Disusun oleh:
KELOMPOK 3
Muhammad Hairil Anwar (2011101218)
Abdul Husen (2011101182)
Fani Ovando (2011101222)
Dea Oktafiana (2011101131)
Elsa Sabrina (2011101092)
Nur Fatimah (2011101013)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW karena beliaulah yang telah menyampaikan petunjuk Allah
kepada kita semua.
Adapun makalah ini kami susun sebagai wujud tanggung jawab dan
kewajiban kami sebagai mahasiswa/i guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh. Kami mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT, dan Bapak
Fazlurrahman Fauzi, M.Pd. Selaku dosen pada mata kuliah Ushul Fiqh ini yang
telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini.
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil
hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode
penggaliannya. Dalam kata lain ushul fiqh digunakan untuk menetapkan
hukum dari suatu perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaimana yang sudah disebutkan bahwa untuk menetapkan hukum itu
perlu adanya dalil-dalil yang shahih dan bersumber dari Al-Qur’an dan
sunnah. Diantara dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan sunnah itupun
ditemukan adanya lafadz yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah
langsung dipahami tanpa butuh penjelasan (Dzahir) ada juga yang mesti
adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut (Mu’awwal) agar tidak
ada terjadi kesalahan dalam memaknai dali-dalil yang shahih dan ada pula
yang lafadznya tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat,
melainkan berdasarkan pemahaman yang bersifat tersirat (Mafhum).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud manthuq dan mafhum?
2. Apa yang dimaksud dengan dzahir dan mua’awwal?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manthuq dan mafhum
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan dzahir dan mu’awwal
BAB II
PEMBAHASAN
ِاَذ ا ُنۡو ِدَى ِللَّص ٰل وِة ِم ۡن َّيۡو ِم اۡل ُج ُمَعِة َفاۡس َع ۡو ا ِاٰل ى ِذ ۡك ِر ِهّٰللا َو َذ ُروا اۡل َبۡي َع
“apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari
Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkanlah
jual beli.
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jial beli di hari Jum’at
sebelum adzan su mu’adzin dan sesudah mengerjakan shalat
Jum’at. Dalil khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah terbagi kedalam enam macam, yaitu:
Pertama, mafhum shifat: yaitu yang menghubungkan hukum
sesuatu kepada sah satu sifatnya. Seperti firman Allah ta’ala dalam
surat An Nisa ayat 92
َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًأ َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة
“Barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah
(hendaknya) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman”.
1) Mafhum al washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk
yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu
kepada syah satu sifatnya. Dalam mafhum sifat terdapat tiga
bagian, yaitu musthaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘addad
(bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah SAW. Pada
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat. Mafhum
mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.
Mafhum sifat ada tiga macam, yaitu:
a. Mustaq dalam ayat, contohnya dalam QS Al Hujarat ayat 6
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاْن َج ۤا َء ُك ْم َفاِس ٌۢق ِبَنَبٍا َفَتَبَّيُنْٓو ا َاْن ُتِص ْيُبْو ا َقْو ًم ۢا ِبَجَهاَلٍة َفُتْص ِبُحْو ا َع ٰل ى
َم ا َفَع ْلُتْم ٰن ِدِم ْيَن
“wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang
meyebabkan kamu kesal atas perbuatanmu itu”
Dapat dipahami dari ungakapan kata “fasiq” ialah orang yang
tidak wajib diteliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang
disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
b. Mafhum hal (keterangan keadaan), seperti firman Allah ta’ala
QS Al Maidah ayat 95
ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنۡو ا اَل َتۡق ُتُلوا الَّص ۡي َد َو َاۡن ـُتۡم ُحُر ٌمؕ َو َم ۡن َقَتَلٗه ِم ۡن ُك ۡم ُّم َتَعِّم ًدا َفَج َز ٓاٌء ِّم ۡث ُل َم ا
َقَتَل ِم َن الَّنَع ِم َيۡح ُك ُم ِبٖه َذ َو ا َع ۡد ٍل ِّم ۡن ُك ۡم َهۡد ًيۢا ٰب ِلَغ اۡل ـَك ۡع َبِة َاۡو َك َّفاَر ٌة َطَع اُم َم ٰس ِكۡي َن َاۡو َع ۡد ُل
ٰذ ِلَك ِصَياًم ا ِّلَيُذ ۡو َق َو َباَل َاۡم ِر ٖهؕ َع َفا ُهّٰللا َع َّم ا َس َلَفؕ َو َم ۡن َعاَد َفَيۡن َتِقُم ُهّٰللا ِم ۡن ُهؕ َو ُهّٰللا
َع ِز ۡي ٌز ُذ و اْنِتَقاٍم
“wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di
antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil
diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke ka’bah
atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan
orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari
perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan
barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah
akan menyiksanya.
