QOWAID FIQH
AD - DHARAR YUZALU
DI SUSUN OLEH:
APRILIAWATI
SITI RUAHIDAH
Penulis menyadari tentunya banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Hal itu di
karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis oleh karena itu harapan penulis
sekiranya pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang konstruktif serta edukatif guna
kesempurnaan makalah dimasa mendatang.
Akhirulkalam kami mengucapkan semoga Allah SWT membimbing kita semua dalam
naungan kasih dan saying-Nya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
kita. Amin..
Penulis.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ..........................................................................................
1.3 Rumusan Masalah .........................................................................................
1.4 Batasan Masalah ...........................................................................................
1.5 Metode Penulisan ..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.2 Pengertian kaidah “ad-dhararu yuzalu” ........................................................
2.3 Dasar-dasar pengambilan kaidah “ad-dhararu yuzalu ..................................
2.3 Perbedaan antara masyaqqat & dharar ..........................................................
2.4 Uraian kaidah “ad-dhararu yuzalu” ..............................................................
2.5 Cabang-cabang kaidah “ad-dhararu yuzalu” ................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
Begitu mudahnya islam itu, islam tak pernah menyulitkan para pemeluknya. Ada kemudahan
didalam kesulitan. Karena Allah Swt. Tidak menyukai kesukaran pada hambanya. Oleh karena
itu dalam islam tidak ada paksaan untuk mengikutinya.
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Qowaid Fiqh dan memahami
tentang teori Ad-Dharar Yuzalu serta menerapkannya dalam dunia beribadah dan kehidupan
sehari-hari.
4
1.4 Batasan Masalah
Hal yang dibahas dalam makalah ini hanya tentang teori Ad-Dharar Yuzalu
5
ADH_DHARARU YUZALU
[kesulitan itu harus dihilangkan]
6
BAB II
PEMBAHSAN
Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang
berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara
terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu
yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada
bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia
tidak makan”.
Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat
sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
7
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
8
sedang Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika
tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.
Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus,
sedangkan Dharar relative singkat
Masyaqqat solusi alternativenya banyak, sedangkan Dharar hanya ada satu
Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya Dharar akan ada
penghapusan hukum.
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada
mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi
orang lain memudaratkan”.
Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar
diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan
kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh,
maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat
bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan
bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi
dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang
berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih
9
dahulu ada sebelum Sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah
disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut,
maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang
diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan
keinginan dan pilihannya sendiri.
“ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu
perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan
satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada
yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun,
apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah
penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini
harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum
atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk
menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.
Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara lain:
Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan
orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudaratan.
Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan
kemudaratan.
Kaidah pertama:
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun
keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali
hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila
ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait
dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian Dharar itu terkait
dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan
hajiyah dan tahsiniyah.
Karena itu terdapat kaidah:
Kaidah kedua:
Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar
dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Kaidah ketiga:
11
االضطرار ال يبطل حق الغير
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259)
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan jalan
satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena
pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang
tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Kaidah keempat:
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan
kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau
membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh
kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang
lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi
kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan
maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang
diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan
sebagainya.
Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan
kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram.
Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan
makanan halal, bukan makanan haram.
12
Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum
diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat.
Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan
sebagainya.
Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan
hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan
mafsadah. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:246-247)
Contoh kaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar
dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Kaidah kelima :
Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang lagi sakit, maka ketika sudah
sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak perlaku lagi.
Kaidah keenam:
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudhunya cukup
membasuh yang ada, kalau tidak ada sama sekali maka cukup membasuh anggota yang paling
ujung sendiri.
Kaidah ketujuh:
13
درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila
berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu
melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak
madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya
minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang
sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan
adalah menolak kerusakannya.
Kaidah kedelapan:
Kaidah kesembilan:
14
Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi
kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa
keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas
kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan
syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam
(pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.
Keterangan:
Menurut Abdul Qadir Audah seorang tokoh Ihwanul Muslimin dan seorang qadi Mesir,
Dharar bisa diperhitungkan bila mempunyai ciri sebagai berikut:
Dikhawatirkan membahayakan jiwa, raga, agama seseorang.
Dalam keadaan serius hingga tidak bisa ditunda.
Tidak ada jalan lain.
Dilakukan seperlunya saja.
15
Izzuddin bin Abdissalam dalam al Qawaid Li al-Maqasid membagi maslahah dan
mafsadah menjadi tiga:
1. Afdhal (seperti al Wajibat)
2. Fadl (seperti al Mandubat)
3. Mutawassith (seperti al Ibahah)
16
DAFTAR PUSTAKA
17