Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENGERTIAN IJTIHAD, ITTIBA’, TALFIQ DAN TAQLID


Untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ilmu Fiqih”
Dosen Pengampu: Drs. Rosyadi BR M.Pd.i

Disusun oleh kelompok 06 :

1. Muhammad Hilman Firmansyah (204103040028)

2. Iin Sundosia (204103040016)

RODI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
Tahun 2020
KATA PENGANTAR
i
Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak
lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah berjudul ‘Analisis Hukum Tajwid pada Surat At Tariq’ bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Pada makalah diuraikan surat At
Tariq beserta terjemah dan maknanya. Selain itu, diulas hukun bacaan pada surat tersebut.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar
harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wasaalamu’alaikum Wr. Wb

Jember, 06 Oktober 2020

PENYUSUN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii
ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG...............................................................................................5

2. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................5

3. TUJUAN PENULISAN.............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHAD................................................................................................6

1. Mujtahid dan Syarat-syaratnya.....................................................................................6

2. Tingkatan Mujtahid.......................................................................................................6

3. Macam-macam Ijtihad..................................................................................................7

4. Jenis-jenis Ijtihad..........................................................................................................7

B. PENGERTIAN ITTIBA’.................................................................................................9

a. Macam-macam Ittiba’...................................................................................................9

b. Tujuan Ittiba’.................................................................................................................9

C. PENGERTIAN TALFIQ..................................................................................................10

a. Pendapat-pendapat temtang Talfiq................................................................................10

b. Hukum Talfiq................................................................................................................11

D. PENGERTIAN TAQLID.................................................................................................13

1. Taqlid yang di Haramkan..............................................................................................13

2. Taqlid yang di Bolehkan...............................................................................................14

3. Taqlid yang di Wajibkan...............................................................................................14

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN.............................................................................................................................17

iii
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18

iv
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Ilmu ushul fiqih merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum. Ilmu ini
sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistibatkan hukum syara’ secara
benar dan dapat di pertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqih, dapat di temukan juga
jalan keluar dalam mempelajari dalil-dalil yang bertentangan dengan dalil lainnya.

Pembahasan dalam ushul fiqh salah satunya adalah ijtihad, ittiba’, talfiq, dan taqlid. Ke
empat-empatnya memiliki arti yang berbeda-beda dan maksudnya juga berbeda. Tetapi ke
empat-empatnya sangat jelas diatur dalam islam. Maka dari itu sebagai umat muslim yang ta’at
agama, sudah seharusnya bagi kita untuk memahami keempat pembahasan diatas dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Ijtihad

2. Apa pengertian Ittiba’

3. Apa pengertian Talfiq

4. Apa pengertian Taqlid

5. Apa persamaan dan perbedaan dari ijtihad, ittiba’, talfiq, dan taqlid

3. TUJUAN PENULISAN

1. Memberi pemahaman tentang pengertian Ijtihad

2. Memberi pemahaman tentang pengertian Ittiba’

3. Memberi pemahaman tentang pengertian Talfiq

4. Memberi pemahaman tentang pengertian Taqlid

5. Untuk memahami persamaan dan perbedaan dari ijtihad, ittiba’, talfiq, dan taqlid

5
BAB II PEMBAHASAN

A. IJTIHAD

Ijtihad (‫اد‬GG‫ )اجته‬secara etimologi adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan. Secara terminologi ijtihad aalah usaha dan upaya yang
sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu hukum yang tidak dibahas dalam Al Quran dan
hadis. Awal mulaamun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya
hanya dilakukan para ahli agama Islam atau ulama’.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pedoman hidup
dalam beribadah kepada Allah. Ijtihad ini dilakukan di suatu tempat tertentu atau pada waktu
tertentu.

1. MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA


Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai
dua syarat:
- Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal
yang syara dan mendahulukan yang wajib.
- Adil, menjauhi segala maksiat yang berhubungan dengan sifat dan sikap.
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :
- Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.
- Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan
syari`at tersebut.
2. TINGKATAN MUJTAHID
- Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan
pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali,
Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.
- Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia
menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh
imam madzhab tersebut.
6
3. MACAM-MACAM IJTIHAD
- Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash
syar`i.
- Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan
menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
- Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah
menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.

