Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ILMU FIQIH
“MUTLAQ DAN MUQAYYAD”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 10
 MEGAWATI (20500118035)
 FITRIANTI (20500118004)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah Wasyukurillah, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah


SWT. yang tiada hentinya memberikan taufik dan hidayahnya kepada kami selaku
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Mutlaq & Muqayyad”. Makalah ini
kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada baginda nabi
Muhammad SAW. beliaulah yang telah merangkul kita dengan tangan kasihnya dari
budaya hewani yang biadab menuju kultur insani yang beradab, semoga kita selaku
umatnya senantiasa mendapatkan syafa’at darinya, aamiin.
Penyusun menyadari bahwa isi dalam makalah ini masih terdapat kekeliruan,
baik dari segi sistematika maupun konsepsi keilmiahannya. Sehingga penulis sangat
berharap kepada pembaca agar kiranya dapat memberikan saran dan sumbangan ide
yang sifatnya membangun dan dapat meningkatkan mutu makalah ini di masa yang
akan datang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuan dan petunjuk
yang telah diberikan oleh berbagai pihak memperoleh imbalan yang setimpal serta
memperoleh rahmat dan hidayah dari allah SWT.

Wassalam

Samata, April 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad


B. Pola Hubungan Mutlaq dan Muqayyad
C. Perbedaan Pandangan Para Ulama
D. Hukum Lafaz Mutlaq dan Muqayyad
E. BAB III Penutup
A. Kesimpulan Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan
utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-Quran
mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji
dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-Quran sebagai rujukan
utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya untuk
interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk
menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran,
sebenarnya dari semua ayat yang ada tersebut tidak semuanya memberikan
arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat yang masih
butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat
tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Quran itu tidak hanya
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi juga terdapat ayat yang
maknanya tersirat di dalam ayat tersebut.
Dalam menafsirkan Al-Quran, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya.
Apalagi untuk menetapkan suatu hukum. Dalam ilmu ushulfiqh, pemaknaan lafal Al-
Quran yang digunakan untuk menentukan suatu hukum. Oleh karena itu, agar dapat
memahami dan mengetahui hukum atau makna yang terdapat dalam ayat-ayat Al-
Quran, dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit penjelasan guna menambah
pemahaman pembaca. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai mutlaq dan
muqayyad.
Mutlaq artinya terlepas, tidak terbatas dan lain-lain, sedangkan Muqayyad artinya
yang mengikat yang membatasi dan lain-lain. Dalam pembahasan tentang Mutlaq dan
Muqayyad ini merupakan hal yang paling terpenting untuk dijelaskan karena
seseorang yang memahami hadits yang berbunyi “seseorang yang membunuh orang
mukmin secara tidak sengaja maka dia harus memerdekakan hamba sahaya” dihadits
ini banyak yang keliru pemahaman karena dia tidak memahami makna mutlak dan
mukayyad. Sehingga mereka memahami hamba sahaya yang mutlak artinya baik
hamba yang kafir maupun yang islam, sebenarnya pada keterangan tersebut dibatasi
artinya yaitu hamba sahaya yang muslim.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mutlaq dan muqayyad?
2. Bagaimana hukum mutlaq dan muqayyad?
3. Bagaimana pola hubungan mutlaq dan muqayyad?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahuui pengertian dari mutlaq dan muqayyad.
2. Untuk mengetahui hukum mutlaq dan muqayyad.
3. Untuk mengetahui pola hubungan mutlak dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mutlak dan muqayyad


1. Pengertian mutlak dam muqayyad

Mutlaq artinya terlepas, tidak terbatas dan lain-lain, sedangkan muqayyad


artinya yang mengikat yang membatasi dan lain-lain. Mutlaq yang dimaksud di ushul
fiqih adalah lafaz yang menunjukan suatu hakikat tanpa ada suatu ikatan dari
(beberapa) ikatanyya. Sedangkan Muqayyad yang dimaksud dalam istilah Ushul
Fiqih adalah Lafaz yang menunjukkan sesuatu hakikat, dengan satu ikatan dari
(beberapa) ikatannya.
Persoalan mutlaq dan muqayyad serupa dengan persoalan umum dan khusus
tetapi umum dan khusus berkaitan dengan penerapan hukum sedangkan mutlaq dan
muqayyad berkaitan dengan keadaan yang berbeda-beda dan sifat-sifat hukum itu
sendiri,umum dan khusus menyangkut suatu tatanan yang biasanya meliputi segala
bentuk penerapan hukum yang berebda-beda karena alasan tertentu merupakan
pengecualian dari yang umum.

