Strategi Sentimentil

a. Strategi Sentimental (al-manhaj al-athifi)


Strategi Sentimental adalah dakwah yang memfokuskan aspek hati dan
menggerakkan prasaan dan bathin mitra dakwah. Memberi mitra dakwah nasihat yang
mengesankan, memanggil dengan kelembutan, atau memberikan pelayanan yang
memuaskan merupakan metode yang dikembangkan dalam strategi ini.
Strategi ini sesuai untuk mitra dakwah yang terpinggirkan (marginal) dan
dianggap lemah, seperti kaum perempuan, anak-anak, orang yang masih awam, para
muallaf (imannya lemah), orang-orang miskin, anak-anak yatim dan lain sebagainya.

4
Ibid, 351

3
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, terdapat seorang Badui (suku
pedalaman Arab) bernama Dzulkhuwaishirah Al-Yamani kencing di lantai masjid yang pada
saat itu masih berupa tanah. Melihat hal tersebut, semua orang yang ada di masjid pun marah.
Ada yang mencelanya dan menghardiknya, ada pula yang mengusirnya. Melihat tindakan
tersebut, nabi menghentikan aksi para sahabat dan membiarkan orang Badui tersebut
menyelesaikan hajatnya. Di tengah-tengah kejadian tersebut, nabi kemudian memerintahkan
sahabat untuk mengambil seember air. Fungsinya adalah untuk mensucikan bekas tempat
kencing tersebut dengan cara diguyur (disiram).

‫صلَّى‬
َ ‫ي‬ ُّ ِ‫ فَقَا َل لَ ُه ُم النَّب‬،‫اس‬
ُ َّ‫ فَت َن ََاولَهُ الن‬،‫ي فَبَا َل فِي ال َم ْس ِج ِد‬ ٌّ ِ‫ام أَع َْراب‬
َ َ‫ ق‬:‫ قَا َل‬،َ ‫أ َ َّن أَبَا ُه َري َْرة‬
‫ فَإِنَّ َما‬، ٍ‫ أ َ ْو ذَنُوبًا ِم ْن َماء‬، ٍ‫س ْج ًل ِم ْن َماء‬ َ ‫عوهُ َوه َِريقُوا َعلَى بَ ْو ِل ِه‬ ُ َ‫ «د‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
. َ‫ َولَ ْم ت ُ ْبعَثُوا ُم َعس ِِرين‬، َ‫بُ ِعثْت ُ ْم ُم َيس ِِرين‬

Artinya; “Diceritakan dari Abu Hurairah bahwa pada suatu ketika terdapat seorang Arab
Badui yang berdiri, kemudian kencing di (lantai) masjid. Orang-orang pun memarahinya
(dengan ucapan ataupun perbuatan). Nabi kemudian berkata kepada mereka; “Biarkanlah
ia dan siramlah bekas air kencingnya dengan seember air atau sewadah air. Karena
sesungguhnya agama diturunkan untuk mempermudah kalian, bukan untuk mempersulit
kalian.” Dalam pandangan Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub apa yang dilakukan nabi justru
menjaga psikologis dan mental badui tersebut. Sebab apabila sahabat mengusirnya justru
akan membuatnya antipati kepada nabi dan juga ajaran Islam. ara nabi menghadapi orang
pedalaman yang memiliki budaya berbeda dengan pada umumnya. Beliau tidak
memarahinya dengan ketidaktahuan orang tersebut. Akan tetapi langsung
menyelesaikanya dengan membersihkanya.5

b. Strategi Rasional (al-manhaj al-aqli)

Strategi Rasional adalah dakwah dengan beberapa metode yang memfokuskan


pada aspek akal pikiran. Strategi ini mendorong mitra dakwah untuk berpikir,
merenungkan, dan mengambil pelajaran. Penggunaan hukum logika, diskusi, atau
penampilan contoh dan bukti sejarah merupakan beberapa metode dari strategi rasional.
Al-Qur’an mendorong penggunaan strategi rasional dengan beberapa terminologi antara

5
Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 24, hadist ke 220 dalam Bab 58 bersuci.

4
lain: tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta‟ammul, i‟tibar, tadabbur, dan istibshar. Tafakkur
adalah menggunakan pemikiran untuk mencapainya dan memikirkannya; tadzakkur
merupakan menghadirkan ilmu yang harus dipelihara setelah dilupakan; nazhar ialah
mengarahkan hati untuk berkonsentrasi pada obyek yang sedang diperhatikan; taammul
berarti mengulang-ulang pemikiran hingga menemukan kebenaran dalam hatinya; i‟tibar
bermakna perpindahan dari pengetahuan yang sedang dipikirkan menuju pengetahuan
yang lain; tadabbur adalah suatu usaha memikirkan akibat-akibat setiap masalah;
istibshar ialah mengungkap sesuatu atau menyingkapnya, serta memperlihatkannya
kepada pandangan hati.

c. Strategi Indriawi (Al-manhaj al-hissi)

Strategi ini juga dapat dinamakan dengan strategi eksperimen atau strategi ilmiah.
Ia didefinisikan sebagai sistem.