Mafhum Al Laqab, yakni pemahaman dengan julukan adalah
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim faail.
Seperti firman Allah ta’ala yakni “Dilarang atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu”.
Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu, yaitu
meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu
lafal terhadap orang laindan menetapkan hukum itu berlaku
untuk nama atau sebutan tertentu. Misalnyya, firman Allah
dalam surah Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
ِاۡذ َقاَل ُيۡو ُس ُف َاِلِبۡي ِه ٰۤي َاَبِت ِاِّنۡى َر َاۡي ُت َاَح َد َع َش َر َكۡو َك ًب ا َّوالَّش ۡم َس َو اۡل َقَم َر َر َاۡي ُتُهۡم ِلۡى
ٰس ِج ِد ۡي َن
“ingatlah, ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku,
sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari
dan bulan kulihat semuanya sujud padaku”.
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa ucapan
tersebut dapat dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait
dengan nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang
lain.
Mafhum syarat, adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah
adanya hukum yang duhubungkan denga syarat supaya dapat
berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat At Thalaq
ayat 6
…َو ِاۡن ُك َّن ُاواَل ِت َح ۡم ٍل َفَاۡن ِفُقوا َع َلۡي ِهَّن
“Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya”.
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak
sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah
ta’ala
ِاَّياَك َنْعُبُد َو ِاَّياَك َنْسَتِع ْيُن
“Hanya engakaulah yang kami sembah, dan hanya engkaulah
yang kami minta pertolongan”. (QS Al Fatihah 5)
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah SWT tidak
disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat
tersebut menunjukkan bahwa hanya dialah yang berhak
disembah dan dimintai pertolongan.
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang
jelas. Begiti juga dengan dengan mafhum muwafaqah. Para
ualam’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan
sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan
karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk
penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi
atau megkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh
karena itu, dalam hal iji tidak dapat diberlalukukan hukum
sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya.
Seperti firman Allah ta’ala Muhammad adalah utusan Allah.
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan
memberikan pengertian bahwa selain nabi muhammad utusan
Allah. Ini jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut
pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh
dijadikan hujjah (dalil,argumentasi) dengan beberapa syarat
antara lain:
a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan”
yang umum. Misalnya “yang ada dalam
pemeliharaanmu”… dan anak-anak perempuan dan istri-
istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu…”, ini tidak ada
mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami
bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya
boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak
perempuan istri itu berada dalam pemeliharaan suami.
b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu
realita. Seperti firman Allah QS Al Mu’minun 117, yang
artinya “dan barang siapa menyembah tuhan yang lain
disampaing Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya
tentang itu, maka sesungguhnya orang-orang yang kafir itu
tiada beruntung”. Dalam kenyataanya tuhan manapun
selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal
tidak ada satu dalilpun baginya itu” adalah suatu sifat yang
pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita-realita
dan untuk menghinakan orang yang menyembah disamping
Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan-
tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
1.) Syarat-syarat mafhum mukhlafah
A. Kesimpulan
Yang dimaksud manthuq adalah penunjukkan lafal terhadap
hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal). Dilalat al-
mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketepatan hukum
(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung
oleh lafal. Berdasarkan pengertian ini diketahui bahwa apabila suatu
hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut
pemahaman mantuq. Dan dilalat al mantuq dibagi menjadi dua macam,
yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih.
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak
berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada
pemahaman yang tersirat. Dan mafhum ini terbagi menjadi dua bagian
yakni, mafhum mukhalafah dan mafhum muwafaqah.
Dzahir adalah dhahir adalah lafadh yang memiliki kemungkinan
dua makna, salah satunya lebih jelas dari makna yang lain.
Mu’awwal (Takwil) adalah lafadz yang diartikan dengan makna
marjuh karena ada suatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna
yang lebih rajih.
B. Saran
Sebagai seorang muslim yang berpedoman pada Al- Qur’an dan
As-Sunnah, maka perlu bagi kita untuk mengetahui dalam pengambilan
suatu dalil (lafadz) ada dalil yang dapat dipahami secara langsung karena
lafadznya sudah jelas. Dan ada pula dalil yang memiliki lafadz atau makna
yang memiliki artian lain. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam isi makalah
ini.