Anda di halaman 1dari 14

MUJMAL DAN MUBAYYAN DZAHIR DAN MU’AWWAL

MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Edi Jatmiko S.E

Disusun oleh :

SHOFIYANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

DARUSSALAM LAMPUNG

TP : 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Mujmal dan Mubayyan dhahir dan Muawwal.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Mujmal dan Mubayyan
dhahir dan Muawwal ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.

Way Jepara,12 September 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.................................................................................1
B.  Rumusan Masalah............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengrtian Fiqih Muamalah...............................................................4
B. Ruang lingkup Fiqih Muamalah.......................................................4
C. Hubungan Fiqih Muamalah dengan Fiqih lainnya...........................4
D. Prinsip Prinsip dasar Fiqih Muamalah dalam Islam........................4
E. Perubahan Sosial terhadap Fiqih Muamalah...................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................9
B. Saran.................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................10

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur`an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWTke


pada nabi Muhammad SAW dengan tujuan menjadi pedoman bagi yang
umat islam. Selain itu, Al-Qur`an juga merupakan sumber hukum dan
mu`jizat Nabi Muhammad SAW. Al-Qur`an berisi tentang berbagai
informasi keilmuan dan hukum-hukum dunia serta saling menjaga
segala bentuk
kemaslahatan manusia. Selain itu keasliannya isi juga tidak dapat
diragukan lagi. Semua yang tertulis di dalam Al-Qur`an mengandung
kebenaran dan tidak ada kebohongan sedikit pun.

Bahasa yang digunakan dalam penulisan Al-Qur`an merupakan


bahasa Arab akan tetapi maknanya memiliki keunggulan yang begitu indah
hingga ahli-ahli bahasa di dunia juga terkalahkan oleh kesusteraan yang
sangat tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk
memahami isi kandungan di dalam Al-Qur`an. Diantara dalil-dalil atau
kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang mencangkup
pertanyaan maupun jawaban tersendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Mujmal
Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang dikeragui. Secara istilah,
para ahli ushul fiqh mendefenisikan mujmal dalam berbagai macam.[1]
Imam Sarakhasi mendefenisikan Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat
dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafal mujmal
itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafal tersebut.
Wahbah Al-Zulaili mendefenisikan Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami
maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim(orang yang mengucapkan).
Jalaluddin Abd al-Rahman mendefenisikan Mujmal adalah kata yang
dilalahnya tidak jelas.
Dari beberapa defenisi mujmal di atas dapat dipahami bahwa mujmal
merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang
menyampaikan lafal tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan erasal dari
luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri. Untuk memahami  lafal mujmal itu sangat
tergantung pada penjelasan mutakallim atau syari’ yang menyampaikan lafal tersebut.
1.    Sebab suatu lafal disebut mujmal
 Lafal-lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator
(qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya.
Misalnya lafal quru’ dalam firman Allah surah al-baqarah ayat 228:[2]
‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫و ْال ُمطَلَّق‬  
َ
Artinya : wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.
            Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I berpendapat
ahwa lafal quru’ berarti suci sedangkan imam abu hanifa berpendapat bahwa quru’
berarti haid.
  suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil,  seperti kata (
‫)الهلوع‬ pada firman allah surah al-maarij ayat 19-20.
.‫إِ َذا َم َّسهُ ال َّشرُّ َج ُزوعًا َوإِ َذا َم َّسهُ ْال َخ ْي ُر َمنُوعًا‬  ‫ق هَلُوعًا‬ َ ِ‫إِ َّن اإْل ِ ْن َسانَ ُخل‬ ۞
Artinya: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila
ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat
kikir.
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (‫ )الهلوع‬yang tidak dapat dipahami karena
termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[3]
      Pemalingan atau pemindahan dari makna lughâwî (etimologi) ke
makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari
makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui
aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.