Para ulama ushul fiqh mendefenisikan konsep mutlaq dengan berbeda-beda


namun intinya ialah penunjukan lafal terhadap suatu entitas sebagaimana Adanya
,yakni menunjuk kepada satuan yang tersebar pada jenisnya, tidak dilekati secara lafzi
dengan qaid yang membatasi ketersebarannya”Contohnya lafal rabaqah dalam surah
al-mujadalah (58):3:

‫ۚ َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِم ْن نِ َسائِ ِه ْم ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَالُوا فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن يَتَ َماسَّا‬
Orang-orang yang men-zihar istri mereka kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.

Lafal rabaqah dan waliy disebut secara itlaq (lafal mutlaq)masing-masing


menunjuk kepada satu raqabah yang tidak tertentu diantara berbagai jenis waliy.Para
ulama ushul fiqh juga mendefinisikan konsep ,muqayyad dengan berbeda-beda
,namun intinya ialah penunjukan lafal terhadap suatu entitas yang dilekati atribut
tertentu yang mengurangi jangkauan ketersebarannya atau terhadap suatu entitas yang
terbatas . contohnya lafal rabaqah mu’minah dalam surah al-Nisa’ (4):92; kata
rabaqah mu’minah (budak yang mukmin)bukan sembarang rabaqah (budak).
Contohnya lainnya ,lafal syahraini mutatabi’aini (dua bulan) berturut-turut)dalam
surah al-Nisa’ (4):92; kata syaraini (dua bulan) dilekati dengan atribut mutatabi’aini
(berturut-turut) sehingga yang dituntut ialah berpuasa syaraini mutatabi’aini (dua
bulan berturut-turut) bukan sembarang puasa dua bulan semata (syahriani).Sedangkan
taqyid adalah suatu upaya memahami makna ungkapan mutlaq dalam suatu nash
dengan menghubungkannya kepada ungkapan muqayyad pada nash lain.

Dalam memberikan defenisi kepada mutlaq terhadap rumusan yang berbeda,


namun saling berdekatan.

1) Muhammad al-khudhari beik memberikan defenisi:


Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa
satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi.
2) Al – amidi memberikan defenisi:
Lafadz yang memberi petunjuk kepada yang diberi petunjuk yang
mencakup dalam jenisnya.
3) Ibnu subki merumuskan defenisi:
Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa
ada ikatan apa-apa.
Dengan membandingkan defenisi-defenisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq
adalah lafadz yang mencakup seluruh afrad di dalamnya disinilah di antara letak
perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am, meskipun terdapat istilah “meliputi
afradnya”.Dari segi cakupannya ,juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan
nakirah yang disertai oleh tanda-tanda keumuman suatu lafadz termasuk jama’
nakirah yang belum diberi ikatan.Bila suatu hukum datang dalam bentuk mutlaq ,
maka hukum diamalkan secara kemutlaqkannya . demikian pula bila hukum itu
datang dlam bentuk muqayyad maka hkum itu diamalkan menurut qayid
yangmenyertainya. Dalam hal ini tidak ada beda pendapat dikalangan ulama.Namun
adakalanya hukum itu datang dengan bentuk mjutlaq dalam sat nash hukum daan
datang pla dalam bentuk muqayyad dalam nash hukum lain. Mengenai cara
menghadapi (menangani) masslah ini menjadi perbincangan dikalangan ulama ushul.

