MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Edi Jatmiko S.E
Disusun oleh :
SHOFIYANA
DARUSSALAM LAMPUNG
TP : 2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Mujmal dan Mubayyan dhahir dan Muawwal.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Mujmal dan Mubayyan
dhahir dan Muawwal ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengrtian Fiqih Muamalah...............................................................4
B. Ruang lingkup Fiqih Muamalah.......................................................4
C. Hubungan Fiqih Muamalah dengan Fiqih lainnya...........................4
D. Prinsip Prinsip dasar Fiqih Muamalah dalam Islam........................4
E. Perubahan Sosial terhadap Fiqih Muamalah...................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................9
B. Saran.................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mujmal
Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang dikeragui. Secara istilah,
para ahli ushul fiqh mendefenisikan mujmal dalam berbagai macam.[1]
Imam Sarakhasi mendefenisikan Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat
dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafal mujmal
itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafal tersebut.
Wahbah Al-Zulaili mendefenisikan Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami
maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim(orang yang mengucapkan).
Jalaluddin Abd al-Rahman mendefenisikan Mujmal adalah kata yang
dilalahnya tidak jelas.
Dari beberapa defenisi mujmal di atas dapat dipahami bahwa mujmal
merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang
menyampaikan lafal tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan erasal dari
luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri. Untuk memahami lafal mujmal itu sangat
tergantung pada penjelasan mutakallim atau syari’ yang menyampaikan lafal tersebut.
1. Sebab suatu lafal disebut mujmal
Lafal-lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator
(qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya.
Misalnya lafal quru’ dalam firman Allah surah al-baqarah ayat 228:[2]
ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء
ُ َو ْال ُمطَلَّق
َ
Artinya : wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I berpendapat
ahwa lafal quru’ berarti suci sedangkan imam abu hanifa berpendapat bahwa quru’
berarti haid.
suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata (
)الهلوع pada firman allah surah al-maarij ayat 19-20.
.إِ َذا َم َّسهُ ال َّشرُّ َج ُزوعًا َوإِ َذا َم َّسهُ ْال َخ ْي ُر َمنُوعًا ق هَلُوعًا َ ِإِ َّن اإْل ِ ْن َسانَ ُخل ۞
Artinya: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila
ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat
kikir.
Pada ayat 19 diatas terdapat lafal ( )الهلوعyang tidak dapat dipahami karena
termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.[3]
Pemalingan atau pemindahan dari makna lughâwî (etimologi) ke
makna ishthilâhî (terminologi)
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari
makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui
aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
2. Hukum Mujmal
C. Pengertian Dzahir
Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi
tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih
jelas atau lebih menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya.
Artinya: “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri.”[2]
Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu.”[3]
Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan dzahir
itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain.
D.Pengertian Mu’awwal
Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna lafazh
(Dzahir) Al-Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh akal dari makna
harfiyahnya.
A. HukumDzahir
Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam keadaan bagaimana pula kita
boleh meninggalkan arti dzahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir sebagai
berikut:
الظا هردليل شرعي يجب اتباعه اال ايد ان يدل الدليل على خال فىه
Artinya: “Dzahir itu adalah dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat
dalil yang menunjukkan lain daripadanya.”
Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk mendorong
pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai sebagai dalil dan
yang wajib kita ikuti.
B. Hukum Mu’awwal
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan
mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil.
Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-
istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil
1. jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i,
maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
2. Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti,
wajib mengamalkan sesuai maknanya.
3. Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar
pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang
saling bertentangan.[5]
َ ِٱلَّ ِذينَ يَأ ُكلُونَ ٱل ِّربَ ٰو ْا اَل يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم ٱلَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ٱل َّشي ٰطَنُ ِمنَ ٱل َمسِّ ٰ َذل
ْ ُك بِأَنَّهُم قَال
وا إِنَّ َما ٱلبَي ُع ِمث ُل
َإِلَى ٱهَّلل ِ َو َمن عَا َد فَأُوْ ٰلَئِك ُ َما َسلَفَ َوأَم ُر ٓۥه ُفَٱنتَهَ ٰى فَلَ ۥه َمو ِعظَة ِّمن َّربِِّۦه ُٱلرِّ بَ ٰو ْا َوأَ َح َّل ٱهَّلل ُ ٱلبَي َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ْا فَ َمن َجا َء ۥه
٢٧٥ َار هُم فِيهَا ٰخَ لِ ُدون ِ َّأَص ٰ َحبُ ٱلن
Artinya: “orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka (berkata) berpendapat,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan
untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir
lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli.[6]
“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).
Oleh karena itu maka ditakwil arti “tangan” menjadi “kekuasaan”. Perubahan
arti yang demikianlah yang dianamakan takwil.[7]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung
didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman atau penjelasan yang
jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan
membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Oleh karena banyaka ayat-ayat
yang mengandung seperti mujmal dan mubayyan. Dari beberapa definisi mujmal di
atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada
penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Kencana Prenada Media Group:
Jakarta
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah:
Jakarta
http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/01/makalah-ushul-fiqih-dzahir-dan-
muawwal.html
[1]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. 1, hlm 119
[2]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152
[3]Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 363
[5]http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/01/makalah-ushul-fiqih-dzahir-dan-
muawwal.html
[6] Muhmmad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 172
[7]http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/01/makalah-ushul-fiqih-dzahir-dan-
muawwal.html