Dakwah atau kumpulan metode dakwah yang berorientasi pada pancaindra dan
berpegang teguh pada hasil penelitian dan percobaan. Di antara metode yang di himpun
oleh strategi ini adalah praktik keagamaan, keteladanan, dan pentas drama.

Dahulu, Nabi SAW mempraktekkan Islam sebagai perwujudan strategi inderawi


yang disaksikan oleh para sahabat. Para sahabat dapat menyaksikan mukjizat Nabi SAW
secara langsung, seperti terbelahnya rembulan, bahkan menyaksikan Malaikat Jibril
dalam bentuk manusia. Selain itu terdapat strategi dakwah lainnya, yaitu:

a. Strategi Tilāwah. Dengan strategi ini mitra dakwah diminta mendengarkan


penjelasan pendakwah atau mitra dakwah membaca sendiri pesan yang ditulis oleh
pendakwah. Demikian ini merupakan transfer pesan dakwah dengan lisan dan tulisan.
Penting di catat bahwa yang dimaksud ayat-ayat Allah SWT bisa mencakup yang
tertulis dalam kitab suci dan yang tidak tertulis yaitu alam semesta dengan segala isi
dan kejadian-kejadian di dalamnya. Strategi ini bergerak lebih banyak pada ranah
kognitif (pemikiran) yang transformasinya melewati indra pendengaran dan indra
penglihatan serta ditambah akal yang sehat
b. Strategi Tazkiyah (menyucikan jiwa). Jika strategi tilawah melalui indra
pendengaran dan indra penglihatan, maka strategi tazkiyah melalui aspek kejiwaan.

5
Salah satu misi dakwah adalah menyucikan jiwa manusia. Kekotoran jiwa dapat
menimbulkan berbagai masalah baik individu atau social, bahkan menimbulkan
berbagai penyakit, baik penyakit hati atau badan. Sasaran strategi ini bukan pada jiwa
yang bersih, tetapi jiwa yang kotor. Tanda jiwa yang kotor dapat dilihat dari gejala
jiwa yang tidak stabil, kemanan yang tidak istiqamah seperti akhlak tercela lainnya
seperti serakah, kikir dan sebagainya.6
c. Strategi Ta‟līm, strategi ini hampir sama dengan strategi tilāwah, yakni keduanya
mentransformasikan pesan dakwah. Akan tetapi, strategi ta’līm bersifat lebih
mendalam, dilakukan secara formal dan sistematis. Artinya, strategi ini hanya dapat
diterapkan pada mitra dakwah yang tetap, dengan kurikulum yang telah dirancang,
dilakukan secara bertahap, serta memiliki target dan tujuan tertentu. Nabi SAW
mengajarkan al-Qur’an dengan strategi ini, sehingga banyak sahabat yang hafal al-
Qur’an dan mampu memahami kandungannya. Agar mitra dakwah dapat menguasai
ilmu Fikih, ilmu Tafsir, atau ilmu Hadis, pendakwah perlu membuat tahapantahapan
pembelajaran, sumber rujukan, target dan tujuan yang ingin dicapai, dan sebagainya.
Dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Menurut Said al-Qahthani, dalam
menjalankan dakwah harus menggunakan strategi dakwah yang bijak. Sebab apabila
seorang da’i berjalan dengan cara-cara yang bijaksana dalam menjalankan
dakwahnya, maka atas izin Allah, hal tersebut sangat berpengaruh bagi kesuksesan
dakwahnya, pencapaian hikmahnya dan akan menyampaikannya pada tujuan yang
dikehendaki.7 Adapun strategi yang bijak dalam berdakwah adalah sebagaimana
berikut:
a. Memperhatikan waktu dan mengetahui tingkat kebutuhan masyarakat, sehingga
diharapkan mereka tidak merasa bosan untuk mendengarkan dakwah, di samping
mereka akan merasa bahwa nasehat dan apa yang diajarkan itu bermanfaat dan
amat berharga bagi mereka.

6
Moh.Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta: PT.Fajar Interpratama Mandiri, 2017), 304
7
Sa’id ibn Ali ibn Wahf al-Qahthani, Muqawwimāt al-Dā‟iyah al-Nājiḥ fi Dhau‟ al-Kitab wa alSunnah: Mafhūm
wa Nazhar wa Tathbīq, Terj. Aidil Novia, Menjadi Dai yang Sukses (Jakarta: Qisthi Press, 2005), 69