Dalam masalah ini ada beberapa bentuk pola hubungan antara lafadz mutlaq
dan muqayyad, yaitu :

1. Sasaran dari dua nash hukum itu adalah satu. Jadi hukum yang disebutkan
adalah sama dan sebab yang menimbulkan hukum juga sama.
2. Sebab yang menimbulkan hukum yang berbeda antara lafadz mutlaq dan
muqayyad namun hukum yang terdapat dalam dua lafadz tersebut adalah
sama.
3. Sebab yang menibulkan hukum adalah sama sedangkan hukumnya berbeda .
umpamanya ayat yang menjelaskan tentang wudhu dlaam surat al-ma’idah
(5):6.
4. Sebab yang menimbulkan hukum lafadz mutlaq dan lafadz muqayyad adalah
berbeda, demikian pula hukumnya pun berbeda pula. Dalam bentuk ini ualam
sepakat mengatakan bahwa lafadz mutlaq tidak ditanggungkan kepada lafadz
muqayyad masing-masing diperlakukan menurut sifatnya .
5. Adakalanya salah satu di antara keduanya (lafadz muqayyad dan mutlaq)
dlaam bentuk isbat dan yang stau lagi dalam bentuk nafy
6. Bila dalam keduanya (mutlaq atau muqayyad) dalam bentuk nafy atau dalam
bentuk melarang; atau yang satu lagi dalam bentuk melarang , maka lafadz
mutlaq diberi qayid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqayyad.
7. Bentuk lain adalah lafadz muqayyad berada dalam dua tempat yang berbeda.
Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berbeda:
a. Menurut ulama syafi’iyah lafadz mutlaq harus ditanggunggkan kepada salah
satu di antara kedua muqayyad di tempat yang berbeda itu.
b. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa lafadz mutlaq tidak dapat
ditanggunggkan kepada lafadz muqayyad dalam keadaan tersebut karena
lafadz muqayyadnya berbeda hkumnya oleh karena itu lafadz mutlaq berlaku
secara kemutlakannya sedangkan lafadz muqayyad beralku qayidnya masing-
masing berdiri sendiri.
2. Pola Hubungan Mutlaq dan Muqayyad dalam Nash

Terdapat empat kemungkinan pola hubungan mutlaq dan muqayyad dalam


nash, yaitu :

a. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm)
keduanya bersesuaian demikian pula objek dan status hukum yang
dikandung keduanya.
Contohnya, ialah :
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak
satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka, laki-
laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan orang Islam.
Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi
menunaikan shalat " (HR. Bukhari dan Muslim).

“rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' dari kurma
atau satu sha' dari gandum terhadap budak orang dewasa lakilaki
perempuan anak kecil dan orang dewasa yang beragama islam dan beliau
memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum keluarnya orang
orang pergi menuju ke tempat shalat”.(HR.al-bukhari dan Muslim).

Kedua hadis ini mempunyai objek hukum yang sama, yakni soal zakat fitrah.
Begitu juga status hukum yang ditetapkannya, yakni wajib zakat fitrah. Segi mutlaq
dan muqayyad dalam kedua hadis ini ialah sabab al-hukm; pada hadis pertama sabab
al-hukm-nya ialah adanya jiwa manusia yang beragama islam yang ditanggung
nafkahnya oleh yang bersangkutan sedangkan pada hadis kedua sabab al-hukm-nya
ialah adanya jiwa manusia yang ditanggung nafkahnya oleh orang yang
bersangkutan; jadi tidak ada atribut “beragama islam” pada jiwa manusia dimaksud
dengan demikian sabab al-hukm dalam hadis pertama disebut secara muqayyad
sedangkan dalam hadis kedua disebut secara mutlaq.

b. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik timbulnya hukum (sabab al-hukm) dan
status hukum yang dikandung kedua nash itu bersesuaian.
Contohnya ialah :
“Diharamkan atas kamu sekalian bangkai,darah,daging babi, dan (hewan)
yang disembelih untuk selain dia (Allah). (QS.al-maidah (5):3).
Katakanlah : tidak aku dapati di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku
sesuatu yang haram dimakan melainkan bangkai,darah mengalir, dan
daging babi”. (QS.a-AN’am(6):145).

