Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

MANTHUQ, MAFHUM, DZAHIR, DAN MUA’AWWAL


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu: Fazlurrahman Fauzi, M.Pd.

Disusun oleh:
KELOMPOK 3
Muhammad Hairil Anwar (2011101218)
Abdul Husen (2011101182)
Fani Ovando (2011101222)
Dea Oktafiana (2011101131)
Elsa Sabrina (2011101092)
Nur Fatimah (2011101013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW karena beliaulah yang telah menyampaikan petunjuk Allah
kepada kita semua.

Adapun makalah ini kami susun sebagai wujud tanggung jawab dan
kewajiban kami sebagai mahasiswa/i guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh. Kami mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT, dan Bapak
Fazlurrahman Fauzi, M.Pd. Selaku dosen pada mata kuliah Ushul Fiqh ini yang
telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalam makalah ini,


oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah ini dapat
bermanfaat dalam menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Amin amin ya rabbal ‘alamin.

Muara Jawa, 22 April 2021

Tim Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil
hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode
penggaliannya. Dalam kata lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan
hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaimana yang sudah disebutkan bahwa untuk menetapkan hukum itu
perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan
sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan sunnah itupun
ditemukan adanya lafadz yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah
langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (Dzahir) ada juga yang mesti
adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut (Mu’awwal) agar tidak
ada terjadi kesalahan dalam memaknai dali-dalil yang shahih dan ada pula
yang lafadznya tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat,
melainkan berdasarkan pemahaman yang bersifat tersirat (Mafhum).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud manthuq dan mafhum?
2. Apa yang dimaksud dengan dzahir dan mua’awwal?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manthuq dan mafhum
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dzahir dan mu’awwal
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian manthuq dan Mafhum


