Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum

atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya.

Dalam kata lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu

perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.

Sebagaimana yang sudah disebutkan, bahwa untuk menetapkan hukum itu

perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan

sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah itupun ditemukan

adanya lafazh yang berbeda-beda.

Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa

faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan

tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam

memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis, melalui lafazh

Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz

tersebut – juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh – yaitu,

Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki

rumusan tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan

hukum, seperti telah diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah.

Lafaz Menurut Metode Hanafiyah, Pakar Usul Hanafiyah sepakat

bahwa lafaz ada yang dapat dipahami langsung secara tekstual dan ada yang

1
tidak. Yang dapat dipahami langsung, ada yang mengandung mana ‘ibarah

an-nass dan ada yang ‘ibarah an-nass

Lafaz Menurut Metode Mutakallimin, Secara umum, pakar Usul

Mutakallimin membagi lafaz kepada mantuq dan mafhum. Untuk penjelasan

tentang mantuq dan mafhum akan diuraikan pada bab pembahasan.

Penunjukan lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi

manthuq ( bunyi tersurat ) perkataan yang diucapkan itu ,baik secara tegas

maupun berdasarkan kemungkinan makna lain, dengan suatu kadar tertentu

maupun tidak. Adakalanya pula berdasarkan pada mafhum , arti tersirat atau

apa yang dipahami , baik hukumnya sesuai dengan hukum mantuq atau

bertentangan. Dan inilah yang dinamakan dengan manthuq dan mafhum.

Selain mantuq dan mafhum ada pula zahir dan muawwal yaitu dalil yang

sudah langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (zhahir) dan ada pula yang

mesti adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut itulah yang disebut

dengan muawwal (takwil).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Mantuq serta pembagiannya ?

2. Apa yang dimaksud Mafhum serta pembagiannya ?

3. Bagaimana kehujjahan Mantuq dan Mafhum ?

4. Apa yang dimaksud dengan Zahir ?

5. Apa yang dimaksud dengan Muawwal ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MANTUQ

Mantuq adalah lafaz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang

diucapkan. Dengan kata lain bahwa mantuq itu ialah makna yang tersurat

(terbaca). Contohnya, “diharamkan bagi kamu bangkai”. Mantuq dari ayat ini

ialah bangkai itu hukumnya haram.

Kalangan ulama Syafi’iyah[i], dilâlah lafal nash dibagi kepada dua

macam, yaitu dilâlat al-mantûq (‫ )الـمـنطوق داللـة‬dan dilâlat al-mafhûm (‫داللـة‬

‫)الـمـفـهـوم‬. Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal

nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang

diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu

ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash

secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:

“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam

asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah

menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada

dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi

kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.

3
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah

penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal

nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di

istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.

Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan

terbagi menjadi 3 macam:

a. Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh

suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum

langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa. Misalnya, hadits yang

riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa

yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu

menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)

Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya

seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas

menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah

untuknya.

b. Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu

redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau

konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.

4
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu

bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-

tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”

c. Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat

(dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus

kecuali dengan adanya penyisipan itu.

Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:

“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya

Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu

Majah)

Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan

keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah

jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan

maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm

(hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa

atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.

B. PENGERTIAN MAFHUM

Mafhum adalah lafaz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang

terdapat dibalik dari arti mantuqnya. Dengan kata lain mafhum itu disebut dengan

makna tersirat.

5
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas

suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.

Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:

“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan

janganlah kamu membentak keduanya”.

Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan

kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami

adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut,

yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.

Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan

mafhum mukhalafah.

1. Mafhum Muwafaqah

Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang

tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang

tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam

maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai

dengan hukum yang tertulis.

Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:

a. Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya

daripada yang diucapkan.

6
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:

“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”

Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

b. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan

yang diucapkan.

Seperti firman Allah swt.:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya

sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.

Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama

hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).

2. Mafhum mukhalafah

Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam

istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang

dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam

firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:

“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka

bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”

Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum

adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.

7
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :

a. Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi

oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.

Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan

keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:

“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”

Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang

digembalakan.

Mafhum sifat ada 3 macam:

1) Mustaq dalam ayat.

Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq

membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya

yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib

ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang

adil wajib diterima.

8
2) Hal (keterangan keadaan)

Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,

ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan

sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang

dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara

kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar

kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang

dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari

perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang

kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa

lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”

Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya

karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar

denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.

3) ‘Adad (bilangan)

Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang

menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh

rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji

dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.

9
Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah

kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”

Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.

b. Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya.

Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.

c. Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang

menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal

ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman

Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:

“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu

sampai kepada siku”.

Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.

d. Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum

kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah

selain para ibu.

e. Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami

meminta pertolongan.”

10
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan

tidak dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa

hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.

f. Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum

yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya.

Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:

“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka

berikanlah kepada mererka nafkahnya.”

Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil,

tidak wajib diberi nafkah.

C. KEHUJJAHAN MANTUQ DAN MAFHUM

Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas.

Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua

mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan

karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan

adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya

hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan

hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman

Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”

Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan

pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas

bertentangan dengan nash yang ada.

11
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang

paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil,

argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:

a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum.

Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang

artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam

pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat

dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh

dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri kitu berada dalam

pemeliharaan suami.

b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti

firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa

menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun

baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”

Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya.

Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu

sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk

menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk

pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan

dalilnya.

D. PENGERTIAN ZAHIR

Al-Bazdawi memberikan defenisi zhahir sebagai berikut :

12
Artinya : “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi

pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”

Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi :

Artinya : “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri

tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”

Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan

zhahir itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar

bisa langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung

kepada petunjuk lain.

Atas dasar defenisi-defenisi tersebut, Muhammad Adib Shaleh

menyimpulkan bahwa zhahir iru adalah :

Artinya : “Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh

itu sendiri tanpa menunggu adanya qorinah yang ada diluar lafazh itu sendiri,

namun mempunyai kemungkinan ditakhsish, di ta’wil dan di nasakh.”

Adapun contoh yang dapat dikemukakan disini adalah firman Allah SWT

yang artinya : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ayat tersebut petunjuknya sudah jelas bahwa mengenai halalnya jual beli

dan haramnya riba. Petunjuk itu diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan

qarinah lain. Kedudukan lafazh zhahir wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh

itu sendir, sepanjang tidak ada dalil yang men-takhsish-nya, men-takwil-nya atau

mennasakh-nya.

13
E. PENGERTIAN MUAWWAL(TAKWIL)

Secara etimologi, takwil ditrujuk dari kata : ‫ ُيؤ َِّو َُل – أ َ َّو ََل‬yang berarti At-

Tafsir, Al-Maarja’, Al-Mashir. Demukian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-

Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib

Shalih, 1984 : 356).

Disamping itu, takwil juga bermakna Al-Jaza’, seperti firman Allah SWT :

Artinya : “..... yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akubatnya.”

Dengan demikian, takwil mempunyai makna At-Tafir (penjelas, uraian)

atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang

kembali padanya)

Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam

mendefenisikan takwil. Para ulama salaf mendefenisikan takwil antara lain

sebagai berikut

1. Imam Ghazali dalam kitab Al-Musthashfa (Al-Ghazali, 1973: 128)

Artinya : “Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan

makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan

menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.”

2. Imam Al-Mudi dalam kitab Al-Mushtashfa :

Artinya : “Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas)

kepada makna lain yang didukung dalil.”

14
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan defenisi

yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh, yaitu :

1. Menurut Wahab Khalaf :

Artinya : “Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil.”

2. Menurut Abu Zarhah :

Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada

makna lain , tetapi bukan zhahirnya.”

Dengan demikian pengertian takwil menurut bahasa lebih umum daripada

pengertian khas, amm, atau muthlak, karena lafazh-lafazh tersebut menunjukkan

arti yang dimaksud dan dianggap dalil qoth’i.

Penyebab adanya penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya

dianggap kuat diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti yang

hakiki, sehingga dalil hasil takwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain,

mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.

15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Mantuq adalah lafaz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang

diucapkan. Dengan kata lain bahwa mantuq itu ialah makna yang tersurat

(terbaca).

2. Mafhum adalah lafaz yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang

terdapat dibalik dari arti mantuqnya. Dengan kata lain mafhum itu disebut

dengan makna tersirat.

3. Sahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu

pendengar bisa langsung mengerti apa maksud nya tanpa perlu berpikir

dan tidak bergantung kepada petunjuk lain. Apabila tidak terdapat alasan

yang kuat untuk mendorong pentakwilan sesuatu lafaz, maka lafaz

zhahirnyalah yang dipakai sebagai dalil yang wajib kita ikuti.

4. Muawwal adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada

makna lain , tetapi bukan zhahirnya. Adapun kajian takwil kebanyakan

adalah firu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-Syaukani. Selain itu hal-hal

yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga. Itu semua kajian

takwil secara global dan terbatas bila belum ada panafsiran dari syari’at

secara menyeluruh.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan

pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.

Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007

17

Anda mungkin juga menyukai