Kata al-dam (darah) pada nash pertama disebut secara mutlaq sedangkan
pada nash kedua disebut secara muqayyad yakni ( darah yang mengalir ) status
hukum dalam kedua nash itu sama yakni hukum mengonsumsi/memperdagangkan
darah dan begitu pula sabab al-hukmnya yakni adanya unsur mudarat dan kuman
penyakit dalam darah.
c. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab
al_hukm) dan status hukum yang dikandung kedua nash itu berbeda.
Contohnya ialah :
“Pencuri baik laki-laki maupun perempuan potonglah kedua tangnnya yang
demikian) sebagai balasan atas perbuatannya sebagai siksaan (penderitaan)
dari allah”. (QS.al-ma’idah (5):38)
“Wahai orang yang beriman apabila kamu hendak shalat basuhlah
mukamu dan tanganmu hingga sikumu”.(QS.al_Ma’idah (5):6)

Kata aydi (tangan) pada nash pertama disebut secara mutlaq sedangkan
kata aydi-kum ila-marafiq (tanganmu hingga sikumu) pada nash kedua disebut secara
muqayyad status hukum dalam kedua nash itu berbeda pada nash pertama wajib
amputasi tangan dan dalam nash kedua wajib basuh tangan. Begitu pula berbeda
dalam sabab al-hukmnya dalam nash pertama sabab al-hukm nya ialah kondisi
berhadas yang disertai dengan keinginan melakukan amaliah yang dipersyaratkan
bersuci (taharah) terlebih dahulu.

d. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab
al_hukm) dari keduanya bersesuaian sedangkan status hukum yang
dikandung keduanya berbeda.
contohnya ialah :
“Wahai orang yang beriman apabila kamu hendak shalat basuhlah
mukamu dan tanganmu hingga sikumu” (QS.al-maidah (5):6)
“Dan apabila kamu sedang sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang
salah seorang kamu dari air atau menyentuh perempuan, kemudian kamu
tidak mendapatkan air maka lakukanlah tanyaman dengan debu yang suci
bersih usaplah mukamu dan tanganmu dengannya”. (Q.S al_maidah (5):6)
Kata aydi (tangan) pada nash pertama disebut secara muqayyad yakni aydi
kum ila al-marafiq (tanganmu hingga sikumu)sedangkan pada nash kedua disebut
secara mutlaq yakni wajib basuh tangan dalam nash pertama dan wajib usap tangan
dalam nash kedua. Akan tetapi shab al-hukm dari keduanya itu bersesuaian yakni
kondisi berhadas yang disertai dengan keinginan melakukan amaliah yang
dpersyaratkan bersuci (taharah) terlebih dahulu.

e. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dallam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm)
dari keduanya berbeda sedangkan status hukum yang dikandung keduanya
bersesuaian.
contohnya ialah :
“Dan orang-orang yang men-zihar istrinya kemudian ingin kembali kepada
apa yang mereka katakan maka mereka harus memerdekakan budak”.
(QS.al-mujadalah(58):3)
“Dan barangsiapa membunuh orang mukmin karena tersalah?alpa (tak
sengaja)maka ia harus memerdekakan budak yang mukmin”.(QS.al-
nisa(4):92).

Dipahami bahwa nash pertama berbicara tentang kifarat zihar,sedangkan


nash kedua memperbincangkan nash kedua memperbincangkan kifarat pembunuhan
karena alpa (qatl al_khata’). Pada nash pertama kata rabaqh disebut secara mutlaq.

Sedangkan pada nash kedua kata rabaqah disebut secara muqayyad yakni
rabaqah mu’minah dari segih status hukum yang dikandungnya yakni wajib
memerdekakan budak kedua nash itu bersesuaian. Akan teteapi dari segi sabab al-
hukm yang dikandungnya kedua nash itu berbeda yakni pada nash pertama sabab al-
hukm nya ialah keininan kembali sedangkan pada nash kedua sabab al-hukum nya
ialah pembunuhan karena alpa (qatl al_khata’).

3. Perbedaan pandangan para ulama


Bagaimanakah pandangan para ulama ushul fiqh tentang empat kemungkinan
pola hubungan mutlaq dan muqayyad dalam nash tersebut? Jawaban atas pertanyaan
ini dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam kemungkinan pola kedua para ulama sepakat bahwa pemahaman nash mutlaq
harus disesuaikan menurut tuntunan nash muqayyad.