1. Pengertian manthuq
Kata manthuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh
lafal ketika diucapkan. Secara istilah adalah penunjukkan lafal terhadap
hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal). Kalangan
ulama syafi’iyah, dilalah lafal nash dibagi menjadi dua macam, yaitu
dilalat al-mantuq dan dilalat al-mafhum. Yang dimaksud dilalat al-mantuq
ialah penunjukkan lafal nash atas suati ketepatan hukum (pengertian)
sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.
Berdasarkan pengertian ini diketahui bahwa apabila suatu hukum
dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut
pemahaman mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks
firman Allah swt pada surah Al- Isra’ ayat 23 yang berbunyi:
‫َفاَل َتُقْل َّلُهَم ٓا ُاٍّف َّو اَل َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقْل َّلُهَم ا َقْو اًل َك ِرْيًم ا‬
“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian
mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri yang nyata, janganlah kamu
mengatakan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu.
Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan
menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung
kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq
dan tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan
ditunjukkan dalam ayat ini. Berdasarkan definisi ini dapat kita pahami
bahwa dilalat al mantuq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami
dari penuuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat
dilihat pada QS. Annisa 23
‫اّٰل ِتۡى ِفۡى ُحُج ۡو ِرُك ۡم ِّم ۡن ِّنَس ٓإِٮُك ُم اّٰل ِتۡى َد َخ ۡل ُتۡم‬
“... diharamkan bagi kamu menikahi anak-anak tiri yang berada dalam
asuahan kamu dari istri-istri yang telah kamu gauli …”
Berdasarkan ayat ini, dapat dipahami bahwa mantuqnya ialah
menunjukkan secara jelas bahwa haram manikahi anak-anak tiri yang
berada dalam asuahan suami dari istri-istri yang sudah digauli. Dilalat al
mantuq dibagi menjadi dua macam, yaitu mantuq sarih dan mantuq ghairu
sharih.
Mantuq sharih, secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.
Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah makna yang secara
tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik
secara penuh atau berupa bagiannya. Menurut Wahbah Zuhaili, yang
dimaksud dengan mantuq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas
secara langsung tercakup dalam ungakapan lafal nash. Manthuq syarih
dalam istilah ulama syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan
dilalah ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah. Mantuq ghiru sharih,
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan
terbagi menjadi 3 macam:
a. Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan
langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena
memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau
peristiwa. Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari
Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
‫َع ْن َج اِبِر ْبِن َع ْبِد ِهَّللا َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِم ْن َأْح َي َأْر ًضا َم ِّيَتًة َفِهَي َلُه )رواه‬
‫)الترمذى‬
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda:
Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah
mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi) Hadits
tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti
yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa
aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi
pemilikan tanah untuknya.
b. Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu
redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu
kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi
itu. Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
‫َو َو َّصْيَنا اإلْنَس اَن ِبَو اِلَد ْيِه َح َم َلْتُه ُأُّم ُه َو ْهًنا َع َلى َو ْهٍن َو ِفَص اُلُه ِفي َعاَم ْيِن‬
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
c. Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat
(dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami
secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Contohnya sebuah
hadits Rasulullah menjelaskan:
‫َع ْن َأِبي َذ ٍّر اْلِغ َفاِر ٍّي َقاَل َقاَل َر ُسْو ُل ِهّللا َص َّلى ُهّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَّن َهّللا َتَج اَو َز َع ْن ُأَّمِتي‬
‫اْلَخ َطَأ َو الِّنْس َياَن َو َم ا اْسَتْك ِر ُهَو ا َع َلْيِه )رواه ابن ماجه‬
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan
keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah) Hadits tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari
umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus,
karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya
perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm
(hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari
umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena
keterpaksaan.
Contoh penggunaan dilalah mantuq sharih terdapat pada firman Allah
surah Al Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
‫َو َاَح َّل ُهّٰللا اۡل َبۡي َع َو َح َّر َم الِّر ٰب و‬
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih
tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba. Menurut Wahbah Zuhaili
yang dimaksud dengan mantuq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang
jelas langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam
istilah ulama syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah
ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah. Pada dasarnya manthuq ada
yang berupa nash, zahir, dan mu’awwal
a. Nash
Nash adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna
yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.
Seperti firman Allah swt dalam surah Al Baqarah 196
‫َم ْن َّلْم َيِج ْد َفِصَياُم َثٰل َثِة َاَّياٍم ِفى اْلَح ِّج َو َس ْبَعٍة ِاَذ ا َر َج ْع ُتْم ۗ ِتْلَك َع َش َر ٌة َك اِم َلٌة‬
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang
sempurna.”
Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan
kemungkinan “sepuluh” ini lain secara majaz (kiasan). Inilah yang
dimaksud dengan nash.
b. Dzahir
Dzahir ialah lafadz yang maknanya segara dipahami ketika diucapkan
tetapi masih ada kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).
Contohnya terdapat dalam QS Al Baqarah 222
‫َو اَل َتۡق َر ُبۡو ُهَّن َح ّٰت ى َيۡط ُهۡر‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci…”
Berhenti haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut
“tuhr”. Namun penunjukkan kata tuhr kepada makna kedua (mandi)
lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat),
sedangkan penunjukkan kepada makna yang pertama (berhenti haid)
adalah marjuh (lemah)
c. Muawwal
Muawwal adalah lafadz yang diartikan dengan makna marjuh karena
ada suatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih
rajih. Mua’awwal berbeda dengan zahir, zahir diartikan dengan makna
yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkan kepada yang
marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena
ada dalil yang memalingkannya dari kata rajih. Akan tetapi, masing-
masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafadz menurut bunyi
ucapan yang tersurat.
2. Pengertian Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada
pemahaman yang tersirat.
Pembagian mafhum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu
Pertama, mafhum muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu
ucaapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli ushul fiqh mafhum
muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk
memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam
meniadakan atau menetapkan. Mafhum muwafaqah dapat dibagi kepada
dua bagian yaitu:
a. Fahwal kitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
hukumnya, firman Allah yang terdapat pada QS Al Isra’ ayat 23 yang
berbunyi “jangan kamu mengucapkan kepada kedua orang tuamu
dengan ucapan “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya.
Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang tuamu.
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi
memukulnya. Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa haramnya
mengatakan “ah”, oleh karena itu, keharaman mencaci maki dan
memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
b. Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan, seperti firman Allah ta’ala dalam surah An-
Nisa ayat 10
‫ِاَّن اَّلِذ ۡي َن َيۡا ُك ُلۡو َن َاۡم َو اَل اۡل َيٰت ٰم ى ُظۡل ًم ا ِاَّنَم ا َيۡا ُك ُلۡو َن ِفۡى ُبُطۡو ِنِه ۡم َناًرا‬
“Sesungguhnua orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Membakar atauu setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim
sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti
dilarang (haram).