6
b. Meninggalkan hal-hal yang jika ditinggalkan tidak akan menimbulkan mudharat
dan dosa demi menjaga timbulnya fitnah.
c. Mengedepankan sikap pemaaf disaat harus melakukan balas dendam.
Mengutamakan berbuat baik di kala orang lain berbuat jahat, bersikap lemah
lembut di kala orang lain berusaha untuk menyakiti, mendahulukan sifat
kesabarandi waktu orang mengganggu, membalas sikap orang lain yang gegabah
dan tidak beraturan dengan sikap penuh dengan ketenagan dan kehati-hatian.
Sifat-sifat seperti itu memiliki pengaruh yang sangat besar dan dapat menarik
orang yang didakwahi untuk memeluk agama Islam dengan istiqamah, dan teguh
d. Seorang dai tidak menyebut orangnya secara langsung ketika ia ingin
memberikan pendidikan dan larangan kepadanya, jika sekiranya
menyebutkannya secara umum masih bisa.
2. Metode Dakwah
Untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan, diperlukan metode. Seperti
yang telah di jelaskan di atas, strategi menunjuk pada sebuah perencanaan untuk
mencapai suatu tujuan, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk
melaksanakan strategi. Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan da’i untuk
menyampaikan pesan dakwah atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan dakwah.8
Menurut Said al-Qahtahani, metode atau cara dalam berdakwah adalah ilmu yang
berkaitan dengan bagaimana menyampaikan dakwah secara langsung dan bagaimana
menghilangkan hal-hal yang mengganggu kelancaran dakwah.9
Seorang da’i dalam menentukan strategi dakwahnya sangat memerlukan
pengetahuan dan kecakapan di bidang metodologi.10 Dalam menyampaikan suatu pesan
dakwah, metode memiliki peranan yang sangat penting, suatu pesan walaupun baik,
tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si
penerima. Pada garis besarnya, bentuk dakwah ada tiga, yaitu: Dakwah lisan, dakwah
tulis, dan dakwah dengan tindakan. Seperti metode ceramah atau mukhadhoroh, metode

8
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 21
9
Sa’id ibn Ali ibn Wahf al-Qahthani, Muqawwimāt al-Dā‟iyah al-Nājiḥ fi Dhau‟ al-Kitab wa alSunnah: Mafhūm
wa Nazhar wa Tathbīq, 91.
10
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, 99

7
diskusi, metode konseling, metode karya tulis, dan metode pemberdayaan masyarakat.
Adapun secara garis besar menurut Qs. An-Nahl (16): 125 dibagi menjadi :
a. Bil Hikmah
Kata hikmah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia dengan ―bijaksana yang
berarti: 1) selalu menggunakan akal budinya (pengalaman pengetahuaannya), arif dan
tajam pikirannya, 2) pandai dan ingat-ingat.11 Hikmah juga diartikan suatu pendekatan
sedemikian rupa sehingga objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan
atas kemauannya sendiri, tanpa paksaan, konflik maupun rasa tertekan. Dalam bahasa
komunikasi disebut sebagai frame of reference, field of reference dan field of experience,
yaitu situasi total yang mempengaruhui sikap pihak komunikan.

Menurut Quraish Shihab hikmah berarti yang paling utama dari segala sesuatu,
baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas
dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang digunakan
atau diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar serta
menghalangi terjadinya mudarat atau kesulitan yang besar atau yang lebih besar.12

Hadits/Sunnah metode dakwah, misalnya Dakwah Nabi kepada orang yang tidak
mampu membayar kafarat puasa :

‫الرحْ َم ِن أَنَّ أَبَا ُه َر ْي َرةَ َر ِض َي‬ َّ ‫ع ْب ِد‬َ ُ‫الز ْه ِري ِ َقا َل أ َ ْخبَ َرنِي ُح َم ْي ُد ْبن‬ ُّ ‫ْب ع َْن‬ ٌ ‫شعَي‬ُ ‫ان أ َ ْخبَ َرنَا‬ ِ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ا ْليَ َم‬
ُ‫َّللاِ َهلَ ْكت‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم ِإ ْذ َجا َءهُ َر ُج ٌل فَقَا َل يَا َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ِ ‫وس ِع ْن َد النَّ ِبي‬ ٌ ُ‫ع ْنهُ قَا َل بَ ْينَ َما نَحْ نُ ُجل‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ
ً‫سلَّ َم َه ْل ت َ ِج ُد َرقَبَة‬ َ َ‫و‬ ‫ه‬ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬‫ع‬َ ‫َّللا‬
ُ َّ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫ل‬
ُ ‫و‬ ‫س‬
ُ َ ‫ر‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ َ ‫ف‬ ‫م‬
ٌ ‫ئ‬
ِ ‫ا‬ ‫ص‬َ ‫ا‬َ ‫ن‬ َ ‫أ‬‫و‬َ ‫ي‬ ‫ت‬
ِ َ ‫أ‬‫ر‬ ‫ام‬
َ ْ ‫ى‬ َ ‫ل‬‫ع‬َ ُ‫ْت‬ ‫ع‬ َ ‫ق‬ ‫و‬ َ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ َ‫ك‬َ ‫ل‬ ‫ا‬‫م‬َ ‫قَا‬‫ل‬
َ
‫س ِكينًا‬ ْ ‫ستِينَ ِم‬ ِ ‫شه َْري ِْن ُمتَت َا ِبعَي ِْن قَا َل ََل فَقَا َل فَ َه ْل ت َ ِج ُد ِإ ْط َعا َم‬ َ ‫صو َم‬ ُ َ ‫ست َ ِطي ُع أ َ ْن ت‬ْ َ ‫ت ُ ْعتِقُ َها قَا َل ََل قَا َل فَ َه ْل ت‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫علَى ذَ ِلكَ أُتِ َي النَّ ِب ُّي‬ َ ُ‫سلَّ َم فَ َب ْينَا نَحْ ن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َث النَّ ِب ُّي‬ َ ‫قَا َل ََل قَا َل فَ َمك‬
‫علَى أ َ ْفقَ َر‬ َ َ ‫الر ُج ُل أ‬
َّ ‫ص َّدقْ ِب ِه فَقَا َل‬ َ َ ‫سائِ ُل فَقَا َل أَنَا قَا َل ُخ ْذ َها فَت‬ َّ ‫ق ا ْل ِم ْكت َ ُل قَا َل أ َ ْينَ ال‬ ُ ‫ق فِي َها ت َ ْم ٌر َوا ْل َع َر‬ ٍ ‫ِب َع َر‬
‫صلَّى‬ َ ‫ت أ َ ْفقَ ُر ِم ْن أ َ ْه ِل َب ْي ِتي فَض َِحكَ النَّ ِب ُّي‬ ٍ ‫َّللاِ َما بَ ْينَ ََل َبت َ ْي َها يُ ِري ُد ا ْل َح َّرت َ ْي ِن أ َ ْه ُل َب ْي‬ َّ ‫َّللاِ فَ َو‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ِمنِي َيا َر‬
)‫سلَّ َم َحتَّى َبدَتْ أ َ ْنيَابُهُ ث ُ َّم قَا َل أ َ ْط ِع ْمهُ أ َ ْهلَكَ (رواه البخاري‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ

"…suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan
bertanya kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku. Jawab Rasul : kenapa engkau ini.

11
Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah: Respon Da‟i Terhadap Dinamika Kehidupan di Kaki Ciremai
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 9.
12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 7 (Jakarta:Lentera Hati,
2002), 384

8
Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian
Rasulullah bertanya balik: apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak? Jawab:
tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah dua bulan berturut-turut. Jawab: aku tidak mampu.
Rasulullah: berilah makan enampuluh orang miskin. Jawab: aku juga tidak mampu.
Kemudian Rasulullah terdiam. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah diberi sekantong
berisi kurma. Kemudian Rasulullah bertanya: mana tadi orang yang bertanya. Jawab:
saya ya Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada
orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di sini yang
lebih fakir dari keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga terlihat gusinya
seraya berkata "…ambillah dan berilah makan keluargamu…" HR. Bukhari13
Takhrij Hadist :
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shaum fasal ketika berjima' di
bulan Ramadlan dari sahabat Abu Hurairah seperti dikabarkan oleh 'Umaid Ibn 'Abd al
Rahman seperti dikabarkan oleh Syu'aib dari Zuhri seperti diceritakan oleh Abu al
Yaman. Hadist ini juga ditemukan dalam Musnad Ahmad dengan redaksi yang berbeda
seperti yang diceritakan 'Aisyah kepada 'Abdullah Ibn Zubair, seperti diceritakannya
kepada Ibn Ishaq. Orang ini (Ibn Ishaq) menceritakan hadist tersebut kepada Ya'qub yang
kemudian sampai kepada Imam Ahmad Ibn Hanbal. Pengarang kitab Subul al Salam
dalam kitabnya meriwayatkan hadist ini dengan mentakhrijnya sebagai hadits sahih yang
diriwayatkan oleh tujuh orang (sab'ah). Adapun redaksi yang digunakannya adalah
redaksi riwayat Muslim.14
b. Bil Mauidzah Al-Hasanah
Kata al-mau‟iẓah terambil dari kata wa‟aẓa yang berrati nasehat. Mauiẓah adalah
uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Mauiẓah hendaknya
disampaikan dengan hasanah (baik).15Kalau dalam bahasa Indonesia almau‟izhah sering
diartikan pelajaran yang baik. Bisa juga diartikan memberi nasihat, member peringatan
kepada seseorang yang bisa membawa taubat kepada Allah Swt.16

Hadits/Sunnah Nabi Tentang Metode Dakwah Mau'izah Hasanah :

13
Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 7, h. 24, hadist ke 1800 dalam Bab Puasa
14
Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh Bulugh al Maram Min Jam'-I Adillat al
Ahkam, (Kairo: Dar al Hadist, 2004), Juz 2
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, 385.
16
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir Lithaba’ah wa al-Nasyar, 1995), 346.