Begitu juga dalam kemungkinan pola ketiga, para ulama bersepakat bahwa
nash mutlaq harus dipahami menurut tuntunan pesan nash mutlaq muqayyad tersebut
jadi masing-masing pemahamn berdiri sendiri

4. Hukum lafaz mutlaq dan muqayyad

Hukum Lafaz mutlaq tetap dipegang kemuthlaqannya selama tidak didapati


atau ditemukan muqayyad-nya. Dan hukum lafaz muqayyad tetap atas
keterbatasannya atau keterkaitannya walaupun ada muthlaqnya.

Maksudnya adalah bila datang satu kalian satu kalam yang mana di dalmnya
ada lafaz muthlaq pada satu tempat,tetapi adapula satu lafaz muqayyad pada satu
kalam di tempat lain maka dibebankan lafaz muthlaq itu pada lafaz yang muqayyad
(artinya yang terpakai adalah yang muqayyad).
Yang demikian hanya berlaku apabila sebab dan hukum yang terdapat pada
yang muthlaq dan muqayyad adalah sama sebagai contoh adalah sabda nabi SAW
pada orang arab gunung tentang kifaratnya bila seseorang bersetubuh dalam bulan
puasa.
“puasalah dua bulan berturut-turut.”(HR.Bukhari dan muslim)
Dan dalam riwayat lain menjelaskan
“ puasalah dua bulan”. (Hadis)
Kedua hadis tersebut di atas mempunyai sebab dan hukum yang sama.
Dikatakan sebabnya sama karena sama-sama sebab bersetubuh dalam bulan puasa,
dan hukumnya sama-sama wajib.
Dalam hal demikian, maka berlakulah kaidah yang berbunyi: “ Mutlak di
bebankan pada yang muqayyad apabila sama sebab hukumnya”.
Tapi dalam hal lain, yang tidak sama hukum dan sebabnya, tidaklah boleh
dibebankan mutlaq dan muqayyad.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mutlaq yang dimaksud dalam istilah ushul fiqih adalah lafaz yang
menunjukan suatu hakikat tanpa ada suatu ikatan dar (beberapa) ikatanya,
sedangkan Muqayyad yang dimaksud dalam istilah Ushul Fiqih adalah Lafaz
yang menunjukkan sesuatu hakikat, dengan satu ikatan dari (beberapa)
ikatannya.
2. Hukum Lafaz mutlaq tetap dipegang kemuthlaqannya selama tidak didapati
atau ditemukan muqayyad-nya. Dan hukum lafaz muqayyad tetap atas
keterbatasannya atau keterkaitannya walaupun ada muthlaqnya.
3. Terdapat empat kemungkinan pola hubungan mutlaq dan muqayyad dalam
nash, yaitu :
a. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab al-hukm)
keduanya bersesuaian demikian pula objek dan status hukum yang
dikandung keduanya.
b. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik timbulnya hukum (sabab al-hukm) dan
status hukum yang dikandung kedua nash itu bersesuaian. Dalam suatu
nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu muncul
secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab al_hukm) dan
status hukum yang dikandung kedua nash itu berbeda.
c. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab
al_hukm) dan status hukum yang dikandung kedua nash itu berbeda.
d. Dalam suatu nash lafal muncul secara mutlaq dan dalam nash lain lafal itu
muncul secara muqayyad titik penyebab timbulnya hukum (sabab
al_hukm) dari keduanya bersesuaian sedangkan status hukum yang
dikandung keduanya berbeda.
B. Saran
Penulis banyak berharap kepada pembaca agar kiranya makalah ini dapat
dipergunakan dengan sebaiknya dan menjadi referensi yang baik demi peningkatan
mutu pendidikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH.
Djalil, A. Basic. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu dan dua). Jakarta: KENCANA
Prenamedia Group.
Minhajuddin & Misbahuddin. 2010. Ushul Fiqih II. Makassar: Alauddin press.
Shiddieqy, Hasbi Ash. 1967. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: PT Bulang Bintang

Anda mungkin juga menyukai