Kedua, mafhum mukhalafah yaitu pengertian yang dipahami


berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan)
maupun nafi (meniadakan). Oleh sebab itu yang diucapkan. Oleh
karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi
lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah ta’ala pada QS
Al Jumuah ayat 9

‫ِاَذ ا ُنۡو ِدَى ِللَّص ٰل وِة ِم ۡن َّيۡو ِم اۡل ُج ُمَعِة َفاۡس َع ۡو ا ِاٰل ى ِذ ۡك ِر ِهّٰللا َو َذ ُروا اۡل َبۡي َع‬
“apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari
Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkanlah
jual beli.
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jial beli di hari Jum’at
sebelum adzan su mu’adzin dan sesudah mengerjakan shalat
Jum’at. Dalil khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah terbagi kedalam enam macam, yaitu:
Pertama, mafhum shifat: yaitu yang menghubungkan hukum
sesuatu kepada sah satu sifatnya. Seperti firman Allah ta’ala dalam
surat An Nisa ayat 92
‫َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًأ َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة‬
“Barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah
(hendaknya) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman”.
1) Mafhum al washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk
yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu
kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat terdapat tiga
bagian, yaitu musthaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘addad
(bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah SAW. Pada
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat. Mafhum
mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.
Mafhum sifat ada tiga macam, yaitu:
a. Mustaq dalam ayat, contohnya dalam QS Al Hujarat ayat 6
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاْن َج ۤا َء ُك ْم َفاِس ٌۢق ِبَنَبٍا َفَتَبَّيُنْٓو ا َاْن ُتِص ْيُبْو ا َقْو ًم ۢا ِبَجَهاَلٍة َفُتْص ِبُحْو ا َع ٰل ى‬
‫َم ا َفَع ْلُتْم ٰن ِدِم ْيَن‬
“wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang
meyebabkan kamu kesal atas perbuatanmu itu”
Dapat dipahami dari ungakapan kata “fasiq” ialah orang yang
tidak wajib diteliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang
disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
b. Mafhum hal (keterangan keadaan), seperti firman Allah ta’ala
QS Al Maidah ayat 95
‫ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنۡو ا اَل َتۡق ُتُلوا الَّص ۡي َد َو َاۡن ـُتۡم ُحُر ٌم‌ؕ َو َم ۡن َقَتَلٗه ِم ۡن ُك ۡم ُّم َتَعِّم ًدا َفَج َز ٓاٌء ِّم ۡث ُل َم ا‬
‫َقَتَل ِم َن الَّنَع ِم َيۡح ُك ُم ِبٖه َذ َو ا َع ۡد ٍل ِّم ۡن ُك ۡم َهۡد ًيۢا ٰب ِلَغ اۡل ـَك ۡع َبِة َاۡو َك َّفاَر ٌة َطَع اُم َم ٰس ِكۡي َن َاۡو َع ۡد ُل‬
‫ٰذ ِلَك ِصَياًم ا ِّلَيُذ ۡو َق َو َباَل َاۡم ِر ٖه‌ؕ َع َفا ُهّٰللا َع َّم ا َس َلَف‌ؕ َو َم ۡن َعاَد َفَيۡن َتِقُم ُهّٰللا ِم ۡن ُه‌ؕ َو ُهّٰللا‬
‫َع ِز ۡي ٌز ُذ و اْنِتَقاٍم‬
“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di
antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil
diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke ka’bah
atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan
orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari
perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan
barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah
akan menyiksanya.
Mafhum Al Laqab, yakni pemahaman dengan julukan adalah
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim faail.
Seperti firman Allah ta’ala yakni “Dilarang atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu”.
Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu, yaitu
meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu
lafal terhadap orang laindan menetapkan hukum itu berlaku
untuk nama atau sebutan tertentu. Misalnyya, firman Allah
dalam surah Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
‫ِاۡذ َقاَل ُيۡو ُس ُف َاِلِبۡي ِه ٰۤي َاَبِت ِاِّنۡى َر َاۡي ُت َاَح َد َع َش َر َكۡو َك ًب ا َّوالَّش ۡم َس َو اۡل َقَم َر َر َاۡي ُتُهۡم ِلۡى‬
‫ٰس ِج ِد ۡي َن‬
“ingatlah, ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku,
sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari
dan bulan kulihat semuanya sujud padaku”.
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa ucapan
tersebut dapat dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait
dengan nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang
lain.
Mafhum syarat, adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah
adanya hukum yang duhubungkan denga syarat supaya dapat
berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat At Thalaq
ayat 6
‫…َو ِاۡن ُك َّن ُاواَل ِت َح ۡم ٍل َفَاۡن ِفُقوا َع َلۡي ِهَّن‬
“Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya”.
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak
sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah
ta’ala
‫ِاَّياَك َنْعُبُد َو ِاَّياَك َنْسَتِع ْيُن‬
“Hanya engakaulah yang kami sembah, dan hanya engkaulah
yang kami minta pertolongan”. (QS Al Fatihah 5)
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah SWT tidak
disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat
tersebut menunjukkan bahwa hanya dialah yang berhak
disembah dan dimintai pertolongan.
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang
jelas. Begiti juga dengan dengan mafhum muwafaqah. Para
ualam’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan
sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan
karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk
penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi
atau megkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh
karena itu, dalam hal iji tidak dapat diberlalukukan hukum
sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya.
Seperti firman Allah ta’ala Muhammad adalah utusan Allah.
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan
memberikan pengertian bahwa selain nabi muhammad utusan
Allah. Ini jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut
pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh
dijadikan hujjah (dalil,argumentasi) dengan beberapa syarat
antara lain:
a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan”
yang umum. Misalnya “yang ada dalam
pemeliharaanmu”… dan anak-anak perempuan dan istri-
istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu…”, ini tidak ada
mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami
bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya
boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak
perempuan istri itu berada dalam pemeliharaan suami.
b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu
realita. Seperti firman Allah QS Al Mu’minun 117, yang
artinya “dan barang siapa menyembah tuhan yang lain
disampaing Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya
tentang itu, maka sesungguhnya orang-orang yang kafir itu
tiada beruntung”. Dalam kenyataanya tuhan manapun
selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal
tidak ada satu dalilpun baginya itu” adalah suatu sifat yang
pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita-realita
dan untuk menghinakan orang yang menyembah disamping
Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan-
tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
1.) Syarat-syarat mafhum mukhlafah