2. Hukum Mujmal

Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan


maksud tersebut maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan
dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan jelas maka lafal
hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal
shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya
kesamaran maka berpindah ke hukum musykil. Dalam hal ini, mujthahid berupaya
kuat untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut dengan
tidak bergantung pada penjelasan baru dari syari’misalnya lafal riba pada firman allah
surah al-baqarah ayat 275:[4]
‫وأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬ 
َ
Artinya: Allah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba.
                        Menurut abu hanifah, lafal riba di ayat ini mujmal karena riba secara
bahasa erarti tambahan . sebagaimana yang kita ketahui tidak semua tambahan
termaksuk riba. Jual beli yang di syariatkan islam bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dan penambahan. Namun yang dilarang dalam islam adalah tambahan
dalam bentuk transaksi tanpa ada pengganti yang diisyaratkan ketika transaksi
berlansung. Atau tidak didukung oleh penjelasan syari’. Dalam hal ini nabi hanya
menjelaskan enam jenis barang yang termaksuk riba, yaitu emas, perak, gandum,
jelai, korma, dan garam( HR. bukhari). Untuk itu oleh para ulama oleh melakukan
berijtihad  menentukan riba dengan cara meng qiyaskan.
B.   Pengertian Mubayyan
Secara etimologi, kata mubayyan seakar dengan kata bayan yang berati jelas
atau terang. Kata bayan dapat pula berati menjelaskan makna dan menjelaskan
sesuatu yang tertutup maknanya. Istilah mubayyan adalah lawan dari lawan
mujmal.secara istilah para ahli ushul fiqh mendefenisikan mubayyan sebagai berikut.
Mubayyan adalah suatu lafal yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan
maknanya
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya, seperti
lafadz;‫(سماء‬langit), ‫(أرض‬bumi) ‫(جبل‬gunung), ‫(عدل‬adil), ‫(ظلــم‬dholim),  ‫(صدق‬jujur).
Dalam hubungannya dengan mubayyan, maka dapat dipahami tiga hal, yaitu;
a.       Mubayyan (yang dijelaskan)
b.      Mubayyin (yang menjelaskan) dan
c.       Bayan (penjelasan).
Bentuk mubayyan
Dilihat dari segi kejelasan maknanya bayan terbagi menjadi dua bentuk yaitu:[5]
1.      Al-wadih bi nafsihi, yaitu lafal yang jelas maknanya sejak awal penggunaannya
sehingga tidak membutuhkan penjelasan lain. Kejelasan ini diketahui melelui
pendekatan bahasa, seperti firman Allah surat al-baqarah:282
‫َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِيم‬
Artinya: dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Makna yang terkandung dalam ayat ini dapat dipahami dengen mudah dengan
melihat penggunaan bahasa.
Selain itu, kejelasan lafal dapat  dipahami menggunakan akal terdapat  pada firman
Allah surat Yusuf ayat 82:
‫َواسْأ َ ِل ْالقَرْ يَةَ الَّتِي ُكنَّا فِيهَا َو ْال ِعي َر الَّتِي أَ ْقبَ ْلنَا فِيهَا‬
Artinya:Dan tanyalah pada (penduduk negeri) yang kami berada disitu.
Apabila di perhatikan secara bahasa, ayat ini memerintahkan kepada
kampung. Hal ini tidak logi maka diperlukan dengan akal agar dapat memahaminya
bahwa yang di perintahkan sebenarnya bertanya kepada penduduk yang tinggal
dikampung tersebut.
               Adakala kejelasan lafal didapatkan melalui illat. Misalnya larangan
mengucapkan kata uff kepada orangtua nya dalam surah al-isra ayat 23:
‫فَاَل تَقُلْ لَهُ َما أُفٍّ َواَل تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُلْ لَهُ َما قَوْ اًل َك ِري ًما‬
Artinya:maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
               Mengucapkan kata ah kepada orang tua akan menyakitkan hatinya. Namun,
mencaci maki dan memukulnya lebih menyakitkan dari mengucapkan kata ah.
Karena hal tersebut lebih utama haramnya.
2.      Al wadih bi ghairihi, yaitu mangetahui maknanya perlu dibantu dengan lafal
lain.

C. Pengertian Dzahir

Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:

‫المتردد بين أمرين هو فى احد هما اظهر‬

Artinya: “Kuragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah


satunya adalah lebih jelas.”[1]

Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi
tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih
jelas atau lebih menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.