9
َ ‫الزنَا فَأ َ ْقبَ َل ا ْلقَ ْو ُم‬
‫علَ ْي ِه‬ ِ ِ‫َّللاِ ائْذَ ْن ِلي ب‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَا َل يَا َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِ َّي‬
ُ‫َّللا‬َّ ‫َّللاِ َجعَلَنِي‬ َّ ‫س قَا َل أَت ُ ِحبُّهُ ِِل ُ ِمكَ قَا َل ََل َو‬ َ َ‫فَ َز َج ُروهُ قَالُوا َم ْه َم ْه فَقَا َل ا ْدنُ ْه فَ َدنَا ِم ْنهُ قَ ِريبًا قَا َل فَ َجل‬
َ‫َّللاُ فِدَا َءك‬َّ ‫َّللاِ َجعَلَنِي‬
َّ ‫سو َل‬ َّ ‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِِل ُ َّم َهاتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ َِل ْبنَتِكَ قَا َل ََل َو‬
ُ ‫َّللاِ يَا َر‬ ُ َّ‫فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬
‫اس‬ ُ َّ‫َّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬ َّ ‫َّللاِ َجعَلَنِي‬ َّ ‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِلبَنَاتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِِل ُ ْختِكَ قَا َل ََل َو‬ ُ َّ‫قَا َل َو ََل الن‬
‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِلعَ َّماتِ ِه ْم‬ ُ َّ‫َّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬
َّ ‫َّللاِ َجعَلَنِي‬ َّ ‫يُ ِحبُّونَهُ ِِل َ َخ َواتِ ِه ْم قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِلعَ َّمتِكَ قَا َل ََل َو‬
ُ‫ض َع يَ َده‬ َ ‫اس يُ ِحبُّونَهُ ِل َخ َاَلتِ ِه ْم قَا َل فَ َو‬ ُ َّ‫َّللاُ فِدَا َءكَ قَا َل َو ََل الن‬ َّ ‫َّللاِ َجعَلَنِي‬ َّ ‫قَا َل أَفَت ُ ِحبُّهُ ِل َخالَتِكَ قَا َل ََل َو‬
ٍ‫علَ ْي ِه َوقَا َل اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ذَ ْنبَهُ َو َط ِه ْر قَ ْلبَهُ َو َح ِص ْن فَ ْر َجهُ فَلَ ْم يَك ُْن بَ ْع ُد ذَ ِلكَ ا ْلفَتَى يَ ْلتَفِتُ إِلَى ش َْيء‬َ
"…sesungguhnya seorang perjaka belia pernah mendatangi Rasulullah SAW kemudian
ia berkata " wahai Rasulullah izinkan aku untuk melakukan zina ". kemudian para
sahabat berdiri hendak memberi pelajaran seraya berkata "…enyah engkau..!!!".
Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membiarkannya dan mendekatkan duduk di
sampingnya. Kemudian Rasulullah berkata "..apakah engkau rela jika ibumu berzina?",
dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika ibunya berzina.
Bagaimana jika anakmu yang berzina?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul "
begitupun orang tidak rela jika anaknya yang berzina. Bagaimana jika pelakunya saudara
perempuanmu?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan
rela jika saudara perempuan mereka berzina. Bagaimana jika pelakunya bibimu?"
dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika bibinya
berzina". Kemudian Rasulullah meletakan tangannya di bahunya seraya berdoa " ya
Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya. Setelah kejadian
itu pemuda tersebut tidak lagi melakukan zina." HR. Ahmad.
Takhrij Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad Ibn Hanbal melalui jalur Abu umamah
yang meneruskannya kepada Sulaim Ibn 'Amr. Orang yang disebut terakhir ini kemudian
menceritakan riwayat ini kepada Hariz Ibn 'Utsman, kemudian diceritakan lagi kepada
Yazid Ibn Harun hingga sampai kepada perawi (Ahmad Ibn Hanbal). Dalam Musnadnya,
Ibn Hanbal meletakan hadits ini pada bagian hadits-hadits Abu Umamah. Hadits ini juga
ditemukan dalam kitab Mu'jam Kabir karya monumental al Thabrany dengan sedikit
perbedaan redaksi. Pada riwayat ini, kata bi al zina diganti dengan fi al zina, kemudian
kata faaqbala al qoum diganti dengan fashaa ha al nas. Dalam riwayat ini juga
ditambahkan kata aqirruhu idna sebagai ganti kata fadana minhu qariban. Jalur yang
digunakan al Thabrany dalam meriwayatkan hadits ini sama dengan Ahmad, hanya
saja setelah Harits Ibn 'Utsman, jalur periwayatan berbelok kepada Abu al Yaman
Hakam Ibn Nafi' dan Abu Yazid al Huty. Kedua orang tersebut kemudian meneruskan
hadits ke Abu al Mughirah yang kemudian menceritakannya kepada Ahmad Ibn 'Abdul
Wahhab al Huthy.