Syarat-syarat mafhum mukhalafah, adalah seperti yang


dikemukakan oleh A. Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqh,
sebagai berikut. Untuk sahnya mafhum mukhalafah
diperlukan empat syarat, yaitu:

Pertama, mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan


dalil yang kuat, baik dalil mantuq mapun mafhum
muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq
dalam QS Al Isra’ 31
‫َو اَل َتۡق ُتُلۤۡو ا َاۡو اَل َد ُك ۡم َخ ۡش َيَة ِاۡم اَل ٍق‬
“jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan”.
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh,
tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil
mantuq yaitu: QS Al Isra’ 33
‫َو اَل َتۡق ُتُلوا الَّنۡف َس اَّلِتۡى َح َّر َم ُهّٰللا ِااَّل ِباۡل َح ـِّق‬
“jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah
kecuali dengan kebenaran”.
Yang dimaksud (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya
terjadi. Contoh dalam firman Allah ta’ala dalam surat An-
Nisa ayat 23
‫ّٰل‬
‫َو َرَبۤا ِٕىُبُك ُم ا ِتْي ِفْي ُحُجْو ِر ُك ْم ِّم ْن ِّنَس ۤا ِٕىُك ُم‬
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu”.
Berdasarkan perkataan “yang ada dalam pemeliharaamu”
tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam
pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan,
sebab memang biasanya anak tiri dipelihari ayah tiri karena
mengikuti ibunya. Yang disebutkan (manthuq) bukan
dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan seperti
yang ada dalam hadist Rasul SAW. Yang artinya “Orang
islam ialah orang yang tidak menganggu orang-orang islam
lainnya, baik dengan tangan maupun dengan lisanya (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dengan perkataan “orang-orang islam (muslimin)” tidak
dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan islam boleh
diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan,
alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara
orang-orang islam sendiri. Yang disebutkan (manthuq)
harus berdiri sendiri tidak mengikuti kepada yang lain.
Contohnya firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat
187.
‫َو اَل ُتَباِش ُر ۡو ُهَّن َو َاۡن ـُتۡم ٰع ِكُفۡو َن ِفى اۡل َم ٰس ِج ِؕد‬
“janganlah kamu mencapuri mereka (istri-istrimu) padahal
kamu sedang beritikaf di masjid. Tidak dapat diapahamkan,
kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh dicampuri.
2.) Berhujjah dengan mafhum
Menjadikan mafhum sebagai dasar hukum pada
dasarnya dibedakan sebagai berikut:
a. Para ulama sepakat membolehkan berhujjah pada
mafhum muwafaqah. Jummur ulama’ berpendapat
bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah
diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
b. Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan.
Menurut pendapat paling shahih, mafhum-mafhum
tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi)
dengan beberapa syarat, antara lain:
Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka
“kebiasaan” yang umum. Maka kata-kata “yang ada
dalam pemeliharaanmu” dalam surat Annisa ayat 23
c. Ulama’ Hanafiyah, Ibnu Hazm, dan golongan Zahiriyah
berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak
dapat dijadikan hujjah/alasan.

3.) Pendapat para ulama

Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum


mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash
syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu
bukan suatu metode untuk penepatan hukum. Alasannya
karena sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila
diambil mafhum mukhalafah akan rusak pengertiannya,
antara lain seperti ayat yang mengatakan bahwa zalim
diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja,
sedangkan diluar itu haram. Padahal berbuat zalim itu
diharamkan pada setiap saat.

Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara’ dalam banyak


hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk
targhib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan sifat
anak tiri, adalah anak tiri yang ada dalam peliharaan.
Apabila diambil mafhum mukhalafahnya, hal itu berarti
mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan halal.
Padahal syara’ tetap mengharamkan. Seandainya mafhum
mukhalafahnya itu dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash
yang telah meyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash
yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat
tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti ittu banyak
ditemukan.

Menurut Jumhur Ushuliyyin, mafhum mukhalafah dapat


dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya anatar lain:
berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin
dicantumkan tanpa tujuan dan sebab.

B. Pengertian dzahir dan mu’awwal (Takwil)


Dhahir secara bahasa : Yang terang (‫ )حضاوال‬dan yang jelas (‫)يال‬.
Dalam pengertian istilah, dhahir adalah lafadh yang memiliki
kemungkinan dua makna, salah satunya lebih jelas dari makna yang lain.
Atau dalam ungkapan lain dhahir adalah lafadh yang menunjukkan atas
makna dengan dilalah dhanni, yakni dimenangkan makna tersebut dan
mengalahkan dalam makna yang lain. Sehingga maknanya lafadh tersebut
segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada kemungkinan makna
lain yang lemah (marjuh). Dilalah dhanni adalah penunjukan makna
dengan dugaan kuat, yang mencakup dilalah lughawiyah, ‘urfiyah, dan
dilalah syar’iyyah.
Misalnya sabda Nabi, SAW.,
‫توضا من لحوم االبل‬
“Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!”
Maka sesungguhnya yang Dzahir dari yang dimaksud dengan wudhu
adalah
membasuh anggota badan yang empat dengan sifat yang syar’i bukan
wudhu yang berarti membersihkan diri. Jika pemahaman suatu lafadh
dengan makna dhahirnya menimbulkan kejanggalan, maka lafadh yang
semula makna dhahir tersebut harus dita’wil dengan menggunakan dalil.
Selanjutnya digunakan/ diarahkan kepada makna marjuhnya ( makna yang
tidak diuggulkan). Dengan demikian lafadh yang semula dhahir menjaadi
mu’awwal (yang ditakwil). Muawwal juga disebut dhahir bid dalil. Contoh
firman Allah: ‫ َو الَّس َم آَء َبَنْيٰن َه ا ِبَأْي۟ي ٍد‬artinya: dan langit kami bangun dengan
“Kekuasaan “. Lafadh aydi adalah jama’ dari lafadh yadi artinya tangan.
Sedangkn mengarahkan pada makna tangan sebagaimana tubuh manusia
adalah mustahil bagi Allah. Karena Allah berifat mukholafatu lil hawadits/
berbeda dengan mahluk. Sebagaiman kita fahami dari akal. Maka kita
alihkan maknanya menjadi “kekuasaan”. Dari uraian ini dapat disimpuan
bahwa muawwal adalah lafadh yang menunjukkan atas makna dengan
menunjukkan makna yang marjuh ( diungguli). Sedangkan ta’wiladalah
mengarahkan makna yang dhahir kepada makna yang marjuh. Dengan
kata lain mu’awwal diartikan dengan kata marjuh yakni karena ada suatu
dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih.
Mu’awwal berbeda dengan dzahir, dzahir diartikan dengan makna yang
rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh.
Sedangkan mu’awwal ii diartokan dengan kata marjuh karena ada dalil
yang memalinhgkannya dari rajih tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Yang dimaksud manthuq adalah penunjukkan lafal terhadap
hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal). Dilalat al-
mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketepatan hukum
(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung
oleh lafal. Berdasarkan pengertian ini diketahui bahwa apabila suatu
hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut
pemahaman mantuq. Dan dilalat al mantuq dibagi menjadi dua macam,
yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih.
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada
pemahaman yang tersirat. Dan mafhum ini terbagi menjadi dua bagian
yakni, mafhum mukhalafah dan mafhum muwafaqah.
Dzahir adalah dhahir adalah lafadh yang memiliki kemungkinan
dua makna, salah satunya lebih jelas dari makna yang lain.
Mu’awwal (Takwil) adalah lafadz yang diartikan dengan makna
marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna
yang lebih rajih.
B. Saran
Sebagai seorang muslim yang berpedoman pada Al- Qur’an dan
As-Sunnah, maka perlu bagi kita untuk mengetahui dalam pengambilan
suatu dalil (lafadz) ada dalil yang dapat dipahami secara langsung karena
lafadznya sudah jelas. Dan ada pula dalil yang memiliki lafadz atau makna
yang memiliki artian lain. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam isi makalah
ini.

Anda mungkin juga menyukai