4. JENIS-JENIS IJTIHAD
a. ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakatnya para ulama dalam menetapkan suatu hukum
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam menetapkan suatu perkara yang terjadi. Kemudian hasil
dari ijma adalah fatwa, yakni keputusan beberapa ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat.
b. Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya ulama’ menetapkan suatu
perkara baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat. Apabila terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan
pada masa-masa sebelumnya, maka qiyas boleh dilakukan.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan sesuatu yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum.

7
c. Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
- Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu
adalah benar.
- Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
- Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
- Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
- Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.
d. Maslahah murshalah
Maslahah murshalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan
menghindari kemudharatan.
e. Sududz Dzariah
Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentinagn umat.
f. Istishab
Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang
bisa mengubahnya.
g. Urf
Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal
dalam Alquran.

B. ITTIBA`
8
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata
ittaba’a (‫ )اتَبَ َع‬yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengan ITTIBA’
diantaranya iqtifa’ (‫اء‬GG‫ )اقتف‬menelusuri jejak, qudwah (‫دوة‬GG‫ )ق‬bersuri teladan, dan uswah (‫وة‬GG‫)أس‬
berpanutan. Kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan
mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau
lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi
Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalilnya, maka engkau
adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan,
yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-
ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
a. Macam-Macam Ittiba`
- Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
- Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam
Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan
para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat lain membolehkan berittiba` kepada
para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para
Nabi).
b. Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun ia orang awam, ia
dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan tanpa diselimuti keraguan
sedikitpun. Suatu ibadah jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan
dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal
yang dikerjakan oleh umat muslim.

C. TALFIQ

9
Talfiq berarti manyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Menurut istilah,
talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa dengan mengambilnya dari
berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi hukum nikah tanpa wali sah, sedangkan menurut
madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu

semata-mata untuk melaksanakan aturan agama. Untuk melakukan talfiq, setidaknya ambil

pendapat yang paling benar dan kuat dasar hukumnya.

Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari hukum ringan, yaitu mengikuti pendapat yang

paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para

ulama.

1) Pendapat-Pendapat tentang Talfiq


Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih
suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu
mereka belum boleh melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat
yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan
sesuai dengan kehendak dirinya.

2) Hukum Talfîq

10
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok
mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum
muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah
ketetapan.Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.
a) Berikut alasan Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas
ketidak bolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok
tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan
pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah
wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga
melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(‘iddah istri melahirkan dan
‘iddah seorang istri yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh
menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan
sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atau menciptakan pendapat ketiga. Hal itu dapat dilihat
dari dua sisi:
1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq
terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah
permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita
adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi
pendapat ketiga.
2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu
sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di
kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu'
dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang
membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati
(ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar
yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang
ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahâmah, Al Amîr, dan Al Fâdhil
11
Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwah ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim
adanya ijma' adalah bathil.

b) Berikut alasan Kelompok yang Membolehkan Talfiq


Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
Alasan Pertama
Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq. Setiap
orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Maka
jelas tidak ada larangan apabila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk
bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para sahabat Nabi SAW terdapat para sahabat yang ilmunya lebih tinggi dari
yang lainnya. Kemudian sahabat lain menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum.
Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra,
Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas'ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali juga pendapat mereka
berbeda-beda dalam menjawab satu kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu menetapkan peraturan bahwa
bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada
orang lain. Demikian juga dengan iman mazhab yang empat, tidak satu pun dari mereka yang
melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Alasan Kedua
Di masa kini hampir tidak dapat dibedakan antara pendapat Syafi''i dan pendapat Maliki,
kecuali mereka yang secara khusus belajar perbandingan mazhab. Akantetapi sedikitnya jumlah
pelajar atau ahli perbandingan mazhab, sangat tidak mewmungkinkan mereka untuk
membimbing umat islam secara keseluruhan. Maka otomatis semua orang akan melakukan
talfiq, dengan disadari atau tidak. Jika hukum talfiq benar-benar diharamkan, maka semua umat
Islam di dunia yang secara tidak sengaja melakukan talfiq berdosa. Hal ini tentu tidak logis dan
terlalu mengada-ngada.