10
Seperti al Thabrani, al Bayhaqy juga meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi
berbeda. Dalam riwayat bayhaqy ini, kata i'zan li (izinkanlah aku) diganti dengan
kata hal tuazzinu li (apakah engkau mengizinkan aku), sedangkan redaksi lainnya
kelihatan mirip dengan periwayatan al Thabrany.17 Dari segi jalurnya, hadits riwayat al
Bayhaqy juga bersumber dari Abu Umamah dengan sanad persis seperti hadits imam
Ahmad, namun sanad yang terdapat dalam al Bayhaqy kelihatannya lebih panjang karena
setelah nama Yazid Ibn Harun masih ada beberapa nama-nama yang disebut sebagai
sanadnya seperti Muhammad Ibn 'Abd al Malik al Daqiqy, Muhammad Ibn Muhammad
al Ats'ats, Abu Ahmad Ibn al 'Ady al Hafidz serta Abu Sa'id al Maliny.18
c. Al Mujadalah
Kata mujadalah dari kata jādala pada dasarnya berarti membantah atau berbantah-
bantahan.19 Menurut Quraish Shihab, kata jidāl bermakna diskusi atau bukti-bukti yang
mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan,
baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya mitra bicara. perintah
ber-jidāl ini disifati dengan kata ahsan yang terbaik, bukan sekedar yang baik.
Dari segi istilah (terminology) terdapat beberapa pengertian mujadalah (al-hiwar).
Al-Mujadalah (al-hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak
secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantara
keduanya.20
Hadits/Sunnah Tentang Metode Dakwah Mujadalah Hasanah :
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫صلى َّللا‬ َ ِ‫سو ُل َّللا‬ ُ ‫ َو َر‬، ‫ْش‬ ٍ ‫س فِي نَادِي قُ َري‬ ٌ ‫ قَا َل يَ ْو ًما َو ُه َو َجا ِل‬، ‫سيدًا‬ َ َ‫ َوكَان‬، َ‫عتْبَةَ ْبنَ َر ِبيعَة‬ ُ ‫أَن‬
‫ورا‬ً ‫علَ ْي ِه أ ُ ُم‬ َ ‫ض‬ َ ‫ أ َ ََل أَقُو ُم إلَى ُم َحم ٍد فَأُكَل َمهُ َوأَع ِْر‬، ‫ْش‬ ٍ ‫س ِج ِد َوحْ َد ُه يَا َم ْعش ََر قُ َري‬
ْ ‫س فِي ا ْل َم‬ ٌ ‫سل َم َجا ِل‬ َ ‫َو‬
ِ‫سو ِل َّللا‬ ُ ‫اب َر‬ َ ‫ص َح‬ ْ َ ‫سلَ َم َح ْم َزةُ َو َرأ َ ْوا أ‬ ْ َ ‫ض َها فَنُ ْع ِطي ِه أَي َها شَا َء َويَكُف عَنا ؟ َوذَ ِلكَ ِحينَ أ‬ َ ‫لَ َعلهُ يَ ْقبَ ُل بَ ْع‬
‫عتْبَةُ َحتى‬ ُ ‫ بَلَى يَا أَبَا ا ْل َو ِلي ِد قُ ْم إلَ ْي ِه فَكَل ْمهُ فَقَا َم إلَ ْي ِه‬: ‫سل َم يَ ِزي ُدونَ َويَ ْكث ُ ُرونَ فَقَالُوا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ‫صلى َّللا‬ َ
‫ع ِل ْمتَ ِم ْن الس َط ِة فِي‬ َ ‫ْث قَ ْد‬ ُ ‫ إنك ِمنا َحي‬، ‫سل َم فَقَا َل َيا ا ْبنَ أ َ ِخي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلى َّللا‬ َ ‫سو ِل َّللا‬ ُ ‫س إلَى َر‬ َ َ‫َجل‬
‫سفهْت ِب ِه أَحْ ََل َم ُه ْم‬ َ ‫عت َ ُه ْم َو‬ َ ‫يم فَر ْقت بِ ِه َج َما‬ ٍ ‫ب َو ِإنك قَ ْد أَتَيْت قَ ْو َمك ِبأ َ ْم ِر ع َِظ‬ ِ ‫س‬َ ‫َان ِفي الن‬ ِ ‫ِير ِة َوا ْل َمك‬
َ ‫ا ْل َعش‬
‫ظ ُر ِفي َها‬ ُ ‫ورا ت َ ْن‬ً ‫علَيْك أ ُ ُم‬ َ ‫ض‬ ْ ‫س َم ْع ِمني أَع ِْر‬ ْ ‫َو ِعبْت بِ ِه آ ِل َهت َ ُه ْم َودِينَ ُه ْم َوكَف ْرت بِ ِه َم ْن َمضَى ِم ْن آ َبا ِئ ِه ْم فَا‬
‫س َم ْع قَا َل َيا‬ ْ َ ‫سل َم قُ ْل َيا أ َ َبا ا ْل َو ِلي ِد أ‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلى َّللا‬ َ ِ‫سو ُل َّللا‬ ُ ‫ قَا َل فَقَا َل لَهُ َر‬. ‫ض َها‬ َ ‫لَ َعلك ت َ ْق َب ُل ِم ْن َها َب ْع‬
‫إن ُك ْنت إن َما ت ُ ِري ُد ِب َما ِجئْتَ ِب ِه ِم ْن َهذَا ْاِل َ ْم ِر َم ًاَل َج َم ْعنَا لَك ِم ْن أ َ ْم َوا ِلنَا َحتى ت َكُونَ أ َ ْكث َ َرنَا‬ ْ ، ‫ا ْبنَ أ َ ِخي‬

18
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta:PT. Grafindo Persada, 2012), 254
19
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir Lithaba’ah wa al-Nasyar, 1995), jilid 108
20
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta:PT. Grafindo Persada, 2012), 254