Al-Bazdawi memberikan defenisi dzhahir sebagai berikut:

‫إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬

Artinya: “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri.”[2]

Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:

‫ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأ ّمل‬

Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu.”[3]

Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dzahir
itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain.

D.Pengertian Mu’awwal
Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh
(Dzahir) Al-Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna
harfiyahnya.

Pengertian mu’awwal dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk


memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti
atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, mu’awwal berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna
lahiriyahya, bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan
tafsir.[4]

Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dzahir dan Muawwal

A. HukumDzahir

Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita
boleh meninggalkan arti dzahir.

Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir sebagai
berikut:

‫الظا هردليل شرعي يجب اتباعه اال ايد ان يدل الدليل على خال فىه‬

Artinya: “Dzahir itu adalah dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat
dalil yang menunjukkan lain daripadanya.”

Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong
pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil dan
yang wajib kita ikuti.

B. Hukum Mu’awwal

Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil.

Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-
istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil
1. jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i,
maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.

2. Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti,
wajib mengamalkan sesuai maknanya.

3. Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar
pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang
saling bertentangan.[5]

 Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu’awwal

      Contoh Lafadz Dzahir

Firman Allah SWT:

َ ِ‫ٱلَّ ِذينَ يَأ ُكلُونَ ٱل ِّربَ ٰو ْا اَل يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم ٱلَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ٱل َّشي ٰطَنُ ِمنَ ٱل َمسِّ ٰ َذل‬
ْ ُ‫ك بِأَنَّهُم قَال‬
‫وا إِنَّ َما ٱلبَي ُع ِمث ُل‬
َ‫إِلَى ٱهَّلل ِ َو َمن عَا َد فَأُوْ ٰلَئِك‬ ُ‫ َما َسلَفَ َوأَم ُر ٓۥه‬ ُ‫فَٱنتَهَ ٰى فَلَ ۥه‬ ‫ َمو ِعظَة ِّمن َّربِِّۦه‬ ُ‫ٱلرِّ بَ ٰو ْا َوأَ َح َّل ٱهَّلل ُ ٱلبَي َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ْا فَ َمن َجا َء ۥه‬
٢٧٥  َ‫ار هُم فِيهَا ٰخَ لِ ُدون‬ ِ َّ‫أَص ٰ َحبُ ٱلن‬
Artinya: “orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka (berkata) berpendapat,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan
untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir
lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli.[6]

  Contoh Lafadz Mu’awwal

Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi:

‫والسمأ بنينا ها بأيد‬.....

“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).

Lafadz (‫)يد‬   pada ayat diatas, makna dzahir–nya adalah “tangan” sebagaimana


keterangan diatas. Tetapi oleh para ulama’, lafadz (‫)يد‬atau (‫)ايد‬pada ayat diatas
diartikan “tangan” berarti mempersembahkan Allah dengan makhluk, sedang Allah
tidak mempunyai sesuatu pun sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an yang
berbunyi:

‫ليس كمثله شئ‬


“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).

Oleh karena itu maka ditakwil arti “tangan” menjadi “kekuasaan”. Perubahan
arti yang demikianlah yang dianamakan takwil.[7]
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung
didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman atau penjelasan yang
jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan
membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Oleh karena banyaka ayat-ayat
yang mengandung seperti mujmal dan mubayyan. Dari beberapa definisi mujmal di
atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada
penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Kencana Prenada Media Group:
Jakarta

Muhmmad Abu Zahrah. 1994. Ushul Fiqih. Pustaka Firdaus: Jakarta

Rachmat Syafe’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung

Rosihon Anwar. 2007. Ulum Al-Qur’an. CV Pustaka Setia: Bandung

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah:
Jakarta

http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/01/makalah-ushul-fiqih-dzahir-dan-
muawwal.html

[1]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. 1, hlm 119
[2]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152

[3]Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 363

[4]Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 212

[5]http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/01/makalah-ushul-fiqih-dzahir-dan-
muawwal.html

[6] Muhmmad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 172

[7]http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/01/makalah-ushul-fiqih-dzahir-dan-
muawwal.html

Anda mungkin juga menyukai