D. TAQLID
Secara bahasa taqlid berasal dari kata ‫( تَ ْقلِ ْيدًا‬taqlîdan) Yang mengandung arti mengalungi,
menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid
12
sebagai penerimaan perkataan seseorang sedangkan kamu tidak mengetahui dari mana asal kata
itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada
hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber dan dasar perkataan (pendapat) itu. Ketika
seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal
adat istiadat, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh
orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana
mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan
nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali.
Allah swt berfirman:
َ َ‫َوإِ َذا قِي َل لَ ُه ُم اتَّبِ ُعوا َما أَن َز َل هّللا ُ قَالُو ْا بَ ْل نَتَّبِ ُع َما أَ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه آبَاءنَا أَ َولَ ْو َكانَ آبَا ُؤ ُه ْم الَ يَ ْعقِلُون‬
َ‫ش ْيئا ً َوال‬
‫يَ ْهتَدُون‬
Artinya “Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan
Allah swt ) ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka
menjawab “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang
kami”. Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat
hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
a. Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama,
Taqlid yang diharamkan, Kedua: Taqlid yang diwajibkan, Ketiga: Taqlid yang dibolehkan.
1. Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid dalam tiga macam taqlid berikut :
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu
kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui
bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2. Taqlid yang dibolehkan
Taqlid yang dibolehkan yaitu taqlidnya orang yang sudah mengerahkan usahanya untuk
ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian ittiba’nya tersembunyi
sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu. Maka yang seperti ini adalah terpuji dan
13
tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Namun taqlid ini sifatnya sementara.
Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat
untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama mutaakhirin membagi kelompok masyarakat yang diperboelhkan bertaqlid kedalam dua
golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat
dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak diperkenankan bertaqlid
kepada para ulama’.
3. Taqlid yang diwajibkan
Taqlid yang diwajibkan yaitu taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah (perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW). Ulama’ sepakat bahwa taklid yang
diwajibkan ini tidak boleh dilakukan kepada selain Rasulullah SAW.
b. Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang khususnya di Indonesia, ialah taqlid kepada kitab dan
buku karya orang ahli agama. Bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam
Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
c. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
1) Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika
orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
2) Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang
terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita
harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.

3) Imam asy Syafi`i (150-204 H)


Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya
pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
4) Imam Hambali (164-241 H)

14
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua
yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-
orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah
ditinggalkan.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya,
‫ير إِاَّل قَا َل ُم ْت َرفُوهَا إِنَّا‬
ٍ ‫ك فِي قَرْ يَ ٍة ِم ْن نَ ِذ‬ َ ِ‫ك َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبل‬ َ ِ‫ار ِه ْم ُم ْهتَ ُدونَ َو َك ٰ َذل‬ ُ
ِ َ‫بَلْ قَالُوا إِنَّا َو َج ْدنَا آبَا َءنَا َعلَ ٰى أ َّم ٍة َوإِنَّا َعلَ ٰى آث‬
َ‫ار ِه ْم ُم ْقتَ ُدونَ قَا َل أَ َولَوْ ِج ْئتُ ُك ْم بِأ َ ْهد َٰى ِم َّما َو َج ْدتُ ْم َعلَ ْي ِه آبَا َء ُك ْم ۖ قَالُوا إِنَّا بِ َما أُرْ ِس ْلتُ ْم بِ ِه َكافِرُون‬ ُ
ِ َ‫َو َج ْدنَا آبَا َءنَا َعلَ ٰى أ َّم ٍة َوإِنَّا َعلَ ٰى آث‬
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti)
jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi
peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu
akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi
petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” (QS. az-
Zukhruf[43] : 22-24)

d. Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka


lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para
imam yang ditaqlid dalam agama berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada
mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.
Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap
15
taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat
dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt .
Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap
taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas
jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.
Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil,
dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap
Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw.

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada
perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat

16
masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan
Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu
masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah
ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al
Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al
Quran dan Al Hadist.
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2.      Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi
atau hukum khuluqi.
3.      Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

DAFTAR PUSTAKA
 Hadi, saeful. 2009. Ushul fiqh. Yogyakarta: sabda media
         syarifuddin, amir. 2008. Ushul fiqh jilid 2. Jakarta: kencana
         syafe’i, rahmet. 2010. Ushul fiqh. Bandung: pustaka setia
         tobroni, suyoto. 1992. Al-Islam. Pusat dokumentasi dan kajian islam-umm
         ahmad, ittiba’ dalam prespektif alqur’an

17
         M. Ma’shum, zein. 2016. Menguasai ilmu ushul fiqh. Pustaka pesantren
         FS PAI-JS UGM, Tim. 1993. Meniti jalan islam. UGM

18

Anda mungkin juga menyukai