11
‫ َوإِ ْن ُك ْنت ت ُ ِري ُد بِ ِه ُم ْلكًا‬، ‫ َحتى ََل نَ ْق َط َع أ َ ْم ًرا دُونَك‬، ‫علَ ْينَا‬ َ ‫سو ْدنَاك‬ َ ‫ َوإِ ْن ُك ْنتَ ت ُ ِري ُد بِ ِه ش ََرفًا‬، ‫َم ًاَل‬
، ‫ َطلَ ْبنَا لَك الطب‬، ‫ست َ ِطي ُع َردهُ ع َْن نَ ْفسِك‬ ْ َ ‫علَ ْينَا ؛ َوإِ ْن كَانَ َهذَا الذِي يَأْتِيك ِرئْيًا ت َ َراهُ ََل ت‬ َ ‫َمل ْكنَاك‬
ُ‫عتْبَة‬ ُ ‫غ‬ َ ‫ َحتى إذَا فَ َر‬. ُ‫َاوى ِم ْنهُ أ َ ْو َك َما قَا َل لَه‬ َ ‫علَى الر ُج ِل َحتى يُد‬ َ ‫ب التابِ ُع‬ َ ‫غ َل‬َ ] 294 ‫َوبَذَ ْلنَا فِي ِه [ ص‬
‫س َم ْع ِمني ؛‬ ْ ‫ست َ ِم ُع ِم ْنهُ قَا َل أَقَ ْد فَ َر ْغتَ يَا أَبَا ا ْل َو ِلي ِد ؟ قَا َل نَعَ ْم َقا َل فَا‬ ْ َ‫سل َم ي‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلى َّللا‬ َ ‫سو ُل َّللا‬ ُ ‫َو َر‬
ُ
‫اب فصلتْ آيَاتُهُ ق ْرآنًا ع ََربِيا‬ َ ُ ٌ َ ‫يم ِكت‬ِ ‫يم { حم تَن ِزي ٌل ِمنَ الرحْ َم ِن الر ِح‬ْ ِ ‫س ِم َّللاِ الرحْ َم ِن الر ِح‬ َ َ ْ َ
ْ ِ‫قَا َل أفعَ ُل فقا َل ب‬
‫س َمعُونَ َوقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أ َ ِكن ٍة ِمما ت َ ْدعُونَا إِلَ ْي ِه‬ ْ َ‫ض أ َ ْكث َ ُر ُه ْم فَ ُه ْم ََل ي‬ َ ‫ِيرا فَأَع َْر‬ ً ‫ِيرا َونَذ‬ ً ‫ِلقَ ْو ٍم يَ ْعلَ ُمونَ بَش‬
، ‫عتْبَةُ أ َ ْنصَتَ لَ َها‬ ُ ُ‫س ِمعَ َها ِم ْنه‬ َ ‫ فَلَما‬. ‫علَ ْي ِه‬ َ ‫سل َم فِي َها يَ ْق َر ُؤ َها‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلى َّللا‬ َ ‫سو ُل َّللا‬ ُ ‫} ثُم َمضَى َر‬
‫سل َم إلَى‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلى َّللا‬ َ ‫سو ُل َّللا‬ ُ ‫س َم ُع ِم ْنهُ ثُم ا ْنت َ َهى َر‬ ْ َ‫علَي ِْه َما ي‬ َ ‫ف َظه ِْر ِه ُم ْعت َ ِمدًا‬ َ ‫َوأ َ ْلقَى يَ َد ْي ِه َخ ْل‬
‫علَى‬ َ ُ‫عتْبَة‬ ُ ‫َار ِب ِه‬ َ ‫س ِم ْعتَ فَأ َ ْنت َوذَاكَ [ َما أَش‬ َ ‫س ِم ْعتَ يَا أَبَا ا ْل َو ِلي ِد َما‬ َ ‫س َج َد ثُم قَا َل قَ ْد‬ َ َ‫ ف‬، ‫السجْ َد ِة ِم ْن َها‬
] ‫ص َحا ِب ِه‬ ْ َ‫أ‬
‫ب‬ َ ‫ف ِباَّللِ لَقَ ْد َجا َء ُك ْم أَبُو ا ْل َو ِلي ِد ِبغَي ِْر ا ْل َوجْ ِه الذِي ذَ َه‬ ُ ‫ض نَحْ ِل‬ ِ ‫ض ُه ْم ِلبَ ْع‬ ُ ‫ص َحا ِب ِه فَقَا َل بَ ْع‬ ْ َ ‫عتْبَةُ إلَى أ‬ ُ ‫فَقَا َم‬
‫س ِم ْعت‬ َ ‫س ِمعْتُ قَ ْو ًَل َو ََّللاِ َما‬ َ ‫ َما َو َرا َءك يَا أَبَا ا ْل َو ِلي ِد ؟ قَا َل َو َرائِي أَني قَ ْد‬: ‫س إلَي ِْه ْم قَالُوا‬ َ َ‫ فَلَما َجل‬. ‫ِب ِه‬
، ‫ أ َ ِطيعُونِي َواجْ عَلُو َها ِبي‬، ‫ْش‬ ٍ ‫ َو ََّللاِ َما ُه َو ِبالش ْع ِر َو ََل ِبالسحْ ِر َو ََل ِبا ْل ِك َهانَ ِة يَا َم ْعش ََر قُ َري‬، ‫ِمثْلَهُ قَط‬
‫س ِمعْتُ ِم ْنهُ نَبَأ ٌ ع َِظي ٌم فَ ِإ ْن‬ َ ‫َو َخلوا بَ ْينَ َهذَا الر ُج ِل َوبَ ْينَ َما ُه َو فِي ِه فَا ْعت َ ِزلُوهُ فَ َو ََّللاِ لَيَكُونَن ِلقَ ْو ِل ِه الذِي‬
‫سعَ َد‬ ْ َ ‫ب فَ ُم ْل ُكهُ ُم ْل ُك ُك ْم َو ِعزهُ ِعز ُك ْم َو ُك ْنت ُ ْم أ‬ ِ ‫علَى ا ْلعَ َر‬ َ ‫ب فَقَ ْد ُك ِفيت ُ ُموهُ ِبغَي ِْر ُك ْم َوإِ ْن يَ ْظ َه ْر‬ ُ ‫ت ُ ِص ْبهُ ا ْلعَ َر‬
‫صنَعُوا َما بَدَا لَ ُك ْم‬ َ ْ َ
ْ ‫سانِ ِه قا َل َهذا َرأ ِيي فِي ِه فا‬ َ َ
َ ‫س َح َرك َو ََّللاِ يَا أبَا ا ْل َو ِلي ِد ِب ِل‬ َ : ‫اس ِب ِه قَالُوا‬ ِ ‫الن‬

“Utbah Ibn Rabi'ah adalah seorang bangsawan terkemuka, ketika dalam suatu pertemuan
ia mencoba membujuk Quraish dengan mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan
Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau
menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja yang dikehendakinya asal ia dapat
dibungkam. Hal demikian itu terjadi ketika Hamzah masuk Islam dan pengikut
Muhammad makin banyak. Quraish berkata " hai Abu Walid, pergilah dan bicaralah
dengannya. Kemudian 'Utbah mendatangi Rasullah dan berkata kepadanya "…wahai
keponakanku, seperti anda ketahui, dari segi keturunan anda mempunyai tempat di
kalangan kami. Anda sekarang telah membawa soal besar ketengah-tengah masyarakat
hingga tercerai berai. Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah,
mungkin sebagiannya berkenan kau terima". Rasulullah menjawab " hai Abu Walid, aku
siap mendengarkan". Utbah melanjutkan " kalau dalam hal ini kau menginginkan harta,
kami siap mengumpulkan harta kami sehingga hartamu kan menjadi yang terbanyak di
antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua
dan kami tidak akan memutuskan perkara tanpa persetujuanmu. Jika engkau
menginginkan menjadi raja, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau
dihinggapi penyakit saraf yang tak dapat kau tolak sendiri, akan kami usahakan
pengobatannya sampai sembuh dan kami yang akan menanggung biayanya". Setelah
'Utbah selesai dari bicaranya, Rasulullah berkata " apakah engkau sudah menyelesaikan
ucapanmu?" dijawab " ya, sudah" kata Rasul " dengarkan sekarang aku mau bicara"
kemudian Rasulullah membaca surah al Sajadah. Seusai dialog itu 'Utbah keluar dengan
air muka yang berbeda ketika ia masuk ke tempat Rasulullah. Ia berkata kepada kaumnya
" wahai Quraish aku mendengar suatu ucapan yang belum pernah aku dengar
sebelumnya. Itu bukan sihir dan mantra. Saranku biarkanlah lelaki itu dengan urusannya
sendiri.”

Takhrij Hadits :
12
Hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu'tabarah (Bukhari, Muslim, Sunan
al Arba'ah, dan Musnad Ahmad). Ibn Hisyam dalam sirahnya meriwayatkan hadits ini
dari jalur Ibn Ishaq yang mendengarnya dari Yazid Ibn Ziyad dari Muhammad Ibn Ka'b
al Qurazhy. Dalam jalur riwayat ini, orang yang tersebut terakhir tidak menyebutkan dari
siapa ia mendengar riwayat ini. Orang tersebut merupakan orang dari golongan tabi'in
dan oleh karena itu menurut ketentuan 'ulum al hadits, derajatnya adalah hadits maqtu'.
Ibn Katsir dalam Sirah Nabawiyahnya juga mengutip hadits tersebut, katanya hadits
tersebut diriwayatkan oleh 'Abd Ibn Humaid dalam Mushafnya. Mengenai jalur
periwayatnnya, Ibn Humaid mendapatkan hadits tersebut dari Abu Bakar Ibn Abi
Syaybah seperti diceritakan oleh 'Ali Ibn Mashur dari 'Abdullah al Kindi dari Ziyal Ibn
Harmilah al Asdy dari Jabir Ibn 'Abdillah. Orang yang tersebut terakhir ini adalah
golongan sahabat, oleh karena itu haditsnya adalah mauquf.21
C. Kesimpulan
Segala persoalan bias dilihat dan dipahami dari berbagai sudut pandang tertentu.
Sudut pandang disebut dengan pendekatan, suatu pendekatan melahirkan sebuah strategi,
yaitu semua cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Setiap strategi
menggunakan beberapa metode. Maka strategi dan metode dakwah tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Strategi dakwah terdiri dari strategi sentimentil, strategi
rasional, dan strategi indriawi. Strategi ini sudah digunakan sejak zaman Rasulullah
SAW. Begitu juga dengan metode dakwah bil hikmah, bi mauidzatil hasanah, dan bil
mujadalah juga diterapkan Rasulullah SAW dalam berdakwah menyeru agama islam.
D. Saran
Strategi dan metode dakwah sangat beragam, disarankan bagi para da’i untuk
memilih penggunaannya sesuai dengan mitra dakwah dan latar belakang mitra dakwah,
agar pesan yang disampaikan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

21
Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir, (Mauqi' al Ya'sub), Juz 1, h. 501.

13

Anda mungkin juga menyukai